Obes

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

Patofisiologi obesitas

Obesitas merupakan gangguan pada keseimbangan energi. Kalau enrgi yang berasal dari
makanan melampaui pengeluaran energi, kalori yang berlebihan akan disimpan dalam bentuk
trigliserida di dalam jaringan adiposa. Keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi
dikendalikan lewat mekanisme neural dan hormonal. Adiposit berkomunikasi dengan pusat-pusat
hipotalamus yang mengontrol selera makan dan pengeluaran energi lewat sekresi hormon
polipeptida yang disenut leptin. Leptin bekerja sebagai faktor antiobesitas dengan berikatan pada
reseptor leptin di hipotalamus untuk kemudian menggantikannya. Reseptor ini mensupresi selera
makan dan meningkatkan pengeluaran energi, aktivitas fisik, serta produksi panas. Leptn
menurunkan sekresi neuropeptida Y yang merupakan meurotransmitter perangsang selera makan.
Di samping itu, lintasan neuronal, aktivitas reseptor leptin dalam hipotalamus akan meningkatkan
pelepasan norepinefrin dari ujung-ujung terminal saraf simpatis yang mempersarafi jaringan
adiposa. Norepinefrin akan berikatan dengan reseptor adrenergik-β3 pada sel-sel lemak dan
menyebabkan peningkatan metabolisme asam lemak dengan penghamburan energi panas.

Disfungsi sistem leptin memainkan peranan dalam obesitas manusia. Mayoritas pasien
obesitas memiliki kadar leptin plasma yang tinggi dan keadaan ini menunjukkan asanya bentuk
tertentu resistensi leptin
Obesitas
Posted on May 24, 2011 by citradianp

OBESITAS

Obesitas adalah keadaan kesehatan dan status gizi dengan akumulasi lemak tubuh berlebih disertai resiko
kelainan patologis yang multi organ. Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai
dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
Etiologi Penyakit
Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh
faktor eksogen/nutrisional (obesitas primer) sedangkan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat kelainan
hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10%. Penyebabobesitas belum diketahui secara pasti.
Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh
karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan
nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Hidayati, dkk 2002).

1. Faktor Genetik .

Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya
menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua
tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Hipotesis Barker menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi
intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan terhadap
pemrograman janin dengan pengaruh diet dan stress lingkungan yang merupakan predisposisi timbulnya
berbagai penyakit dikemudian hari. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting
metabolic rate,thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek.
Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan
ekspresi fenotipe (Hidayati, dkk 2002)..

1. Faktor lingkungan

1. Aktifitas fisik.
Aktifitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy
expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan
kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan
sebesar = 5 kg. Penelitian di Jepang menunjukkan risiko obesitas yang rendah (OR:0,48) pada kelompok yang
mempunyai kebiasaan olah raga, sedang penelitian di Amerika menunjukkan penurunan berat badan dengan
jogging (OR: 0,57), aerobik (OR: 0,59), tetapi untuk olah raga tim dan tenis tidak menunjukkan penurunan berat
badan yang signifikan. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama
menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih
besar dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya (Hidayati, dkk 2002).
2. Faktor nutrisional
Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi
dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh waktu pertama kali
mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi
makanan yang mengandung energi tinggi. Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok
dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan
asupan rendah lemak. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko
obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih
besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil dibandingkan
makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang
lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Selain itu
kapasitas penyimpanan makronutrien juga menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas
penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan metabolisme asam amino di regulasi dengan
ketat, sehingga bila intake protein berlebihan dapat dipastikan akan di oksidasi; sedang karbohidrat mempunyai
kapasitas penyimpanan dalam bentuk glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi karbohidrat di
regulasi sangat ketat dan cepat, sehingga perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan asupan
karbohidrat. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan
yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96%
lemak akan disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, dkk 2002)..
3. Faktor sosial ekonomi.
Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan
mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa
beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik,
seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan
rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain
komputer / games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan
harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas (Hidayati, dkk 2002).
Patofisiologi Obesitas
Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan
keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional
(90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik
(meliputi 10%) (Satoto,ddk 1998).
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis yaitu pengendalian
rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam
pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah
mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat
anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal
panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor
distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator
dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang
mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi (Satoto,ddk 1998).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan
peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di
hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide–Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan.
Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa
berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu
makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak
menyebabkan penurunan nafsu makan. Bagan patofisiologi obesitas dapat dilihat pada gambar 2.
Tanda dan Gejala
Secara klinis obesitas dengan mudah dapat dikenali karena mempunyai tanda dan gejala yang khas, antara lain
wajah membulat, pipi yang tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang membusung dengan
payudara yang membesar mengandung jaringan lemak, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-
lipat serta kedua tungkai umumnya berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menepel dan
bergesekan akibatnya menyebabkan laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau kurang sedap. Pada
anak lelaki penis nampak kecil karena tersembungi dalam jaringan lemak suprapubik (burried penis), hal yang
sering kali menyebabkan orang tua menjadi sangat khawatir dan segera membawanya ke dokter (Hidayati, dkk
2002).
Bentuk fisik obesitas dibedakan menurut distribusi lemak yang lebih banyak dibagian atas tubuh (dada dan
pinggang) maka disebut apple shape body (android), dan bila banyak lemak dibagian bawah tubuh (pinggul dan
paha) disebut pear shape body(gynoid). Bentuk yang pertengahan adalah intermediate. Apple shape cenderung
beresiko lebih besar mengalami penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes dibandingkan pear
shape (Hidayati, dkk 2002).
Walaupun demikian pengukuran yang lebih obyektif tetap diperlukan, selain untuk memastikan diagnosis,
penting untuk pemantauan hasil terapi. Pengukuran antara lain dengan pengukuran antropometri dan laboratorik,
sedangkan hasil analisis diet untuk menilai masukan makanan biasanya kurang akurat (Nazar,2002).
Penentuan obesitas atas dasar antropometri, pada umumnya sebagai berikut (Nazar,2002 ) :

1. Hanya mengukur berat badan (BB) dan hasilnya dibandingkan dengan standar, yakni bila BB>120%
disebut obesitas sedangkan antara 110-120% disebutoverweight.
2. Berat badan juga dihubungkan dengan tinggi badan (TB), selain mencerminakan proporsi atau
penampilan (BB/TB), juga memberikan gambaran tentang massa tubuh tanpa lemak (lean body mass)
dengan cara menghitung BMI (body mass index) yaitu BB/TB².

Tabel 1 Klasifikasi obesitas berdasarkan hasil pengukuran BB/TB²


Kategori BB/TB² (kg/m2)
Normal 18,5 – 22,9
Underweight < 18,5
Overweight ≥ 23
At risk 23,0 – 24,9
Obese I 25,0 – 29,9
Obese II ≥ 30

1. Mengukur langsung banyaknya lemak subkutis dengan pengukuran tebal lipatan kulit (TLK = skinfold
thickness). TLK triseps merupakan indeks yang lebih baik daripada BB/TB dalam menentukan
kelebihan lemak tubuh dan TLK trisep diatas sentil ke-85 merupakan indicator adanya obesitas.
2. Mengatur masa lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometi, spektrometri sinar gamma
dan sebagainya.

Pengobatan, Perawatan dan Pencegahan


Pencegahan obesitas ada tiga tahapan. Pertama, pencegahan primer bertujuan mencegah terjadinya obesitas.
Kedua, pencegahan sekunder bertujuan menurunkan prevalensi obesitas. Ketiga, pencegahan tertier bertujuan
mengurangi dampak obesitas. Pencegahan primer dilakukan menggunakan dua strategi pendekatan yaitu
pendekatan populasi untuk mempromosikan cara hidup sehat pada semua anak dan remaja beserta orang
tuanya, serta pendekatan pada kelompok yang berisiko tinggi menjadi obesitas. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan di pusat kesehatan masyarakat (Hidayati, dkk 2002).
Pencegahan sekunder dan tersier lebih dikenal sebagai tata laksana obesitas serta dampaknya. Prinsip dari tata
laksana obesitas pada anak berbeda dengan dewasa karena harus mempertimbangkan faktor tumbuh-kembang.
Caranya dengan pengaturan diet, bukan mengurangi jumlah asupan makanan tetapi dengan mengatur
komposisi makanan menjadi menu sehat. Antara lain peningkatan aktivitas fisik, misalnya dengan membatasi
aktivitas pasif, seperti menonton televisi atau bermain komputer dan play stations, mengubah pola hidup
(modifikasi perilaku) menjadi pola hidup sehat, baik dalam mengkonsumsi makanan maupun dalam beraktivitas.
Perubahan tersebut sebaiknya melibatkan seluruh keuarga, sehingga tidak dirasa sebagai hukuman atau
pengucilan bagi si anak (Hidayati, dkk 2002).
Kebutuhan energi dihitung berdasarkan Berat Badan ideal menurut Tinggi badan saat itu dikalikan dengan
kebutuhan energy menurut kelompok umur. Kebutuhan karbohidrat 50-60%, lemak 20-30% dan protein 15-30%.
Kebutuhan serat harus dipenuhi karena serat dapat memberikan rasa kenyang sehingga densitas energi
menurun. Penelitian Fisher et al mendapatkan bahwa kebiasaan makan sayur dan buah pada orang tua akan
diikuti oleh anaknya sehingga pada anak yang orang tuanya mengkonsumsi sayur dan buah asupan zat gizi
mikro terpenuhi dan asupan lemak berkurang. Ada lima hal yang perlu diperhatikan sebelum terapi obesitas
dilakukan yaitu :

1. Motivasi yang kuat dari pasien sendiri untuk mengatasi permasalahan obesitasnya
2. Dukungan orangtua atau orang yang dicintainya
3. Informasi yang benar tentang diet dan exercise
4. Diet rendah kalori gizi seimbang dan
5. Olahraga aerobic menurut kondisi pasien dan penyakitnya.

Dalam melaksanakan diet rendah kalori, pengeluaran energi harus lebih tinggi daripada asupannya agar berat
badan dapat menurun. Salah satu cara untuk menentukan preskripsi energi adalah dengan menghitung
kebutuhan energi setiap hari dan kemudian menguranginya sebanyak 500-700 kalori. Dalam menerapkan diet
rendah kalori, kita harus ingat bahwa menurunkan jumlah kalori dalam makanan tidak selalu identik dengan
pengurangan jumlah makanan tetapi lebih banyak berhubungan dengan manipulasi jenis-jenis makanannya
sementara proporsi gizi lainnya seperti protein. Lemak esensial, vitamin-mineral, dan air harus tetap seimbang
(sesuai dengan kebutuhannya). Makanan khususnya cemilan, yang tepat bagi penyandang obesitas harus
memiliki kalori yang rendah dengan indeks kekenyangan yang tinggi seperti havermut, kentang, ikan dan jeruk
(Budiwiarti YE 2005).
Diet rendah kalori yang ketat mungkin sulit diikuti disamping tidak begitu berhasil dalam menimbulkan perubahan
berat yang permanen. Perubahan gaya hidup seperti mengubah komposisi lemak dalam makanan dan
meningkatkan aktivitas sehari-hari memperlihatkan kemungkinan yang lebih besar bagi pasien untuk dapat
mengubah simpanan lemak tubuhnya secara permanen. Keberhasilan ini juga tergantung pada dukungan
seluruh keluarga dan bukan hanya pada target yang harus dicapai pasien dalam mengubah gaya hidupnya
(Budiwiarti YE 2005).
2. Kelainan neurogenik
Lesi pada nukleus ventromedial hipotalamus pada binatang dapat menyebabkan
obesitas, namun pada kebanyakan penderita obese tidak mengalami hal ini. Yang
dijumpai pada penderita obese umumnya adalah abnormalitas neurotransmitter di
hipotalamus yakni peningkatan oreksigenik, seperti neuropeptida Y (NPY), dan
penurunan anoreksigenik, seperti leptin dan α-MSH (Flier et al, 2007).

Anda mungkin juga menyukai