TINEA CRURIS
HALAMAN JUDUL
Oleh :
Kadek Dede Frisky Wiyanjana
1202006134
Pembimbing :
Dr. Ni Wayan Wendy Rinawati, Sp.KK
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “TINEA CRURIS” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang dilaksanakan tanggal 9-
14 Januari 2017 bertempat di RS Bali Mandara.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalu
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV selaku Ketua
SMF/Bagian Dermatologi dan Venereologi FK Universitas Udayana, RSUP
Sanglah, Denpasar,
2. dr. IGAA Dwi Karmila, Sp.KK selaku Koordinator Pendidikan Dokter SMF
Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar,
3. Dr. Ni Wayan Wendy Rinawati, Sp.KK, selaku Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin SMF/Bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Bali Mandara yang
senantiasa membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan
kasus ini,
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, Januari 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL..................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Definisi......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi.............................................................................................3
2.3 Etiologi......................................................................................................4
2.4 Patogenesis................................................................................................4
2.5 Gejala Klinis...........................................................................................10
2.6 Klasifikasi...............................................................................................10
2.7 Diagnosis.................................................................................................13
2.8 Diagnosis Banding..................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................16
2.10 Prognosis.................................................................................................20
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................22
3.1 Identitas Pasien.......................................................................................22
3.2 Anamnesis...............................................................................................22
3.3 Pemeriksaan Fisik...................................................................................23
3.4 Diagnosis Banding..................................................................................25
3.5 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................25
3.6 Resume....................................................................................................26
3.7 Diagnosis Kerja.......................................................................................26
3.8 Penatalaksanaan......................................................................................26
3.9 Prognosis.................................................................................................27
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................28
BAB V KESIMPULAN........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................33
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang
mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita
pada daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat
meluas ke daerah sekitarnya.3 Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya
Tinea kruris.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Efloresensi terdiri
atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit
ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan. 4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea
kruris dan Tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi
dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang
menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi
dari 2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi.
8
2.3 ETIOLOGI
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita
adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi
imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton
floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang dapat disebabkan oleh
microsporum gallinae. Berikut karakteristik dari dermatofita yang umum
menyebabkan tinea kruris secara morfologi koloni dan mikroskopis 4,5.
2.4 PATOGENESIS
Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang
terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian,
perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan
oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit
9
sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran
infeksi dari bagian tubuh lain3,4.
Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi
dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.
a) Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh
keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga
bersifat fungistatik4.
b) Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan
menembus stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada
proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase
dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam
epidermis4.
c) Perkembangan respon tubuh. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status
imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang
sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah
terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi
dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema
dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel
langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi
untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan
barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang
bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh4 .
10
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat
insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih
rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik
e) Faktor umur dan jenis kelamin.
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit
berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata daripada
bagian tengahnya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang4.
12
2.6.1 ANAMNESIS
Dari anamnesis, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal dan kemerahan
di daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu
berkeringat sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. Gatal
di derah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu tidur
sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. 3 Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada
tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian
dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini
dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang
beresiko terkena dermatophytosis5,7.
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi
dengan memakai scalpel , pinggir gelas, atau selotip → taruh di obyek glass →
tetesi KOH 10-20 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan
→ lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa,
sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora
berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan
miselium7.
c.Punch biopsy
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya
dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan
tampak merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur
akan tampak coklat atau hitam4 .
d.Pemeriksaan lampu wood
Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma
dimana akan tampak floresensi merah bata.
Eritrasma
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha dan
ketiak. Effloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi
merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. batas lesi tegas, jarang disertai
infeksi, flouresensi merah bata yang khas dengan sinar wood. Pemeriksaan
dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral
red).5
Kandidosis vulvovaginal
Merupakan infeksi Candida spp. khususnya Candida albicans pada vagina dan
atau vulva. Ditandai dengan keputihan menggumpal seperti susu yang tidak
berbau dan disertai rasa gatal dan panas pada kemaluan dan daerah sekitarnya.
Pada dinding vagina ditemukan eritema dan edema disertai duh tubuh
berwarna putih (pseudomembran) menggumpal seperti susu basi atau
gumpalan keju. Dan pada vulva dan lipatan paha didapatkan maserasi,
pesudomembran, fisura dan lesi satelit papulopustuler3.
Psoriasis
Penyakit peradangan kulit kronik residif ditandai oleh plak eritema batas tegas
dengan skuama tebal keperakan, kasar dan berlapis, disertai fenomena bercak
lilin, tanda Auspitz dan fenomena Koebner. Bercak merah bersisik tebal,
kumat-kumatan, kadang gatal, dapat disertai nyeri sendi, dan dapat dicetuskan
oleh adanya stres psikologis, kelelahan, infeksi. Tipe vulgaris: plak eritema
batas tegas ditutupi skuama tebal keperakan yang kasar dan berlapis pada
daerah predileksi ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,
lumbosakral bagian bawah, pantat, dan genital3.
16
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non-
medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa dapat dimulai berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit. Pemeriksaan mikroskopik
tidak dapat membedakan spesies namun umumnya semua spesies dermatofit
diyakini memberikan respon yang sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan
topikal yang ada8.
2.8.1 PENGOBATAN TOPIKAL
- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat berguna terhadap
kasus-kasus yang diragukan penyebabnya dermatofita atau candida.
Keduanya merupakan derivat azol broad-spectrum bekerja menghambat
sintesis ergosterol yang penting untuk pembentukan dinding sel jamur8.
- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk
salep, Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk
salep8.
2.8.2 PENGOBATAN SISTEMIK
Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik. Beberapa
indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain:
a) Infeksi kulit yang luas.
b) Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
c) Infeksi kulit kepala.
d) Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.
Medikamentosa sistemik pada tinea kruris, termasuk:
- Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi
dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum
17
griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg
per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di
lanjutkan 2 minggu agar tidak residif Griseofulvin berikatan dengan sel
prekursor keratin sehingga secara bertahap diganti dengan jaringan yang tidak
terinfeksi dan sangat resisten terhadap invasi jamur/dermatofita8.
- Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten terhadap
griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol, dll. Itrakonazol
bersifat fungistik. Cara kerjanya adalah menghambat pertumbuhan sel jamur
dengan menghambat sintetis ergosterol yang tergantung sitokrom P450.
ergosterol ini merupakan komponen vital dari dinding sel jamur. Obat
antifungi ini telah banyak digunakan dan berdasarkan penelitian lebih efektif
dibandingkan griseofulvin. Itrakonazol dosis dewasa: 200 mg/hari, dosis anak-
anak: 5 mg/kg BB/hari diberikan selama 1 minggu. 5,7 Dapat juga diberikan
Ketokonasol 200 mg sehari untuk dewasa atau 3-6 mg/kgBB sehari untuk
anak-anak lebih dari 2 tahun8.
2.8.3 NON-MEDIKAMENTOSA
Dalam penatalaksanaan secara non medikamentosa, sangatlah penting untuk
mengedukasi pasien mengenai kebersihan diri dan lingkungan untuk membantu
mengatasi penyakit dan pencegahannya. Berikut edukasi yang dapat diberikan
kepada pasien8.
a. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap
kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi serta mencegah
pemakaian peralatan mandi bersama-sama.
b. Memakai pakaian yang tipis, memakai pakaian yang berbahan cotton.
c. Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk mencegah
kelembaban daerah sela paha.
d. Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha
setelah mandi,
e. Pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas dianjurkan untuk
menurunkan berat badan,
18
2.9 PROGNOSIS
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan sosial
budayanya, tetapi pada umumnya baik. Selain itu faktor kelembapan dan
kebersihan kulit juga berpengaruh pada prognosis4.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
1) Keluhan Utama
Gatal di area selangkangan dan perut bawah
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita mengeluh gatal pada area selangkangan dan perut bawah sejak 3
minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di selangkangan
yang makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa gatal yang
ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila terkena
keringat atau cuaca panas. Setelah sekitar 4 hari kemudian, gatal juga
dirasakan di area perut bawah. Awalnya di perut bawah juga terdapat bercak
merah yang makin lama makin membesar. Ia mengatakan selain saat terkena
keringat, gatal juga semakin keras saat malam hari sehingga pasien mengaku
tidurnya sering terganggu karena rasa gatal. Gatal membaik apabila disiram
dengan air hangat. Keluhan rasa terbakar disangkal.
3) Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan sempat menggunakan obat oles tradisional merek
“BOKASI” yang dibelinya sendiri sejak 2 minggu yang lalu, awalnya sempat
menghentikan rasa gatal pasien, namun gatal tersebut muncul kembali walau
sudah dioles obat tersebut.
4) Riwayat Alergi
19
20
Status General
Kepala : normocephali, rambut warna hitam tidak beruban
21
Status Dermatologi
Lokasi : Abdomen kuadran kiri bawah
Efloresensi : makula eritema, soliter, dengan batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, berukuran 3 cm x 2 cm,
distribusi unilateral. terdapat central healing.
Diatasnya terdapat Skuama putih, halus pada
beberapa bagian.
Gambar 3.1. Lesi kulit pada abdomen kuadran kiri bawah pasien
Gambar 3.2. Lesi kulit pada daerah inguinal dan pubis pasien
3.6 RESUME
Pasien laki-laki, 62 tahun, beragama Islam, pekerjaan pensiunan swasta, tamat
diploma iii, menikah. Penderita mengeluh gatal pada area selangkangan dan perut
bawah sejak 2 minggu yang lalu. Pada awalnya muncul bercak merah kecil di
selangkangan yang makin lama makin besar. Bercak merah tersebut disertai rasa
gatal yang ia rasakan terus menerus dan rasa gatal tersebut makin hebat bila
23
terkena keringat atau cuaca panas. Setelah 3 hari kemudian, gatal juga dirasakan
di area perut bawah. Pemeriksaan fisik pasien:
- Status present : dalam batas normal
- Status general : dalam batas normal
- Status dermatologis :
Lokasi : Abdomen kuadran kiri bawah
Efloresensi : makula eritema, soliter, dengan batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, berukuran 3 cm x 2 cm,
distribusi unilateral. terdapat central healing.
Diatasnya terdapat Skuama putih, halus pada
beberapa bagian.
Lokasi : Inguinal dan Pubis.
Efloresensi : Makula eritema, multipel, batas tegas, bentuk
geografika, tepi lesi aktif, ukuran bervariasi dari 1
cm x 2 cm hingga 4 cm x 5 cm, Berkonfluen
berbentuk geografika berukuran bervariasi 3 cm x
4 cm sampai 6 cm x 8 cm, distribusi bilateral,
terdapat central healing. Diatasnya terdapat
Skuama putih, halus pada beberapa bagian.
3.8 PENATALAKSANAAN
1) Medikamentosa
1. Topikal : Miconazol cream 2% + asam salisat 3% dioleskan sebanyak 2
kali sehari selama 2 minggu
2) Non- Medikamentosa
KIE :
- menghindari pakaian yang panas (karet, nylon), disarankan untuk
memakai pakaian yang menyerap keringat
24
3.9 PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Dubius ad Bonam
Ad Kosmetikam : Dubius ad Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
25
26
psoriasis dapat disangkal karena pada lesi tidak terdapat skuama perak mengkilat
yang menutupi plak eritema, fenomena tetesan lilin ataupun auspitz sign.
Terdapat banyak variasi pengobatan tinea, tergantung dari lokasi lesi,
luasnya lesi, dan beratnya penyakit, lamanya menderita penyakit dan usia
penderita. Pada pengobatan antimikotik awal sebaiknya diberikan obat topikal,
tetapi bila hasil tidak memuaskan dan lesi ada di lebih dari 3 bagian tubuh baru
dipertimbangkan pengobatan sistemik. Pada pasien ini merupakan geriatri,dimana
menjadisalah satu pertimbangan untuk belum memberikan pengobatan sistemik
antimikotik untuk menghindari polifarmasi dan efek samping pada pasien ini.
Pada pasien diberikan obat topikal berupa Miconazol cream 2% dan
campuran asam salisat 3% dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 2 minggu.
Pada teori yang telah dikemukakan bahwa obat topikal yang diberikan bisa
dengan kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk
salep (Salep Whitfield) atau kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum
dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10) atau derivat azol : mikonazol 2%,
klotrimasol 1% dll. Pasien juga diberikan Mebhydrolin tablet 2 x 50 mg untuk
mengatasi rasa gatal yang dirasakan. Mebhydrolin tersebut merupakan obat
golongan antihistamin, khususnya antagonis reseptor histamine H1.
Selain pengobatan, KIE kepada pasien dan keluarga juga sangat penting.
Pasien disarankan agar menghindari penggunaan pakaian yang tidak menyerap
keringat dan untuk merawat kebersihan diri dengan baik. Pasien juga dianjurkan
untuk mengurangi aktifitas berkebun dan memancing karena pada aktivitas outdor
yang panas dapat memicu keringat berlebih dan tanah dapat menjadi sumber
infeksi jamur. Penderita juga diberitahu tentang penyakitnya, faktor-faktor yang
memperberat, dan diberi penjelasan bahwa penyakit ini dapat menular melalui
kontak dengan manusia, hewan peliharaan atau dengan lingkungan sekitar.
Prognosis dari tinea kruris bergantung pada bentuk klinis, penyebab
spesies dermatofita dan hospesnya sendiri, termasuk sosial budaya dan status
imunologisnya. Tapi pada umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.
BAB V
KESIMPULAN
28
29
DAFTAR PUSTAKA