Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terancana pada tubuh
terdiri dari tiga fase: pre operatif, intraoperatif, dan pascaoperatif (Kozier, Erb,
Berman & Snyder, 2011, hlm. 360). Menurut Muttaqin dan Sari, (2009) prosedur
pembedahan akan memberikan suatu reaksi emosional bagi pasien. Kecemasan
pre operatif merupakan suatu respon antisipasi terhadap pengalaman yang dapat
dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas
tubuh, atau bahkan kehidupan itu sendiri (Liza, Suryani, & Meikawati, 2014).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart, 2006, hlm. 144).
Kecemasan adalah satu kondisi kegelisahan mental, keprihatinan, ketakutan, atau
firasat atau perasaan putus asa karena ancaman yang akan terjadi atau ancaman
antisipasi yang tidak dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri atau terhadap
hubungan yang bermakna (Kozier, 2011, hlm. 525).
Keadaan cemas pasien akan berpengaruh kepada fungsi tubuh menjelang
operasi. Kecemasan yang tinggi, dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh
yang ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi nadi dan respirasi, pergeseran
tekanan darah dan suhu, relaksasi otot polos pada kandung kemih dan usus, kulit
dingin dan lembab, peningkatan respirasi, dilatasi pupil, dan mulut kering.
Kondisi ini sangat membahayakan kondisi pasien, sehingga dapat dibatalkan atau
ditundanya suatu operasi. Akibat lainnya, lama perawatan pasien akan semakin
lama dan menimbulkan masalah finansial. Maka, perawat harus mampu mengatasi
kecemasan pada pasien, sehingga kecemasan tersebut dapat dikurangi secara
efektif (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Putri, Kristiyawati & Arif, 2014).
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2007, Amerika
Serikat menganalisis data dari 35.539 klien operasi dirawat di unit perawatan
intensif antara 1 Oktober 2003 sampai 30 September 2006, sebanyak 8.922 klien
(25,1%) mengalami kondisi kejiwaan dan 2.473 klien (7%) mengalami kecemasan
(Safitri, 2015). Di Indonesia prevalensi kecemasan diperkirakan berkisar 9%-21%
2

populasi umum. Sedangkan angka populasi yang lebih besar diantara pasien-
pasien dalam dunia medis bervariasi antara 17%-27% tergantung kriteria
diagnostik yang digunakan. Kecemasan pada pasien operasi banyak terjadi,
didapatkan bahwa sekitar 80% pasien pre operatif mengalami kecemasan
(Mardini, 2014).
Menurut penelitian Sandra (2004) dengan judul tingkat kecemasan pasien
dalam menghadapi rencana pembedahan di tinjau dari tingkat pendidikan, umur,
dan jenis kelamin di Ruang B2 (Seruni) RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu dengan
hasil pasien yang mengalami tingkat kecemasan ringan 7,5%, sedang 60%, berat
60% dan panik 12,5% (Kasana, 2014). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Mulyani dalam Endang & Agus (2008), menunjukkan yang mengalami
kecemasan ringan (52,5%) dan kecemasan sedang (47,5%) dari 40 pasien klien
rawat inap di ruang penyakit bedah dan non bedah. Pada penelitian Aulele (2010)
bahwa dari 35 responden pasien pre operatif di Kamar Operasi Rumah Sakit
Imanuel Bandar Lampung diperoleh hasil pasien yang mengalami tidak
kecemasan sebanyak 14 orang, kecemasan ringan sebanyak 13 orang, kecemasan
sedang 5 orang, dan kecemasan berat sebanyak 3 orang (Rafsanjani, 2015).
Penelitian Rahmayati dan Handayani (2016) menyimpulkan bahwa terapi
psikoreligius lebih efektif menurunkan kecemasan dibandingkan dengan terapi
musik klasik Mozart dengan pengukuran menggunakan ZSRAS (Zung Self Anxiety
Rating Scale). Kecemasan yang muncul pada pasien pre operatif umumnya
disebabkan oleh kekhawatiran akan tindakan pembiusan, suasana kamar operasi
dengan berbagai peralatan, nyeri, risiko kecacatan atau kematian meskipun pasien
telah diberikan penjelasan pada saat inform concent dan penandatanganan surat
izin operasi.
Penatalaksanaan kecemasan terbagi menjadi farmakologi, pendekatan
suportif dan psikoterapi. Dari beberapa penelitian didapat bahwa penatalakasaan
nonfarmakologis dapat menurunkan kecemasan diantaranya: terapi musik dapat
menurunkan kecemasan (Ferawati, 2015), terapi relaksasi napas dalam dapat
menurunkan tingkat kecemasan (Istikomah & Murwati, 2016), terapi imajinasi
terbimbing dapat menurunkan tingkat kecemasan (Sarsito, 2015) dan terapi humor
dapat menurunkan tingkat kecemasan (Deliyani, Majudin & Adiningsih, 2015).
3

Tehnik relaksasi yang biasa digunakan adalah relaksasi otot (relaksasi otot
progresif, rendam air hangat, tarik nafas dalam), relaksasi dengan imajinasi
terbimbing, dan respon relaksasi dari Benson (Smeltzer & Bare, 2002 dalam
Setyaningrum, 2015). Berdasarkan penelitian Andi dan Yuwanto (2014), tentang
pengaruh hidroterapi (rendam kaki air hangat) terhadap penurunan tingkat
kecemasan pada lansia di Desa Sumbersari Kecamatan Maesan Kabupaten
Bondowoso didapatkan hasil bahwa ada pengaruh hidroterapi (rendam air hangat)
terhadap penurunan tingkat kecemasan pada lansia yang ditunjukan dengan nilai
p = 0,021. P < α yaitu 0,021 < 0,05 sehingga Ho ditolak .
Sementara Margaret dan Edward (2010), meneliti tentang pengaruh
hidroterapi pada kecemasan, nyeri, respon neuroendrokin, dan kontraksi dinamik
selama proses persalinan. Metode ini dilakukan kepada sebelas wanita (rata – rata
berumur 24,5 tahun) pada persalinan spotan yang direndam sampai xifoideus
dalam suhu 37 oC selama 1 jam. Hidroterapi terkait dengan penurunan kecemasan,
vasopresin, dan tingkat oksitosin pada 15 dan 45 menit. Penurunan nyeri
berkurang lebih untuk wanita dengan nyeri awal yang tinggi dibandingkan wanita
dengan tingkat nyeri awal yang rendah pada 15 dan 45 menit.
Pemberian informasi pre operatif merupakan prosedur rutin dan menjadi
bagian dari standar prosedur operasional pasien pre operatif sehingga semua
pasien yang akan dilakukan pembedahan wajib diberikan informasi dan diberi
kesempatan meminta penjelasan sampai jelas oleh dokter penanggung jawab
dengan disaksikan oleh perawat. Namun pada kenyataannya pada beberapa
pasien, jika hanya pemberian informasi pre operatif saja belum mampu
menghilangkan kecemasan pasien. Dengan data di atas diketahui bahwa beberapa
penatalaksanaan kecemasan non farmakologis sudah pernah diteliti sebelumnya
yang memiliki dampak positif berupa penurunan kecemasan, namun belum
ditemukan terapi manakah yang paling efektif untuk menurunkan kecemasan
diantara terapi-terapi tersebut. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang analisis efektifitas pengaruh terapi humor,
aromaterapi lavender, terapi relaksasi progresif, terapi psikoreligius atau rendam
kaki air hangat terhadap penurunan kecemasan pasien pre operatif.
4

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut : Apakah aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided imagery
efektif menurunkan kecemasan pasien pre operatif ?
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan
2.1.1 Pengertian dan Batasan Kecemasan
Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami
gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau tidak
mengalami keretakan kepribadian normal (Hawari, 2008). Hal tersebut dapat
merupakan perasaan yang ditekan kedalam bawah alam sadar bila terjadi
peningkatan akan adanya bahaya dari dalam. Kecemasan bukanlah suatu panyakit
melainkan suatu gejala. Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau
kelompok mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam
merespon ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpajan pada peristiwa
traumatik yang dialami individu yang mengalami, menyaksikan atau menghadapi
satu atau beberapa peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau ancaman
kematian atau cidera serius atau ancaman fisik diri sendiri (Doengoes, 2006).
Kecemasan adalah respon subjektif terhadap stres, ciri-ciri kecemasan
adalah keperihatinan, kesulitan, ketidakpastian atau ketakutan yang terjadi akibat
ancaman yang nyata atau dirasakan (Isaacs, 2004). Ketika merasa cemas, individu
merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa
malapetaka. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus
kecemasan. Kecemasan merupakan alat peringatan internal yang memberikan
tanda bahaya kepada individu. Menurut Freud dalam Fahmi (2015), kecemasan
merupakan suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai
dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan
datang. Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk
dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Tomb, 2003 dalam
Fahmi, 2015).
6

2.1.2 Tingkat Kecemasan


Towsend (dalam Tim MGBK, 2010 dalam Fahmi, 2015) membagi tingkat
kecemasan menjadi:
a. Kecemasan ringan: kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan
dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada
dan meningkatkan persepsinya. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini
adalah kelelahan, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi
meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
b. Kecemasan sedang: memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,
kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot
meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,
mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi
menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak
menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah
dan menangis.
c. Kecemasan berat: pada tingkat ini sangat mengurangi persepsi seseorang.
Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada
sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit
kepala, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, berfokus pada
dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya dan bingung.
d. Panik: panik berhubungan dengan terpengarah, ketakutan dan teror karena
mengalami kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada
keadaan ini adalah susah bernapas, pucat, tidak dapat berespon terhadap
perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan
delusi.
7

2.1.3 Faktor Pendukung Kecemasan


Beberapa teori yang mengemukakan faktor pendukung terjadinya
kecemasan menurut Stuart dan Sundeen (1998) antara lain:
a. Teori Psikoanalitik: menurut pandangan psikoanalitic, kecemasan terjadi
karena adanya konflik yang terjadi antara emosional elemen kepribadian
yaitu id, ego dan super ego. Id mewakili insting, super ego mewakili hati
nurani, sedangkan ego mewakili konflik yang terjadi antara kedua elemen
yang bertentangan. Dan timbulnya kecemasan merupakan upaya dalam
memberikan bahaya pada elemen ego.
b. Teori Interpersonal: menurut pandangan interpersonal kecemasan timbul
dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan
interpersonal.
c. Teori Behaviour: berdasarkan teori behaviour (perilaku), kecemasan
merupakan produk frustrasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Teori Prespektif Keluarga: kajian keluarga menunjukkan pola interaksi yang
terjadi didalam keluarga kecemasan menunjukkan adanya interaksi yang
tidak adaptif dalam sistem keluarga.
e. Teori Prespektif Biologis: kesehatan umum seseorang menurut pandangan
biologis merupakan faktor predisposisi timbulnya kecemasan. Menurut
Stuart & Sundeen (1998) faktor pencetus (presipitasi) yang menyebabkan
terjadinya kecemasan ada 2 jenis yaitu : (1) ancaman terhadap Integritas
biologi seperti: berbagai penyakit fisik terutama yang kronis yang
mengakibatkan invaliditas dapat menyebabkan stres pada diri seseorang,
misalnya : penyakit jantung, hati, kanker, stroke dan HIV/AIDS, trauma
fisik dan pembedahan, (2) ancaman terhadap konsep diri seperti: proses
kehilangan, perubahan peran, perubahan lingkungan, perubahan hubungan
dan Status sosial ekonomi.
Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terkait meliputi
hal berikut: potensi stressor, maturasi (kematangan) individu, status pendidikan
dan status ekonomi, tingkat pengetahuan, keadaan fisik, tipe kepribadian, sosial
budaya, lingkungan atau situasi, usia dan jenis kelamin.
8

2.1.4 Faktor-faktor yang dapat mengurangi kecemasan antara lain:


a. Represi, yaitu tindakan untuk mengalihkan atau melupakan hal atau
keinginan yang tidak sesuai dengan hati nurani.
b. Relaksasi, relaksasi dan rekreasi bisa menurunkan kecemasan dengan cara
tidur yang cukup, mendengarkan musik, tertawa dan memperdalam ilmu
agama (Dale Carneige, 2007).
c. Komunikasi perawat, yaitu komunikasi yang disampaikan perawat pada
pasien dengan cara memberi informasi yang lengkap mulai pertama kali
pasien masuk dengan menetapkan kontrak untuk hubungan profesional
mulai dari fase orientasi sampai dengan terminasi atau yang disebut dengan
komunikasi teraupetik (Tamsuri, 2006).
d. Psikofarmaka, yaitu pengobatan untuk cemas dengan memakai obat-obatan
seperti diazepam, bromazepam dan alprazolam yang berkhasiat
memulihkan fungsi gangguan neurotransmiter (sinyal penghantar saraf) di
susunan saraf pusat otak (lymbic system) (Hawari, 2001).
e. Psikoterapi, merupakan terapi kejiwaan dengan memberi motivasi,
semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus
asa dan diberi keyakinan serta kepercayaan diri (Hawari, 2001).
f. Psikoreligius, merupakan terapi kejiwaan dengan memasukkan unsur agama
seperti doa maupun ritual ibadah lainnya.

2.1.5 Pengukuran Kecemasan


Pengukuran tingkat kecemasan dapat dilakukan dengan beberapa skala
diantaranya bisa menggunakan hamilton anxiety rating scale, hospital anxiety
depression scale dan zung self-rating anxiety scale (Videbeck, 2008). Diantara
skala pengukuran tersebut yang paling umum dikenal dan digunakan oleh para
ahli serta pada penelitian-penelitian sebelumnya adalah The Zung-Self-rating
Anxiety Scale dari dr William K Zung oleh karena skala ini memiliki validitas
yang tinggi (Biggs et al, 1978). Selain itu skala ini dapat diisi sendiri dan
kerahasiaannya juga lebih terjamin. Untuk Zung Self-Rating Anxiety Scale berupa
kuisioner yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan 15 pertanyaan tentang gejala
untuk somatis dan 5 pertanyaan tentang gejala untuk sikap. Dalam skala
9

pengukuran Zung untuk kecemasan, pasien diminta untuk menentukan frekuensi


dengan gejala yang dialami yaitu dengan pilihan, tidak pernah/sedikit, kadang-
kadang, cukup sering, hampir sering/selalu. Dimana setiap frekuensi tersebut
mempunyai porsi nilai sendiri. Untuk masing - masing skala nantinya diperoleh
total skor yang dikelompokkan dalam tingkatan:
Zung Self-rating Anxiety Scale : Skor 0-45: minimal anxiety, 45-59: mild anxiety,
60-74: moderate anxiety dan skor > 75: severely anxiety
Instrumen ini juga digunakan oleh peneliti terdahulu di seperti Fahmi,
Agustine Sixtine (2015) serta Lestari, Adriana & Fauzan (2015), Rahmayati &
Handayani (2016).

2.1.6 Penatalaksanaan kecemasan


Banyak cara yang digunakan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan
oleh pasien seperti telah dikemukakan diatas yaitu secara: represi, relaksasi,
komunikasi perawat, psikofarmaka, psikoterapi, dan psikoreligius. Selain
psikofarmaka, terapi lainnya sering disebut sebagai terapi pelengkap atau terapi
komplementer. Beberapa jenis terapi komplementer saat ini telah dikembangkan
dengan tujuan untuk merelaksasikan pasien adalah terapi musik, terapi
psikoreligius, terapi relaksasi otot (relaksasi otot progresif, rendam kaki dengan
air hangat), aromaterapi lavender dan terapi humor.

2.2 Aromaterapi
Minyak atsiri merupakan komponen utama aromaterapi yang langsung
memberikan efek terhadap badan. Minyak atsiri adalah penyembuh yang kuat
(powerful healing agent). Minyak ini sangat pekat dan berkekuatan sangat besar
dalam menyembuhkan. Oleg karena itu dianjurkan agar penggunaanya dalam
jumlah kecil saja. Pengenceran biasanya dilakukan antara 0,05-3%, tergantung
jenis minyaknya. Minyak atsiri, agar bisa memberikan efek kesembuhannya harus
dikenakan pada badan manusia. Dalam hal ini berbagai cara untuk melakukannya.
Dalam aromaterapi, minyak atsiri masuk ke dalam badan melalui tiga jalan
utama yaitu, ingesti, olfaksi, dan inhalasi, selain itu dapat juga absorbsi melalui
kulit. Dibandingkan dengan kedua cara lainnya inhalasi merupakan cara yang
paling banyak digunakan, meskipun aplikasi topikal juga tidak kalah pentingnya.
10

2.2.1 Ingesti
Yang dimaksud dengan masuknya minyak atsiri ke dalam badan dengan
cara ingesti adalah melalui mulut dan kemudian ke saluran pencernaan. Ingesti
merupakan cara aplikasi utama minyak atsiri ke dalam badan oleh aromatolog dan
para dokter di Perancis. Cara ini belum banyak digunakan oleh aromaterapis di
negara-negara lain.
Ada berbagai metode ingesti, di antaranya adalah per os, yaitu memasukkan
minyak atsiri, tepatnya larutan minyak atsiri, ke dalam badan melalui mulut.
Untuk itu haruslah diketahui betul sifat dan cara pemakaian minyak atsiri yang
akan digunakan, terutama dosis dan toksisitasnya.
Minyak atsiri yang digunakan dalam cara ini harus dalam keadaan terlarut.
Para aromatolog biasanya menggunakan alkohol dan madu atau minyak lemak
sebagai pelarutnya. Dosisinya 3 tetes, tiga kali sehari dengan penggunaan
maksimal 3 minggu. Yang perlu diwaspadai, ingesti secara kontinu untuk waktu
yang lama akan menyebabkan keracunan yang disebabkan oleh adanya
penumpukan minyak tersebut dalam hati. Oleh karena itu setelah
menggunakannya selama tiga minggu, orang harus berhenti meminumnya selama
beberapa hari supaya hati dapat menetralisir racun (detoksikasi) yang menumpuk
terlebih dahulu.

2.2.2 Olfaksi atau Inhalasi


Akses minyak atsiri melalui hidung merupakan rute yang jauh lebih cepat
disbanding cara lain dalam penanggulangan problem emosional sperti stres dan
depresi, termasuk beberapa jenis sakit kepala, karena hidung mempunyai kontak
langsung dengan bagian-bagian otak yang bertugas merangsang terbentuknya efek
yang ditimbulkan oleh minyak atsiri. Hidung sendiri bukanlah organ yang
membau, tetapi hanya memodifikasi suhu dan kelembaban udara yang masuk
serta mengumpulkan benda asing yang mungkin ikut terhisap. Saraf otak pertama
bertanggung jawab terhadap indera pembau dan menyampaikannya pada sel-sel
reseptor.
Ketika minyak atsiri dihirup, molekul yang mudah menguap dari minyak
tersebut dibawa oleh arus udara ke “atap” hidung dimana silia-silia yang lembut
11

muncul dari sel-sel reseptor. Ketika molekul-molekul itu menempel pada rambut-
rambut tersebut, suatu pesan elektrokimia akan ditransmisikan melalui bola dan
saluran olfactory ke dalam sistem limbik. Hal ini akan merangsang memori dan
respon emosional. Hipotalamus berperan sebagai relak dan regulator,
memunculkan pesan-pesan yang harus disampaikan ke bagian lain otak serta
bagian badan yang lain. Pesan yang diterima itu kemudian diubah menjadi
tindakan yang berupa pelepasan senyawa elektrokimia yang menyebabkan
euphoria, relaks, atau sedative. System limbik ini terutama digunakan dalam
ekspresi emosi.
Apabila seseorang menghirup uap, molekul-molekul uap itu akan
melakukan perjalanan ke arah paru-paru, bila molekul-molekul itu mempunyai
aktivitas menghilangkan kesukaran dalam bernafas, maka dia akan melakukan
tugasnya disitu. Endothelium hidung itu tipis, terletak dekat dengan otak, oleh
karena itu ketika molekul minyak atsiri dihirup, ketika uap berada dalam rongga
hidung, uap itu juga akan segera berefek pada saraf sekitarnya, termasuk otak.
Dalam perjalanan ke paru-paru, molekul-molekul itu akan diaborbsi oleh
lapisan membran mukosa dari jalan nafas dan bronchi serta bronchioli. Ketika
sampai pada tempat pertukaran gas dalam alveoli, molekul-molekul itu ditransfer
ke dalam darah yang bersirkulasi dalam paru-paru. Jadi minyak atsiri dapat
sampai pada peredaran darah bila dihisap melalui hidung. Bila minyak atsiri
dihisap dengan tarikan nafas ke dalam badan pun akan menjadi lebih banyak.
Inhalasi dilakukan dengan berbagai cara seperti:
a. Dengan bantuan botol semprot
Botol semprot biasa digunakan untuk menghiangkan udara yang berbau
kurang enak pada kamar pasien. Minyak atsiri yang biasa digunakan adalah
minyak pinus sylvestris, Thymus vulgaris, Syzigum aromaticum, Eucalyptus
smithii, dan Mentha piperita. Dengan dosis 10-12 tetes dalam 250 ml air,
setelah dikocok kuat-kuat terlebih dahulu, kemudian disemprotkan ke kamar
pasien.
b. Dihirup melalui tissue/masker
Inhalasi dari kertas tissue/masker yang mengandung minyak atsiri 5-6 tetes
(3 tetes pada anak kecil, orang tua tau wanita hamil) sangat efektif bila
12

dibutuhkan hasil yang cepat, dengan 2-3 tarikan nafas dalam-dalam. Untuk
mendapatkan efek yang panjang tissue dapat diletakkan di dada sehingga
minyak atsiri yang menguap akibat panas badan tetap terhirup oleh nafas
pasien.
c. Dihisap melalui telapak tangan
Inhalasi dengan menggunakan telapak tangan merupakan metode yang baik,
tetapi sebaiknya hanya dilakukan oleh orang dewasa saja. Satu tetes minyak
atsiri diteteskan pada telapak tangan yang kemudian ditelangkupkan,
digosokkan satu sama lain dan kemudian ditutupkan ke hidung. Mata pasien
sebaiknya dipejamkan saat melakukan hal ini. Pasien dianjurkan untuk
menark nafas dalam-dalam. Cara ini sering dilakukan untuk mengatasi
kesukaran dalam pernafasan atau kondisi stress.
d. Penguapan
Cara ini digunakan untuk mengatasi problem respirasi dan masuk angin.
Untuk kebutuhan ini dibutuhkan suatu wadah dengan air panas yang ke
dalamnya diteteskan minyak atsiri sebanyak 4 tetes, atau 2 tetes untuk anak-
anak dan wanita hamil. Kepala pasien menelungkup di atas wadah dan
disungkup dengan handuk sehingga tidak ada uap yang keluar dan pasien
dapat menghirupnya secara maksimal. Selama penanganan, pasien diminta
untuk menutup matanya. Untuk mengobatu pasien asmatik hanya digunakan
1 tetes karena bila terlalu banyak dapat menyebabkan tersedak.

2.3 Teknik Relaksasi Otot Progresif


Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, zen, teknik imajinasi, dan latihan
relaksasi progresif (Potter & Perry, 2006). Teknik relaksasi memungkinkan klien
mengendalikan respon tubuhnya terhadap ketegangan dan kecemasan. Terapi
relaksasi otot progresif yaitu terapi dengan cara peregangan otot kemudian
dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013 dalam Rahayu, 2014). Relaksasi
progresif dilakukan dengan cara klien menegangkan dan melemaskan sekelompok
otot secara berurutan dan memfokuskan perhatian pada perbedaan perasaan yang
dialami antara saat kelompok relaks dan saat otot tersebut tegang (Kozier, 2011).
13

Teknik relaksasi banyak digunakan guna menurunkan tingkat stress dan


nyeri kronis. Teknik ini didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada
ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Hal
utama yang dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien dengan
posisi yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang
tenang (Asmadi, 2009).
Pelaksanaan relaksasi otot progresif memerlukan waktu sekitar 15 menit.
Pelaksanaan terapi ini diberikan 2 kali selama sehari. Klien memberi perhatian
pada tubuh, memperlihatkan daerah ketegangan. Daerah yang tegang digantikan
dengan rasa hangat dan relaksasi. Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi
latihan pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi
kelompok otot (Potter & Perry, 2006).

2.3.1 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif


Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam Setyoadi
dan Kushariyadi (2011) bahwa tujuan dari teknik ini adalah:
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,
tekanan darah tinggi serta frekuensi jantung.
b. Meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi.
c. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
d. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, spasme otot, fobia ringan, dan
gagap ringan.
e. Membangun emosi positif dari emosi negatif.

2.3.2 Indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif


Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa indikasi dari terapi
relaksasi otot progresif, yaitu klien yang mengalami insomnia, klien sering stress,
klien yang mengalami kecemasan, klien yang mengalami depresi.

2.3.2 Kontra Indikasi


Beberapa hal yang dapat menjadi kontra indikasi latihan relaksasi otot
progresif antara lain cidera akut atau ketidaknyamanan muskuloskeletal, infeksi
14

atau inflamasi dan penyakit jantung berat atau akut. Latihan relaksasi otot
progresif juga tidak dilakukan pada bagian otot yamg sakit.

2.3.3 Pelaksanaan Teknik Relaksasi Otot Progresif


Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) pelaksanaan untuk melakukan
teknik ini terdiri dari dua tahap yaitu persiapan dan prosedur. Persiapan klien
yaitu:
a. Pahami tujuan, manfaat, prosedur.
b. Posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup
menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk di kursi dengan
kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
c. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan
sepatu.
d. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain sifatnya
mengikat.
Menurut Solehati & Kosasih (2015) prosedur tenik relaksasi otot relaksasi
otot progresif yaitu sebagai berikut:
a. Jelaskan tujuan terapi dan prosedur yang akan dilakukan
b. Berikan posisi yang nyaman
c. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman tersebut
d. Anjurkan klien untuk berbaring atau duduk bersandar (ada sandaran untuk
kaki dan bahu)
e. Bimbing pasien untuk melakukan latihan menarik nafas dalam dan menarik
nafas melalui hidung dan mengeluarkan melalui mulut seperti bersiul
perlahan
f. Bimbing pasien untuk mengencangkan dahi selama 5 sampai dengan 7
detik. Kemudian, bimbing pasien untuk merelaksasikan otot selama 20
sampai 30 detik. Pasien diminta untuk merasakan rileksnya daerah dahi.
g. Bimbing pasien untuk mengencangkan bahu dengan cara menarik bahu
keatas selama 5 sampai dengan 7 detik. Kemudian, bimbing pasien untuk
merelaksasikan bahu selama 20 sampai 30 detik. Pasien diminta untuk
merasakan rileksnya bahu dan merasakan aliran darah mengalir secara
15

lancar
h. Bimbing pasien untuk mengepalkan telapak tangan dan
mengencangkan otot bisep selama 5-7 detik, kemudian rileksasikan selama
20-30 detik. Pasien diminta untuk merasakan rileksnya dan merasakan
aliran darah mengalir semakin lancar.
i. Bimbing pasien untuk mengencangkan betis dengan cara ibu jari ditarik ke
belakang bisep selama 5-7 detik, kemudian relaksasikan selama 20-30
detik. Pasien diminta untuk merasakan rileksnyadan rasakan aliran darah
mengalir dengan lancar.

2.4 Penelitian Terkait


Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian lain yang Pemberian lavender sangat efektif untuk menurunkan
dilakukan oleh Woelk tingkat kecemasan umum (generalized anxiety
dan Schlafke (2010) disorder) dibandingkan dengan pemberian
Lorazepam.
Conrad dan Adams Pemberian aromaterapi dapat menurunkan secara
(2012) signifikan tingkat kecemasan dan depresi pada wanita
melahirkan dengan resiko tinggi
Deliyani (2015) tentang Hasil : Didapatkan penurunan tingkat kecemasan
Efektifitas Terapi pada kelompok perlakuan, dengan nilai p = 0,001.
Humor Dengan Media
Film Komedi untuk
menurunkan Kecemasan
Pada Lansia di Panti
Tresna Werda Hargo
Dedali Surabaya
Triwijaya (2014), Hasil penelitian menunjukkan tingkat kecemasan
tentang pengaruh teknik sebagian besar responden sebelum mendapatkan
relaksasi otot progresif perlakuan yang mengalami cemas ringan sebanyak 4
terhadap penurunan orang (8.7%), cemas sedang sebanyak 40 orang
tingkat kecemasan ibu (87.0%), cemas berat sebanyak 2 orang (4.3%).
intrantal kala I. Sedangkan sesudah perlakuan yang mengalami cemas
ringan sebanyak 34 orang (73.9%), cemas sedang
sebanyak 12 orang (26.1%), dan yang mengalami
cemas berat tidak ada.
Rahayu (2014) tentang Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa dari
pengaruh terapi responden yaitu 40 klien sebelum dilakukan
relaksasi otot progresif terapi otot progresif jumlah klien yang
terhadap penurunan mengalami kecemasan berat adalah 25 orang
tingkat kecemasan pada (62,5%), dan tidak ada yang tidak menderita
klien diabetes mellitus kecemasan. Sesudah dilakukan terapi otot progresif
16

tipe 2 di Wilayah jumlah klien yang mengalami kecemasan sedang


Kerja Puskesmas adalah 12 orang (30%), dan jumlah klien yang
Karangdoro Semarang. mengalami kecemasan berat adalah 6 orang (15%).

2.5 Kerangka Teori


Skema 2.1
Kerangka Teori

Respon fisiologi yg
mengganggu fungsi
Kecemasan : tubuh : TD ↑,
Ancaman terhadap
ringan, sedang, Nadi↑,
integritas biologi ;
berat, panik Pernafasan↑, fokus
rencana pembedahan
menyempit↑

Dipengaruhi oleh :
potensi stressor,
maturasi (kematangan)
individu, status
pendidikan dan status Mengganggu
ekonomi, tingkat proses operasi;
pengetahuan, keadaan pembatalan, pe↑
fisik, tipe kepribadian, nyeri, gangguan
sosial budaya, hemodinamik
lingkungan atau
situasi, usia dan jenis
kelamin.

Diatasi dengan : Represi, relaksasi


(relaksasi otot progresif), aromaterapi,
psikofarmaka, psikoterapi
17

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian


3.1.1 Tujuan Umum
Mengetahui efektifitas aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided
imagery untuk menurunkan kecemasan pasien pre operatif.
3.1.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui kecemasan sebelum dilakukan intervensi pada kelompok
intervensi
b. Mengetahui kecemasan sebelum dilakukan intervensi pada kelompok
kontrol
c. Mengetahui kecemasan setelah dilakukan intervensi pada kelompok
intervensi
d. Mengetahui kecemasan sebelum dilakukan intervensi standar pada
kelompok control
e. Mengetahui efetifitas penurunan kecemasan setelah intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

3.2 Temuan Yang Diharapkan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan jenis intervensi yang tepat
untuk menurunkan kecemasan pada pasien pre operatif di rumah sakit sehingga
intervensi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu standar dalam intervensi
keperawatan berbasis bukti ilmiah.

3.3 Manfaat Penelitian


3.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
salah intervensi keperawatan mandiri pada aspek kebutuhan rasa aman dan
nyaman dalam asuhan keperawatan pasien pre operatif.
18

3.4.2 Manfaat Aplikatif


a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
rumah sakit khususnya dalam menyusun intervensi keperawatan pada aspek
kebutuhan rasa aman nyaman dalam asuhan keperawatan pasien pre operatif
yang mengalami kecemasan.
b. Bagi responden penelitian, dengan berpartisipasi dalam penelitian ini
diharapkan dapat memperoleh manfaat penurunan tingkat kecemasan
melalui intervensi yang diberikan.
19

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Dan Rancangan Penelitian


Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah desain Quasi-
experimental dengan rancangan non equivalent control group. Pada penelitian ini
responden penelitian akan dilakukan pengukuran tingkat kecemasan sebelum dan
sesudah intervensi pada saat menjelang operasi. Skema desain penelitian ini dapat
dilihat pada skema berikut ini:

Skema 3.1
Desain Penelitian

A1 INTERVENSI A2 A3

Desain penelitian ini menggambarkan Sekelompok responden yang


diberikan intervensi. Penjelasan skema desain penelitian diatas adalah sebagai
berikut:

A1 : Pengukuran kecemasan pada kondisi baseline yaitu kondisi dimana


responden belum diberikan intervensi
Intervensi : Responden diberikan perlakuan berupa kombinasi aromaterapi
lavender, relaksasi progresif dan guided imagery .
A2 : Pengukuran kecemasan pada kondisi pasien setelah intervensi
A3 : Pengukuran kecemasan pada kondisi pasien menjelang pindah ke
kamar operasi.

Beberapa variabel dalam penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian


sebelumnya namun mempunyai perbedaan dalam hal subyek penelitian. Seperti
diketahui pada tabel penelitian terkait sebelumnya, rata-rata penelitian dilakukan
untuk mengintervensi kecemasan selain kecemasan pre operatif. Pada penelitian
ini intervensi dilakukan untuk menurunkan kecemasan pada pasien pre operatif
dan subyek yang dipilih sebagai responden adalah pasien-pasien pre operatif
20

elektif tanpa pembatasan jenis kasus. Selain itu, pada penelitian ini setelah uji
bivariat akan dilakukan uji multivariat dengan memperhatikan faktor konfonding
pada subyek penelitian. Pada akhirnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsih terhadap alternatif tindakan mandiri keperawatan dalam
mengatasi kecemasan pasien preoperatif secara non farmakologis.
Penjelasan bagaimana penelitian akan dilakukan dapat dilihat dari
rancangan penelitian yang disusun oleh peneliti mulai dari pemilihan populasi dan
sampel, pengelompokan dan perlakuan yang akan diberikan hingga pada variabel
yang akan diukur. Rancangan penelitian ini digambarkan dalam skema kerangka
konsep penelitian berikut ini:
Skema 2.3
Kerangka Konsep

POPULASI
Pasien Pre Operatif di RS

Purposive
Sampling

SAMPEL
Sebagian dari populasi yang
memenuhi kriteria inklusi

Tingkat Tingkat Tingkat


Kecemasan Kecemasan Kecemasan
sebelum dan sebelum dan sesudah terapi 2
sesudah terapi sesudah terapi kl pengukuran

Variabel Konfonding
Usia, Pendidikan, Jenis Kelamin, Pengalaman
Operasi
21

4.2 Luaran Penelitian


Hasil penelitian ini secara menyeluruh akan disusun menjadi laporan
penelitian dan produk modul intervensi serta bahan ajar intervensi keperawatan
terhadap kecemasan pre operatif. Hasil penelitian terhadap variabel intervensi
yang di eksperimenkan terhadap subyek penelitian akan dijadikan bahan kajian
utama dalam bahan ajar tersebut sebagai sumber rujukan intervensi keperawatan
berdasarkan evidence based.

4.3 Waktu dan Tempat penelitian


Waktu penelitian direncanakan akan berlangsung dari Bulan Juni s.d
September 2017. Penelitian ini dilakukan di RS Abdul Moeloek Provinsi
Lampung.

4.4 Subjek Peneltian


4.4.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang akan
menjalani operasi bedah elektif di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung pada kisaran Agustus s.d September 2017 dengan estimasi populasi
berdasarkan data RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung adalah rata-rata
300 orang per bulan.
4.4.2 Sampel
Perhitungan besar sampel yang diambil untuk menguji hipotesis penelitian
ini ditetapkan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan Sample Size
Calculator For Designing Clinical Research untuk one group before after study
dari http://www.sample-size.net/sample-size-study-paired-t-test/ dengan
menggunakan uji statistik paired t-test. Dengan menetapkan Alpha 0,01, Betha
0,100, Effect Size 0,500 dan Standar Deviasi 1,00 maka jumlah sampel untuk
memenuji asumsi uji statistik yang digunakan yaitu sebesar 60 orang. Teknik
pengambilan sampel (sampling) yang akan digunakan pada penelitian ini
menggunakan metode acak sederhana. Anggota populasi yang memenuhi kriteria
inklusi ditentukan masuk menjadi responden dengan kriteria:
a. Pasien pre operatif bedah elektif
b. Mengalami kecemasan sedang-berat pada pengukuran sebelum intervensi
22

c. Kesadaran komposmentis
d. Tidak mengalami gangguan mental/ patologis kejiwaan
e. Dapat membaca dan menulis

4.4.3 Variabel Penelitian


Variabel penelitian ini terdiri dari 2 yaitu variable independent (X) dan
variable dependent (Y). Adapun variabel independen penelitian ini adalah:
kombinasi aromaterapi lavender, terapi relaksasi progresif, dan terapi guided
imagery. Sedangkan variabel dependennya adalah tingkat kecemasan pasien pre
operatif sebelum dan sesudah tindakan.

4.4.4 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas maka peneliti merumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ada pengaruh kombinasi aromaterapi lavender, terapi relaksasi progresif, dan
terapi guided imagery terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pre operatif.

4.4.5 Definisi Operasional


Semua konsep yang ada dalam penelitian harus dibuat dalam istilah yang
operasional agar tidak ada makna ganda dalam istilah yang digunakan dalam
penelitian tersebut sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam pengukuran,
analisis serta simpulan (Sastroasmoro & Ismael, 2007). Definisi operasional
masing-masing variabel dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 3.1.
23

Tabel 3.1
Definisi Operasional

CARA & ALAT


VARIABEL DEFINISI HASIL UKUR SKALA
UKUR
1 2 3 4 5
Karakteristik Responden

Usia responden (dalam tahun) yang di Observasi Mean, media, SD,


Usia
hitung berdasarkan ulang tahun Lembar Observasi Minimum, Maksimum Interval
terakhir.
Observasi 1 : wanita Nominal
Jenis Kelamin Karakteristik seks primer responden
Lembar Observasi 0 : pria
Wawancara Ordinal
1 : pernah
Pengalaman Operasi sebelumnya Riwayat menjalani operasi sebelumnya Panduan
0 : belum pernah
Wawancara
Wawancara 1 : SD – SLTP
Tingkat pendidikan formal terakhir
Pendidikan Panduan 2 : SLTA Ordinal
responden
Wawancara 3 : Perguruan Tinggi
Variabel Independent
1. Teknik relaksasi otot progresif Teknik relaksasi diberikan pada
responden dengan gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot-
otot pada beberapa bagian tubuh
tertentu, dilakukan 1x sehari oleh
individu selama ± 15 menit

2. Aromaterapi Lavender Aromaterapi lavender yang digunakan


dalam bentuk minyak esensial oil, yang
diberikan pada pasien pre operasi H-1
24

dengan metode inhalasi.

3. Guided Imagery Tindakan memperlihatkan gambar


pemandangan dan menuntun imajinasi
responden menenangkan diri sesuai
gambar yang dilihat
Variabel dependent

Respon emosional subyektif yang


Tingkat kecemasan sebelum dan dialami pasien sebelum tindakan Skor BAI dengan
Mengisi Kuisioner
sesudah tindakan operasi berupa perasaan takut yang rentang nilai antara 0 - interval
Kuisioner Beck’s
tidak jelas penyebabnya yang diukur 42
Anxiety Index
sebelum dan sesudah diberikan
tindakan dan dianalisis perbedaannya
25

4.4.6 Cara dan alat pengumpulan data


Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari bagian A dan
bagian B yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Instrumen pengumpulan data Bagian A
Bagian ini dirancang untuk mengumpulkan data karakteristik responden
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, diagnosa medik, pengalaman
operasi sebelumnya.
b. Instrumen pengumpulan data Bagian B
Bagian ini dirancang untuk mengumpulkan data hasil kuisioner dengan
BAI. Isi pada bagian ini mengacu pada Beck’s Anxiety Index yang dibuat
oleh Bekc A.T, Epstein N., Brown., G.Stein (1988).

4.4.7 Tahapan Pelaksanaan Penelitian


a. Alat & Bahan Penelitian
Alat dan bahan penelitian ini adalah: Earphone, Digital Music & Video
Player, Kuisinoer BAI, Aromaterapi lavender.
b. Persiapan
Persiapan penelitian diawali dengan melakukan: memperoleh persetujuan
pelaksanaan penelitian dari Poltekkes Tanjungkarang Kemenkes RI,
memperoleh izin penelitian dari Direktur RS yang dituju dan melakukan
sosialisasi kegiatan penelitian di ruangan .

4.4.8 Pelaksanaan penelitian


Pelaksanaan penelitian pada kelompok akan dilakukan sebagai berikut:
a. Jika responden setuju maka mempersilahkan untuk membaca lembar
persetujuan (informed consent) kemudian tanda tangan.
b. Memberikan kuesioner BAI pada responden dan memberi penjelasan cara
pengisian kuesioner. Penilaian kecemasan sebelum dilakukan intervensi
minimal 24 jam sebelum operasi
c. Responden diberikan penjelasan agar mengikuti instruksi sesuai modul dan
yang diinstruksikan dari video player.
26

d. Aromaterapi lavender diteteskan kedalam keramik dan ditunggu sampai


harumnya menyebar ke ruangan, responden menghirup aroma terapi
lavender dengan nafas dalam yang teratur dan ritmik.
e. Responden mengikuti instruksi relaksasi otot progresif dari video player
yaitu:
1) Menarik nafas dalam dan menarik nafas melalui hidung dan
mengeluarkan melalui mulut seperti bersiul perlahan, kencangkan dahi
selama 5 sampai dengan 7 detik.
2) Kemudian relaksasikan otot selama 30 detik. Pasien diminta untuk
merasakan rileksnya daerah dahi.
3) Kencangkan bahu dengan cara menarik bahu keatas selama 5 detik.
Kemudian relaksasikan bahu selama 30 detik. Pasien diminta untuk
merasakan rileksnya bahu dan merasakan aliran darah mengalir
secara lancar.
4) Pasien diminta untuk mengepalkan telapak tangan dan
mengencangkan otot bisep selama 5 detik, kemudian rileksasikan
selama 30 detik.
5) Pasien diminta untuk merasakan rileksnya dan merasakan aliran darah
mengalir semakin lancar.
6) Bimbing pasien untuk mengencangkan betis dengan cara ibu jari
ditarik ke belakang bisep selama 5 detik, kemudian relaksasikan
selama 30 detik. Pasien diminta untuk merasakan rileksnya dan
rasakan aliran darah mengalir dengan lancar.
f. Pasien diinstruksikan untuk memandang gambar pemandangan dan
membayangkan ia berada di tempat tersebut selama 10 menit
g. Setelah beristirahat 5 menit pasien diminta mengisi kembali kuesioner yang
telah diisi, kemudian dikumpulkan langsung pada peneliti.
h. Responden diminta kembali mengisi kuisioner ketika akan berangkat ke
kamar operasi.
27

4.4.9 Etika Penelitian


Untuk memenuhi unsur-unsur dalam prinsip etik dalam penelitian maka
peneliti melaksanakan beberapa prinsip etik untuk memenuhi prinsip etik dalam
penelitian menurut Polit dan Hungler (1999) yaitu:

a. Beneficience: hasil penelitian memiliki potensi terapeutik yang artinya


bahwa responden mendapatkan manfaat melalui prosedur yang diberikan.
Manfaat penggunaan aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided
imagery untuk menurunkan kecemasan pasien pre operatif.
b. Justice: prinsip etik berkeadilan harus dipenuhi sebagai bagian dari
pelaksanaan etika penelitian. Untuk memenuhi aspek justice, pada waktu
pelaksanaan penelitian ini peneliti tidak melakukan diskriminasi pada
kriteria yang tidak relevan saat memilih subjek penelitian, namun
berdasarkan alasan yang berhubungan langsung dengan masalah
penelitian. Setiap subjek penelitian diberikan peluang yang sama untuk
dikelompokkan pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.
c. Respect For Human Dignity.: prinsip menghargai martabat manusia
diterapkan dengan cara sebelum penelitian dilakukan, responden
mendapatkan penjelasan secara lengkap. Pemberian informasi yang lengkap
tentang penelitian meliputi tujuan, prosedur, gambaran resiko dan
ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi, serta keuntungan yang ada.
Kesediaan pasien untuk menjadi responden dibuktikan dengan
menandatangi surat persetujuan menjadi responden penelitian. Jika pada
saat dilaksanakannya penelitian responden bertanya tentang sesuatu yang
tidak diketahui, maka responden berhak mendapatkan informasi ulang.
Responden mempunyai hak untuk menentukan keikutsertaanya dalam
penelitian, begitu pula bila pada saat penelitian sedang dilakukan responden
diberikan hak memutuskan untuk berhenti dari keikutsertaannya.

4.4.10 Pengolahan Data Penelitian


Data yang telah dikumpulkan sebelum dianalisis, terlebih dahulu dilakukan
editing, coding, entri data, dan cleaning. Pada tahap ini dilakukan pengolahan
data yang telah dimasukkan dalam program komputer sehingga dihasilkan
28

informasi yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan


penelitian. Analisis data dalam penelitian ini adalah:
a. Analisis univariat: analisis univariat pada penelitian ini memberikan
gambaran terhadap mean, median, standar deviasi dari variabel numerik
yaitu usia. Dalam hal ini dilakukan uji explore untuk mengetahui output
dari nilai tersebut. Jika seluruh data normal, uji statistik parametrik dapat
digunakan untuk menganalisis variabel-variabel penelitian. Analisis
univariat untuk variabel katagorik dengan skala nominal maupun ordinal
dalam bentuk nilai distribusi frekuensi dilakukan pada variabel jenis
kelamin, pengalaman dan pendidikan.
b. Analisis Bivariat: analisis bivariat dan uji statistik yang digunakan untuk
melihat ada tidaknya pengaruh akan digunakan Uji T (T-test) apabila
asumsi-asumsi data yang dihasilkan dapat terpenuhi salah satunya adalah uji
normalitas, namun jika asumsi data tidak terpenuhi maka akan dilakukan
analisis dengan uji Wilcoxon Sign Rank Test. Sedangkan untuk melihat ada
tidaknya perbedaan pengaruh akan dilakukan uji regresi ordinal.
c. Analisis Multivariat : Analisis multivariate dilakukan untuk menilai apakah
variabel konfonding mempengaruhi hubungan intervensi yang
dieksperimenkan terhadap subyek penelitian.
29

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan


4.1.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan karakteristik responden klien
pre operatif pada ruangan mawar dan kutilang di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung meliputi usia, jenis kelamin, dan diagnosa medis klien, sebagai
berikut:
a. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil distribusi
responden berdasarkan jenis kelamin sebagai berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
RSUD Dr. H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun
2017
Jenis Kelamin Frequency Percent (%)
Laki-laki 30 50
Perempuan 30 65
Total 60 100

Berdasarkan hasil penelitian pada table 4.1 diketahui bahwa jumlah jenis
kelamin laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 30 orang (50%).
b. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil distribusi
responden berdasarkan pendidikan sebagai berikut :
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan pendidikan di RSUD
Dr. H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017
Pendidikan Frequency Percent (%)
SD 38 63.3
SMP 2 3.3
SMA 20 33.3
Total 60 100
30

Berdasarkan hasil penelitian pada table 4.2 diketahui bahwa jumlah


pendidikan terbanyak adalah SD sebanyak 38 responden (63.3%).

c. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur dan Tanda-tanda Vital


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil distribusi
responden berdasarkan umur dan tanda-tanda vital sebagai berikut :
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan umur dan tanda-tanda
vital di RSUD Dr. H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung
Tahun 2017
Std.
Uraian Min Max Mean
Deviation
Umur 15 84 46.95 14.499
Tekanan Darah Sebelum
Intervensi
- Sistole 100 170 124.50 15.341
- Diastole 70 110 82.67 13.944
Tekanan Darah Sesudah
Intervensi
- Sistole 100 170 124.42 13.626
- Diastole 70 110 82.17 8.456
Tekanan Darah Sebelum
Operasi
- Sistole 110 150 123.50 8.402
- Diastole 70 100 82.50 6.542
Nadi Sebelum Intervensi 68 96 80.53 6.390

Nadi Sesudah Intervensi 65 93 80.68 4.485

Nadi Sebelum Operasi 75 92 81.85 3.718


Pernafasan Sebelum
18 24 20.40 1.669
Intervensi
Pernafasan Sesudah
18 22 20.30 1.154
Intervensi
Pernafasan Sebelum Operasi 18 24 20.32 1.066

Berdasarkan hasil penelitian pada table 4.3 diketahui rata-rata umur


respondon 46.95, rata-rata sistole sebelum intervensi 124.50 dengan rata-
rata diastole 82.67, rata-rata sistole sesudah intervensi 124.42 dengan rata-
rata diastoel 82.17, rata-rata sistole sebelum operasi 123.50 dengan diastole
31

82.50, rata-rata nadi sebelum intervensi 80.53, rata-rata sesudah intervensi


80.68, rata-rata sebelum operasi 81.85, rata-rata pernafasan sebelum
intervensi 20.40, rata-rata sesudah intervensi 20.30, dan rata-rata sebelum
operasi adalah 20.32.
d. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Skor Kecemasan Responden
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil distribusi
responden berdasarkan skor kecemasan sebagai berikut :
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan umur dan tanda-tanda
vital di RSUD Dr. H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung
Tahun 2017
Std.
Uraian Min Max Mean
Deviation
Skor Sebelum Intervensi 0 37 7.67 7.890

Skor Sesudah Intervensi 0 30 4.05 5.806

Skor Sebelum Operasi 0 28 4.20 5.141

Berdasarkan hasil penelitian pada table 4.4 diketahui rata-rata skor sebelum
intervensi 7.67, skor sesudah intervensi 4.05 dan skor sebelum operasi 4.20.

e. Analisis Bivariat
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil analisa
bivariat sebagai berikut :
Tabel 4.5 Hasil Uji Analisis skor sebelum intervensi dan skor
sesudah intervensi di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung Tahun 2017

Standar
Variabel Mean n ρ value
Devisasi
Skor Sebelum
7.67 7.890 60
Intervensi
.000
Skor Sesudah
4.05 5.806 60
Intervensi
32

Tabel 4.5 menunjukkan rata-rata skor sebelum intervensi 7.67 dengan


standar devisasi 7.890 dan skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar
devisasi 5.806. Analisis uji dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ
value 0.000 maka dapat disimpulkan bahwa hasil bermakna.

Tabel 4.6 Hasil Uji Analisis skor sesudah intervensi dengan skor
sebelum operasi dengan menggunakan uji T-test di RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2017

Standar
Variabel Mean n ρ value
Devisasi
Skor Sesudah
4.05 5.806 60
Intervensi
.732
Skor Sebelum
4.20 5.141 60
Operasi

Tabel 4.6 menunjukkan rata-rata skor sesudah intervensi 4.05 dengan


standar devisasi 5.806 dan rata-rata sebelum operasi 4.20 dengan standar
devisasi 5.141. Analisis uji dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ
value .732 maka dapat disimpulkan bahwa hasil tidak bermakna.

4.1.2 Pembahasan
Hasil analisis data rata-rata skor kecemasan sebelum intervensi 7.67, skor
sesudah intervensi 4.05. Hal ini menunjukkan adanya penurunan rata-rata skor
kecemasan. Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai kenyataan, kepribadian masih tetap utuh atau
tidak mengalami keretakan kepribadian normal (Hawari, 2008).
Operasi atau tindakan medis pada umumnya menimbulkan rasa takut pada
pasien. Kecemasan preoperatif secara umum akan dialami oleh pasien setelah
mengetahui dirinya dijadwalkan untuk menjalani prosedur pembiusan atau
prosedur bedah dan akan terus meningkat sampai saat masuk rumah sakit.
Tingkat pendidikan, jenis kelamin dan umur pasien juga mempengaruhi
kecemasan yang dialami pasien sebelum tindakan operasi. Pada penelitian ini
sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah SD sebanyak 38 responden
33

(63.3%), jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak


30 orang (50%) dan umur responden yang paling tua adalah 84 tahun. Dari hasil
penelitian sebagian besar responden yang didapat merupakan responden yang
tingkat pendidikannya rendah sehingga akan mempengaruhi responden dalam
memahami terapi yang akan diberikan.
Setelah diberikan terapi, terjadi penurunan rata-rata skor kecemasan
sebelum intervensi 7.67 menjadi 4.05. Secara kuantitatif penurunan ini bermakna
karena menunjukkan adanya perbedaan skor sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan. Dalam parameter penunjang seperti tanda-tanda vital mengalami
penurunan, rata-rata tekanan darah sebelum intervensi 124.50/ 82.67 mmHg
menjadi 124.42/ 82.17 mmHg dan rata-rata pernapasan sebelum operasi
20,40x/menit menjadi 20,30x/menit. Sedangkan pada nilai rata-rata nadi, tidak
mengalami penurunan yaitu rata-rata nadi sebelum intervensi 80,53x/menit
menjadi 80,68x/menit.
Hasil analisis data rata-rata skor sebelum intervensi 7.67 dengan standar
devisasi 7.890 dan skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806
kemudian hasil analisis uji dengan menggunakan paired simples T-test didapatkan
hasil ρ value 0.000 maka dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh dari
pemberian intervensi yang dilakukan, hal ini mungkin disebabkan oleh
aromaterapi lavender yang dihirup oleh responden melalui hidung yang kontak
langsung dengan bagian-bagian otak yang bertugas merangsang terbentuknya efek
yang ditimbulkan oleh minyak atsiri. Hidung sendiri bukanlah organ yang
membau, tetapi hanya memodifikasi suhu dan kelembaban udara yang masuk
serta mengumpulkan benda asing yang mungkin ikut terhisap. Saraf otak pertama
bertanggung jawab terhadap indera pembau dan menyampaikannya pada sel-sel
reseptor. Ketika aroma lavender dihirup, molekul yang mudah menguap dari
minyak tersebut dibawa oleh arus udara ke “atap” hidung dimana silia-silia yang
lembut muncul dari sel-sel reseptor. Ketika molekul-molekul itu menempel pada
rambut-rambut tersebut, suatu pesan elektrokimia akan ditransmisikan melalui
bola dan saluran olfactory ke dalam sistem limbik. Hal ini akan merangsang
memori dan respon emosional responden dimana diikuti dengan audio responden
34

yang secara tidak langsung mengikuti perintah untuk melakukan teknik relaksasi
progresif.
Teknik relaksasi progresif ini sendiri dapat digunakan untuk mengurangi
kecemasan, karena dapat menekan saraf simpatis di mana dapat menekan rasa
tegang yang dialami oleh individu secara timbal balik, sehingga timbul counter
conditioning (penghilangan). Relaksasi diciptakan setelah mempelajari sistem
kerja saraf manusia, yang terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom.
Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Sistem saraf simpatis
lebih banyak aktif ketika tubuh membutuhkan energi. Misalnya pada saat terkejut,
takut, cemas atau berada dalam keadaan tegang. Pada kondisi seperti ini, sistem
saraf akan memacu aliran darah ke otot-otot skeletal, meningkatkan detak jantung,
kadar gula dan ketegangan menyebabkan serabut-serabut otot kontraksi,
mengecil dan menciut. Sebaliknya, relaksasi otot berjalan bersamaan dengan
respon otonom dari saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis mengontrol
aktivitas yang berlangsung selama penenangan tubuh, misalnya penurunan denyut
jantung setelah fase ketegangan dan menaikkan aliran darah ke sistem
gastrointestinal (Ramadani & Putra, 2009) sehingga kecemasan akan berkurang
dengan dilakukannya relaksasi progresif.
Selain pemberian terapi lavender dan relaksi otot progresif, penelitian ini
juga menggunakan terapi guide imagery, dimana terapi guide imagery ini
menggunakan pikiran responden dengan menggerakkan tubuh untuk berfikir
menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi
dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan,
dan pendengaran (Potter & Perry, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adanya penurunan skor kecemasan dengan pemberian aromaterapi lavender,
relaksi progresif dan terapi guide imagery, hal ini mungkin terjadi dikarekan
selain indra penciuman yang telah memberikan rangsangan memori dan respon
emosional, responden secara alami mengikuti perintah dengan audio untuk
melakukan teknik relaksasi progresif dan guide imagery. Sehingga untuk
membuat kecemasan klien berkurang, selain menggunakan aromaterapi lavender
peneliti menggunakan teknik relaksasi otot progresif untuk merelaksasikan otot-
35

otot klien, kemudian menggukan guide imagery agar klien tenang, dengan
menggabungkan 3 teknik ini secara tidak langsung klien akan rileks secara pikiran
dan fisik.
Hasil rata-rata skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806
dan rata-rata sebelum operasi 4.20 dengan standar devisasi 5.141. Analisis uji
dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ value .732 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil tidak bermakna. Terjadinya peningkatan skor kecemasan
sebelum operasi juga diikuti dengan adanya perubahan nilai tanda-tanda vital
yang diukur sebelum operasi. Rata-rata pernapasan sesudah intervensi 80,68
x/menit menjadi 81,85x/menit pada sebelum operasi dan rata-rata pernapasan
sesudah intervensi 20,30 x/menit menjadi 20,32 x/menit pada sebelum operasi.
Sedangkan pada rata-rata tekanan darah sesudah intervensi 124,42/82,17 mmHg
menjadi 123,50/82,50 mmHg pada sebelum operasi. Hal ini mungkin terjadi
dikarenakan kurang efektifnya pemberian terapi yang dilakukan pada satu hari
sebelumnya dan tidak dilanjutkan pada saat sebelum operasi akan dilaksanakan.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Mansjoer, 2007 bahwa secara
umum kecemasan pasien sehari sebelum tindakan medik operasi akan meningkat
dan semakin meningkat sesaat menjelang tindakan medik operasi. Sehingga perlu
dilakukan intervensi ulang pada saat sebelum operasi.
36

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan dalam
bab sebelumnya pada penelitian ini, peneliti menyimpulkan hasil penelitian
sebagai berikut:
6.1.1 Rata-rata skor sebelum intervensi 7.67 dengan standar devisasi 7.890 dan
skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806. Analisis uji
dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ value 0.000 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil bermakna.
6.1.2 Rata-rata skor sesudah intervensi 4.05 dengan standar devisasi 5.806 dan
rata-rata sebelum operasi 4.20 dengan standar devisasi 5.141. Analisis uji
dengan paired simples T-test didapatkan hasil ρ value .732 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil tidak bermakna.

6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut peneliti menyarankan:
6.2.1 Terapi aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided imagery dapat
dijadikan standar intervensi dalam diagnosa keperawatan kecemasan pasien
pre operatif oleh perawat di RSUD dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung.
6.2.2 Terapi aromaterapi lavender, relaksasi progresif dan guided imagery dapat
diajarkan kepada mahasiswa keperawatan sebagai tindakan untuk mengatasi
kecemasan pasien pre operatif.

Anda mungkin juga menyukai