PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum sebagai berikut:
1. Memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian.
2. Mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji
3. Mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan dibanding dengan pasta
komersial
4. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan dan mengetahui
sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Pendinginan
Penimbangan
Biji Kakao
Nib Kulit
Penimbangan Penimbangan
Penimbangan 50 gram
Nib
Pemastaan
Pasta
Pengukuran Partikel
Uji organoleptik
Gambar 3.4. Diagram alir proses pembuatan coklat
Pada proses pembuatan coklat langkah pertama yang dilakukan adalah
pemanasan bahan utama. Bahan-bahan dalam pembuatan coklat antara lain pasta kakao
sebagai bahan utama pembuatan coklat , lemak kakao berfungsi sebagai bahan utama
dalam pembuatan coklat dan menentukan tekstur akhir coklat yang dihasilkan, susu full
cream berfungsi sebagai penambah citarasa dan flavor coklat, lesitin berfungsi untuk
mengurangi kekentalan sehingga lemak kakao bisa lebih merekap, vanili berfungsi
sebagai penambah aroma dari coklat yang dihasilkan, soda kue berfungsi untuk
memperbaiki tekstur yang dihasilkan. Tujuan pemanasan ini adalah untuk melelehkan
lemak kakao dan sebagai proses pencampuran bahan. Setelah didapatkan larutan coklat
cair, maka larutan tersebut dilakukan pemasukkan kedalam ball mill refiner dengan
suhu 60oC selama 6 jam. Pada proses ini bertujuan sebagai proses refining agar tektur
coklat baik karena selama proses ini padatan dalam coklat akan menyebar keseluruh
bagian sehingga larutan tercampur (homogen) sempurna. Pada proses ini diharapkan
ukuran partikel coklat <20µm. Selanjutnya, larutan coklat di lakukan pemindahan pada
mesin conching. Pada proses ini bertujuan untuk penghalusan larutan dan
meningkatkan tekstur, aroma, dan rasa. Proses conching dilakukan dengan suhu 60-
70oC selama 4 jam. Setengah jam sebelum proses conching berakhir dilakukan
penambahan lesitin, vanili, dan soda kue. Kemudian dilakukan tempering yang berguna
untuk meningkatkan titik leleh, tekstur, dan kenampakan coklat. Tempering dilakukan
diruang ber-AC dengan menggunakan tiga perlakuan agar dapat diketahui perlakuan
tempering yang memiliki dampak paling baik pada coklat. Perlakuan pertama
dilakukan pendinginan dengan cara pengadukan hingga suhu menurun menjadi 28oC
sedangkan, yang kedua dilakukan pendiaman (tanpa pengadukan) hingga suhu
menurun 28oC dan yang ketiga dilakukan pengadukan hingga suhu menurun menjadi
28oC namun kemudian suhu dinaikkan kembali menjadi 33oC. Setelah itu dilakukan
pencetakkan kedalam cetakan blok. Setelah itu, pendiaman satu hari dan kemudian
dilakukan pengemasan dengan dibungkus menggunakan aluminium foil lalu dilakukan
penyimpanan selama satu minggu untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama
penyimpanan. Terakhir dilakukan pengamatan tekstur, kenampakan dan kecepatan
meleleh dimulai.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Penyangraian Biji Kakao
Ula Berat (gram) Deskripsi sifat fisik sebelum Deskripsi sifat fisik setelah
nga sangrai sangrai
n
Awal Setelah warna aroma tekstur warna aroma tekstur
(gr) Roasting
(gr)
Total Nib Kulit Total Nib Kulit Total Nib Kulit Total Nib Kulit
Ulangan 1 22¸76 22 0¸76 17¸2 16¸15 1¸05 14¸95 13¸55 0¸90 0¸45 0¸35 0¸1
Ulangan 2 23¸08 22¸2 0¸88 22 20 2¸0 13¸43 12¸50 0¸93 0¸17 0¸15 0¸02
Ulangan 3 28¸75 27¸5 1¸25 16¸97 16 0¸97 12¸05 11¸59 0¸46 0¸34 0¸19 0¸15
Ulangan 4 31¸07 27¸97 1¸10 13¸88 13¸22 0¸66 13¸12 12¸97 0¸15 0¸49 0¸29 0¸20
4.2.3 Pemastaan
Perlakuan Ukuran partikel
Ulangan 1 0,34 mm
Ulangan 2 0,35 mm
Ulangan 3 0,37 mm
4.2.1 Penyangraian
Rata-rata Berat (gram)
4.2.3 Pemastaan
Parameter Pasta
Rata-
3,21 1,42 1,88 2,97 2,60 2,81 2,97 2,33 2,76
rata
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Penyangraian
Grafik 5.1 Hasil Penyangraian Biji Kakao
Penyangraian merupakan salah satu proses yang menentukan kualitas dari kakao
yang dihasilkan. Penyangraian bertujuan untuk mengembangkan rasa, aroma, warna,
memudahkan pelepasan kulit dari biji, mengurangi kadar air dan mengendorkan kulit
sehingga dapat memudahkan pemisahan kulit biji. Biji kakao yang sudah di sangrai
dibandingkan dengan biji kakao yang tidak di sangari (Multato,2004). Berdasarkan
data yang diperoleh berat awal biji kakao sebelum disangrai yaitu 100 gram, setelah
dilakukan penyangraian berat biji kakao pada pengulangan pertama sebesar 95 gram,
pengulangan kedua sebesar 92,5 gram dan pengulangan ketiga sebesar 95 gram. Dari
ketiga pengulangan didapatkan rata-rata berat biji kakao setelah disangrai sebesar
94,375 gram. Hasil ketiga pengulangan tersebut menunjukkan bahwa berat biji kakao
setelah dilakukan penyangraian mengalami perubahan penurunan berat dari 100 gram
menjadi 94,375 gram. Hal ini disebabkan karena terjadinya penguapan kadar air biji
kakao sehingga beratnya berkurang atau menyusut. Menurut (Misnawi, 2005) selama
proses penyangraian, air akan menguap dari biji, kulit yang menempel di permukaan
inti biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan beberapa senyawa menguap, antara lain
asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester. Terjadinya penguapan air pada proses
penyangraian disebabkan oleh suhu dan lama waktu penyangraian sehingga
berpengaruh terhadap berat biji kakao yang dihasilkan.
Berdasarkan pengamatan fisik pada biji kakao yang belum disangrai warnanya
coklat, aromanya lebih asam dan teksturnya keras sedangkan pada biji kakao yang
sudah disangrai warnanya coklat tua, aromanya tidak asam dan teksturnya mudah
rapuh. Perbedaan warna untuk biji kakao sangrai lebih gelap dibandingkan dengan biji
kakao yang tidak disangrai. Perubahan warna pada biji kakao yang disangrai
disebabkan oleh suhu penyangraian. Suhu penyangraian merupakan faktor utama
penyebab terjadinya perubahan warna cokelat pada biji kakao yang disangrai.
Pembentukan pigmen warna cokelat yang dinamis pada saat penyangraian bergantung
pada tingkat suhu penyangraian. Penyangraian pada umumnya dilakukan
menggunakan kombinasi waktu panjang dengan suhu rendah dan waktu pendek dengan
suhu tinggi. Suhu yang digunakan dalam penyangraian biji kakao sekitar 120 °C
sampai 140 °C selama 15 - 120 menit (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Aroma biji kakao yang sudah dilakukan penyangraian aroma lebih tajam dari
pada biji kakao yang tidak disangrai. Hal ini sesuai dengan literatur (Misnawi, 2005)
yang menyatakan bahwa sebelum penyangraian biji kakao memiliki rasa sepat, pahit,
asam dan tanpa ada citarasa khas cokelat. Biji kakao yang telah disangrai memiliki
aroma cokelat khas, rasa sepat, pahit dan asam yang rendah. Kualitas citarasa cokelat
sangat ditentukan oleh kondisi penyangraian, khususnya pada waktu dan suhu
penyangraian dan karena adanya senyawa pembentuk aroma khas cokelat, seperti
pirazin, karbonil, dan ester meningkat secara nyata selama penyangraian dari 35 menit
sampai 65 menit pada suhu 140 °C.
Tekstur biji kakao yang sudah dilakukan penyangraian teksturnya mudah rapuh
sedangkan biji kakao yang tidak disangrai memiliki tekstur yang keras. Hal ini sesuai
dengan literatur (Wahyudi dkk, 2008) yang menyatakan bahwa tujuan penyangraian
adalah mengembangkan cita rasa dan aroma khas cokelat, mematikan mikroba,
menggelembungkan kulit biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat nib
lebih renyah sehingga memudahkan penghancuran dan penghapusan serta
berkurangnya kadar air yang menyebabkan tekstur biji kakao sangrai mudah rapuh.
5.2 Pemisahan Kulit Biji
Proses pemisahan nib dan kulit biji dengan menggunakan mesin winnowing
bertujuan untuk memisahkan kulit dan nib berdasarkan densitasnya. Pada proses
pemisahan kulit biji kakao, digunakan untuk mengetahui efisiensi pemisahan kulit dan
nib dengan cara menimbang sebanyak 50 gram biji kakao kemudian dimasukkan ke
dalam mesin winnowing. Pemisahan nib dengan menggunakan mesin winnowing
mempunyai prinsip bahwa densitas yang lebih rendah akan terserap oleh udara
sehingga kulit mudah terlepas dan dipisahkan dengan biji. Berdasarkan Grafik 5.2
didapatkan hasil pada fraksi pertama efisiensi nib sebesar 94,63% dan efisiensi kulit
sebesar 5,37%. Pada fraksi kedua efisiensi nib sebesar 93,33% dan efisiensi kulit
sebesar 7,72%. Pada fraksi ketiga efisiensi nib sebesar 94,69% dan efisiensi kulit
sebesar 5,34. Pada fraksi keempat efisiensi nib sebesar 70,27% dan efisiensi kulit
sebesar 29,73%. Berdasarkan Grafik 5.2 tersebut dapat dilihat bahwa efisiensi nib
lebih besar dibandingkan efisiensi kulit biji, hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa proses winnowing menghasilkan rata-rata nib 78-80%, kulit biiji
10-12% dengan sejumlah kecil lembaga dan 4% partikel non kakao sebagai pengotor
(Belitz and Grosc, 1999). Dari data tersebut juga dapat disimpulkan bahwa proses
pemisahan kulit memiliki efisiensi yang cukup tinggi, sedangkan pemisahan dikatakan
memenuhi standart apabila kulit yang terikut maksimal 1,75%. Menurut SNI
3749:2009 bahwa kadar kulit yang terikut maksimal 1,75 % (b/b) sedangkan kulit yang
terikut pada nib cukup tinggi, hal ini disebabkan proses pemisahan menggunakan
mesin winnowing kadar air pada bahan masih tinggi atau dapat dikatakan bahwa proses
penyangraian kurang sempurna, sehingga kulit yang dipisahkan melebihi kadar
maksimal.
5.3 Pemastaan
Pasta kakao merupakan salah satu olahan kakao yang berasal dari nib kakao
yang dihaluskan menjadi pasta. Pada proses pembuatan coklat pemastaan merupakan
bagian penting yang bertujuan untuk memperoleh pasta dengan viskositas rendah agar
diperoleh coklat yang halus. Proses pemastaan berkaitan dengan ukuran partikel pada
kakao yang diukur dengan thickness meter. Proses pemastaan menggunakan sampel
sebanyak masing-masing 100 gram dengan 3 kali pengulangan, pada pengulangan
pertama ukuran partikel pasta kakao sebesar 0,34 mm, pada pengulangan kedua ukuran
partikel pasta kakao 0,35 mm dan pada pengulangan ketiga ukuran partikel pasta kakao
sebesar 0,37 mm. Dari ketiga pengulangan diperoleh nilai rata-rata ukuran partikel
pasta kakao sebesar 0,353 mm atau 353 μm. Ukuran partikel tersebut tidak sesuai
dengan literatur Mulato., et al (2004) yang menyatakan bahwa nib yang semula
berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan sampai ukuran tertentu (<20 μm) dan
menjadi bentuk pasta cair kental. Apabila dibandingkan dengan ukuran partikel pasta
komersial juga tidak sesuai dengan literatur Azizah (2005) yang menyatakan bahwa
pasta komersial memiliki ukuran partikel sebesar 2 µm. Perbedaan ukuran partikel ini
disebakan karena perbedaan proses pemastaan serta karena alat pemasta pada
umumnya yang digunakan memiliki kemampuan untuk menghancurkan nib lebih baik
daripada alat yang digunakan pada skala laboratorium.
6.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang ingin dicapai pada praktikum ini sebagai
berikut :
1. Perubahan yang terjadi selama proses penyagraian yaitu perubahan warna menjadi
coklat tua atau coklat gelap, aroma yang tidak asam, serta tekstur yang mudah
rapuh dikarenakan menurunnya kadar air pada biji kakao akibat penguapan.
2. Pada proses pemisahan kulit biji kakao, efisiensi kulit tidak memenuhi standart
karena lebih dari 1,75%.
3. Pada proses pemastaan ukuran partikel pasta kakao tidak sesuai dengan standart
karena lebih besar dari 20 µm.
4. Dari hasil pengamatan praktikum cokelat, tempering dengan suhu 28°C tanpa
pengadukan lebih disukai oleh panelis karena kenampakan permukaan mengkilap,
licin, dan sedikit blooming, tekstur agak mudah patah dan agak mudah leleh.
6.2 Saran
Moramayor et al. 2008. Geographic and genetic population differentiation of the Amazonian
chocolate tree (Theobroma cacao L.). Cacao Pos Differentiation 3(10): 1-8
Muchtadi, T. R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor
Mulato, 2003. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia; edisi 2, Jember.
Mulato, S., Sukrisno, W., Misnawi, Edy, S. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk
Primer dan Sekunder Kakao. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan
KakaoIndonesia. Jember.
Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 3749-2009. Kakao Massa. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.
Subaedah, R. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Kering Menjadi Produk Olahan
Setengah Jadi. Sulteng: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Sumahamijaya, I. 2011. Che Around us : Chocolate. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Talbot, G., 1999. Chocolate temper. In: Beckett, S.T. (Ed.), Industrial Chocolate
Manufacture and Use, third ed. Blackwell Science, Oxford, pp. 218–230
Vinti, D dan Julian, R.T,. 2013. Makalah Pangan Lanjut : Coklat. Padang : Poltekes
Kemenkes RI Padang.