Anda di halaman 1dari 4

Hipersensitivitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena
terlalu senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat
fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Hipersensitivitas merupakan reaksi imun tipe I,
namun berdasarkan mekanisme dan waktu yang dibutuhkan untuk reaksi, hipersensitivitas terbagi
menjadi empat tipe lagi: tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Penyakit tertentu dapat dikarenakan satu
atau beberapa jenis reaksi hipersensitivitas.[1]

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Hipersensitivitas Tipe I
 2 Hipersensitivitas Tipe II
 3 Hipersensitivitas Tipe III
 4 Hipersensitivitas Tipe IV
 5 Referensi

Hipersensitivitas Tipe I[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Alergi

Tes alergi (hipersensitivitas tipe I) pada kulit.

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini
berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal.
Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga
kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil.
Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit
(tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk
melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE
merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak
terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa
penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu.[1]

Hipersensitivitas Tipe II[sunting | sunting sumber]

Pemfigus, contoh hipersensitivitas tipe II pada anjing.

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) danimunoglobulin


E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan
terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang secara langsung berhubungan dengan antigen
tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.[2]
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan
antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:

 Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),


 Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
 Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakanginjal).[3]

Hipersensitivitas Tipe III[sunting | sunting sumber]


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya
pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang
diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun,
kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau
hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap
senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-
antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga
dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.[4]
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan
antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan
sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks
imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan
antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya
kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah
spora Aspergillus clavatusdan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan
gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.[4]

Hipersensitivitas Tipe IV[sunting | sunting sumber]

Perbesaran biopsi paru-paru dari penderita hipersensitivitas pneumonitis menggunakan mikrograf.

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat
(delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag.
Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena
paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed
type hipersensitivity, DTH).[5]
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal
timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.[1]

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Epidermal (senyawa
48-72 Limfosit, diikuti makrofag;
Kontak Eksim(ekzema) organik,jelatang atau poison ivy,
jam edema epidermidis
logam berat , dll.)
48-72 Pengerasan Intraderma (tuberkulin, lepromin,
Tuberkulin Limfosit, monosit, makrofag
jam (indurasi) lokal dll.)
Antigen persisten atau senyawa asing
21-28 Makrofag,epitheloid dan sel
Granuloma Pengerasan dalam tubuh (tuberkulosis, kusta,
hari raksaksa, fibrosis
etc.)
Referensi[sunting | sunting sumber]

1. ^ a b c (Inggris)Hypersensitivity Reactions. Abdul Ghaffar.


2. ^ David K. Male, Jonathan Brostoff, Ivan Maurice Roitt, David B. Roth (2006). Immunology.
Mosby. ISBN 978-0-323-03399-2.
3. ^ (Inggris)Hypersensitivity Douglas F. Fix.
4. ^ a b (Inggris)Fritz H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-58890-245-0.
5. ^ (Inggris)Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the immune
response. Academic Press. ISBN 978-0-12-374163-9..

Anda mungkin juga menyukai