Anda di halaman 1dari 32

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kakao merupakan salah satu hasil perkebunan yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi sehingga dapat memberikan peningkatan devisa Indonesia. Produksi kakao
semakin meningkat dan seiring pemanfaatan kakao yang sangat banyak, mulai dari biji
sampai lemaknya dapat dimanfaatkan menjadi produk. Sebagai salah satu penghasil
kakao, Indonesia harus dapat meningkatkan mutu biji kakao menjadi sebuah produk
agar dapat bersaing dengan negara penghasil kakao lainnya. Produk utama dari kakao
adalah bubuk dan lemak kakao yang kemudian dapat diolah menjadi beberapa produk
baru yang bernilai ekonomi tinggi misalnya coklat.
Cokelat adalah salah satu hasil olahan dari biji kakao. Cokelat merupakan
makanan favorit terutama bagi anak-anak dan remaja. Salah satu keunikan dan
keunggulan dari cokelat karena sifat cokelat yang dapat meleleh dan mencair pada suhu
permukaan lidah. Cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya
terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Cokelat memiliki bentuk,
corak, dan rasa yang unik sehingga menjadi makanan paling populer di dunia, selain
sebagai cokelat batangan yang paling umum dikonsumsi, cokelat juga dapat dijadikan
sebagai bahan minuman hangat dan dingin.
Biji kakao baik yang difermentasi maupun tidak difermentasi dan dikeringkan
kemudian disangrai dan selanjutnya digiling untuk menghasilkan pasta cokelat dan
pasta cokelat dipres untuk membuat lemak dan bungkil kakao. Kemudian bungkil
kakao digiling dan diayak sehingga dihasilkan bubuk kakao. Proses penyangraian biji
kakao yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi dapat mempengaruhi mutu
dan citarasa coklat (Mulato,et al., 2002). Oleh karena itu dilakukannya praktikum ini
untuk mengetahui proses-proses pengolahan coklat yang akan mempengaruhi produk
akhir yang dihasilkan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum sebagai berikut:
1. Memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian.
2. Mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji
3. Mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan dibanding dengan pasta
komersial
4. Mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan dan mengetahui
sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kakao


Tanaman kakao (Theobroma cacao L. ) merupakan tanaman perkebunan
penghasil biji coklat yang berasal dari hutan-hutan tropis Amerika Tengah dan bagian
utara Amerika Selatan. Tanaman kakao (Theobroma cacao L. ) dapat digunakan
sebagai penyedap makanan juga sebagai sumber lemak nabati. Kakao juga digunakan
sebagai bahan dalam pembuatan minuman, makanan, cokelat, permen (Siregar dan
Riyadi, 1994). Klasifikasi tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) dalam
Bajeng, 2012 sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Sub class : Dialypetalae
Ordo : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
Jenis tanaman kakao ada berbagai macam tetapi yang banyak dikembangkan
sebagai tanaman perkebunan ada tiga, yaitu: criollo, forastero, dan trinitario :
1. Criollo menghasilkan biji cokelat yang bermutu tinggi dan dikenal sebagai edel
cocoa atau cokelat mulia. Kulit buah berwarna merah atau hijau, berbintil-bintil
kasar dan lunak. Bijinya berbentuk bulat dan berukuran besar, kulit bijinya
(kotiledon) berwarna putih waktu masih basah, biasanya digunakan sebagai bahan
pembuatan cokelat bermutu tinggi.
2. Forastero menghasilkan cokelat yang bermutu sedang, dikenal dengan bulk cocoa
atau ordinary cocoa. Kulit buah berwarna hijau dan tebal. Bijinya tipis atau gepeng
dan kulit bijinya (kotiledon) berwarna ungu waktu masih basah.
3. Trinitario merupakan campuran atau hibrida dari jenis criollo dan forastero
sehingga cokelat jenis ini sangat heterogen baik warna kulit, bentuk biji, maupun
mutunya (Moramayor 2008).
Biji kakao yang diperdagangkan dan dipergunakan untuk produk-produk
cokelat diperoleh dari pengolahan biji kakao. Produksi biji kakao di Indonesia secara
signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan beragam,
antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering, ukuran biji tidak seragam, kadar
kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan tidak konsisten (Haryadi
dan Supriyanto, 2001). Tahapan-tahapan dalam penanganan pasca panen kakao
meliputi : pemetikan, pengupasan/pemecahan kulit buah, fermentasi, perendaman dan
pencucian, pengeringan dan penyimpanan 7 merupakan tahapan penting dalam
pengolahan untuk memperoleh biji kakao yang bermutu baik (Siswoputranto, 1985).
Biji kakao yang tidak difermentasi warnanya lebih pucat bila dibandingkan dengan biji
yang difermentasi. Adapun yang tidak mengalami fermentasi warnanya keunguan,
sedangkan yang mengalami fermentasi sempurna warnanya coklat bukan ungu.
Fermentasi akan mempermudah pengeringan dan menghancurkan lapisan pulp yang
mendekat pada biji. Pada proses fermentasi lembaga di dalam biji kakao juga akan mati
(Nuraeni, 1995). Beberapa macam produk dapat dihasilkan dari kakao, baik yang
berasal dari kulit, pulp maupun dari biji. Kulit kakao dapat dijadikan kompos, pakan
ternak, substrat budidaya jamur, ekstraksi theobromin, dan bahan bakar sedangkan biji
kakao dapat diolah menjadi tiga olahan akhir, yaitu lemak kakao, bubuk kakao dan
permen atau makanan cokelat yang dalam pengolahannya saling tergantung satu
dengan yang lainnya (Wahyudi, T., dkk, 2008).

2.2 Pengertian Cokelat


Cokelat merupakan hasil pengolahan biji kakao yang paling banyak digemari.
Dalam hal ini cokelat merupakan kategori makanan yang mudah dicerna oleh tubuh
dan mengandung banyak vitamin seperti vitamin A1, B1, B2, C, D, dan E serta
beberapa mineral seperti fosfor, magnesium, zat besi, zinc, dan juga tembaga. Selain
itu cokelat terkenal mengandung antioksidan dan flavonoid yang sangat berguna untuk
mencegah masuknya radikal bebas ke dalam tubuh yang bisa menyebabkan kanker.
Beberapa kandungan senyawa aktif cokelat seperti kafein, theobromine, methyl-
xanthine, dan phenylethylalanine dipercaya dapat mengurangi kelelahan sehingga bisa
digunakan sebagai obat anti depresi (Wahyudi dkk, 2008; Spillane, 1995).
Cokelat di dalam industri pembuatannya, terbagi menjadi tiga tipe yakni: Dark
chocolate, milk chocolate, dan white chocolate. Dark chocolate terdiri dari sejumlah
campuran cokelat padat atau cairnya dengan tambahan cocoa butter, gula, dan vanilla
yang dicampur dengan menggunakan proses conched dan tempered (didinginkan pada
kondisi tertentu) untuk menjaga agar gula dan lemak terkristalisasi dalam bentuk yang
paling stabil. Pembuatan milk chocolate dilakukan dengan penambahan susu atau
cream, susu cair, atau susu bubuk ke dalam campuran dark chocolate tadi. White
chocolate tidak mengandung chocolate liquor (pasta cokelat) hanya terdiri dari cocoa
butter, susu, lemak susu, dan pemanis seperti gula atau sirup yang kaya akan fruktosa
(Sumahamijaya, 2011)

2.3 Fungsi Bahan Pada Pembuatan Cokelat


Fungsi Bahan Pembuatan Cokelat
a. Pasta Cokelat
Pasta kakao merupakan campuran lemak kakao yang memiliki bentuk cair dan
partikel non-lemak yang mempunyai bentuk padat. Pasta coklat atau cocoa mass atau
cocoa paste dibuat dari biji kakao kering melalui beberapa tahapan proses sehingga biji
kakao yang memiliki tekstur padat menjadi bentuk cair atau semi cair (Subaedah, 2008).
b. Lemak Kakao
Lemak kakao ditambahkan untuk memberikan tekstur yang halus dalam cokelat.
Peningkatan kadar lemak dan dengan demikian, cokelat halus (Talbot 2005).
Penambahan lemak kakao menyelimuti senyawa pahit, dan tingkat kepahitan menurun
sehingga tingkat lemak kakao meningkat (Guinard dan Mazzucchelli 1999). Lemak
kakao berbentuk padat pada suhu kamar dan cair pada suhu mulut. Hal ini
memungkinkan pelepasan maksimum rasa cokelat selama dikonsumsi.
c. Susu Full Cream
Susu bubuk yang banyak digunakan dalam pembuatan cokelat yaitu susu skim dan
susu full cream. Dengan kedua susu ini lemak susu akan tertambah dalam tahapan
pembuatan permen cokelat. Kedua susu ini memiliki perbedaan aroma, tekstur, dan
aliran cair yang berbeda (Beckett, 2008).
d. Fine Sugar
Fine Sugar (Sukrosa) ditambahkan untuk membentuk rasa manis dalam cokelat
tetapi juga mempengaruhi rasa lainnya. Peningkatan jumlah sukrosa menghasilkan
penurunan tingkat kepahitan (Guinard dan Mazzucchelli 1999). Jumlah gula yang
ditambahkan pada pembuatan cokelat pada umumnya berkisar 27%. Pada pembuatan
cokelat diusahakan tidak ada air yang masuk walau hanya setetes. Gula yang umum
dijumpai memiliki kandungan air yang tinggi maka jika akan digunakan untuk
pembuatan cokelat maka akan cepat meleleh (Minifie, 1999).
e. Lesitin
Lesitin adalah emulsifier yang biasa ditambahkan dalam cokelat. Lesitin
ditambahkan sekitar 0,5% untuk mengurangi viskositas selama proses serta
meningkatkan efisiensi conching.
f. Vanili
Tanaman vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu tanaman
rempah yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Tanaman ini digunakan untuk bahan
penyegar, penyedap dan pengharum makanan, gula-gula, ice cream, minuman, bahan
obat-obatan (Helmy, 2008).
g. Soda kue
Fungsi soda kue yaitu merupakan komponen pembuat baking powder. Soda kue
akan mengeluarkan gelembung udara jika bertemu dengan cairan dan bahan yang
sifatnya asam. Jadi untuk resep-resep yang adonannya bersifat asam, biasanya
memakai soda kue untuk bahan pengembangnya (Hayatinufus. A.L. Tobing, 2010).

2.4 Proses Pembuatan Cokelat


Coklat (chocolate) dibuat dengan menggunakan pasta cokelat yang ditambahkan
dengan sukrosa, lemak cokelat, dengan atau tanpa susu dan bahan-bahan lain (flavoring
agent, kacang-kacangan, pasta kopi, dan sebagainya). Bahan-bahan ini dicampur dalam
sebuah mixer atau paster, sehingga dihasilkan pasta cokelat yang kental yang
selanjutnya mengalami proses pelembutan (refining) dengan mesin ball mill refainer
kemudian conching dan tempering. Pembuatan cokelat memiliki beberapa tahapan,
diantaranya:
a. Penyangraian
Penyangraian biji kakao dimaksudkan untuk mempermudah pelepasan kulit biji,
pembentukan komponen flavor, pengurangan kadar air, dan perubahan warna dan
senyawa kimia dalam biji kakao. Penyangraian biji kakao cara konvensional masih
dilakukan dengan pemanasan pada tiga cara standar yaitu konduksi, konveksi, dan
radiasi, menyebabkan pemanasan berlangsung lambat. Pada keadaan demikian
senyawa flavanol akan banyak berubah karena lama terpapar oleh oksigen udara pada
suhu relatif tinggi, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas antioksidannya. Selama
proses penyangraian, kandungan procyanidin dan kapasitas antioksidan biji kakao
berkurang secara tajam sejalan dengan semakin tingginya suhu penyangraian (Arlorio
dkk, 2008).
b. Pemisahan Kulit Biji
Pemecahan atau Pemisana kulit biji harus dilakukan secara hati-hati supaya tidak
melukai biji yang kemudian diikuti dengan pemisahan biji dari buah yang sekaligus
sortasi biji, agar diperoleh ukuran biji yang seragam (Mulato dan Widyotomo, 2003).
Proses penghancuran bertujuan untuk memperbesar luas permukaan nib, sehingga pada
saat perlakuan pengepresan dengan bantuan pemanasan massa kakao akan memberikan
pengaruh semakin banyaknya kakao yang dapat diekstrak. (Mulato dkk, 2004).
c. Pemastaan
Proses pemastaan merupakan proses penghancuran nib (daging buah kakao)
menjadi ukuran tertentu (<20 mμ). Dengan ukuran seperti itu maka nib yang
dihancurkan akan menjadi pasta cair kental. Hasil jadi penghancuran kakao tersebut
terjadi dikarenakan kandungan yang terdapat pada biji kakao yang terdiri dari 50%
lemak kakao. Penghancuran tersebut bertujuan juga untuk memperbesar luas
permukaan kakao, sehingga pada saat perlakuan pengempaan dengan bantuan
pemanasan massa kakao akan memberikan pengaruh semakin banyaknya kakao yang
dapat diekstrak. Kadar kulit dan kadar air biji kakao akan mempengaruhi tingkat
kesulitan dalam penghancuran nib menjadi pasta kakao (Beckett, 2000).
d. Refining
Penghalusan (refining) sangat diperlukan untuk menghasilkan tekstur produk
cokelat yang bermutu tinggi. Melalui penghalusan yang baik, fraksi – fraksi padat
dalam cokelat akan menyebar rata dalam fraksi cair (lemak) dan berpengaruh terhadap
aroma, serta cita rasa dan warna khas cokelat (Misnawi dkk, 2008).
e. Conching
Proses conching adalah proses pencampuran untuk menghasilkan coklat dengan
flavor yang baik dan tekstur yang halus. Biasanya dilakukan dua tahap, proses
dilakukan pada suhu 80°C selama 24-96 jam. Adonan coklat dihaluskan dan lesitin
ditambahkan pada akhir conching untuk mengurangi kekentalan coklat (Vinti, D dan
Julian, R.T., 2013).
f. Tempering
Tempering merupakan tahapan proses berikutnya, yang dilakukan untuk
memperoleh produk cokelat yang stabil, karena akan menghasilkan kristal lemak
berukuran kecil dengan titik leleh yang cukup tinggi. Pada tahap awal ruang tempering
dipanaskan secara perlahan sehingga suhu adonan cokelat meningkat dari suhu 33°C
menjadi 48°C selama 10-12 menit. Kemudian diikuti proses pendinginan awal, suhu
adonan diturunkan menjadi 33°C. Pada tahap ini kristal lemak belum terbentuk
sehingga perlu diturunkan lanjut pada 26°C. Adonan kemudian dipanaskan ulang
sampai suhu 33°C saat adonan akan dituang ke cetakan.
g. Pencetakan
Suhu coklat cair harus mencapai 30–32°C sebelum melalui proses pencetakan,
dilakukan pendinginan lambat untuk memadatkan cokelat, dan cokelat dikeluarkan dari
cetakan setelah suhu mencapai 10°C. Proses pendinginan terkontrol akan
menghasilkan coklat padat dengan kristal lemak yang halus dan struktur yang stabil
terhadap panas, terlihat dari sifat lelehnya yang baik dan permukaan yang mengkilap.
Coklat yang disimpan pada kondisi penyimpanan yang tidak tepat akan memiliki warna
permukaan yang kusam keabuan (Minife, 1999).

2.5 SNI Pasta Kakao


Menurut SNI 3749:2009 standar mutu syarat-syarat pasta kakao (kakao massa)
sebagai berikut:
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1.3 Warna - Coklat
2 Kadar lemak (b/b) % min. 48
3 Kadar air (b/b) % maks. 2 99,0
4 Kehalusan (lolos ayakan mesh 200) (b/b) % min. 99,0
5 Kadar abu dari bahan kering tanpa lemak % maks. 14
(b/b)
6 Kulit (shell) dihitung dari alkali free nibs % maks. 1,75
(b/b)
7 Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 2,0
7.2 Cadmium (Cd) mg/kg maks. 1,0
7.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40
8 Cemaran arsen (as) mg/kg maks. 1,0
9 Cemaran mikroba
9.1 Angka lempeng total koloni/g maks. 5 x 10 3
9.2 Baketeri bentuk coli APM/g <3
9.3 Escherrichia coli per g negatif
9.4 Salmonella per 25 g negatif
9.5 Kapang koloni/g maks. 50
9.6 Khamir koloni/g maks. 50

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Roaster
2. Pisau
3. Timbangan
4. Mesin Winnowing
5. Pinset
6. Alat pemasta
7. Thickness meter
8. Ball mill refainer
9. Mesin conching
10. Pengaduk
11. Cetakan
12. Termometer
3.1.2 Bahan
1. Biji kakao
2. Biji kakao sangrai
3. Nib
4. Pasta komersial
5. Pasta kakao
6. Lemak kakao
7. Susu full cream
8. Fine sugar
9. Lesitin
10. Vanili
11. Soda kue
12. Aluminium foil
13. Tisu
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1 Penyangraian Biji Kakao

100 gram biji kakao

Penyangraian dalam roaster, T=110-115◦C, t=10’


menit
Pengeluaran dari roaster

Pendinginan

Penimbangan

Pengamatan perubahan warna, aroma, tekstur biji


kakao utuh, dan warna biji yang dibelah

Pembandingan dengan biji kakao yang tidak


disangrai

Gambar 3.1. Diagram alir proses penyangraian biji kakao


Pada proses penyangraian dilakukan dengan menggunakan alat penyangrai
(roaster). Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu menyiapkan biji kakao
fermentasi yang telah disortasi terlebih dahulu. Kemudian menyalakan roaster pada
suhu 110-115oC selama 15 menit dengan tujuan mengembangkan cita rasa dan aroma
khas cokelat, menurunkan kadar air, mematikan mikroba, menggelembungkan kulit
biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat nib lebih renyah sehingga
memudahkan penghancuran dan penghalusan kemudian memasukkan biji kakao.
Ketika biji kakao dimasukkan ke dalam roaster, maka secara otomatis suhu dalam
roaster akan menurun karena panas yang ada di dalam diserap oleh biji kakao tersebut.
Setelah kakao dikeluarkan dari roaster dan dilakukan pendinginan biji kakao sangrai
yang bertujuan untuk menurunkan panas yang berlebihan dan menstabilkan suhu.
Langkah selanjutnya yaitu dilakukan penimbangan biji kakao sangrai yang bertujuan
untuk mengetahui perubahan berat biji kakao sebelum disangrai dan setelah dilakukan
penyangraian. Kemudian dilakukan pengamatan meliputi warna, aroma dan tekstur biji
kakao sangrai utuh dan dibelah untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah
penyangraian. Kemudian dilakukan pembandingan antara biji kakao yang dilakukan
penyangraian dan biji kakao yang tidak dilakukan penyangraian .
3.2.2 Pemisahan Kulit Biji

Biji Kakao

Penimbangan 100 gram

Pemasukan kedalam mesin winowing

Nib Kulit

Penimbangan Penimbangan

Penimbangan 50 gram

Pemisahan kulit terikut


Gambar 3.2. Diagram alir proses pemisahan kulit biji kakao
Pada proses pemisahan nib dari kulitnya dilakukan dengan menggunakan mesin
winowing untuk memisahkan kulitnya sehingga terpisah dengan nih. Biji kakao yang
telah dilakukan penyangraian pada acara pertama di lakukan penimbangan terlebih
dahulu yang bertujuan untuk mengetahui berat biji kakao sangrai. Kemudian dilakukan
pemasukan biji kakao sangrai kedalam mesin winnowing yang berguna untuk
memisahkan kulit biji kakao. Setelah dilakukan pemasukan biji kakao sangrai kedalam
mesin winnowing, maka akan memisahkan kulit dan nib, dalam proses winowing akan
menghasilkan nib. Nib yang telah diperoleh dilakukan penimbangan terlebih dahulu
beserta kulitnya. Penimbangan ini bertujuan untuk mengetahui berat nib yang diperoleh.
Nib yang diperoleh diambil sebanyak 50 gram, sedangkan untuk kulitnya setelah
dilakukan penimbangan yaitu hasil penimbangan yang dilakukan dapat dilakukan
perhitungan efisiensi kulit yang terikut. Pemisahan dikatakan baik bila kulit yang
terikut maksimal 1.75%.
3.2.3 Pemastaan

Nib

Penimbangan 100 gram

Pemasukan dalam mesin pemasta

Pemastaan

Pasta

Pengukuran Partikel

Pembandingan ukuran partikel


Pasta kakao, lemak kakao, susu full cream,
Gambar 3.3.
fineDiagram alir proses pemastaan
sugar, lesitin,vanili, soda kue
Pada proses pemastaan yaitu dilakukan penggilingan nib menjadi pasta kakao
sebagai produk primer kakao pertama. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu
Penimbangan
penimbangan nib sebanyak 100 gram. Kemudian nib yang telah ditimbang dimasukan
kedalam mesin pemasta. Pemastaan
Pemasukan pasta ini bertujuan
kakao, untuk susu
lemak kakao, menghancurkan
full atau
memperkecil ukuran. cream, dan fine
Pemastaan sugar ke dalam
merupakan prosesballpenghancuran
mill refiner agar dapat
digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman. Proses ini sangat menentukan
Pengoperasian
kehalusan partikel coklat dalamball mill refiner
makanan. Setelah suhu 60 oCpemastaan,
padadilakukan selama 6 jam
kemudian
ditimbang yang bertujuan untuk mengetahui perubahan berat nib setelah dilakukan
Pemindahan adonan coklat ke mesin conching
pemastaan, selain itu dilakukan pengukuran partikel dengan menggunakan alat
Lesitin,meter. Pengukuran tersebut dilakukan untuk mengetahui ukuran partikel nib
thickness
vanili, soda Conching selama 4 jam pada suhu 60-70 oC
yang telah dihasilkan, selanjutnya langkah terakhir dilakukan pembandingan dengan
kue
ukuran pasta kakao komersial.
Tempering dalam ruang ber-AC dengan 3 cara
3.2.4 Pembuatan Cokelat
Pencetakan

Pendiaman satu hari dan pengeluran

Pengemasan dan penyimpanan suhu kamar


dan suhu kulkas

Uji organoleptik
Gambar 3.4. Diagram alir proses pembuatan coklat
Pada proses pembuatan coklat langkah pertama yang dilakukan adalah
pemanasan bahan utama. Bahan-bahan dalam pembuatan coklat antara lain pasta kakao
sebagai bahan utama pembuatan coklat , lemak kakao berfungsi sebagai bahan utama
dalam pembuatan coklat dan menentukan tekstur akhir coklat yang dihasilkan, susu full
cream berfungsi sebagai penambah citarasa dan flavor coklat, lesitin berfungsi untuk
mengurangi kekentalan sehingga lemak kakao bisa lebih merekap, vanili berfungsi
sebagai penambah aroma dari coklat yang dihasilkan, soda kue berfungsi untuk
memperbaiki tekstur yang dihasilkan. Tujuan pemanasan ini adalah untuk melelehkan
lemak kakao dan sebagai proses pencampuran bahan. Setelah didapatkan larutan coklat
cair, maka larutan tersebut dilakukan pemasukkan kedalam ball mill refiner dengan
suhu 60oC selama 6 jam. Pada proses ini bertujuan sebagai proses refining agar tektur
coklat baik karena selama proses ini padatan dalam coklat akan menyebar keseluruh
bagian sehingga larutan tercampur (homogen) sempurna. Pada proses ini diharapkan
ukuran partikel coklat <20µm. Selanjutnya, larutan coklat di lakukan pemindahan pada
mesin conching. Pada proses ini bertujuan untuk penghalusan larutan dan
meningkatkan tekstur, aroma, dan rasa. Proses conching dilakukan dengan suhu 60-
70oC selama 4 jam. Setengah jam sebelum proses conching berakhir dilakukan
penambahan lesitin, vanili, dan soda kue. Kemudian dilakukan tempering yang berguna
untuk meningkatkan titik leleh, tekstur, dan kenampakan coklat. Tempering dilakukan
diruang ber-AC dengan menggunakan tiga perlakuan agar dapat diketahui perlakuan
tempering yang memiliki dampak paling baik pada coklat. Perlakuan pertama
dilakukan pendinginan dengan cara pengadukan hingga suhu menurun menjadi 28oC
sedangkan, yang kedua dilakukan pendiaman (tanpa pengadukan) hingga suhu
menurun 28oC dan yang ketiga dilakukan pengadukan hingga suhu menurun menjadi
28oC namun kemudian suhu dinaikkan kembali menjadi 33oC. Setelah itu dilakukan
pencetakkan kedalam cetakan blok. Setelah itu, pendiaman satu hari dan kemudian
dilakukan pengemasan dengan dibungkus menggunakan aluminium foil lalu dilakukan
penyimpanan selama satu minggu untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama
penyimpanan. Terakhir dilakukan pengamatan tekstur, kenampakan dan kecepatan
meleleh dimulai.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Penyangraian Biji Kakao
Ula Berat (gram) Deskripsi sifat fisik sebelum Deskripsi sifat fisik setelah
nga sangrai sangrai
n
Awal Setelah warna aroma tekstur warna aroma tekstur
(gr) Roasting
(gr)

1 100 95 Coklat Lebih Keras Coklat Tidak Mudah


asam tua asam rapuh

2 100 92¸5 Coklat Lebih Keras Coklat Tidak Mudah


asam tua asam rapuh

3 100 95 Coklat Lebih Keras Coklat Tidak Mudah


asam tua asam rapuh
4 100 95 Coklat Lebih Keras Coklat Tidak Mudah
asam tua asam rapuh

4.2.2 Pemisahan Kulit Biji


Perlakuan Fraksi 1 (gr) Fraksi 2 (gr) Fraksi 3 (gr) Fraksi 4 (gr)

Total Nib Kulit Total Nib Kulit Total Nib Kulit Total Nib Kulit

Ulangan 1 22¸76 22 0¸76 17¸2 16¸15 1¸05 14¸95 13¸55 0¸90 0¸45 0¸35 0¸1

Ulangan 2 23¸08 22¸2 0¸88 22 20 2¸0 13¸43 12¸50 0¸93 0¸17 0¸15 0¸02

Ulangan 3 28¸75 27¸5 1¸25 16¸97 16 0¸97 12¸05 11¸59 0¸46 0¸34 0¸19 0¸15

Ulangan 4 31¸07 27¸97 1¸10 13¸88 13¸22 0¸66 13¸12 12¸97 0¸15 0¸49 0¸29 0¸20

4.2.3 Pemastaan
Perlakuan Ukuran partikel
Ulangan 1 0,34 mm
Ulangan 2 0,35 mm
Ulangan 3 0,37 mm

4.2.4 Pembuatan Cokelat (Uji Organoleptik)


Kecepatan
Kenampakan Tekstur
No. Nama Leleh
256 814 592 256 814 592 256 814 592
1. Fuji Kurniawati 4 1 2 3 2 1 3 1 2
2. Adelia Dwi Enjelina 3 1 2 1 3 2 2 1 3
3. Indung Dwi Umarta 4 1 2 3 2 2 3 2 2
4. Nur Oktaviani A. P. 3 1 2 3 3 4 1 4 3
5. Safila Citra Fadila 3 1 1 3 3 4 4 3 3
6. Arievicka Noor Sidha 4 1 3 2 3 1 3 4 3
7. Syalafiyatul Ni’mah 4 1 2 3 3 1 3 4 2
8. Mulyati Rahmawati 3 1 4 3 4 3 4 4 3
9. Siti Zainab 3 1 1 3 3 4 4 3 3
10. Infidzah Sabrina V. 3 1 1 3 3 4 4 2 3
11. Berlianta Deby P. W. 4 1 3 3 2 4 3 3 2
12. Reisse Indah Sriyadi 4 1 3 3 2 4 4 3 2
13. Meidina Nurma P. 2 1 2 4 4 3 1 2 3
14. Triyas Mayasari 3 1 1 3 3 4 4 2 3
15. Aisyah Nuraini 3 2 2 3 3 2 4 3 3
16. Istriani 4 1 3 3 1 4 3 2 2
17. Elka Rosa Damayanti 4 1 2 3 3 3 3 3 4
18. Lailatul Rahma 2 1 2 3 3 3 3 2 4
19. Dewi Anita Sari 2 1 1 3 2 3 3 3 3
20. Budiarti Sentono Putri 2 2 1 2 2 3 2 2 3
21. Ataniya Fariha Sukma 4 3 2 3 3 2 4 3 2
22. Dia Ayu Cahya P. 3 1 2 3 1 4 3 1 3
23. Popy Anisah P. 2 3 2 3 1 3 3 1 3
24. M. Novarian Arighi 3 2 1 3 4 3 3 1 2
25. Alfiano Setya Wardana 3 1 2 2 3 1 2 1 3
26. Roy Widhi Dwi F. 4 3 1 4 2 3 3 1 2
27. Wardatus Sholihah 3 1 2 4 3 3 4 3 2
28. Nur Rahmawati R. 4 2 2 3 2 4 3 2 4
29. M. Yasiqy Haidar B. 3 2 1 4 3 1 3 1 4
30. Akhmad Nasykhuddin 4 2 3 4 2 3 3 2 3
31. Naida Ika Oktaviana 3 1 2 2 3 3 2 4 3
32. Annisafitri 2 1 1 2 3 3 1 2 3
33. Tausa Farhan Ari P. 4 3 1 4 2 1 3 2 1
Keterangan:
256 : tempering pada suhu 28oC tanpa pengadukan
814 : tempering pada suhu 28oC kemudian dinaikkan pada suhu 33oC dengan
pengadukan
592 : tempering pada suhu 28oC dengan pengadukan
Keterangan skor kenampakan
1 = permukaan tidak mengkilap, tidak licin, dan terjadi blooming keseluruhan
2 = permukaan agak mengkilap, agak licin dan setengah blooming
3 = permukaan mengkilap, licin, dan sedikit blooming
4 = permukaan sangat mengkilap, sangat licin dan tidak terdapat
Keterangan skor tekstur
1 = sangat tidak mudah patah
2 = tidak mudah patah
3 = agak mudah patah
4 = mudah patah
Keterangan skor kecepatan leleh
1 = sangat tidak mudah leleh
2 = tidak mudah leleh
3 = agak mudah leleh
4 = mudah leleh

4.2 Hasil Perhitungan

4.2.1 Penyangraian
Rata-rata Berat (gram)

Sebelum Disangrai Sesudah Disangrai

100 gram 94,375 gram

4.2.2 Pemisahan Kulit (Winnowing)


Fraksi 1 (%) Fraksi 2 (%) Fraksi 3 (%) Fraksi 4 (%)
Ulangan
Nib Kulit Nib Kulit Nib Kulit Nib Kulit

1 96,66 3,34 93,90 6,1 90,64 9,36 77,78 22,22

2 96,58 3,82 90,91 9,09 93,07 6,93 88,24 11,76

3 95,65 4,35 94,28 5,72 96,18 3,95 55,88 44,12

4 90,02 9,98 94,24 5,98 98,86 1,14 59,18 44,12

Rata-rata 94, 63 5,37 93,33 7,72 94,69 5,34 70,27 29,73

4.2.3 Pemastaan
Parameter Pasta

Jumlah Pasta yang Dihasilkan

Rata-rata Ukuran Partikel 0,353


4.2.4 Uji Organoleptik

Kenampakan Tekstur Kecepatan Leleh


Skor
256 814 592 256 814 592 256 814 592

Rata-
3,21 1,42 1,88 2,97 2,60 2,81 2,97 2,33 2,76
rata

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Penyangraian
Grafik 5.1 Hasil Penyangraian Biji Kakao

Penyangraian merupakan salah satu proses yang menentukan kualitas dari kakao
yang dihasilkan. Penyangraian bertujuan untuk mengembangkan rasa, aroma, warna,
memudahkan pelepasan kulit dari biji, mengurangi kadar air dan mengendorkan kulit
sehingga dapat memudahkan pemisahan kulit biji. Biji kakao yang sudah di sangrai
dibandingkan dengan biji kakao yang tidak di sangari (Multato,2004). Berdasarkan
data yang diperoleh berat awal biji kakao sebelum disangrai yaitu 100 gram, setelah
dilakukan penyangraian berat biji kakao pada pengulangan pertama sebesar 95 gram,
pengulangan kedua sebesar 92,5 gram dan pengulangan ketiga sebesar 95 gram. Dari
ketiga pengulangan didapatkan rata-rata berat biji kakao setelah disangrai sebesar
94,375 gram. Hasil ketiga pengulangan tersebut menunjukkan bahwa berat biji kakao
setelah dilakukan penyangraian mengalami perubahan penurunan berat dari 100 gram
menjadi 94,375 gram. Hal ini disebabkan karena terjadinya penguapan kadar air biji
kakao sehingga beratnya berkurang atau menyusut. Menurut (Misnawi, 2005) selama
proses penyangraian, air akan menguap dari biji, kulit yang menempel di permukaan
inti biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan beberapa senyawa menguap, antara lain
asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester. Terjadinya penguapan air pada proses
penyangraian disebabkan oleh suhu dan lama waktu penyangraian sehingga
berpengaruh terhadap berat biji kakao yang dihasilkan.
Berdasarkan pengamatan fisik pada biji kakao yang belum disangrai warnanya
coklat, aromanya lebih asam dan teksturnya keras sedangkan pada biji kakao yang
sudah disangrai warnanya coklat tua, aromanya tidak asam dan teksturnya mudah
rapuh. Perbedaan warna untuk biji kakao sangrai lebih gelap dibandingkan dengan biji
kakao yang tidak disangrai. Perubahan warna pada biji kakao yang disangrai
disebabkan oleh suhu penyangraian. Suhu penyangraian merupakan faktor utama
penyebab terjadinya perubahan warna cokelat pada biji kakao yang disangrai.
Pembentukan pigmen warna cokelat yang dinamis pada saat penyangraian bergantung
pada tingkat suhu penyangraian. Penyangraian pada umumnya dilakukan
menggunakan kombinasi waktu panjang dengan suhu rendah dan waktu pendek dengan
suhu tinggi. Suhu yang digunakan dalam penyangraian biji kakao sekitar 120 °C
sampai 140 °C selama 15 - 120 menit (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Aroma biji kakao yang sudah dilakukan penyangraian aroma lebih tajam dari
pada biji kakao yang tidak disangrai. Hal ini sesuai dengan literatur (Misnawi, 2005)
yang menyatakan bahwa sebelum penyangraian biji kakao memiliki rasa sepat, pahit,
asam dan tanpa ada citarasa khas cokelat. Biji kakao yang telah disangrai memiliki
aroma cokelat khas, rasa sepat, pahit dan asam yang rendah. Kualitas citarasa cokelat
sangat ditentukan oleh kondisi penyangraian, khususnya pada waktu dan suhu
penyangraian dan karena adanya senyawa pembentuk aroma khas cokelat, seperti
pirazin, karbonil, dan ester meningkat secara nyata selama penyangraian dari 35 menit
sampai 65 menit pada suhu 140 °C.
Tekstur biji kakao yang sudah dilakukan penyangraian teksturnya mudah rapuh
sedangkan biji kakao yang tidak disangrai memiliki tekstur yang keras. Hal ini sesuai
dengan literatur (Wahyudi dkk, 2008) yang menyatakan bahwa tujuan penyangraian
adalah mengembangkan cita rasa dan aroma khas cokelat, mematikan mikroba,
menggelembungkan kulit biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat nib
lebih renyah sehingga memudahkan penghancuran dan penghapusan serta
berkurangnya kadar air yang menyebabkan tekstur biji kakao sangrai mudah rapuh.
5.2 Pemisahan Kulit Biji

Grafik 5.2 Hasil Pemisahan Nib dan Kulit Biji Kakao

Proses pemisahan nib dan kulit biji dengan menggunakan mesin winnowing
bertujuan untuk memisahkan kulit dan nib berdasarkan densitasnya. Pada proses
pemisahan kulit biji kakao, digunakan untuk mengetahui efisiensi pemisahan kulit dan
nib dengan cara menimbang sebanyak 50 gram biji kakao kemudian dimasukkan ke
dalam mesin winnowing. Pemisahan nib dengan menggunakan mesin winnowing
mempunyai prinsip bahwa densitas yang lebih rendah akan terserap oleh udara
sehingga kulit mudah terlepas dan dipisahkan dengan biji. Berdasarkan Grafik 5.2
didapatkan hasil pada fraksi pertama efisiensi nib sebesar 94,63% dan efisiensi kulit
sebesar 5,37%. Pada fraksi kedua efisiensi nib sebesar 93,33% dan efisiensi kulit
sebesar 7,72%. Pada fraksi ketiga efisiensi nib sebesar 94,69% dan efisiensi kulit
sebesar 5,34. Pada fraksi keempat efisiensi nib sebesar 70,27% dan efisiensi kulit
sebesar 29,73%. Berdasarkan Grafik 5.2 tersebut dapat dilihat bahwa efisiensi nib
lebih besar dibandingkan efisiensi kulit biji, hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa proses winnowing menghasilkan rata-rata nib 78-80%, kulit biiji
10-12% dengan sejumlah kecil lembaga dan 4% partikel non kakao sebagai pengotor
(Belitz and Grosc, 1999). Dari data tersebut juga dapat disimpulkan bahwa proses
pemisahan kulit memiliki efisiensi yang cukup tinggi, sedangkan pemisahan dikatakan
memenuhi standart apabila kulit yang terikut maksimal 1,75%. Menurut SNI
3749:2009 bahwa kadar kulit yang terikut maksimal 1,75 % (b/b) sedangkan kulit yang
terikut pada nib cukup tinggi, hal ini disebabkan proses pemisahan menggunakan
mesin winnowing kadar air pada bahan masih tinggi atau dapat dikatakan bahwa proses
penyangraian kurang sempurna, sehingga kulit yang dipisahkan melebihi kadar
maksimal.

5.3 Pemastaan
Pasta kakao merupakan salah satu olahan kakao yang berasal dari nib kakao
yang dihaluskan menjadi pasta. Pada proses pembuatan coklat pemastaan merupakan
bagian penting yang bertujuan untuk memperoleh pasta dengan viskositas rendah agar
diperoleh coklat yang halus. Proses pemastaan berkaitan dengan ukuran partikel pada
kakao yang diukur dengan thickness meter. Proses pemastaan menggunakan sampel
sebanyak masing-masing 100 gram dengan 3 kali pengulangan, pada pengulangan
pertama ukuran partikel pasta kakao sebesar 0,34 mm, pada pengulangan kedua ukuran
partikel pasta kakao 0,35 mm dan pada pengulangan ketiga ukuran partikel pasta kakao
sebesar 0,37 mm. Dari ketiga pengulangan diperoleh nilai rata-rata ukuran partikel
pasta kakao sebesar 0,353 mm atau 353 μm. Ukuran partikel tersebut tidak sesuai
dengan literatur Mulato., et al (2004) yang menyatakan bahwa nib yang semula
berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan sampai ukuran tertentu (<20 μm) dan
menjadi bentuk pasta cair kental. Apabila dibandingkan dengan ukuran partikel pasta
komersial juga tidak sesuai dengan literatur Azizah (2005) yang menyatakan bahwa
pasta komersial memiliki ukuran partikel sebesar 2 µm. Perbedaan ukuran partikel ini
disebakan karena perbedaan proses pemastaan serta karena alat pemasta pada
umumnya yang digunakan memiliki kemampuan untuk menghancurkan nib lebih baik
daripada alat yang digunakan pada skala laboratorium.

5.4 Uji Organoleptik Coklat


Pada uji organoleptik dilakukan dengan pengujian skoring terhadap coklat dengan
perbedaan perlakuan tempering. Kode 256 tempering pada suhu 28°C tanpa
pengadukan, kode 814 tempering pada suhu 28°C kemudian dinaikkan pada suhu 33°C
dengan pengadukan dan kode 592 tempering pada suhu 28°C dengan pengadukan.
Skala skor yang digunakan yaitu 1-4 dengan keterangan berbeda setiap parameter.
Keterangan skor kenampakan 1= permukaan tidak mengkilap, tidak licin, dan terjadi
blooming keseluruhan; 2 = permukaan agak mengkilap, agak licin dan setengah
blooming; 3 = permukaan mengkilap, licin, dan sedikit blooming; 4 = permukaan
sangat mengkilap, sangat licin dan tidak terdapat. Keterangan skor tekstur 1 = sangat
tidak mudah patah, 2 = tidak mudah patah, 3 = agak mudah patah, 4 = mudah patah.
Keterangan skor kecepatan leleh 1 = sangat tidak mudah leleh, 2 = tidak mudah leleh,
3 = agak mudah leleh, 4 = mudah leleh. Pengujian dilakukan untuk mengetahui berapa
nilai atau skor yang didapat berdasarkan uji organoleptik. Pengujian dilakukan oleh
mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jember sebagai panelis dengan jumlah 33 orang. Penilaian dilakukan
berdasarkan parameter kenampakan, tekstur dan kecepatan leleh. Dari penilaian yang
dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut:
Grafik 5.3 Hasil Uji Organoleptik Coklat Berdasarkan Perbedaan Tempering

Kenampakan merupakan salah satu parameter organoleptik yang penting karena


merupakan faktor yang pertama dilihat oleh konsumen saat melihat makanan dan
umumnya konsumen cenderung memilih makanan yang memiliki kenampakan
menarik (Carpenter, 2008). Dari Grafik 5.3 diatas dapat dilihat bahwa panelis lebih
menyukai coklat dengan suhu tempering 28°C tanpa dilakukan pengadukan (A) dengan
nilai rata-rata sebesar 3,2 mempunyai karakteristik kenampakan permukaan mengkilap,
licin, dan sedikit blooming dibandingkan dengan tempering pada suhu 28°C kemudian
dinaikkan pada suhu 33°C dengan pengadukan (B) dengan nilai rata-rata sebesar 1,42
mempunyai karakteristik kenampakan permukaan tidak mengkilap, tidak licin, dan
terjadi blooming keseluruhan dan tempering pada suhu 28°C dengan pengadukan
dengan nilai rata-rata sebesar 1,9 mempunyai karakteristik kenampakan permukaan
agak mengkilap, agak licin dan setengah blooming. Hal ini disebabkan karena pada
suhu 28°C tanpa dilakukan pengadukan fat blooming yang terjadi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Menurut Winarno (2001), bila suatu lemak
didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan molekul-molekul dalam
lemak, sehingga jarak antar molekul lebih kecil. Jika jarak antar molekul lebih kecil,
maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul. Akibat dengan adanya gaya ini,
maka radikal-radikal asam lemak dalam molekul lemak akan tersusun berjajar dan
saling bertumpuk serta membentuk ikatan kristal. Tahap pengkristalan lemak dimulai
pada sisi-sisi tertentu saat suhu mencapai tingkat yang mampu membentuk inti kristal
dan semakin lama akan membentuk kristal utuh.
Tekstur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi penerimaan
konsumen terhadap produk pangan. Macam-macam penginderaan tekstur antara lain
meliputi kebasahan (juiciness), kering, keras, halus, kasar dan berminyak
(Soekarto,1985). Berdasarkan Grafik 5.3 dapat dilihat bahwa panelis lebih menyukai
tekstur coklat dengan suhu 28°C tanpa pengadukan (A) dengan nilai rata-rata sebesar
2,96 dengan karakteristik fisik tekstur agak mudah patah, lebih baik dari sampel (B)
tempering pada suhu 28°C kemudian dinaikkan pada suhu 33°C dengan pengadukan
dengan nilai rata-rata sebesar 2,51 dan sampel (C) tempering pada suhu 28°C dengan
pengadukan dengan nilai rata-rata sebesar 2,63 mempunyai karakteristik tekstur tidak
mudah patah. Pada proses tempering pada suhu dingin menyebabkan tekstur yang
dihasilkan lebih keras dan pembentukan kristal tidak stabil sehingga kurang smooty.
Hal ini disebabkan karena pada proses tempering suhu 28oC, bentuk kristal yang
dihasilkan berada pada bentuk alfa dengan titik leleh 21-240C, sedangkan pada
tempering suhu 33oC bentuk kristal lebih stabil (polimorfisme β) yang membentuk
padatan yang mantap dengan titik leleh 34-350C. Menurut Wahyudi (2008) proses
refining berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel pada adonan sehingga semakin
lama waktu pelembutan (refining) semakin kecil ukuran partikel ukuran partikel yang
dihasilkan semakin halus dan lembek. Selain itu, perlakuan tempering juga sangat
berperan penting dalam penentuan tekstur coklat. Padahal menurut Tarbot (1999)
bahwa tempering dengan suhu 28-33oC dengan kondisi stabil akan membentuk tekstur
yang baik dan memberikan efek lembut di mulut. Namun panelis lebih memilih
menyukai cokelat dengan tempering 28°C, meskipun nilai dengan tempering 28-33oC
hanya berbeda sedikit.
Kecepatan leleh dimulut merupakan salah satu parameter penting tingkat
penerimaan konsumen terhadap coklat. Berdasarkan Grafik 5.3 didapatkan hasil
pengamatan dan pengukuran tingkat kecepatan leleh (mouthfeel) dapat dilihat bahwa
panelis lebih menyukai coklat dengan suhu tempering 28°C tanpa pengadukan (A)
dengan nilai rata-rata sebesar 2,97 mempunyai kecepatan agak mudah leleh lebih baik
dibandingkan dengan tempering pada suhu 28°C kemudian dinaikkan pada suhu 33°C
dengan pengadukan (B) dengan nilai rata-rata sebesar 2,33 dan sampel (C) tempering
pada suhu 28°C dengan pengadukan dengan nilai rata-rata sebesar 2,76 mempunyai
sifat tidak mudah leleh. Hasil pengujian kecepatan leleh dimulut menunjukkan semakin
tinggi suhu tempering dan suhu penyimpanan, tingkat kecepatan leleh di mulut
(mouthfell) semakin cepat. Keadaan ini disebabkan karena adanya kandungan lemak
kakao yang mempengaruhi kecepatan leleh coklat dengan perbedaan suhu
penyimpanan dan suhu tempering. Menurut Winarno (2001) menyatakan bahwa tempering
yang dilakukan dengan cara pengadukan akan mengakibatkan gaya tarik menarik antar
molekul. Akibat dengan adanya gaya ini, maka radikal-radikal asam lemak dalam molekul
lemak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta membentuk ikatan kristal sehingga
menjadi kristal yang utuh. Jika tempering dilakukan tanpa pengadukan maka tidak akan
terjadi gaya tarik menarik antar molekul sehingga bentuk coklatnya akan mudah rapuh dan
jika dimakan kecepatan leleh di mulut semakin tinggi. Berdasarkan hasil panelis lebih suka
pada cokelat yang memiliki kecepatan leleh lebih lama.
BAB 6. KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Adapun beberapa kesimpulan yang ingin dicapai pada praktikum ini sebagai
berikut :
1. Perubahan yang terjadi selama proses penyagraian yaitu perubahan warna menjadi
coklat tua atau coklat gelap, aroma yang tidak asam, serta tekstur yang mudah
rapuh dikarenakan menurunnya kadar air pada biji kakao akibat penguapan.
2. Pada proses pemisahan kulit biji kakao, efisiensi kulit tidak memenuhi standart
karena lebih dari 1,75%.
3. Pada proses pemastaan ukuran partikel pasta kakao tidak sesuai dengan standart
karena lebih besar dari 20 µm.
4. Dari hasil pengamatan praktikum cokelat, tempering dengan suhu 28°C tanpa
pengadukan lebih disukai oleh panelis karena kenampakan permukaan mengkilap,
licin, dan sedikit blooming, tekstur agak mudah patah dan agak mudah leleh.

6.2 Saran

Adapun saran untuk praktikum selanjutnya yaitu diperlukan ketelitian dalam


penentuan suhu tempering karena proses tempering pada pengolahan coklat menjadi
titik kritis yang menentukan mutu coklat.
DAFTAR PUSTAKA
Arlorio, M, Locatelli, M, Travaglia, F, Coïsson, J, D, Del Grosso, E, Minassi, A,
Appendino, G, Martelli, A. 2008. Roasting impact on the contents of clovamide
(N-caffeoyl-L- DOPA) and antioxidant activity of cocoa beans (Theobroma
cacao L.). Food Chemistry. 106(3):967-975.
Beckett, S.T, 2000. The Science of Chocolate, RSC Backs, Published by The Royal
Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park. Milton Road,
Cambridge.
Beckett, S. T. 2008. The Science of Chocolate, 2nd edn. London: Royal Society of
Chemistry Paperbacks.
Belitz, H. D., Gramosch, W. dan Schieberle, P. 2009. Food Chemistry. 4th Revised
and Extended ed. Springer-Verlag Heidelberg, Berlin
Carpenter S., Chair, N.F., Caraco, D.L., Correll, R.W., Howarth, A. N., Sharpley, and
V.H. Smith., 2008. Nonpoint Pollution of Surface Waters with Phosporus and
Nitrogen. Ecological Society of America.
Haryadi, M. dan Supriyanto. 2001. Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Minife, B.W. 1999. Chocolate Cacao and Confectionary Science and Technology. The
Avi Publishing Co. Westport. Connecticut.
Misnawi, dan J. Selamet. 2008. Cita Rasa, Tekstur, dan Warna Cokelat. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Moramayor et al. 2008. Geographic and genetic population differentiation of the Amazonian
chocolate tree (Theobroma cacao L.). Cacao Pos Differentiation 3(10): 1-8

Muchtadi, T. R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor

Mulato, 2003. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia; edisi 2, Jember.
Mulato, S., Sukrisno, W., Misnawi, Edy, S. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk
Primer dan Sekunder Kakao. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan
KakaoIndonesia. Jember.

Nuraeni, 1995. Coklat Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Siswoputranto, P.S.,. 1985. Perkembangan The, Kopi, Cokelat Internasional. PT.


Gramedia, Jakarta

Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI 3749-2009. Kakao Massa. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.

Subaedah, R. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Kering Menjadi Produk Olahan
Setengah Jadi. Sulteng: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Sumahamijaya, I. 2011. Che Around us : Chocolate. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Talbot, G., 1999. Chocolate temper. In: Beckett, S.T. (Ed.), Industrial Chocolate
Manufacture and Use, third ed. Blackwell Science, Oxford, pp. 218–230

Vinti, D dan Julian, R.T,. 2013. Makalah Pangan Lanjut : Coklat. Padang : Poltekes
Kemenkes RI Padang.

Wahyudi, T., Pujiyanto, dan T. R. Panggabean, 2008. Panduan Lengkap Kakao,


Jakarta: Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai