Laporan Penelitian
Laporan Penelitian
PENDAHULUAN
populasi umum. Sedangkan angka populasi yang lebih besar diantara pasien-
pasien dalam dunia medis bervariasi antara 17%-27% tergantung kriteria
diagnostik yang digunakan. Kecemasan pada pasien operasi banyak terjadi,
didapatkan bahwa sekitar 80% pasien pre operatif mengalami kecemasan
(Mardini, 2014).
Menurut penelitian Sandra (2004) dengan judul tingkat kecemasan pasien
dalam menghadapi rencana pembedahan di tinjau dari tingkat pendidikan, umur,
dan jenis kelamin di Ruang B2 (Seruni) RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dengan
hasil pasien yang mengalami tingkat kecemasan ringan 7,5%, sedang 60%, berat
60% dan panik 12,5% (Kasana, 2014). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Mulyani dalam Endang & Agus (2008), menunjukkan yang mengalami
kecemasan ringan (52,5%) dan kecemasan sedang (47,5%) dari 40 pasien klien
rawat inap di ruang penyakit bedah dan non bedah. Pada penelitian Aulele (2010)
bahwa dari 35 responden pasien pre operatif di Kamar Operasi Rumah Sakit
Imanuel Bandar Lampung diperoleh hasil pasien yang mengalami tidak
kecemasan sebanyak 14 orang, kecemasan ringan sebanyak 13 orang, kecemasan
sedang 5 orang, dan kecemasan berat sebanyak 3 orang (Rafsanjani, 2015).
Penelitian Rahmayati dan Handayani (2016) menyimpulkan bahwa terapi
psikoreligius lebih efektif menurunkan kecemasan dibandingkan dengan terapi
musik klasik Mozart dengan pengukuran menggunakan ZSRAS (Zung Self Anxiety
Rating Scale). Kecemasan yang muncul pada pasien pre operatif umumnya
disebabkan oleh kekhawatiran akan tindakan pembiusan, suasana kamar operasi
dengan berbagai peralatan, nyeri, risiko kecacatan atau kematian meskipun pasien
telah diberikan penjelasan pada saat inform concent dan penandatanganan surat
izin operasi.
Penatalaksanaan kecemasan terbagi menjadi farmakologi, pendekatan
suportif dan psikoterapi. Dari beberapa penelitian didapat bahwa penatalakasaan
nonfarmakologis dapat menurunkan kecemasan diantaranya: terapi musik dapat
menurunkan kecemasan (Ferawati, 2015), terapi relaksasi napas dalam dapat
menurunkan tingkat kecemasan (Istikomah & Murwati, 2016), terapi imajinasi
terbimbing dapat menurunkan tingkat kecemasan (Sarsito, 2015) dan terapi humor
dapat menurunkan tingkat kecemasan (Deliyani, Majudin & Adiningsih, 2015).
3
Tehnik relaksasi yang biasa digunakan adalah relaksasi otot (relaksasi otot
progresif, rendam air hangat, tarik nafas dalam), relaksasi dengan imajinasi
terbimbing, dan respon relaksasi dari Benson (Smeltzer & Bare, 2002 dalam
Setyaningrum, 2015). Berdasarkan penelitian Andi dan Yuwanto (2014), tentang
pengaruh hidroterapi (rendam kaki air hangat) terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada lansia di Desa Sumbersari Kecamatan Maesan Kabupaten
Bondowoso didapatkan hasil bahwa ada pengaruh hidroterapi (rendam air hangat)
terhadap penurunan tingkat kecemasan pada lansia yang ditunjukan dengan nilai
p = 0,021. P < α yaitu 0,021 < 0,05 sehingga Ho ditolak .
Sementara Margaret dan Edward (2010), meneliti tentang pengaruh
hidroterapi pada kecemasan, nyeri, respon neuroendrokin, dan kontraksi dinamik
selama proses persalinan. Metode ini dilakukan kepada sebelas wanita (rata – rata
berumur 24,5 tahun) pada persalinan spotan yang direndam sampai xifoideus
dalam suhu 37 oC selama 1 jam. Hidroterapi terkait dengan penurunan kecemasan,
vasopresin, dan tingkat oksitosin pada 15 dan 45 menit. Penurunan nyeri
berkurang lebih untuk wanita dengan nyeri awal yang tinggi dibandingkan wanita
dengan tingkat nyeri awal yang rendah pada 15 dan 45 menit.
Pemberian informasi pre operatif merupakan prosedur rutin dan menjadi
bagian dari standar prosedur operasional pasien pre operatif sehingga semua
pasien yang akan dilakukan pembedahan wajib diberikan informasi dan diberi
kesempatan meminta penjelasan sampai jelas oleh dokter penanggung jawab
dengan disaksikan oleh perawat. Namun pada kenyataannya pada beberapa
pasien, jika hanya pemberian informasi pre operatif saja belum mampu
menghilangkan kecemasan pasien. Dengan data di atas diketahui bahwa beberapa
penatalaksanaan kecemasan non farmakologis sudah pernah diteliti sebelumnya
yang memiliki dampak positif berupa penurunan kecemasan, namun belum
ditemukan terapi manakah yang paling efektif untuk menurunkan kecemasan
diantara terapi-terapi tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang analisis efektifitas pengaruh terapi humor,
aromaterapi lavender, terapi relaksasi progresif, terapi psikoreligius atau rendam
kaki air hangat terhadap penurunan kecemasan pasien pre operatif.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecemasan
2.1.1 Pengertian dan Batasan Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami
gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau tidak
mengalami keretakan kepribadian normal (Hawari, 2008). Hal tersebut dapat
merupakan perasaan yang ditekan kedalam bawah alam sadar bila terjadi
peningkatan akan adanya bahaya dari dalam. Kecemasan bukanlah suatu panyakit
melainkan suatu gejala. Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau
kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam
merespon ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpajan pada peristiwa
traumatik yang dialami individu yang mengalami, menyaksikan atau menghadapi
satu atau beberapa peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau ancaman
kematian atau cidera serius atau ancaman fisik diri sendiri (Doengoes, 2006).
Kecemasan adalah respon subjektif terhadap stres, ciri-ciri kecemasan
adalah keperihatinan, kesulitan, ketidakpastian atau ketakutan yang terjadi akibat
ancaman yang nyata atau dirasakan (Isaacs, 2004). Ketika merasa cemas, individu
merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa
malapetaka. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus
kecemasan. Kecemasan merupakan alat peringatan internal yang memberikan
tanda bahaya kepada individu. Menurut Freud dalam Fahmi (2015), kecemasan
merupakan suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai
dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan
datang. Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk
dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Tomb, 2003 dalam
Fahmi, 2015).
6
2.2 Aromaterapi
Minyak atsiri merupakan komponen utama aromaterapi yang langsung
memberikan efek terhadap badan. Minyak atsiri adalah penyembuh yang kuat
(powerful healing agent). Minyak ini sangat pekat dan berkekuatan sangat besar
dalam menyembuhkan. Oleg karena itu dianjurkan agar penggunaanya dalam
jumlah kecil saja. Pengenceran biasanya dilakukan antara 0,05-3%, tergantung
jenis minyaknya. Minyak atsiri, agar bisa memberikan efek kesembuhannya harus
dikenakan pada badan manusia. Dalam hal ini berbagai cara untuk melakukannya.
Dalam aromaterapi, minyak atsiri masuk ke dalam badan melalui tiga jalan
utama yaitu, ingesti, olfaksi, dan inhalasi, selain itu dapat juga absorbsi melalui
kulit. Dibandingkan dengan kedua cara lainnya inhalasi merupakan cara yang
paling banyak digunakan, meskipun aplikasi topikal juga tidak kalah pentingnya.
10
2.2.1 Ingesti
Yang dimaksud dengan masuknya minyak atsiri ke dalam badan dengan
cara ingesti adalah melalui mulut dan kemudian ke saluran pencernaan. Ingesti
merupakan cara aplikasi utama minyak atsiri ke dalam badan oleh aromatolog dan
para dokter di Perancis. Cara ini belum banyak digunakan oleh aromaterapis di
negara-negara lain.
Ada berbagai metode ingesti, di antaranya adalah per os, yaitu memasukkan
minyak atsiri, tepatnya larutan minyak atsiri, ke dalam badan melalui mulut.
Untuk itu haruslah diketahui betul sifat dan cara pemakaian minyak atsiri yang
akan digunakan, terutama dosis dan toksisitasnya.
Minyak atsiri yang digunakan dalam cara ini harus dalam keadaan terlarut.
Para aromatolog biasanya menggunakan alkohol dan madu atau minyak lemak
sebagai pelarutnya. Dosisinya 3 tetes, tiga kali sehari dengan penggunaan
maksimal 3 minggu. Yang perlu diwaspadai, ingesti secara kontinu untuk waktu
yang lama akan menyebabkan keracunan yang disebabkan oleh adanya
penumpukan minyak tersebut dalam hati. Oleh karena itu setelah
menggunakannya selama tiga minggu, orang harus berhenti meminumnya selama
beberapa hari supaya hati dapat menetralisir racun (detoksikasi) yang menumpuk
terlebih dahulu.
muncul dari sel-sel reseptor. Ketika molekul-molekul itu menempel pada rambut-
rambut tersebut, suatu pesan elektrokimia akan ditransmisikan melalui bola dan
saluran olfactory ke dalam sistem limbik. Hal ini akan merangsang memori dan
respon emosional. Hipotalamus berperan sebagai relak dan regulator,
memunculkan pesan-pesan yang harus disampaikan ke bagian lain otak serta
bagian badan yang lain. Pesan yang diterima itu kemudian diubah menjadi
tindakan yang berupa pelepasan senyawa elektrokimia yang menyebabkan
euphoria, relaks, atau sedative. System limbik ini terutama digunakan dalam
ekspresi emosi.
Apabila seseorang menghirup uap, molekul-molekul uap itu akan
melakukan perjalanan ke arah paru-paru, bila molekul-molekul itu mempunyai
aktivitas menghilangkan kesukaran dalam bernafas, maka dia akan melakukan
tugasnya disitu. Endothelium hidung itu tipis, terletak dekat dengan otak, oleh
karena itu ketika molekul minyak atsiri dihirup, ketika uap berada dalam rongga
hidung, uap itu juga akan segera berefek pada saraf sekitarnya, termasuk otak.
Dalam perjalanan ke paru-paru, molekul-molekul itu akan diaborbsi oleh
lapisan membran mukosa dari jalan nafas dan bronchi serta bronchioli. Ketika
sampai pada tempat pertukaran gas dalam alveoli, molekul-molekul itu ditransfer
ke dalam darah yang bersirkulasi dalam paru-paru. Jadi minyak atsiri dapat
sampai pada peredaran darah bila dihisap melalui hidung. Bila minyak atsiri
dihisap dengan tarikan nafas ke dalam badan pun akan menjadi lebih banyak.
Inhalasi dilakukan dengan berbagai cara seperti:
a. Dengan bantuan botol semprot
Botol semprot biasa digunakan untuk menghiangkan udara yang berbau
kurang enak pada kamar pasien. Minyak atsiri yang biasa digunakan adalah
minyak pinus sylvestris, Thymus vulgaris, Syzigum aromaticum, Eucalyptus
smithii, dan Mentha piperita. Dengan dosis 10-12 tetes dalam 250 ml air,
setelah dikocok kuat-kuat terlebih dahulu, kemudian disemprotkan ke kamar
pasien.
b. Dihirup melalui tissue/masker
Inhalasi dari kertas tissue/masker yang mengandung minyak atsiri 5-6 tetes
(3 tetes pada anak kecil, orang tua tau wanita hamil) sangat efektif bila
12
dibutuhkan hasil yang cepat, dengan 2-3 tarikan nafas dalam-dalam. Untuk
mendapatkan efek yang panjang tissue dapat diletakkan di dada sehingga
minyak atsiri yang menguap akibat panas badan tetap terhirup oleh nafas
pasien.
c. Dihisap melalui telapak tangan
Inhalasi dengan menggunakan telapak tangan merupakan metode yang baik,
tetapi sebaiknya hanya dilakukan oleh orang dewasa saja. Satu tetes minyak
atsiri diteteskan pada telapak tangan yang kemudian ditelangkupkan,
digosokkan satu sama lain dan kemudian ditutupkan ke hidung. Mata pasien
sebaiknya dipejamkan saat melakukan hal ini. Pasien dianjurkan untuk
menark nafas dalam-dalam. Cara ini sering dilakukan untuk mengatasi
kesukaran dalam pernafasan atau kondisi stress.
d. Penguapan
Cara ini digunakan untuk mengatasi problem respirasi dan masuk angin.
Untuk kebutuhan ini dibutuhkan suatu wadah dengan air panas yang ke
dalamnya diteteskan minyak atsiri sebanyak 4 tetes, atau 2 tetes untuk anak-
anak dan wanita hamil. Kepala pasien menelungkup di atas wadah dan
disungkup dengan handuk sehingga tidak ada uap yang keluar dan pasien
dapat menghirupnya secara maksimal. Selama penanganan, pasien diminta
untuk menutup matanya. Untuk mengobatu pasien asmatik hanya digunakan
1 tetes karena bila terlalu banyak dapat menyebabkan tersedak.
atau inflamasi dan penyakit jantung berat atau akut. Latihan relaksasi otot
progresif juga tidak dilakukan pada bagian otot yamg sakit.
lancar
h. Bimbing pasien untuk mengepalkan telapak tangan dan
mengencangkan otot bisep selama 5-7 detik, kemudian rileksasikan selama
20-30 detik. Pasien diminta untuk merasakan rileksnya dan merasakan
aliran darah mengalir semakin lancar.
i. Bimbing pasien untuk mengencangkan betis dengan cara ibu jari ditarik ke
belakang bisep selama 5-7 detik, kemudian relaksasikan selama 20-30
detik. Pasien diminta untuk merasakan rileksnyadan rasakan aliran darah
mengalir dengan lancar.
Respon fisiologi yg
mengganggu fungsi
Kecemasan : tubuh : TD ↑,
Ancaman terhadap
ringan, sedang, Nadi↑,
integritas biologi ;
berat, panik Pernafasan↑, fokus
rencana pembedahan
menyempit↑
Dipengaruhi oleh :
potensi stressor,
maturasi (kematangan)
individu, status
pendidikan dan status Mengganggu
ekonomi, tingkat proses operasi;
pengetahuan, keadaan pembatalan, pe↑
fisik, tipe kepribadian, nyeri, gangguan
sosial budaya, hemodinamik
lingkungan atau
situasi, usia dan jenis
kelamin.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
BAB IV
METODE PENELITIAN
Skema 3.1
Desain Penelitian
A1 INTERVENSI A2 A3
elektif tanpa pembatasan jenis kasus. Selain itu, pada penelitian ini setelah uji
bivariat akan dilakukan uji multivariat dengan memperhatikan faktor konfonding
pada subyek penelitian. Pada akhirnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih terhadap alternatif tindakan mandiri keperawatan dalam
mengatasi kecemasan pasien preoperatif secara non farmakologis.
Penjelasan bagaimana penelitian akan dilakukan dapat dilihat dari
rancangan penelitian yang disusun oleh peneliti mulai dari pemilihan populasi dan
sampel, pengelompokan dan perlakuan yang akan diberikan hingga pada variabel
yang akan diukur. Rancangan penelitian ini digambarkan dalam skema kerangka
konsep penelitian berikut ini:
Skema 2.3
Kerangka Konsep
POPULASI
Pasien Pre Operatif di RS
Purposive
Sampling
SAMPEL
Sebagian dari populasi yang
memenuhi kriteria inklusi
Variabel Konfonding
Usia, Pendidikan, Jenis Kelamin, Pengalaman
Operasi
21
c. Kesadaran komposmentis
d. Tidak mengalami gangguan mental/ patologis kejiwaan
e. Dapat membaca dan menulis
Tabel 3.1
Definisi Operasional
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian pada table 4.1 diketahui bahwa jumlah jenis
kelamin laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 30 orang (50%).
b. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil distribusi
responden berdasarkan pendidikan sebagai berikut :
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan pendidikan di RSUD
Dr. H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017
Pendidikan Frequency Percent (%)
SD 38 63.3
SMP 2 3.3
SMA 20 33.3
Total 60 100
30
Berdasarkan hasil penelitian pada table 4.4 diketahui rata-rata skor sebelum
intervensi 7.67, skor sesudah intervensi 4.05 dan skor sebelum operasi 4.20.
e. Analisis Bivariat
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil analisa
bivariat sebagai berikut :
Tabel 4.5 Hasil Uji Analisis skor sebelum intervensi dan skor
sesudah intervensi di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung Tahun 2017
Standar
Variabel Mean n ρ value
Devisasi
Skor Sebelum
7.67 7.890 60
Intervensi
.000
Skor Sesudah
4.05 5.806 60
Intervensi
32
Tabel 4.6 Hasil Uji Analisis skor sesudah intervensi dengan skor
sebelum operasi dengan menggunakan uji T-test di RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017
Standar
Variabel Mean n ρ value
Devisasi
Skor Sesudah
4.05 5.806 60
Intervensi
.732
Skor Sebelum
4.20 5.141 60
Operasi
4.1.2 Pembahasan
Hasil analisis data rata-rata skor kecemasan sebelum intervensi 7.67, skor
sesudah intervensi 4.05. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rata-rata skor
kecemasan. Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau
tidak mengalami keretakan kepribadian normal (Hawari, 2008).
Operasi atau tindakan medis pada umumnya menimbulkan rasa takut pada
pasien. Kecemasan preoperatif secara umum akan dialami oleh pasien setelah
mengetahui dirinya dijadwalkan untuk menjalani prosedur pembiusan atau
prosedur bedah dan akan terus meningkat sampai saat masuk rumah sakit.
Tingkat pendidikan, jenis kelamin dan umur pasien juga mempengaruhi
kecemasan yang dialami pasien sebelum tindakan operasi. Pada penelitian ini
sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah SD sebanyak 38 responden
33
yang secara tidak langsung mengikuti perintah untuk melakukan teknik relaksasi
progresif.
Teknik relaksasi progresif ini sendiri dapat digunakan untuk mengurangi
kecemasan, karena dapat menekan saraf simpatis di mana dapat menekan rasa
tegang yang dialami oleh individu secara timbal balik, sehingga timbul counter
conditioning (penghilangan). Relaksasi diciptakan setelah mempelajari sistem
kerja saraf manusia, yang terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom.
Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Sistem saraf simpatis
lebih banyak aktif ketika tubuh membutuhkan energi. Misalnya pada saat terkejut,
takut, cemas atau berada dalam keadaan tegang. Pada kondisi seperti ini, sistem
saraf akan memacu aliran darah ke otot-otot skeletal, meningkatkan detak jantung,
kadar gula dan ketegangan menyebabkan serabut-serabut otot kontraksi,
mengecil dan menciut. Sebaliknya, relaksasi otot berjalan bersamaan dengan
respon otonom dari saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis mengontrol
aktivitas yang berlangsung selama penenangan tubuh, misalnya penurunan denyut
jantung setelah fase ketegangan dan menaikkan aliran darah ke sistem
gastrointestinal (Ramadani & Putra, 2009) sehingga kecemasan akan berkurang
dengan dilakukannya relaksasi progresif.
Selain pemberian terapi lavender dan relaksi otot progresif, penelitian ini
juga menggunakan terapi guide imagery, dimana terapi guide imagery ini
menggunakan pikiran responden dengan menggerakkan tubuh untuk berfikir
menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi
dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan,
dan pendengaran (Potter & Perry, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adanya penurunan skor kecemasan dengan pemberian aromaterapi lavender,
relaksi progresif dan terapi guide imagery, hal ini mungkin terjadi dikarekan
selain indra penciuman yang telah memberikan rangsangan memori dan respon
emosional, responden secara alami mengikuti perintah dengan audio untuk
melakukan teknik relaksasi progresif dan guide imagery. Sehingga untuk
membuat kecemasan klien berkurang, selain menggunakan aromaterapi lavender
peneliti menggunakan teknik relaksasi otot progresif untuk merelaksasikan otot-
35
otot klien, kemudian menggukan guide imagery agar klien tenang, dengan
menggabungkan 3 teknik ini secara tidak langsung klien akan rileks secara pikiran
dan fisik.
Hasil rata-rata skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806
dan rata-rata sebelum operasi 4.20 dengan standar devisasi 5.141. Analisis uji
dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ value .732 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil tidak bermakna. Terjadinya peningkatan skor kecemasan
sebelum operasi juga diikuti dengan adanya perubahan nilai tanda-tanda vital
yang diukur sebelum operasi. Rata-rata pernapasan sesudah intervensi 80,68
x/menit menjadi 81,85x/menit pada sebelum operasi dan rata-rata pernapasan
sesudah intervensi 20,30 x/menit menjadi 20,32 x/menit pada sebelum operasi.
Sedangkan pada rata-rata tekanan darah sesudah intervensi 124,42/82,17 mmHg
menjadi 123,50/82,50 mmHg pada sebelum operasi. Hal ini mungkin terjadi
dikarenakan kurang efektifnya pemberian terapi yang dilakukan pada satu hari
sebelumnya dan tidak dilanjutkan pada saat sebelum operasi akan dilaksanakan.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Mansjoer, 2007 bahwa secara
umum kecemasan pasien sehari sebelum tindakan medik operasi akan meningkat
dan semakin meningkat sesaat menjelang tindakan medik operasi. Sehingga perlu
dilakukan intervensi ulang pada saat sebelum operasi.
36
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan dalam
bab sebelumnya pada penelitian ini, peneliti menyimpulkan hasil penelitian
sebagai berikut:
6.1.1 Rata-rata skor sebelum intervensi 7.67 dengan standar devisasi 7.890 dan
skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806. Analisis uji
dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ value 0.000 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil bermakna.
6.1.2 Rata-rata skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806 dan
rata-rata sebelum operasi 4.20 dengan standar devisasi 5.141. Analisis uji
dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ value .732 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil tidak bermakna.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut peneliti menyarankan:
6.2.1 Terapi aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided imagery dapat
dijadikan standar intervensi dalam diagnosa keperawatan kecemasan pasien
pre operatif oleh perawat di RSUD dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung.
6.2.2 Terapi aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided imagery dapat
diajarkan kepada mahasiswa keperawatan sebagai tindakan untuk mengatasi
kecemasan pasien pre operatif.