BELL’S PALSY
Oleh:
Ulfayanti Syahmar
1740312091
Preseptor:
Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K)
dr. Restu Susanti, Sp.S, M.Biomed
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan kurnia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan case
report session yang berjudul Perdarahan Subarachnoid.Case report session ini
ditulis dengan tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan
pembaca tentang Perdarahan subarachnoid, selain penulisan ini juga bertujuan
untuk memenuhi salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu penyakit syaraf RSUP Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang.
Dengan demikian, kami berharap agar case report session ini dapat
bermanfaat dalam menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai
perdarahan subaraknoid.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang 4
1.2. Tujuan penulisan 5
1.3. Metode penulisan 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi 6
2.2. Definisi 9
2.3. Epidemiologi 10
2.4. Etiologi 10
2.5. Patofisiologi 12
2.6. Manifestasi Klinis 14
2.7. Diagnosis 17
2.8. Penatalaksanaan 24
2.9. Prognosis 27
DAFTAR PUSTAKA 29
BAB III ILUSTRASI KASUS 31
BAB IV DISKUSI 39
BAB V KESIMPULAN 41
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bell’s palsy merupakan gangguan idiopatik nervus cranialis yaitu nervus
fasialis (N.VII) yang menyebabkan kelemahan wajah tipe lower motor neuron
yang bersifat akut. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama
Charles Bell. Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer.
Nervus fasialis memiliki sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000
serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf membentuk
saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang bersifat sensorik untuk pengecapan
2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula,
sublingual dan lakrimal. Manifestasi klinis penyakit ini sesuai dengan letak
gangguan pada cabang nervus fasialis.
Bell’s palsy setiap tahunnya terjadi pada sekitar 20 pasien per 100.000
penduduk. Pasien dapat sembuh tanpa pengobatan (71%), terdapat 84% pasien
yang sembuh total atau mendekati pemulihan normal. Pasien berusia 60 tahun
atau lebih tua memiliki kemungkinan sebesar 40% untuk sembuh total namun
cederung dengan gejala sisa yang lebih tinggi. Pasien yang lebih muda, kurang
daru 30 tahun hanya memiliki kemungkinan 10-15% untuk atau meliki sekuele
jangka panjang.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Bell’s Palsy
termasuk dalam standar kompetensi dengan level kemampuan 4. Dokter umum
harus mampu menegakkan diagnosis klinis dan melakukakan penatalaksanaan
penyakit secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat
topik ini sebagai judul penulisan case report session.
4
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report session ini adalah untuk memahami
mengenai defenisi,anatomi saraf fasialis, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis,
klasifikasi, gejala dan tanda klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan
prognosis dari bell’s palsy.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
submandibularis. Impuls berjalan ke glandula sublingualis dan
submandibularis untuk merangsang salivasi.
Aferen somatik
Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpang
tindih) antara N.VII dan N.V (rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu
dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa terdapat pada
lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, dan bagian luar membran
timpani.
Inti motorik N.VII terletak di pons. Serabutnya mengitari N.VI, dan keluar
di bagian lateral pons. Nevus intermedius keluar di permukaan lateral pons di
antara saraf VII dan saraf VIII. Ketiga nervus ini masuk ke dalam meatus
akustikus internus. Di dalam meatus ini, nervus fasialis dan intermediet berpisah
dari N.VIII dan terus ke lateral dalam kanalis fasialis, kemudian ke atas ke tingkat
ganglion genikulatum. Pada ujung akhir kanalis, saraf fasialis meninggalkan
kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari titik ini, serat motorik menyebar
di atas wajah yang beberapa diantaranya masuk dalam kanalis glandula parotis.7
7
Saat meninggalkan pons, nervus fasialis beserta nervus intermedius dan
nervus VIII melalui porus akustikus internus masuk ke dalam tulang temporal.
Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, saraf VII dibagi dalam 3 segmen,
yaitu segmen labirin, segman timpani dan segmen mastoid.1
Segmen labirin memiliki panjang 2-4 mm yang terletak antara akhir kanal
akustik internus dan ganglion genikulatum. Segmen timpani (segmen vertikal)
dengan panjang kira-kira 12 mm, terletak di antara bagian distal ganglion
genikulatum dan berjalan ke arah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah
tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, dan turun secara sejajar dengan kanal
semisirkularis horizontal. Segmen mastoid (segmen vertikal) yang panjangnya 15-
20 mm berjalan mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani.
Perubahan posisi dari segmen timpani menjadi segmen mastoid, disebut segmen
piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari
saraf VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen
ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid.1
8
Gambar 2. Persarafan Nervus VII
2.2Definisi
Bell’s palsy merupakan penyakit yang ditandai dengan kelemahan atau
kelumpuhan pada wajah yang bersifat akut dengan etiologi yang belum diketahui
secara pasti atau idiopatik. Penyakit pertama kali diteliti oleh seorang ahli bedah
dari Skotlandia bernama Sir Charles Bell (1821). Beliau meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis
perifer yang etiologinya tidak diketahui disebut dengan Bell's palsy.11,3
9
2.3Epedemiologi
2.4Etiologi
Etiologi paralisis nervus fasialis sebenarnya belum pasti namun dikaitkan
dengan beberapa hal diantaranya kelainan kongenital, infeksi, keganasan, trauma,
gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu. Berbagai hal
tersebut kemudian menyebabkan edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi)
pada nervus fasialis.1,5
1. Infeksi Virus
Penyakit ini juga dikaitkan dengan infeksi khususnya infeksi virus herpes
simpleks (HSV). Sindrom Ramsay-Hunt dan herpes otikus dapat
menimbulkan paralisis nervus fasialis, kedua penyakit ini disebabkan
karena adanya infeksi HSV pada intrakranial atau infeksi pada telinga
tengah. Otitis media supuratif kronik (OMSK) yang telah merusak Kanal
Fallopi dapat menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis.1,9 Penemuan HSV
dalam cairan endoneural juga dijelaskan dalam sebuah penelitian kepada
penderita Bell’s palsy derajat berat yang menjalani pembedahan. Penelitian
tersebut menggunakan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan
endoneural N.VII. Virus HSV diperkirakan dapat berpindah secara axonal
dari saraf sensorik dan menempati sel ganglion (dorman). Pada saat
penderita mengalami penurunan sistem imun, maka akan terjadi reaktivasi
virus yang akan berujung pada kerusakan lokal pada myelin saraf.9
2. Keganasan
Metastasis tumor seperti tumor payudara, paru-paru, dan prostat ke tulang
temporal merupakan penyebab paralisis nervus fasialis yang juga sering
ditemukan. Selain itu penyebaran langsung dari tumor regional dan sel
10
schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis
selanjutnya dapat menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang
bermanifestasi menjadi paralisis pada wajah. Adanya aneurisma arteri
karotis yang melebar juga dapat mengganggu fungsi motorik nerfus
fasialis secara ipsilateral, walaupun ini sangat jarang terjadi.2
3. Trauma
Paralisis nervus bisa terjadi karena trauma kapitis, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii yang terjadi secara longitudinal. Selain itu luka tusuk,
luka tembak serta riwayat penekan forsep saat lahir juga bisa menjadi
penyebab paralisis N.VII. Tindakan iatrogenik juga dapat mencederai
nervus fasialis seperti pada saat operasi mastoid, operasi neuroma
akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2
4. Gangguan Pembuluh Darah
Thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media
merupakan gangguan pembuluh darah yang berakibat kepada paralisis
nervus fasialis.1
5. Kongenital
Paralisis pada salah satu sisi wajah dapat terjadi sejak lahir (kongenital)
yang bersifat irreversible. Kelainan ini sering terjadi secara bersama
dengan kelainan kongenital pada telinga dan tulang pendengaran. Sindrom
Moibeus merupakan kelaianan yang ditandai dengan adanya kelemahan
otot okuler serta paralisis nervus fasialis bilateral sehingga menghasilkan
gejala berupa kelumpuhan pada wajah.1,5
6. Idiopatik ( Bell’s Palsy )
Umumnya penyakit ini diakibatkan lesi nervus fasialis yang penyebabnya
tidak dapat dijelaskan atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell
terjadi edema nervus fasialis, disebabkan oleh kompresi atau terjepitnya
nervus ini dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.5
11
7. Penyakit-penyakit tertentu
Adapun penyakit yang dapat koinsiden dengan paraliss N.VII adalah DM,
hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga
tengah (OMSK) serta sindrom Guillian Barre.
2.5Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal atau di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada
Bell’s Palsy terjadi iskemi primer pada nervus fasialis yang disebabkan oleh
vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara nervus fasialis dan dinding
kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain: infeksi
virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan
mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat
gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai
Bell’s Palsy.5 Selain itu salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.3
Perjalanan nervus fasialis yang rumit bermula dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong dan menyempit pada
foramen mental membuat mudahnya nervus ini mengalami gangguang seprti
proses inflamasi, demyelinisasi atau iskemik yang akhirnya menyebabkan
gangguan dari konduksi saraf. Gangguan impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis dapat terjadi di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Lesi supranuklear terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras
kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer.3
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga juga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bell’s palsy. Hal tersebut diperkirakan karena udara dingin menyebabkan nervus
fasialis menjadi bengkak atau sembab sehingga nervus ini terjepit di dalam
12
foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe LMN. Lesi
LMN pada nervus ini terletak pada pons, sudut serebelo-pontin, os petrosum atau
kavum timpani, atau foramen stilomastoideus serta pada cabang-cabang perifer.
Lesi di pons ini terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Sehingga paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian memaparkan bahwa penyebab utama Bell’s palsy
adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Virus herpes zoster dapat menjadi penyebab utama
karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada infeksi herpes zoster di
ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN.3
13
Gambar 3. Paralisis Bell’s Palsy
Paralisis wajah pada Bell’s palsy akan terjadi mulai dari bagian atas hingga
bagian bawah dari otot wajah (seluruhnya akan lumpuh). Dahi tidak dapat
dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup (lagoftalmus) dan pada usaha untuk
memejamkan mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Selain itu pada
sudut mulut juga tidak bisa digerakkan, bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Akibat lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara normal. Gejala-gejala penyerta seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum yaitu
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius sudah
tidak ada.3
14
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
Sudut mulut tidak dapat digerakkan, plika nasolabialis mendatar pada sisi
yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang
menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan
gangguan lakrimasi.
Gejala yang ditimbulkan merupakan cerminan dari lokasi lesi pada cabang N.VII,
meliputi:3,5
15
dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Tanda-tandanya adalah
herpes zoster otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis
auditorius dan dibelakang aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi
tinitus, kegagalan pendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air
mata dan salivasi.
e. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat
terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang – kadang juga
saraf abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglossus.
16
2.7 Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinik akibat kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan fisik dan
penunjang untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan nervus fasialis
perifer ini. Beberapa pemeriksaan penting dilakukan untuk menentukan letak lesi
dan derajat kerusakan nervus fasialis yang berpengaruh pada luaran klinis
penyakit ini. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy
lesinya bersifat LMN karena terjadi pada percabangan nervus kranialis ketujuh.1
a. Anamnesis1
17
Riwayat pekerjaan dan aktivitas dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan yang bersuhu dingin.
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti
infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Fisik1
18
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan
dan kiri :
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh (30).1
19
Pemeriksaan House-Brackmann
Pemeriksaan House-Brackmann bertujuan untuk mengetahui
gambaran disfungsi motorik pada parese nervus fasial serta karakteristik
dari kelumpuhannya. Mulai grade 1 (normal) hingga grade 6 (kelumpuhan
yang komplit). 4
20
V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai
Dahi tidak dapat digerakkan
Tidak dapat menutup mata
Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan
VI Total parese Tidak ada pergerakkan
c. Pemeriksaan Penunjang
21
Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG dapat memberikan informasi lebih awal dibandingkan
dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik sementara pada
pengukuran EMG harus dilakukan pada satu titik yang lebih distal dari
saraf yang diperiksa. Kecepatan hantaran saraf dapat dinilai. Jika dalam 10
hari terdapat reduksi 90% pada ENOG yang dibandingkan dengan sisi
lainnya, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna.
Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77%
pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut
mengalami penyembuhan normal pada nervus fasialisnya.2
2.8 Tatalaksana
Selain gangguan anatomi dan fungsi, Bell’s Palsy juga dapat
mengakibatkan gangguan psikologi sehingga penyakit ini harus ditatalaksana
sesegera mungkin. Adapun tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk
mempercepat proses penyembuhan, mencegah terjadinya kelumpuhan komplit
dari kelumpuhan parsial sehingga dapat meningkatkan angka penyembuhan
komplit, menurunkan angka terjadinya sinkinesis dan kontraktur wajah serta
mencegah kelainan pada mata akibat lagoftalmus dan penurunan lakrimasi pada
pasien. Pasien Bell’s palsy juga harus melakukan kontrol rutin (rawat jalan) dalam
jangka waktu lama setelah proses akut ditangani.9
Canadian Society of Otolaryngology Head and Neck Surgery dan
Canadian Neurological Sciences Federation melakukan pengamatan terhadap
beberapa modalitas terapi Bell’s palsy. Keduanya meenjelaskan mengenai bukti
penanganan Bell’s palsy dengan pemberian kortikosteroid dan antiviral,
elektrostimulasi, fisioterapi dan operasi dekompresi nervus fasialis. Selain itu
mereka juga membahas mengenai terapi perlindungan mata, dan investigasi lebih
jauh pada pasien yang memiliki kelemahan wajah yang persisten dan progresif.
Berikut dijelaskan dalam tabel mengenai rekomendasi terapi Bell’s Palsy menurut
dua lembaga tersebut.8
22
Tabel 2. Rumusan rekomendasi terapi Bell’s palsy menurut Canadian Society of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan Canadian Neurological Sciences
Federation8
a) Medikamentosa
- Kortikosteroid
Berdasarkan pedoman American Academy of Neurology tahun
2012 menyatakan bahwa streoid efektif untuk meningkatkan kemungkinan
pemulihan fungsi nervus fasialis pada Bell’s Palsy onset baru. Selain itu
perdoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Otolaryngology–
Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) pada November tahun
2013 juga mendukung pedoman AAN sebelumnya. Pedoman ini
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid dalam 72 jam sejak
timbulnya gejala.10,11,12
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pasien yang diobati
dengan steroid khususnya prednisolon dalam 48 jam memiliki tingkat
pemulihan komplit secara bermakna daripada pasien yang tidak diobati,
sedangkan penilitian lain menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat pemulihan penyakit ini yang terlihat antara pasien
23
yang diobati pada 49-72 jam dan pasien yang tidak diobati sehingga
pemberian prednisolon lebih direkomendasikan untuk 48 jam sejak
timbulnya gejala. Dosis prednison yang dianjurkan untuk pengobatan
Bell’s Palsy adalah 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari diikuti
tappering off untuk pengobata total selama 10 hari.10
Steroid dosis tinggi (prednison >120 mg/hari) telah aman
digunakan untuk mengobati Bell’s palsy khususnya Bell’s palsy yang
terjadi pada pasien diabetes melitus. Namun, dosis optimal belum
ditetapkan. Pemberian steroid pada kasus ini harus diperhartikan karena
terdapat risiko hiperglikemia akibat penggunaan steroid ini.10
- Agen Anti Viral10
Pengobatan antivirus merupakan cara terbaru dalam menangani
Bell’s Palsy akut yang disebabkan oleh virus. Berdasarkan spectrum
aktivitasnya dan toksisitasnya yang rendah, asiklovir (acycloguanosine)
sebagai analog nukleosida purin sintetik dapat digunakan untuk mencegah
Herpes Simpleks tipe I dan II, Varisella Zooster, dan Epstein Barr virus
serta cytomegalovirus. Asiklovir berfungsi untuk mencegah polymerase
dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi),
sehingga asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir
intravena dengan dosis 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari pada gejala
defisit neurologis khususnya yang disebabkan oleh herpes zooster otikus
segera setelah onset sehingga dapat mencegah degenerasi nervus fasialis
pada telinga.10
b) Non-Medikamentosa
- Dekompresi Nervus Fasial
Pembedahan untuk mendekompresi nervus sebenarnya masih
kontroversial. Pasien yang diidentifikasi akan menderita kelumpuhan
persisten akibat kerusakan nervus yang ireversibel merupak prioritas
utama untuk dilakukan intervensi bedah. Pembedahan dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan bells palsy komplit yang belum
24
berespon terhadap pemberian terapi medikamentosa maupun pada pasien
yang telah mengalami degenerasi aksonal lebih dari 90%, seperti yang
ditunjukkan pada EMG nervus fasialis dalam waktu 3 minggu sejak onset
kelumpuhan. Sebelum dilakukan pembedahan, MRI harus dilakukan
terlebih dahulu untuk menentukan lokasi lesi. Dokter bedah kemudian
dapat memutuskan segmen yang didekompresi, segmen rahang atas
didekompresi secara eksternal, segmen labirin dan ganglion geniculate
harus didekompresi dengan kraniotomi fossa tengah.10,13
- Fisioterapi
Fisioterapi dapat dilakukan kepada pasien antara lain (1) massage,
(2) stimulasi elektris, (3) terapi latihan dengan menggunakan cermin
(mirror exercise), (4) edukasi kepada pasien. Adapun untuk
pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Massage adalah pijitan tangan yang akan merangsang reseptor sensorik
dari kulit dan jaringan subcutaneous sehingga dapat memberikan efek
rileksasi dan mengurangi kaku pada wajah. Terapi latihan lain pada wajah
adalah dengan menggunakan cermin (mirror exercise) yang dapat
memberikan biofeedback sehingga dapat mencegah terjadinya kontraktur
dan melatih kembali gerakan volunter pada wajah pasien. Latihan ini
dianjurkan pada stadium akut dilakukan dan dikombinasikan dengan
medikamentosa khususnya pemberian prednison.
2.9 Prognosis10
25
pasien dapat sembuh tanpa pengobatan (71%) yang 84% diantaranya akan sembuh
total atau mendekati keadaan normal. Faktor-faktor lain yang dianggap terkait
dengan luaran yang buruk termasuk nyeri di daerah aurikularis posterior dan
penurunan lakrimasi.
Pasien berusia 60 tahun atau lebih tua memiliki kemungkinan sebesar
40% untuk sembuh total namun cederung dengan gejala sisa. Pasien yang lebih
muda, kurang dari 30 tahun hanya memiliki kemungkinan 10-15% untuk tidak
sembuh (jarang memiliki sekuele jangka panjang). Semakin cepat pemulihan,
semakin kecil kemungkinan timbulnya gejala sisa atau sekuele, seperti yang
dirangkum di bawah ini:
- Jika terjadi pemulihan fungsi dalam 3 minggu, maka pemulihan kemungkinan
besar akan komplit.
- Jika pemulihan terjadi antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka hasil akhir
biasanya memuaskan.
- Jika pemulihan tidak dimulai sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan
gejala sisa permanen, termasuk sisa paresis dan sinkinesis akan lebih tinggi
tinggi.
- Jika tidak ada pemulihan yang terjadi selama 4 bulan, maka pasien mungkin
memiliki gejala sisa dari penyakit, yang meliputi sinkinesis, crocodile tears,
dan spasme hemifasial yang bersifat jarang.
Berkaitan dengan rekurensi, Bel’sl palsy memiliki tingkat kekambuhan
sebesar 7%. Paralisis bisa muncul kembali pada sisi yang sama atau berlawanan
dari paralisi awal. Kekambuhan biasanya dikaitkan dengan riwayat keluarga
Bell’s palsy yang rekuren. Kebanyakan pasien dengan Bell’s palsy rekuren
memang memiliki etiologi yang mendasari untuk kekambuhan tersebut.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
6. Ropper, AH., Brown, Robert H. 2005. Adams & Victors’ Principles of
Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill.
7. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 1997.
28
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pedagang
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Andalas, Padang
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 22 tahun datang ke Poliklinik Neurologi RSUP
DR. M. Djamil pada tanggal 3 Juni 2018, dengan :
Keluhan Utama :
29
Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
- Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
- Awalnya pasien merasa wajahnya bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal,
lidah juga terasa tebal, hingga ketika pasien bangun tidur pasien merasakan
mulutnya tiba-tiba mencong ke kiri.
- Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa
kering
- Gangguan pendengaran tidak ada
- Gangguan pengecapan tidak ada
- Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada
- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
- Kelumpuhan anggota gerak tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat telinga berair tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
- Pasien seorang pegawai toko, sering kelelahan dan terpapar udara dingin
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : CMC, GCS 15, E4M6V5
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 80x/mnt
Frekuensi pernafasan : 20x/mnt
Suhu : 36,7°C
Kepala :
Konjungtiva : tak anemis
30
Sklera : tak ikterik
Leher : tidak ada kelainan
Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : tidak dapat dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama takikardi, bising (-)
- Abdomen :
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Korpus Vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibbus (-)
Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda rangsang Meningen:
- Kaku kuduk :-
- Kernig :-
- Brudzinski I :-
- Brudzinski II :-
2. Tanda peningkatan TIK
-Pupil : isokor, reflek cahaya +/+ Ф3mm/3mm
3. Pemeriksaan Nervus Cranialis:
31
Nervus kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
-subjektif Baik Baik
-objektif (dg bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
-tajam penglihatan Baik Baik
-lapangan pandang Baik Baik
-melihat warna Baik Baik
-funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
-bola mata Ortho Ortho
-ptosis Tidak ada Tidak ada
-gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah
-strabismus Tidak ada Tidak ada
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
-ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
-pupil
bentuk Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
reflex cahaya + +
reflex akomodasi + +
reflex konvergensi + +
N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut Baik Baik
menggerakkan rahang Baik Baik
menggigit Baik Baik
mengunyah Baik Baik
32
-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas + +
Divisi Maksila
*reflex Masseter Baik Baik
*sensibilitas Baik Baik
Divisi Mandibula
*sensibilitas Baik Baik
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N VII (Fasialis)
-raut wajah Plika nasolabialis kiri lebih datar
-sekresi air mata + +
-fisura palpebra + -
-menggerakkan dahi + -
-menutup mata + -
-mencibir/bersiul + -
-memperlihatkan gigi + -
-sensasi lidah 2/3 depan + +
-hiperakusis - -
N VIII (Vestibularis)
-suara berbisik Baik Baik
-detik arloji Baik Baik
-rinne test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-weber test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-swabach test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
*memanjang
33
*memendek
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
*pendular
*vertical
*siklikal
-pengaruh posisi kepala Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
-sensasi lidah 1/3 blkg Baik Baik
-refleks muntah (Geg Rx) + +
N X (Vagus)
-Arkus faring Simetris
-uvula Di tengah
-menelan Baik
-artikulasi Baik
-suara Baik
-nadi Teratur
N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan +
-menoleh ke kiri +
-mengangkat bahu kanan +
-mengangkat bahu kiri +
N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam Di tengah
-kedudukan lidah Di tengah
dijulurkan
-tremor -
-fasikulasi -
-atropi -
4. Koordinasi: baik
34
5. Pemeriksaan Fungsi Motorik;
Kanan Kiri
a.Badan -Respirasi Simetris kiri dan kanan
-duduk Simetris Simetris
b.Berdiri & -gerakan spontan Tidak ada Tidak ada
berjalan
-tremor Tidak ada Tidak ada
-atetosis Tidak ada Tidak ada
-mioklonik Tidak ada Tidak ada
-khorea Tidak ada Tidak ada
7. Sistem reflex
a.Refleks fisiologis
Kanan Kiri kanan Kiri
Kornea + + Biseps ++ ++
Berbangkis triseps ++ ++
Laring KPR ++ ++
Masseter APR ++ ++
Dinding Bulbokavernosus
perut
-atas
-bawah
35
-tengah
Cremaster
Sfingter
b.Patologis
Lengan Kanan Kiri Tungkai Kanan Kiri
Hofmann- - - Babinski - -
Tromner
Chaddoks - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Klonus paha - -
Klonos kaki - -
8. Fungsi otonom
-miksi : baik
-defekasi : baik
-sekresi keringat : baik
9.Fungsi luhur :
Kesadaran Tanda demensia
-reaksi bicara : baik -refleks Glabella : -
-reaksi intelek : baik -refleks Snout :-
-reaksi emosi : baik -refleks mengisap : -
-refleks memegang : -
-refleks Palmomental : -
Diagnosis
36
Diagnosa klinis : Paralisis nervus fasialis sinistra tipe perifer
Diagnosa topiK : Nervus VII sinistra
Diagnosa etiologi : Idiopatik
Diagnosa sekunder :-
Prognosis:
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanam : bonam
Quo ad functionam: bonam
Terapi
Istirahat
Prednisone 3x5 mg
Neurodex 3x1 tab
Fisioterapi
BAB IV
DISKUSI
37
bagian depan lidah maupun meatus akustikus internus yang dapat mengganggu
pendengaran. Pasien tidak memiliki riwayat telinga berair, sehingga dapat
disingkirkan kemungkinan etiologinya merupakan suatu otitis media. Riwayat
trauma juga disangkal sehingga dapat disingkirkan kemungkinan fraktur os
temporal, dan tidak adanya riwayat hipertensi serta tidak adanya kelumpuhan
anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan suatu lesi sentral.
Dari riwayat sosial dan kebiasaan, pasien adalah seorang pedagang yang
terbiasa terkena udara dingin dan kelelahan. Hal ini merupakan faktor risiko yang
dapat menyebabkan nervus fasialis menjadi sembab dan terjepit pada foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis tipe LMN
(perifer). Kelumpuhan ini disebut dengan Bell’s Palsy.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,50 C. Dari
pemeriksaan nervus kranialis, didapatkan pemeriksaan N.I-N.XII baik, kecuali
N.VII. Pada pemeriksaan N.VII didapatkan raut wajah yang tidak simetris,
dimana plika nasolabialis kiri lebih datar, dahi sebelah kiri tidak dapat dikerutkan,
kelopak mata kiri tidak dapat ditutup, tidak dapat bersiul, dan tidak dapat
memperlihatkan gigi. Tidak ditemukan hipeakusis karena jika nervus fasialis
terjepit di foramen stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda
timpani dan serabut yang mempersarafi muskulus stapedius. Tidak adanya
kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapat
menyebabkan paralisis N.VII, yang lesinya bersifat sentral.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis
klinis Paresis Nervus VII tipe perifer (Bell’s Palsy), dengan diagnosis topik
Nervus VII, dan etiologi idiopatik.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara
medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison 1
mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai 10
hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat ditambahkan analgetik
(bila nyeri). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi, dilakukan setelah
hari ke 4 awitan. Hal ini dapat dilakukan dengan melatih sisi wajah yang lumpuh
untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum,
38
bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat juga dilakukan massase wajah sisi
yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh.
Prognosis kasus ini adalah bonam, karena berdasarkan epidemiologi
dengan Bell’s Palsy akan sembuh sempurna (dalam waktu 3 bulan). Paralisis
ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda prognosis baik.
BAB V
KESIMPULAN
39
dalam nervus fasialis sehingga oksigen yang terdapat pada nervus tersebut tidak
memadai. Manifestasi klinis pada Bell’s Palsy terlihat pada lemah atau lumpuhnya
otot wajah, gangguan untuk menutup mata, nyeri di telinga atau mastoid,
perubahan atau penurunan sensasi pengecapan, hiperakusis, numbness pada pipi
atau mulut, epiphora, nyeri di bagian auricular.
Berdasarkan gejala tersebut Bell’s Palsy dapat di grading menjadi Grade 1
(normal), Grade 2 (Disfungsi ringan), Grade 3 (Disfungsi sedang), Grade 4
(Disfungsi sedang yang berat), Grade 5 (Disfungsi parah), Disfungsi yang parah.,
Grade 6 (Paresis total). Tatalaksana pasien Bell’s Palsy meliputi pemberian
kortikosteroid, pemberian agen antivirus, pembedahan maupun fisioterapi.
Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, terutama pada pasien berumur muda
(kurang dari 30 tahun).
40