Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha atau kegiatan domestik,
komersil, institusi dan industri. Beberapa bentuk dari air limbah ini berupa tinja, air seni,
limbah kamar mandi, dan juga sisa kegiatan dapur rumah tangga. Jumlah air limbah yang
dibuang akan selalu bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala
kegiatannya. Apabila jumlah air yang dibuang berlebihan melebihi dari kemampuan alam
untuk menerimanya maka akan terjadi kerusakan lingkungan. Lingkungan yang rusak akan
menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan manusia yang tinggal pada lingkungannya itu
sendiri sehingga oleh karenanya perlu dilakukan penanganan air limbah yang seksama dan
terpadu baik itu dalam penyaluran maupun pengolahannya (Zevri, 2010).

Prinsip dari sistem penyaluran air buangan adalah mengalirkan air buangan dari suatu
kawasan (sumber air buangan) ke Bangunan Pengolah Air Buangan (BPAB) melalui jarak
yang sependek-pendeknya agar waktu penyaluran yang dibutuhkan cukup singkat dan efektif.
Sistem perencanaan penyaluran air buangan ini menggunakan suatu metode pembuangan air
buangan yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Desain sistem penyaluran air
buangan untuk suatu kawasan disesuaikan dengan kebutuhan dari daerah yang akan dilayani
dan prediksi perkembangan wilayah perencanaan selama periode perencanaan. Desain yang
dibuat diusahakan mengeluarkan dana pembangunan dan perawatan yang sedikit tetapi masih
memenuhi kriteria teknis. Untuk menentukan teknologi yang akan digunakan terlebih dahulu
harus dilakukan analisis terhadap kondisi umum, batasan-batasan yang ada dan potensi yang
dimiliki daerah pelayanan (Hardjosuprapto, 2000).

Desain sistem penyaluran air buangan sangat dipengaruhi oleh kondisi eksisiting topografi
dari daerah pelayanan. Kondisi topografi yang tidak teratur akan menambah biaya
pembangunan SPAB. Karena kemungkinan akan menambah bangunan pelengkap seperti
pompa ataupun joint pipa. Pada desain sistem penyaluran air buangan diusahakan penyaluran
dilakukan secara gravitasi, karena dengan gravitasi tidak diperlukan energi tambahan untuk
menyalurkan air limbah. Namun pada beberapa kasus tertentu penggunaan pompa untuk
menambah tekanan bagi aliran air buangan tidak dapat dihindarkan. Pada pemilihan pompa
pun diharapkan pompa yang dipilih memiliki kualitas baik, biaya terjangkau, dan
perawatannya mudah (Hardjosuprapto, 2000).
2.1.1 Sumber-Sumber Air Buangan

Sebelum melakukan perencanaan penyaluran air buangan, perlu diketahui mengenai sumber-
sumber air buangan, antara lain (Burton, 2003):
1. Sumber domestik
Berasal dari pemukiman penduduk, daerah komersial, dan bangunan-bangunan
institusional.
Ciri-ciri air buangan dari sumber domestik ini adalah:
a. Banyak mengandung zat fisis, biologis, dan organik;
b. Terdiri dari kotoran berupa larutan dan suspensi;
c. Jumlahnya tergantung pemakaian air bersih.
2. Sumber industri
Berasal dari berbagai jenis industri. Ciri-ciri dari air buangan industri adalah (Burton,
2003):
a. Berasal dari proses industri dan komposisi air buangan tergantung dari jenis
industrinya;
b. Mengandung unsur-unsur kimia yang paling dominan.
3. Infiltrasi:
a. Adanya air dari luar yang menelusup kedalam pipa;
b. Banyaknya tergantung pada dimensi dan panjang pipa;
c. Laju Infiltrasi biasanya 1-3 L/detik.

2.1.2 Karakteristik Air Buangan

Karakteristik air limbah perlu dikenal karena hal ini akan menentukan cara pengolahan yang
tepat sehingga tidak mencemari lingkungan hidup. Secara garis besar karakteristik air limbah
ini digolongkan sebagai berikut (Hardjosuprapto, 2000):
1. Karakteristik fisik
Sebagian besar terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan-bahan padat dan
suspensi. Terutama air limbah rumah tangga, biasanya berwarna suram seperti larutan
sabun, sedikit berbau. Kadang-kadang mengandung sisa-sisa kertas, berwarna bekas
cucian beras dan sayur, bagian-bagian tinja, dan sebagainya.
2. Karakteristik kimiawi
Biasanya air buangan ini mengandung campuran zat-zat kimia anorganik yang berasal
dari air bersih serta bermacam-macam zat organik berasal dari penguraian tinja, urine dan
sampah-sampah lainnya. Oleh sebab itu pada umumnya bersifat basa pada waktu masih

II-2
baru dan cenderung bersifat asam apabila sudah mulai membusuk. Substansi organik
dalam air buangan terdiri dari 2 gabungan, yakni :
a. Gabungan yang mengandung nitrogen, missalnya urea, protein, amine dan asam
amino.
b. Gabungan yang tak mengandung nitrogen, misalnya lemak, sabun dan
karbohidrat, termasuk selulosa.
3. Karakteristik bakteriologis
Kandungan bakteri patogen serta organisme golongan coli terdapat juga dalam air limbah
tergantung darimana sumbernya namun keduanya tidak berperan dalam proses
pengolahan air buangan.

2.1.3 Dampak Air Buangan

Sesuai dengan zat-zat yang terkandung didalam air limbah ini maka air limbah yang tidak
diolah terlebih dahulu akan menyebabkan berbagai gangguan kesehatan masyarakat dan
lingkungan hidup antara lain (Hardjosuprapto, 2000):
1. Menjadi transmisi atau media penyebaran berbagai penyakit, terutama kolera,
typhus abdominalis, disentri baciler;
2. Menjadi media berkembang biaknya mikroorganisme patogen;
3. Menjadi tempat-tempat berkembang biaknya nyamuk atau tempat hidup larva
nyamuk;
4. Menimbulkan bau yang tidak enak serta pandangan yang tidak sedap;
5. Merupakan sumber pencemaran air permukaan, tanah dan lingkungan hidup
lainnya;
6. Mengurangi produktivitas manusia karena orang bekerja dengan tidak nyaman
dan sebagainya.

2.2 Tingkat Pelayanan

Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum menyiapkan strategi pengolahan limbah


manusia untuk Repelita VI31 dengan target sebagai berikut:
1. Untuk Kota Metropolitan dan Kota Besar.
a. Lima puluh persen (50%) dari penduduk dilayani dengan sistem sanitasi setempat.
b. Dua puluh lima persen (25%) dari penduduk dilayani dengan sistem sanitasi terpusat,
dimana 10% dilayani dengan sistem sewer dan 15 dilayani dengan sistem pipa
interceptor.

II-3
2. Untuk Kota Sedang Tujuh puluh lima persen (75%) dari penduduk dilayani dengan sistem
sanitasi setempat, dengan penyediaan truk tinja dan instalasi pengolahan lumpur tinja
(IPLT).
3. Untuk Kota Kecil Enam puluh persen (60%) dari penduduk dilayani dengan sistem sanitasi
setempat dengan penyediaan lumpur tinja.
4. Untuk Daerah Perdesaan Tujuh ribu desa (7000) akan menerima fasilitas sanitasi setempat.
Target pelayanan adalah 60%.

2.3 Sistem Pengelolaan Air Buangan

Sistem pengelolaan air buangan terdiri dari dua sistem, yaitu:


1. Sistem pengelolaan air buangan on site;
2. Sistem pengelolaan air buangan off site.

2.3.1 Sistem Pengelolaan Air Buangan On Site

Sistem sanitasi setempat (on site sanitation) adalah sistem pembuangan air limbah dimana air
limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran yang akan
membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan atau badan air penerima, melainkan
dibuang di tempat. Contohnya adalah jamban cubluk dan tangki septik. Sistem ini dipakai jika
syarat-syarat teknis lokasi dapat dipenuhi dan menggunakan biaya relatif rendah. Sistem ini
sudah umum karena telah banyak dipergunakan di Indonesia (Zevri, 2010).

Kelebihan sistem ini adalah (Zevri, 2010):


1. Biaya pembuatan relatif murah;
2. Bisa dibuat oleh setiap sektor ataupun pribadi;
3. Teknologi dan sistem pembuangannya cukup sederhana;
4. Operasi dan pemeliharaan merupakan tanggung jawab pribadi.

Disamping itu, kekurangan sistem ini adalah (Zevri, 2010):


1. Umumnya tidak disediakan untuk limbah dari dapur, mandi dan cuci;
2. Mencemari air tanah bila syarat-syarat teknis pembuatan dan pemeliharaan tidak
dilakukan sesuai aturannya.

1. Cubluk (Pit Privy)

Cubluk merupakan sistem pembuangan tinja yang paling sederhana. Terdiri atas lubang yang
digali secara manual dengan dilengkapi dinding rembes air yang dibuat dari pasangan batu
bata berongga, anyaman bambu dan lain-lain. Cubluk biasanya berbentuk bulat atau kotak,
dengan potongan melintang sekitar 0,5-1,0 m2, dengan kedalaman 1-3 m. Hanya sedikit air
II-4
yang digunakan untuk menggelontorkan tinja ke dalam cubluk. Cubluk ini biasanya di desain
untuk waktu 5-10 tahun (Zevri, 2010).

Beberapa jenis cubluk antara lain (Zevri, 2010):


a. Cubluk tunggal
Cubluk tunggal dapat digunakan untuk daerah yang memiliki tinggi muka air tanah > 1 m
dari dasar cubluk. Cocok untuk daerah dengan kepadatan < 200 jiwa/ha. Pemakaian cubluk
tunggal dihentikan setelah terisi 75%.
b. Cubluk kembar
Cubluk kembar dapat digunakan untuk daerah dengan kepadatan penduduk < 50 jiwa/ha
dan memiliki tinggi muka air tanah > 2 m dari dasar cubluk . Pemakaian lubang cubluk
pertama dihentikan setelah terisi 75% dan selanjutnya lubang cubluk kedua dapat
disatukan. Jika lubang cubluk kedua terisi 75%, maka lumpur tinja yang ada di lubang
pertama dapat dikosongkan secara manual dan dapat digunakan untuk pupuk tanaman.
Setelah itu lubang cubluk dapat difungsikan kembali.

Gambar 2.1 Cubluk kembar


Sumber: Juknis, 2000

Dalam mendesain cubluk kembar, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan:
1) Luas permukaan atas cubluk = 1 m2;
2) Cubluk bagian atas diberi lapisan penguat (bata atau beton) untuk mencegah longsor;
3) Bahan pelat jongkok yang digunakan adalah bata dan beton;
4) Terdapat bangunan pelindung yang terbuat dari bata, beton, kayu dan ditambahkan
dengan atap.

II-5
Berdasarkan DPU tahun 2002 Perhitungan volume cubluk dapat mengunakan rumus di
bawah ini :
V = 1,33 × KOJ (Cubluk < 4m) .....................(2.1)

V = KOJ + 1 (Cubluk > 4m) .....................(2.2)

dimana: K = Kapasitas desain cubluk


Cubluk kering, K = 0,06 m3/org/thn;
Cubluk basah, K = 0,04 m3/org/thn;
O = Jumlah orang pengguna cubluk;
J = Jumlah tahun yang digunakan cubluk (sebelum dikosongkan);
1,33 = jika ¾ cubluk telah terisi.

2. Tangki septik

Tangki septik merupakan suatu ruangan yang terdiri atas beberapa kompartemen yang
berfungsi sebagai bangunan pengendap untuk menampung kotoran padat agar mengalami
pengolahan biologis oleh bakteri anaerob dalam jangka waktu tertentu. Untuk mendapat
proses yang baik, sebuah tangki septik haruslah hampir terisi penuh dengan cairan, oleh
karena itu tangki septik haruslah kedap air. Prinsip operasional tangki septik adalah
pemisahan partikel dan cairan partikel yang mengendap (lumpur) dan juga partikel yang
mengapung (scum) disisihkan dan diolah dengan proses dekomposisi anaerobik. Pada
umumnya bangunan tangki septik dilengkapi dengan sarana pengolahan effluent berupa
bidang resapan (sumur resapan). Tangki septik dengan peresapan merupakan jenis fasilitas
pengolahan air limbah rumah tangga yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada
umumnya diterapkan di daerah pemukiman yang berpenghasilan menengah ke atas,
perkotaan, serta pelayanan umum. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan
tangki septik (Zevri, 2010):
a. Kecepatan daya serap tanah > 0.0146 cm/menit;
b. Cocok diterapkan di daerah yang memiliki kepadatan penduduk < 500 jiwa/ha;
c. Dapat dijangkau oleh truk penyedot tinja;
d. Tersedia lahan untuk bidang resapan.

II-6
Gambar 2.2 Tangki septik
Sumber: Zevri, 2010

Berdasarkan SNI : 03-2398-2002, persyaratan teknis dalam perencanaan tangki septik


meliputi:
a. Bahan bangunan harus kuat, tahan terhadap asam dan kedap air;
b. Penutup dan pipa penyalur air limbah adalah batu kali, bata merah, batako, beton
bertulang, beton tanpa tulang, PVC, keramik, plat besi, plastik dan besi;
c. Bentuk dan ukuran tangki septik disesuaikan dengan Q jumlah pemakai, dan waktu
pengurasan. Untuk ukuran kecil (1 kk) dapat berbentuk bulat Q 1,20 m dan tinggi 1,5 m;
d. Ukuran tangki septik sistem tercampur dengan periode pengurasan 3 tahun (untuk 1 KK,
ruang basah 1,2 m3, ruang lumpur 0,45 m3, ruang ambang bebas 0,4 m3 dengan panjang 1,6
m, lebar 0,8 m dan tinggi 1,6 m);
e. Ukuran tangki septik sistem terpisah dengan periode pengurasan 3 tahun (untuk 2 KK,
ruang basah 0,4 m3, ruang lumpur 0,9 m3, ruang ambang bebas 0,3 m3 dengan panjang 1,6
m, lebar 0,8 m dan tinggi 1,3 m);
f. Pipa penyalur air limbah dari PVC, keramik atau beton yang berada diluar bangunan harus
kedap air, kemiringan minimum 2 %, belokan lebih besar 45 % dipasang clean out atau
pengontrol pipa dan belokan 90 % sebaiknya dihindari atau dengan dua kali belokan atau
memakai bak control;
g. Dilengkapi dengan pipa aliran masuk dan keluar, pipa aliran masuk dan keluar dapat
berupa sambungan T atau sekat, pipa aliran keluar harus ditekan (5 - 10 ) cm lebih rendah
dari pipa aliran masuk;
h. Pipa udara diameter 50 mm (2") dan tinggi minimal 25 cm dari permukaan tanah;
i. Lubang pemeriksa untuk keperluan pengurasan dan keperluan lainnya;
j. Tangki dapat dibuat dengan dua ruang dengan panjang tangki ruang pertama 2/3 bagian
dan ruang kedua 1/3 bagian;
II-7
k. Jarak tangki septik dan bidang resapan ke bangunan = 1,5 m, ke sumur air bersih = 10 m
dan sumur resapan air hujan 5 m;
l. Tangki dengan bidang resapan lebih dari 1 jalur, perlu dilengkapi dengan kotak distribusi.

Perhitungan volume tangki septik dapat mengunakan rumus di bawah ini (DPU, 2002):

V = (Qa × O × td) + (Ql × O × P) .....................(2.3)

dimana: Qa = debit air limbah rumah tangga (L/org/hr);


O = jumlah pemakai (orang);
td = waktu detensi (tahun);
Ql = debit lumpur tinja (L/org/thn);
P = Periode pengurasan (tahun).

3. Beerput

Sistem ini merupakan gabungan antara bak septik dan peresapan. Oleh karena itu bentuknya
hampir seperti sumur resapan. Untuk penerapan sistem beerput, terdapat beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi, yaitu tinggi air dalam saluran beerput pada musim kemarau tidak kurang
dari 1,3 m dari dasar, jarak dengan sumur minimal 8 m, volume diameternya tidak boleh < 1m
dan apabila dibuat segi empat maka sisi-sisinya harus lebih besar dari 0,9 m

Gambar 2.3 Beerput


Sumber: Zevri, 2010

2.3.2 Sistem Pengelolaan Air Buangan Off Site

Sistem sanitasi terpusat (off site sanitation) merupakan sistem pembuangan air buangan
rumah tangga (mandi, cuci, dapur, dan limbah kotoran) yang disalurkan keluar dari lokasi
pekarangan masing-masing rumah ke saluran pengumpul air buangan dan selanjutnya
disalurkan secara terpusat ke bangunan pengolahan air buangan sebelum dibuang ke badan
perairan. Contoh dari sistem ini antara lain Mandi Cuci Kakus (MCK) dan jaringan air
perpipaan atau limbah (public sewer) (Zevri, 2010).

II-8
Sistem penyaluran air buangan terbagi menjadi 5 yaitu sistem penyaluran terpisah dan
tercampur, sistem small bore sewer, sistem shallow sewer, sitem pressure sewer, serta sistem
vaccum sewer.

1. Sistem Terpisah dan Tercampur

Sistem penyaluran terpisah atau biasa disebut separate system/ full sewerage adalah sistem
dimana air buangan disalurkan tersendiri dalam jaringan riol tertutup, sedangkan limpasan air
hujan disalurkan tersendiri dalam saluran drainase khusus untuk air yang tidak tercemar
(Zevri, 2010).

Sistem ini digunakan dengan pertimbangan antara lain (Zevri, 2010):


1. Periode musim hujan dan kemarau lama;
2. Kuantitas aliran yang jauh berbeda antara air hujan dan air buangan domestik;
3. Air buangan umumnya memerlukan pengolahan terlebih dahulu, sedangkan air hujan harus
secepatnya dibuang ke badan penerima;
4. Fluktuasi debit (air buangan domestik dan limpasan air hujan) pada musim kemarau dan
musim hujan relatif besar;
5. Saluran air buangan dalam jaringan riol tertutup, sedangkan air hujan dapat berupa polongan
(conduit) atau berupa parit terbuka (ditch).

Kelebihan sistem ini adalah masing-masing sistem saluran mempunyai dimensi yang relatif
kecil sehingga memudahkan dalam konstruksi serta operasi dan pemeliharaannya. Sedangkan
kelemahannya adalah memerlukan tempat luas untuk jaringan masing-masing sistem saluran.

Household wastewater
(toilet, sinks, etc)

catch basin

sewer pipe
storm drain
tunnel

Gambar 2.4 Sistem Saluran Terpisah


Sumber: Zevri, 2010

II-9
Sistem penyaluran tercampur merupakan sistem pengumpulan air buangan yang tercampur
dengan air limpasan hujan. Sistem ini digunakan apabila daerah pelayanan merupakan daerah
padat dan sangat terbatas untuk membangun saluran air buangan yang terpisah dengan saluran
air hujan, debit masing–masing air buangan relatif kecil sehingga dapat disatukan, memiliki
kuantitas air buangan dan air hujan yang tidak jauh berbeda serta memiliki fluktuasi curah
hujan yang relatif kecil dari tahun ke tahun (Zevri, 2010).

Kelebihan sistem ini adalah hanya diperlukannya satu jaringan sistem penyaluran air buangan
sehingga dalam operasi dan pemeliharaannya akan lebih ekonomis. Selain itu terjadi
pengurangan konsentrasi pencemar air buangan karena adanya pengenceran dari air hujan.
Sedangkan kelemahannya adalah diperlukannya perhitungan debit air hujan dan air buangan
yang cermat. Selain itu karena salurannya tertutup maka diperlukan ukuran riol yang
berdiameter besar serta luas lahan yang cukup luas untuk menempatkan instalasi pengolahan.
Buangan (Zevri, 2010).

rain (stormwater)
wastewater
down pipe
r

To the wastewater
Treatment plant

Gambar 2.5 Sistem Penyaluran Tercampur


Sumber: Zevri, 2010

2. Sistem Riol Ukuran Kecil/ Small Bore Sewer

Saluran pada sistem riol ukuran kecil (small bore sewer) ini dirancang, hanya untuk menerima
bagian-bagian cair dari air buangan kamar mandi, cuci, dapur dan limpahan air dari tangki
septik, sehingga salurannya harus bebas zat padat. Saluran tidak dirancang untuk self
cleansing, dari segi ekonomis sistem ini lebih murah dibandingkan dengan sistem
konvensional. Daerah pelayanan relatif lebih kecil, pipa yang dipasang hanya pipa persil dan
servis yang menuju lokasi pembuangan akhir, pipa lateral dan pipa induk tidak diperlukan,
kecuali untuk beberapa daerah perencanaan dengan kepadatan penduduk sangat tinggi dan

II-10
timbulan air buangan yang sangat besar. Sistem ini dilengkapi dengan instalasi pengolahan
sederhana (Zevri, 2010).

Syarat yang harus dipenuhi untuk penerapan sistem ini (Zevri, 2010):
1. Memerlukan tangki yang berfungsi untuk memisahkan padatan dan cairan, tangki ini
biasanya tangki septik;
2. Diameter pipa minimal 50 mm karena tidak membawa padatan;
3. Aliran yang terjadi dapat bervariasi;
4. Aliran yang terjadi dalam pipa tidak harus memenuhi kecepatan self cleansing karena tidak
harus membawa padatan;
5. Kecepatan maksimum 3 m/detik.

Instalasi pengolahan
Drainase air limbah
Jaringan perpipaan

Gambar 2.6 Skema Small Bore Sewer


Sumber: Zevri, 2010

Kelebihan sistem riol ukuran kecil (Zevri, 2010):


1. Cocok untuk daerah dengan kerapatan penduduk sedang sampai tinggi terutama daerah
yang telah menggunakan tangki septik tapi tanah sekitarnya sudah tidak mampu lagi
menyerap effluen tangki septik;
2. Biaya pemeliharaan relatif murah;
3. Mengurangi kebutuhan air, karena saluran tidak mengalirkan padatan;
4. Mengurangi kebutuhan pengolahan misalnya screening;
5. Biasanya dibutuhkan di daerah yang tidak mempunyai lahan untuk bidang resapan atau
bidang resapannya tidak efektif karena permeabilitasnya jelek.

Kekurangan sistem riol ukuran kecil antara lain (Zevri, 2010):


1. Memerlukan lahan untuk tangki;
2. Memungkinkan untuk terjadi clogging karena diameter pipa yang kecil.

II-11
3. Sistem Riol Dangkal (Shallow Sewer)

Shallow sewerage disebut juga simplified sewerage atau condominial sewerage.


Perbedaannya dengan sistem konvensional adalah sistem ini mengangkut air buangan dalam
skala kecil dan pipa dipasang dengan slope lebih landai Perletakan saluran ini biasanya
diterapkan pada blok-blok rumah. Shallow sewer sangat tergantung pada pembilasan air
buangan untuk mengangkut buangan padat jika dibandingkan dengan cara konvensional yang
mengandalkan self clensing (Zevri, 2010).

Sistem ini cocok diterapkan sebagai sewerage di daerah perkampungan dengan kepadatan
tinggi, tidak di lewati oleh kendaraan berat dan memiliki kemiringan tanah sebesar 1%.
Shallow sewer harus dipertimbangkan untuk daerah perkampungan dengan kepadatan
penduduk tinggi dimana sebagian besar penduduk sudah memiliki sambungan air bersih dan
kamar mandi pribadi tanpa pembuangan setempat yang memadai. Sistem ini melayani air
buangan dari kamar mandi, cucian, pipa servis, pipa lateral tanpa induk serta dilengkapi
dengan pengolahan mini (Zevri, 2010).

(a) (b)
Gambar 2.7 Skema Saluran Shallow Sewerage pada Perumahan Tidak Teratur (a)
dan Teratur (b)
Sumber: Zevri, 2010

4. Pressure Sewer

Pressure sewer merupakan sistem penyaluran air buangan yang banyak digunakan di desa-
desa terpencil. Semua air limbah yang dihasilkan dari rumah-rumah akan diarahkan ke unit.
Ketika volume di unit mencapai tingkat yang telah ditetapkan, saklar akan mengaktifkan
pompa penggiling. Pompa beroperasi sampai level yang l berkurang ke titik penggal. Jumlah
pompa yang dioperasikan bervariasi tergantung jumlah arus limbah dari rumah. Umumnya,
jumlah arus limbah lebih tinggi pada pagi dan sore hari. Semua unit pompa sistem
II-12
pengumpulan saluran pressure sewer umum terletak di pinggir jalan dan kemudian dialirkan
ke pabrik pengolahan (George, 1998).

Gambar 2.8 Pressure Sewer


Sumber: George, 1998

5. Vacuum Sewer

Vacuum sewer pertama kali dipasang di Eropa pada tahun 1882. Implementasi teknis Vacuum
sewer awalnya hanya digunakan di kapal, kereta api dan pesawat terbang. Seiring
perkembangan teknologi, supermarket, penjara, marina dan banyak bangunan komersil
menggunakan sistem vakum serta toilet vakum yang dapat mengurangi jumlah pemakaian air
kurang dari 1 liter per flush. Bahkan, NASA menggunakan teknologi toilet vakum untuk
mengurangi kebutuhan air selama di antariksa (Hardjosuprapto, 2009).

Vacuum sewer adalah sistem penyaluran air buangan menggunakan tekanan diferensial antara
tekanan atmosfer dan vakum parsial. Tekanan diferensial ini memungkinkan stasiun vakum
sentral untuk mengumpulkan air limbah dari beberapa ribu rumah, tergantung pada medan
dan situasi lokal. Vacuum sewer memanfaatkan lereng alam yang tersedia di suatu daerah,
sehingga sistem ini sangat ekonomis (Hardjosuprapto, 2009).

Sistem vakum tidak mampu mengangkut limbah dengan jarak yang sangat panjang, tetapi
dapat memompa jarak jauh dari stasiun vakum ke selokan gravitasi utama. Sistem penyaluran
air buangan vakum hanya mampu mengumpulkan limbah dalam sistem terpisah (tidak
bercampur dengan air hujan). Sistem vakum hanya dapat memompa hingga 3-4 km jika
berada di daerah datar, karena keterbatasan akibat headloss dan gesekan (Hardjosuprapto,
2009).

II-13
Gambar 2.9 Vacuum Sewer
Sumber: Hardjosuprapto, 2009

Prinsip pengaliran pada air buangan terdiri atas (Hardjosuprapto, 2009):


1. Salurannya tertutup;
2. Saluran diusahakan sepanjang mungkin agar semua area air buangan bisa ter-cover;
3. BPAB diletakkan sejauh mungkin;
4. Memerlukan vent karena dekomposisi air buangan;
5. Daerah pelayanan seluas mungkin;
6. Saluran air buangan mengikuti jalur jalan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengaliran air buangan ini ialah (Hardjosuprapto,
2009):
1. Pengaliran dilakukan secara gravitasi;
2. Debit aliran air buangan;
3. Dianjurkan dengan kecepatan yang diisyaratkan dapat membersihkan saluran air dengan
sendirinya;
4. Dapat mensirkulasikan udara dan air buangan;
5. Agar tidak terjadi pembusukan air buangan sampai ke BPAB usahakan dalam waktu
kurang dari 18 jam;
6. Pipa air buangan tidak boleh penuh (maksimal 80%).

2.4 Perhitungan Hidrolis Perpipaan

Perhitungan hidrolis perpipaan merupakan dasar untuk desain dan operasi fasilitas penyaluran
air buangan. Ada beberapa jenis aliran, yaitu:
a. Aliran tunak (steady), terjadi apabila debit konstan dengan waktu;
b. Aliran tidak tunak, terjadi apabila debit berubah dengan waktu;
c. Aliran seragam, terjadi apabila kecepatan aliran dan kedalaman tetap sama;
d. Aliran tidak seragam, terjadi apabila kecepatan aliran dan kedalaman berubah.

II-14
Aliran dalam pipa riol (air buangan) merupakan aliran terbuka dan tunak. Aliran dalam pipa
riol sering tidak seragam namun diasumsikan seragam.

2.4.1 Metode Dasar Analisis Aliran Dalam Pipa Riol


1. Persamaan Kontinuitas
Dalam aliran tunak tak bertekanan, persamaan yang digunakan adalah:
Q A v A v tetap .....................(2.4)
Dimana : Q = debit aliran (L/detik)
A1,A2 = luas penampang (m2)
v1,v2 = kecepatan (m/detik)
2. Persamaan Momentum
ρxQ
Untuk memperoleh gaya-gaya aliran: ∑ Fx = ( ) [(vx )2 - (vx )1 ] .....................(2.5)
q

dimana : ∑ Fx = jumlah gaya-gaya luar aliran badan cairan (kg)


ρ = berat jenis cairan (kg/L)
Q = debit aliran (L/detik)
q = gaya gravitasi (9,81 m2/detik)
vx = kecepatan rata-rata sepanjang x arah aliran (m/detik)
1,2 = penampang 1, 2 dengan Q tetap

3. Persamaan Energi/Bernaulli
Energi mekanis akibat tinggi tempat dan tekanan. Nilai energi spesifik per kg air pada setiap
v2
titik sepanjang lajur dalam pipa adalah: H0 =d+ hp + (2 g) .....................(2.6)

Persamaan 2.3 ditulis terhadap bidang persamaan horizontal dikenal dengan persamaan
v12 v2
Bernaulli : Z1 + + hp + d1 + E1 = Z2 + 2 1g +hp2 +d2 +hf .....................(2.7)
2g

dimana : Z = elevasi dasar saluran


E = energi tambahan dari luar oleh pompa (m)
hf = kehilangan tekanan akibat geseran/turbulensi sepanjang L pipa
4. Persamaan Geser Aliran
Air mengalir dalam pipa oleh gaya gravitasi. Tinggi tekan atau perbedaan elevasi yang
dibutuhkan untuk air mengalir disebut kehilangan tekanan atau energi. Kehilangan energi
akibat geseran oleh kekasaran pipa disebut kehilangan energi mayor. Kehilangan energi oleh
perubahan arah dan sebagainya disebut kehilangan energi minor.

II-15
5. Persamaan Darcy-Weisbach
f L v2
H= d 2g .....................(2.8)

dimana: H = kehilangan tekanan (m)


f = factor gesekan Darcy-Weisbach
v = kecepatan rerata (m/dt)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
L = panjang pipa (m)
d = diameter pipa (m)

6. Persamaan Hazen William


Q = 0,2785 C d2,63 S0,54 .....................(2.9)

dimana: Q = debit aliran (m3/dtk)


d = diameter pipa (m)
S = kemiringan gradien hidrolik
C = koefisien Hazen William
100 – 140 untuk air limbah baku (riol)
120– 130 tergantung pada bahan pipa
100 untuk air limbah terolah
7. Persamaan Manning
Q = A/N R2/3 S1/2 .....................(2.10)

dimana: Q = Debit aliran (m3/dt)


n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis (m)
S = kemiringan pipa (m/m)
Persamaan Manning ini cocok dipakai untuk aliran terbuka atau aliran penuh. Aliran penuh
dalam air buangan sama dengan aliran tak bertekanan (tek = 0). Untuk aliran tidak penuh
maka dicari perbandingan antara beberapa unsur hidrolis pada keadaan aliran tak penuh dan
aliran penuh.

2.5 Perhitungan Debit Air Buangan

Dalam menentukan besarnya debit air domestik di suatu daerah ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain:
1. Proyeksi jumlah penduduk;
2. Jenis pemakaian air bersih;
3. Standar pemakaian air bersih;
4. Faktor pemakaian air bersih menjadi air buangan.

II-16
Penentuan debit air buangan domestik diperoleh dari besarnya pemakaian air bersih dengan
memperhitungkan faktor kehilangan air (Burton, 2003). Sehingga dirumuskan sebagai
berikut:
Qr ab = (60 - 80%)  Qr am .....................(2.11)

dimana : Qr ab = Debit rata-rata air buangan (L/detik);


Qr am = Kebutuhan rata-rata air minum (L/detik).

Pada pengaliran air buangan, air yang masuk ke dalam jalur perpipaan juga akan bertambah,
yaitu air yang berasal dari infiltrasi tanah, air hujan dan air permukaan.
Debit infiltrasi air tanah berkisar 1-3 L/detik/1000 m panjang pipa, resapan air tanah ke dalam
sistem diperhitungkan dengan persamaan (Hardjosuprapto, 2000) :
Qinf = L  qinf .....................(2.12)

dimana : Qinf = debit tambahan dari limpasan air hujan (L/detik);


L = panjang lajur pipa (m);
qinf = debit satuan infiltrasi dalam pipa, harganya antara 1-3 L/detik/km dari debit,
diambil 2 L/detik//km.

Besarnya harga debit harian maksimum (Qmd) bervariasi antara 1,1- 1,25 dari debit rata-rata
air buangan (DPU, 1986). Rumus yang digunakan adalah (Hardjosuprapto, 2000) :
Qmd = (1,1 – 1,25) Qr .....................(2.13)

dimana : Qmd = Debit air buangan maksimum dalam 1 hari (L/detik)


Qr = Debit rata-rata air buangan (L/detik)

Sistem small bore sewer mempunyai debit maksimum (Qmax) sama besar dengan debit rata-
rata (Qr). Hal ini disebabkan adanya tangki interseptor yang berfungsi juga sebagai
penyeimbang aliran yang masuk ke saluran menjadi rata-rata. Aliran air buangan yang masuk
ke saluran akan berkurang dalam tangki. Besarnya pengurangan ini merupakan fungsi dari
luas permukaan cairan tangki dan lamanya waktu pembuangan ke dalam tangki. Berdasarkan
penelitian yang ada, besarnya faktor puncak (fp) mencapai 1,2 -1,3 bahkan 2. Rumus yang
digunakan adalah (Hardjosuprapto, 2000) :
Qp = Qr × fp .....................(2.14)

dimana : Qp = Debit puncak (L/detik)


fP = Faktor puncak = 1,2 – 2
Perhitungan debit minimum dari air buangan diperlukan dalam perencanaan penyaluran dan
instalasi pengolahan air buangan, karena pada kondisi ini aliran akan menjadi kecil. Hal ini
dapat menimbulkan pengaruh pada saluran air buangan yaitu :
1. Aliran menjadi lambat dan memungkinkan terjadinya pengendapan partikel air dalam
saluran;
II-17
2. Adanya pengendapan dan aliran yang lambat akan pembusukkan zat-zat organik yang
terdapat di dalam air buangan tersebut oleh aktivitas bakteri;
3. Perlu atau tidaknya suatu bangunan penggelontor dengan mengetahui kondisi aliran
maksimum.

Debit minimum diperoleh dari persamaan :


Qmin = (0,2 – 0,8) Qr .....................(2.15)

dimana : Qmin = Debit hari minimum (L/detik)


Qr = Debit rata-rata air buangan (L/detik)

Dalam desain penyaluran dan instalasi pengolahan air buangan debit perencanaan yang
merupakan akumulasi debit puncak dengan debit infiltrasi (Hardjosuprapto, 2000) :
Qdesain = Qp + Qinf .....................(2.16)

Kandungan yang ada dalam air buangan adalah bahan organik dan bahan anorganik.
Sedangkan debit air buangan sangat bergantung kepada (Metcalf & Eddy, 1979):

1. Pemakaian air minum, biasanya 60-80% dari debit air minum;


2. Jenis sambungan rumah;
3. Untuk industri, tergantung dari jenis industrinya;
4. Untuk daerah komersial tergantung dari jenis penggunaan daerah tersebut (misalnya
untuk hotel, restoran, toko, dan lain-lain).

Perhitungan debit air buangan:


1. Kuantitas/debit rata-rata air buangan
Secara umum dapat ditentukan dengan persamaan (Babbit, 1982):

Qrab = fab x Qr am .....................(2.17)

dimana: Qrab = debit rata-rata air buangan (L/detik)


fab = faktor air buangan (Indonesia ≈ 0,7)
Qram = debit rata-rata air minum (L/detik)
2. Debit maksimum/hari
Secara umum dapat ditentukan dengan persamaan (Babbit, 1982):
Qmd = (1,1- 1,25) x Qrab .....................(2.18)

dimana: Qmd = debit maksimum/hari


1,1-1,25 = faktor maksimum
Qrab = debit rata-rata air buangan
3. Debit maksimum/jam
Yaitu fluktuasi debit air buangan dalam1 hari. Rumus debit maksimum dapat dilihat pada
masing-masing jenis pipa.
II-18
4. Debit minimum/jam
Secara umum dapat ditentukan dengan persamaan (Babbit, 1982):
Qmin = (0,2-0,8) x Qr .....................(2.19)
5. Debit infilitrasi
Secara umum dapat ditentukan dengan persamaan (Babbit, 1982):
Ada dua tempat yaitu:
Qinf persil = (0,1-0,3) x Qr .....................(2.20)
Qinf sepanjang jalur = 1-3 L/detik/km

Berdasarkan persamaan diatas, debit air buangan juga tergantung pada jenis pipa dalam
jaringan Pipa:
1. Debit pipa persil (Qpp)
Qpp = 5 . p0,5 . Qmd .....................(2.21)

dimana: Qpp = Debit puncak desain pipa persil (L/detik)


P = Jumlah penduduk (ribu jiwa)
Qmd = Debit saluran AB harian max (L/detik/1000k)
Qmd = (1,1 – 1,25) Qr
2. Debit pipa servis (Qps)
Qps = ½ . n . Qpp .....................(2.22)

dimana: Qps = Debit pipa servis (L/detik)


n = Jumlah bangunan/jumlah pipa persil

3. Debit pipa lateral (Qpl) dan debit pipa mayor (PI)


Persamaan yang digunakan:
a. Persamaan Moduto, digunakan untuk riol retikulasi jumlah penduduk pelayanan 2000-
4000 jiwa.
4 mx
Qpk  x Qpsr .....................(2.23)
2 mx  x  1

Qpb = Qpk + Qinf .....................(2.24)

Qinf = Fr . Qr + L . qinf .....................(2.25)

Jumlah penduduk t otal


x .....................(2.26)
Jumlah penduduk t erlayani pipa servis/m

 Qps
Qpsr  .....................(2.27)
m

II-19
dimana: Qpk = Debit puncak musim kering (L/detik)
Qpb = Debit puncak musim basah (L/detik)
Qinf = Debit tambahan dari infiltrasi air hujan (L/detik)
m = Jumlah lajur pipa servis
Qpsr = Debit puncak rata-rata pipa servis (L/detik)
b. Persamaan Babbit, digunakan untuk penduduk 4000-1 juta jiwa.
Qpk= 5 . p0,8 . Qm ...................(2.28)
Qpb = Qpk + Qinf ...................(2.29)
Qinf = Fr . Qr + L . qinf ...................(2.30)
Qmin= 1/5 . p1,2 . qmin ...................(2.31)
qmin= 0,8 qr ...................(2.32)
dimana: Fr . Qr = Debit infiltrasi pada daerah retikulasi
Fr = Faktor infiltrasi retikulasi
c. Untuk daerah elit, Fr = 0,1
d.Untuk daerah sedang, Fr = 0,2
e. Untuk daerah jelek, Fr = 0,3
Qr = Debit rata-rata (L/detik)
qinf = Debit saluran infiltrasi dalam pipa mayor (l/dtk/km)
Qmin = Debit minimum (L/detik)
f. Persamaan Babbit & Modifikasi Babbit, digunakan untuk penduduk > 1 juta jiwa.
Qpk = 5 . p1-z . Qmd ....................(2.33)
Fp = 5 . p-z ....................(2.34)
Qmin = 1/5 . p1+z . qmin ....................(2.35)
qmin = 0,8 qr ....................(2.36)
log 4
z=  0,2 ....................(2.37)
log p
p = penduduk dalam ribuan

2.6 Kriteria Perencanaan

Dalam merancang sistem penyaluran air buangan, diperlukan kriteria perencanaan agar
rancangan dapat terarah dan sesuai dengan sistem yang berlaku.

2.6.1 Kecepatan Aliran

Kecepatan yang harus diperhatikan dalam pengaliran air buangan adalah (Babbit, 1982):
1. Kecepatan maksimum
a. Jika air buangan mengandung pasir : 2-2,4 m/detik;
b. Jika air buangan tidak mengandung pasir : 3 m/detik.

II-20
c. Pertimbangannya:
1) Saluran harus dapat menghantarkan air buangan secepatnya menuju instalasi;
2) Pada kecepatan tersebut pengerusan pada pipa belum terjadi, sehingga ketahanan
pipa dapat dijaga.
2. Kecepatan minimum
a. Untuk daerah datar : 0,6 m/detik;
b. Untuk daerah tropis : 0,9 m/detik.
c. Pertimbangannya:
1) Saluran mampu membersihkan diri sendiri (self cleansing atau purification);
2) Mencegah air buangan lama didalam pipa, untuk mencegah sulfur mengoksidasi
pipa.

2.6.2 Kedalaman Aliran

Kedalaman aliran minimum (dmin) bisa saja sama dengan kedalamam berenang. Untuk pipa
PVC dmin-nya adalah 5 cm, sedangkan untuk pipa beton adalah 7,5-10 cm. Kedalaman
berenang adalah kedalaman yang dianggap mampu membawa partikel-partikel mengikuti
aliran pada saat kecepatan minimum. Perbandingan antara kedalaman (d) aliran terhadap
diameter (D) saluran adalah (Babbit 1982):
1. Awal saluran d/D = 0,6;
2. Akhir saluran d/D = 0,8;
3. Jika d/D > 0,8, maka D harus diperbesar atau kemiringan (S) diperbesar;
4. Kedalaman maksimum (dmaks) = 2/3D.

2.6.3 Kemiringan atau Slope Saluran

Besarnya kemiringan pipa atau saluran sangat berpengaruh, mengingat sifat aliran yang
terbuka, dengan cara pengaliran gravitasi. Kemiringan harus diusahakan sekecil mungkin,
tetapi mampu memberikan kecepatan yang diharapkan (0,6–3 m/detik), sehingga galian dapat
seminimal mungkin (Babbit, 1982).

Faktor-faktor yang mempengaruhi slope atau kemiringan adalah:


1. Debit aliran;
2. Diameter pipa;
3. Profil dan bahan pipa;
4. Kecepatan yang diinginkan;
5. Karakteristik air buangan;
II-21
6. Kondisi daerah dan topografi.

Kemiringan pipa untuk berbagai diameter dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kemiringan Pipa untuk Berbagai Diameter


Diameter
No Kemiringan
(inchi) (mm)
1 8 200 0,0040
2 10 250 0,0030
3 12 300 0,0022
4 15 375 0,0015
5 18 450 0,0012
6 21 525 0,0010
7 24 600 0,0009
8 > 27 675 0,0008
Sumber: Fair, 1968

2.6.4 Perletakan Saluran

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perletakkan saluran adalah (Babbit, 1982):
1. Jaringan jalan yang ada;
2. Pengaruh bangunan yang ada;
3. Jenis dan kondisi topografi tanah;
4. Adanya saluran air; jika ada maka saluran air buangan diletakkan paling bawah;
5. Ketebalan tanah urugan dan kedalaman pipa (min. 1,2 meter, maks. 7 meter).

Berikut adalah beberapa alternatif penempatan dan pemasangan saluran, berdasarkan


keadaan/kondisi daerah pelayanan (Babbit, 1982):

1. Di pinggir jalan, dengan pertimbangan mudah diperbaiki bila ada kerusakan;

Gambar 2.10 Penempatan Pipa di Pinggir Jalan


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

2. Di tengah jalan, dengan syarat jalan tidak terlalu lebar, lalu lintas tidak ramai, serta di kiri
dan di kanan jalan sama banyak jumlah pemukimannya;

Gambar 2.11 Penempatan Pipa di Tengah Jalan


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

II-22
3. Jika di kiri dan di kanan jalan jumlah bangunannya tidak sama maka penempatan pipa
adalah pada pinggir jalan yang banyak perumahannya;

Gambar 2.12 Penempatan Pipa di Kiri dan di Kanan Jalan


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

4. Bila elevasi jalan lebih rendah maka saluran diletakkan pada daerah yang lebih tinggi;

Gambar 2.13 Penempatan Pipa Bila Elevasi Jalan Lebih Rendah


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

5. Bila kedua sisi jalan daerahnya padat maka bisa diletakkan di pinggir kiri dan kanan jalan.

Gambar 2.14 Penempatan Pipa di Kedua Sisi Jalan


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

2.6.5 Waktu Tempuh

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam waktu tempuh saluran adalah (Babbit, 1982):
1. Waktu tempuh dianjurkan tidak lebih dari 18 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya proses penguraian/ pembusukan zat organik oleh mikroorganisme.
Zat organik + mikroorganisme + O2 CO2 + H2O
Proses penguraian ini menggunakan O2 yang semakin lama semakin menipis dan mencapai
nol selama 18 jam.
2. Bila O2 habis akan tercipta kondisi anaerobik yang dapat menghasilkan gas H2S (bau
tajam/busuk), NH3 (warna hitam), dan kondisi septik sehingga air buangan susah diolah.
3. Bila t > 18 jam, perlu dibuat beberapa lokasi Bangunan Pengolahan Air Buangan (BPAB)
namun sulit karena biaya mahal.

Rumus untuk menentukan waktu tempuh:


Li
t= Vi  18 jam .....................(2.38)

Dimana: Li = jarak yang ditempuh tiap segmen (m);


Vi = kecepatan aliran tiap segmen pipa (m/detik).

II-23
2.6.6 Jenis dan Profil Pipa

Beberapa pertimbangan dalam pemilihan bentuk pipa adalah (Zevri, 2010):


1. Segi hidrolis pengaliran, dipertimbangkan kedalaman berenang dan kecepatan minimum;
2. Segi kontruksi: harus tertutup, kedap air, memiliki kekuatan dan daya tahan yang cukup
besar;
3. Kondisi lapangan dan topografi: jika daerahnya memiliki kemiringan yang cukup untuk
mengalirkan digunakan saluran bersifat terbuka dalam saluran tertutup, namun untuk
daerah yang relatif datar digunakan saluran tertutup (sebaiknya dihindarkan karena biaya
akan bertambah besar:
4. Ketersediaan tempat untuk penempatan saluran: jika lahan cukup besar lebih baik
menggunakan saluran tipe trapesium, sedangkan jika lahannya kecil sebaiknya digunakan
yang berbentuk segitiga atau segiempat;
5. Segi ekonomis dan teknis: mempertimbangkan biaya yang akan digunakan pada
perancangan (cost minimal) dan kemudahan dalam konstruksi.
6. Bentuk-bentuk pipa yang digunakan bulat lingkaran, debit konstan dan diameter kecil.

Bentuk-bentuk dari saluran air buangan adalah (Babbit, 1982):


1. Saluran terbuka
Bentuk saluran yang dipakai yaitu:
a. Saluran terbuka dengan fluktuasi aliran kecil

Gambar 2.15 Saluran Terbuka dengan Fluktuasi Aliran Kecil


Sumber: Babbit, 1982

b. Saluran terbuka dengan fluktuasi besar

Gambar 2.16 Saluran Terbuka dengan Fluktuasi Aliran Besar


Sumber: Babbit, 1982

II-24
2. Bentuk saluran yang dipakai untuk saluran tertutup:

Bulat telur Bulat lingkaran persegi

Gambar 2.17 Saluran Tertutup


Sumber: Babbit, 1982

Keuntungan dan kerugian saluran yang berbentuk bulat telur:


1. Kedalaman (d) berenang lebih tinggi;
2. Dapat mengatasi fluktuasi yang berlebihan;
3. Sambungannya susah dalam pemasangan;
4. Biayanya lebih mahal;
5. Sulit diperoleh di pasaran.

Keuntungan dan kerugian saluran yang berbentuk bulat lingkaran:


1. Lebih kuat;
2. Gaya-gaya yang terjadi lebih merata;
3. Mudah didapat;
4. Diameter dan panjangnya terbatas.

Keuntungan dan kerugian saluran berbentuk persegi:


1. Bisa dibangun di tempat;
2. Kurang dan tidak begitu kuat;
3. Lebih tebal;
4. Gaya-gaya yang terjadi tidak terurai dengan merata.

Pada umumnya sistem perpipaan penyaluran air buangan terdiri dari (Zevri, 2010) :
1. Pipa persil
Pipa persil adalah pipa saluran yang umumnya terletak di dalam rumah dan langsung
menerima air buangan dari instalasi plambing bangunan. Memiliki diameter 3”–4”,
kemiringan pipa 2%. Teknis penyambungannya dengan pipa servis adalah membentuk
sudut 45° dan apabila perbandingan antara debit dari persil dengan debit dari saluran
pengumpul kecil sekali maka penyambungannya tegak lurus.

II-25
2. Pipa servis
Pipa servis adalah pipa saluran yang menerima air buangan dari pipa persil yang kemudian
akan menyalurkan air buangan tersebut ke pipa lateral. Diameter pipa servis sekitar 6”–8”,
kemiringan pipa 0,5–1 %. Lebar galian pemasangan pipa servis minimal 0,45 m dan
dengan kedalaman benam awal 0,6 m. Sebaiknya pipa ini disambungkan ke pipa lateral di
setiap manhole.
3. Pipa lateral
Pipa lateral adalah pipa saluran yang menerima aliran dari pipa servis untuk dialirkan ke
pipa cabang, terletak di sepanjang jalan sekitar daerah pelayanan. Diameter awal pipa
lateral minimal 8”, dengan kemiringan pipa sebesar 0,5–1%.
4. Pipa cabang
Pipa cabang adalah pipa saluran yang menerima air buangan dari pipa-pipa lateral.
Diameternya bervariasi tergantung dari debit yang mengalir pada masing-masing pipa.
Kemiringan pipa sekitar 0,2–1%.
5. Pipa induk
Pipa induk adalah pipa utama yang menerima aliran air buangan dari pipa-pipa cabang dan
meneruskannya ke lokasi instalasi pengolahan air buangan. Kemiringan pipanya sekitar
0,2–1%.

1 1
2 2
Keterangan:
2 2
1. Pipa persil 2
3 3
2. Pipa servis
3. Pipa lateral
4. Pipa cabang 4
5. Pipa induk
5

BPAB

Gambar 2.18 Istilah Jaringan Perpipaan Air Buangan


Sumber: Zevri, 2010

II-26
Material saluran yang digunakan dalam penyaluran air buangan terbagi atas (Soeparman &
Soeparman, 2001):
1. Pipa PVC (Poly Vinyl Chloride)
Pipa ini banyak digunakan karena mempunyai unggulan, antara lain mudah dalam
penyambungan, ringan, tahan korosi, tahan asam, flexibel, karaktristik aliran sangat baik,
kekuatannya cukup besar dan mudah dibentuk. Namun pipa PVC memiliki kelemahan,
yaitu tidak tahan panas, mudah pecah dan pipa yang sudah dibentuk sulit untuk diubah
kembali.

Gambar 2.19 Pipa PVC


Sumber: Soeparman, 2001

2. Pipa GIP (Galvanized Iron Pipe)


Kelebihan dari pipa ini adalah tidak mudah pecah, tahan lama, sambungannya
menggunakan ulir, dan permukaannya kuat. Tetapi pipa GIP ini mudah berkarat sehingga
terbentuknya lubang-lubang yang menimbulkan kebocoran.

Gambar 2.20 Pipa GIP


Sumber: Soeparman, 2001

3. Pipa asbes
Pipa ini terbuat dari bahan asbes, semen Portland dan silica. Pipa asbes mampu menahan
tekanan yang diperlukan sampai 15 atm. Pipa asbes mempunyai kelebihan-kelebihan
antara lain tahan terhadap karat, tahan terhadap korosi, tahan terhadap asam, tahan
terhadap kondisi limbah yang sangat septik dan pada tanah yang alkalis, tidak mengalirkan
arus listrik, ringan, mudah dipotong dan mudah dipasang serta biaya transportasi lebih
murah.

II-27
Gambar 2.21 Pipa asbes
Sumber: Soeparman, 2001

4. Pipa beton
Pipa beton sering digunakan untuk saluran limbah cair berukuran kecil dan sedang
(diameter 600 mm). Penanganannya cukup mudah karena dapat dibuat langsung di
lapangan, hanya saja tidak kuat terhadap asam.

Gambar 2.22 Pipa beton


Sumber: Soeparman, 2001

5. Pipa fiberglass
Pipa fiberglass banyak digunakan untuk keperluan bahan - bahan yang tahan karat, bersifat
anti korosi, dan penahan muatan berat. Selain itu pembuatan fiberglass tidak memerlukan
teknologi yang rumit. Untuk Indonesia, pipa fiberglass ini jarang ditemukan karena
harganya cukup mahal.

Gambar 2.23 Pipa fiber glass


Sumber: Soeparman, 2001

II-28
6. Pipa clay
Pipa ini sudah digunakan sejak zaman Babylonia dan sampai saat ini masih digunakan.
Pipa tanah liat umumnya memiliki diameter antara 450 – 600 mm. Pipa ini terbuat dari
tanah yang dicampur dengan air, dibentuk kemudian dijemur dan dipanaskan dalam suhu
yang tinggi. Keuntungan penggunaan pipa ini adalah tahan korosi akibat produksi H2S
limbah cair. Selain itu kelemahan pipa ini mudah pecah dan dibentuk dalam ukuran
pendek.

Gambar 2.24 Pipa clay


Sumber: Soeparman, 2001

7. Pipa High Density Polythylene (HDPE)


Keunggulan dari pipa industri HDPE (Iwan, 2011):
a. Formula dalam pembuatan HDPE tidak mengandung material yang berbahaya;
b. PE direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) dan Expects Early
Education and Care (EEC) requirement;
c. Pipa HDPE adalah pipa yang memiliki ketahanan sangat baik, telah dibuktikan
melalui tes laboratorium bahwa dalam kondisi normal pipa HDPE akan dapat bertahan
40 hingga 50 tahun;
d. Keunggulan pipa HDPE yang lain adalah material yang ramah terhadap lingkungan;
e. HDPE tidak bereaksi secara kimiawi dengan material lain, berbeda dengan logam atau
semen, sehingga tidak perlu dibuat lapisan yang bersifat melindungi atau proses
finishing. Dengan demikian dapat menekan biaya tambahan dan menghilangkan resiko
kegagalan pada saat proses tersebut dilakukan;
f. Pipa HDPE dapat mengatasi kondisi alam ekstrim pada saat gempa bumi atau tanah
longsor;
g. HDPE telah sukses pada saat uji cobadalam simulasi aktifitas seismik hingga 7 Skala
Richter. Terbukti pada Gempa bumi di Kobe, Jepang (1995), dan Tsunami di Phuket
(Thailand) 2004;
h. Memenuhi International Organization for Standardization (ISO Standard) jadi lebih
dari Standar Nasional Indonesia (SNI);

II-29
i. Panjang pipa PE 100 untuk diameter dibawah 110 mm dapat digulung 50-300 m atau
dalam bentuk batang standar 6 meter atau 12 meter;
j. Waktu pemasangan pipa ini jauh lebih cepat apabila dibandingkan pipa jenis lainnya;
k. Pipa HDPE memiliki sifat anti korosi, juga tahan terhadap asam, caustics, garam dan
gas. Permukaan dalam pipa polietilena cukup kuat sehingga cocok untuk berbagai tipe
abrasi lain.

Gambar 2.25 Pipa HDPE


Sumber: Soeparman, 2001

Material saluran yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat secara teknis yaitu (Zevri,
2010):
1. Saluran harus tertutup;
2. Kedap air, sehingga kemungkinan terjadinya infiltrasi bisa diatasi.

Selain syarat-syarat diatas, dalam pemilihan material saluran harus diperhatikan faktor-faktor
sebagai berikut (Zevri, 2010):
1. Material saluran yang dipakai harus dapat mengalirkan air buangan dengan baik;
2. Memiliki kekuatan dan daya tekan yang tinggi;
3. Tahan terhadap asam dan korosi;
4. Kekasaran pipa, yang akan mempengaruhi aliran dalam saluran;
5. Kemudahan dalam konstruksi, mudah didapat di pasaran;
6. Tanah tempat penanaman pipa.

Material-material saluran yang disebut diatas mempunyai kekurangan dan kelebihan


tersendiri. Hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan material saluran sehingga bisa
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana saluran akan dibangun.

Beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan pemilihan bahan pipa adalah (Zevri,
2010):
1. Kondisi lapangan, drainase, topografi tanah;
2. Sifat aliran dalam pipa, koefisien geseran;
3. Lifetime yang diharapkan;
4. Tahan gesekan, asam, alkali, gas, dan pelarut;
5. Mudah penanganan dan pemasangannya;
II-30
6. Kekuatan struktur dan tahan terhadap korosi tanah;
7. Jenis sambungan dan kemudahan pemasangannya serta kedap air dan mudah diperoleh di
pasaran;
8. Tersedianya bahan, adanya pabrik pembuatan dan perlengkapannya;
9. Tersedianya pekerja terampil dan tenaga ahli dalam riolering sehingga dapat memilih pipa
yang tepat dan ekonomis.

Perbandingan bahan saluran yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan bahan
saluran dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Perbandingan Bahan Saluran


Diameter Panjang Korosif dan
No. Bahan Standar Kekuatan Jenis Sambungan
(inch) (m) Erosi
Reinforced
1 12 - 144 1,2 – 7,4 ASTMC 76 Tidak tahan Kuat Bell spigot
Concrete
Mudah Mortar, Rubber
2 Tanah Liat 4 - 48 1–2 ASTMC 700 Tahan
pecah gasket
AWWAC
3 Pipa Asbes 4 - 42 Tidak tahan Kuat Colar, rubber ring
400
Bell spigot,
AWWAC Sangat
4 Cast Iron 2 - 48 6,1 Tidak tahan flanged
100 kuat
mechanical
AWWAC
5 Pipa Baja 8 - 252 1,2 – 4,6 Tidak tahan Kuat Bell spigot, socket
200
Flexible rubber,
6 PVC 4 - 15 3,2 ASTMD 302 Tahan Cukup
gasket
ASTMD Rubber gasket,
7 HDPE 6 - 36 6,3 Tahan Kuat
3212 tight bell, coupler
Sumber : Pramadhita, 2006

2.6.7 Pola Jaringan Saluran

Pola-pola jaringan yang umum diterapkan pada sisyem penyaluran air buangan (Fair, Geyer &
Okun, 1986):
1. Pola perpendicular ( tegak lurus)
Pola ini dapat diterapkan untuk sistem jaringan penyaluran air buangan pada sistem
terpisah maupun tercampur, namun pada pola ini banyak diperlukan Badan Pengelolaan
Air Buangan (BPAB)

2. Pola interceptor
Pola interceptor adalah pola sistem campuran terkendali yaitu ke dalam pipa riol hulu
dimasukkan sejumlah tertentu air hujan dengan pemasukan terkendali. Ketika pemasukan
air hujan terjadi, pipa riol hulu penuh dan bertekanan dari awal sampai pipa riol

II-31
interceptor, tetapi dibatasi tidak mempunyai gradien hidrolis yang mengakibatkan
peluapan atau air balik ( back water) pada perlengkapan saniter daerah pelayanan. Ujung
akhir riol hulu didesain melintas di atas riol interceptor, sedangkan outfall bypassnya
menuju badan air penerima terdekat. Pola ini cocok untuk diterapkan di daerah pantai.
Pola jaringan ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.26 Pola Jaringan Interseptor


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

3. Pola zona
Pola Zona atau wilayah adalah pola yang diterapkan pada daerah pelayanan yang terbagi
dua oleh adanya sungai di daerah pelayanan, dimana pipa penyeberangan atau siphon
tidak mungkin atau sangat mahal untuk dibangun. Pola jaringan ini dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 2.27 Pola Jaringan Zona


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

4. Pola kipas
Pola Kipas adalah pola yang diterapkan pada daerah pelayanan yang terletak di suatu
lembah. Pada pola ini pengumpulan aliran ke arah dalam dapat melalui lebih dari dua
cabang saluran, yang kemudian bersatu dalam pipa utama menuju suatu outfall atau
BPAB. Pola jaringan ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

II-32
Gambar 2.28 Pola Jaringan Kipas
Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

5. Pola radial
Pada pola radial, pengumpulan aliran dilakukan ke segala arah, ke arah luar dimulai dari
daerah tinggi, jalur yang ditempuh pendek-pendek sehingga diperlukan banyak BPAB.
Pola jaringan ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.29 Pola Jaringan Radial


Sumber: Fair, Geyer & Okun, 1986

2.6.8 Kedalaman Pemasangan Saluran

Kedalaman penanaman pipa air buangan tergantung dari fungsi pipa itu sendiri. Jenis pipa
menurut fungsinya adalah pipa persil, servis, lateral, dan induk. Kedalaman awal pemasangan
pipa (Zevri,2010):
1. Pipa persil : (0,45 – 1,00) meter dari permukaan tanah;
2. Pipa servis : (0,88 – 1,20) meter dari permukaan tanah;
3. Pipa awal lateral : (0,88 – 1,20) meter dari permukaan tanah;
4. Kedalaman akhir benam maksimum pipa induk dan cabang disyaratkan tidak lebih dari 7
meter jika lebih dari 7 meter maka harus dinaikkan dengan pompa. Sedangkan kedalaman
awal pipa induk dan cabang adalah 1,2 meter, jika kurang dari 1,2 meter maka butuh drop
manhole.
5. Untuk pipa small bore sewer, penanaman pipa riolnya dari 0,6 m (di lahan persil =
sambungan rumah/gedung) sampai dalam sekali pada lajur saluran riol induknya (di
Indonesia maksimum sekitar 7,0 m).

II-33
2.6.9 Bangunan Pelengkap

Bangunan pelengkap untuk air buangan antara lain (Babbit, 1982):


1. Manhole
a. Manhole adalah lubang pada jalur pipa yang berfungsi untuk mengontrol dan
membersihkan saluran;
b. Manhole harus ditutup, untuk menjaga aliran air dari luar dan diberi ventilasi untuk
mengeluarkan gas dan untuk mengatur tekanan udara;
c. Penempatan manhole pada jalur lurus bisa dilihat ada tabel 2.3

Tabel 2.3 Penempatan Manhole Pada Jalur Lurus


Diameter pipa (mm) Jarak manhole (m)
< 200 50 – 100
200 – 500 100 – 125
500 – 1000 125 – 150
> 1000 150 – 200
Sumber : Hardjosuprapto, 2000

d. Penempatan pada setiap perubahan diameter, perubahan slope dan perubahan arah
aliran (kecuali pada vertikal, horizontal diameter 22,50), pada setiap
pertemuan/percabangan saluran;
e. Diameter manhole tergantung juga pada kedalaman manhole dan disarankan untuk
dapat dimasuki dengan mudah. Diameter manhole terhadap kedalaman dapat dilihat
pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Diameter Manhole Terhadap Kedalaman


Kedalaman (m) Diameter manhole (m)
< 0,8 0,75
0,8 – 2,5 1,00 – 1,20
> 2,5 1,20 – 1,80
Sumber : Hardjosuprapto, 2000

f. Kriteria manhole adalah (Burton, 2003):


1) Dinding dan pondasi harus kedap air;
2) Harus tahan terhadap gaya luar;
3) Luasnya harus cukup untuk dimasuki operator;
4) Bahan dari beton, batu bata atau batu kali untuk kedalaman kecil  > 2,5 m beton
bertulang;
5) Bagian atas manhole atau tutupnya harus fleksibel, mudah diperbaiki dan kuat
menahan gaya diatas, terdapat dipasaran dan bisa berfungsi sebagai ventilasi.
II-34
Gambar 2.30 Manhole
Sumber: Zevri, 2010

2. Drop manhole
Drop manhole adalah bangunan yang dipasang jika elevasi permukaan air pada riol
penerima lebih rendah dan mempunyai perbedaan ketinggian lebih besar dari 0,6 meter (2
ft) terhadap dasar riol pemasukkannya dalam satu manhole pertemuan. Sebelum sampai
di riol pertemuan itu, riol pemasukkannya harus dibelokkan terlebih dahulu miring atau
vertikal ke bawah di luar manhole dengan sambungan Y atau T (Zevri, 2010).
Drop manhole berfungsi untuk menghindari terjadinya spalshing air buangan yang dapat
merusak dasar manhole serta mengganggu operator. Selain itu drop manhole pun
berfungsi untuk mengurangi pelepasan H2S yang terbentuk dalam saluran.

Dua jenis drop manhole yang sering digunakan (Zevri, 2010):


a. Tipe Z (pipa drop 90°);
b. Tipe Y (pipa drop 45°).

Gambar 2.31 Drop Manhole


Sumber: Zevri, 2010

3. Terminal clean out


Clean out adalah bangunan pelengkap saluran yang biasanya diletakkan pada ujung awal
saluran, pada jarak 150-200 ft dari manhole. Jarak antar clean out berkisar 250-300 ft.

II-35
Clean out berfungsi sebagai (Zevri, 2010):
a. Tempat untuk memasukkan alat pembersih ujung awal pipa servis/lateral;
b. Tempat memasukkan alat penerangan saat dilakukan pemeriksaan;
c. Tempat pemasukkan air penggelontor sewaktu diperlukan;
d. Menunjang kinerja manhole dan bangunan penggelontor;
e. Turut berperan dalam proses sirkulasi udara;
f. Ukuran pipa terminal cleanout sama dengan diameter pipa air buangan namun untuk
menghemat biaya digunakan pipa tegak berdiameter 8”.

Gambar 2.32 Terminal clean out


Sumber: Zevri, 2010

4. Siphon
Siphon merupakan bangunan perlintasan aliran dengan defleksi vertikal/miring.
Misalnya, bila saluran harus melintasi sungai, jalan kereta api, jalan raya rendah, saluran
irigasi, lembah, dan sebagainya, dimana elevasi dasarnya lebih rendah dari elevasi dasar
saluran riol (Zevri, 2010).
a. Kriteria perencanaan
1) Diameter minimum 15 cm namun untuk memberikan kecepatan yang lebih tinggi
diameter bisa lebih kecil (minimal 10 cm) namun untuk menghindari penyumbatan
siphon harus dilengkapi pipa penguras (drain);
2) Pipa harus terisi penuh;
3) Kecepatan pengaliran harus konstan agar mampu menghanyutkan kotoran atau
buangan padat, kecepatan desain biasanya lebih besar (0,6-0,9) m/detik;
4) Dibuat tidak terlalu tajam agar mudah dalam pemeliharaan;
5) Perencanaan harus mempertimbangkan debit minimum, rata-rata, dan maksimum;
6) Pada awal dan akhir siphon harus dibuat sumur pemeriksaan untuk memudahkan
pembersihan.

II-36
b. Dimensi Pipa
Dimensi pipa siphon dapat dihitung dengan persamaan kontinuitas
Q = A.V=1/4 π D2 ......................(2.39)

dimana: Q = Debit air buangan (m3/detik);


V = Kecepatan aliran dalam siphon (m/detik);
D = Diameter pipa siphon (m).

c. Kehilangan tekanan
Kehilangan tekanan dalam siphon berperan dalam perencanaan siphon, dengan
mengetahui kehilangan tekanan maka perbedaan ketinggian awal dan akhir saluran
siphon dapat ditentukan dengan tepat. Berikut persamaan untuk menentukan
kehilangan tekanan (Zevri, 2010):
v2
H (1  a  b  L ) ......................(2.40)
2g D

1
a 1 ......................(2.41)
μ

b  1,5 ( 0,01989  0,0005078 ) ......................(2.42)


D

dimana: H = Kehilangan tekanan sepanjang siphon (m);


v = Kecepatan aliran dalam siphon (m/detik);
g = Percepatan gravitasi (m/detik2);
a = Koefisien kontraksi pada mulut dan belokan pipa;
b = Koefisien gaya gesek antara air dan pipa;
L = Panjang pipa (m);
D = Diameter pipa (m).
Agar pengaliran berjalan lancar, elevasi awal siphon harus lebih tinggi dari elevasi
akhir siphon. Tinggi yang dibutuhkan adalah headloss selama pengaliran yang berasal
dari entrance loss, headloss sepanjang pipa dan headloss dibelokan.

Gambar 2.33 Siphon


Sumber: Zevri, 2010

II-37
d. Inlet chamber
Inlet chamber berfungsi sebagai bangunan peralihan dari pipa air buangan yang sifat
alirannya terbuka menuju pipa siphon yang sifat alirannya bertekanan, selain itu inlet
chamber pun berfungsi untuk mendistribusikan air buangan ke dalam masing-masing
pipa siphon sesuai dengan kondisi alirannya. Inlet chamber berbentuk bujur sangkar
atau persegi panjang yang dilengkapi dengan unit pembagi aliran (Zevri, 2010).
Dimensi:
1) Lebar = diameter pipa air buangan + diameter pipa siphon aliran rata-rata +
diameter pipa siphon aliran max + 2”;
2) Panjangnya disesuaikan dengan panjang manhole;
3) Ketinggiannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi overflow ke dalam
manhole di sampingnya.

Gambar 2.34 Inlet Chamber


Sumber: Zevri, 2010

e. Outlet chamber
Fungsi outlet chamber adalah kebalikan dari inlet chamber. Bentuk dimensinya sama
dengan inlet chamber hanya dilengkapi dengan sekat dan terjunan agar alirannya tidak
kembali masuk ke pipa siphon lainnya. Dimensi sekat memiliki ketinggian yang
disesuaikan dengan kedalaman alirannya sedangkan ketinggian terjunan
dipertimbangkan terhadap kedalaman penanaman pipa air buangan (Zevri, 2010).

Gambar 2.35 Outlet Chamber


Sumber: Zevri, 2010

II-38
f. Drain
Untuk pembersihan pipa bagian dasar, diperlukan pipa drain yang menyalurkan
kotorannya ke bak penampung yang terdapat dalam manhole, selanjutnya dipompa.
Bentuknya berupa pipa horizontal yang dihubungkan dengan pipa siphon dan
menggunakan ‘Y connection’ serta dilengkapi dengan valve. Diameternya sama
dengan diameter pipa siphon. Tempat penyambungannya pada bagian sisi pipa siphon
yang menurun (Zevri, 2010).

Gambar 2.36 Drain


Sumber: Zevri, 2010

5. Ventilasi udara
Ventilasi udara diperlukan untuk (Zevri, 2010):
a. Mengeluarkan gas yang berbau;
b. Memasukkan udara segar ke dalam saluran;
c. Mencegah timbulnya gas H2S sebagai proses dekomposisi zat organik pada saluran;
d. Mengatur tekanan udara dalam pipa saluran air buangan atau manhole dan
menyelaraskan dengan tekanan udara diluar.

Ventilasi udara diperlukan jika perjalanan air buangan membutuhkan waktu lebih dari 18
jam ke BPAB. Jarak ventilasi untuk aliran yang ideal/lancar:

X  v.t ......................(2.43)

dimana: X = Jarak ventilasi (m);


v = Kecepatan aliran (m/s);
t = Waktu tempuh (s)

Gambar 2.37 Ventilasi Udara


Sumber: Zevri, 2010

II-39
6. Flush tank (Bangunan Penggelontor)
Fungsi dari bangunan ini adalah (Zevri, 2010):
a. Mencegah pengendapan kotoran;
b. Mencegah pembusukan;
c. Menjamin db (tinggi berenang)  5-10 cm.

Faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah (Zevri, 2010):


a. Air harus bersih, tidak banyak mengandung lumpur, tidak bersifat asam atau basa, dan
tidak asin sehingga tidak menyebabkan korosi;
b. Air penggelontor tidak boleh menambah kotor saluran.

Penggelontoran biasanya dilakukan pada (Zevri, 2010):


a. Pipa-pipa utama seperti pada pipa cabang, pipa induk, dan pipa lateral, hal ini
disebabkan karena kecilnya kemiringan saluran sehingga mudah terjadi pengendapan;
b. Pipa-pipa pada daerah pelayanan kecil;
c. Awal manhole dan permulaan pipa.

Banyaknya air yang dibutuhkan untuk penggelontoran tergantung pada (Zevri, 2010):
a. Diameter saluran;
b. Kemiringan dan panjang pipa;
c. Kedalaman minimum (dmin);
d. Tinggi berenang (dB).

Volume tangki air penggelontor biasanya 4 m3, kecepatan penggelontoran diatur


sedemikian rupa agar tidak terjadi efek water hammer.

Sistem penggelontoran ada dua yaitu (Zevri, 2010):


a. Sistem kontinu (terus menerus dengan debit konstan)
Kelebihan:
1) Kedalaman berenang akan selalu tercapai dan kecepatan aliran dapat diukur;
2) Hanya diperlukan beberapa bangunan penggelontor, hanya pada awal pipa;
3) Terjadi pengenceran, sehingga mengurangi beban pengolahan;
4) Kemungkinan aliran tersumbat kecil;
5) Pengoperasiannya mudah.

Kerugian:
1) Diameter saluran jadi besar;
2) Terjadi penambahan beban hidrolis;
3) Tidak ekonomis jika airnya dari penyediaan air minum.
II-40
b. Sistem berkala (dilakukan pada saat Qmin)
Kelebihan:
1) Dapat diatur sesuai kebutuhan pada saat debit minimum (Qmin);
2) Debit penggelontor dapat disesuai dengan kebutuhan;
3) Dimensi saluran kecil;
4) Tidak menambah beban hidrolis.

Kerugian:
1) Kemingkinan terjadinya penyumbatan besar;
2) Estetika saluran kurang terjamin;
3) Memerlukan unit bangunan penggelontor sepanjang pipa sesuai kebutuhan;
4) Pengoperasiannya memerlukan tenaga ahli.

Rumus penggelontoran:

Qg
Vg  L  L (Ag  A min ) ......................(2.44)
Vw

Qg  Vw (Ag  Amin ) ......................(2.45)

g(Ag.dg - Amin.dmin)
Vw  Vmin  ......................(2.46)
A
A min (1  min )
Ag

Dimana: Vg = Volume air penggelontor (m3);


Qg = Debit penggelontor (m3/dt);
Vw = Kecepatan air gelontor (m/s);
L = Panjang pipa yang digelontor (m);
Ag = Luas penampang basah saat dg (m2);
Amin = Luas penampang basah saat dmin (m2);
Vmin = Kecepatan air saat Qmin (m/s);
dg = Kedalaman titik berat penampang air penggelontor
= 2/5 dg (m);
dmin = Kedalaman titik berat penampang pada Qmin
= 2/5 dmin (m).
Persyaratan dilakukannya penggelontoran adalah apabila dmin dari air buangan pada
pipa saluran lebih kecil dari tinggi berenangnya (dB) dimana dB = dg dan nilainya
berkisar antara 5-10 cm.

Air yang digunakan untuk menggelontor dapat berasal dari (Burton, 1979):
a. Air tanah
Air ini cukup bersih, tapi dalam pemanfaatannya dibutuhkan tenaga untuk
menaikkannya dan butuh biaya untuk konstruksi dan pemeliharaan.

II-41
b. Air hujan
Air ini berasal dari sistem drainase kota dengan membuat Connection between the
Sewer and Drainage System (CSD). Sistem ini akan mengurangi tenaga manusia,
murah, dan airnya bersih karena menggunakan saringan. Penggunaan air ini
tergantung besar dan lamanya curah hujan dan butuh pemeliharaan terhadap
saringannya.
c. Air hidran
Keuntungan menggunakan air ini ialah airnya bersih, tidak mengandung pasir, dan
tidak mengandung padatan. Namun biayanya besar dan butuh tenaga ahli untuk
operasi dan pemeliharaannya.

d. Air sungai
Keuntungan penggunaan air ini ialah biayanya kecil dan kuantitasnya yang besar.
Tetapi air sungai banyak mengandung zat padat terlarut dan debitnya tergantung pada
musim.

Gambar 2.38 Flush Tank


Sumber: Burton, 1979

7. Pompa dan rumah pompa


Fungsi pompa dalam penyaluran air buangan ialah (Zevri, 2010):
a. Mengangkat air dari tempat yang rendah ke tempat yang lebih tinggi;
b. Memindahkan air buangan dari suatu zona ke zona lain;
c. Menghindari galian yang lebih dalam.

Rumah pompa dilengkapi dengan sumur pengumpul atau wet well dengan waktu detensi
10-30 menit. Pompa yang biasa digunakan adalah pompa sentrifugal non clogging yang
terbagi atas (Zevri, 2010):
a. Axial flow
Digunakan untuk air hujan. Karakteristik pompa ini adalah mahal, head-nya < 9 meter
dan Ns = 8000-16000 rpm.

II-42
Gambar 2.39 Axial Flow
Sumber : Caseih, 2008

b. Mixed flow
Digunakan untuk air hujan dan juga air buangan. Pompa ini memiliki Ns = 4200-9000
rpm dan paling murah.

Gambar 2.40 Mixed Flow


Sumber: Hindawi, 2012

c. Radial flow
Digunakan untuk air buangan dan lebih banyak yang menggunakannya karena jarak
antara impeller-nya jauh sehingga memperkecil penyumbatan. Pompa ini memiliki Ns
= 4200-6000 rpm dan harganya sedang.

Gambar 2.41 Radial Flow


Sumber: Hindawi, 2012

Ns adalah spesific speed yang menunjukkan efisiensi dari pompa. Cara penentuannya
ialah (Zevri, 2010):

N Q
Ns  ......................(2.47)
H 0,75

dimana: Ns = Specific speed (rpm);


N = Jumlah putaran (putaran)
H = Head pompa (Kwatt).

II-43
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pompa ialah (Zevri, 2010):
a. Pompa yang direncanakan pada aliran puncak;
b. Head pompa;
c. Jumlah pompa minimal 2 buah;
d. Pompa diatur otomatis sehingga pada saat waktu detensi tertentu pompa dapat bekerja.

8. Belokan
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah (Zevri, 2010):
a. Pada belokan tidak terjadi perubahan penampang melintang saluran;
b. Dinding bagian dalam dibuat selicin mungkin;
c. Bentuk harus seragam, baik radius atau kemiringannya;
d. Harus dibuat manhole diatasnya;
e. Radius dan pembelokkan yang terlalu pendek harus dihindari untuk menghindari
kehilangan tekanan.

9. Transition dan junction


Junction adalah pertemuan beberapa saluran pada satu titik. Pada setiap junction harus
dibuat manhole. Transition adalah perubahan dimensi saluran (biasanya dari kecil ke
besar).

Yang harus diperhatikan adalah (Zevri, 2010):


a. Dinding dalam saluran harus selicin mungkin;
b. Kecepatan aliran disetiap saluran diusahakan seragam;
c. Perubahan aliran pada arah junction tidak boleh terlalu tajam, misalnya sudut
pertemuan cabang dan induk = 450 maks.

10. Sambungan rumah


Sambungan rumah merupakan pertemuan saluran air buangan dari rumah dengan saluran
lainnya (utama), misalnya: pipa persil dengan pipa servis.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah (Zevri, 2010):
a. Air buangan tidak boleh mengganggu kelancaran pada saluran utama;
b. Jika air buangan dari sambungan rumah masuk secara horizontal ke saluran utama,
usahakan sudut pertemuan tidak lebih dari 450;
c. Jika air buangan dari sambungan rumah masuk secara vertikal ke saluran utama, air
buangan tidak boleh mengalir melalui dinding saluran, untuk menghindari terjadinya
kerak pada sekitar dinding sambungan;
d. Diameter pipa sambungan rumah antara 100-150 mm dengan kemiringan 2% (maks.
7% jika terpaksa).
II-44

Anda mungkin juga menyukai