Anda di halaman 1dari 389

UNIVERSITAS INDONESIA

INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU


DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN

DISERTASI

Edy Siswoyo
NPM. 890405003X

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA
DEPOK
Juli 2010

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


UNIVERSITAS INDONESIA

INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU


DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN

DISERTASI

Diajukan sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Doktor Sosiologi

Edy Siswoyo
NPM. 890405003X

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCASARJANA
DEPOK
Juli 2010

ii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa disertasi
ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.

Depok, 9 Juli 2010

Edy Siswoyo

iii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
PERNYATAAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan benar.

Nama : Edy Siswoyo

NPM : 890405003X

Tanda Tangan :

Tanggal : 9 Juli 2010

iv
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LEMBAR PENGESAHAN

Disertasi ini diajukan oleh :

Nama : Edy Siswoyo


NPM : 890405003X
Program Studi : Pasca Sarjana Sosiologi
Judul Disertasi: INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Pasca Sarjana Departeman Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Promotor : Prof.Dr. Robert MZ. Lawang ( )

Kopromotor : Prof.Dr. der Soz. Gumilar R. Somantri ( )

Tim Penguji : Prof.Dr.Muhammad Mustofa, MSc. (Ketua) ( )

: Dr. Linda Darmajanti, MT. (Anggota ) ( )

: Lugina Setyawati, PhD. (Anggota ) ( )

: Francisia SSE Seda, PhD. (Anggota ) ( )

: Dr.Ir. Arya Hadi Darmawan (Anggota ) ( )

Sekretaris : Lidya Triana, MSi ( )

Ditetapkan di : Universitas Indonesia

Tanggal : 9 Juli 2010

v
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kepada Tuhan sumber segala hikmat, karena pada akhirnya karya
yang sederhana ini dapat penulis selesaikan. Ini bukan karena kemampuan dan kuat-
gagah penulis, tapi karena kasih, bimbingan, pertolongan, bantuan dan berbagai bentuk
peranserta dan apresiasi, dari berbagai pihak:

1. Prof. Dr. Robert MZ. Lawang


2. Prof. Dr. der Soz. Gumilar R. Somantri
3. Prof. Dr. Muhammad Mostofa, MSc
4. Dr. Ir. Arya Hadi Darmawan
5. Lugina Setyawati, PhD; Ery SSE. Seda, PhD; Dr. Linda Darmajanti, MT.
6. Prof. Dr. Joseph Huber, Prof. Dr. Ir. Arthur P.J. Mol,
Prof. Dr. Ir. Gert Spaargaren, Prof. John Hannigan, PhD.
7. Prof. Dr. Paulus Wirutomo, Dr. Iwan Gardono, Dr. Haneman Samuel,
Dr. der Soz. Rochman Achwan, Dr. Dody Prayoga.
8. Para Sponsor:
• Yayasan Satyabhakti Widya,
• BPPS Ditjen Dikti,
• Ford Foundation & Proyek Sosiologi Lingkungan FISIP Universitas
Indoneia 2006,
• Program Hibah Bersaing Ditjen Dikti 2009,
• Yayasan Kristen Widuri.
9. Staf dan Karyawan STISIP dan STIMIK Widuri Jakarta.
10. Staf dan Karyawan Kantor Dr. Radius Prawiro, Plaza Aminta Lt.10 Jakarta.
11. Staf dan Karyawan Program Pascasarjana Sosiologi FISIP-UI Depok.
12. Rekan-rekan Mahasiswa Program Doktor Sosiologi FISIP Universitas Indonesia
13. Keluarga Gereja Kristen Masa Depan Cerah Jakarta.
14. Segenap Pengurus dan warga PIK KOPTI Swakerta Semanan Jakarta Barat.
15. Keluarga Edy Siswoyo.

Namun demikian penulis tetap menyadari bahwa karya ini masih jauh dari
sempurna, banyak kekurangan di sana-sini. Hal ini terjadi semata-mata karena
keterbatasan penulis. Oleh karena penulis tetap mengharapkan bimbingan, saran dan
masukan, agar karya dapat benar-benar memiliki nilai dan manfaat yang maksimal dan
berkelanjutan bagi semakin banyak pihak.

Jakarta/Depok 2010
Edy Siswoyo
edysw2001@yahoo.com

vi
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Edy Siswoyo


NPM : 890405003X
Program Studi : Pasca Sarjana Sosiologi
Departemen : Sosiologi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Disertasi;

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU


DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk rangkaian data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Jakarta


Pada tanggal 9 Juli 2010
Yang menyatakan,

(Edy Siswoyo)

vii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ABSTRACT

Name : Edy Siswoyo


SRN : 890405003X
Study Program : Graduate Program of Sociology.
Dissertation Title : SMALL INDUSTRY FOR SOYBEAN CAKE PRODUCTION
IN THE PERSPECTIVE OF ENVIRONMENTAL SOSIOLOGY

This dissertation is about the environmental friendly production effort of the


community of the Small Industry for Soybean Cake Production in the Kampong KOPTI
Semanan, Western Jakarta.

Parallel to optimistic approach of Ecological Modernization, the main theoretical


perspective of this dissertation is structural functional, mainly Parsonian sociology. The
second is constructionist approach, to assist the description of some the social process.

The data are collected through field study and survey. The research findings
show that individually, the production activities of the soy bean small industries at the
KOPTI kampong totally cannot be categorized as environmental friendly. They know
and aware about these unfriendly environmental behavior realities. So, their community
leaders tray hard to look for the right way to fulfill the standard requirement of eco-
friendly production, both in the process of production and in the dump and waste
management.

Ecological Modernization perspective obviously gives dominant ideological


contribution, although the result as not fine and fluent as the promised. The social
processes like the conflict and disagreement elimination especially about the dump and
waste management, is a must and an integral part or ecological modernization process.

The active role of the local lay person that has ability to conduct the dialogues
and communicative action, can be explain through structuration theory from the
Anthony Giddens that ecological modernist too. Then, the important of the constructive
role of the environmental activist, particularly from the universities, are the sufficient
indicators that the implementation of the ecological modernization perspective need
constructionist approach.

For the next research, this dissertation recommended to use Arthur Mol and Gert
Spaargaren’s theory of Sociology of Environmental Flows.

Key words:
Small and micro enterprises, environmental friendly, environmental sociology,
ecological modernization, treadmill of production and consumption, constructivism.

viii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ABSTRAK

Nama : Edy Siswoyo


NPM : 890405003X
Program Studi : Pasca Sarjana Sosiologi
Judul Disertasi: INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Disertasi ini membahas upaya komunitas Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu
di Kawasan PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat untuk memenuhi tuntutan produksi
ramah lingkungan.

Paralel dengan ideologi Ecological Modernization yang optimistik, perspektif


utama disertasi ini adalah struktural fungsional dari sosiologi Parsonian. Perspektif yang
kedua adalah sosiologi konstruksionis, terutama untuk membantu dalam
mendeskripsikan beberapa proses sosial yang terjadi di lapangan.

Data dikumpulkan melalui field study dan survai. Hal ini dimaksudkan agar
penggunaan hasil penelitian ini untuk mengambilan keputusan kebijakan, dapat
dilakukan dengan berpegang pada prinsip triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan industri kecil tempe tahu di Perkampungan Industri Kecil (PIK) KOPTI
Swakerta Semanan Jakarta Barat sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan
industri kecil ramah lingkungan walaupun sudah ada usaha ke arah itu. Keadaan ini
disadari betul oleh para pelaku usaha setempat. Namun secara kolektif mereka
mempunyai aspirasi ramah lingkungan, bahkan mereka sedang berusaha keras mencari
cara baru agar kegiatan produksi mereka dapat memenuhi standard ramah lingkungan
baik dari segi pengelolaan limbahnya maupun pada proses produksinya.

Perspektif Modernisasi Ekologis memang memberikan sumbangan ideologis


yang dominan, walaupun hasilnya tidak seindah dan semulus yang dijanjikan. Proses
sosial seperti penyelesaian sengketa mengenai penanganan limbah produksi, tidak bisa
tidak memang harus merupakan bagaian yang tak terpisahkan dari proses modernisasi
ekologis. Peran aktif lay persons setempat yang mampu melakukan dialogues and
communicative action dapat dijelaskan dengan mempergunakan Teori Strukturasi dari
Anthony Giddens yamg juga penganut EM. Kemudian pentingnya peran konstruktif para
aktivis lingkungan, khususnya dari kalangan Perguruan Tinggi sebagaimana disyaratkan
oleh prinsip EM, cukup memandakan bahwa implementasi perspektif EM akan terasa
tidak dipaksakan jika mempergunakan pendekatan konstruksionis.

Untuk penelitian dan pengembangan sosiologi lingkungan selanjutnya, disertasi


ini merekomendasi pentingnya penggunaan teori Sociology of Environmental Flows dari
Arthur Mol dan Gert Spaargaren.

Kata Kunci
Usaha kecil, ramah lingkungan, sosiologi lingkungan, ecological modernization,
treadmill of production and consumption, konstruktivisme.

ix
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Lembar Pernyataan Orisinalitas iii
Lembar Pengesahan iv
Kata Pengantar v
Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah vi
Abstrak vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel.................................................................................................... xii
Daftar Diagram................................................................................................ xiv
Daftar Gambar................................................................................................ xv
Daftar Lampiran............................................................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1.Latarbelakang:......................................................................................... 1
1.1.1. Dilema aspek sosial ekonomi.........................................................2
1.1.2. Dilema aspek lingkungan............................................................... 5
1.1.3. Dilema aspek penegakan hukum................................................... 7
1.1.4. Dilema aspek perspektif teoretik. Kebijakan Pembangunan........ 9
1.1.5. Kasusu Industri Usaha Industri Kecil Tempe-Tahu di
PIK KOPTI Semanan ....................................................................11
1.2. Perumusan Masalah............................................................................... 12
1.3. Tujuan Disertasi...................................................................................... 13
1.4. Manfaat Disertasi ................................................................................... 14
1.5. Batasan Penelitian................................................................................... 15
1.6.”Ideas” sebagai ”Model Operasional” Penelitian................................... 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 18


2.1. Subyek mengenai lingkungan dalam pemikiran sosiologi.................... 19
2.2. Pesimisme Treadmill of Production (ToP) Theory……………………….21
2.3. Optimisme Ecological Modernization Theory…………………………….24
2.4. Konstruksi Sosial Risiko dan Relevansi Teori EM bagi UMKM........... 31
2.5. Penegakan Hukum Lingkungan bagi Industri Kecil
dalam perspektif Struktural Fungsional.................................................. 33
2.6. Wacana masalah penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia............. 35
2.7. Dilema Pelaku UMK.............................................................................. 48
2.8. Dilema Pemerintah dalam Membina UMK............................................ 52
2.9. Kebijakan Dasar Pembinaan UMKM Ramah Lingkungan
di DKI Jakarta........................................................................................ 56
2.10.Karakteristik UMK di DKI Jakarta....................................................... 62
2.11.Dilema yang dihadapi Industri Kecil Tempe Tahu............................... 65
2.12.Beberapa Penelitian Perilaku Ramah Lingkungan Usaha Kecil........... 67

x
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 3 METODOLOGI ....................................................................................... 76
3.1. Konsep Produksi Ramah Lingkungan 76
3.2. Strategi Pengumpulan Data 77
a. Field Study 77
b. Survey 79
3.3. Analisis dan Penyajian Data 82

BAB 4 GAMBARAN USAHA INDUSTRI KECIL


TEMPE TAHU DI PIK KOPTI SEMANAN,
JAKARTA BARAT ................................................................................... 84
4.1. Akses Menuju Lokasi............................................................................. 84
4.2. Asal-usul PRIMKOPTI Swakerta.......................................................... 85
4.3. Keadaan Fisik Lalah............................................................................... 87
4.4. Fasilitas Pendukung Produksi................................................................ 89
4.5. Fasilitas Air Bersih................................................................................. 91
4.6. Fasilitas Pembuangan Sampah................................................................ 92
4.7. Fasilitas Pendidikan, Peribadatan dan Kesehatan................................... 93
4.8. Struktur Kepemimpinan Lokal............................................................... 95
4.9. Rumah Produksi..................................................................................... 99
4.10.Proses Produksi dan Penanganan Limbah............................................. 100
4.11.Harapan Ke Depan................................................................................ 104

BAB 5 INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN


UNIT-UNIT USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU
DI PIK-KOPTI SEMANAN 108

5.1.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan


hubungannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi Pemilik................ 110
5.2.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan
hubungannya dengan Karakteristik Usaha..............................................119
5.3.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan
hubungannya dengan Pembinaan dan Sosialisasi Industri Kecil
Ramah Lingkungan................................................................................ 127
5.4.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan
hubungannya dengan Sikap Konsumen.................................................. 131
5.5.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan
hubungannya dengan Sikap Distributor/Pengecer.................................. 133
5.6.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan
hubungannya dengan Sikap Warga Sekiktar...........................................135
5.7.Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan
hubungannya dengan Nilai-nilai yang dianut Warga Setempat .............136
5.8. Respon Pemilik Usaha terhadap Cara-cara Intervensi
untuk Ramah Lingkungan......................................................................138
5.9. Respon Pemilik Usaha terhadap Pembinaan
Kapasitas Ramah Lingkungan.............................................................. 138
5.10.Respon Pemilik Usaha terhadap Protes dari Warga Sekitar................. 145

xi
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 6 USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU
DALAM DISKUSI TEORETIK SOSIOLOGI LINGKUNGAN ........... 148
6.1. Pokok Diskusi....................................................................................... 148
6.2. Konseptualisasi temuan ....................................................................... 149
6.3. Refleksi Teoretik................................................................................... 162

BAB 7 PENUTUP.................................................................................................... 171


7.1. Kesimpulan Empirik............................................................................ 170
7.2. Kesimpulan Teoretik............................................................................. 178
7.3. Rekomendasi........................................................................................ 179
7.3.1. Rekomendasi untuk Penelitian Sosiologi Lingkungan.............. 180
7.3.2. Rekomendasi untuk Penelitian dan Implementasinya
Kebijakan................................................................................... 181
7.3.3. Tindak Lanjut untuk PIK KOPTI Semanan................................ 182

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 186

LAMPIRAN .............................................................................................................200

DAFTAR TABEL (BAB 1):


Tabel 1.1.1. Banyaknya Usaha danPekerja Sektor Industri
menurut Golongan Industri Tahun 2000-2003
Tabel 1.1.2. Produktivitas dan Kontribusi Sektor Industri
menurut Golongan Industri Tahun 2000-2003
Tabel 1.1.3. Persentase Usaha IKKR menurut Pendidikan Pengusaha Tahun 2003
Tabel 1.1.4. Persentase Usaha IKKR menurut Wilayah Pemasaran Tahun 2003
Tabel 1.1.5. Persentase Usaha IKKR menurut Sumber Modal dan
Asal Pinjaman Utama Tahun 2003
Tabel 1.1.6. Persentase Usaha IKKR yang Modal Pinjamannya
di luar Bank menurut Jenis Alasan Tahun 2003
Tabel 1.2.1. Luas Wilayah, Banyaknya Usaha danPekerja IKKR
menurut Wilayah Tahun 2004

DAFTAR TABEL (BAB 2):


Tabel 2.7.1. Karakteristik UMK Survial/Subsistence dan Viable
Tabel 2.7.2. Perbedaan Utama antara UMK Livelihood dan
UMK Growth Oriented
Tabel 2.8.1. Bimbingan, Pelatihan dan Penyuluhan (BPP) Pekerja
Tabel 2.8.1.a. Banyaknya Usaha IKKR menurut Jenis Kesulitan Usaha Tahun 2003
Tabel 2.8.1.b.Banyaknya Pekerja Usaha IKKR menurut Status dan
Jenis Kelamin Pekerja Tahun 2003
Tabel 2.8.2. Banyaknya IKKR menurut Prospek Usaha 6 Bulan Mendatang,
Tahun 2003
Tabel dan Grafik 2.9.1. Volume Awal Limbah Air Berdasarkkan Sumbernya, 2004
Tabel 2.9.2. Distribusi Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air
Tabel 2.9.3. Distribusi Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air
Tabel dan Grafik 2.9.4.Beban Awal Limbah Cair Menurut Sumber

xii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan Jenisnya di DKI Jakarta, 2004
Tabel 2.9.5. Pencemaran BOD Dari Sumber Effluent Industri
Pengolahan Makanan DKI Jakarta Tahun 2004
Tabel 2.10.1.Jumlah Perusahaan menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
Tabel 2.10.2.Jumlah Tenaga Kerja menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha

DAFTAR TABEL (BAB 5):


Tabel 5.1. TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.1. Pendidikan Suami dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.2. Golongan Umur Suami dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.3. Pendidikan Isteri dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.4. Golongan Umur Isteri dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.5. Tanggungan Anak dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.6. Keanggotaan dalam Koperasi dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.1.7. TINGKAT NILAI ASET dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.1. Tujuan dan Motivasi Utama Usaha dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.2. Status Usaha sebagai Sumber Penghasilan dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.3. Penanggungjawab Seluruh Kegiatan Usaha dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.4. Jangkauan Rencana yang Dibuat dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.5. Yang Membuat Perencanaan dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.6. Penggunaan Penghasilan Usaha dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.2.7. Jumlah Pekerja dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.3.1. Partisipasi dalam Penyuluhan Teknik Produksi Ramah Lingkungan
dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.3.2. Penyuluhan Mengenai Bahan Baku Ramah Lingkungan
dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.3.3. Penyuluhan Lainnya dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.4. Protes dari Konsumen dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.5. Protes dari Pedagang/Distributor dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.6. Protes Warga Sekitar atas Limbah dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.7. Pertimbangan Pemilihan Lokasi Usaha dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.8. Harapan terhadap Intervensi/Pembinaan dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.8. Harapan terhadap Intervensi/Pembinaan dan
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tabel 5.9.1 Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Umur Suami
Tabel 5.9.2. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Umur Isteri
Tabel 5.9.3. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Pendidikan Suami

xiii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 5.9.4. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Pendidikan Isteri
Tabel 5.9.5. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan TINGKAT NILAI ASET
Tabel 5.10. Partisipasi dalam Menangani Protes Warga

DAFTAR DIAGRAM (BAB 1):


Diagram 1.1. Isu Dilematik Usaha Industri Kecil Tempe Tahu
Diagram 1.2. I d e a s

DAFTAR DIAGRAM (BAB 2):


Diagram 2.1. Lingkungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

DAFTAR DIAGRAM (BAB 5):


Diagram 5.1. TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Diagram 5.1.1.Tingkat Ramah Lingkungan dan Pendidikan Suami
Diagram 5.1.2.Tingkat Ramah Lingkungan dan Golongan UmurSuami
Diagram 5.1.3 Tingkat Ramah Lingkungan dan Tingkat Pendidikan Isteri
Diagram 5.1.4 Tingkat Ramah Lingkungan dan Golongan Umur Isteri
Diagram 5.1.5.Tingkat Ramah Lingkungan dan Jumlah Tanggungan Anak
Diagram 5.1.6.Tingkat Ramah Lingkungan dan Keanggotaan dalam Koperasi
Diagram 5.1.7.Tingkat Ramah Lingkungan dan Tingkat Nilai Aset
Diagram 4.2.1 Tingkat Ramah Lingkungan dan Tujuan & Motivasi Usaha
Diagram 5.2.2.Tingkat Ramah Lingkungan dan Status Usaha
Diagram 5.2.3.Tingkat Ramah Lingkungan dan Penanggungjawab Usaha
Diagram 5.2.4.Tingkat Ramah Lingkungan dan Jangkauan Rencana
Diagram 5.2.5.Tingkat Ramah Lingkungan dan Yang Membuat Rencana
Diagram 5.2.6.Tingkat Ramah Lingkungan dan Penggunaan Penghasilan
Diagram 5.2.7.Tingkat Ramah Lingkungan dan Jumlah Pekerja
Diagram 5.3.1.Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Produksi Ramah Lingkungan
Diagram 5.3.2.Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Bahan Baku Ramah Lingkungan
Diagram 5.3.3.Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Lainnya
Diagram 5.4. Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes dari Konsumen
Diagram 5.5. Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes dari Pedagang
Diagram 5.6. Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes Warga Sekitar
Diagram 5.7. Tingkat Ramah Lingkungan dan
Pertimbangan Pemilihan Lokasi Usaha
Diagram 5.8. Tingkat Ramah Lingkungan
dan Harapan terhadap Intervensi/pembinaan
Diagram 5.9.1.Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan dan Golongan Umur Suami
Diagram 5.9.2.Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan dan Golongan Umur Isteri
Diagram 5.9.3.Partisipasi dalam Pengelolaan

xiv
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lingkungan & Kebersihan dan Pendidikan Suami
Diagram 5.9.4.Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan dan Pendidikan Isteri
Diagram 5.9.5.Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Nilai Asset yang Dimiliki
Diagram 5.10. Cara Menangani Protes Warga

DAFTAR GAMBAR (BAB 4)


Gambar 1. Lokasi Kelurahan Semanan di dalam Peta Jakarta Barat
Gambar 2. Lokasi PIK KOPTI Semanan diunduh dengan GoogleEarth.
Gambar 3. Kantor KOPTI Swakerta Jakarta
Gambar 4. Lokasi PIK KOPTI Semanan diunduh dengan GoogleEarth
Gambar 5. Suasana Dapur Umum dan Perawatan Bak Pengolahan Limbah
Gambar 6. Jasa Penyediaan Air untuk Cuci dan Perebusan Kedelai
Gambar 7. Fasilitas Pengolahan Sampah
Gambar 8. Fasilitas Pendidikan, Peribadatan dan Kesehatan di PIK KOPTI Semanan
Gambar 9. Saluran Buangan Pemicu Protes
Gambar 10. Saluran Buangan Pemicu Protes
Gambar 11. Suasana Kegiatan Produksi
Gambar 12. Bak Pengolahan Limbah
Gambar 13. Penyuluhan Hemat Energi
Gambar 14. Produksi Sambilan di Dapur Umum
Gambar 15. FGD Menuju Pabrik Tempe Modern

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Sentra Industri Kecil di Jakarta 2006
Lampiran 2 Tabel Sumber Pencemaran DKL 2004
Lampiran 3.1.Daftar Beberapa Peraturan Perunddangan Lingkungan Hidup
Yang Berlaku di Propinsi DKI Jakarta
3.2.Kegiatan BPLH DKI 2008
3.3.Rekapitulasi Data Pegawai BPLHD Prop. DKI Jakarta, Tahun 2008
Lampiran 4 Pedoman Pengumpulan Data
Lampiran 5 Data Hasil Field Study
Lampiran 6 Kuesioner Profil Usaha
Lampiran 7 Data SPSS
Lampiran 8 Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus
Lampiran 9 Hasil Diskusi Kelompok Terfokus
Lampiran 10 CD.

xv
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang.

Disertasi ini berjudul Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu dalam


Perspektif Sosiologi Lingkungan. Penetapan judul disertasi ini
dilatarbelakangi oleh isu dilematik yang melekat pada kegiatan usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM) dimana industri kecil tempe tahu termasuk
didalamnya. Isu dilematik tersebut meliputi aspek sosial ekonomi, aspek
lingkungan dan aspek penegakan hukum terutama oleh pemerintah.
Keberadaan usaha industri kecil tempe tahu memang belum memberikan
sumbangan yang berarti bagi produktivitas nasional; kegiatan produksinya
cenderung menimbulkan pencemaran air dan udara. Akan tetapi industri kecil
tempe tahu memberikan manfaat ekonomi pada kalangan masyarakat kecil;
dan itu berarti ikut membantu pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran
bagi rakyat kecil. Akan tetapi pencemaran air dan udara yang ditimbulkannya
pada akhirnya membebani masyarkat kecil itu sendiri, termasuk pelaku usaha.
Isu dilematik tersbut dapat divisualisasi dan dideskripsikan sebagai berikut:

EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL

USAHA
PENCEMARAN
INDUSTRI
LINGKUNGAN:
KECIL TEMPE-
AIR & UDARA
TAHU

Diagram 1.1.
Isu Dilematik Usaha Industri Kecil Tempe Tahu

Universitas Indonesia 1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
1.1.1. Aspek Sosial-Ekonomi
Pendapat umum menyepakati bahwa dari aspek sosial –
ekonomi, UMKM adalah lemah, prospeknya tidak jelas, kurang
menunjang produktuivitas nasional. Di sisi lain UMKM adalah
fungsional, memenuhi permintaan pasar dari segmen tertentu dan
mampu menciptakan lapangan kerja. Pendapat umum ini dapat
dijelaskan setidaknya sebagai berikut:
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa UMKM dan terutama
yang tergolong mikro atau kecil atau skala rumah tangga, adalah
fungsional bagi masyarakat. Secara empirik juga tampak bahwa usaha
kecil, mikro atau usaha berskala rumah tangga telah menyerap paling
banyak tenaga kerja. Jumlah mereka sangat banyak, jauh melebihi
jumlah usaha berskala sedang dan besar. Namun dari segi
produktivitas jauh berada di bawah produktivitas usaaha skala sedang
dan besar. Rendahnya produktivitas tersebut disamping karena kualitas
teknologi yang dipergunakan juga rendah dan sederhana, juga karena
kualitas tenaga kerja yang pada umumnya berpendidikan rendah. Dari
Survei Usaha Terintegrasi yang dilakukan oleh BPS tahun 2003 (SUSI
2003) diperoleh pernyataan bahwa usaha mikro kecil atau yang lazim
disebut BPS sebagai Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(IKKR) menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok Industri Besar/Sedang (IBS). Pada tahun 2003, jumlah
usaha IKKR merupakan bagian terbesar (99,25%), penyerapan tenaga
kerja sebesar 59.82% dari keseluruhan usaha sektor industri (Tabel
1.1.1.).

Tabel 1.1.1.
Banyaknya Usaha danPekerja Sektor Industri menurut Golongan
Industri Tahun 2000-2003
2000 2001 2002 2003
Golongan Usaha Pekerja Usaha Pekerja Usaha Pekerja Usaha Pekerja
Industri (000 (000 (000 (000 (000 (000 (000 (000
unit org) unit org) unit org) unit org)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
I B/S 22 4.367 22 4.386 21 4.365 20 4.274
IKKR 2.599 6.291 2.538 6.110 2.729 6.566 2.642 6.364
JUMLAH 2.621 10.658 2.560 10.496 2.750 10.931 20662 10.638
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Universitas Indonesia 2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Namun jika dilihat dari produktivitas per-tenaga kerja dan share
output-nya, IKKR jauh berada dibawah IB/S, yaitu Rp.13,55juta/tenaga
kerja atau 9,32% (Tabel 1.1.2.).
Tabel 1.1.2.
Produktivitas dan Kontribusi Sektor Industri menurut Golongan
Industri Tahun 2000-2003

2000 2001 2002 2003


Golongan Produk- Share Produk- Share Produk- Share Produk- Share
Industri tivitas Output tivitas Output tivitas Output tivitas Output
(%) (%) (%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
I B/S 143,99 91,65 167,70 91,50 166,31 89,94 196,26 90,68
IKKR 9,11 8,35 10,98 8,50 12,36 10,06 13,55 9,32
Produktivitas = output pertenaga kerja (dalam juta rupiah)
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Pendidikan tertinggi (Tabel 1.1.3.) sebagian besar pengusaha


IKKR adalah Sekolah Dasar (SD). Sedangkan partisipasi perempuan
sebagai pekerja pada IKKR adalah cukup tinggi, hampir sama dengan
jumlah pekerja laki-laki kecuali pada IK dimana jumlah pekerja
perempuan kurang lebih hanya separuh dari jumlah pekerja laki-laki.

Tabel 1.1.3.
Persentase Usaha IKKR menurut Pendidikan Pengusaha Tahun 2003
Kelompok Jumlah Tdk Tamat Tamat Tamat Tamaat PT
Tamat SD
Industri Usaha SD SLTP SMTA
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Industri
Kecil 235.851 27.045 98.809 52.523 51.733 5.741
% 100,00 11,47 41,90 22,27 21,93 2,43
IKR 2.406.058 653.246 1.147.467 396.627 193.251 15.467
% 100,00 27,15 47,70 16,48 8,03 0,64
IKKR 2.641.909 680.291 1.246.276 419.150 244.984 21.208
% 100,00 25,75 47,18 17,00 9,27 0,80
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Jadi pada dasarnya usaha mikro dan kecil merupakan katup pengaman
untuk mengatasi pengangguran penduduk berpendikan rendah.
Status hukum mereka juga tidak jelas. Pada umumnya mereka
memang merupakan bentuk usaha yang tidak berbadan hukum. Bisa
diduga, mereka juga tidak memiliki NPWP. Mereka juga tidak
melakukan pencatatan asset atau pembukuan keuangan yang disahkan
oleh akuntan publik. Akibatnya ketika mereka mengalami masalah
permodalan, mereka sulit memperoleh bantuan yang mencukupi dari
bank. Namun demikian mereka ini tetap dibutuhkan oleh segmen pasar

Universitas Indonesia 3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tertentu yang mengutamakan harga produk ”yang penting murah dan
memenuhi kebutuhan”. Mengenai wilayah pemasaran, hampir seluruh
IKKR melakukan produksi hanya mampu memenuhi permintaan pasar
domestik. Wilayah pemasaran luar negeri hanya dilakukan 2,46% IK
dan 0,81 IKR (Tabel 1.1.4.).

Tabel 1.1.4.
Persentase Usaha IKKR menurut Wilayah Pemasaran
Tahun 2003
Kelompok Wilayah Pemasaran
Industri Domestik Luar Negeri
(1) (2) (3)
IK 97,54 2,46
IKR 99,19 0,81
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan tenaga kerja dan


kemampuan permodalan, kemampuan jangkauan pemasaran yang pada
umumnya tidak dapat menembus pasaran luar negeri, adalah dapat
dimengerti. Sumber permodalan IKKR pada umumnya adalah modal
sendiri (Tabel 1.1.5.).
Tabel 1.1.5.
Persentase Usaha IKKR menurut Sumber Modal dan
Asal Pinjaman Utama Tahun 2003
Uraian IK IKR
(1) (2) (3)
1. Sumber Modal
68,10 82,62
Modal sendiri
30,83 16,04
Modal sendiri dan pinjaman
0,98 1,09
Seluruhnya dari pinjaman
0,09 0,25
Lainnya
J U M L A H 100,00 100,00
2. Asal PinjamanSumber Modal
Bank 30,91 8,93
Koperasi 3,01 2,62
Modal Ventura 0,89 1,33
Lembaga Keuangan Non Bank 0,59 0,12
Keluarga 17,24 39,26
Perorangan 11,61 8,82
Lainnya 35,75 38,92
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Selain itu Peranan kredit perbankan untuk membantu permodalan IKKR


cenderung rendah karena pengusaha tidak memiliki agunan (Tabel
1.1.6.).

Universitas Indonesia 4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 1.1.6.
Persentase Usaha IKKR yang Modal Pinjamannya
di luar Bank menurut Jenis Alasan Tahun 2003

Uraian IK IKR
(1) (2) (3)
Alasan tidak meminjam ke Bank
Tidak punya agunan 28,80 32,30
Tidak tahu prosedur peminjaman 15,90 17,84
Prosedur terlalu sulit 9,48 14,79
Suku Bunga tinggi 9,24 10,42
Tidak berminat 36,32 23,60
Proposal ditolak 0,26 1,05
J U M L A H 100,00 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

1.1.2. Aspek Lingkungan.

Pendapat umum juga menyepakati bahwa lingkungan semakin


lama semakin tercemar dan membahayakan kehidupan. Aneka ragam
limbah memang sering menimbulkan keresahan masyarakat. Disadari
bahwa limbah tersebut bukan saja berasal dari usaha skala besar tetapi
juga berasal dari industri rumah tangga/usaha kecil. Akibat
akumulasinya, limbah yang masuk ke lingkungan akan membuat
menurunnya daya dukung lingkungan dalam menunjang kegiatan
ekonomi, termasuk kegiatan usaha kecil. Kalaulah kegiatan ekonomi
termasuk kegiatan usaha kecil tetap harus berjalan, namun biaya yang
harus dikeluarkan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan dan
juga untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan akan membebani
kegiatan ekonomi itu sendiri. Dari segi ekonomi maupun lingkungan.
Ditinjau dari wacana mengenai sustainable development yang telah
disepakati secara internasional, maka hal tersebut adalah masalah.
Elemen kunci Sustainable Development ini adalah: saling hubungan
dan ketergantungan yang melipuiti aspek ekologi, sosial dan ekonomi;
adanya kesetaraan hak dan kebebasan lintas generasi dan spesies;
kebijaksanaan mengarah pada perawatan dan pencegahan – baik secara
teknologis, ilmiah maupun politis; dan adanya jaminan keselamatan
dan perlindungan berbagai kemungkinan dampak buruk kerusakan
lingkungan (Lihat misalnya: Cernea 1993, Warhurst 1998),
Giampietro, Kozo, Bukkens 2001, dan Castro 2004). Karena itu dalam

Universitas Indonesia 5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
rangka menunjang terwujudnya sustainable development, usaha kecil
juga dituntut untuk ramah lingkungan atau environment friendly
dengan melaksanakan cleaner production. Itu adalah dilemma; dilema
besar.
Badan Pusat Statistik (2005) juga melaporkan bahwa dari segi
penyebarannya, konsentrasi usaha kecil termasuk IKKR dari tahun ke
tahun tidak berubah; sebagian besar berlokasi di Jawa dan Bali.
Implikasi negatif yang mungkin dapat ditimbulkan dengan kepadatan
konsentrasi IKKR di Jawa dan Bali tersebut adalah kemungkinan
menurunnya daya dukung alam di Jawa dan Bali (Tabel 1.2.1.).
Tabel 1.2.1.
Luas Wilayah, Banyaknya Usaha danPekerja IKKR menurut Wilayah
Tahun 2004
Persentase Usaha Pekerja
Wilayah Luas Wilayah (000 unit) (000 orang)
(Km2) Banyaknya % Banyaknya %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kawasan barat 32,48 2.136 80,85 5.192 81,59
1. Sumatera 25,44 312 11,80 777 12,22
2. Jawa dan Bali 7,04 1.824 69,05 4.414 69,37
Kawasan Timur 67,52 506 19,15 1.172 18,41
1. Nusa Tenggara 3,57 169 6,40 351 5,52
2. Kalimantan 30,37 121 4,60 310 4,87
3. Sulawesi 10,14 199 7,54 465 7,30
4. Maluku dan Papua 23,44 16 0,61 46 0,72
Indonesia 100,00 2.642 100,00 6.364 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Dalam Hasil Kerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup


2001-2004 (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004:31-33) dilaporkan
bahwa dampak lingkungan kegiatan usaha kecil secara individual tidak
begitu nyata. Akan tetapi karena industri skala kecil umumnya
terkonsentrasi dalam satu lokasi (sentra) dan berada di lokasi
pemukiman di perkotaan atau di kawasan yang kemudian secara fisik
tumbuh menjadi kota, maka dampak lingkungannya cukup besar.
Dilaporkan juga bahwa berbagai usaha kecil yang potensial mencemari
lingkungan sebagian besar belum mentaati keharusan untuk
melakukan pengelolaan limbah dengan baik. Dilaporkan bahwa air
limbah dibuang ke sungai atau selokan tanpa pengolahan lebih dahulu.
Belum baiknya pengelolaan limbah ini disebabkan antara lain oleh

Universitas Indonesia 6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
lemahnya permodalan yang mendorong pelaku usaha kecil lebih
beroerientasi pada peningkatan kapasitas produksi, dan juga karena
terbatasnya pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan.
Pembinaan teknis yang telah dilakukan oleh KLH antara lain
pembangunan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sosialisasi
serta uji coba teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah.
Pembangunan IPAL diharapkan dapat menjadi contoh bagi
pengelolaan lingkungan pada usaha kecil. IPAL Percontohan di
Sumedang (pengolahan limbah tahu), Garut (pengolahan air limbah
penyamakan kulit) dan Sidoardjo (penglolah air limbah electroplating),
dilaporkan memang mampu menurunkan tingkat pencemaran.
Kemudian dalam tahun 2001-2004 telah dilakukan sosialisasi di 24
propinsi dengan melibatkan 1.234 orang peserta. Namun, menurut
laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004, kesadaran
masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan adalah rendah.
Remdahnya kesadaran masyaralat ini merupakan salah satu dari 24
(dua puluh empat) persoalan utama pengelolaan lingkungan hidup
yang sampai tahun 2004 belum dapat diatasi selama tahun 2000-2004.
Gejala yang sering dilaporkan adalah adanya split antara sikap dan
praktik untuk ramah lingkungan di kalangan usaha kecil. Sikap
cenderung berhenti pada level pengetahuan dan kognitif; akan tetapi
sulit terwujud menjadi sebuah tindakan konkret (KLH, 2005).

1.1.3. Aspek penegakan hukum.

Kenyataan empirik menunjukkan bahwa usaha menegakan


hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala.
Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak
hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-
undangan yang ada. Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian
kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, pekerjaan untuk
membuktikan bahwa telah terjadi pencemaran atau perusakan
lingkungan bukanlah pekerjaan mudah (Suara Merdeka 5 Juni 2007)

Universitas Indonesia 7
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dalam proses produksi, industri pengolahan tempe tahu yang
terletak di lingkungan pemukiman tidak melakukan pengolahan
limbah sama sekali. Limbah langsung dibuang di selokan setempat.
Ciri sebaliknya adalah industri pengolahan tahu dan tempe yang
terletak di Kawasan Industri, yang harus mengikuti aturan-aturan yang
berlaku bagi seluruh kawasan; yaitu melakukan pengolahan limbah
sebelum limbah itu dibuang ke saluran pembuangan umum.
Dari segi penggunaan bahan baku, beberapa kali terdengar
kegiatan insustri kecil mikro sengaja mempergunakan bahan
berbahaya dan beracun. Tindakan hukum memang sudah dilakukan,
namun kurang bahkan tidak efektif. Bahkan norma agama sekalipun,
harus diabaikan dengan sadar oleh pelaku demi ekonomi.
Menurut laporan Hasil Kerja Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (2004:31-33) pembinaan ramah lingkungan sudah dilakukan,
termasuk di sentra-sentra usaha kecil, kepada anggota sentra diberikan
pengetahuan dan pelatihan produksi ramah lingkungan agar sadar dan
berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah
lingkungan lainnya. Namun kenyataan yang penulis lihat adalah
bervariasi, pengetahuan dan pelatihan memang sudah diberikan,
namun sampai pada pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin
ramah lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada
yang tidak sama sekali (Siswoyo, 2006).
Hasil pengamatan penulis di DKI Jakarta pada tahun 2006,
industri pengolahan tahu dan tempe yang terletak di lingkungan
pemukiman tidak melakukan pengolahan limbah sama sekali. Limbah
langsung dibuang di selokan setempat. Ciri sebaliknya adalah industri
pengolahan tahu dan tempe yang terletak di Kawasan Industri, yang
harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi seluruh kawasan;
yaitu melakukan pengolahan limbah sebelum limbah itu dibuang ke
saluran pembuangan umum.
Dari segi penggunaan bahan baku, beberapa kali terdengar
kegiatan insustri kecil mikro sengaja mempergunakan bahan

Universitas Indonesia 8
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berbahaya dan beracun. Tindakan hukum memang sudah dilakukan,
namun kurang bahkan tidak efektif. Bahkan norma agama sekalipun,
harus diabaikan dengan sadar oleh pelaku demi ekonomi. Di sebuah
sentra pembinaan usaha kecil tempe tahu misalnya,. semua anggota
sentra pada dasarnya sudah dibina, memiliki pengetahuan, sadar, dan
berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah
lingkungan lainnya. Namun kenyataan yang penulis lihat adalah
bervariasi, pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin ramah
lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada yang
tidak sama sekali (Siswoyo, 2006).
Terungkap dalam salah satu Diklat Pengolahan Limbah
Industri Kecil 12 November 2008 dimana penulis berpartisipasi
sebagai peserta, bahwa beberapa peserta memang sengaja
mempergunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti pewarna,
borax dan formalin.

1.1.4. Aspek perspektif teoretik kebijakan pembangunan.

Disertasi ini mencoba memperoleh dan mengemukakan


penjelasan dari perspektif sosiologi lingkungan mengenai dampak
dilematik kegiatan industri kecil terhadap pengentasan kemiskinan
namun sekaligus merusak lingkungan sebagaimana dimaksudkan di
atas.
Bersumber dari induknya yang multi paradigmatik, sosiologi
lingkungan kaya dengan perspektif. Arus utama dalam prespektif
teoretik sosilogi lingkungan adalah perspektif dari teori Tradmill of
Production (ToP) mewakili paradigma konflik dan perspektif dari
Ecological Modernization (EM) mewakili paradigma order.
Asumsi dasar kedua teori tersebut pada dasarnya adalah sama,
yaitu adanya hubungan antara sistem ekonomi kapitalis dengan
environmental degradation. Sebagaimana diungkapkan oleh Catton
and Dunlap (1983), kerusakan lingkungan adalah terjadi karena
adanya three competing functions of the environment. Ke tiga fungsi

Universitas Indonesia 9
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
itu adalah supply depot, living space dan waste repository. Fungsi
supply depot menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai penyedia
sumber daya alam yang renewable dan yang non-renewable yang
penting bagi kehidupan. Pemanfaatan yang berlebihan atas sumber
daya alam ini mengakibatkan kerusakan dan kelangkaan. Fungsi living
space menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai habitat yang
menyediakan tempat tinggal, sistem transportasi dan prasarana penting
lainnya bagi kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan yang berlebihan atas
fungsi ini mengakibatkan kepadatan yang berlebihan, kemacetan dan
rusaknya habitat spesies lain. Fungsi waste repository menunjuk pada
fungsi lingkungan sebagai tempat untuk menampung sampah, kotoran,
polusi industri dan barang-barang buangkan lainnya. Melampaui
kemampuan ekosistem dalam menyerap barang-barang buangan
tersebut mengakibatkan masalah kesehatan yang disebabkan oleh
sampah beracun dan kerusakan lingkungan. Perbedaannya, teori ToP
beranggapan bahwa system ekonomi kapitalis membuat terpuruknya
lingkungan akibat tidak adanya environmental consciousness,
environmental awarensess, environmental attitude and behavior.
Sedangkan pendapat teori EM adalah sebaliknya, system ekonomi
kapitalis dan modernisasi yang penuh dengan semangat inovasi akan
mampu memperbaiki struktur dan sekaligus membimbing agent untuk
memiliki environmental consciousness, environmental awarensess,
environmental attitude and behavior. Kekuatan dan keterbatasan dari
perspektif-perspektif teoretik tersebut sudah barang tentu merupakan
hal yang perlu dicermati berbagai pihak, terutama berkenaan dengan
perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi ramah lingkungan,
agar kebijakan yang dimaksud selain memenuhi persyaratan berlaku
umum namun juga sekaligus kontekstual.
Kenyataan empirik di Indonesia menunjukkan bahwa
kebijakan-kebijakan ekonomi dan lingkungan, disadari atau tidak
disadari oleh Pemerintah, tampak lebih berorientasi pada ideologi EM
yang berorientasi pada growth dan developmentalism. Sebagaimana

Universitas Indonesia 10
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
diketahui, disain besar pembangunan nasional juga berorientasi pada
growth dan developmentalism.
Namun banyaknya pemberitaan mengenai protes dan sengketa
yang berkenaan dengan masalah implementasi kebijakan lingkungan,
cukup menjadi pertanda bahwa praksis ideologi EM tidak seindah dan
semulus yang dijanjikan.

1.1.5. Kasus Usaha Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu di


Perkampungan Industri Kecil (PIK) KOPTI Semanan.

Pilihan studi perilaku ramah lingkungan pada usaha industri


kecil tempe tahu dan bukan pada industri kecil lainnya adalah karena
alasan yang sangat praktis. Limbah produksi tempe tahu adalah mudah
di lihat dan dirasakan dengan pancaindera, yaitu limbah air keruh dan
bau busuk.
Di Jakarta terdapat 25 sentra industri tempe/tahu dengan
jumlah total 2026 unit usaha. Untuk memperoleh pemahaman empirik
secara lebih mendalam mengenai bagaimana usaha industri kecil
berusaha tau diusahakan untuk melakukan kegiatan produksi ramah
lingkungan, penulis memilih melakukan studi di Perkampungan
Industri Kecil Primer Koperasi Tempe-Tahu Indonesia (PIK
PRIMKOPTI, atau lazimnya dibaca PIK KOPTI) Swakerta Semanan
RW 011 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat.
Dibandingkan dengan usaha sejenis di lokasi-lokasi yang lain, PIK
KOPTI Swakerta Semanan adalah unik, yaitu: 1) merupakan satu-
satunya sentra yang secara fisik direncanakan dan diusahakan untuk
memenuhi syarat ramah lingkungan, sementara sentra yang lain tidak
karena sudah terlanjur tumbuh bersama pemukiman penduduk; 2)
merupakan sentra industri tahu dan tempe dengan jumlah unit usaha
terbanyak (Lihat Lampiran 1); 3) meskipun berada di dalam satu sentra
pembinaan, namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada
masing-masing unit usaha tampak bervariasi, mulai dari yang
konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan temporer
saja, dan pada umumnya kembali ke perilaku yang samasekali tidak

Universitas Indonesia 11
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ramah lingkungan; 4) namun para tokoh masyarakat dan juga Pemda
setempat tetap optimis akan dapat mengantisipasi ketidak mulusan
implementasi EM tersebut. Itulah sebabnya judul komersial yang
sedang digarap melanjutkan disertasi ini adala Optimisme
Implementasi Ecological Modernization pada Industri Kecil
Pengolahan Tempe Tahu, Percontohan di PIK KOPTI Jakarta Barat.

1.2. Perumusan Masalah:

2.1.Salah satu asumsi dasar Ecological Mopdernization adalah bahwa


masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan industri dapat
diatasi melalui penerapan teknologi produksi ramah lingkungan.
Karena teknologi produksi ramah lingkungan itu mahal maka
penerapanannya diperlukan kebersamaan sebagai satu komunitas dan
partisipasi dari seluruh anggotanya. Pertanyaannya:
2.1.1. Bagaimana usaha industri kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI
Semanan sebagai satu komunitas merespon kewajiban untuk
memenuhi standard teknologi produksi ramah lingkungan?
2.1.2. Bagaimana respon tersebut apabila dilihat pada partisipasi
masing-masing individu warga PIK KOPTI Semanan?
2.2.Salah satu asumsi dasar Ecological Mopdernization adalah bahwa
kemampuan komunitas dalam penerapan teknologi produksi ramah
lingkungan perlu didukung, dibina dan difasilitasi oleh pemerintah
baik secara langsung maupun melalui kerjasama dan bantuan
kelembagaan lainnya.
2.2.1. Bagaimana dukungan, pembinaan dan fasilitas yang telah
diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan kemapuan
komunitas industri kecil tempa tahu di PIK KOPTI Semanan
dalam melaksanakan teknik produksi ramah lingkungan?
22.1. Bagaimana peran serta lembaga-lembaga selain pemerintah
dalam pendukung Ecological Modernization di lingkungan PIK
KOPTI Semanan?

Universitas Indonesia 12
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
2.3. Ecological Modernization adalah satu proses, yang tidak dapat
dilepaskan dari reaksi negatif dan bahkan konflik terutama pada tahap-
tahap awal dimana penerapan Ecological Modernization tersebut
belum sempurna. Konflik dapat terjadi secara internal di antara
anggota komunitas itu sendiri atau konflik dengan komunitas eksternal.
Pertanyaannya:
2.3.1. Dalam hal apa atau dalam proses Ecological Modernization
tahap mana konflik itu terjadi di lingkungan PIK KOPTI
Semanan?
2.3.2. Bagaimana konflik itu diselesaikan?
2.4.Ecological Modernization menjamin kesejahteraan pelaku usaha
sehingga menimbulkan optimisme untuk semakin meningkatkan dan
menyempurnakan penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Pertanyaannya:
2.4.1. Bagaimana kondisi kesejahteraan para pelaku usaha
industri kecil tempe tahu di PIK KOPTI Semanan?
2.4.2. Bagaimana harapan dan optimisme warga dan komunitas
setempat dalam penerapan teknologi produksi ramah
lingkungan?

1.3. Tujuan disertasi.

3.1. Tujuan disertasi yang pertama adalah mendeskripsikan intensitas praktik


ramah lingkungan usaha industri kecil tempe tahu di lingkungan PIK
PRIMKOPTI Semanan
3.2. Tujuan disertasi yang kedua adalah mendeskripsikan respon usaha
industri kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI Semanan baik sebagai
komunitas maupun sebagai individu-individu terhadap kewajiban untuk
memenuhi standard produksi ramah lingkungan.
3.3. Tujuan yang keempat adalah mendiskusikan usaha-usaha komunitas
industri kecil Tempe Tahu dai PIK KOPTI Semanan dalam mewujudkan
produksi ramah lingkungan dengan mempergunakan kerangka teoretik
sosiologi lingkungan, khususnya perspektif Ecological Modernization.

Universitas Indonesia 13
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
1.4. Manfaat Disertasi:
4.1. Manfaat akademis:
Sosiologi Lingkungan mulai berkembang pada era 60-70-an dan
kemudian merosot kembali pada era 80-an, lalu bangkit kembali pada
tahun 90-an. Beberapa kritik utama terhadap Sosiologi Lingkungan ini
adalah kritik mengenai substansi teoretiknya. Studi Sosiologi
Lingkungan pada umumnya adalah berorientasi empirik, insular dan a-
teoretik dari segi sosiologi, terlalu bergantung pada konsep-konsep, teori
dan paradigma Ekologi. Namun demikian penulis sependapat dengan
Fulkerson (2000) dan Dunlap (Frey 2001:43-62, Dunlap 2002), yang
justru menganggap sebagai satu kemajuan jika sosiologi mulai
mempertimbangkan pentingnya dimensi ekologis dan aspek lingkungan
pada permasalahan sosial. Disamping itu, Sosiologi juga dapat
memberikan kontribusi positif dalam perdebatan mengenai lingkungan
khususnya melalui penerapan perspektif dan teori sosiologi terhadap
persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan.
Yang terakhir itulah yang dicoba dilakukan melalui studi ini, yaitu
mengkaji fenomena tingkat ramah lingkungan pada satu kesatuan sosial
tertentu, dengan mepergunakan perspektif sosiologi. Dengan demikian
proses dan hasil studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian dan
perspektif sosiologi dengan tema lingkungan, dan dapat menjadi satu
sumbangan bagi perintisan pelembagaan Environmental Sociology di
Universitas Indonesia.

4.2. Manfaat praktis:

Diakui bahwa pembinaan usaha kecil ramah lingkungan di DKI


Jakarta dan juga di Indonesia, adalah belum maksimal. Karena itu hasil
studi ini diharapkan dapat menjadi satu alternative opinion bagi proses
perumusan dan revisi kebijakan pembinaan usaha kecil ramah
lingkungan di DKI Jakarta, melalui pendekatan sosiologis khususnya
dengan kemungkinan memanfaatkan perspektif Ecological
Modernization dalam pembangunan ingkungan.

Universitas Indonesia 14
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
1.5. Batasan Penelitian:

Disertasi ini adalah disertasi studi sosiologi bukan disertasi studi ilmu
ekonomi dan bukan disertasi studi ilmu lingkungan. Dengan demikian
landasan filosofi, paradigma, teori, konsep dan variabel dan juga empirinya
adalah sosiologi, yang dalam hal ini adalah sosiologi lingkungan, khususnya
dari perspektif Ecological Modernization. Sebagaimana diketahui, teori atau
perspektif Ecological Modernization pada dasarnya lebih bersifat sebagai
ideologi atau politik ekologi yang bermuara dari perspektif Parsonian
Struktural Fungsional dari paradigma order. Konsisten dengan hal tersebut,
disertasi yang antara lain bermaksud membahas implementasi perspektif
Ecological Modernization ini berusaha untuk tetap berada di dalam rambu-
rambu perspektif Parsonian atau paradigma order. Namun demikian dalam
pembahasan data, penulis sering tergoda untuk menoleh untuk menggunakan
perspektif lain bahkan yang bertentangan perspektif Ecological
Modernization; walaupun akhirnya harus tetap kembali pada perspektif awal:
Ecological Modernization – Sistem – Struktural Fungsional – Parsonian –
Order.

1.6. ”Ideas” sebagai ”Model Operasional” Penelitian:


Dari berbagai hasil penelitian-penelitian Ecological Modernization
pada usaha kecil terutama yang berkembang di negara-negara maju (Judith
Petts, Andrew Herd and Mary O’heocha 1998; Fiona 1999; Michael T. Rock
dan Jean Aden 1999; Martin Lindell dan Necmi Karagozoglu 2001; Schaper
2002; Clare D’Souza dan Roman Preretiatko 2002; David Hitchens, Jens
Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, dan Samarthia Thankappan 2003;
Revell 2003; Ramjeawon 2004; Mark Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W.
Krunwiede dan Chwen Sheu 2004; Andreas Diekman dan Peter Preisendörfer
2003; Robert Emet Jones dan Riley E. Dunlap 1992/2001), dapat diperoleh
satu generalisasi bahwa fenomena usaha kecil dalam memenuhi standard
ramah lingkungan adalah dilatar-belakangi banyak faktor, baik yang bersifat
resistance forces mapun yang bersifat driving forces baik pada tingkatan

Universitas Indonesia 15
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik pada
lingkup lokal maupun global.
Kemudian berdasarkan masukan-masukan empiris yang penulis
peroleh pada saat field orientation di lokasi penelitian, penulis mencoba
merumuskan ideas atau tepatnya sebagai kerangka pemikiran, bahwa
intensitas atau tingkat kemampuan usaha kecil dalam memenuhi standard
ramah lingkungan, dilatarbelakangi oleh banyak faktor dilematis, baik yang
bersifat resistance forces maupun yang bersifat driving forces baik pada
tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik
pada lingkup lokal maupun global. Proposisi yang dapat dirumuskan
berdasarkan ideas tersebut adalah bahwa Intensitas praktik ramah lingkungan
pada kegiatan industri pengolahan makanan berkemungkinan dapat
dihubungkan dengan karakteristik pemilik usaha maupun dengan
karakteristik usaha itu sendiri. Kemudian dalam kemungkinan hubungan
antara karakteristik usaha maupun karakteristik pemilik usaha dengan
intensitas praktik ramah lingkungan pada kegiatan industri pengolahan
makanan tersebut, mekanisme sosialisasi dan kontrol yang dilakukan oleh
komunitas setempat termasuk Pemda setempat, konsumen, pemasar dan
saingan setempat berkemungkinan dapat ikut berperan.

Nilai dan Norma Lingkungan setempat MODEL


Partisipasi dalam
Persepsi Komunitas setempat KONTROL
Sosialisasi dan
Persepsi Pemerintah /Pemda setempat, DAN
Pemberdayaan
Persepsi Grosir PEMBINAAN
Persepsi Pengecer
Persepsi Konsumen
Persepsi Saingan

KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
Produk, Bahan Baku dan Energi
INTENSITAS
Permodalan, Aset, Kondisi SDM,
PRAKTIK
Jaringan Kerjasama, Perusahaan Induk
Ramah Lingkungan
KARAKTERISTIK PEMILIK: Industri Kecil
Aspek Sosial Ekonomi, Pengetahuan. Tempe Tahu
Motivasi Usaha, Persepsi dan Sikap

Diagram 1.2. I d e a s

Universitas Indonesia 16
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Ideas atau kerangka pemikiran tersebut penulis tuangkan dalam
beberapa sub ideas atau sub fokus sebagai berikut:
1) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan karakteristik
sosial ekonomi pemilik usaha.
2) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan karakteristik
usaha.
3) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan partisipasi
dalam pembinaan dan sosialisasi ramah lingkungan.
4) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap
konsumen.
5) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap
distributor/pengecer.
6) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap warga
sekitar.
7) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan nilai-nilai yang
dianut oleh warga setempat.
8) Respon pemilik usaha terhadap tindakan-tindakan intervensi untuk ramah
lingkungan adalah berkemungkinan memiliki hubungan dengan cara yang
dilakukan dalam tindakan intervensi tersebut.
9) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat akomodatif terhadap
intervensi yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas.
10) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap intervensi
yang bersifat oposisi atau protes.

Universitas Indonesia 17
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Subyek mengenai Lingkungan dalam Pemikiran Sosiologi

Gagasan mengenai konstanta antara kebudayaan, biologi dan lingkungan


sebagaimana diistilahkan oleh Saifuddin (2005) mungkin memang sudah lazim
dan bahkan sering dirumuskan secara eksplisit di dalam Antropologi Ekologi.
Untuk memahami hubungan lingkungan dengan kebudayaan, keduanya bukanlah
lapangan yang terpisahkan melainkan terlibat dalam hubungan dialektis, atau apa
yang disebut umpan balik atau kausalitas resiprositas (Hardesty, 1977). Meski
demikian tentu saja harus disadari, pengaruh relatif dari hubungan lingkungan dan
budaya tidaklah selalu sama. Adakalanya kebudayaan memainkan peran yang
lebih besar dan sebaliknya bisa saja aspek lingkungan yang lebih dominan
terhadap budaya.
Berkaiatan dengan hubungan saling mempengaruhi antara lingkungan
dengan kebudayaan, Clifford Geertz tampaknya berpendirian bahwa lingkungan
bukanlah segala-galanya. Walaupun demikian, melalui studinya mengenai
involusi pertanian dan perubahan ekokologi di Indonesia, Geertz menunjukkan
bahwa dengan ekosistem yang berbeda ternyata menghasilkan tipe dan bentuk-
bentuk kebudayaan yang berbeda pula (Geertz, 1976).
Kajian mengenai lingkungan pada dasarnya embeded dalam penjelasan
sosiologi sejak jaman sosiologi klasik, walaupun tidak sepopuler pembahasan di
antropologi. Pentingnya faktor lingkungan alam untuk pembahasan sosiologi,
khususnya sosiologi perekonomian, dikemukakan oleh Arthur L. Stinchcombe
(1982:27-82). Dengan maksud memperkaya dan memadukan pemikiran sosiologi
perekonomian menurut tradisi Neo-Marxist, Sinchcombe melakukan telaah
terhadap penelitian Dyson-Hudson mengenai ekologi peternakan pada masyarakat
primitif Karimojong Uganda, dan kemudian membandingkannya dengan ekologi
pertanian pada masyarakat Perancis abad 18 dan membandingkannya juga dengan
masyarakat ekonomi industri modern di Amerika Serikat. Salah satu
kesimpulannya adalah bahwa setiap mode produksi adalah sebuah transaksi
dengan alam. Prinsip ekologi berlaku untuk setiap kegiatan ekonomi, yaitu: 1)

Universitas Indonesia 18
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
struktur ekonomi dan organisasi sosial perkonomian bervariasi sesuai dengan
kondisi alam setempat, 2) batas-batas alami dapat ditanggulangi melalui kemajuan
teknologi (transportasi). 3) kegiatan ekonomi di satu tempat akan menjadi input
vital bagi kegiatan ekonomi di sekitarnya sebagai ekonomi eksternal dan
merupakan jaringan interdependensi (Stinchcombe 1982: 78-81).
John Bellamy Foster (1999, 2002) pada saat menanggapi perdebatan
mengenai kaitan antara krisis ekologi dan krisis ekonomi pada masyarakat
kapitalistik, menganjurkan agar kita kembali kepada Marx dalam tanggapannya
kepada Malthus dan Ricardo mengenai kapitalisme pertanian, khususnya
mengenai dampak kapitalisasi pertanian terhadap kemerosotan kesuburan tanah
sekaligus kemerosotan kesejahteraan pekerja. Meskipun tidak secara eksplisit,
sesungguhnya sosiologi Marx tidak meremehkan adanya gejala eksploitasi sumber
alam oleh kegiatan ekonomi kapitalistis, peranan alam bagi kesejahteraan,
keterbatasan kemampuan sumber daya alam, sifat alam yang dapat berubah, dan
peranan teknologi bagi kemerosotan lingkungan.
Sementara itu Ross Mitchel (2001) menunjukkan bahwa pemikiran
Thorstein Bunde Veblen khususnya mengenai conspicuous consumption,
absentee ownership, natural resources exploitation, wasteful use of environmental
resources, emulative consumerism, environmental crises, juga sangat berguna
bagi penelitian-penelitian sosiologi lingkungan, mendampingi teori-teori klasik
yang sudah ada. Secara umum, ontology Veblen mengenai masyarakat adalah
materialistically grounded, class devided dan evolusioner. Sebagaimana
dielaborasi dalam The Theory of the Leisure Class, Veblen (1899/1967)
mengidentifikasi adanya dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas pekerja yang
disebutnya sebagai industrious class dan kelas pengusaha yang disebutnya dengan
predatory class, yang termasuk di dalamnya adalah para pemilik perusahaan,
akuntan, pengacara, manajer dan politisi. Perilaku predator pada kalangan
pengusaha itu meluas sejak abad 19, ditandai dengan eksploitasi faktor manusia
dan bukan manusia dalam rangka efisiensi industri. Persaingan untuk memperoleh
monopoli pasar, keinginan untuk memperoleh dan meningkatkan status sosial
dengan menunjukkan perilaku conspicuous consumption di kalangan kelas

Universitas Indonesia 19
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
predator membuat eksploitasi sumber-sumber alam menjadi semakin besar-
besaran dan cenderung wasteful use.
Kajian mengenai economy and environment bahkan dalam skala makro
society and nature pada dasarnya bukan kajian baru dan asing bagi sosiologi
(Berger 1994, Konttinen ed 1996). Bahkan Doyle Paul Johnson (1981)
menganjurkan satu alternatif teori sosiologi masa depan adalah teori sistem
terbuka, yang sangat sangat dipengaruhi oleh Social Darwinism dan
Sociobiology, dimana faktor lingkungan diperhitungkan sebagai variabel penting
dalam penjelasan sosiologis. Hanya saja sebagai satu cabang tersendiri dari
sosiologi, kajian-kajian tersebut baru mulai berkembang pada sekitar decade 60-
70an yang kemudian dikategorikan oleh William R. Catton Jr. dan Riley E.
Dunlap sebagai New Ecological Paradigm (NEP) pada sosiologi yang
terjabarkan dalam teori environmental sociology atau sosiologi lingkungan
(Catton and Dunlap 1980/2001)
Adapun arus utama teori-teori sosiologi lingkungan yang sudah
berkembang sampai dewasa ini adalah Risk Society Theory dan Ecological
Modernization Theory pada level makro, dan Ecological Symbolic Theory dan
Resources Dependency Theory pada level mikro Picou (1999). Risk Society
Theory dan Ecological Symbolic Theory bernuansa teori konflik, sedangkan
Ecological Modernization Theory dan Resources Dependency Theory bernuansa
harmoni. Sedangkan Frederich H. Buttel (2004) mengelompokkan arus utama
Sosiologi Lingkungan meliputi lima tradisi, yaitu Treadmill of Production dan
other Eco-Marxism, Ecological Modernization and other Sociologies of
Environmental Reform, Cultural-Environmental Sociologies, Neo-Malthusianism,
dan New Ecological Paradigm. Sebagai teori sosiologi, teori-teori ini tidak
terpisah dari akar dan batang tubuh pemikiran maupun teori-teori sosiologi klasik,
terutama teori klasik John Stuart Mill, August Comte, Karl Marx, Thorstein
Veblen, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan George Simmel.
Treadmill of Production (ToP) dan Ecological Modernization (EM) adalah
dua teori dan ideologi popular yang secara spesifik membahas masalah dilemma
ekonomi dan lingkungan dalam rangka mencari solusi menuju sustainable
development. Treadmill of Production (ToP) mewakili perspektif konflik, dan

Universitas Indonesia 20
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
teori Ecological Modernization (EM) mewakili perspektif order. Asumsi dasar
ToP antara lain adalah bahwa bagaimanapun majunya, kegiatan ekonomi adalah
tetap bergerak ditempat namun makin cepat dan menghabiskan energi dan
merusak lingkungan dan baru akan berhenti setelah lingkungan rusak atau energi
habis. Persaingan antar usaha akan mempercepat kerusakan lingkungan.
Sedangkan asumsi dasar EM lebih optimis, antara lain bahwa pembangunan atau
ekonomi adalah membawa perubahan ke arah kemajuan, persaingan antar usaha
akan memacu semangat inovasi teknologi, efisiensi energi dan pembaharuan
sumberdaya. Pangkal tolak kedua teori tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu
mengenai hubungan antara sistem ekonomi kapitalis dengan environmental
degradation 1 . Bedanya adalah ToP beranggapan bahwa sistem ekonomi kapitalis
membuat terpuruknya lingkungan akibat tidak adanya environmental
consciousness, environmental awarensess, environmental attitude and behavior.
Sedangkan pendapat teori EM adalah sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dan
modernisasi yang penuh dengan semangat inovasi akan mampu memperbaiki
struktur dan sekaligus membimbing agent untuk memiliki environmental
consciousness, environmental awarensess, environmental attitude and behavior.

2.2. Pesimisme Treadmill of Production (ToP) Theory

Kenneth A Gould, David N. Pellow dan Allan Schnaiberg (2004) mencoba


memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul mengenai asal-
usul, struktur dan aplikasi teori ToP. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:
bagaimana struktur teoterik dari ToP, mengapa fokusnya lebih pada produksi
daripada konsumsi, apakah teorinya mengenai perubahan sosial dialektik atau
linier, bagaimana perkembangan teori ToP sehubungan dengan berkembangnya
globalisasi produksi sejak tahun 1980, apakah teori ToP dapat dievaluasi secara
empiris, kekuatan-kekuatan apakah yang membatasi difusi teori ToP pada
Sosiologi Lingkungan, apakah teori ToP masih/lebih bermanfaat untuk analisis
ekologi dan juga untuk analisis sosial sekarang ini.

1
Di dalam pustaka bisnis, konsep yang lebih dikenal untuk menunjukkan hubungan antara
kapitalisme dan lingkungan adalah conventional capitalism atau traditional capitalism yang
dituduh tidak ramah lingkungan dan natural capitalism yang ramah lingkungan. Lihat misalnya
Amory Lovins, Hunter Lovins and Paul Hawken (1999), Pierre Deschrocher (2002) dan Paul
Hawken, Amory Lovins and Hunter Lovins (2004).

Universitas Indonesia 21
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ToP adalah satu teori yang diperkenalkan oleh Schnaiberg (1980) untuk
menjawab pertanyaan mengenai mengapa kemerosotan lingkungan di Amerika
Serikat meningkat secara cepat sejak sesudah PD II. Dijelaskan bahwa tingkat
ketersediaan modal untuk investasi dan perubahan alokasi investasi tersebut,
secara bersama-sama menghasilkan peningkatan permintaan akan sumber daya
alam. Akumulasi modal terjadi sehubungan dengan hasil investasi teknologi yang
dengan sendirinya mengurangi tenaga kerja dan meningkatkan keuntungan dan
juga investasi untuk teknologi yang lebih baru. Teknologi yang membuat proses
produksi menjadi lebih cepat mengakibatkan permintaan yang lebih cepat pula
akan sumber daya alam. Investasi merusak ekosistem dan sekaligus mengubah
struktur ketenagakerjaan dan struktur sosial pada umumnya ke arah semakin
menguatnya kapasitas politik share holder kalangan investor dan manager) tetapi
semakin lemahnya stakeholder (para pekerja dan penduduk).
ToP menghadirkan gambaran tentang masyarakat yang lari di tempat tanpa
bergerak maju. Efisiensi sosial dalam sistem produksi merosot. Pemanfaatan
sumber daya alam yang meningkat, meningkatkan kerusakan ekosistem dan
polusi. Para investor, manager dan pekerja kalangan atas dapat menikmati
keuntungan dan menghindari polusi dengan tinggal di luar kota atau lingkungan
yang sehat. Semantara para pekerja rendahan dan penduduk kalangan bawah harus
berjuang di dalam kota yang berpolusi. Akan tetapi dengan pajak yang meningkat,
maka pemerintah dapat meningkatkan tunjangan kesejahteraan penduduk. Karena
itulah para politisi dan perserikatan-perserikan pekerja berpihak kepada investor
dan manager. Demikian juga lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi,
menerima dana penelitiannya dari penemuan-penemuan teknologi yang
dimanfaatkan oleh investor itu. Dukungan para pekerja pada umumnya didasari
oleh kesadaran bahwa bentuk investasi yang seperti itulah yang diperlukan, dan
memang dirasakan cukup menghasilkan ”kemajuan sosial”. Namun, sebagai
penerima tunjangan, para pekerja dan keluarganya sesungguhnya adalah tetap
warga kelas dua, sekaligus mengalami pengelompokan-penglompokan atau
segregasi sosial.
ToP memusatkan pembahasannya pada proses produksi. Argumennya
adalah bahwa proses produksi berhubungan langsung dengan sumber daya alam

Universitas Indonesia 22
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan ekosistem. Sedangkan kegiatan konsumsi tidak berhubungan langsung dengan
sumber daya alam dan ekosistem, tetapi lebih berhubungan langsung dengan hasil
dari proses produksi. Di samping itu meskipun konsumen memiliki preferensi
untuk memilih produk yang ramah lingkungan atau tidak, akan tetapi pada suatu
titik mereka tidak akan mempunyai pilihan lain kecuali harus mengkonsumsi satu
produk tertentu; artinya keputusan konsumsi ditentukan oleh produsen. Demikian
juga keputusan proses produksi berada pada produsen. Produser memiliki akses
pada permodalan, tenaga kerja, pertanggungjawaban, pemasaran, keuntungan,
bahkan merupakan driving force politik-ekonomi. Karena itu asumsi ToP untuk
memperbaiki kondisi sosial dan degradasi lingkungan antara lain adalah dengan
demokratisasi pemilikan dan kontrol terhadap proses produksi; bukan pada
pembatasan tingkat konsumsi. Pendekatan pada konsumsi juga tidak pernah
menghasilkan treadmill deceleration.
Mengenai model perubahan sosial sosial menurut ToP, adalah dialektik.
Misalnya, penggunaan teknologi akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas
tenaga kerja; namun efisiensi berarti mengurangi tenaga kerja, selanjutnya
menimbulkan masalah-masalah dan gerakan-gerakan sosial yang menghambat
proses ToP itu sendiri. Penggunaan teknologi juga akan mempercepat kerusakan
lingkungan yang pada akhirnya juga akan menghambat proses produksi.
Buttel menginformasikan bahwa karya Pellow, Gould, Schnaiberg dan
Weinberg, dan khususnya karya Schnaiberg mengenai The Environment (1980),
dan gagasannya mengenai ToP, telah menjadi tonggak yang paling berpengaruh
bagi sosiologi lingkungan Amerika Utara pada akhir tahun 70an hingga awal
80an. Akan tetapi seiring dengan merosotnya popularitas neo-Marxism yang
digeser oleh neo-liberalism pada awal abad 21 ini, maka ToP menjadi kurang
menonjol.
Erik Olin Wright (2004) mememberikan komentar terhadap tulisan-tulisan
Gould, Pellow dan Schnaiberg mengenai ToP, dengan beberapa kritik. Dikatakan
bahwa argumen ToP yang berfokus pada produksi dan kurang atau tidak
memperhatikan konsumsi, dan pada dasarnya belum menjawab pertanyaan
mengenai penyebab terjadinya degradasi lingkungan. Produksi pada dasarnya
dikendalikan oleh pemilik atau investor atau kapitalis - pihak yang mengontrol

Universitas Indonesia 23
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
keuntungan. Menurut Wright, kapitalisme bisa saja menjadi green capitalism,
akan tetapi logika kapitalisme pada dasarnya mesin yang merusak lingkungan.
Mengenai treadmill of production, Bell (2004:63-64) mengemukakan
pentingnya konsep treadmill of consumption. Secara dialogis, treadmill of
production saling berhubungan dengan treadmill of consumption. Dengan
demikian konsumsi pada dasarnya juga ikut ambil bagian dalam kemerosotan
lingkungan.
ToP pada dasarnya memang tidak mengabaikan aspek konsumsi. Walaupun
bukan merupakan variabel indipenden, akan tetapi konsumsi tetap merupakan
salah satu mata rangkai penting dalam ToP. Secara singkat rangkaian logikanya
begini: industri modern mengkonsumsi bahan baku lebih banyak dan semakin
menguras lingkungan; produk industri modern mendorong peningkatan pajak dan
kemakmuran yang memungkinkan pemerintah memberikan subsidi bagi
penduduk miskin maupun tenaga kerja yang tersingkir oleh kemajuan teknologi,
sehingga daya beli mereka tetap tinggi; tingginya daya beli dan berkembangnya
peluang-peluang kredit lunak dalam rangka pemasaran produk meningkatkan
konsumsi; tingginya tingkat konsumsi dan daya beli penduduk meningkatkan
modal produsen; meningkatnya modal produsen dan meningkatnya permintaan
meningkatkan percepatan dan volume produksi; meningkatnya kecepatan dan
volume produksi mempercepat pengurasan lingkungan dan mendorong
penggunaan bahan-bahan kimia yang merusak lingkungan (Lihat Schnaiberg,
Pellow dan Weinberg, 2000)
Ini berbeda dengan pendapat Etzioni (2004), yang mengatakan bahwa tidak
selamanya kekayaan atau kemakmuran akan menimbulkan peningkatan konsumsi
dan khususnya gaya hidup konsumerism. Etzioni menyebutkan kecenderungan
munculnya gerakan voluntary simplicity, dimana konsumsi diarahkan oleh gaya
hidup sederhana dan ramah lingkungan.

2.3. Optimisme Ecological Modernization Theory

Ecological Modernization (EM) telah menjadi perspektif terdepan dalam


environmental sociology. Bertolak dari karya Ulrich Beck dan Joseph Huber,
Gert Spaargaren (1999) bersama Arthur Mol membangun pendekatan

Universitas Indonesia 24
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Ecological Modernization. Teori ini cenderung optimis bahwa masalah degradasi
lingkungan akibat industrialisasi akan dapat diatasi, antara lain dengan apa yang
disebut dengan Corporate Environmental Responsibility (CER) melalui Model of
Resources and Risk Management. Sebagaimana diuraikan oleh John Barry
(2007:242-255) saat membahas tesis Beck mengenai risk society, karakteristik
risiko yang melekat pada industrial civilization dapat dibagi empat kategori yaitu:
(1) ecological risk berupa global warming, biodiversity loss, ozone depletion,
ecosystem destruction, dan sebagainya yang sangat depriving/destructing karena
peradaban industri selalu disertai oleh konsumsi energi massal skala besar (atau
skalanya membesar) seiring dengan perkembangan peradaban, serta menghasilkan
residual flows yang lambat atau cepat menggerus eksistensi planet ini - menuju
doomsday scenario atau skenario hari kiamat; (2) health risks berupa genetically
altered foodstuff, heart diseases, serta berbagai penyakit degeneratif lain yang
makin variatif diderita masyarakat seiring dengan "majunya' konsumsi bahan
pangan; (3) economic risk berupa unemployment dan decline in job security; dan
(4) social risks berupa memudarnya personal safety, meningkatnya kriminalitas,
memudarnya komunitas, meningkatnya perpisahan dan bahkan perceraian.
Ecological Modernization pada dasarnya adalah tanggapan terhadap
berbagai kritik terutama dari penganut ToP, dan jawaban atas pertanyaan
mengenai solusi yang diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan risiko yang
melekat pada kegiatan insdustrialisasi. Asumsi dasar teori Ecological
Modernization ini antara lain adalah: (1) Modernisasi ekologis akan mengkoreksi
the design flaws teknologi industri ke apa apa yang disebut dengan super
industrialization yang lebih pro environment. (2) Penerapan teknologi ramah
lingkungan dalam proses industrialisasi tersebut memerlukan regulasi yang ketat
dari pemerintah. (3) Modernisasi ekologi mengasumsikan adanya strategi
manajemen lingkungan yang baik, khususnya dengan anticipatory planning
practices yang berpegang pada precaution principle. (4) Modernisasi ekologis
mengasumsikan diberlakukannya organizational internalization of environmental
responsibility bagi semua lembaga publik maupun privat. (5) Untuk menghindari
antagonisme dan konflik pada kebijakan lingkungan, maka modernisasi ekologis
memerlukan satu jaringan dan kerjasama yang lebih luas untuk pengambilan

Universitas Indonesia 25
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
keputusan-keputusan transformatif maupun reformatif. Pendukung teori ini antara
lain Maurie J. Cohen (1998), Joseph Murphy dan Andrew Gouldson (1998),
David A. Sonnenfeld and Arthur PJ. Mol (2002), dan Joseph Huber (2001).
David A. Sonnenfeld (1999) melaporkan analisisnya mengenai pengaruh
gerakan-gerakan sosial terhadap transformasi industri pengolahan pulp dan kertas,
dengan mempergunakan teori EM. Hipotesis yang diuji adalah bahwa melalui
kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan-perusahaan manufaktur, gerakan-
gerakan sosial memainkan peran sentral di dalam transformasi masyarakat industri
untuk ramah lingkungan. Penulis melakukan field research tahun 1992-1996 di
Thailand, Malaysia, Indonesia, Australia dan Amerika Utara; korespondensi
dengan pejabat-pejabat perusahaan dan pemerintah, aktivis lingkungan dan lain-
lain dari berbagai tempat di dunia; dan juga memanfaatkan data yang tersedia.
Penulis mengunjungi 16 pabrik kertas dan pulp, 3 perusahaan pulpwood, dan 2
pusat penelitian industri pulp; melakukan 76 wawancara, menghadiri 7 seminar
teknis industri pulp dan mengikuti satu kursus pendek tentang industri pulp, studi
dokumen, studi literatur di 5 negara dan melakukan komunikasi data dan sumber-
sumber.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan-gerakan sosial memainkan
peran kuat dalam setiap moment of EM pada industri pengolah pulp dan kertas,
yaitu: dalam hal mendifinisikan masalah, dalam mendorong gerakan politik
lingkungan, dalam memperoleh respon positif dari pemerintah, mendorong
inovasi teknologi ramah lingkungan, dan adoposi teknologi ramah lingkungan.
Beberapa implikasi teoretik dari hasil penelitian Sonnenfeld adalah: (1) Adanya
validasi yang kuat pada hipotesis bahwa gerakan-gerakan sosial memainkan
peranan yang semakin penting dan langsung dalam mentransformasi ekologis
masyarakat. (2) Gerakan-gerakan sosial perlindungan lingkungan telah bergeser
dari oposisi terhadap kapitalisme, industrialisasi dan birokratisasi, ke gerakan
yang berorientasi pada reformasi institusional. (3) Teori EM menganjurkan bahwa
dalam rangka meningkatkan peran transformatif, gerakan-gerakan sosial
lingkungan seyogyanya berorientasi pada satu isu tunggal, bukan pada isu yang
meluas sebagimana awal gerakan. (4) Involvement gerakan sosial lingkungan
dalam tranformasi ekologis cenderung semakin efektif dilakukan secara “inside”

Universitas Indonesia 26
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pada setiap momen transformasi ekologis, termasuk kegiatan jangka panjang
sebagai konsultan dan reviewers. (5) Dalam rangka institusionalisasi kesadaran
lingkungan, gerakan-gerakan sosial lingkungan terbukti dapat melakukan
komunikasi, dan konsultasi langsung dengan agen-agen pemerintah, termasuk
dalam perencanaan jangka panjang dan redesign teknologi produksi. (6) Gerakan-
gerakan sosial lingkungan, pada perkembangannya harus bersaing dengan
organisasi-organisasi lingkungan yang disponsori pemerintah dan organisasi-
organisasi lain yang disponsori perusahaan. (7) Gerakan-gerakan sosial
lingkungan telah mengalami perkembangan dari bekerja dengan pemerintah ke
bekerja dengan pelaku-pelaku pasar.
David John Frank, Ann Hironaka dan Evan Schofer (2000) melakukan
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nation-state environmentalism Negara-
negara di dunia, dengan memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber
internasional dari berbagai tahun. Nation-state environemtnalism diukur dengan
jumlah taman nasional dan cagar alam yang dimiliki oleh masing-masing Negara,
jumlah LSM internasional yang bergerak dalam bidang lingkungan keanggotaan
Negara dalam organisasi-organisasi lingkungan internasional, penerapan
perundang-undangan lingkungan dan kegiatan kementerian lingkungan.
Indipenden variabelnya adalah institusionalisasi global perlindungan lingkungan
nasional yang dalam hal ini jumlah perwakilan yang duduk di UNEP,
keikutsertaan dalam konferensi lingkungan internasional dan perjanjian-perjanjian
lingkungan internasional; keterikatan dengan masyarakat dunia selain dalam hal
lingkungan; dan situs-situs reseptor yang dimiliki Negara yang dalam hal ini
adalah jumlah organisasi domestik dalam bidang ekologi dan dalam bidang ilmu
alam. Untuk variabel kontrol, peneliti menempatkan antara lain faktor penduduk
dan produksi besi dan baja. Dengan mempergunakan alat analisis Ordinary Least
Square (OLS) regression para peneliti menghasilkan kesimpulan penelitian bahwa
meskipun sudah dikontrol dengan variabel populasi dan produksi besi dan baja,
institusionalisasi secara global atas program-program perlindungan lingkungan
nasional tetap saja behubungan dengan nation-state environmentalism; demikian
juga kedekatan atau keterikatan dengan masyarakat internasional serta dukungan

Universitas Indonesia 27
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
para ilmuwan dan organisasi lingkungan domestik merupakan determinan yang
signifikan bagi nation-state environmentalism tersebut.
Hasil penelitian Frank dan kawan-kawan tersebut memperoleh tanggapan
positif sekaligus kritik dari Frederick H. Buttel (2000). Dari segi metodologi,
Buttel mempertanyakan kejelasan ukuran nation-state environmentalism yang
kurang mengukur aspek outcomes dari program-program perlindungan
lingkungan. Di samping itu tingkat partisipasi nation-state pada kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi lingkungan semestinnya dikontrol faktor resources yang
dimiliki. Dari segi referensi, Buttel juga meragukan beberapa hal, misalnya tidak
jelasnya referensi untuk disertakannya variabel produksi besi dan baja sebagai
variabel kontrol. Dari segi teori, Buttel menilai penelitian Frank tersebut
cenderung conflict-free dan tidak sedikitpun menyebut gejala coercion atau
contestation. Dari segi value, tampaknya Frank dan kawan-kawan berorientasi
pada culture of Western rationality tanpa memperhatikan kontradiksi yang
melekat di dalamnya seperti akumulasi modal >< ketimpangan, dan birokrasi ><
demokrasi. Hasil penelitian Frank dan kawan-kawan tersebut jelas bersifat
persuasif ke arah penerapan strategi top down dari pada bottom up dalam
kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan.
Richard York, Eugene a. Rossa, dan Thomas Dietz (2003) mencoba
melakukan validasi terhadap teori-teori environmental impact dari dari perspektif
ecological modernization, human ecology, dan political economy, dengan
mempergunakan metoda ecological footprints yang mengukur area produktif dari
agregat: luas lahan perkebunan, luas lahan penggembalaan, luas hutan, luas
lahan terbangun, dan luas lahan penyerap limbah carbon dioksida. Variabel
indipenden meliputi populasi, non-dependen populasi, luas lahan percapita, letak
geografis dan iklim, GDP percapita, derajat kapitalisme, persentasi penduduk
perkotaan, posisi internasional, hak-hak politik warga, kemerdekaan warga, dan
tingkat state-environmentalism. Data sebagian besar bersumber dari Freedom
House dan WRI antara tahun 1997 – 2000. Analisis data mempergunakan
Ordinary Least Squares Regression, menghasilkan kesimpulan yang seluruhnya
bertentangan dengan perspektif ecological modernization, seluruhnya mendukung
perspektif human ecology, dan sebagian mendukung perspektif political

Universitas Indonesia 28
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
economy. Kondisi-kondisi material seperti populasi, produksi ekonomi, urbanisasi
dan faktor-faktor geografis semuanya mempengaruhi lingkungan dan menjelaskan
sebagian besar dari variasi environmental impact antar negara. Faktor-faktor dari
perspektif neo-liberal yang dalam hal ini adalah perspektif ecological
modernization, seperti kemerdekaan warga dan tingkat state environmentalism,
tidak memiliki efek terhadap impak. Pada akhirnya para peneliti cenderung
pesimis bahwa pembangungan berkelanjutan akan tercapai melalui pendekatatan
pertumbuhan ekonomi dan perubahan institusional.
Satu pokok persoalan dalam perdebatan antara penganut reori Treadmill of
Production (ToP) dengan penganut teori Ecological Modernization (EM) berpusat
pada dampak modernisasi terhadap sustainabilitas lingkungan. Dalam artikelnya,
Richard York (2004) menunjukkan bahwa para pendukung teori modernisasi
ekologis sering melakukan pengamatan terhadap kecenderungan sustainabilitas
lingkungan hanya dalam kasus-kasus spesifik dan non-representative, kurang
melihat kecenderungan umum. Keberadaan kasus-kasus spesifik (termasuk
nations dan organisasi) yang memperbaiki kinerja lingkungan sebagai bagian dari
proses modernisasi, mungkin bukan merupakan kecenderungan umum menuju
sustainabilitas sehubungan dengan modernisasi, setetapi lebih berhubungan
dengan kecenderungan meningkatnya variabilitas kinerja lingkungan pada
lembaga-lembaga pada modernitas baru-baru ini. Kinerja lingkungan dari
lembaga-lembaga bisa saja menjadi lebih buruk, sebagaimana dugaan para
pendukung ToP, tetapi variabilitas kelembagaan meningkat yang membuat kasus-
kasus ekstrem muncul dalam rangka modernisasi berwawasan ekologis.
Pertanyaan yang diperdebatkan adalah. apakah reformasi lingkungan yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga kunci pada masyarakat kapitalis modern itu
sungguh-sungguh terjadi? Para pendukung ToP (Gould, Schnaiberg, & Weinberg,
1996; Schnaiberg 1980, Schnaiberg & Gould 1994) berpendapat bahwa yang ada
adalah tetap enduring conflict antara pembangunan ekonomi modern dengan
environmental sustainability. Sebaliknya, pendukung teori EM berargumen
bahwa yang disebut memelihara konflik itu tidak benar; kenyataannya
pembangunan ekonomi dan modernisasi adalah progresif dan dapat membantu

Universitas Indonesia 29
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
penataan lingkungan (Mol 1995, 2001; Mol & Sonnenfeld 2000, Mol &
Spaargaren 2000; Spaargaren & Mol 1992).
Pendukung ToP berargumen bahwa kapitalisme memperburuk
permasalahan lingkungan dengan meluasnya konsumsi sumber daya dan limbah
emisi, yang secara menyeluruh merupakan kecenderungan umum dari kegiatan
ekonomi; bukan kegiatan sub unit ekonomi tertentu saja. Logika teori ToP ini
bukan berarti menyangkal adanya variasi dampak lingkungan pada kegiatan
ekonomi kapitalis atau sub unit kegiatan ekonomi. Beberapa di antara kegiatan
ekonomi itu mungkin lebih ramah lingkungan dari pada yang lain. Namun sebaik
apapun kegiatan ekonomi kapitalis, masih saja merupakan jalan yang panjang
menuju sustainabilitas lingkungan. Karena itu untuk menghindari kemerosotan
lingkungan, yang diperlukan adalah perubahan radikal pada politik ekonomi.
Penganut teori ToP pada umumnya menyarankan de-industrilization sebagai
solusi. Ini berbeda dengan padangan EM yang berharap bahwa modernisasi dapat
mengatasi permasalahan lingkungan tanpa harus melakukan perubahan mendasar
pada lembaga-lembaga modernitas, bahkan harus meningkatkannnya ke arah
supra-industrialization (Schnaiberg, Pellow & Weinberg 2000:16).
Demikianlah pada dasarnya sumber filosofis persepektif Ecological
Modernization adalah pendekatan sistem – struktural fungsional – Parsonian –
Order. Melalui karyanya The Structure of Social Action (1937), Parsons
mendiskusikan batas-batas yang dihadapi oleh masyarakat kapitalis dalam rangka
menciptakan kondisi sosial yang diperlukan untuk menjamin stabilitas sosial. Bagi
Parsons, the nation-state adalah bentuk terbaik dari organisasi sosial yang
menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan sosial, politik dan ekonomi terpenuhi
melalui kapitalisme. Namun demikian Parsons tetap waspada terhadap tekanan
yang berasal dari liberalisme ekstrem dan karena itu Parsons menempatkan
masyarakat sebagai satu sistem yang memiliki satu kesatuan nilai. Di dalam satu
masyarakat tanpa stabilitas, perilaku individu khususnya di lingkungan
marketplace akan gagal menjadi kekuatan korektif yang diperlukan bagi
terjadinya keteraturan sosial. Bagi Parsons, stabilitas dan keteraturan sosial dapat
dicapai melalui penyehatan institusi-instsitusi sosial yang kurang berfungsi,
termasuk juga pasar, dengan lebih menekankan konsensus daripada difersitas

Universitas Indonesia 30
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
opini. Pendekatan Parsonian dalam mengelola masyarakat adalah dengan
mengontrol seluruh sistem berikut sub-sistemnya. Pendekatan sistem ini juga
menekankan superioritas institusi-institusi terhadap individu.
Ecological Modernization dan kerangka teori struktural fungsional
Parsonian itulah yang menyemangati penelitian dan penulisan disertasi ini.
Artinya melalui Ecological Modernization dengan kerangka teori struktural
fungsional Parsonian itulah permasalahan teoretik dan praktis UMKM khususnya
Industri Kecil Tempe Tahun di PIK KOPTI Semanan dicoba untuk dijawab,
dengan asumsi: (1) Modernisasi ekologi yang menyangkut penerapan teknologi
ramah lingkungan untuk bidang air limbah akan mengatasi bau busuk air limbah
tersebut. (2) Penerapan teknologi sistem produksi dan pengolahan limbah
mengharuskan intervensi institusional yang mendukung dan dijamin oleh struktur
internal dan eksternal yang saling terkait. (3) Penerapan teknologi sistem produksi
dan pengelolaan limbah mengurangi risiko sosial, ekonomi dan mungkin politik
yang kalau tidak diatasi dapat mengancam sustainability. (4) Melalui teknologi
produksi modern dan teknologi pengelolaan limbah, UMKM sebagai institusi
ekonomi dapat menjawab sebagian masalah-masalah utama. (5) Untuk
memperluas jangkauan pemecahan masalah, modernisasi ekologis memerlukan
peningkatan kapasitas organisasi dan manajemen internal, fasilitas dan kerjasama
eksternal.

2.4. Konstruksi Sosial Risiko dan Relevansi Teori EM bagi UMKM

Baik teori EM maupun ToP, pada dasarnya berangkat dari permasalahan


yang sama, yaitu permasalahan risiko lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan
industri. Namun keduanya tidak menjelaskan bagaimana mendefinisikan risiko
itu; entitasnya seperti apa dan bagaimana keberlakuannya untuk masing-masing
strata yang ada di dalam masyarakat.
Dalam kaitan ini, khususnya dengan Ecological Modernization, Giddens
(2000:61-73) berargumen bahwa setiap keputusan untuk penerapan sains dan
teknologi yang mendukung modernisasi ekologis tidak dapat dilepaskan dari
proses-proses politik. Yang dimaksud oleh Giddens dengan sains dan teknologi
tentunya termasuk risiko yang terkandung di dalamnya, yang entitasnya

Universitas Indonesia 31
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dirumuskan juga melalui proses-proses politik. Sosiologi Giddens pada dasarnya
memang menolak paradigma konflik dan sekaligus menolak paradigma order.
Sebagaimana diringkas oleh Turner (1998:491-502), Dasar pemikiran
Giddens adalah bahwa didalam sosiologi tidak pernah ada dalil-dalil yang bersifat
universal atau tidak terikat oleh waktu sebagaimana pada ilmu alam dan biologi.
Hal ini karena manusia pada dasarnya memiliki kapasitas untuk keagenan,
sehingga dapat melakukan perubahan terhadap organisasi sosial, dan karenanya
dapat menolak dalil-dalil yang sebelumnya dianggap universal. Salah satu
argumen Giddens adalah bahwa proses sosial dapat dikerjakan oleh lay persons
yaitu orang-orang awam yang tidak perlu merupakan agen resmi atau profesional
untuk perubahan, namun memiliki kapasitas yang dapat memodifikasi proses-
proses sosial tersebut. Bekal yang dimiliki oleh para lay persons tersebut adalah
struktur yang sudah ada. Akan tetapi yang dimaksud dengan struktur menurut
konseptualisasi Giddens adalah aturan-aturan dan sumber-sumber yang
dimanfaatkan oleh para aktor dalam konteks interaksi. Meskipun Giddens tidak
mengatakannya secara eksplisit, namun kandungan karakteristik uncertain pada
proses sosial dalam sosiologi Giddens adalah sangat terasa,
Penjelasan Giddens mengenai peran aktivis dalam lingkup mikro
tampaknya melengkapi penjelasan Etzioni (1967:173-187) mengenai peran the
active actor dalam ikut memobilisasi proses sosial. Dalam kerangka sosiologi
makro, Etzioni menyebutkan pentingnya peran kaum profesional berpendidikan
tinggi dalam ikut memberikan arahan pada perubahan sosial. Wacana mengenai
arahan tersebut, termasuk arahan mengenai bagaimana memahami dan mengatasi
risiko bagi lingkungan, jelas bersifat relatif, atau dengan kata lain uncertain.
Paralel dengan argumen Giddens adalah tulisan Ulrich Beck (1992)
mengenai risk society theory yang mengidentifikasi adanya pergeseran perhatian
dari logika distribusi kemakmuran ke perhatian mengenai logika distribusi risiko.
Wacana mengenai risiko menjelaskan bahwa konflik dan ketimpangan akan
muncul akibat distribusi risiko teknologi yang berasal dari negara industri maju.
Konflik terjadi bukan lagi berdasarkan perjuangan kelas untuk memperoleh harta
dan sumber-sumber. Konflik berubah menjadi non-class-based dan bertujuan
untuk mengatasi polusi dan buruknya lingkungan sebagai risiko modernisasi.

Universitas Indonesia 32
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Akan tetapi untuk menilai entitas risiko itu diperlukan pengetahuan dan keahlian
tersendiri. Karena itu pengetahuan kita tentang risiko pada dasarnya adalah second
hand, non-experience”. Mengutip Dietz et al, Hannigan (1995:95-96)
menunjukkan bahwa pemahaman, persepsi dan keputusan-keputusan yang harus
diambil sehubungan dengan risiko itu adalah sesuai konteks sosial. Jadi pada
dasarnya risiko itu adalah hasil konstruksi sosial yang berbeda antara populasi
yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya risiko diinterpretasikan sebagai
satu strategi untuk mentransformasi ketidakpastian menjadi satu entitas yang
dapat dikelola untuk menghadapi masa depan yang juga tidak pasti (Zinn, 2004).
Bagaimana praksis dari konstruksi sosial mengenai risiko itu, Giddens
(1994) menunjukkan adanya kecenderungan proses dialogic democracy; dialog
yang bukan top-down approach, tetapi yang menghubungkan unsur top dan unsur
bottom untuk bersama-sama melakukan perubahan sosial. Pendekatan
konstruktivistik khususnya dalam praksisnya pada dilogic democracy tersebut
jelas lebih pro EM daripada ToP.
Bagi UMKM, argumen ToP tentu menakutkan. Pemerintah yang orientasi
kebijakannya pada ToP, tentu akan menghentikan UMKM yang pada umumnya
memang tidak memenuhi standard ramah lingkungan. Hal ini amat sangat sulit
untuk dilaksanakan di Indonesia, dimana masyarakat sudah telanjur hidup dengan
UMKM yang tidak berstandard ramah lingkungan. Sedangkan argumen EM yang
lebih luwes, demokratis, dialogis, jelas lebih banyak memberi harapan kepada
kehidupan UMKM.

2.5 Penegakan Hukum Lingkungan Bagi Industri Kecil dalam Perspektif


Struktural Fungsional.
Dalam karyanya mengenai A Sociological Perspective on Environmental
Law, Dalberg-Larsen (1999/2002) mencoba membahas fungsi hukum sebagai
instrumen untuk mengatasi masalah lingkungan. Dalam karyanya itu Dalberg-
Larsen mengulas antara lain teori Niklas Luhmann mengenai the closed social
systems.
Dalam pandangan Luhmann, masyarakat merupakan satu sistem yang
terdiri dari sub-sub sistem sosial indipenden. Untuk mempertahankan

Universitas Indonesia 33
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
eksistensinya, masing-masing sub sistem tersebut memiliki proses internal sendiri
dan mengembangkan kode-kode dan pola komunikasinya sendiri yang khas, atau
yang dikenal dengan konsep autopoietic systems theory. Di samping itu
eksistensi dari masing-masing sub sistem tersebut dapat dipertahankan sepanjang
sub sistem tersebut well-difined dan memiliki kontribusi tunggal dan spesifik bagi
dunia sekitarnya yang berisi sistem-sistem yang lain. Kontribusi hukum adalah
untuk mengunci atau mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diharapkan dari
hubungan atau fungsi masing-masing sub sistem terhadap dunia sekitarnya.
Dengan demikian law as a social system (Niklas Luhmann 2007:177-195)
yang di dalamnya termasuk hukum lingkungan akan sulit ditegakkan apabila tidak
well-defined dan tidak memiliki kontribusi spesifik bagi sistem-sistem yang lain
misalnya sistem perekonomian.
Premis-premis Niklas Luhmann tersebut di atas, jika diterapkan untuk
membahas penegakan hukum lingkungan maka hipotesis yang spesifik atau yang
berlaku khusus bagi industri kecil adalah bahwa kesadaran pada hukum
lingkungan di kalangan industri kecil jelas berhubungan dengan tegas atau
tidaknya hukum lingkungan yang berlaku untuk industri kecil itu. Lemahnya
kesadaran untuk menaati hukum linkungan berkemungkinan karena lemahnya
atau kaburnya sistem hukum lingkungan itu sendiri, atau meminjam istilah
Durkheim: terdapat anomie pada sistem hukum lingkungan.
Dalberg-Larsen (1999/2002), juga menampilkan pemikiran pluralis
postmodernis Portugis Boaventura de Sousa Santos dalam teorinya mengenai
Heterogeneous State and Legal Pluralism (2006). Sebagai seorang pluralis,
Santos berpendapat bahwa hukum harus diselidiki dan ditemukan di berbagai
tempat; dan hukum negara haruslah dipandang sebagai hukum yang bersifat
pluralistik, yang tidak memiliki kekuatan regulator menyeluruh seperti yang
diasumsikan. Hukum atau regulasi, termasuk hukum atau regulasi mengenai
lingkungan, perlu dibuat di berbagai level yang berbeda. Eksistensi hukum,
termasuk hukum lingkungan, akan diakui jika hukum tersebut mengakomodasi
berbagai sudut pandang yang berbeda dan berbagai level yang berbeda yang
saling menghargai dengan berpegang pada prinsip none of which is more correct
than the others. Singkatnya, pendekatan pluralis terhadap penegakan hukum

Universitas Indonesia 34
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
adalah situasional; sulit memahami situasi sulit pula menegakkan hukum; gagal
memahami situasi gagal pula menegakkan hukum.
Jika premis pluralis tersebut diterapkan pada penegakan hukum lingkungan
pada industri kecil, maka konklusinya adalah bahwa: sulitnya menegakkan hukum
lingkungan di dunia industri kecil adalah karena adanya pemahaman yang kurang
mengakomodasi pandangan ataupun level kompleksitas situasi dunia industri
kecil tersebut.
Lepas dari penerapannya pada industri besar atau kecil, hukum lingkungan
atau hukum apa saja, efektivitas penegakan hukum dalam masyarakat dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan
hukum itu adalah: 1) faktor kaidah hukum/pertauran itu sendiri, 2) faktor
petugas/penegak hukum, 3) faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh
penegak hukum, 4) faktor kesadaran masyarakat (Zainuddin Ali, 2008 : 62-70).
Menurut Satjipto Rahardjo (2009: 23-27) penegakan hukum itu prosesnya
sudah simulai pada saat hukum dan peraturan perundangan itu dibuat di lembaga
legislatif. Sedangkan pelaksanaan dari penegakan hukum itu dilakukan oleh
pejabat atau aparat penegak hukum, misalnya polisi. Kemudian dengan dipaksa,
masyarakat melaksanakan kaidah-kaidah hukum yang diberlakukan itu.

2.6. Wacana masalah penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Wacana dan pemberitaan mengenai penegakan hukum lingkungan di


Indonesia pada dasarnya cukup ada, walaupun mungkin agak kurang diperhatikan
oleh khalayak pada umumnya. Kurang-gencarnya wacana dan pemberitaan
mengenai penegakan hukum lingkungan tersebut sangat dimungkinkan karena
kegiatan penegakan hukum lingkungan itu sendiri yang masih lemah. Berikut ini
disampaikan beberapa artikel maupun pemberitaan media cetak dan elektronik
yang mengulas lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Media Indonesia Online, Rabu, 01 Desember 2004 memberitakan
pernyataan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar bahwa hukum
lingkungan perlu ditegakkan. Penegakan hukum lingkungan hanya akan dapat
berdaya guna secara efektif bila terjadi penguatan kapasitas kelembagaan dan
perangkat hukum di level pusat maupun daerah. Selain itu, diperlukan kemauan

Universitas Indonesia 35
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan kemampuan politis para pengambil keputusan dalam menjalankan supremasi
hukum secara konsisten.
Menurut Witoelar, masih terdapat kendala yang harus segera dibenahi serta
diselesaikan secara internal dalam mendorong kukuhnya implementasi hukum
lingkungan. Salah satu kendala tersebut adalah masih minimnya pengetahuan
bidang pengawasan dan penyidikan. Kendala berikutnya adalah jumlah tenaga
pengawas maupun penyidik masih jauh dari kapasitas ideal. Beberapa kasus
seperti pembalakan kayu liar, pencurian ikan, maupun penambangan liar,
merupakan representasi dari kombinasi ketidaktahuan masyarakat dan eksploitasi
pihak tidak bertanggung jawab, baik yang berskala lokal maupun yang berskala
global.
Witoelar menambahkan bahwa efektivitas penegakan hukum lingkungan
harus didukung dengan perubahan kuantitas serta kualitas kemampuan aparatur
pelaksana di lapangan. Selanjutnya diperlukan kerja sama, koordinasi, dan
komitmen yang terencana di tingkat pusat maupun daerah, serta harus terus
diupayakan untuk ditingkatkan.
Ditegaskan bahwa substansi atas problematika supremasi hukum
lingkungan adalah integritas serta konsistensi akan komitmen dalam menjalankan
kerangka dasar aturan yang berlaku. Dalam soal lingkungan hidup, tidak hanya
diperlukan kemampuan pokok teknis tetapi juga hati nurani yang bermartabat.
Witoelar juga mengungkapkan bahwa arus industrialisasi serta
pembangunan berkonsekuensi logis dengan dampak terhadap lingkungan hidup.
Untuk itu perlu diupayakan sebuah mekanisme operasi usaha secara lestari yang
juga memerhatikan aspek terkait secara ekologis. Kemudian sesuai dengan
konsekuensi perundangan, semua investor yang tertarik menanamkan modal di
dalam negeri perlu diwajibkan untuk mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Penegakan hukum diharapkan menjadi alat bagi penjeraan investor yang tidak
baik terhadap lingkungan domestik.
SUARA PEMBARUAN DAILY 23/9/04 memberitakan bahwa komitmen
penegakan hukum lingkungan masih setengah hati. Pemerintah kabinet gotong
royong yang selama tiga tahun menetapkan arah kebijakan lingkungan hidup di
Indonesia menggoreskan catatan tentang sejumlah bencana lingkungan hidup.

Universitas Indonesia 36
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Kerusakan hutan oleh pembalakan liar (illegal logging), pencemaran, sungai dan
laut oleh berbagai kegiatan industri dan pertambangan, meningkatnya pencemaran
udara, banjir, serta tanah longsor akibat daya dukung lingkungan yang makin
rendah. Boleh jadi pemerintahan kabinet gotong royong masih setengah hati
memperjuangkan komitmen lingkungan.
Hutan yang kian rusak, krisis air, sawah yang tidak lagi subur, sungai dan
danau yang tercemar, mendorong orang meninggalkan pertanian sebagai mata
pencaharian. Kondisi itulah yang melanda Indonesia paling tidak dalam 30 tahun
terakhir sehingga mendorong penduduk berpindah dari desa ke kota.
Arus urbanisasi yang kian deras membuat Jakarta dan kota-kota lain di
Indonesia semakin penuh sesak. Kota yang terlalu padat dan kacau tata ruangnya
membuat penduduknya stres, emosional, berperilaku seks menyimpang. Orang
merasa boleh mengambil sesuatu yang bukan haknya. Masyarakat yang stres
mudah terhasut huru-hara, tega menyiksa atau membunuh sesamanya. Tingkah
laku sebagian warga Jakarta dan kota-kota lainnya membuktikan hal itu. Persoalan
sepele gampang menyulut aksi massa. Di lain pihak aparat keamanan menghadapi
aksi itu dengan gaya yang nyaris sama. Aparat sering bertindak seolah
menghadapi musuh di medan perang.
Eksperimen di laboratorium menunjukkan, terlalu banyak tikus hingga
berhimpitan di kandang yang kecil membuat binatang itu berperilaku mengerikan.
Tikus-tikus itu berubah menjadi ganas hingga memangsa sesamanya. Selain itu
juga berperilaku menyimpang, antara lain tidak bisa lagi membedakan jenis
kelamin, sehingga menyetubuhi sesama jenis. Tikus-tikus itu saling berebut
makanan dengan rakus, bahkan saling menggigit hingga mati.
Diinformasikan juga bahwa menurut pakar lingkungan hidup UGM Prof Dr
Koesnadi Hardjasoemantri dan psikolog sosial UI Shinto B Adelar, penataan
ruang kota berpengaruh terhadap perilaku masyarakatnya. Penataan ruang yang
kacau balau seperti Jakarta, membuat warganya mudah stres dan bertindak brutal.
Apalagi jika warganya diperlakukan tidak adil, tidak mendapat pelayanan yang
baik, dan menderita kemiskinan berat. Keduanya sependapat bahwa Jakarta dan
kota-kota besar yang manajemen perkotaannya buruk, berdampak jelek terhadap
semua aspek kehidupan. Kekacauan muncul akibat tidak konsistennya para

Universitas Indonesia 37
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pengelola perkotaan terhadap Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dan bahkan
seenaknya dilanggar dan diubah-ubah.
Para pejabat seenaknya mengizinkan pembangunan gedung-gedung di jalur
hijau. Jalur itu sebenarnya berfungsi sebagai kawasan resapan air dan
penyeimbang lingkungan hidup. Kota-kota besar itu memerlukan kawasan
penyangga, tetapi pembangunan telanjur amburadul sehingga semakin sulit
menata lingkungan.
Pembangunan di Jakarta dan kota-kota sekelilingnya berjalan sendiri-
sendiri. Akibatnya muncul ketidakharmonisan lingkungan. Tata ruang menjadi
berantakan, lalu-lintas kacau, banyak polusi, sungai-sungai kotor, got-got mampet,
sampah di mana saja, sehingga warga mudah terkena berbagai penyakit.
Diingatkan bahwa Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang diremehkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah daerah dan
kalangan swasta. Mereka menganggap UU itu belum jelas dan tidak dilengkapi
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksananya. Tidak heran bila
pelanggaran kerap terjadi. Alasan itu sebetulnya mengada-ada, karena sudah ada
PP sebagai acuan pelaksanaan UU. PP yang dimaksud yaitu Nomor 69 Tahun
1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara
Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Di kota-kota besar maupun kecil, RUTR wilayah dan kawasan yang susah-
payah disusun oleh pemerintah daerah setempat dan DPRD, sering diacak-acak
justru oleh pejabat daerah yang baru. Demikian seterusnya, sampai akhirnya
muncul masalah dan mereka dengan seenaknya lari dari tanggung jawab.
Penyimpangan RUTR menimbulkan dampak lingkungan sangat serius.
Permukiman menjadi tidak teratur, sulit memadamkan api saat kebakaran, dan
mudah banjir besar di musim hujan. Pembangunan permukiman, tempat hiburan,
vila yang resmi maupun liar, di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur)
menjadi contoh aktual. Tata ruang yang rusak di kawasan itu berdampak
terjadinya banjir di Jakarta, terutama di musim hujan.
Pemerintahan kabinet gotong royong yang selama tiga tahun menetapkan
arah kebijakan lingkungan hidup di Indonesia menggoreskan catatan tentang
bencana lingkungan hidup. Kerusakan hutan oleh pembalakan liar (illegal

Universitas Indonesia 38
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
logging), pencemaran.sungai dan laut oleh berbagai kegiatan industri dan
pertambangan, meningkatnya pencemaran udara, banjir, serta tanah longsor akibat
daya dukung lingkungan yang makin rendah.
SUARA PEMBARUAN DAILY 23/9/04 juga mencatat bahwa Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) dalam Out Look beberapa waktu lalu tidak
memberikan gambaran bahwa masalah lingkungan hidup akan lebih baik pada
tahun ini. Bahkan sejumlah prediksinya lebih mencerminkan wajah suram. Hal ini
diperlihatkan karena belum ada tanda-tanda kebijakan pemerintah maupun
legislatif yang bisa meyakinkan bahwa bidang lingkungan hidup akan mendapat
perhatian serius. Beban pembayaran utang luar negeri yang makin berat, misalnya,
adalah salah satu yang membuat prediksi ini berwajah suram. Di sisi lain beban
pembayaran utang ini adalah ketergantungan pemerintah dari hasil ekspor
produksi yang mengekstrasi sumber daya alam, terutama sektor kehutanan,
perkebunan, dan kelautan.
Ada baiknya dilihat lebih dulu bagaimana masalah lingkungan hidup di
Indonesia dalam tahun lalu. Satu contoh kasus masalah lingkungan yang muncul
di penghujung 2001 adalah masalah sampah, terutama di Jakarta dan Surabaya.
Setiap hari penduduk Jakarta memproduksi sampah sebanyak 25.000 meter kubik,
dan Surabaya 9.000 meter kubik. Masalah timbul karena di tempat pembuangan
akhir (TPA) sudah penuh dan masyarakat sekitarnya protes. Bahkan beberapa kali
warga Bantar Gebang, Bekasi menutup jalan masuk truk yang membawa sampah
dari Jakarta, dan penduduk sekitar Keputih menolak sampah Surabaya.
Kebijaksanaan pemerintah dalam masalah sampah ini ternyata hanya
sebatas bagaimana menyediakan tempat pembuangan. Pemda DKI Jakarta,
misalnya, hanya bingung mencari pengganti Bantar Gebang, sampai ada ide untuk
mengirimkan ke Pulau Bangka. Pilihan-pilihan yang dicari hanya akan
menyelesaikan masalah sesaat dan tidak pernah muncul ide untuk pengelolaan
sampah secara terpadu.
Darurat sampah memang membutuhkan tindakan segera untuk mengatasi
bertumpuknya sampah di kedua kota. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa
pemerintah kedua kota memikirkan, misalnya menetapkan kebijakan yang
mengarah kepada zero waste, atau mengharuskan produsen untuk menggunakan

Universitas Indonesia 39
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
kemasan yang bisa didaur ulang dan mewajibkan untuk mengambil kembali dari
konsumen atau yang dikenal sebagai take back policy.
Bahkan tidak ada pemikiran untuk memanfaatkan sampah, seperti
menjadikannya pupuk kompos. Menurut catatan Walhi, 60 persen sampah di
Jakarta adalah sampah rumah tangga yang merupakan organik (sampah basah).
Dulu pernah ada gagasan mengelola sampah menjadi pupuk kompos, tetapi itu
hanya menjadi sebuah dongeng saja. Kenangan dongeng itu adalah nama sebuah
gang, yaitu "gang kompos" di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, di mana
di lokasi itu pernah akan dibuat pengolahan sampah menjadi pupuk kompos.
Pencemaran lingkungan oleh industri juga marak. Catatan Walhi misalnya,
menyebutkan, di Sumatra Selatan, sepanjang Sungai Musi telah tercemar bahan
beracun berbahaya (B3) oleh sebelas perusahaan. Juga Sungai Lematang oleh
pabrik pulp, dan Sungai Sepang oleh Pertamina OEP II Prabumulih. Sejumlah
pencemaran lingkungan oleh industri yang dicatat Walhi adalah kebocoran gas
amoniak PT Petrokimia Gresik, pencemaran oleh PT Pusri, Palembang,
pencemaran Kali Brantas oleh Pabrik Gula Ngadirejo, Kediri, dan pencemaran
Sungai Cicalengka, Bandung. Deretan kasus pencemaran masih bisa diperpanjang
lagi.
Bencana lingkungan lainnya adalah banjir dan tanah longsor yang terjadi di
berbagai wilayah. Beberapa yang bisa dicatat adalah kasus tanah longsor dan
banjir di Kebumen, Muara Enim, Nias, Sangie, Sumatra Selatan, Sumatra Barat,
dan Donggala, Sulawesi Tengah. Di beberapa daerah bencana itu adalah untuk
yang pertama kali, dan merupakan akibat akumulatif dari penggundulan lahan.
Penebangan liar atau pembalakan liar merupakan kasus yang banyak terjadi
di berbagai daerah. Bahkan perusakan ini banyak terjadi di berbagai taman
nasional. Yang lebih menyedihkan, kegiatan ilegal ini dilakukan secara terang-
terangan karena ada beking dari aparat.
Di bidang kelautan, masih banyak perilaku penangkapan ikan yang tidak
memperhitungkan aspek keberlanjutan. Praktik penangkapan ikan dengan bahan
peledak dan racun terus berlanjut di berbagai daerah. Perburuan biota laut yang
langka dan dilindungi juga terus berlanjut. Bahkan pencurian ikan oleh kapal
asing tidak pernah bisa diatasi. Indonesia diperkirakan kehilangan empat miliar

Universitas Indonesia 40
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dolar AS atau setara dengan Rp 40 triliun akibat pencurian ikan di ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif).
Pencemaran dan kerusakan lingkungan oleh kegiatan pertambangan juga
terus terjadi, baik oleh pertambangan besar maupun pertambangan rakyat, bahkan
penambang liar. Walhi mengutip data Jatam (Jaringan Advokasi untuk Tambang)
juga mencatat sekarang ada 11,4 juta hektar hutan lindung dan kawasan
konservasi di berbagai daerah yang akan dikonversi untuk kegiatan tambang.
Selain itu, pembakaran hutan dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing)
juga terus terjadi setiap tahunnya, bahkan telah meresahkan negara tetangga
Namun, Walhi juga mencatat adanya sesuatu yang baik, yang disebutnya
sebagai "setetes embun sejuk di tahun 2001." Walhi tentu saja mencatat
kemenangan gugatannya terhadap PT Freeport Indonesia dalam kasus longsornya
tumpukan batuan limbah (wasterock) di danau Wanagong.
Selain itu, Sidang Tahunan MPR 2001 juga menghasilkan ketetapan yang
diharapkan menjadi payung bagi keluarnya peraturan yang ramah lingkungan. Tap
itu adalah Tap MPR No IX tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP ini memberikan arahan kebijakan yang
harus ditempuh pemerintah dalam melaksanakan langkah-langkah pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan TAP ini mulai bergaung di
daerah, antara lain adalah di Wonosobo, Jawa Tengah. Pemda dan DPRD
setempat dengan dorongan otonomi daerah te-lah mengeluarkan Perda (Peraturan
Daerah) yang mengakomodasi keinginan masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Walhi menyayangkan bahwa di sisi lain kecenderungan dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan tidak memperlihatkan tanda yang membaik.
Beban utang luar negeri dikhawatirkan akan semakin mendorong upaya lebih
besar dalam eksploitasi sumbar daya alam. Apalagi dalam keadaan perekonomian
yang serba penuh guncangan ini. Bahkan rencana pemerintah untuk mengkonversi
utang luar negeri untuk pembiayaan lingkungan melalui mekanisme debt nature
swap (DNS) juga dinilai tidak akan banyak menyelesaikan masalah lingkungan.
Kebijakan ini hanya memberi sedikit "wajah ekologis" pada utang luar negeri
yang selama ini dinilai membebani masyarakat dan lingkungan.

Universitas Indonesia 41
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Walhi juga memprediksi bahwa kebijakan lingkungan juga akan semakin
termarjinalkan. Yang mengkhawatirkan adalah dalam waktu dekat ini akan
dibahas sejumlah RUU yang kemungkinan tidak ramah terhadap lingkungan. Di
antaranya adalah RUU Pertambangan serta RUU Minyak dan Gas. Bahkan telah
terjadi pergeseran "payung" Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang selama
ini di bawah Menko Perekonomian ke Menko Kesra. Hal ini mencerminkan
prioritas perhatian terhadap lingkungan hidup makin kecil.
WARTA EKONOMI, Minggu, 19 April 2009 menyampaikan ulasan
mengenai hukuman yang tidak membuat jera pelanggar lingkungan hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) memang terus menempuh jalur
hukum bagi penyelesaian kasus lingkungan hidup. Walaupun efek jera belum
dirasakan oleh pelanggar hukum tersebut. Menurut Deputi V Menteri Lingkungan
Hidup Bidang Penataan dan Penegakan Hukum Ilyas Asaad yang dikutip Warta
Ekonomi dari situs KNLH pada Jum'at (17/4/2009 dikatakan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir, kasus lingkungan hidup cenderung meningkat. Satu
orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup (PPNS-LH) ditargetkan
menangani satu kasus lingkungan hidup. Dengan begitu satu tahun sebanyak 528
kasus dapat diselesaikan tenaga PPNS-LH. Untuk menampung laporan
masyarakat, KNLH menyediakan 37 posko pengaduan di seluruh wilayah
Indonesia.
Sekarang KNLH mempunyai 568 tenaga PPNS-LH dan 1.600 tenaga Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH). Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) tenaga
PPLH dan PPNS-LH akan ditingkatkan terus kementerian tersebut. Dalam waktu
dekat KNLH akan menyelenggarakan lagi diklat bagi PPNS-LH.
Pada sisi lain data KNLH menyebutkan sebanyak 10 kasus lingkungan
hidup telah ditangani KNLH mulai Januari-Maret 2009. Dari angka itu empat
kasus sedang pengumpulan bukti dan enam kasus telah dikenai sanksi
administrasi.
Pada 2009 sebanyak 68 kasus lingkungan ditangani KNLH pada 2008. Dari
34 kasus itu masuk tahap penyidikan, 13 kasus dalam tahap pengumpulan bahan
keterangan (PULBAKET), 15 kasus telah dilengkapi pemberkasannya, 12 kasus
proses persidangan, dan 4 kasus telah diputus pengadilan.

Universitas Indonesia 42
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Pada edisi lain, WARTA EKONOMI, Senin, 20 April 2009 mengulas
pernyataan Indonesia Center for Environment Law mengenai lemahnya
penanganan kasus LH di Pengadilan. Indonesia Center for Environment Law
(ICEL) menilai putusan pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan hidup masih
lemah. Padahal, sejumlah pelatihan bagi hakim tingkat Mahkamah Agung (MA)
dan Pengadilan Tinggi (PT) telah diselenggarakan organisasi tersebut.
Mengutip dari situs Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH)
Jum'at (17/4/2009), Reno Subagja direktur eksekutif ICEL menginformasaikan
bahwa sampai saat ini sudah ada 827 hakim mengikuti pelatihan hukum
lingkungan. Sementara jaksa sudah 144 orang, polisi 104 orang dan 92 orang
aktivis lembaga swadaya masyarakat, 115 orang dari kalangan akademisi, sektor
kehutanan dan lain-lain.
Diinformasaikan juga bahwa Data Pusat Hukum Lingkungan Indonesia
menyebutkan pada 2006 terdapat 13 kasus perdata dan tata usaha negara, 7 kasus
gugatan ditolak, 1 kasus ditolak di PTUN, 2 kasus kalah ditingkat banding, 1
kasus tidak dilanjutkan karena tercapai perdamaian, dan 2 kasus sebagian gugatan
diterima tapi tidak dieksekusi. Sementara itu perkara pidana lingkungan terdiri
dari 16 kasus, 2 kasus diputus dengan vonis bebas, 5 kasus dengan hukuman
percobaan, 7 kasus dihukum ditingkat operator lapangan, 1 kasus dijatuhi
hukuman denda, dan 1 kasus tak dapat diekskusi karena terdakwa keluar
Indonesia.
Menyoal kemungkinan pembentukan pengadilan khusus lingkungan,
menurut Reno, tidak menjamin penegakan hukum semakin baik. Malahan, beban
pengeluaran negara diprediksi meningkat. Ditegaskan bahwa masalah penegakan
hukum lingkungan, tidak hanya pada persidangan, tapi juga pada penyidikan dan
penuntutan. Jadi perbaikan tidak cukup dengan mengadakan pengadilan khusus
lingkungan.
Sementara itu Agus Wariyanto, kepala Bidang Agribisnis pada Badan
Bimbingan Massal Ketahanan Pangan (BBMKP) Provinsi Jawa Tengah. (SUARA
MERDEKA Selasa, 05 Juni 2007), mengemukakan beberapa masalah penegakan
hukum lingkungan di Indonesia antara lain sebagai berikut:

Universitas Indonesia 43
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Yang pertama belum ada exit strategy sebagai solusi penting yang harus
diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
Keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup belum intensif.
Yang kedua belum dilaksanakannya secara baik sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah
sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat
penegak hukum kurang dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab
kegiatan seperti diatur dalam Pasal 41-48 UU 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Yang ketiga kurang partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah,
pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup
setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Dikatakan oleh Agus Wariyanto, persoalan lingkungan hidup bagi negara
berkembang seperti Indonesia adalah dilematis bagaikan buah simalakama. Di
satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap
lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan.
Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan
mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam arti menaati aturan
yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian
marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan
lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan,
seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi
ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata,
maupun pidana.

Universitas Indonesia 44
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan
belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan
demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya
dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan
dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup
menjadi mutlak diperlukan.
Agus mensinyalir adanya kenyataan empirik yang menunjukkan bahwa
usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak
hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan
bukanlah pekerjaan mudah.
Wacana berikutnya adalah dari Absori (2002 dan 2005), yang menilai
bahwa Penegakan hukum lingkungan dalam berbagai kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan melalui isntrumen hukum pidana lingkungan adalah lemah.
Hal ini disebabkan oleh kompleksnya aspek yang muncul dalam proses penegakan
hukum lingkungan. Persoalan utama tidak disebabkan oleh faktor bukti semata,
tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor lain di luar lingkungan, yakni faktor politik,
sosial, dan ekonomi. Penanganan pencemaran menjadi telah problem pelik dan
perlu upaya penanganan lintas sektoral.
Dalam hukum lingkungan pengajuan tuntutan melalui jalur pidana
dimungkinkan setelah pendekatan penyelesaian melalui hukum administrasi
negara dan hukum perdata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah
lingkungan. Kejahatan lingkungan berupa pencemaran lingkungan dikategorikan
sebagai tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana
yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak
pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup
sebagaimana telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Selama ini ketentuan mengenai sanksi terhadap pencemaran lingkungan
masih merupakan ketentuan yang sifatnya ultimum remidium, yang menganggap

Universitas Indonesia 45
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius
atau premium remidium yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang
diutamakan dalam menangani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan
lingkungan. Demikianlah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada dasarnya masih menjadikan ketentuan sanksi pidana
sebagai ultimum remidium.
Namun menurut Muladi (1998:10) ketentuan pidana dijadikan sebagai
instrumen premium remidium masih belum perlu karena sanksi yang lain seperti
administrasi dan perdata masih bisa didayagunakan. Hal tersebut sesuai dengan
azas pengadilan (principle of restraint), yang merupakan salah satu syarat
kriminalisasi, dimana sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi
administrasi dan perdata ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani
tindak pidana lingkungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan
dikategorikan sebagai adminstrative penal law atau public welfare offenses, yang
memberi kesan ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana
bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma
hukum administrasi. Dengan demikian, keberadaan tindak pidana lingkungan
sepenuhnya tergantung pada hukum lain.
Jadi betapapun pentingnya lingkungan hidup yang sehat dan baik, namun
peraturan perundanagn lingkungan hidup yang ada belum dilengkapi dengan
ketentuan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari
hukum lain atau yang dinamakan generic crime atau core crime. Dalam
perumusan tindak pidana lingkungan, tamapknya belum mempertimbangkan
adanya kerugian dan kerusakan lingkungan hidup yang bukan hanya yang bersifat
nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial, baik
terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Kerusakan tersebut sering
kali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi.
Dari segi instrumen hukum, sekalipun undang-undang lingkungan, telah
mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar, dan sanksi hukuman yang
begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktik belum menjamin
para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang memadai. Para
pihak yang didakwa melakukan perbuatan pencemaran lingkungan hidup dapat

Universitas Indonesia 46
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
lolos dari jeratan hukum. Kasus pencemaran sungai Babon, Demak, pencemaran
Sungai Banger Pekalongan dan pencemaran di Karanganyar, warga masyarakat
yang menuntut ke pengadilan hanya memperoleh ganti rugi yang teramat kecil
dan hukuman untuk terdakwa yang ringan. Hal tersebut dapat dilihat pada data
kasus persidangan pencemaran yang dilakukan terhadap PT Indorayon Utama di
PN Jakarta Pusat tahun 1989. Demikian juga pada kasus PT.Sido Makmur di PN
Sidoarjo terdakwa dijatuhi hukuman hanya 3 bulan penjara dan terdakwa
diperintahkan tidak perlu menjalankan hukuman tersebut (Absori 2005:225).
Dari persidangan kasus-kasus tersebut dapat dilihat bahwa majelis hakim
yang mengadili sengketa lingkungan dibuat bingung oleh kemampuan penasehat
hukum terdakwa dalam mengajukan bukti limbah sebagai sampel pembuktian
yang tidak melewati ambang batas. Hal ini bisa terjadi disebabkan jaksa penuntut
umum dan hakim sama-sama belum memahami liku-liku perkara yang berkaitan
tindakan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Jaksa penuntut umum
tidak mampu membantah fakta yang diajukan pihak terdakwadan majelis hakim
tidak berupaya untuk menguji keadaan yang meragukan secara lebih mendalam.
Budi Wijanarko (KOMPAS, 31 Juli 2004) menyebutkan bebarapa faktor
penghambat penegakan hukum lingkungan. Yang pertama adalah faktor
kesepakatan yang berkisar pada tidaksepemahaman dalam menetapkan sampai
seberapa jauh masalah lingkungan itu benar-benar ada dan seberapa pentingnya
masalah tersebut bagi para pihak, bagaimana masalah tersebut harus dipecahkan
berikut konsensus tentang cakupan dan cara-cara pencapaian penyelesaian serta
tujuan akhir yang harus dicapai.
Ketika hambatan kesepakatan sudah terlewati, hambatan pengetahuan
memunculkan pertanyaan selanjutnya, apakah tersedia cukup bukti dan
pengetahuan yang memadai tentang penyebab, proses terjadinya, dan dampak
masalah itu? Setelah hambatan pengetahuan teratasi, pertanyaan muncul
berikutnya apakah kita memiliki sarana untuk memecahkan masalah itu? Puncak
dari semua hambatan adalah hambatah sosial, ekonomi, dan politik menghadang
penyelesaian masalah lingkungan. Ketiga hambatan terakhir ini saling terkait dan
merupakan faktor-faktor penentu dalam menyelesaikan masalah lingkungan.
Dalam banyak kasus sering kali terjadi penekanan yang berlebihan terhadap faktor

Universitas Indonesia 47
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
sosial, ekonomi, dan politik, sehingga kebenaran pengetahuan ilmiah terpaksa
dikorbankaan. Akibatnya, sudah jelas kepentingan lingkungan dikalahkan oleh
kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Wijanarko, kinerja dan kebijakan pemerintah dalam menangani
masalah lingkungan sangat ditentukan oleh ciri pluralisme dan inkrementalisme.
Pluralisme dimaknai sebagai suatu bentuk pengambilan kebijakan publik yang
diambil melalui tawar menawar, kompromi, dan negosiasi di antara kelompok
kepentingan dalam masyarakat. Sementara dalam rezim inkrementalisme
kebijakan publik diambil hanya berdasarkan beberapa alternatif yang sifatnya
terbatas. Pengaruh politik tidak lepas dari imbal pengorbanan (trade-off), tawar-
menawar dan kompromi antar kekuatan kepentingan. Tidak bisa dipungkiri di
negara manapun termasuk Indonesia, yang didominasi kapitalisme selalu terdapat
bias ideologi yang lebih memihak pada pembangunan ekonomi sebagai
mainstream yang lebih mengutamakan kepentingan investasi dan mengabaikan
kepentingan lingkungan.

2.7. Dilema Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK)

UMK, seperti bentuk usaha lainnya, berada dalam suatu lingkungan yang
kompleks dan dinamis. Lingkungan dan konteks inilah yang membentuk ‘aturan
main’ bagi segala jenis usaha dan mempengaruhi cara beroperasi perusahaan dan
pasar. ADB-SME-TA 2000/2001 (ADB 2002:8) menunjukkan kondisi UMK
dipengaruhi oleh tiga lingkungan utama, yaitu lingkungan pasar, lingkungan dunia
usaha dan lingkungan yang lebih luas. Lingkungan pasar adalah lingkungan yang
terdekat dengan UMK, terdiri dari pelanggan, buruh, ketrampilan dan teknologi,
informasi, lokasi usaha, modal, jaringan, bahan baku dan peralatan. Lingkungan
dunia usaha antara meliputi peraturan dan birokrasi seperti lisensi dan perijinan,
perpajakan, proses dan standardisasi produk, perlindungan konsumen, serta
berbagai bentuk layanan dan intervensi seperti layanan keuangan dan layanan
penembangan usaha. Lingkungan yang lebih luas meliputi kondisi ekonomi
makro, kondisi pemerintahan dan politik, kondisi layayan pemerintah, pengaruh
internasional, kondisi masyarakat dan budaya, dan kondisi alam.

Universitas Indonesia 48
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LINGKUNGAN USAHA YANG LEBIH LUAS

Ekonomi Makro Pemerintahan dan Layanan pemerintah


Politik, Nasional, Lokal *Layanan dasar: Pendidikan, kesehatan
*Kontrol keuangan & fiscal
*Proses legislatif dan *Infrastruktur
*Kebijakan perdagangan
pembuatan kebijakan *Fasilitas umum
*Kebijakan perindustrian
*Peradilan *Layanan keamanan
*Kebijakan sektor keuangan
*Keamanan dan stabilitas *LEMBAGA RISET, UNIVERSITAS

LINGKUNGAN DUNIA USAHA


Peraturan dan
Birokrasi PASAR
*Hukum, peraturan Intervensi
*Keamanan Pelanggan Buruh
*Perpajakan *Jasa keuangan
Bahan Teknologi &
*Lisensi dan *Layanan pengem-
Baku Ketrampilan
Perijinan UMK bangan usaha
*Standardisasi Peralatan *Layanan intermediasi
Informasi
produk dan
proses Lokasi usaha
Jaringan
*Perlindungan
Modal
konsumen

Pengaruh luar Masyarakat dan


*Perdagangan Budaya Kondisi alam
*Bantuan
*Demografi *Sumberdaya alam
*Kecenderungan dan selera
*Selera konsumen *Cuaca
*Teknologi
*Perilaku dalam berusaha *Siklus pertanian
*Informasi

Diagram 2.1. Lingkungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah 
(Sumber: Disadur dengan penyesuaian seperlunya dari Asian Development Bank.SME Development TA,
2002 Praktik Terbaik Dalam Menciptakan Suatu Lingkungan Kondusif Bagi UKM, Policy Papers 2001 /
2002, Policy Paper No.1 ADB SME Development TA, Kantor Mentri Negara Urusan Koperasi dan UKM,
p.8.

Dengan kata lain proses ekonomi yang melibatkan usaha kecil itu juga
melibatkan institusi-institusi lain yang ada di dalam masyarakat, yang semestinya
akan membawa perubahan di dalam masyarakat, menuju masyarakat yang sadar
lingkungan dan memiliki tanggungjawab lingkungan. Kegiatan usaha dan
ekonomi secara umum yang dilakukan di dalamnya haruslah kegiatan ekonomi
berkelanjutan, ramah lingkungan, melestarikan lingkungan. Asumsi yang
mendasari tuntutan ini adalah bahwa ekonomi yang tidak memperhatikan
lingkungan atau merusak lingkungan pada akhirnya akan berjalan di tempat
bahkan mandeg, dan dengan sendirinya dan menggali kuburnya sendiri, karena
tidak ada lagi daya dukung lingkungan. Dari sinilah pentingnya ideologi
sustainable development, pembangunan yang melestarikan dan membaharui
lingkungan untuk mendukung kontinuitas pembangunan itu sendiri.
Persoalannnya ialah masing-masing pihak yang terlibat dalam kompleks ekonomi

Universitas Indonesia 49
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan lingkungan tersebut belum tentu memiliki definisi, persepsi, pengetahuan dan
kerugian yang sama mengenai risiko dan kerusakan lingkungan. Persoalan
lingkungan menjadi tidak menentu karena dapat dikonstruksi berbeda-beda.
Beberapa aspek untuk membedakan UMK misalnya berdasarkan orientasi
kegiatan atau perilakunya, besarnya, gender, lokasi dan sektor usaha serta
kepemilikannya. Satu klasifikasi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan
kebijakan adalah klasifikasi berdasarkan needs dan constraints yang dihadapi
oleh UMK. Dalam hal ini ADB mengidentifikasi adanya dua jenis UMK, yaitu
yang bersifat “survival” atau sama dengan “subsistence”, dan yang bersifat
“viable” (ADB 1997:27-36).
Konsep subsistensi pada dasarnya adalah sama dengan konsep subsistensi
yang dikemukakan oleh James C. Scot mengenai moral ekonomi petani di Asia
Tenggara (LP3ES 1981) dan Hans Dieter Evers produksi massa apung di Jakarta
(PRISMA VIII-Juni 1980). Dalam hal ini konsep subsistensi dipakai untuk
menunjuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh golongan miskin adalah hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Produksi pertanian di
pedesaan dan barang maupun jasa di perkotaan adalah bukan untuk pasar, tetapi
untuk dikonsumsi sendiri, tidak ada orientasi untuk pengembangan usaha,
melainkan hanya sebagai livelihood saja.

Tabel 2.7.1.
Karakteristik UMK Survial/Subsistence dan Viable

Survival/Subsistence Viable
1 Motivasi Sering karena terpaksa oleh keinginan Memang berminat dan berniat untuk
untuk memperoleh keuntungan melakukan usaha yang viable dan
alternative menguntungkan, berdasarkan pilihan
2 Waktu Biasanya bersifat part-time atau Merupakan sumber utama
musiman, sekedar sebagai sumber penghasilan rumah tangga
sekunder penghasilan rumah tangga
3 Syarat Biasanya tidak terlalu diperlukan, Pengalaman dan ketrampilan sangat
Ketrampilan mudah dilakukan sehinga menjadi diperlukan
overcrowded
4 Penggunaan Penghasilan usaha cenderung dipakai Penghasilan usaha dipergunakan
penghasilan untuk sekedar mempertahankan hidup untuk reinvestasi pengembangan
dan untuk pengeluaran rumah tangga usaha, ada potensi pertumbuhan
Sumber: Asian Development Bank 1997, Microenterprise Development, Not By Credit Alone, pp.
26-27

Universitas Indonesia 50
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dari segi orientasi tindakan ekonomi, memang ada dua jenis usaha, yaitu
livelihood enterprises dan growth oriented enterprises. Livelihood enterprises
adalah usaha yang tujuannya hanya sebatas sebagai matapencarian. Sedangkan
growth oriented enterprises adalah usaha yang berorientasi pada pengembangan
usaha.
Tabel 2.7.2.
Perbedaan Utama antara UMK Livelihood dan
UMK Growth Oriented
Livelihood Enterprises Microenterprises
1 Kapitalisasi Relatif rendah Lebih tinggi, tetapi awalnya
sama
2 Pendidikan Sedikit pendidikan formal Setidaknya sekolah menengah
3 Ketrampilan Relatif rendah, kecuali ketrampilan Lebih tinggi, umumnya didapat
dan tradisional seperti untuk kerajinan tangan; dari kursus-kursus atau dari
Pengalaman kegiatan berdagang sering merupakan arena pengalam kerja yang lalu
latihan untuk kemudian merakit produk
yang sama
4 Gender Partisipasi perempuan tinggi Partisipasi perempuan
umumnya lebih rendah, dengan
beberapa pengecualian
5 Sektor Umumnya peternakan, perunggasan, Lebih banyak manufaktur dan
makanan dan perdagangan kecil jasa yang memerlukan beberapa
ketampilan
6 Kompetisi Kompetisi pasar sempurna, relatif bebas Sering memanfaatkan pasar
masuk, penggunaan tenaga keluarga intensif khusus dengan spesialisasi
dan menawarkan kredit kepada buruh produk
7 Musim Musiman, ikut siklus tanaman, tahun Kurang dipengaruhi oleh musim
sekolah, hari-hari besar
8 Kontribusi Biasanya merupakan sumber sekunder, Sering merupakan sumber
terhadap walaupun vital utama
penghasilan
9 Jumlah usaha Biasanya merupakan salah satu dari Biasanya hanya satu-satunya
beberapa usaha yang sama, sebagai
kompensasi musim dan keuntungan rendah
10 Penggunaan Jarang, umumnya tenaga keluarga Umumnya bukan keluarga, ada
tenaga yang juga yang keluarga dan anak-
dibayar anak
11 Surplus dan Surplus terbatas dan sering dikeruk untuk Umumnya surplus direinves
Reinvestasi pengeluaran rumah tangga
12 Penggunaan Consigment dalam kegiatan dagang, profit Kesempatan kredit lebih luas,
kredit sharing dalam peternakan, sewa di muka baik formal maupun semi
untuk perahu atau kereta; dan menjadi net formal, serta lebih besar
lender agar dapat bersaing.
13 Potensi Produksi, penjualan, keuntungan dan Memiliki potensi pertumbuhan:
pertumbuhan penghasilan bisa meningkat, tetapi untuk jumlah tenaga kerja, tenaga
kesempatan lapangan kerja terbatas; kerja yang dibayar, dan tenaga
pertumbuhan sering terhambat oleh tingkat yang berkualitas
permintaan, ketersediaan bahan,
keterbatasan tempat.
Sumber: Asian Development Bank 1997, Microenterprise Development, Not By Credit Alone, pp.
31-32

Universitas Indonesia 51
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
2.8. Dilema Pemerintah dalam Pembinaan UMK

Perusahaan atau Usaha Industri adalah satu unit/kesatuan produksi yang


terletak pada tempat tertentu yang melakukan kegiatan untuk mengubah barang-
barang (bahan baku) dengan mempergunakan mesin atau bahan kimia atau dengan
tangan menjadi produk baru, atau mengubah barang-barang yang kurang nilainya
menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dengan maksud untuk mendekatkan
produk tersebut kepada konsumen akhir. Industri Pengolahan, termasuk Jasa
Industri adalah kegiatan pengubahan barang-barang dasar menjadi barang
jadi/setengah jadi atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi
nlainya dengan maksud untuk dijual. Gambaran UMK yang akan diuraikan pada
bab ini adalah meliputi usaha Industri Kecil dan Industri Kerajinan Rumahtangga
menurut kriteria dari Badan Pusat Statistik (keduanya disebut bersama dengan
singkatan IKKR). Industri Kecil adalah usaha rumah tangga yang melakukan
kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jasi, barang
setengah jadi menjadi barang jadi, atau dari barang yang kurang nilainya menjadi
barang yang lebih tinggi nilainya dengan maskud untuk dijual, dengan jumlah
pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha.
Untuk jumlah pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, digolongkan
sebagai Industri Kerajinan Rumahtangga.
Sebagaimana telah disampaikan di muka, jumlah usaha IKKR berikut
tenaga kerjanya merupakan bagian terbesar dari keseluruhan usaha dan tenaga
kerja industri (Tabel 1.1.1.). Namun jika dilihat dari produktivitas per-tenaga kerja
dan share output-nya, IKKR jauh berada dibawah IB/S (Tabel 1.1.2.). Ini jelas
merupakan dilema bagi pemerintah sebagai instansi pembina kegiatan
perekonomian secara nasional. Karena jumlahnya yang begitu banyak, maka
pembinaan jelas akan memerlukan waktu dan energi yang tidak sedikit yang
mungkin tidak sebanding dengan share output yang diharapkan secara nasional;
lebih-lebih tingkat pendikan sebagian besar pelaku usaha UMKM adalah Sekolah
Dasar (Tabel 1.1.3.). Karena itu wajar jika tingkat partisipasi IKKR dalam
kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sangat rendah
sebagaimana tampak pada tabel berikut ini (Tabel 2.8.1).

Universitas Indonesia 52
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.8.1.
Bimbingan, Pelatihan dan Penyuluhan (BPP) Pekerja

Jenis BPP IKR (%) IK (%)


(1) (2) (3)

1. Tidak pernah memperoleh BPP 94,67 85,54

2. Pernah memperoleh BPP 5,33 14,46

Pengelolaan/manajemen 12,67 17,95


Teknik Produksi 91,33 82,69
Pemasaran 18,95 23,80
Lainnya 5,34 4,22

Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

2.8.1. Kendala dan Kesulitan

BPS mencatat usaha IKKR dalam menjalankan aktivitas usahanya


sarat dengan kompleksitas masalah. Kesulitan yang dialami usaha industri
mikro dan kecil dari tahun-ke tahun diyakini tidak banyak berbeda. Hampir
tidak pernah dijumpai usaha IK maupun IKR terbebas dari berbagai
kesulitan yang dapat menghambat kegiatan usahanya. Jenis kesulitan yang
sering dialami oleh IKKR antara lain adalah kesulitan permodalan, masalah
bahan baku dan kesulitan pemasaran (Tabel 2.8.1.a.).
Mengenai pembinaan usaha kecil ramah lingkungan, A Jauhari
mencatat adanya beberapa kendala dan kesuilitan. Pertama, pada umumnya
usaha kecil memiliki kendala akses dalam berhubungan dengan sumber
permodalan. Kedua, usaha kecil pada umumnya lemah dalam penetrasi
pasar. Ketiga, usaha kecil pada umumnya lemah dalam penguasaan
teknologi informasi, komunikasi dan produksi. Keempat, sumber daya
manusia (SDM) pada usaha kecil pada umumnya berpendidikan rendah
sehingga kurang menguasai aspek manajerial, administrasi serta kurang
terampil. Kelima, pada umumnya usaha kecil menggunakan teknologi
sederhana dan tidak ramah lingkungan. Keenam, kemampuan permodalan
untuk aspek lingkungan sangat terbatas karena alokasi dana perusahaan
lebih terfokus pada usaha peningkatan kapasitas produksi (SUARA
PEMBARUAN DAILY, 18/6/2002).

Universitas Indonesia 53
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.8.1.a.
Banyaknya Usaha IKKR menurut Jenis Kesulitan Usaha
Tahun 2003
Uraian IK IKR Jumlah
(1) (2) (3) (4)
1.Tidak mempunyai kesulitan 73,328 966.905 1.039.233
% 30,67 40,19 39,34

2.Mengalamai Kesulitan 163.523 1.439.153 1.602.676


% 69,33 59,81 60,66

a. Bahan Baku 16.452 241.661 258.113


% 10,06 16,79 16,11

b. Pemasaran 62.741 562.151 625.845


% 38,31 39,14 39,05

c. Permodalan 72.204 455.427 527.631


% 44,16 31,65 32,92

d. Distribusi/Transportasi 1.821 23.781 25.602


% 1,11 1,65 1,60

e. Energi 1.947 32.449 34.396


% 1,19 2,25 2,15

f. Pengupahan 2.148 14.592 16.740


% 1,31 1,01 1,04

g. Lainnya 6.210 108.092 114.302


% 3,80 7,51 7,13

Jumlah IKKR 235.851 2.406.058 2.641.909


% 100,00 100,00 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Adanya pekerja yang tidak dibayar, adalah sudah menjadi gejala


umum IKKR dan terutama pada Industri Kerajinan Rumah Tangga. Dalam
hal ini tampak jumlah tenaga perempuan yang tidak dibayar lebih banyak dari
pada tenaga laki-laki yang tidak dibayar (Tabel 2.8.1.b.). Hal ini dapat
dimaklumi tentu bukan saja karena kesulitan permodalan, tetapi juga karena
bentuk usahanya yang pada umumnya tidak berbadan hukum dan tidak
mengatur hubungan antara tenaga dengan pemilik usaha sebagai hubungan
kerja formal. Jumlah tenaga yang tidak dibayar pad IKR juga sangat
mencolok. Hal ini juga dapat dimengerti karena tenaga-tenaga dalam IKR
adalah keluarga dan kerabat sendiri.

Universitas Indonesia 54
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.8.1.b.
Banyaknya Pekerja Usaha IKKR menurut Status dan Jenis Kelamin Pekerja
Tahun 2003

Status Pekerja IK % IKR % IKKR %


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Dibayar 1.227.683 71,01 665.861 14,37 1.893.554 29,76
Laki-laki 817.834 66,62 570.983 85,75 1.388.817 73,34
Perempuan 409.849 33,38 94.878 14,25 504.727 26,66
2. Tidak Dibayar 501.321 28,99 3.968.700 85,63 4.470.021 70,24
Laki-laki 305.804 61,00 1.877.671 47,31 2.183.475 48,85
Perempuan 195.517 39,00 2.097.029 52,69 2.286.456 51,15
3. Jumlah Pekerja 1.729.004 100,00 4.634.561 100,00 6.363.565 100,00
Laki-laki 1.123.638 64,99 2.448.654 52,83 3.572.292 56,14
Perempuan 605.366 35,01 2.185.907 47,17 2.791.273 43,86
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

2.8.2. Prospek Usaha

Dari segi prospek usaha, sebagian besar pelaku IKKR merasa apatis,
tidak lebih buruk tetapi juga tidka lebih baik dari masa sekarang ini (Tabel
2.8.2.). Ini mengingatkan penulis pada konsep usaha kecil sekedar untuk
livelihood, survival atau subsistence. Apatisme ini juga mendukung
rendahnya partisipasi mereka dalam kegiatan pembinaan (Tabel 2.8.1.)
Tabel 2.8.2.
Banyaknya IKKR menurut Prospek Usaha 6 Bulan Mendatang, Tahun 2003
Prosepek Usaha 6 Bulan Mendatang IK IKR Jumlah
(1) (2) (3) (4)
Lebih Buruk 23.080 253.645 276.725
% 9,79 10,54 10,47

Sama saja 140.504 1.715.183 1.855.687


% 59,57 71,29 70,24

Lebih baik 72.267 437.330 509.497


% 30,64 18,17 19,29
Jumlah 235.851 2.406.058 2.641.909
% 100,00 100,00 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Universitas Indonesia 55
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
2.9. Kebijakan Dasar tentang Lingkungan di Jakarta dalam hubungannya
dengan Pembinaan UMKM

Renstrada DKI 2002-2007 (Pemda Propinsi DKI Jakarta 2002)


menyebutkan beberapa kali pentingnya penerapan teknologi ramah lingkungan
untuk kegiatan ekonomi. Di samping bertujuan meningkatkan pembangungan
sarana dan prasarana kota yang efisien, efektif, kompetitif dan terjangkau, serta
bertujuan menegakkan supremasi hukum, meningkatkan keamanan, ketenteraman
dan ketertiban kota, meningkatkan kualitas kehidupan dan kerukunan warga kota,
serta melaksanakan pengelolaan tata pemerintahan kota yang baik, Renstrada DKI
Jakarta 2002-2007 juga bertujuan mewujudkan pembangunan yang adil, ramah
lingkungan dan berbasis pada masyarakat. Misi ini dipertegas penjadi pokok
kebijakan pembangunan, yang antara lain adalah: Mewujudkan dan memperkuat
basis ekonomi melalui penguatan jaringan produksi dan distribusi, peningkatan
peran serta usaha mikro, UKM dan Koperasi, penggunaan teknologi ramah
lingkungan dan peningkatan daya saing produk, dan Meningkatkan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui perluasan ruang terbuka hijau,
pengendalian produksi, pengendalian konsumsi dan pengendalian aktivitas yang
kurang ramah lingkungan. Prinsip ramah lingkungan ini mewarnai strategi
pembangunan 5 tahun DKI yang meliputi dua pendekatan: (1) Pendekatan
partisipatif: Mewujudkan masyarakat kota yang mandiri dan sejahtera melalui
proses pemberdayaan, dengan mengedepankan prinsip demokratisasi, kesetaraan
dan keberpihakan, (2) Pendekatan komprehensif, yaitu membentuk struktur ruang
kota yang strategis sesuai denagn kebutuhan dan kondisi wilayah/kawasan, secara
berkeadilan, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu indikator
keberhasilan strategi itu ini adalah terwujudnya pembangunan ekonomi yang
ramah lingkungan.
Arah kebijakan Industri dan Perdagangan: Menjadikan usaha industri yang
sehat, berteknologi tepat guna, mandiri dan tahan terhadap globalisasi, ramah
lingkungan dalam suatu kawasan industri yang mampu memperluaskan
kesempatan kerja, meningkatkan kualitas sumber daya termasuk investasi serta
meningkatkan ekspor, sedangkan untuk perdagangan, menciptakan sistem
perdagangan yang sehat dan efisien, adil dan dinamis bagi semua skala usaha,

Universitas Indonesia 56
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
serta mengembangkan jaringan distribusi produk industri dan perdagangan;
dengan salah satu indikator kinerja adalah meningkatnya usaha industri ramah
lingkungan.
Akan tetapi dalam buku Kondisi Kualitas Lingkungan HidupDaerah
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2004 (BPLH DKI 2004),
diperoleh laporan bahwa bahwa kualitas air DKI Jakarta pada tahun 2004 sudah
mengalami pencemaran yang berat. Sumber pencemaran air itu berasal dari agro
industri, industri pengolahan dan sumber domestik. Limbah yang paling dominan
berasal dari industri pengolahan, yaitu sebesar 3.141.764.470 m3/tahun atau 97,81
% dari total limbah cair (Tabel 2.9.1). Dari jumlah tersebut, sumbangan dari
industri pengolahan makanan adalah sebesar 159.062,98 m3 atau 5,06 %. Dari segi
volume limbah, sumbangan industri pengolahan makanan tersebut tampaknya
kecil (BPLH Propinsi DKI Jakarta 2004)

Tabel dan Grafik 2.9.1.


Volune Awal Limbah Air Berdasarkkan Sumbernya, 2004
3500000
VOLUME (ribu m3/tahun

3000000

2500000

2000000

1500000

1000000

500000

0
Agrobisnis Ind.Pengolahan Sumber Domestik

VOLUME 19,79 3141764,47 70445,93

SUMBER PENCEMARAN

Sumber: BPLHD Propinsi DKI Jakarta 2004

Akan tetapi dari segi kualitas limbah, tetutama limbah BOD (biological oxygen
demand) dab TDS (total dissolve solid), industri pengolahan makanan adalah
penyumbang terbesar (Tabel 2.9.2). Hal yang demikian itu adalah dimungkinkan
sehubungan dengan buruknya pengelolaan limbah pada industri pengolahan
makanan. Sebagaimana telah disampaikan di muka, industri pengolahan makanan
pada umumnya adalah industri kecil dan industri rumah tangga dan tidak
melakukan pengolahan limbah.

Universitas Indonesia 57
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.9.2. Distribusi Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air
BIOLOGICAL CHEMICAL
VOLUME SUSPENDED TOTAL
OXYGEN OXYGEN MINYAK NITROGEN
LIMBAH SOLIDS DISSOLVED SOLID
SUMBER DEMAND DEMAND ton per ton per
ribu m3 per ton per ton per
ton per ton per tahun tahun
tahun tahun0 Tahun
tahun tahun
(01) (02) (03) (04) (05) (06) (07) (08)

AGRO INDUSTRI
19.79 2,775.73 - 3,071.96 - - 120.55
INDSPENGOLAHAN
3,141,764.47 950,784.20* 820,467.11 915,988.13 3,307,771.56** 21,808.66 76.40
DOMESTIK 70,444.93 61,392.16 142,181.56 139,653.64 317,623.73 - 347.59

JUMLAH 3,212,229.19 1,014,952.09 962,648.67 1,058,713.73 3,625,395.29 21,808.66 544.54


*Di dalamnya termasuk dari Industri Pengolahan Makanan sebesar 473.838,55 ton
* *Di dalamnya termasuk dari Industri Pengolahan Makanan sebesar 2.222.472,60 ton
Sumber: BPLHD Propinsi DKI Jakarta 2004

Jika dilihat dengan angka persen, volume limbah cair industri pengolahan
adalah dominan, yaitu sebesar 97,81% dari total limbah cair di Propinsi DKI
Jakarta, dengan BOD sebesar 93,68% dan TDS sebesar 91,24%. Dari jumlah
tersebut infustri pengolah makanan menyumbang BOD dan TDS sukub besar,
yaitu 67,19% untuk BOD fan 49,71% untuk TDS (Tabel 2.9.3 dan 2.9.4)

Tabel 2.9.3. Distribusi Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air


VOLUME
BOD COD SS TDS MINYAK N
LIMBAH
SUMBER
% % % % % % %

(01) (02) (03) (04) (05) (06) (07) (08)


AGRO
0.00 0.27 - 0.29 22.14
INDUSTRI - -
INDUSTRI
97.81 93.68* 85.23 86.52 91.24* 100.00 14.03
PENGOLAHAN
SUMBER
2.19 6.05 14.77 13.19 8.76 - 63.83
DOMESTIK
JUMLAH 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
*Di dalamnya termasuk dari Industri Pengolahan Makanan sebesar 67,19 %
* *Di dalamnya termasuk dari Industri Pengolahan Makanan sebesar 49,71 %
Sumber: BPLHD Propinsi DKI Jakarta 2004

Universitas Indonesia 58
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel dan Grafik 2.9.4.
Beban Awal Limbah Cair Menurut Sumber dan Jenisnya di
DKI Jakarta, 2004
3500000
3000000

BEBAN (ton/tahun
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
BOD COD SS TDS N

Agrobisnis 2775,73 0 3071,96 0 120,55


Ind.Pengolahan 950784,2 820467,11 915988,13 3307771,56 76,4
Sumber Domestik 61392,16 142181,56 15860,64 317643,74 28716,67

PARAMETERPENCEMAR

Sumber: BPLHD Propinsi DKI Jakarta 2004

Sumbangan BOD dari industri kecil tempe tahu pada dasarnya kecil, yaitu
hanya sebesar 25.000 ton dan 4.225 ton per tahun atau sekitar 5% untuk tempe
dan dan 0,89% untuk tahu (Tabel 2.95). Akan tetapi karena baunya menyengat
maka hal tersebut menjadi masalah.

Universitas Indonesia 59
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.9.5.
Pencemaran BOD Dari Sumber Effluent Industri
Pengolahan Makanan DKI Jakarta Tahun 2004

PRODUKSI BOD
INDUSTRI DAN PROSES SATUAN
Ribu satuan kg per ton per
Per tahun satuan tahun
(01) (02) (03) (06) (07)

1. Rumah potong hewan ton lwk 39.00 6.40 249.60


2. Pengolahan unggas ribu unggas 105.00 11.90 1,249.50
3. Hasil olahan susu ton susu 3,473.06 5.30 18,407.22
ton keju 0.00 18.00 0.00
4. Pengalengan buah dan sayur ton buah 0.70 3.90 2.73
5. Pengalengan ikan ton udang 7.80 130.00 1,014.00
6. Pengalengan ikan ton 3.50 7.90 27.65
7. Pemurnian minyak sayur ton minyak 16.80 12.90 216.72
ton margarin 0.00 180.00 0.00
Cl ton CPO 2,500.00 142.50 356,250.00
8. Pengolahan biji bijian Ton 0.21 1.10 0.23
9. Mie Ton 87,500.00 0.75 65,625.00
10. Coklat dan permen Ton 6.00 13.40 80.40
11. Gula dan glukosa Ton 45.00 13.40 603.00
12. Kopi Bubuk Ton 0.30 625.00 187.50
13. Es Batu Ton 750.00 - -
14. Tempe ton kedele 1,250.00 20.00 25,000.00
15. Tahu ton kedele 65.00 65.00 4,225.00
16. Kecap ton kedele 35.00 20.00 700.00
Total 473,838.55
Sumber: Diolah dari Tabel SP - 1A.1-A.4: 2A.1 - A.6 : BEBAN LIMBAH CAIR DAN
PENCEMARAN AIR DARI SUMBER EFFLUENT INDUSTRI PENGOLAHAN, BPLH DKI
Jakarta 2006

Pemerintah Propinsi DKI Jakarta sesungguhnya telah memiliki beberapa


peraturan-perundangan yang mengatur kegiatan industri ramah lingkungan.
Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan melakukan pengelolaan limbah kegiatan dan/atau usaha,
perangkat kebijakan lingkungan hidup di Propinsi DKI Jakarta pada dasarnya
sudah komplit (Lihat Lampiran 3.1).

Semua peraturan perundangan tersebut di atas pada dasarnya dimaksudkan


agar pembangunan tetap berjalan namun dengan tetap berpegang pada prinsip-
prinsip ekologis. Sadar atau tidak, semua peraturan perundangan tersebut pada
dasarnya adalah merupakan pedoman untuk melaksanakan pembangunan dengan

Universitas Indonesia 60
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
model modernisasi ekologis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model
pembangunan menurut pendekatan EM pada dasarnya dapat dilaksanakan.

Renstrada DKI 2002-2007 (Pemda Propinsi DKI Jakarta 2002)


menyebutkan beberapa kali pentingnya penerapan teknologi ramah lingkungan
untuk kegiatan ekonomi. Di samping bertujuan meningkatkan pembangungan
sarana dan prasarna kota yang efisien, efektif, kompetitif dan terjangkau, serta
bertujuan menegakkan supremasi hukum, meningkatkan keamanan, ketenteraman
dan ketertiban kota, meningkatkan kualitas kehidupan dan kerukunan warga kota,
serta melaksanakan pengelolaan tata pemerintahan kota yang baik, Renstrada DKI
Jakarta 2002-2007 juga bertujuan mewujudkan pembangunan yang adil, ramah
lingkungan dan berbasis pada masyarakat. Misi ini dipertegas penjadi pokok
kebijakan pembangunan, yang antara lain adalah: Mewujudkan dan memperkuat
basis ekonomi melalui penguatan jaringan produksi dan distribusi, peningkatan
peran serta usaha mikro, UKM dan Koperasi, penggunaan teknologi ramah
lingkungan dan peningkatan daya saing produk, dan Meningkatkan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui perluasan ruang terbuka hijau,
pengendalian produksi, pengendalian konsumsi dan pengendalian aktivitas yang
kurang ramah lingkungan. Prinsip ramah lingkungan ini mewarnai strategi
pembangunan 5 tahun DKI yang meliputi dua pendekatan: (1) Pendekatan
partisipatif: Mewujudkan masyarakat kota yang mandiri dan sejahtera melalui
proses pemberdayaan, dengan mengedepankan prinsip demokratisasi, kesetaraan
dan keberpihakan, (2) Pendekatan komprehensif, yaitu membentuk struktur ruang
kota yang strategis sesuai denagn kebutuhan dan kondisi wilayah/kawasan, secara
berkeadilan, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu indikator
keberhasilan strategi itu ini adalah terwujudnya pembangunan ekonomi yang
ramah lingkungan.

Arah kebijakan Industri dan Perdagangan: Menjadikan usaha industri yang


sehat, berteknologi tepat guna, mandiri dan tahan terhadap globalisasi, ramah
lingkungan dalam suatu kawasan industri yang mampu memperluaskan
kesempatan kerja, meningkatkan kualitas sumber daya termasuk investasi serta
meningkatkan ekspor, sedangkan untuk perdagangan, menciptakan sistem

Universitas Indonesia 61
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
perdagangan yang sehat dan efisien, adil dan dinamis bagi semua skala usaha,
serta mengembangkan jaringan distribusi produk industri dan perdagangan;
dengan salah satu indikator kinerja adalah meningkatnya usaha industri ramah
lingkungan.

Untuk Renstrada DKI 2008-2013 pada Bidang Linkgungan Hidup tidka


jauh berbeda dengan Renstrada DKI 2002-1007.Bagaimana kenyataannya di
lapangan? Pemda DKI khusunya aparat BPLH DKI Jakarta telah berusaha
mengimplementasikan peraturan perundangan tersebut. Menurut c, pada tahun
2008 BPLHD DKI Jakarta telah melakukan berbagai macam kegiatan pembinaan
penegakan hukum lingkungan, mulai dari penyusunan kebijakan, sosialisasi,
percontohan, implementasi, evaluasi dan pengawasan (Lihat Lampiran 3.2).
Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, BPLHD DKI Jakarta didukung
oleh 209 tenaga dengan kualifikasi akademik tertinggi S2 yang jumlahnya hanya
28 orang (lihat Rekapitulasi Data Pegawai BPLHD Propinsi DKI Jakarta Tahun
2008 di Lampiran 3.3). Bagaimana hasil dari semua kegiatan itu, tentu tidak dapat
dilaporkan semuanya pada kesempatan ini. Konsentrai penulis adalah pada
pembinaan kegiatan produksi ramah lingkungan pada industri kecil tempe tahu.

2.10. Karakteristik UMK di DKI Jakarta

Hasil pendataan dan up-dating perusahaan/kegiatan usaha tahun 2006


menginformasikan bahwa pada tahun 2006 di DKI Jakarta terdapat 1.135.490 unit
kegiatan usaha (Tabel 2.10.1.). Sebagian terbesar dari jumlah tersebut adalah
Usaha Mikro, yaitu 739.409 unit (65,12%). Sementara di urutan kedua adalah
Usaha Kecil, yaitu 365.504 unit (32,19%).

Universitas Indonesia 62
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.10.1.
Jumlah Perusahaan menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
Tidak Dapat
Usaha Usaha Usaha Usaha
Kodya Diiden- Jumlah
Mikro Kecil Menengah Besar
tifikasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Jakarta
Selatan 144.481 71.036 4.393 2.350 643 222.903

Jakarta
Timur 166.536 80.519 3.063 1.202 174 251.494

Jakarta
Pusat 98.471 67.984 4.200 2.299 683 173.637

Jakarta
Barat 191.883 81.379 3.780 1.334 81 278.397

Jakarta
Utara & 138.038 64.646 4.326 1.740 309 209.059
Kep Seribu

DKI Jakarta 739.409 365.504 19.762 8.925 1.890 1.135.490


Sumber: Potret Dunia Usaha DKI Jakarta 2006, Ulasan Ringkas Hasil Pendaftaran
Perusahaan/Usaha Sensus Ekonomi 2006, BPS PropinsiDKI Jakarta 2006.

Dari penyerapan tenaga kerja (Tabel 2.10.2.), Usaha Mikro juga


menunjukkan jumlah terbesar, yaitu sebesar 1.119.238 orang (32,76%). Sementara
itu Usaha Kecil menyerap 1.063.067 orang (31,11%). Itu berati total tenaga kerja
yang terserap oleh UMK adalah 63,87% dari keseluruhan tenaga kerja kegiatan
usaha.di DKI Jakarta.

Universitas Indonesia 63
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.10.2.
Jumlah Tenaga Kerja menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
Tidak Dapat
Usaha Usaha Usaha Usaha
Kodya Diiden- Jumlah
Mikro Kecil Menengah Besar
tifikasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Jakarta
Selatan 225.927 213.798 98.636 207.571 17.046 762.978

Jakarta
Timur 243.007 206.530 43.676 107.020 2.967 603.200

Jakarta
Pusat 149.120 205.303 69.303 206.096 13.004 642.826

Jakarta
Barat 298.719 250.404 80.272 103.167 2.455 735.017

Jakarta
Utara & 202.465 187.032 80.072 199.478 3.862 672.909
Kep Seribu

DKI Jakarta 1.119.238 1.063.067 371.959 823.332 39.334 3.416.930


Sumber: Potret Dunia Usaha DKI Jakarta 2006, Ulasan Ringkas Hasil Pendaftaran
Perusahaan/Usaha Sensus Ekonomi 2006, BPS Propinsi DKI Jakarta 2006.

Adapun jenis-jenis komoditi yang diolah oleh industri kecil di DKI Jakarta
adalah bermacam-macam, meliputi makanan, minuman, pakaian, kulit, kayu, batu
dan logam (lihat Lampiran 1).
Informasi yang lebih ditail dari profil UMK di Jakarta penulis peroleh dari
Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga 2005 (BPS Propinsi DKI
Jakarta 2006). Survai IKKR ini dikhususkan pada usaha industri tempe tahu,
pakaian jadi, dan industri mebel dari kayu. Dilakukannya survai pada ketiga jenis
usaha industri ini karena usaha industri ini menyerap banyak tenaga kerja.
Hasil survai menginformasikan bahwa karakteristik ketiga jenis usaha
industri tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, baik dari bentuk
segi usaha, pelaku usaha dan kendala yang dihadapi:
1. Bentuk usaha merupakan usaha perorangan.
2. Pelaku usaha didominasi oleh laki-laki, dengan pendidikan paling tinggi
SLTA. Demikian juga untuk tenaga kerja, didominasi oleh laki-laki dengan
tingkat pendidikan paling tinggi SLTA. Jenis usaha industri ini memang lebih

Universitas Indonesia 64
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
memerlukan tenaga kerja terampil dan berpengalaman daripada tenaga kerja
berpendidikan.
3. Pada umumnya mereka memiliki dua golongan tenaga kerja, yaitu tenaga kerja
yang dibayar dan tenaga kerja yang tidak dibayar. Gaji atau upah yang
diberikan kepada pekerja pada umumnya rendah, sekitar Rp.600 ribu sampai
dengan Rp.1juta.
4. Biaya produksi diluar balas jasa tenaga kerja sebagian besar untuk biaya bahan
baku, jumlahnya sekitar Rp. 10juta sampai dengan Rp.20juta.per bulan
Sedangkan total nilai produksinya sekitar Rp.13juta sampai dengan Rp.23juta
per bulan. Ini berati keuntungan per bulan kira-kira sebesar Rp.3juta.
5. Dari segi permodalan, pada umumnya adalah modal sendiri. Jika ada modal
dari pihak lain, modal tersebut pada umumnya adalah pinjaman perorangan.
6. Hubungan dengan perbankan pada umumnya terkendala oleh bentuk usaha
yang tidak berbadan hukum dan penjaminan yang tidak jelas.
7. Untuk mengatasi kendala permodalan dan juga kendala lain, pada umumnya
usaha industri kecil ini tempe tahu bergabung dalam asosiasi atau koperasi
sejenis; sedangkan untuk industri pakaian jadi danmebel hanya sebagian kecil
saja yang bergabung dalam asosiasi atau koperasi.
8. Mengenai prospek usaha, pada umumnya mereka juga apatis; tidak pesimis
tetapi juga tidak optimis.
9. Motivasi usaha mereka adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan tidak tampak orientasinya pada pengembangan usaha. Permodalan dan
pemasaran tampaknya tetap merupakan kendala umum bagi UMK di DKI
Jakarta.

2.11. Dilema yang dihadapi Industri Kecil Tempe Tahu.

Dalam hal tenaga dan pengupahan, industri kecil tempe tahu tidak
mengalami kendala. Tenaga cukup tersedia dari anggota keluarga atau kerabat,
sehingga upahnya dapat ditetapkan secara kekeluargaan. Dalam hal energi untuk
pengolahan, industri kecil ini juga tidak mengalami kendala. Kenaikan harga
minyak dan gas tidak menjadi masalah, karena dapat diganti dengan arang dan
kayu bakar. Kayu bakar yang dimaksud bukanlah kayu bakar dalam bentuk batang

Universitas Indonesia 65
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
atau ranting pohon hasil tebangan, melainkan berasal dari bekas bahan bangunan,
bekas peti kemas ataupun bekas perlatan mebel yang sudah tidak dapat dipakai
lagi. Distribusi, transportasi dan pemasaran juga bukan masalah. Alat tranportasi
untuk distribusi dan pemasaran pada umumnya adalah sepeda motor. Namun pada
dasarnya para perajin tidak perlu mendistribusikan sendiri tempe tahu yang
mereka hasilkan, sebab para pelanggan (pedagang) sudah mengambilnya
sendiri.dan mendistribusikannya ke pasar atau ke konsumennya masing-masing.
Satu-satunya kendala yang dihadapi oleh para perajin industri kecil tempe
tahu adalah semakin mahalnya bahan baku yaitu kedelai yang berkualitas baik.
Kedelai lokal kualitasnya rendah dan harganya lebih mahal daripada kedelai
impor. Saat para perajin lebih memilih kedelai impor, harga kedelai impor
semakin mahal mengikuti harga pasar bebas. Sementara itu kedelai lokal mulai
langka karena para petani kedelai cenderung beralih ke tanaman lain yang harga-
jualnya lebih mampu berasaing dan lebih menguntungkan.
Rubrik Ekonomi & Bisnis dalam ANTARA News, Jumat 18 Januari 2008
mengemukanan head line berjudul Liberalisasi Tata Niaga Jadi Perusak Harga
Kedelai. Mengutip penjelasan Direktur Budidya Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian Muchlizar
Murkam, ANTARA News menulis beberapa hal sebagai berikut: Waktu Bulog
masih memegang kendali tahun 1992, Indonesia justru bisa swasembada kedelai
dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun. Akan tetapi semenjak
liberalisasi, tata niaga kedelai di Indonesia mengikuti tata niaga dunia.
Diinformasikan oleh Direktur Budidya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian bahwa waktu Bulog
masih memegang kendali tahun 1992, Indonesia justru dapat mengalami
swasembada kedelai dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun. Tapi,
semenjak liberalisasi dan mengikuti tata niaga dunia, maka pasarlah yang
mengatur. Diakui pula bahwa Departemen Pertanian tidak dapat memacu para
petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai, jika harga kedelai di tanah
air tidak dapat bersaing.
Menurut beliau, saat ini tata niaga dunia dimonopoli Amerika Serikat
(AS). Pemberian kemudahan impor kedelai dari AS tentu membuat produk

Universitas Indonesia 66
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pertanian tersebut jauh lebih murah dibanding harga kedelai dalam negeri. Hal
tersebut, dinilainya, menyebabkan para petani kedelai enggan mengembangkan
produk pertanian tersebut dan lebih memilih harga komoditas pertanian yang
memiliki harga jual tinggi. Departemen Pertanian tidak dapat membiarkan petani
terus merugi karena harga yang tidak bersaing. Karena itu Departemen Pertanian
mendukung petani yang ingin mengembangkan produk pertanian yang lebih
memiliki harga jual dibanding kedelai. Karena itu petani dibebaskan beralih
ketanaman lain. Akibatnya, dalam kurun waktu 10 tahun lahan pertanian kedelai
berkurang dari 1,6 juta hektar menjadi 600.000 hektar saja.
Departemen Pertanian juga sudah mengetahui, sebenarnya petani kedelai
sudah sejak lama ingin melakukan demonstrasi ke Istana Negara untuk menuntut
dinaikannya harga kedelai. Direktur Budidya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian Muchlizar Murkam
juga menjelaskan bahwa sudah sejak 10 tahun lalu petani kedelai menjerit karena
harga jual kedelai dalam negeri selalu kalah bersaing. Kepada ANTARA beliau
menunjukkan data yang dikeluarkan BPS, yaitu bahwa harga kedelai dalam negeri
tidak dapat bersaing: Tahun 2005 harga kedelai impor Rp2.800, sedangkan harga
kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600
sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai
impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram. Beliau juga
menginformasikan bahwa upaya menarik petani untuk mau beralih lagi menanam
kedelai di tahun 2007 telah dilakukan dengan cara memberikan bantuan benih
gratis untuk lahan seluas 313.489 hektar, yang kemudian direvisi menjadi 260.000
hektar. Namun, sangat disayangkan petani tidak tertarik menanam kedelai akibat
harga kedelai yang tidak bersaing.

2.12.Beberapa hasil penelitian empirik perilaku ramah lingkungan lingkungan


Usaha Kecil.

Judith Petts, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998) melaporkan hasil
penelitiannya yang bermaksud mengeksplorasi links antara perilaku lapisan
manajemen dan non-manajemen terhadap lingkungan dan response secara
organisasi di kalangan SME. Subyek penelitian adalah usaha kecil (10-49 pekerja)

Universitas Indonesia 67
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan menengah (50-249) pekerja. Kelompok usaha mikro tidak diteliti karena
potensi polusinya sulit diidentifikasi. Untuk mengatasi masalah akibat terlalu
hetrogennya SME, peneliti mempergunakan multiple methods. Laporan ini
mengidentifikasi lingkup dan cara dimana sikap pribadi dapat dipicu untuk
memotivasi, mengaktifkan dan membantu mengoperasionalkan respon
perusahaan terhadap lingkungan.
Dalam laporan ini ditunjukkan adanya sikap positif yang kuat terhadap
lingkungan pada pribadi-pribadi. Pada perusahaan-perusahaan yang lebih
proaktif, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya elemen-elemen pembelajaran
organisasional yang dapat membantu mengejawantahkan sikap menjadi perilaku
yang efektif; dalam hal ini termasuk struktur manajemen yang mendukung,
pelatihan dan komunkasi dua arah dan adanya tokoh-tokoh champion di dalam
perusahaan; di samping adanya keterbatasan-keterbatasan perusahaan. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan dapat melakukan
apresiasi tersebut sehubungan dengan hambatan struktural internal perusahaan
maupun kemampuan perusahaan dalam mengakses sumber-sumber yang relevan.
Fiona Tilley (1999) melakukan penelitian yang bermaksud mencari
pengertian dan makna dari sikap dan perilaku usaha kecil terhadap lingkungan.
Dengan teknik penelitian kualitatif data dikumpulkan melalui wawancara
mendalam terhadap 60 usaha kecil bidang jasa dan perbengkelan di kota Leeds,
West Yokshire. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa usaha kecil
menghadapi kesulitan serius dalam merespon tekanan-tekanan lingkungan.
Sehubungan dengan karaktersitik uniknya, usaha kecil tidak dapat diharapkan ikut
menerapkan solusi sebagaimana telah dikembangkan untuk dan oleh usaha yang
lebih besar, sekalipun skalanya telah diturunkan. Diindikasikan bahwa
pemilik/manager tertentu dari manufaktur dan usaha kecil perlu berjuang untuk
menjembatani gap antara attitude terhadap lingkungan dan behavior terhadap
lingkungan; gap antara aspirasi dan praktik. Sebagian masalahnya terletak pada
dominannya paradigma lama yang menciptakan seperangkat nilai, baik pribadi
maupun korporat, yang tidak mampu mengakomodasi persoalan-persoalan
lingkungan dewasa ini. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu membuat kita pesimis.
Ada beberapa kekuatan pendorong yang diharapkan dapat merubah usaha kecil ke

Universitas Indonesia 68
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
arah yang lebih sustainable. Sejumlah solusi muncul dan menawarkan jalan keluar
pada level perusahaan, misalnya ekologi industri, atau pada level institusional,
misalnya modernisasi ekologi. Akan tetapi yang masih perlu adalah dukungan
yang lebih bagi pendidikan lingkungan dan program-program pelatihan serta
kerangka regulasi yang lebih kuat dalam rangka mengatasi ketidak-seimbangan
anta factor-faktor resistan dan faktor-faktor pendorong yang dewasa ini
memperlebar gap antara sikap dan perilaku lingkungan di kalangan usaha kecil.
Michael T. Rock dan Jean Aden (1999) melaporkan hasil survainya
terhadap industri-industri manufaktur di Semarang. Survai dilakukan terhadap 121
industri menengah dan besar yang paling potensial mencemari lingkungan, yaitu
industri kimia, industri pengolahan makanan dan minuman, industri tekstil dan
industri lainnya terutama industri pemoresan kayu. Pengujian hipotesis
mempergunakan analisis regresi. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa
perilaku untuk ramah lingkungan pada industri-industri manufaktur di Semarang
berhubungan signifikan dengan besarnya perusahaan, umur perusahaan, teguran
dan monitoring dari pemerintah, tekanan dari masyarakat sekitar, dan
keringanan fiscal serta kemampuan finansial perusahaan. Sedangkan mengenai
berapa besarnya pengeluaran perusahaan untuk penggunaan peralatan pengendali
polusi, lebih tergantung dari sector atau produk yang dihasilkan perusahaan.
Industri kimia pada umumnya memiliki peralatan pengendali polusi yang
memerlukan biaya tinggi.
Martin Lindell dan Necmi Karagozoglu (2001) meneliti dan
membandingkan opini para manager di negara-negara Nordic dan Amerika
Serikat mengenai persoalan-persoalan lingkungan. 645 kuesioner dikirimkan
kepada para manager senior terutama pada perusahaan-perusahaan kehutanan dan
kertas, eletronika, telekomunikasi dan percetakan. Dilaporkan response rate hanya
sebesar 26 %, meliputi usaha kecil dengan kurang dari 50 pekerja sampai ke
perusahaan yang lebih besar dengan 10.000 pekerja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan alasan waktu yang tersedia untuk penyesuaian
dirasakan sangat pendek, maka para manager perusahaan di Amerika Serikat
cenderung lebih luwes dalam mentaati peraturan perundangan lingkungan jika
dibandingkan dengan para menager Nordic. Menurut pandangan para manajer

Universitas Indonesia 69
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Amerika, di samping terlalu ketat peraturan perundangan lingkungan di Amerika
Serikat kurang memberikan dukungan terhadap adaptasi yang kreatif. Mengenai
pro-activeness dan inovasi lingkungan, adalah tidak ada perbedaan antara
manager AS dan Nordic. Akan tetapi para manager AS melaporkan kurangnya
tenaga terlatih di perusahaannya. Mengenai environmental actions, baik manager
di AS maupun di Nordic mengaku siap melebihi kompetitornya. Akan tetapi para
manager Nordic cenderung lebih bersikap poisitf terhadap competitive effects dan
manfaat environmental measures.
Michael Schaper (2002) melakukan studi yang bertujuan untuk
menetapkan factor-faktor dapat memprediksi tingkat tanggungjawab lingkungan
dari perilaku bisnis di kalangan UKM. Variabel-variabel yang diuji meliputi sikap
mengenai lingkungan dari para pemilik/manajer, karakteristik demografik pemilik,
dan variable-variabel eksternal seperti permintaan konsumen, ketersediaan modal,
besarnya usaha, waktu dan sumber-informasi. Pengujian dilakukan terhadap 154
pemilik/manajer toko obat di Australia Barat. Hasilnya menunjukkan tingginya
“green” attitudes di kalangan pemilik/manajer usaha, tetapi tidak ada hubungan
signifikan antara sikap tersebut dengan kinerja actual dari usaha tersebut.
Karaktersitik demografis pemilik/manajer juga tidak berhubungan dengan tingkat
kinerja lingkungan. “Green” activities tampaknya berhubungan positif signifikan
dengan waktu dan informasi yang dimiliki oleh manajer/pemilik.
Clare D’Souza dan Roman Preretiatko (2002) melakukan survai mengenai
hubungan industrialisasi dengan pengelolaan lingkungan di dua kota industri di
India, yaitu Gujarat dan Maharashtra. Sampel terdiri dari 63 industri kecil dan 49
industri besar. Dengan mempergunakan analisis Chi Square, peneliti
menghasilkan 4 kesimpulan dari empat hipotesisnya. Yang pertama, ada
perbedaan signifikan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar dalam
pemahamannya mengenai permasalahan kebijakan-kebijakan lingkungan;
perusahaan kecil cenderung tidak memahami isues maupun kebijakan lingkungan.
Yang ke dua, ada perbedaan signifikan antara perusahaan besar dan perusahaan
kecil dalam kesediaannya mempergunakan peralatan pengendali polusi.
Perusahaan kecil cenderung tidak mempergunakan peralatan pengendali polusi
dengan alasan kurang memberikan keuntungan. Yang ke tiga, dengan demikian

Universitas Indonesia 70
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dalam proses produksi, perusahaan kecil cenderung tidak mengikuti prosedur
green manufacturing process sebagaimana di lakukan oleh perusahaan-
perusahaan besar. Kemudian kesimpulan yang ke empat menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan kecil cenderung tidak mentaati perturan-peraturan
lingkungan yang ada, kecuali jika sedang dikontrol oleh pemerintah.
David Hitchens, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, dan Samarthia
Thankappan (2003), melakukan penelitian selama empat tahun guna mengukur
hubungan antara persaingan usaha, budaya manajemen lingkungan, pentingnya
bimbingan eksternal dalam penggunaan cleaner production, dan kinerja
lingkungan pada usaha kecil dan menengah sektor manfaktur furniture di Irlandia,
Jerman dan Itali. Penelitian dilakukan dengan kuesioner melalui pos dan juga
wawancara setengah terstruktur. Masing-masing Negara diambil 100 sampel
untuk kuesioner pos dan 33 sampel untuk wawancara. Daftar pertanyaan yang
dipergunakan adalah daftar pertanyaan yang uga dipakai untuk sector textile
finishing dan fruit and vegetable processing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kendali biaya dan penguasaan pasar adalah penting, hampir sama pentingnya
dengan regulasi. Akan tetapi inisiatif lingkungan yang dilakukan tidak memiliki
impak terhadap kinerja biaya dan pasar. Tidak ada hubungan signifikan antara
inisiatif lingkungan dengan kinerja perusahaan secara ekonomi. Inisiatif
lingkungan juga tidak berhubungan dengan sikap manajemen lingkungan.
Sementara itu bimbingan lingkungan meskipun relevan dan gratis, tidak
dimanfaatkan oleh SME. Kendala yang dihadapi adalah permodalan, poor
payback, prioritas rendah, kurang waktu dan tidak adanya ketrampilan atau
bimbingan. Menurut pembimbing lingkungan, kendalanya adalah factor sumber
daya, khususnya waktu dan modal, skeptisme bahwa inisiatif lingkungan kurang
memberi keuntungan ekonomi, dan kecenderungan resistance to change, persepsi
terhadap lingkungan serta tidak dikehendakinya interupsi dalam kegiatan-kegiatan
produksi.
Andrea Revell (2003) melakukan penelitian yang bermaksud
mengeksplorasi praktik-praktik ramah lingkungan pada kalangan usaha kecil dan
menengah di UK, dengan mempergunakan teori EM sebagai alat analisis.
Penelitian yang disponsori oleh European Social Research Council (ESRC) ini

Universitas Indonesia 71
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap pemilik-manager 40
perusahaan di London dan Leeds, termasuk wawancara terhadap 10 informan
kunci dari pihak perindustrian dan pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang
diteliti adalah industri bangunan dan restoran. Pertanyaan penelitian diajukan
sesuai dengan prinsip-prinsip EM. Pertama, dinamika pasar dan agen-agen
ekonomi memiliki peranan penting dalam meningkatkan restrukturisasi ekologis.
Pertanyaanya adalah: apakah UKM-UKM yang diteliti menunjukkan tanda-tanda
restrukturisasi ekologi? Apakah dinamika pasar mendorong restrukturisasi
tersebut? Kedua, terdapat kecenderungan munculnya ideologi-ideologi baru
dalam dunia bisnis, masyarakat umum dan arena politik, yaitu environmental
concern. Pertanyaannya adalah: apakah para pemilik-manager melaksanakan
usaha engan prinsip sustainabilitas? Apakah kegiatan ekonomi dan meningkatnya
interest pada lingkungan itu compatible? Ketiga, modernisasi politik di negara-
negara maju telah mentransformasi peranan pemerintah dari kebijakan gaya
komando dan kontrol ke pendekatan “streering” yang menekan market-based
incentives seperti pajak-pajak lingkungan dan kesepakatan-kesepakatan sukarela
serta meningkatnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan-kebijakan.
Pertanyaannya adalah: apakah kebijakan pemerintah mendorong kegiatan UKM
ramah lingkungan?
Hasil penelitian sementara memberikan jawaban bahwa pada umumnya
para pengusaha mengetahui banyak mengenai bahan-bahan yang berbahaya dan
beracun dan tidak aman bagi kesehatan. Akan tetapi mereka kurang merasa
harus bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan atas penggunaan bahan-
bahan tersebut. Di samping itu mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa karena
hanya itu yang tersedia dan murah. Mengenai tuntutan pasar untuk ramah
lingkungan, hasil sementara penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk
pro aktif memenuhi standar lingkungan seperti eco labeling, internal audits dan
ISO14000 cenderung hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
lebih besar atau yang bergabung di dalam konsorsium atau bersubsidi di bawah
afiliasi perusahaan induk. Faktor biaya dan persaingan yang tinggi juga menjadi
alasan bagi perusahaan untuk tidak mengutamakan pentingnya ramah lingkungan
dan sustainabilitas. Di samping itu bahan-bahan yang ramah lingkungan pada

Universitas Indonesia 72
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
umumnya kurang awet. Para pemilik-manager perusahaan menyadari bahwa
untuk sampai pada UKM yang ramah lingkungan diperlukan regulasi dari
pemerintah. Akan tetapi menurut mereka inforcement-nya di lapangan masih
sangat kurang.
Ramjeawon (2004) mendeskripsikan perbedaan kemampuan industri
menengah dan industri kecil di Mauritius dalam melaksanakan Cleaner
Production dan pengendalian polusi. Dilaporkan bahwa ke dua jenis industri yang
diteliti melalui studi kasus, adalah sama-sama membawa dampak pada
lingkungan. Pada industri kecil yang diteliti, yaitu industri-industri pengolahan
kulit yang pada umumnya tersebar di pemukiman penduduk, ditemukan tidak
mampu dalam melaksanakan Cleaner Production dan pengendalian polusi.
Ketidakmampuan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti:
ketidakmampuan perusahaan dalam mengakses sumber-sumber investasi untuk
pengendalian polusi, tingkat teknologi yang rendah, kekurangan ruang dan
waktu, tidak tersedianya tenaga yang terlatih dalam bidang lingkungan, dan
memang tidak ada kemauan dan komitmen dari pihak management untuk
berinvestasi dalam perlindungan lingkungan, serta tidak adanya alokasi
tanggungjawab yang jelas antara perencana dan pelaksanaan kegiatan, termasuk
tidak adanya kontrol dari pemerintah. Pada industri yang lebih besar, yang dalam
penelitian tersebut diwakili oleh industri pengolahan minuman beer, modal dan
teknologinya mampu menghasilkan Cleaner Production. Management perusahaan
ini adalah focus on quality, product improvement, on brand and company image,
memiliki tanaga ahli pengendalian polusi dan kesadaaran lingkungan yang tinggi
pada level management, dan memang ada kontrol dari pemerintah melalui
monitoring effluent; serta bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat dalam
rangka peningkatan teknologi dan pengendalian limbah.
Mark Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede dan Chwen Sheu
(2004) melakukan penelitian terhadap para supply chain manager pada berbagai
level perusahaan kecil, menengah sampai ke yang besar. Sampel diambil
sebanyak 64 perusahaan di Taiwan dan 39 perusahaan di Amerika Serikat. Para
peneliti berangkat dengan asumsi bahwa environmental management yang
dilakukan oleh para pelaku usaha adalah dilatar-belakangi oleh kondisi persaingan

Universitas Indonesia 73
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
yang dihadapi. Dalam hal ini ada dua jenis lingkungan bisnis berdasarkan pola
persaingannya, yaitu lingkungan yang bersifat hostility dan lingkungan yang
bersifat dynamism. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa ke dua jenis lingkungan
persaingan tersebut adalah sama, keduanya berhubungan positif terhadap tingkat
investasi dalam manajemen lingkungan. Hipotesis lainnya adalah bahwa investasi
dalam manajemen lingkungan memiliki dampak terhadap kinerja perusahaan.
Dengan path analysis diperoleh kesimpulan bahwa lingkungan persaingan
yang dinamis yang memiliki hubungan positif dengan investasi dalam manajemen
lingkungan, sedangkan lingkungan yang bersifat hostility adalah tidak.
Kesimpulan lainnya adalah bahwa investasi dalam manajemen lingkungan
memang terbukti signifikan beruhubungan positif dengan kinerja perusahaan.
Andreas Diekman dan Peter Preisendörfer (2003) melakukan penelitian
mengenai the behavioral effets of environmental attitudes dalam kaitannya dengan
ketersediaan biaya. Penelitian ini tidak khusus dilakukan tehadap para pengusaha
kecil, melainkan kepada penduduk pada umumnya, yaitu di beberapa kawasan di
Jerman Barat dan Jerman Timur, dengan sample masing-masing 1.095 dan 2.307
responden. Beberapa indikator environmental behavior yang diteliti adalah
relevan dengan indikator environmental behavior pada kegiatan usaha, seperti
partisipasi dalam kegiatan daur ulang, pola konsumsi dan penggunaan produk eco-
label dan penghematan energi dan air. Penelitian ini bermaksud menguji the low-
cost hypothesis dari rational choices theory.
Dengan mempergunakan t-test peneleliti melakukan komparasi aspek
kepedulian lingkungan pada kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan
kepedulian lingkungan pada kegiatan yang murah atau tidak memerlukan biaya
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kepedulian lingkungan cenderung terwujud
dalam bentuk perilaku nyata jika tidak mengakibatkan atau memerlukan biaya
lebih tinggi. Peneliti juga mengajukan hipotesis baru, bahwa pada dasarnya biaya
tinggi dalam kehidupan masyarakat dapat ditekan melalui perencanaan sosial dan
regulasi yang baik. Itu berarti hipotesis selanjutnya adalah bahwa realisasi sikap
peduli lingkungan menjadi tindakan nyata peduli lingkungan adalah ditentukan
oleh perencanaan sosial dan regulasi yang ada.

Universitas Indonesia 74
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Robert Emmet Jones dan Riley E. Dunlap (1992/2001) melakukan
penelitian mengenai kaitan antara sikap kepedulian lingkungan dengan
karakteristik sosial-politik dengan memanfaatkan data yang telah dikumpulkan
oleh NORC General Social Survey mulai tahun 1973 sd. 1990, kecuali tahun 1979
dan 1981. Setiap survai menjangkau antara 1.352 sd. 1.592 responden. Sikap
kepedulian lingkungan diukur dengan jumlah pengeluaran untuk kegiatan-
kegiatan yang berkenaan dengan environmental protection. Sedangkan variable-
variabel sosial-politik meliputi umur, ideologi politik, pendidikan, tempat tinggal
pada umur 16 tahun (masa anak/remaja), tempat tinggal sekarang, partai politik,
sektor industri tempat bekerja, penghasilan keluarga, gender, race dan
occupational prestige. Data dianalisis dengan mempergunakan analisis bivariat
dan standardized regession coefficients, multiple correlation coefficients. Hasilnya
adalah bahwa prediktor sangat signifikan untuk kepedulian lingkungan adalah
umur, dalam hal ini didominasi oleh kalangan dewasa muda. Prediktor berikutnya,
signifikan, adalah ideology politik, pendidikan, tempat tinggal masa remaja.
Dalam hal ini kepedulian lingkungan didominasi oleh penganut ideologi liberal,
berpendidikan tinggi dan dibesarkan di kawasan urban. Pridiktor selanjutnya,
cukup signifikan, adalah tempat tinggal sekarang, partai politik dan sektor industri
tempat bekerja, yang dalam hal ini adalah responden yang bertempat tinggal di
kawasan urban, berafiliasi pada partai Demokrat dan tidak bekerja pada
perusahaan ekstraktif. Survai memang tidak dimaksudkan untuk meneliti perilaku
usaha kecil, namun cukup relevan untuk diterapkan pada penelitan kepedulian
lingkungan para pelaku usaha kecil.

Universitas Indonesia 75
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Konsep Ramah Lingkungan


Pada prinsipnya, ramah lingkungan berarti tidak mencemari
lingkungan, yaitu tidak merusak lingkungan, tidak memasukkan makhluk
hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke lingkungan hidup sehingga
kualitas lingkungan tersebut turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan (lihat Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 1997).
Mengikuti konsep dari UNEP (2006), cleaner production atau kegiatan
produksi ramah lingkungan adalah pendekatan preventif dalam kegiatan
produksi yang berorientasi pada proses pengelolaan lingkungan.
Cleaner production mengutamakan pengurangan konsumsi sumber dan
mencegah munculnya generasi sampah dan polutan.
Cleaner production bukan saja merupakan peningkatan kinerja
linkungan, tetapi juga meliputi efisiensi, financial savings, guna
meningkatkan kemampuan bersaing di pasar dimana konsumen lebih peduli
terhadap lingkungan.
Cleaner production adalah aplikasi kontinyu dari strategi lingkungan
yang preventif dan terintegrasi ke dalam proses-proses, produk dan jasa untuk
meningkatkan efisiensi yang menyeluruh dan mengurangi risiko-risiko bagi
manusia maupun lingkungan.
Dari segi proses, cleaner production dihasilkan dari kombinasi atas
konservasi bahan baku, air, energi, pengurangan bahan B3, pengurangan
limbah B3 dan emisi udara serta sampah selama proses produksi.
Dari segi produk, cleaner production bertujuan mengurangi dampak
buruk bagi lingkungan, kesehatan dan keselamatan sehubungan dengan
masuknya produk-produk tersebut ke dalam siklus kehidupan, mulai dari
proses ekstraksi bahan mentah, proses produksi dan konsumsi, sampai produk
itu dibuang kembali.

Universitas Indonesia 76
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
3.2. Strategi dalam Pengumpulan Data.

Untuk mencapai tujuan penelitian dimana peneliti bermaksud


memperoleh informasi spesifik yang mendalam mengenai struktur sosial
beserta proses-proses yang ada, maka penelitian ini dilaksanakan terutama
dengan mempergunakan pendekatan dan strategi field study.
Penelitian ini juga bermaksud memperoleh gambaran umum mengenai
karakteristik perusahaan yang ada di lingkungan penelitian, termasuk juga
karateristik para pemiliknya, dan juga untuk memperoleh gambaran umum
mengenai intensitas praktik ramah lingkungan masing-masing usaha tersebut.
Karena itu penelitian ini juga mempergunakan pendekatan dan strategi survai
pada masing-masing rumah tangga unit usaha.

a. Field Study:

Sub-sub tema studi komunitas pada penelitian ini meliputi aspek fisik
dan aspek sosial budaya komunitas. Sub-sub tema studi pada aspek fisik
lingkungan meliputi:
• tata guna lahan,
• konstruksi masyarakat setempat mengenai kondisi estetika
lingkungan,
• keanekaragaman flora dan fauna,
• kesuburan tanah,
• kelayakan sumur-sumur sumber air minum,
• keanekaragaman penyakit,
• tingkat kematian.

Sedangkan aspek sosial budaya meliputi:


• asal-usul dan legalitas penghunian,
• struktur kepemimpinan,
• demografi dan stratifikasi sosial,
• kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan,
• kegiatan-kegiatan ekonomi,
• kegiatan-kegiatan politik,

Universitas Indonesia 77
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
• kegiatan-kegiatan seni-budaya,
• kegiatan penanganan limbah dan kebersihan lingkungan,
• paguyuban-paguyuban,
• nilai, norma, definisi, persepsi dan kebiasaan-kebiasaan yang
berkaitan dengan lingkungan,
• kehidupan keagamaan yang berkaitan dengan lingkungan,
• tingkat kriminal, fasilitas dan organisasi Kamtib,
• fasilitas kesehatan,
• pengalaman bencana, dan
• fasilitas penanganan sampah/limbah.
• harapan-harapan ke depan.

Untuk memperoleh data tersebut penulis melakukan wawancara


mendalam terhadap para pimpinan instansi atau organisasi sosial setempat
dan juga tokoh-tokoh setempat sebagai informan. Dari para pimpinan
setempat penulis juga memperoleh bahan-bahan tertulis ataupun visual
yang relevan. Di samping itu penulis juga melakukan observasi dan
partisipasi seperlunya guna memperoleh data yang relevan baik verbal
maupun non verbal. Pedoman dan hasil field study terlampir.
Sebelum penulis masuk lingkungan penelitian secara resmi, penulis
melakukan orientasi sebagai pelancong, menjadi pelanggan tahu dan
menjadi pelanggan tempe untuk melihat dapur dan proses produksi, dan
menjadi pelanggan sebuah warung makan sederhana, sambil melihat-lihat
sekeliling, sering duduk dan mendengarkan percakapan orang-orang di
mushola atau pos keamanan RW, dan setelah satu bulan berlangsung
akhirnya penulis masuk kantor Koperasi untuk memperkenalkan diri dan
mengurus ijin secara resmi. Pengurus berharap agar kehadiran penulis
bukan semata-mata untuk mengadakan penelitian tetapi juga memotivasi
dan membantu memaksimalkan aktivitas Koperasi sebagai koperasi.
Demikianlah sejak Juni 2006, kehadiran penulis diterima secara positif.
Karena itu dengan wibawa dari Pengurus Koperasi, penulis leluasa

Universitas Indonesia 78
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
melakukan observasi dan partisipasi dan berinteraksi dengan setiap
anggota.
Bentuk partisipasi yang penulis lakukan antara lain hadir dalam
pertemuan-pertemuan pimpinan PRIMKOPTI, hadir dalam kegiatan-
kegiatan penyuluhan kesehatan lingkungan dan pengolahan limbah,
kegiatan pengobatan massal, dan memberi masukan kepada tokoh-tokoh
setempat dalam menyusun proposal dan mengurus kerjasama nasional dan
internasional bidang pengelolaan lingkungan. Sudah barang tentu penulis
melakukan wawancara mendalam terhadap para pimpinan instansi atau
organisasi sosial setempat dan juga tokoh-tokoh setempat sebagai
informan. Dari para pimpinan setempat penulis memperoleh bahan-bahan
tertulis ataupun visual yang relevan. Penulis juga diijinkan melakukan
perekaman dan fotografi.
Berdasarkan hasil field study ini penulis menyempurnakan kerangka
pemikiran dan menyusun ideas yang lebih terfokus dan spesifik
sebagaimana telah disebutkan di muka. Dari ideas inilah penulis
menyusun kuesioner dan melakukan survai. Dengan demikian pada
dasarnya survai ini adalah bagian dari field study.

b. Survey:

Survai yang penulis lakukan dimaksudkan untuk lebih


mengoperasionalkan sub-sub ideas yang sudah dihasilkan dari studi
pustaka maupun field study. Dalam hal ini survai dimaksudkan untuk
memperoleh data mengenai gambaran umum karakteristik usaha yang ada
di lingkungan penelitian, termasuk juga karateristik para pemiliknya, dan
juga untuk memperoleh gambaran umum mengenai intensitas praktik
ramah lingkungan masing-masing usaha tersebut. Dengan demikikan
survai ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari field study.

Karakteristik usaha yang penulis teliti meliputi:


• status usaha,
• jumlah tenaga kerja,

Universitas Indonesia 79
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
• jumlah jam kerja,
• asosiasi yang diikuti,
• aset dan permodalan,
• kondisi SDM,
• cara memperoleh bahan baku dan energi,
• manajemen usaha,
• pembiayaan dan produktivitas,
• cara pemasaran,
• persaingan, dan masalah-masalah yang dihadapi.

Sedangkan untuk karakteristik individu pemilik usaha, penulis


mengumpulkan data tentang:
• kondisi sosial ekonomi
• kondisi keluarga

Kemudian untuk indikator perilaku ramah lingkungan, penulis


mengikuti criteria dari UNEP (2006). Untuk pengumpulan data mengenai
praktik ramah lingkungan ini individual ini, penulis ini mempergunakan
kuesioner dengan memanfaatkan seperlunya instrumen-instrumen yang
sudah lazim seperti Environmental Management Tools for SME: A
Handbook (Anderson 1998), Environmental Auditing Package (Lowry
1996), Audit Lingkungan (Tardan dkk 1997), The Environmental Self-
Audit for Small Business (Pataki 2003) Panduan Penerapan Produksi
Bersih Industri Kecil Tahu (PPBN, GTZ dan KLH 2006). Aspek-aspek
dari variabel perilaku ramah lingkungan tersebut meliputi:
• pertimbangan pemilihan lokasi usaha
• kesehatan ruang usaha
• keamanan ruang usaha
• penggunaan pakaian/perlengkapan keamanan bagi pekerja
• pengamanan bahan berbahaya dan beracun
• pengelolaan limbah gas
• pengelolaan limbah air

Universitas Indonesia 80
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
• pengelolaan limbah minyak/olie
• pengelolaan limbah padat
• pengelolaan kebisingan
• partisipasi dalam kebersihan lingkungan
• pencantuman informasi produk pada kemasan
• banyaknya protes/complain dari masyarakat sekitar
• partisipasi dalam usaha menuju produksi ramah lingkungan

Sumber data dan sampel untuk memperoleh data survai ini adalah
para pemilik usaha pengolahan tempe/tahu setempat. Mengingat
karakteristik populasi yang homogen, maka teknik pengambilan sampel
adalah cukup dengan cara aksidental. Jumlah unit usaha yang berhasil
”ditangkap” sampel adalah 98 unit dari total populasi 710 unit usaha.
Sebagian responden adalah anggota Koperasi PRIMKOPTI setempat, dan
sebagian lainnya belum menjadi anggota atau sudah tidak menjadi
anggota.

Penulis melakukan survai dengan membagikan kuesioner pada saat


pemilik usaha setempat mengikuti penyuluhan-penyuluhan di lingkungan
setempat, kemudian dilanjutkan dengan kunjungan wawancara dan
observasi ke rumah masing-masing sebagai lokasi usaha. Kuesioner diisi
oleh responden yang bersangkutan pada umumnya di tempat penyuluhan.
Penulis dan beberapa tokoh masyarakat setempat ikut memandu pengisian
kuesioner yang dimaksud.

Karena kehadiran penulis di lingkungan penelitian lebih banyak


sebagai partisipan, maka data hasil survai ini penulis diskusikan kembali
dengan responden dan juga para pengurus lingkungan melalui Focused
Group Discussion (FGD). Tujuan FGD ini bukan untuk validasi hasil
survai melainkan untuk melengkapi data yang sudah dikumpulkan pada
saat field study, khususnya data mengenai harapan-harapan warga
setempat untuk masa depan industri kecil tempe tahu. Dengan demikian
FGD ini merupakan bagian dari field study.

Universitas Indonesia 81
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
FGD penulis lakukan dengan mempergunakan pedoman yang penulis
sadur dari Pedoman Tata Kelola yang Apik untuk Produksi Bersih UKM
(PPBN, KLH dan GTZ). Pedoman terlampir.
FGD penulis lakukan dalam tiga tahap. Tahap yang pertama adalah
FGD terhadap Pengurus PIK-KOPTI setempat. FGD dengan pengurus ini
lebih bersifat presentasi dan pembahasan rencana rekomendasi
berdasarkan hasil penelitian penulis.
FGD tahap ke dua penulis lakukan terhadap baik Pengurus maupun
perwakilan warga setempat. FGD tahap kedua lebih bersifat lokakaya yang
terdiri dari 3 (tiga) sesi utama. Sesi yang pertama pertama adalah
presentasi hasil penelitian dan usulan rekomendasi penulis, dan presentasi
tanggapan Pengurus PIK KOPTI. Sesi ke dua adalah diskusi kelompok.
Pada diskusi kelompok ini peserta penulis bagi menjadi 4 (empat)
kelompok/bidang, yaitu Kelompok Teknik (10 orang), Kelompok
Ekonomi (12 orang), Kelompok Sosial (10 orang), dan Kelompok
Lingkungan (10 orang). Tujuan utama diskusi adalah membahas rencana
pembangunan percontohan pabrik pengolahan tempe milik
bersama/koperasi.

c. Studi dokumen dan analisis data sekunder

Studi dokumen dan analisis data sekunder pada dasarnya bukan


merupakan metoda penelitian yang penulis pergunakan untuk menjawab
permasalahan penelitian, melainkan merupakan bagian dari studi pustaka
untuk memperkuat hakikat permalahan penelitian. Sedangkan untuk
memperkuat argumentasinya penulis juga mempergunakan bahan-bahan
yang sudah dipublikasi di media massa.

3.3. Analisis dan Penyajian Data:

Data yang terkumpul baik melalui field study, survai ataupun FGD
dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif.
Di dalam survai penulis memang memberikan skor yang sepertinya
kuantitatif atas jawaban responden. Akan tetapi sesungguhnya penulis tidak

Universitas Indonesia 82
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pernah mempergunakan skala rasio murni. Misalnya pemberian skor jawaban
yang mengindikasikan ramah atau tidak ramah lingkungan, penulis
mempergunakan cara yang sangat sederhana. Untuk setiap jawaban yang
menunjukkan perilaku tidak ramah lingkungan diberikan skor -1 (minus satu).
Sebaliknya untuk setiap jawaban yang menunjukkan perilaku ramah
lingkungan diberikan +1 (plus satu). Data tidak dianalisis bersadarkan
individu atau dibiarkan tersebar, melainkan dikelompokkan atau
dikatagorikan. Pada variabel intensitas praktik ramah lingkungan ini, tidak
ada satupun responden yang jumlah skor plusnya dapat melebihi jumlah skor
minus. Artinya semuanya minus, bervariasi mulai dari 0 sampai dengan -30.
Untuk memberi semangat kepada responden, penulis tidak mengatakan
bahwa semua peserta survai adalah tidak ramah lingkungan; melainkan
penulis klasifikasi menjadi mendekati ramah lingkungan (skor 0 sd. -10),
kurang ramah lingkungan (skor -11 sd. -20), dan sama sekali tidak ramah
lingkungan (skor -21 sd. -30). Cara yang demikian penulis lakukan juga untuk
data lain yang menyangkut angka atau frekuensi atau seperti umur, jumlah
anak, jumlah pekerja dan tingkat asset
Pengolahan data dilakukan dengan mempergunakan alat bantu statistik
program SPSS. Karena sifat data yang pada umumnya berskala nominal, dan
yang berskala ”rasio” dikelompokkan menjadi berskala ordinal, maka teknik
korelasi yang dipergunakan untuk melihat validitas hubungan-hubungan
sebagaimana yang dirumuskan pada ideas, adalah cukup crosstab dengan
komputasi statistik chi-square.

Adapun daftar keseluruhan variabel, indikator, sumber data, jenis data dan teknik
pengumpulan data, kuesioner, matrik data dan komputasi SPSS, matrik data field
studi dan hasil data FGD, penulis laporkan pada Lampiran 4, 5, 6,7, 8,9.

Universitas Indonesia 83
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 4

GAMBARAN USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU


DI PIK KOPTI SEMANAN
JAKARTA BARAT
 

4.1. Akses Ke Lokasi

Gambar 1.
Lokasi Kelurahan Semanan di dalam Peta Jakarta Barat

Untuk mencapai lokasi penelitian, dapat diempuh melalui tiga akses: 1) Kampung
Malang yang terletak di bagian Utara kawasan. Jalur ini digunakan sebagian
besar untuk menuju Stasiun Kalideres. 2) Kampung Gagak atau Jl. Gagak yang
terletak di bagian Barat kawasan. Jalur ini adalah menuju Pasar Cengkareng. 3)
Jl. Semanan Raya, yang terletak di bagian Selatan kawasan dan merupakan akses

Universitas Indonesia 84
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
utama kawasan ini. Angkutan umum yang mendukung akses dari dan menuju
atau melalui kawasan ini adalah Mikrolet C15 Ciledug-Semanan, L25 Dongkal-
Poris, 04 Kebon Jeruk-Semanan-Stasiun KA Kalideres. Selain itu ada juga
angkutan “tuyul”/plat hitam.

KAWASAN KELURAHAN SEMANAN

PIK KOPTI
SEMANAN

Gambar 2.
Lokasi PIK KOPTI Semanan diunduh dengan GoogleEarth.

4.2. Asal-usul PRIMKOPTI Swakerta

Koperasi Produksi Tempe tahu Indonesia (KOPTI) Semanan dirintis sejak


tahun 1972 oleh para perajin tempe tahu yang mayoritas berasal dari Pekalongan
Jawa Tengah yang tersebar dan bercampur dengan kawasan pemukiman
penduduk di Wilayah Tambora, Grogol, Kebon Jeruk, Cengkareng dan Kali
Deres. Pada tahun 1990, atas dasar tekad dan keinginan para anggota untuk
mempunyai tempat usaha bersama, dan dengan dimotori oleh beberapa tokoh
anggota, serta kemudian memperoleh bantuan dan dukungan dari Pemda DKI
Jakarta, Menteri Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perumahan,
Koperasi berhasil membeli tanah eks milik KOPTINAS seluas 12 Ha di kawasan
Kelurahan Semanan Jakarta Barat sebagai lahan untuk pembangunan rumah
tinggal sekaligus rumah produksi bagi anggota. Kawasan itu disebut kemudian
dengan Perkampungan Industri Kecil (PIK) Semanan yang disermikan pada

Universitas Indonesia 85
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tahun 1992. Anggota dapat memiliknya dengan cara mengangsur atau dapat juga
menyewanya.

Gambar 3. Kantor KOPTI Swakerta Jakarta

Pada tahun 1994, KOPTI Semanan berganti nama menjadi PRIMKOPTI


Swakerta Jakarta Barat, berbadan hukum, dengan akta No. 10733b/BH/I/Tgl.26
Oktober 1994, dengan jumlah anggota sebanyak 762 orang. Kepengurusan yang
berjalan sekarang ini adalah kepengurusan tahun 2004-2007 hasil Rapat Anggota
Luar Biasa. Semula kegiatan usaha Koperasi meliputi 1) penyaluran bahan baku
kedelai, 2) penyediaan bahan pembantu produksi, 3) simpan pinjam, 4) angkutan
bahan baku, 5) kredit barang, 6) pengelolaan lahan PIK, 7) penyewaan alat-alat
pesta, 8) usaha kilang tahu, 9) penyediaan minyak tanah, 11) usaha rumah
sewaan. Pada saat penulis masuk ke lokasi, rupanya hampir semua usaha tersebut
sudah bukan lagi merupakan kegiatan Koperasi, melainkan sebagai usaha anggota
secara perorangan walaupun prosedur dan perijinannya masih mengatasnamakan
Koperasi, khususnya untuk memperoleh kedelai dan minyak tanah. Usaha yang
masih dikelola langsung oleh Koperasi adalah usaha penyewaan rumah dan
pengelolaan lahan kosong untuk kegiatan usaha kecil kecil. Keadaan tersebut
rupanya sudah terjadi sejak tahun 2001. Alasan yang paling sering diucapkan
oleh para Pengurus Koperasi adalah karena dihentikannya subsidi dari
pemerintah khususnya untuk pembelian kedelai. Sementara dari beberapa
anggota diperoleh informasi bahwa terpuruknya Koperasi itu karena habisnya
modal yang diakibatkan oleh penyalahgunaan dana oleh Pengurus sebelumnya.
Adapun dana yang disalahgunakan itu meliputi uang cicilan perumahan anggota,
uang impor kedelai milik anggota, dan dana abadi Koperasi. Dari aspek

Universitas Indonesia 86
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
profesionalisme, koperasi memang belum siap memasuki dunia ekonomi
kapitalistik.
Pada Januari 2008, sehubungan dengan melonjaknya harga kedelai akibat
pasar bebas, para pengurus dan anggota KOPTI Semanan berdemo menghadap
Presiden di Istana Negara untuk meminta subsidi; dan Presiden mengabulkan
permintaan subsidi itu dengan Rp.1000,00 per kg kedelai. Sejak saat itu
pengadaan kedelai di kawasan KOPTI Semanan kembali dikelola oleh pengurus
KOPTI. Dari realitas ini, dapat dikatakan bahwa para pelaku usaha industri kecil
tempe-tahu (society) belum siap mengantisipasi fluktuasi harga di pasar bebas
(market); mereka juga memerlukan koperasi (traditional corporation), akan
tetapi koperasi sendiri belum siap memasuki ekonomi pasar bebas tersebut dan
memerlukan subsidi dan proteksi dari negara (state).

4.3. Keadaan Fisik Lahan

BU ANGAN
SALURAN

IPAL

PIK KOPTI
SEMANAN

Gambar 4.
Lokasi PIK KOPTI Semanan diunduh dengan GoogleEarth

Secara topografis, kawasan ini relatif mendatar; dikelilingi oleh sawah-


sawah pada bagian Selatan dan Timur. Angin cukup kencang, namun tidak sejuk.
Pepohonan di kawasan ini hanya dapat dijumpai pada median jalan utama,
sebelah lapangan dan pada taman di sekitar masjid. Pada beberapa gang dapat

Universitas Indonesia 87
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dijumpai pot-pot pohon kecil. Kawasan memang didominasi oleh bangunan
rumah.
Jumlah rumah yang telah dibangun sejak kawasan ini dikembangkan adalah
679 rumah permanen dan 26 rumah non permanen dengan kepadatan 57 rumah
per Ha. Rumah permanen dibangun oleh developer dengan luas bangunan standar
27m2 dan luas tanah 90m2 dan 126m2. Kondisi bangunan standar adalah atap
genteng dinding batako plesteran dan lantai keramik serta dilengkapi dengan
septik tank dan resapan. Sekarang ini jumlah rumah permanen bertambah
menjadi 682 unit. Bertambahnya jumlah penghuni dalam rumah menyebabkan
tiap-tiap penghuni, merenovasi rumahnya sesuai dengan kebutuhannya yaitu
untuk memproduksi tempe tahu sekaligus juga sebagai rumah tinggal. Hal ini
menyebabkan permukiman mereka menjadi tidak sedap dipandang mata, tidak
teratur dan tidak layak ditinggali sebagai rumah hunian (rawan kebakaran).
Kondisi sebagian jalan yang rusak, tidak adanya krib pembatas jalan, serta
mampatnya saluran-saluran drainasi, penggunaan rumah tinggal untuk kegiatan
produksi, ditambah lagi bau yang khas dari limbah produksi yang masuk ke
saluran tersebut, dan juga penggunaan serambi rumah dan pinggiran jalan sebagai
tempat penjemuran produk, memberikan kesan kumuh linkungan PIK Semanan.
Jaringan jalan yang ada adalah berbentuk grid iron yang meliputi 0,656 km jalan
akses dari jalan raya Semanan dan 4,6 km jaringan jalan lingkungan. Pada saat
penulis berad di lokasi, kondisi jalan ada yang rusak, yaitu jalan dengan lebar 4m
rusak sepanjang 812m dan jalan yang lebarnya 6 m rusak sepanjang 223m. Kesan
kumuh juga diperparah dengan adanya beberapa rumah yang sudah mulai
menunjukkan kerusakan. Penempatan rumah sewa/kontrakan di bagian Selatan
kawasan juga menambah kesan kumuh karena materialnya yang sebagian besar
non permanen dan menghalangi pemandangan ke sawah.
Terhadap realitas ini penulis tidak berani berargumen bahwa ekonomi
usaha kecil cenderung mengabaikan keindahan lingkungan. Ada juga ekonomi
usaha kecil yang justru mengutamakan keindahan lingkungan, misalnya usaha
kecil tanaman hias dan jasa pertamanan, karena komoditinya adalah memang
keindahan itu. Kekumuhan yang terjadi di lingkungan penelitian tampak lebih
tepat ditempatkan sebagai akibat komoditinya yang memang bukan keindahan
dan tidak membutuhkan keindahan. Hal ini pun bukan berarti para penghuni tidak
memiliki selera keindahan. Di kampung halaman, di Pekalongan, mereka

Universitas Indonesia 88
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mengaku membangun dan memiliki rumah dan kebun yang layak dan lebih
indah.

4.4. Fasilitas Pendukung Produksi

Primkopti Swakerta juga melengkapi kawasan dengan Dapur Umum yang


diharapkan dapat dimanfaatkan oleh semua anggota untuk kegiatan produksi.
Bangunan dapur umum terletak di atas tanah yang lebih tinggi di bagian Timur
kawasan, berbentuk shelter dan tidak memiliki dinding dan tempias di waktu
hujan. Angin bertiup kencang sehingga tungku api tidak dapat memberikan panas
optimal. Ruang perebusan, ruang pencucian dan pentirisan kedelai tidak disekat
atau dibatasi, membuat ruang perebusan menjadi basah. Air limbah yag
dihasilkan dari dapur umum ini langsung masuk ke Instalasi Pengolahan Akhir
Limbah (IPAL). IPAL dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum DKI berdampingan
dengan Dapur Umum, dengan mempergunakan sistem kolam stabilisasi untuk
mengolah air limbah industri tempe tahu dan air buangan domestik. Air limbah
domestik yang mengalir ke kolam IPAL adalah air bekas kamar mandi, air bekas
cucian, air limbah dapur dan air buangan industri rumah tangga tempe tahu; tidak
termasuk air kotor dari WC dan juga tidak termasuk air hujan. Saluran air limbah
domestik yang bercampur dengan air limbah produksi itu pada umumnya
tersumbat endapan lumpur endapan limbah produksi tempe tahu dan sampah,
menimbulkan bau yang tidak sedap. Sampah dapat masuk ke saluran karena
terbawa angin dan saluran terbuka. Di samping itu memang masih ada bagian
saluran yang belum sempat dibangun dengan baik, membuat air limbah domestik
tidak dapat masuk IPAL melainkan langsung menyatu dengan saluran buangan
IPAL. Bau yang tidak sedap itu semestinya dapat hilang setelah air limbah masuk
IPAL. Namun tidak demikian kenyataannya, karena kapasitas blower di IPAL
tidak mencukupi. Air limbah yang keluar dari IPAL disalurkan keluar kawasan
dalam keadaan masih bau, ditambah lagi dengan bau air buangan domestik yang
tidak dapat masuk IPAL.

Universitas Indonesia 89
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 5.
Suasana Dapur Umum dan Perawatan Bak Pengolahan Limbah

Pengurus lingkungan mengatakan bahwa guna menambah kapasitas blower


tersebut, warga menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, sebab kemauan
”pemerintah”lah mereka berelokasi. Mereka juga memahami bahwa
pembangunan IPAL tersebut adalah ”proyeknya” pemerintah dan pengurus
koperasi. Terhadap realitas ini penulis mengatakan bahwa untuk melakukan
sebuah misi (modernisasi) ekologis, jelas diperlukan sosialisasi dan implementasi
yang benar dan intensif dan melibatkan sebanyak-banyak anggota masyarakat,
bukan hanya pengurusnya saja. Hal itulah yang kemudian memang dicoba oleh
Pengurus lingkungan setempat.

Universitas Indonesia 90
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
4.5. Fasilitas Air Bersih

90% warga PIK KOPTI Semanan adalah produsen tempe, 5% produsen


tahu dan 5 % lainnya memiliki bidang usaha lain. Setiap rumah produksi tempe
membutuhkan air per hari 2,5m3, atau 1915m3 per hari secara keseluruhan.
Koperasi telah menyediakan satu sumur berkedalaman 100M untuk memenuhi
kebutuhan dapur umum. Rumah-rumah produksi yang tidak mempergunakan
dapur umum memperoleh airnya dengan cara membeli dari para pemilik sumur
air tanah. Saat ini terdapat 6 sumur air tanah milik perorangan warga. Satu sumur
di antaranya melayani beberapa rumah produksi dengan cara menyalurkannnya
melalui jaringan pipa air bersih. Lima sumur lainnya menyediakan gerobak dan
jerigen untuk pengangkutan air yang dibutuhkan oleh rumah-rumah produksi.
Tiap-tiap rumah pada dasarnya sudah berusaha membuat sumurnya sendiri,
namun sumur-sumur mereka sudah kering. Diperoleh informasi bahwa pada
tahun 1992 kedalaman sumur air tanah hanya 20M, tetapi sekarang sudah
menjadi 50-100M dan memerlukan biaya tinggi. Karena itu warga lebih memilih
membeli atau berlangggan dari sumur lain daripada harus membuat sumur
sendiri. Semua air yang disebutkan di atas adalah air untuk kebutuhan produksi
dan mandi; bukan air minum. Untuk air minum, warga berlangganan PDAM.

Gambar 6.
Jasa Penyediaan Air untuk Cuci dan Perebusan Kedelai

Terhadap realitas menurunnya air tanah dari 20M menjadi 50-100M ini
penulis ingat premis dari Treadmill of Production (ToP) bahwa semakin masal dan
cepat produksi semakin menghabiskan sumber daya lingkungan. Premis tersebut
berkemungkinan benar, karena lahan di sekitar PIK KOPTI Semanan belum

Universitas Indonesia 91
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berubah peruntukannya (masih kosong) sehingga tidak dapat dicurigai sebagai
penyebab menurunnya air tanah. Ini bukan berarti bahwa kegiatan produksi tempe
dan tahu harus dihentikan, melainkan perlu dicarikan jalan keluar melalui prinsip-
prinsip produksi ramah lingkungan. Jalan keluar itulah yang sedang diusahakan
oleh para pengurus lingkungan setempat bersama-sama dengan pemerintah dan
beberapa perguruan tinggi.

4.6. Fasilitas Pembuangan Sampah

Koperasi juga menyediakan transfer depo sampah di ujung Baratdaya PIK.


Volume sampah diperkirakan 7 sd. 8 m3 per hari, yang berupa sampah rumah
tangga. Ampas sisa produksi tempe tahu tidak termasuk sebagai sampah,
melainkan dipergunakan untuk campuran makanan ternak. Sekali dalam dua
minggu sampah yang sudah terkumpul di depo tersebut selanjutnya diangkut ke
TPA oleh Dinas Kebersihan DKI. Namun sampah di depo tampak tidak pernah
berkurang. Diperoleh informasi bahwa sampah yang tertangani oleh Dinas
Kebersihan DKI hanya 2m3 perhari. Kerasnya angin di kawasan tersebut
membuat sampah-sampah kering beterbangan dan menyumbat saluran-saluran
pembuangan yang terbuka. Agar tidak menumpuk baik di depan rumah atupun di
transfer depo, ada juga sampah yang tidak dibuang di transfer depo, melainkan
langsung dibakar oleh pemiliknya.
Pada saat akhir penulis berada di lapangan, Pengurus Koperasi dan Dinas
Kebersihan Jakarta Barat sedang melaksanakan kegiatan pengatasan masalah
sampah tersebut dengan merenovasi depo serta melengkapinya dengan mesin
pemadat sampah yang disediakan oleh Pemerintah. Kapasitas mesin pemadat
sampah ini adalah dapat menampung 12m3 atau 23000 kg sampah padat.
Sekarang ini depo tampak bersih, tidak ada tumpukan sampah lagi karena sudah
dapat ditampung dalam mesin pemadat sampah. Empat hari sekali Dinas
Kebersihan mengangkut sampah yang sudah dipadatkan itu ke TPA DKI. Beban
biaya operasional pengelolaan ditanggung oleh warga PIK KOPTI melalui iuran
kebersihan bulanan.

Universitas Indonesia 92
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 7.
Fasilitas Pengolahan Sampah

4.7. Fasilitas Pendidikan, Peribadatan dan Kesehatan

Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga setempat, Koperasi


telah membangun sebuah sekolah tingkat TK, SD, SMP, SMU dan SMK Jurusan
Komunikasi dan Broadcasting. Sekolah-sekolah ini dikelola oleh Yayasan
Pendidikan Taruna Bangsa yang didirikan oleh Koperasi. Penulis mencoba
melihat peran serta sekolah-sekolah tersebut dalam membudayakan hidup sehat
dan produksi ramah lingkungan. Yang penulis temukan adalah kegiatan-kegiatan
sosialisasi hidup sehat yang belum mengkaitkan dengan produksi ramah
lingkungan. Sosialisasi dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan kepada para murid
yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam rangka program Pengabdian Pada
Masyarakat, dan juga dari Puskesmas setempat. Generasi muda tampaknya belum
menjadi sasaran sosialisasi produksi ramah lingkungan. Ketrampilan produksi
dan pemasaran tempe tahu ramah lingkungan tampaknya juga belum terpikirkan
untuk dimasukkan ke dalam kurikulum lokal. Itu semua belum pernah terpikirkan
oleh para pengurus lingkungan setempat, dan baru disadari setelah kehadiran
penulis.
Di samping gedung sekolah, Koperasi juga membangun sebuah masjid.
Kemudian untuk keperluan emergensi, Koperasi memiliki sebuah mobil
ambulance L300. Melalui partisipasi dalam kegiatan pengobatan gratis bagi
warga PIK KOPTI yang diselenggarakan rutin oleh sebuah perguruan tinggi,
penulis memperoleh informasi mengenai kesehatan penduduk setempat. Penyakit
yang paling lazim di derita adalah penyakit batuk sesak nafas dan sakit kepala.
Hal ini tentu dimaklumi berhubung dengan kondisi rumah dan rumah produksi

Universitas Indonesia 93
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
yang senantiasa dipenuhi asap karena proses produksi yang menggunakan bahan
bakar kayu. Penyakit ini melanda mulai dari anak-anak maupun orang dewasa.
Beberapa orang tua menginformasikan mereka sehat atau tidak merasa satu gejala
sakit sebelum mereka pindah ke kawasan ini. Sejak tiggal di kawasan ini orang
tua tersebut merasakan gejala sakit, terutama sesak nafas dan sakit kepala.
Penulis juga menemukan satu orang dewasa yang harus minum obat sakit kepala
setiap hari sejak tinggal di kawasan ini.

Gambar 8.
Fasilitas Pendidikan, Peribadatan dan Kesehatan di PIK KOPTI Semanan

Universitas Indonesia 94
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
4.8. Struktur Kepemimpinan Lokal

Dari segi struktur kepemimpinan lokal, komunitas PIK KOPTI


Semanan adalah khas. Komunitas ini terdiri dari 1 RW (RW 11) yang
meliputi 2 RT. Pembentukan RW dan RT ini adalah atas inisiatif Pengurus
Koperasi. Sebagaimana diketahui, institusi Koperasi, anggota maupun
Pengurus, pada dasarnya tidak memiliki hubungan hirarkhis dengan RT/RW
dan Pemerintah Kelurahan ataupun Kecamatan. Namun sebagai warga ataun
penduduk suatu wilayah, institusi RT/RW adalah diperlukan. Karena
pembentukan RT/RW tersebut adalah dimaksudkan untuk membantu
kelancaran hubungan antara warga dengan Pemerintah Kelurahan dan
Kecamatan. Ketua RW yang sekarang ini adalah Ketua Koperasi. Peran
kepengurusan RT/RW di sini lebih kepada urusan kependudukan, keamanan
lingkungan, peringatan hari-hari besar dan kegiatan kegiatan keolahragaan.
Selama penulis berada di lokasi, jarang penulis melihat kantor RW buka,
kecuali Pos Keamanan yang memang buka setiap hari. Pos Keamanan ini
ramai setiap sore; para petugas keamanan pun siaga di tempat, ada juga yang
mondar-mandir mengawasi orang banyak yang berada di situ, di halaman pos,
bisa satu sampai dua bis. Orang banyak itu bukan bermaksud untuk urusan
keamanan, melainkan akan melakukan perjalanan ke luar kota. Pos
Keamanan itu dimanfaatkan oleh Koperasi untuk keagenan bus AKAP (antar
kota antar propinsi) jurusan Jakarta-Pekalongan.
Berbeda dengan kantor RW yang seolah-olah tidak ada kegiatan, adalah
kantor Koperasi yang meskipun bidang pelayanannya sudah jauh berkurang
namun tetap buka setiap hari mulai sekitar jam 10.00 dan tutup sekitar jam
17.00. Sebagaimana telah disampaikan, urusan Koperasi sekarang ini adalah
mengelola rumah sewa atau rumah kontrakan dan pemanfaatan lahan kosong
untuk kegiatan usaha kecil di lingkungan PIK KOPTI. Di samping itu
Pengurus juga mengelola kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial dan
penyuluhan-penyuluhan pembinaan yang rutin diselenggarakan oleh instansi
swasta maupun pemerintah masing-masing sekali dalam setahun. Bidang-
bidang kegiatan sosial itu antara lain pengobatan gratis, penyuluhan kemanan
instalasi listrik, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan pengelolaan

Universitas Indonesia 95
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IPAL, dan percontohan sumur resapan. Alasan utama para Pengurus Koperasi
untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan termasuk untuk kegiatan-
kegiatan non ekonomi ini adalah karena lahan PIK KOPTI masih hak milik
Koperasi. Hanya sebagian kecil saja anggota yang sudah melunasi cicilan
pembayaran rumah dan memperoleh Sertifikat Hak Miliknya. Di samping itu
para Pengurus berpendirian bahwa Badan Hukum Koperasi adalah sah, dan
Koperasi memperoleh ijin, dukungan dan pembinaan serta ”impartasi
wibawa” dari banyak instansi pembina baik swasta maupun pemerintah
seperti BPPT, BPLH DKI, BPLHD Jakarta Barat, Dinas Perindustrian Jakarta
Barat, Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Barat, Dinas Kebersihan Jakarta
Barat, Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Barat, Walikota Jakarta Barat dan
Nyonya, Universitas Trisakti, Insitut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah
Mada.
Demikianlah segala sesuatu yang berlangsung di atas lahan itu harus
sepengetahuan dan seijin Pengurus Koperasi, perlu rekomendasi dari
Pengurus Koperasi, bahkan ada yang harus mengatasnamakan Koperasi
walaupun pelaksanaannya bukan oleh Koperasi. Kegiatan pemasokan kedelai
untuk rumah-rumah produksi misalnya, seharusnya memang menjadi salah
satu usaha Koperasi. Akan tetapi oleh karena habisnya modal Koperasi akibat
kesalahan managemen sebagaimana telah disampaikan, maka untuk urusan
pemasokan kedelai ini harus direlakan dikelola oleh seorang anggota yang
mampu. Demikian juga untuk pemasokan minyak tanah yang bukan saja
sepengetahuan Pengurus, melainkan juga harus mengatasnamakan Koperasi
demi untuk memperoleh perijinan distribusi dengan harga yang lebih murah.
Demikian juga untuk pemasokan dana untuk permodalan ataupun untuk
keperluan konsumtif anggota yang seharusnya merupakan usaha vital dari
Koperasi, sekarang ditangani oleh Bank Mandiri, BRI dan BPR Artha
Secana. Lembaga-lembaga keuangan ini memberikan kredit kecil dengan
jaminan surat-surat pemilikan properti dan rekomendasi dari Pengurus
Koperasi. Dalam urusan kredit ini Pengurus memperoleh komisi dan
kemudahan dalam berurusan dengan lembaga-lembaga keuangan tersebut.

Universitas Indonesia 96
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Pengoperasian IPAL, Dapur umum bahkan sampai pada distribusi air
minum PDAM untuk kawasan PIK KOPTI, Koperasi dan Pengurus
mengambil peran sebagai pengelola. Dalam pengelolaan IPAL, Pengurus
mempekerjakan sekitar 30 orang warga luar PIK KOPTI. Mereka ini juga
menjadi pekerja di Dapur Umum. Mereka tidak berlogat Pekalongan dan
tidak dapat berbahasa Jawa. Diperoleh informasi bahwa para pekerja di
IPAL/Dapur umum ini pada umumnya mantan preman di kawasan Jakarta
Barat. Ketika beberapa kali terjadi protes warga luar PIK KOPTI yang
drainase huniannya dilewati air limbah dari PIK KOPTI, para pekerja inilah
yang berjaga-jaga melindungi kawasan.
Dalam setahun dapat terjadi tiga kali protes. Yang paling keras adalah
protes dari sekelompok warga RW 08 karena air limbah produksi dari PIK
KOPTI langsung masuk ke saluran air terbuka yang melewati kawasan RW
08. Bentuk protes mulai dari surat pelaporan dan peringatan, ancaman
pembunuhan kepada pengurus dan para pekerja, dan juga penutupan saluran
pembuangan. Di samping berlindung kepada instansi-instansi yang
membinanya, yaitu Pemerintah, Pengurus PIK KOPTI memilih untuk
menghindar dan tidak menanggapi protes-protes yang bersifat anarkis.
Kemudian setelah kemarahan warga tersebut mereda, beberapa perwakilan
Pengurus mencoba mendatangi pimpinan warga yang protes tersebut untuk
berdialog.

Gambar 9.
Saluran Buangan Pemicu Protes

Universitas Indonesia 97
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAPURUMU

SALURAN BUANGAN
M

IP AL

PIK KOPTI

Gambar 10.
Saluran Buangan Pemicu Protes diunduh dengan GoogleEarth

Hasilnya adalah protes-protes dihentikan, sementara warga PIK KOPTI


dengan dukungan Pemerintah melakukan penyempurnaan IPAL dan
membantu warga RW 08 membangun Pos Keamanan di sekitar saluran.
Rupanya Pengurus tidak hanya menerima protes dari luar, tetapi juga
dari tokoh-tokoh PIK KOPTI sendiri, khususnya Mantan Pengurus. Bentuk
protesnya tidak sekeras protes warga luar PIK yang drainase huniannya
dilewati limbah, melainkan sekedar percakapan-percakapan di sana-sini
tentang keburukan para Pengurus. Keburukan Pengurus yang paling banyak
dibicarakan adalah mengenai belum juga dilaksanakannya Rapat Anggota
Tahunan (RAT) yang merupakan forum pertangungjawaban Pengurus dan
forum untuk menetapkan Pengurus Baru.
Berbeda dengan tindakan yang relatif anarkis dan mengancam
eksistensi kegiatan produksi tempe tahu di PIK KOPTI Semanan, adalah
tindakan dari Developer Perumahan Semanan Indah yang kawasan proyeknya
berada persisi disebelah /timur RW 08. Kawasan ini juga dilewati saluran
buangan air limbah produksi tempe tahu PIK KOPTI Semanan. Tindakan

Universitas Indonesia 98
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
yang dilakukan adalah membantu warga PIK KOPTI Semanan membangun
pintu-pintu penyaringan di beberapa titik pada saluran buangan itu.

4.9. Rumah Produksi

Jumlah Penduduk PIK KOPTI pada tahun 2005 tercatat 1.732 jiwa.
Mereka ini meliputi 762 anggota Koperasi beserta anggota keluarganya.
Jumlah tersebut belum termasuk jumlah keluarga yang bukan anggota
Koperasi yang mengontrak rumah milik Koperasi sebanyak 23 KK., yang
tidak berprofesi sebagai produsen tempe tahu. Bidang produksi mereka
adalah kerupuk kulit, sari kelapa, pengolahan ikan, warung kelontong,
warung makan dan bengkel sepeda motor.
Tidak semua anggota Koperasi memperoduksi tempe tahu. Mayoritas
memproduksi tempe saja, sebagian kecil lainnya memproduksi tahu saja.
Namun demikian, limbah dan dampak lingkungannya sama. Untuk produksi
tempe tahu, sebagian besar warga melakukan seluruh proses produksinya di
rumah, bahkan sampai ke bagian luar rumah. Kegiatan proses produksi
meliputi penumpanan bahan baku, tempat pencucian, dapur untuk perebusan,
tempat perendaman, tempat fermentasi dan pengemasan. Dapur Umum
berikut fasilitas dan tenaganya yang sudah disediakan oleh Koperasi tidak
dimanfaatkan oleh sebagian besar warga ini, dengan alasan tempatnya terlalu
jauh dan sudah terlanjur menjadi kebiasaan melakukan proses produksi di
rumah dengan tenaga kerja dari anggota keluarga atau kerabat sendiri, yang
tidak perlu pendidikan ketrampilan khusus. Mereka juga tidak membuat
perencanaan usaha, melainkan mejalankannya sebagai rutinitas sehari-hari.
Penanggungjawab usaha adalah suami, sementara isteri dan anak-anak ikut
bekerja misalnya untuk fermentasi, penjemuran, pengepakan dan pemasaran.
Partisipasi anak dan perempuan dapat dikatakan tinggi, bukan karena hak
melainkan karena kewajiban sebagai anggota keluarga.

Universitas Indonesia 99
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 11.
Suasana Kegiatan Produksi

Jumlah kedelai yang diperlukan oleh tiap-tiap rumah produksi untuk


produksi tempe atau tahu per hari pada umumnya 1kw, saat itu harganya
Rp.400.000,- Pengeluaran harian lainya adalah kayu bakar Rp.20.000,- Ragi
Rp.6.000,- Plastik Rp.30.000,- Daun Rp.10.000,- Air Rp.20.000,- dan 4
tenaga Rp.100.000,-. Total pengeluaran per hari kira-kira Rp.586.000. Harga
jual produk per hari adalah Rp. 725.000. Keuntungan yang diperoleh kira-kira
Rp.131.000,- per hari. Mereka tidak membayar ongkos pemasaran, karena
para pedagang atau distributor langsung mengambil produk tempe tersebut ke
lokasi. Untuk produksi tahu, jumlah air yang siperlukan lebih banyak, yaitu
Rp.30.000,- per hari, dan perlu ongkos pemasaran yaitu sebesar Rp.30.000,-
perhari, dengan hasil penjualan kira-kira Rp.805.000,- per hari, atau untung
Rp.225.000,- per hari. Total penghasilan rata-rata per rumah rumah produksi
dapat dihitung kira-kira sebesar Rp.4-5juta per bulan. Penggunaan
penghasilan adalah untuk konsumsi rumah tangga sehari-hari termasuk untuk
cicilan rumah atau cicilan kredit lainnya dan juga untuk membangun properti
di kampung asal di Pekalongan.

4.10. Proses Produksi dan Penanganan Limbah

Intensitas praktik ramah lingkungan penulis lihat dari dua tingkatan,


yaitu pada tingkatan individual rumah produksi dan pada tingkatan kolektif.
Pada tingkatan individual rumah produksi, proses pengolahan produk tempe
tahu mempergunakan peralatan sederhana, pengupasan kulit ari kedelai masih

Universitas Indonesia100
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bersifat manual dengan cara direndam dan direbus, air bersih yang
dibutuhkan menjadi banyak dan limbah cair pun juga menjadi banyak.
Tempat perebusan kedelai adalah drum-drum bekas dan umumnya berkarat.
Bahan bakar yang dipergunakan adalah kayu bakar, menimbulkan asap yang
membuat udara di dalam rumah menjadi pengap dan panas, serta membuat
warna hitam pada dinding ruangan. Pada saat proses produksi, tidak satupun
dari para pekerja mempergunakan masker, sarung tangan, sepatu boot atau
perlengkapan perlindungan lainnya. Mereka tampak kebal debu abu, kebal
asap, kebal bau dan kebal kelembaban. Dengan tenang dan tanpa merasa
salah, pemilik rumah produksi atau pekerja membuang limbah cair ditempat
(on site). Limbah mengalir ke saluran drainase lingkungan, bercampur
dengan limbah cair domestik. Sedangkan limbah padat berupa abu sisa
pembakaran, mereka kumpulkan dalam karung untuk dibuang ke transfer
depo sampah. Tranfer depo sampah ini dikelola oleh Dinas Kebersihan
Jakarta Barat. Untuk merawat kebersihan lingkungan dan kelancaran saluran
drainase, termasuk untuk beroperasinya IPAL dengan baik, mereka
membayar sejumlah iuran. Namun apabila saluran drainase itu telah mulai
tersumbat oleh sampah dan endapan lumpur sisa produksi, maka sebagai
bentuk praktis kepedulian pada lingkungan dan kepentingan umum
merekapun bekerjabakti membersihkannya. Warga yang berpartisipasi dalam
kerjabakti pada umumnya didorong alasan karena kewajiban dan supaya tidak
diomeli pengurus, bukan karena untuk menjaga kesehatan lingkungan.
Kerjabakti dikoordinasi oleh Pengurus Koperasi bersama dengan Pengurus
RT/RW.
Mengenai limbah bau, sejak semula mereka menganggapnya biasa dan
tidak berbahaya; dulu ketika masih di Pekalongan hal itu tidak ada yang
mempersoalkan. Demikian juga ketika mereka sudah berada di Jakarta
sebelum pindah di PIK KOPTI, ketika mereka masih tinggal di pinggir-
pinggir kali dengan keadaan lingkungan yang lebih-lebih kumuh, membuang
limbah produksi begitu saja ke kali adalah sudah menjadi kebiasaan. Namun
setelah mengikuti berbagai penyuluhan lingkungan mereka menyadari juga
bahwa hal tersebut adalah membahayakan kesehatan bagi diri sendiri dan

Universitas Indonesia101
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bagi lingkungan sekitar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa, dan
menganggapnya tidak lagi masalah karena sudah ada IPAL yang akan
menetralisir bau. Akan tetapi bau limbah itu sudah menyebar lebih dahulu
sebelum air limbah itu sampai ke IPAL.
Untuk menghindari terjadinya polusi udara di masing-masing rumah
produksi dan untuk mempercepat pembuangan limbah cair ke IPAL, maka
proses perendaman, perebusan dan pencucian kedelai itu seharusnya
dilakukan di Dapur Umum. Akan tetapi sebagaimana telah disampaikan,
hanya sebagian kecil saja rumah produksi yang memanfaatkan Dapur umum
ini. Alasan utama bagi yang tidak memanfaatkan Dapur Umum adalah karena
sudah kebiasaan melakukan proses produksi di rumah; juga kebiasaan
melakukan proses pencucian kedelai dengan air yang berlimpah di kali yang
limbahnya terbuang dengan sendirinya di kali yang sama, atau jika
pencuciannya dilakukan di rumah, limbah dibuang ke drainase domestik
tanpa diolah lebih dahulu. Alasan lain adalah karena sudah memiliki tenaga
kerja sendiri, sehingga tidak memerlukan tenaga dari dapur umum. Di
samping itu letak Dapur Umum dianggapnya terlalu jauh. Sedangkan bagi
yang memanfaatkan Dapur Umum, alasannya bukanlah karena peduli
lingkungan, tetapi lebih karena tidak punya tenaga kerja yang cukup, tidak
punya peralatan yang cukup dan tidak mampu memperoleh air bersih yang
cukup pula.
IPAL dan drainase pada dasarnya sudah bukan urusan rumah produksi
secara individual, melainkan sudah menjadi urusan kolektif. Untuk ini
Pengurus Koperasi yang bertanggungjawab, agar kawasan PIK KOPTI tetap
memenuhi syarat AMDAL dan bebas dari protes-protes yang sering
dilancarkan oleh warga luar PIK yang kawasan huniannya dilewati drainase
air buangan PIK KOPTI. IPAL dikontrol dan dibersihkan setiap hari. IPAL
pernah memperoleh sumbangan mesin Water Treatment dari Pangeran
Charles, namun kini keadaannya sudah rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Pada saat penulis berada di lokasi, IPAL sedang dipersiapkan oleh BPLH
DKI untuk mengolah limbah menjadi gas methan yang akan berguna bahan
bakar gas. Gas methan ini menurut rencana akan dipergunakan sebagai

Universitas Indonesia102
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
sumber energi pengganti bahan bakar kayu di Dapur Umum dan sumber
energi untuk lampu-lampu penerangan di sekitar IPAL.

Gambar 12.
Bak Pengolahan Limbah

Untuk perawatan IPAL, Pengurus tidak memperlakukan kerjabakti bagi


seluruh warga, melainkan hanya dilakukan oleh pekerja-pekerja di Dapur
Umum yang sehari-hari sebagai operator. Para operator IPAL ini memperoleh
pengarahan khusus dari BPLHD Jakarta Barat, BPPT, Dinas PU Jakarta
Barat, dan juga dari perguruan tinggi yang melakukan bakti sosial bidang
pengelolaan limbah. Adapun biaya operasional IPAL adalah swadaya warga
ditambah dengan subsidi dari Koperasi. Sedangkan untuk pengolahan gas
methan, Pengurus Koperasi bersama BPLH DKI sedang mengusahakan
sponsor dari sebuah lembaga internasional di Jerman. Pengurus Koperasi juga
berusaha memperoleh bantuan untuk memperbaiki dan melanjutkan saluran
drainase yang belum terbangun. Dalam hal inilah penulis berpartisipasi aktif
memimpin Pengurus mempersiapkan proposal permintaan bantuan dana dari
sumber luar negeri.
Usaha-usaha lain yang ditunjukkan oleh Pengurus Koperasi dalam
sebagai wujud kepedulian lingkungan adalah mengkoordinasi kegiatan-
kegiatan penyuluhan dan bakti sosial kesehatan lingkungan yang
diselenggarakan oleh instansi swasta dan pemerintah sebagaimana telah
disampaikan di muka. Bahkan, Pengurus juga sedang berusaha mencari
bantuan internasional untuk mendirikan sebuah Poliklinik. Dalam hal ini pula
penulis berpartisipasi aktif memimpin Pengurus menyusun proposalnya.

Universitas Indonesia103
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 13.
Penyuluhan Hemat Energi
4.11.Harapan-harapan

Harapan Pengurus yang disampaikan kepada penulis adalah berbeda


dengan harapan warga pada umumnya. Harapan Pengurus adalah revitalisasi
Koperasi, terutama melalui subsidi Pemerintah sebagai awal berdirinya
Koperasi Dulu. Bagaimanapun Pengurus ingin menunjukkan bahwa Koperasi
masih eksis, walaupun kegiatannya sebagai lembaga ekonomi hampir tidak
tampak lagi. Harapan untuk memperoleh kemudahan dan subsidi permodalan
seperti dulu tampaknya sudah tidak mungkin lagi di era perasaingan bebas
ini. Koperasi selaku ”penguasa” kawasan berusaha menunjukkan
eksistensinya itu melalui jalur non ekonomi, yaitu pembenahan kondisi fisik
dan kesehatan kawasan. Adanya ”tuntutan” produksi ramah lingkungan,
pembinaan dari berbagai instansi bakah bantuan internasional untuk produksi
ramah lingkungan yang semuanya adalah melalui Koperasi, dan juga adanya
protes warga sekitar terhadap Pengurus atas polusi bau yang ditimbulkan oleh
kegiatan PIK KOPTI, serta sifat khas dari struktur kepemimpinan kawasan
PIK KOPTI, telah memperkuat harapan Pengurus bahwa Koperasi diperlukan
dan eksistensinya perlu dipertahankan. Karena itu bersama Dinas Koperasi
dan UKM Jakarta Barat, Pengurus telah mencoba mengartikulasi harapan-
harapan itu menjadi rencana Master Plan yang lebih menitik-beratkan pada
rencana penataan lingkungan dan keinginan untuk penerapan teknologi
produksi modern daripada penataan kelembagaan Koperasi. Dalam rangka

Universitas Indonesia104
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
itulah penulis berpartsisipasi dalam penyusunan proposal proyek-proyek
Environment Sanitation.
Harapan warga atau perajin pada umumnya adalah tidak sampai pada
keinginan memenuhi kriteria produksi ramah lingkungan. Mereka tidak
mempersoalkan apakah produk dan proses produksi mereka memenuhi
kriteria ramah lingkungan atau tidak. Bagi mereka yang penting produk laku
terjual. Demikianlah adanya, produk memang laku terjual, pemasok dan
pemodal juga pedagang dan pembeli pada umumnya tidak pernah
mempersoalkan apakah produk dan proses produksinya memenuhi kriteria
ramah lingkungan atau tidak. Menurut mereka lingkungan dan rumah
produksi yang mereka tempati sekarang ini adalah sudah baik jika
dibandingkan dengan rumah produksi ketika mereka masih tinggal di pinggir
kali. Akan tetapi sesungguhnya bagi mereka semua itu bukan masalah, sebab
yang penting bagi mereka adalah menghasilkan uang, dan uang itu untuk
membangun rumah yang lebih baik di kampung halaman. Yang lebih sering
diucapkan warga adalah keinginan memperoleh pasokan bahan baku dan
bahan penunjang yang lebih murah.
Beberapa warga dan pamong PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat
membenarkan bahwa dampak kenaikan bahan utama tahu dan tempe adalah
biaya produk semakin mahal, namun harga jual tidak mungkin dinaikkan.
Kalaupun dinaikkan hanya 10-20 persen saja, kalau terlalu mahal maka
dikhawatirkan tidak laku, karena konsumen akan beralih ke ikan, telur asin
dll sebagai pengganti tahu dan tempe untuk lauk-pauknya. Karena itu pula
beberapa perajin tempe tahu di lingkungan penelitan juga melakukan
produksi sambilan seperti ikan asap, telur asin, kerupuk, warung makan,
warung kelontong, bahkan bengkel kendaraan bermotor.

Universitas Indonesia105
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 14.
Produksi Sambilan di Dapur Umum

Terungkap dalam FGD 28 Oktober 2009, bahwa jika mereka hanya


mengandalkan usaha produksi tempe tahu saja maka hasilnya cenderung
kurang mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
Pertanyaan yang sering mereka lontarkan adalah, sekarang ini komoditi
kebutuhan pokok masyarakat sudah tergantung impor, termasuklah kacang
kedelai. Padahal, kecuali gandum, semuanya bisa tumbuh subur di negeri ini.
Mereka juga berandai-andai, kalau saja pemerintah bersungguh-sungguh di
bidang pertanian, maka semestinya Indonesia bisa menjadi negara
pengekspor beras, jagung, dan lain-lain termasuk kacang kedelai; akan tetapi
kapan, tidak jelas.
Yang mereka rasakan sungguh aneh adalah ketika melihat kenyataan
mengenai maraknya komoditi impor terutama kebutuhan pokok masyarakat.
Keanehan itu adalah, bahwa barang impor cenderung lebih murah dari
produk lokal. Sepintas hal itu menguntungkan masyarakat. Harganya semakin
terjangkau walaupun hal itu membuat petani lokal menderita. Oleh karena itu,
mereka memerlukan pembatasan impor dan pemerintahlah yang diharapkan
bisa melakukannya. Tujuannya, agar harga stabil. Tidak terlalu murah dan
tidak terlalu mahal seperti harga kacang kedelai saat ini.
Mereka menduga mahalnya harga kedelai sekarang ini besar
kemungkinan akibat permainan spekulan dan sukap pemerintah yang menurut
tokoh masyarakat setempat menyebutnya tidak lagi mem-Bulog-kan komoditi
kedelai atau dengan kata lain melepaskan harga kedelai ke dalam pasar bebas.
Bisa jadi harga kedelai di luar negeri mengalami kenaikan, berarti harga

Universitas Indonesia106
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
jualnya pun ikut naik di pasar lokal kita. Akan tetapi jika tetap di-Bulog-kan,
kenaikannya tentu tidak separah sekarang ini sampai 100 persen lebih jika
stok kedelai kita cukup.
Dalam FGD juga terungkap bahwa kelemahan pemerintah sehingga
tidak mampu menstabilkan harga kedelai adalah: yang pertama, stok kedelai
dalam negeri (lokal) sangat sedikit. Departemen Pertanian sudah
mengabaikan petani kedelai. Kedelai impor pun menjadi idola. Hal itu
mengakibatkan petani kedelai kita malas menanam kedelai lagi. Apalagi,
kalau tidak ada subsidi dan jaminan harga jual setelah panen. Dengan kata
lain kebutuhan akan kedelai sudah tergantung impor.

Gambar 15.
FGD Menuju Pabrik Tempe Modern

FGD 28 Oktober 2009 menyarankan agar pemerintah (state) tetap


menjaga stok kedelai lokal dengan cara mendorong atau memberi subsidi
sehingga petani terus menanam kedelai. Dengan demikian ketergantungan
industri kecil tempe tahu pada kedelai impor menjadi rendah. Kini, harga
kedelai impor semakin mahal, ditambah ulah spekulan yang mungkin
menahan stok, sehingga terjadi kelangkaan kedelai di pasaran (market),
membuat harga bahan pokok tempe tahu itu melambung.
Harapan mereka (society) dalam demo 15 Januari 2008 adalah
meminta pertanggungjawaban Pemerintah, khususnya Presiden, Menteri
Pertanian dan Menteri Perdagangan (mewakili state) untuk cepat tanggap
dengan membuat tata niaga kedelai yang meniadakan liberalisasi tata niaga
kedelai (market); dan agar koperasi dilibatkan dalam tata niaga kedelai
sehingga spekulan tak bisa bergerak.

Universitas Indonesia107
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 5

PEMBAHASAN 2

INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN


DAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL UNIT-UNIT USAHA

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui tingkat ramah


lingkungan dalam kegiatan industri kecil pengelolahan tempe tahu meliputi
pertanyaan mengenai konservasi bahan baku, air, energi, pengurangan bahan B3,
pengurangan limbah B3, emisi udara dan sampah, serta perlindunga terhadap
keamanan dan kesehatan pekerja selama proses produksi. Dari segi produk, tindakan
ramah lingkungan adalah mengurangi dampak buruk bagi lingkungan, kesehatan dan
keselamatan sehubungan dengan masuknya produk-produk tersebut ke dalam siklus
kehidupan, mulai dari proses ekstraksi bahan mentah, proses produksi dan konsumsi,
sampai produk itu dibuang kembali.
Dari 98 kuesioner yang berhasil diisi oleh responden, diperoleh data bahwa
tidak ada satupun responden yang memiliki total nilai plus untuk tindakan ramah
lingkungan dalam kegiatan produksi. Dalam hal ini terhitung 25,5% responden yang
kegiatan produksinya tergolong mendekati ramah lingkungan (Tabel 5.1 dan Diagram
5.1); sementara itu sebagian besar lainnya (62,2%) kurang ramah, bahkan ada
sekelompok responden lainnya yang tergolong samasekali tidak ramah lingkungan
(12,2%).

Tabel 5.1. TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

Value Frequency Percent


0 sd. -10 (Mendekati Ramah) 25 25,5
-11 sd. -20 (Kurang Ramah) 61 62,2
-21 sd . -30 (Tidak Ramah) 12 12,2
Total 98 100,0

Universitas Indonesia 108


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
70

60

50

Percent 40

30

20

10

0
0 - -10 (Mendekati Ramah) -11 - -20 (Kurang Ramah) -21 - -30 (Tidak Ramah)

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

Diagram 5.1.
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

Hasil penelitian tersebut penulis bahas dengan para pamong dan tokoh
masyarakat setempat. Tanggapan mereka adalah bahwa keadaan tersebut memang
seperti itu adanya. Mereka mengakui bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha
produksi tempe tahu itu mereka melakukannya sesuai dengan kebiasaan dan tidak
sempat memikirkan apakah kegiatan mereka itu ramah lingkungan atau tidak. Yang
mereka mengerti adalah bahwa bahan-bahan yang mereka pergunakan dalam proses
produksi itu adalah bahan-bahan yang lazim, mungkin berbahaya atau beracun,
namun menjadi tidak membahayakan karena takaran penggunaannya pas.
Kenyataan yang demikian itu mengingatkan penulis pada karakteristik usaha
kecil pada umumnya yang memang kurang memperhatikan pentingnya ramah
lingkungan. Untuk industri kecil pengolahan makanan, asumsi tersebut adalah valid.
Seperti usaha kecil lainnya, orientasi utama kegiatan usaha industri kecil tempe tahu
adalah semata-mata adalah keuntungan langsung atau instan, sementara itu hasil atau
keuntungan dari ramah lingkungan adalah tidak seketika. Ramah lingkungan masih
belum dianggap sebagai kebutuhan primer ataupun sekunder, tetapi lebih merupakan
beban.

Universitas Indonesia 109


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
5.1. Intensitas praktek ramah lingkungan dan karakteristik sosial ekonomi
pemilik usaha

Ideas semula adalah bahwa intensitas praktik ramah lingkungan di


kalangan industri kecil pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki
hubungan dengan karakteristik sosial ekonomi pemilik usaha. Indikator yang
dicoba dikembangkan untuk menggambarkan karakteristik sosial ekonomi ini
pada dasarnya cukup banyak. Akan tetapi dari data yang masuk, tidak semuanya
memenuhi syarat sebagai variabel. Variabel-variabel seperti kondisi rumah,
penghasilan, pekerjaan lain, jabatan di lingkungan dan banyak lainnya
cenderung konstan atau homogen.

Dari segi pendidikan suami, hasil tabulasi menunjukkan bahwa tingkat


ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan tempe tahu yang dilakukan oleh
responden cenderung tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat
pendidikan suami. Tabel 5.1.1. dan Diagram 5.1.1 menunjukkan sebagian besar
suami berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sebagian besar kegiatan usahanya
berperilaku kurang ramah lingkungan. Demikian juga yang berpendidikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA),
sebagian besar juga hanya sampai pada mendekati ramah lingkungan.
Tabel 5.1.1.
Pendidikan Suami dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd -30
Pendidikan Suami Mendekati Kurang Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Tidak Count 0 0 1 1
tamat SD % ,0% ,0% 100,0% 100,0%
Count 22 51 10 83
SD
% 26,5% 61,4% 12,0% 100,0%
Count 2 6 0 8
SMP
% 25,0% 75,0% ,0% 100,0%
Count 1 4 1 6
SMA
% 16,7% 66,7% 16,7% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 110


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40

Count
30

20

10

0
Tidak tamat SD SD SMP SMA

Pendidikan (Suami)

Diagram 5.1.1.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Pendidikan Suami

Jika perilaku produksi orang yang tidak tamat SD atau tidak bersekolah
adalah tidak ramah lingkungan, adalah wajar. Akan tetapi jika sebagian besar
orang yang telah menyelesaikan satu jenjang pendidikan adalah berperilaku
produksi kurang ramah lingkungan dan bahkan ada yang tidak ramah
lingkungan sama sekali, maka hal ini menarik untuk dipersoalkan. Persoalannya
dapat diletakkan pada ada tidaknya muatan mengenai subyek lingkungan pada
kurikulum, yang selanjutnya dapat merembet ke unsur-unsur kurikulum lainnya
seperti faktor guru, faktor bahan ajar, faktor fasilitas laboratorium dan peraga
lainnya dan faktor metoda pengajaran. Ini semua berarti bahwa untuk dapat
mengimplementasikan ideologi modernisasi ekologis, diperlukan juga peran
serta sekolah secara lebih serentak dan lebih intensif.

Dari segi umur suami, hal yang sama juga berlaku pada hubungan antara
tingkat ramah lingkungan dengan golongan umur suami. Artinya tingkat ramah
lingkungan pada kegiatan usaha pengolahan tempe tahu tidak ada kaitannya
dengan umur suami. Tingkat ramah lingkungan kegiatan usaha yang pada
umumnya kurang, berlaku untuk semua golongan umur suami (Tabel 5.1.2 dan
Diagram 5.1.2). Ideas yang lazim adalah bahwa semakin tua umur seorang laki-
lai, ia akan semakin arif dan semakin bijak dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Itu mungkin hanya terjadi di lingkungan masyarakat pedesaan yang

Universitas Indonesia 111


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
budayanya masih kental dengan animisme dan dinamisme atau pantheisme yang
pada umumnya yang menghormati kesucian alam.

Tabel 5.1.2.
Golongan Umur Suami dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Total
Golongan Umur Suami 0 sd -10 -11 sd -20 -21sd-30
Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 0 3 0 3
Sd. 29 tahun
% ,0% 100,0% ,0% 100,0%
Count 2 9 2 13
30-39 tahun
% 15,4% 69,2% 15,4% 100,0%
Count 18 35 4 57
40-49 tahun
% 31,6% 61,4% 7,0% 100,0%
Count 5 11 3 19
50-59 tahun
26,3% 57,9% 15,8% 100,0%
Count 0 3 3 6
>60 tahun
,0% 50,0% 50,0% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

40 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
Ramah)
30 -21 - -30 (Tidak Ramah)
Count

20

10

0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun 60 tahun ke
atas

Golongan Umur Suami

Diagram 5.1.2.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Golongan UmurSuami

Meskipun sudah jelas pendidikan dan umur suami bukan merupakan


prediktor bagi intensitas praktik ramah lingkungan dalam kegiatan produksi
tempe tahu, penulis mencoba berharap bahwa hal itu tidak berlaku bagi faktor

Universitas Indonesia 112


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pendidikan dan umur isteri. Asumsi penulis adalah bahwa perempuan
cenderung memiliki sense of beauty sesuai dengan tingkat pendidikannya, lebih
suka lingkungan yang indah, segar dan harum. Namun kenyataannya hal yang
sama juga berlaku pada hubungan antara tingkat ramah lingkungan dengan
golongan pendidikan isteri. Artinya tingkat ramah lingkungan pada kegiatan
usaha pengolahan tempe tahu tidak ada kaitannya dengan tingkat pendidikan
isteri. Tingkat ramah lingkungan kegiatan usaha yang yang pada umumnya
kurang, berlaku juga untuk semua tingkat pendidikan isteri; kecuali untuk satu
unit produksi yang tidak ramah lingkungan yang justru sang istri berpendidikan
SMA (Tabel 5.1.3 dan Diagram 5.1.3).

Tabel 5.1.3.
Pendidikan Isteri dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN Total


Pendidikan Isteri 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Tidak tamat Count 1 2 2 5
SD % 20,0% 40,0% 40,0% 100,0%
Count 23 50 7 80
SD
% 28,8% 62,5% 8,8% 100,0%
Count 1 9 2 12
SMP
% 8,3% 75,0% 16,7% 100,0%
Count 0 0 1 1
SMA
% ,0% ,0% 100,0% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 113


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
40 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

30

Count
20

10

0
Tidak tamat SD SD SMP SMA

Pendidikan Isteri

Diagram 5.1.3
Tingkat Ramah Lingkungan dan Tingkat Pendidikan Isteri

Hal yang sama juga berlaku pada hubungan antara tingkat ramah
lingkungan dengan golongan umur isteri. Artinya tingkat ramah lingkungan
pada kegiatan usaha pengolahan tempe tahu tidak ada kaitannya dengan
golongan umur isteri. Tingkat ramah lingkungan kegiatan usaha yang yang pada
umumnya kurang, berlaku juga untuk semua golongan umur isteri (Tabel 5.1.4
dan Diagram 5.1.4).
Tabel 5.1.4.
Golongan Umur Isteri dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Total
Golongan Umur Isteri 0 sd -10 -11sd-20 -21sd-30
Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 2 7 1 10
Sd. 29 tahun
% 20.0% 70.0% 10.0% 100.0%
Count 6 24 5 35
30-39 tahun
% 17.1% 68.6% 14.3% 100.0%
Count 16 22 3 41
40-49 tahun
% 39.0% 53.7% 7.3% 100.0%
Count 1 8 3 12
50-59 tahun
% 8.3% 66.7% 25.0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

Universitas Indonesia 114


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
25 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
20 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

15
Count

10

0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun

Golongan Umur Iateri

Diagram 5.1.4
Tingkat Ramah Lingkungan dan Golongan Umur Isteri

Karakteristik sosial ekonomi juga tercermin dari jumlah anak yang


masih menjadi tanggungan. Akan tetapi variabel ini ternyata juga bukan
merupakan prediktor tingkat ramah lingkungan. Artinya, baik yang jumlah
tanggungan anaknya banyak dan bahkan yang tidak mempunyuai tanggungan
sekalipun, perilaku produksinya pada umumnya menunjukkan kurang ramah
lingkungan (Tabel 5.1.5 dan Diagram 5.1.5).

Tabel 5.1.5.
Tanggungan Anak dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tanggungan Anak 0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd -30 Total
Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 8 28 3 39
0
% 20.5% 71.8% 7.7% 100.0%
Count 0 2 1 3
1
% .0% 66.7% 33.3% 100.0%
Count 6 14 4 24
2
% 25.0% 58.3% 16.7% 100.0%
Count 5 9 1 15
3
% 33.3% 60.0% 6.7% 100.0%
Count 6 8 3 17
4
% 35.3% 47.1% 17.6% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

Universitas Indonesia 115


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
30 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
25 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

20

Count
15

10

0
0 1 2 3 4

Tanggungan Anak

Diagram 4.1.5.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Jumlah Tanggungan Anak

Keanggotaan dalam koperasi yang dalam hal ini adalah KOPTI,


merupakan satu prestise tersendiri bagi warga setempat. Karena itu keanggotaan
dalam KOPTI dapat dipakai sebagai salah satu indikator karakteristik sosial
ekonomi. Akan tetapi data menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KOPTI
(59,1%) maupun sebagian besar warga yang bukan anggota (64,8%), sama-
sama kurang ramah lingkungan (Tabel 5.1.6 dan Diagram 5.1.6).

Tabel 5.1.6. Keanggotaan dalam Koperasi * TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


0 sd -10 -11sd -20 -21 sd -30 Total
Keanggotaan dalam Koperasi
Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 14 26 4 44
Anggota Koperasi
% 31,8% 59,1% 9,1% 100,0%
Count 11 35 8 54
Tdk menjadi anggota
% 20,4% 64,8% 14,8% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 116


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
40 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
Ramah)
30 -21 - -30 (Tidak Ramah)

Count 20

10

0
Anggota Koperasi Tdk menjadi anggota

Keanggotaan dalam Koperasi

Diagram 5.1.6.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Keanggotaan dalam Koperasi

Karakteristik sosial ekonomi responden juga tercermin dari aset yang


dimiliki untuk kegiatan usaha. Variasi aset penulis tetapkan berdasarkan
informasi mengenai status pemilikan lahan pemasasan, jenis bangunan lahan
pemasaran, peralatan teknis produksi yang dimiliki, dan pemilikan alat
transportasi.

Tabel 5.1.7. TINGKAT NILAI ASET dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


TINGKAT NILAI ASET 0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd -
Mendekati Kurang 30 Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Count 1 5 2 8
Di bawah standard
% 12,5% 62,5% 25,0% 100,0%
Count 19 49 8 76
Standard umum
% 25,0% 64,5% 10,5% 100,0%
Count 5 7 2 14
Melebihi standard umum
% 35,7% 50,0% 14,3% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Dari Tabel 5.1.7 dan Diagram 5.1.7, tampak bahwa pada umumnya
warga PIK KOPTI cenderung kurang ramah lingkungan. Hal itu berlaku baik

Universitas Indonesia 117


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bagi yang asetnya dibawah standard, demikian juga yang nilai asetnya cukup,
dan juga yang asetnya melebihi rata-rata.

50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
40 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

30
Count

20

10

0
11-16 (Di bawah standard 17--19 (Standard umum) > 20 (Melebihi standard
minimal) umum)

TINGKAT NILAI ASET

Diagram 5.1.7.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Tingkat Nilai Aset

Dari semua data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa intensitas


praktik ramah lingkungan di kalangan usaha industri kecil tempe tahu di PIK
KOPTI Semanan tidak berhubungan dengan karateristik sosial ekonomi
pemiliki usaha. Ideas yang menyatakan bahwa intensitas praktik ramah
lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan tempe tahu berkemungkinan
memiliki hubungan dengan karakteristik sosial ekonomi pemilik usaha, ternyata
tidak terverifikasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesadaran
pelestarian lingkungan yang rendah memang sudah melekat sebagai salah satu
karakteristik usaha industri kecil tempe tahu. Hal tersebut tidak berkaitan
dengan tingkat pendidikan dan umur pemilik baik isteri maupun suami, juga
tidak terikat dengan banyaknya anak yang masih menjadi tanggungan, juga
tidak terikat dengan banyaknya aset yang dimiliki, juga tidak terikat dengan
kenaggotaaan mereka dalam kooperasi. Karena itu secara lebih konseptual dapat
dikemukan bahwa institusi keluarga, institusi pendidikan dan institusi ekonomi,

Universitas Indonesia 118


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pada dasarnya tidak cukup mampu membentuk perilaku produksi ramah
lingkungan.menurut standar modernisasi ekologik. Materi sosialisasi atau
fiosofi mengenai perilaku ramah lingkungan memang tidak tampak ada di
dalam institusi-intitusi tersebut. Jika demikian, maka proyek sosiologik untuk
mengimplementasikan modernisasi ekologis pada usaha industri kecil tempe
tahu tidak dapat mengandalkan pada keluarga, sekolah atau koperasi sebagai
sasaran intervensi.

5.2. Intensitas praktik ramah lingkungan dan karakteristik usaha

Ideas: Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil


pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan
karakteristik usaha. Karakteristik usaha pada umumnya adalah homogen atau
konstan, kecuali untuk beberapa aspek seperti tujuan dan motivasi usaha,
pembagian tanggungjawab suami dan isteri dalam menjalankan usaha,
perencanaan usaha dan penggunaan penghasilan.

Tabel 5.2.1. Tujuan dan Motivasi Utama Usaha * TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Tujuan dan Motivasi Utama Usaha 0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd - Total
Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah
Untuk memenuhi kebutuhan rutin Count 4 13 7 24
keluarga % 16.7% 54.2% 29.2% 100.0%
Untuk kebutuhan rutin keluarga Count 3 3 1 7
dan untuk tabungan % 42.9% 42.9% 14.3% 100.0%
Utk kebutuhan rutin kel, Count 18 45 4 67
tabungan, dan pengembangan
usaha % 26.9% 67.2% 6.0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

a) Dari segi motivasi dan tujuan usaha, data menunjukkan bahwa baik
responden yang motivasi dan tujuan usahanya sekedar memenuhi kebutuhan
rutin keluarga saja, maupun yang juga untuk mengumpulkan tabungan, serta
yang juga bertujuan dan bermotivasi untuk pengembangan usaha, pada

Universitas Indonesia 119


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
umumnya kegiatan usahanya kurang ramah lingkungan (Tabel 5.2.1 dan
Diagram 5.2.1).

50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
40 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

30
Count

20

10

0
Untuk memenuhi Untuk kebutuhan rutin Utk kebutuhan rutin kel,
kebutuhan rutin keluarga keluarga dan untuk tabungan, dan
tabungan pengembangan usaha

Tujuan dan Motivasi Utama Usaha

Diagram 4.2.1
Tingkat Ramah Lingkungan dan Tujuan & Motivasi Usaha

b) Mengenai hubungan antara status usaha sebagai sumber penghasilan


dengan tingkat ramah lingkungan, Tabel 4.2.2 dan Diagram 4.2.2. menunjukkan
bahwa sebagian besar responden yang status usahanya merupakan sumber
penghasilan utama (62,9%) berkecenderungan kurang ramah lingkungan.

Tabel 5.2.2.
Status Usaha sebagai Sumber Penghasilan dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Status Usaha sebagai Sumber 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd - Total
Penghasilan Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 24 61 12 97
Sumber penghasilan utama
% 24.7% 62.9% 12.4% 100.0%
Count 1 0 0 1
Sumber penghasilan sekunder
% 100.0% .0% .0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

Universitas Indonesia 120


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
70 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
60
-11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
50

Count 40

30

20

10

0
Sumber penghasilan utama Sumber penghasilan sekunder

Status Usaha sebagai Sumber Penghasilan

Diagram 5.2.2.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Status Usaha

c) Apabila tingkat ramah lingkungan dikaitkan dengan penanggung-jawab


usaha, tampak bahwa baik yang penanggungjawabanya suami, atau isteri atau
suami isteri, semua berkecenderungan kurang ramah lingkungan (Tabel 5.2.3
dan Diagram 5.2.3).

Tabel 5.2.3.
Penanggungjawab Seluruh Kegiatan Usaha dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Penanggungjawab
Seluruh Kegiatan 0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd - Total
Usaha Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah
Suami Count 17 42 11 70
% 24.3% 60.0% 15.7% 100.0%
Isteri Count 0 2 0 2
% .0% 100.0% .0% 100.0%
Suami dan Count 8 17 1 26
Isteri % 30.8% 65.4% 3.8% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

Universitas Indonesia 121


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
40 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

30

Count

20

10

0
Suami Isteri Suami dan Isteri

Penanggungjawab Seluruh Kegiatan Usaha

Diagram 5.2.3.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Penanggungjawab Usaha

d) Jika tingkat ramah lingkungan dikaitkan dengan jangkauan rencana


yang dibuat, tampak bahwa jangkauan rencana hampir semua responden adalah
rencana harian, dan sebagian besar memang kurang ramah lingkungan.
Responden yang membuat rencana mingguan, bulanan dan yang tidak membuat
perencanaan sama sekali justru mendekati ramah lingkungan; namun hal ini
tidak dapat digeneralisasi karena jumlahnya yang terlampau sedikit (Tabel
5.2.4. Diagram 5.2.4).

Tabel 5.2.4. Jangkauan Rencana yang Dibuat * TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Jangkauan Rencana yang 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
Total
Dibuat Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 20 60 10 90
Rencana Harian
% 22.2% 66.7% 11.1% 100.0%
Count 2 0 0 2
Rencana Mingguan
% 100.0% .0% .0% 100.0%
Count 1 0 1 2
Rencana Bulanan
% 50.0% .0% 50.0% 100.0%
Tidak membuat Count 2 1 1 4
perencanaan % 50.0% 25.0% 25.0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

Universitas Indonesia 122


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Faktor waktu tampaknya memang menjadi alasan utama untuk tidak
ramah lingkungan. Artinya, responden cenderung tidak sempat berfikir untuk
melakukan kegiatan usaha dengan prinsip ramah lingkungan. Rencana usaha
yang dibuat setiap hari hanya berfokus pada masalah permodalan dan
pemasaran. Sedang yang rencananya dibuat mingguan, bulanan dan bahkan
yang tidak membuat rencana, berkemungkinan memiliki waktu untuk ramah
lingkungan.

60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40
Count

30

20

10

0
Rencana Harian Rencana Mingguan Rencana Bulanan Tidak membuat
perencanaan

Jangkauan Rencana yang Dibuat

Diagram 5.2.4.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Jangkauan Rencana

e) Intensitas praktik ramah lingkungan juga tidak berkaitan dengan siapa


yang membuat rencana usaha. Kegiatan usaha yang perencanaan usahanya
diabuat oleh suami saja, atau isteri saja, atau suami istri, pada umumnya kurang
ramah lingkungan (Tabel 5.2.5 dan Diagram 5.2.5).

Universitas Indonesia 123


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 5.2.5.
Yang Membuat Perencanaan *dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Yang Membuat 0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd -30
Perencanaan Mendekati Kurang Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Count 13 28 9 50
Suami
% 26.0% 56.0% 18.0% 100.0%
Count 3 14 1 18
Isteri
% 16.7% 77.8% 5.6% 100.0%
Suami dan Count 7 18 1 26
Isteri % 26.9% 69.2% 3.8% 100.0%
Tidak membuat Count 2 1 1 4
rencana % 50.0% 25.0% 25.0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

30 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
25 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

20
Count

15

10

0
Suami Isteri Suami dan Isteri Tidak membuat
rencana

Yang Membuat Perencanaan

Diagram 5.2.5.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Yang Membuat Rencana

f) Intensitas praktik ramah lingkungan juga tidak berkaitan dengan


penggunaan penghasilan; pada umumnya memang kurang ramah lingkungan
(Tabel 5.2.6 dan Diagram 5.2.6).

Universitas Indonesia 124


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 5.2.6.
Penggunaan Penghasilan Usaha dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
Total
Penggunaan Penghasilan Usaha Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Untuk memenuhi kebutuhan rutin Count 2 10 7 19
keluarga % 10,5% 52,6% 36,8% 100,0%
Untuk kebutuhan rutin keluarga Count 3 7 0 10
dan untuk tabungan % 30,0% 70,0% ,0% 100,0%
Utk kebutuhan rutin kel, Count 20 44 4 68
tabungan, dan pengembangan
usaha % 29,4% 64,7% 5,9% 100,0%
Untuk kebutuhan sambilan, Count 0 0 1 1
tabungan, dan pengembangan
usaha % ,0% ,0% 100,0% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
40 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

30
Count

20

10

0
Untuk memenuhi Untuk kebutuhan Utk kebutuhan rutin Untuk kebutuhan
kebutuhan rutin rutin keluarga dan kel, tabungan, dan sambilan, tabungan,
keluarga untuk tabungan pengembangan dan pengembangan
usaha
usaha

Penggunaan Penghasilan Usaha

Diagram 5.2.6.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Penggunaan Penghasilan

g) Intensitas praktik ramah lingkungan juga tidak berhubungan dengan


jumlah pekerja; semuanya cenderung kurang ramah lingkungan (Tabel 4.2.7
dan Diagram 4.2.7).

Universitas Indonesia 125


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 5.2.7. Jumlah Pekerja dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
Jumlah Pekerja Mendekati Kurang Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Count 8 24 0 32
0
% 25,0% 75,0% ,0% 100,0%
Count 7 14 9 30
1–2
% 23,3% 46,7% 30,0% 100,0%
Count 2 11 1 14
3–4
% 14,3% 78,6% 7,1% 100,0%
Count 8 12 2 22
5–6
% 36,4% 54,5% 9,1% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

25 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
20 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

15
Count

10

0
0 1-2 3-4 5-6

Jumlah Pekerja

Diagram 5.2.7.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Jumlah Pekerja

Dari seluruh data mengenai hubungan antara karakteristik usaha dengan


tingkat ramah lingkungan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik usaha tersebut pada umumnya bukan merupakan prediktor bagi
ramah-tidaknya kegiatan produksi usaha industri kecil tempe tahu di PIK
KOPTI Semanan. Ideas yang menyatakan bahwa karakteristik usaha tersebut
pada umumnya merupakan prediktor bagi ramah-tidaknya kegiatan produksi
usaha industri kecil tempe tahu di PIK KOPTI Semanan, adalah tidak
terverifikasi. Itu berarti bahwa tingkat ramah lingkungan yang rendah adalah
merupakan karakteristik yang memang sudah melekat pada usaha industri kecil

Universitas Indonesia 126


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tempe tahu. Jika demikian, maka proyek sosiologik untuk
mengimplementasikan modernisasi ekologis pada usaha industri kecil tempe
tahu juga tidak dapat mengandalkan pada pembinaan karakteristik usaha
sebagai sasaran intervensi. Pembinaan karakteristik usaha yang meliputi
pembinaan motivasi usaha, pembinaan manajemen usaha, dan pembinaan
tenaga kerja, tampaknya belum perlu menjadi prioritas intervensi bagi
terwujudnya industri kecil tempe tahu ramah lingkungan.

5.3. Intensitas praktik ramah lingkungan dan partisipasi dalam pembinaan


dan sosialisasi ramah lingkungan.

Logikanya, intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri


kecil pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan
partisipasi dalam pembinaan dan sosialisasi ramah lingkungan. Namun data
menunjukkan bahwa baik yang sudah ikut pembinaan maupun yang belum,
pada umumnya cenderung kurang ramah lingkungan.
Sebagaimana tampak pada tabel 5.3.1 dan diagram 5.3.1, baik responden
yang sudah pernah mengikuti penyuluhan produksi ramah lingkungan maupun
yang belum pernah, sama-sama cenderung memiliki perilaku usaha yang kurang
ramah lingkungan; hanya sebagian kecil saja yang menunjukkan perilaku
mendekati ramah.
Tabel 5.3. 1.
Partisipasi dalam Penyuluhan Teknik Produksi Ramah Lingkungan
dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Penyuluhan Teknik Produksi 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -
Ramah Lingkunan Mendekati Kurang 30 Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Count 1 6 2 9
Pernah
% 11,1% 66,7% 22,2% 100,0%
Count 24 55 10 89
Belum pernah
% 27,0% 61,8% 11,2% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 127


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40

Count
30

20

10

0
Pernah Belum pernah

Penyuluhan Teknik Produksi Ramah Lingkunan

Diagram 5.3.1.
Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Produksi Ramah Lingkungan

Di lingkungan penelitian juga pernah dilakukan penyuluhan mengenai


bahan-bahan yang boleh dan tidak boleh dipergunakan untuk produksi tempe
tahu. Akan tetapi partisipasi warga dalam penyuluhan-penyuluhan tersebut
cenderung tidak memiliki hubungan dengan tingkat ramah lingkungan yang
dicapai. Pada umumnya memang tetap cenderung kurang ramah lingkungan
(Tabel 5.3.2, Diagram 5.3.2, Tabel 5.3.3, Diagram 5.3.3)

Tabel 5.3.2.
Penyuluhan Mengenai Bahan Baku Ramah Lingkungan
dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

Penyuluhan Mengenai TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN Total


Bahan Baku Ramah 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
Lingkungan Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 0 3 2 5
Pernah
% ,0% 60,0% 40,0% 100,0%
Count 25 58 10 93
Belum pernah
% 26,9% 62,4% 10,8% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total % 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 128


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40

Count
30

20

10

0
Pernah Belum pernah

Penyuluhan Mengenai Bahan Baku Ramah Lingkungan

Diagram 5.3.2.
Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Bahan Baku Ramah Lingkungan

Tabel 5.3.3. Penyuluhan Lainnya dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
Penyuluhan Lainnya
Mendekati Kurang Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Count 15 36 11 62
Pernah
% 24,2% 58,1% 17,7% 100,0%
Count 10 25 1 36
Belum pernah
% 27,8% 69,4% 2,8% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 129


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
40 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
Ramah)
30 -21 - -30 (Tidak Ramah)

Count

20

10

0
Pernah Belum pernah

Penyuluhan Lainnya

Diagram 5.3.3.
Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Lainnya

Dari seluruh data mengenai partisipasi pelaku usaha pada kegiatan-


kegiatan penyuluhan dan pembinaan produksi ramah lingkungan dalam
kaitannya dengan intensitas perilaku ramah lingkungan tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa pernah-tidaknya pelaku usaha berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan pembinaan dan penyuluhan produksi ramah lingkungan
tersebut pada umumnya bukan merupakan prediktor bagi ramah-tidaknya
kegiatan produksi usaha industri kecil tempe tahu di PIK KOPTI Semanan. Ini
berarti bahwa tingkat ramah lingkungan yang rendah adalah merupakan
karakteristik yang memang sudah melekat pada usaha industri kecil tempe tahu.
Logika bahwa intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil
pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan partisipasi
dalam pembinaan dan sosialisasi ramah lingkungan, tidak terverfikasi. Jika
demikian, maka proyek sosiologik untuk mengimplementasikan modernisasi
ekologis pada usaha industri kecil tempe tahu juga tidak dapat mengandalkan
pada kegiatan-kegiatan pembinaan produksi ramah lingkungan sebagai sasaran

Universitas Indonesia 130


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pembenahan. Pembinaan dan penyuluhan produksi ramah lingkungan yang
meliputi penyuluhan dan pembinaan mengenai teknik produksi, bahan baku,
dan serta penyuluhan dan pembinaan lainnya, tampaknya belum perlu menjadi
prioritas intervensi bagi terwujudnya industri kecil tempe tahu ramah
lingkungan.

5.4. Intensitas praktik ramah lingkungan dan sikap konsumen

Ideas: Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil


pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan respon
konsumen. Ideas ini tampaknya dapat diverifikasi oleh data yang ada. Walaupun
sebagian besar responden menunjukkan perilaku produksi yang kurang ramah
lingkungan, namun responden yang pernah memperoleh protes dari konsumen
cenderung berperilaku produksi mendekati ramah lingkungan, sedangkan yang
tidak pernah mendapat protes cenderung tidak ramah lingkungan (Tabel 5.4.
dan Diagram 5.4).
Sudah barang tentu yangn diprotes oleh konsumen adalah produk-
jadinya, bukan prosen produksinya. Namun demikian ini juga berarti bahwa
pada dasarnya konsumen memiliki power untuk memaksa pelaku usaha industri
kecil tempe tahu agar melaksanakan produksi ramah lingkungan, meskipun
kekuatan hungannya tergambar kurang begitu signifikan.

Tabel 5.4.
Protes dari Konsumen dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN Total


0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -
Protes dari Konsumen Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 24 52 7 83
Pernah
% 28,9% 62,7% 8,4% 100,0%
Count 1 9 5 15
Tidak Pernah
% 6,7% 60,0% 33,3% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 131


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40
Count

30

20

10

0
Pernah Tidak Pernah

Protes dari Konsumen

Diagram 5.4.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes dari Konsumen

Dengan demikian proyek sosiologik untuk mengimplementasikan


ideologi modernisasi ekologis pada dasarnya dapat melibatkan konsumen,
walaupun kekuatannya kurang begitu signifikan. Sebagaimana pendapat umum
membenarkan, segmen pasar tempe tahu adalah masyarakat yang memilih
berbelanja di pasar tradisional yang pada umumnya tidak memerlukan informasi
produk atau setidaknya informasi mengenai alamat pabrik. Jika konsumen tidak
puas atas produk tempe tahu yang dibelinya itu, komplain hanya dapat
disampaikan kepada pedagang. Dengan perkataan lain, power konsumen untuk
mempengaruhi produk harus ”mampir” dulu di pedagang, kemudian pedagang
tersebut dapat mengembalikan atau tidak mengembalikan kepada produsen.
Perlu diinformasikan dalam deskripsi ini adalah bahwa konsumen yang
berhubungan langsung dengan produsen tempe tahu di PIK KOPTI Semanan
pada umumnya adalah pelaku usaha rumah makan yang dengan kata lain juga
pedagang atau bukan konsumen akhir. Dengan demikian para pelaku usaha
rumah makan ini pada dasarnya lebih memiliki power untuk memaksa produsen

Universitas Indonesia 132


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
untuk ramah lingkungan khususnya dari aspek produknya. Dengan demikian
pula para pelaku usaha rumah makan ini pada dasarnya juga merupakan salah
satu subyek strategis yang dapat dilibatkan dalam proyek sosiologik dalam
rangka mengimplementasikan ideologi modernisasi ekologik di kalangan
industri pengolahan makanan.

5.5. Intensitas praktik ramah lingkungan dengan sikap distributor/pengecer.

Ideas: Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil


pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan respon
distributor/pengecer. Dari data yang tergambar pada Tabel 5.5. dan Diagram
4.5, ideas tersebut tampaknya terverifikasi. Sebagian besar responden yang
tidak pernah mendapat protes dari para pedagang atau distributornya, sebagaian
besar adalah responden yang jasil produksinya cenderung mendekati ramah
lingkungan (82,1%); yang pernah sekali mendapat protes pada umumnya adalah
responden yang hasil produksinya kurang ramah lingkungan (94,5%); dan yang
sering mendapat protes pada umumnya adalah responden yang hasil
produksinya tidak ramah lingkungan yang dalam hal ini adalah mengandung
bahan B3..

Tabel 5.5.
Protes dari Pedagang/Distributor danTINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -
Protes dari Mendekati Kurang 30 Tidak Total
Pedagang/Distributor Ramah Ramah Ramah
Count 23 5 0 28
Tidak Pernah
% 82,1% 17,9% ,0% 100,0%
Count 2 52 1 55
Pernah Sekali %
3,6% 94,5% 1,8% 100,0%
Count 0 4 11 15
Sering
% ,0% 26,7% 73,3% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total %
25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 133


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40
Count

30

20

10

0
Tidak Pernah Pernah Sekali Sering

Protes dari Pedagang/Distributor

Diagram 5.5.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes dari Pedagang

Dari beberapa wawancara dengan responden yang tergolong tidak ramah


lingkungan, diperoleh ingormasi para distributor atau para pedagang pengecer
cenderung mengembalikan produk baik tahu ataupun tempe jika terlalu cepat
rusak. Karena itu mau tidak mau para perajin harus membuat produk tahu dan
tempe yang lebih awet, agar tidak dikembalikan oleh para pedagang. Untuk itu
penggunaan bahan pengawet harus dilakukan, tanpa mempertimbangkan
bahayanya bagi konsumen. Sementara itu beberapa pedagang yang berhasil
ditemui di tempat memang menghendaki produk yang tidak cepat rusak tetapi
harus bebas dari bahan B3. Dengan demikian pada dasarnya para pedagang atau
distributor atau pengecer ini lebih memiliki power untuk memaksa agar proses
produksi menghasilkan produk yang ramah lingkungan khususnya lebih awet
tanpa bahan pengawet yang dilarang. Dengan demikian pula, proyek sosiologik
dalam rangka mengimplementasikan idologi modernisasi ekologik, dapat
melibatkan para pedagang atau para distributor atau pengecer sebagai salah satu
subyek strategis yang diharapkan dapat lebih membawa dampak bagi
peningkatan perilaku ramah lingkungan para pelaku usaha industri kecil tempe
tahu.

Universitas Indonesia 134


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
5.6. Intensitas praktik ramah lingkungan dan sikap warga sekitar.

Ideas: Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil


pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap
warga sekitar. Pada umumnya responden memang pernah memperoleh protes
dari warga sekitar kawasan. Protes tersebut adalah mengenai proses produksi
yang dirasakan mengganggu kenyaamanan. Protes tersebut pada umumnya
adalah mengenai bau dari limbah air yang dihasilkan yang sangat tidak sedap.
Data menunjukkan bahwa baik responden yang mendekati ramah
lingkungan maupun yang kurang ramah linkungan dan yang tidak ramah
lingkungan, pada umumnya pernah memperoleh protes dari warga sekitar
dengan berbagai alasan. Namun hasilnya tetap saja, pada umumnya responden
tetap melakukan proses produksi dengan cara yang pada umumnya kurang
ramah lingkungan. Dengan demikian ideas tersebut di tidak terverifikasi di
lapangan.

Tabel 5.6. Protes Warga Sekitar atas Limbah dan


TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Alasan Protes Warga Sekitar 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -30
atas Limbah Mendekati Kurang Tidak Total
Ramah Ramah Ramah
Karena Limbah Count 0 2 0 2
Debu/Abu % ,0% 100,0% ,0% 100,0%
Count 16 37 8 61
Karena Limbah Bau
% 26,2% 60,7% 13,1% 100,0%
Count 1 4 2 7
Karena Limbah Asap % 14,3% 57,1% 28,6% 100,0%
Karena dianggap Count 3 3 2 8
mencemari sumber air % 37,5% 37,5% 25,0% 100,0%
Tidak tahu ada Count 5 15 0 20
protes % 25,0% 75,0% ,0% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total % 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

Universitas Indonesia 135


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
40 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
30 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

Count
20

10

0
Karena Limbah Karena Limbah Karena Karena Tidak tahu ada
Debu/Abu Bau LimbahAsap dianggap protes
mencemari
sumber air

Protes Warga Sekitar atas Limbah

Diagram 5.6.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes Warga Sekitar

Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 2, warga PIK KOPTI


Semanan cenderung resisten terhadap protes warga sekitar ini. Karena itu
melibatkan langsung warga sekitar sebagai agen modernisasi ekologik usaha
industri kecil tempe tahu, sedapat mungkin dihindari.

5.7. Intensitas praktik ramah lingkungan dan nilai-nilai yang dianut oleh
warga setempat.

Ideas: Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil


pengolahan tempe tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan nilai-nilai
mengenai lingkungan yang dianut oleh warga setempat. Sebagaimana telah
diinformasikan, lokasi usaha para perajin tempe tahu di kawasan Kopti
Semanan ini adalah tersebar di beberapa tempat yang umumnya dipinggiran kali
di Jakarta. Kesediaan berpindah mereka di kawasan Kopti Semanan ada yang
dilatarbelakangi oleh motivasi ekonomi semata-mata dan ada juga yang dilatar-
belangki oleh kesadaran ekonomi ramah lingkungan. Motivasi ini tampaknya
memiliki hubungan dengan sikap selanjutnya dalam kegiatan produksi di

Universitas Indonesia 136


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
lingkungan baru di Semanan. Yang bermotivasi ekonomi semata-mata
cenderung kurang ramah lingkungan, dan yang bermotivasi ekonomi ramah
lingkungan cenderung mendekati ramah lingkungan (Tabel 5.7. dab Diagram
5.7). Sebagaimana setelah disampaikan, karateristik religi warga PIK KOPTI
Semanan tidak mengindikasi pada karakteristik religi yang pantheistik yang
menghormati lingkungan.

Tabel 5.7. Pertimbangan Pemilihan Lokasi Usaha TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN

TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN


Pertimbangan Pemilihan 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd - Total
Lokasi Usaha Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah
Ekonomi semata- Count 3 58 12 73
mata % 4,1% 79,5% 16,4% 100,0%
Ekonomi dan Count 22 3 0 25
kelestarian lingkungan % 88,0% 12,0% ,0% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25,5% 62,2% 12,2% 100,0%

60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

40
Count

30

20

10

0
Pertimbangan ekonomi semata-mata Pertimbangan ekonomi dan kelestarian
lingkungan

Pertimbangan Pemilihan Lokasi Usaha

Diagram 5.7.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Pertimbangan Pemilihan Lokasi Usaha

Karena baru sebagian kecil saja responden yang sudah memiliki


motivasi untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara yang lebih ramah
lingkungan jika dibandingkan dengan ketika mereka belum berrelokasi di
Semanan, maka motivasi itu kurang memberikan dampak bagi keseluruhan
populasi. Kegiatan produksi dari sebagian besar responden yang sudah

Universitas Indonesia 137


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
termotivasi ini memang mengindikasi berkegiatan produksi yang mendekati
ramah lingkungan; tetapi sebagian besar responden tetap saja kurang ramah
lingkungan dan bahkan ada yang tidak ramah lingkungan sama sekali.

5.8. Respon pemilik usaha terhadap tindakan-tindakan intervensi agar ramah


lingkungan dan hubungannya dengan cara yang dilakukan dalam
tindakan intervensi tersebut.

Ideas: Respon pemilik usaha terhadap tindakan-tindakan intervensi


untuk ramah lingkungan adalah berkemungkinan memiliki hubungan dengan
cara yang dilakukan dalam tindakan intervensi tersebut. Intervensi yang
diharapkan oleh warga adalah yang bukan hanya terbatas pada penyuluhan ”di
ruang kelas” saja; tetapi yang dilengkapi dengan praktek dan percontohan.
Sebagaimana telah diinformasikan dimuka, praktek dan percontohan yang
sudah dilaksanakan di lingkungan penelitian adalah pembuatan sumur resapan,
pengelolaan limbah di IPAL dan pengelolaan sampah melalui mesin pres.
Respon warga terhadap cara pembinaan semacam itu tampaknya berhubungan
dengan tingkat ramah lingkungan mereka dalam kegiatan produksi. Bagi yang
menganggap bahwa intervensi atau pembinaan tersebut sudah cukup, cenderung
berperilaku produksi ramah lingkungan. Bagi yang menganggap bahwa
pembinaan tersebut belum cukup dan perlu lebih sering diakan, cenderung
berilaku produksi kurang ramah lingkungan. Kemudian yang menginginkan
pembinaan tersebut perlu lebih sering diadakan dan sekaligus dengan pemberian
bantuan peralatan, cenderung berperilaku produksi sama sekali tidak ramah
lingkungan (Tabel 5.8. dan Diagram 5.8).
Terungkap pada FGD 28 Oktober 2009, yang lebih ditunggu oleh
responden adalah percontohan mesin untuk pabrik tempe modern yang ramah
lingkungan.

Universitas Indonesia 138


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 5.8.
Harapan terhadap Intervensi/Pembinaan dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Harapan terhadap 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -
Intervensi/Pembinaan Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah Total
Count 24 7 0 31
Sudah cukup
% 77.4% 22.6% .0% 100.0%
Mohon lebih sering Count 1 50 0 51
diadakan % 2.0% 98.0% .0% 100.0%
Mohon lebih sering Count 0 4 12 16
diadakan dan dengan
bantuan peralatan % .0% 25.0% 75.0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%

50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
40 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)

30
Count

20

10

0
Sudah cukup Mohon lebih sering Mohon lebih sering
diadakan diadakan dan dengan
bantuan peralatan

Harapan terhadap Intervensi/Pembinaan

Diagram 5.8.
Tingkat Ramah Lingkungan
dan Harapan terhadap Intervensi/pembinaan

5.9. Respon para pemilik usaha cenderung bersifat akomodatif terhadap


intervensi yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas ramah
lingkungan secara bergotong-royong.

Ideas: Respon para pemilik usaha cenderung bersifat akomodatif


terhadap intervensi yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas. Ideas ini
tampak dari kesediaan warga untuk mandiri dalam menjaga keberlanjutan
kegiatan yang telah dihasilkan dari pembinaan ramah lingkungan, yaitu dengan
cara memberikan iuran rutin dan kerjabakti. Kenyataan empirik tersebut

Universitas Indonesia 139


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berbeda dengan kenyataan empirik lain yang menunjukkan rendahnya
partisipasi warga dalam kegiatan penyuluhan ”di ruang kelas” sebagaimana
telah disampaikan di muka..Pilihan partisipasi yang pada umumnya dalam
bentuk iuran rutin dan juga kerja bakti tersebut tampaknya tidak ada
hubungannnya dengan variabel-variabel status sosial ekonomi warga seperti
umur suami, umur isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri dan besar kecilnya
asset usaha (Tabel 5.9.1 sd. 5.9.5 dan Diagram 5.9.1 sd. 5.9.5).

Tabel 5.9.1 Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan


dan Umur Suami

Partisipasi dalam Pengelolaan


Lingkungan & Kebersihan
Dalam Total
Golongan Umur Suami Dalam Dalam bentuk
bentuk bentuk iuran rutin
iuran rutin kerjabak dan juga
saja ti saja kerjabakti
Count 0 0 3 3
Sd. 29 tahun
% .0% .0% 100.0% 100.0%
Count 1 0 12 13
30-39 tahun % 7.7% .0% 92.3% 100.0%
Count 4 5 48 57
40-49 tahun
% 7.0% 8.8% 84.2% 100.0%
Count 1 2 16 19
50-59 tahun
% 5.3% 10.5% 84.2% 100.0%
60 tahun ke Count 2 0 4 6
atas % 33.3% .0% 66.7% 100.0%
Count 8 7 83 98
Total
% 8.2% 7.1% 84.7% 100.0%

Universitas Indonesia 140


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
50 Partisipasi dalam
Pengelolaan
Lingkungan &
Kebersihan
Dalam bentuk iuran rutin
40
saja
Dalam bentuk kerjabakti
saja
Dalam bentuk iuran rutin
30 dan juga kerjabakti
Count

20

10

0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun 60 tahun ke
atas

Golongan Umur Suami

Diagram 5.9.1. Partisipasi dalam Pengelolaan


Lingkungan & Kebersihan dan Golongan Umur Suami

Tabel 5.9.2. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan


dan Umur Isteri
Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan
Dalam
Total
Golongan Umur Suami Dalam Dalam bentuk
bentuk bentuk iuran rutin
iuran rutin kerjabak dan juga
saja ti saja kerjabakti
Count 0 0 10 10
Sd. 29 tahun
% .0% .0% 100.0% 100.0%
Count 4 1 30 35
30-39 tahun % 11.4% 2.9% 85.7% 100.0%
Count 2 5 34 41
40-49 tahun
% 4,89% 12,20% 82,91% 100%
Count 2 1 9 12
50-59 tahun
% 16,67% 8,33% 75% 100%
Count 8 7 83 98
Total
% 8,16% 7,14% 84,70% 100%

Universitas Indonesia 141


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
40 Partisipasi dalam
Pengelolaan
Lingkungan &
Kebersihan
Dalam bentuk iuran rutin
saja
30 Dalam bentuk kerjabakti
saja
Dalam bentuk iuran rutin
dan juga kerjabakti
Count

20

10

0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun

Golongan Umur Iateri

Diagram 5.9.2. Partisipasi dalam Pengelolaan


Lingkungan & Kebersihan dan Golongan Umur Isteri
Tabel 5.9.3. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Pendidikan Suami
Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan
Dalam
Tingkat Pendidikan Total
Dalam Dalam bentuk
Suami
bentuk bentuk iuran rutin
iuran rutin kerjabak dan juga
saja ti saja kerjabakti
Tidak tamat Count 1 0 0 1
SD % 100.0% .0% .0% 100.0%
Count 7 5 71 83
SD
% 8.4% 6.0% 85.5% 100.0%
Count 0 1 7 8
SMP
% .0% 12.5% 87.5% 100.0%
Count 0 1 5 6
SMA
% .0% 16.7% 83.3% 100.0%
Count 8 7 83 98
Total
% 8.2% 7.1% 84.7% 100.0%

Universitas Indonesia 142


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
80 Partisipasi dalam
Pengelolaan
Lingkungan &
Kebersihan
Dalam bentuk iuran rutin
saja
60 Dalam bentuk kerjabakti
saja
Dalam bentuk iuran rutin
dan juga kerjabakti
Count

40

20

0
Tidak tamat SD SD SMP SMA

Pendidikan (Suami)

Diagram 5.9.3. Partisipasi dalam Pengelolaan


Lingkungan & Kebersihan dan Pendidikan Suami
Tabel 4.9.4. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Pendidikan Isteri
Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan
Dalam
Total
Tingkat Pendidikan Isteri Dalam Dalam bentuk
bentuk bentuk iuran rutin
iuran rutin kerjabak dan juga
saja ti saja kerjabakti
Tidak tamat Count 2 0 3 5
SD % 40.0% .0% 60.0% 100.0%
Count 5 5 70 80
SD
% 6.3% 6.3% 87.5% 100.0%
Count 1 2 9 12
SMP
% 8.3% 16.7% 75.0% 100.0%
Count 0 0 1 1
SMA
% .0% .0% 100.0% 100.0%
Count 8 7 83 98
Total
% 8.2% 7.1% 84.7% 100.0%

Universitas Indonesia 143


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
70 Partisipasi dalam
Pengelolaan
Lingkungan &
60 Kebersihan
Dalam bentuk iuran rutin
saja
Dalam bentuk kerjabakti
50 saja
Dalam bentuk iuran rutin
dan juga kerjabakti
Count

40

30

20

10

0
Tidak tamat SD SD SMP SMA

Pendidikan (Isteri)

Diagram 5.9.4. Partisipasi dalam Pengelolaan


Lingkungan & Kebersihan dan Pendidikan Isteri
Tabel 5.9.5. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan TINGKAT NILAI ASET
Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan
Dalam
Dalam Dalam
Tingkat Asset bentuk Total
bentuk bentuk
iuran rutin
iuran rutin kerjabakti
dan juga
saja saja
kerjabakti
11-16 Count 1 0 7 8
(Di bawah standard
% 12.5% .0% 87.5% 100.0%
minimal)
17--19 Count 6 7 63 76
(Standard umum) % 7.9% 9.2% 82.9% 100.0%
> 20 (Melebihi Count 1 0 13 14
standard umum % 7.1% .0% 92.9% 100.0%
Count 8 7 83 98
Total % 8.2% 7.1% 84.7% 100.0%

Universitas Indonesia 144


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
70 Partisipasi dalam
Pengelolaan
Lingkungan &
60 Kebersihan
Dalam bentuk iuran rutin
saja
50 Dalam bentuk kerjabakti
saja
Dalam bentuk iuran rutin
dan juga kerjabakti
Count

40

30

20

10

0
11-16 (Di bawah standard 17--19 (Standard umum) > 20 (Melebihi standard
minimal) umum)

TINGKAT NILAI ASET

Diagram 5.9.5. Partisipasi dalam Pengelolaan


Lingkungan & Kebersihan dan Nilai Asset yang Dimiliki

Dari keseluruhan data sebagaimana tergambar di atas, maka dapat


ditarik satu pernyataan bahwa respon para pemilik usaha cenderung bersifat
akomodatif terhadap intervensi yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas
ramah lingkungan dengan cara bergotong royong. Hal ini menambah daftar
karakteristik masyarakat pelaku usaha industri kecil yagg lebih menyukai
kegiatan-kegiatan yang bersifat kebersamaan, baik melalui kehadiran fisik
maupun melalui iuran.

5.10. Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap protes
yang bersifat mengancam; sebaliknya cenderung kooperatif kerjasama
yang saling menguntungkan.

Ideas: Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap


protes yang bersifat mengancam. Sebagaimana telah diinformasikan, beberapa
perajin pernah memperoleh protes dari konsumen dan juga dari para pedagang
sehubungan dengan produk yang rusak. Biasanya protes-protes dari para

Universitas Indonesia 145


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pedagang atau konsumen dapat diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak
dengan damai, yaitu dengan cara mengganti produk yang rusak tersebut dengan
produk yang tidak rusak. Produk yang rusak tidak dibuang, tetapi untuk
makanan ternak (kambing atau ayam).
Berbeda dengan protes dari konsumen atau pedagang yang bersifat
individual, protes dari warga sekitar bersifat komunal antar wilayah
pemukiman. Sebagaimana telah diinformasikan pada Tabel 4.1.39, protes dari
warga sekitar bukan mengenai produk, tetapi mengenai penanganan limbah
khususnya limbah air yang melewati kawasan pemukiman warga sekitar
tersebut. Protes yang berbentuk ancaman, datang dari warga RW 08 pada saat
waduk IPAL masih sedang dalam proses pembangunan (1998). Beberapa kali
sekelompok warga RW 08 yang dipimpin oleh Keuta RW-nya dan seorang kyai
beramai-ramai masuk kawasan KOPTI dan mencari pengurus KOPTI sambil
marah-marah dengan membawa pentungan dan golok. Karena situasiya
dianggap membahayakan keselamatan jiwa, Pengurus KOPTI memilih
menghindar. Untuk mendinginkan suasana dan sambil berjaga-jaga, warga
KOPTI berinisiatif membersihkan saluran limbah tersebut dari lumpur dan
menyaringnya dengan kapur di bagian hulu. Setelah suasana agak dingin, dilain
hari Pengurus KOPTI menemui para pimpinan RW 08 dan berunding untuk
mengatasi masalah limbah air yang baunya dirasakan sangat menyengat bagi
Warga RW 08. Kesepakatan yang diperoleh adalah warga RW 08 diminta untuk
sedikit bersabar menunggu selasai IPAL. Sebagi ucapan terimakasih, Pengurus
KOPTI membantu pembangunan POS Jaga RW 08 yang terletak tidak jauh dari
saluran limbah yang masuk ke RW 08.
Saluran limbah juga melewati kawasan Perumahan Taman Semanan
Indah (PTSI). Cara pihak PTSI merespon terhadap kondisi air limbah tersebut
berbeda dengan cara merespon yang dilakukan oleh warga RW 08. Yang
dilakukan pihak PTSI adalah dengan membantu membuat pintu-pintu
penyaringan pada saluran limbah tersebut, sehingga pada saat air limbah

Universitas Indonesia 146


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
memasuki kawasan PTSI, air limbah tersebut tidak membawa sampah dan tidak
lagi berbau menyengat.
Ketika penulis bertanya kepada warga PIK-KOPTI mengenai apa yang
dilakukan pada saat menanggapi protes dari warga ”luar”, pada umumnya
menyerahkan sepenuhnya kepada pengurus lingkungan.

Tabel 5.10. Partisipasi dalam Menangani Protes Warga


Frequency Percent
Valid Ikut dalam Tim Musyawarah 6 6.1
Berjaga-jaga 13 13.3
Menyerahkan sepenuhnya kpd Pengurus Lingkungan 79 80.6
Total 98 100.0

100

80

60
Percent

40

20

0
Ikut dalam Tim Musyawarah Berjaga-jaga Menyerahkan sepenuhnya
kepada Pengurus Lingkungan

Diagram 5.10. Cara Menangani Protes Warga

Universitas Indonesia 147


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 6

PEMBAHASAN 3

USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU


DALAM DISKUSI TEORETIK SOSIOLOGI LINGKUNGAN

6.1. Pokok Diskusi.

Pertanyaan pokok penelitian ini adalah: Mengapa industri kecil


pengolahan tempe tahu di Jakarta pada tingkat tertentu mampu ramah
lingkungan, namun sebagian besar lainnya cenderung mengindikasikan
praktik tidak ramah lingkungan?

Pertanyaan selanjutnya adadalah bagaimana peranan struktur sosial


terhadap tingkat ramah lingkungan kegiatan industri kecil tersebut? Dengan
pertanyaan itu bab ini bermaksud mendiskusikan peranan faktor-faktor
struktural yang melatar-belakangi praktik ramah lingkungan pada industri
kecil pengolahan tempe tahu di DKI Jakarta. Dalam hal ini diskusi meliputi
diskusi mengenai: a. Aktor-aktor sosial yang ikut terlibat dalam kegiatan
industri kecil pengolahan tempe tahu di DKI Jakarta, khususnya yang
berkenaan dengan praktik ramah lingkungan tersebut. b. Status dan peran
masing-masing aktor tersebut dalam kegiatan industri kecil pengolahan
tempe tahu di Jakarta itu.

Pertanyaan ke tiga adalah bagaimana peranan karakteristik individual


perusahaan itu sendiri terhadap tingkat ramah lingkungan industri kecil
pengolahan tahu dan tempe tersebut? Dengan pertanyaan ini bab ini juga
bermaksud mendiskusikan peranan faktor-faktor individual yang melatar-
belakangi praktik ramah lingkungan pada industri kecil pengolahan tempe
tahu di DKI Jakarta, baik faktor karakteristik pemilik usaha maupun
karakteristik perusahaan itu sendiri.
Pengajuan pertanyaan mengenai faktor struktural dan kemudian
disusul dengan pertanyaan mengenai faktor individual tersebut didasari pada
asumsi bahwa realitas sosial yang dalam hal ini adalah intensitas praktik

Universitas Indonesia 148


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ramah lingkungan kegiatan industri pengolahan makanan, adalah terjadi oleh
baik faktor struktural maupun faktor individual. Asumsi tersebut kemudian
diperkuat dengan telaah pustaka atas hasil-hasil penelitian mengenai
kegiatan usaha kecil ramah lingkungan.

Dari berbagai hasil penelitian tersebut penulis memperoleh beberapa


ideas bahwa: Intensitas praktik ramah lingkungan pada kegiatan industri
pengolahan makanan berhubungan dengan karakteristik pemilik usaha
maupun dengan karakteristik usaha itu sendiri. Dalam hubungan antara
karakteristik usaha maupun karakteristik pemilik usaha terhadap intensitas
praktik ramah lingkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan
tersebut, mekanisme sosialisasi dan kontrol yang dilakukan oleh komunitas
setempat termasuk Pemda setempat, konsumen, pemasar dan saingan
setempat ikut berperan.

Pada Bab 4 dan 5 penulis ingin menunjukkan apakah ideas tersebut


berlaku di lingkungan kegiatan produksi tempe tahu di PIK-KOPTI
Semanan Jakarta Barat.

6.2. Konseptualisasi Temuan

6.2.1. Karakteristik Komunitas

1) Sebagai satu bentuk kehidupan kolektif, Primkopti


Swakerta Semanan pada dasarnya adalah kelompok formal atau
organisasi bisnis biasa, yaitu koperasi. Struktur sosial yang berada di
dalamnya juga biasa, ada Pengurus dengan berbagai fungsinya dan
ada juga Anggota dengan berbagai hak dan kewajibannya. Sebagai
organisasi formal, Koperasi memiliki Akta Pendirian, Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Status, peran, dan mekanisme
interaksi masing-masing unsur adalah formal, baku, tertulis.

2). Koperasi mengajak seluruh anggota beserta keluarga


masing-masing untuk tinggal dalam satu teritorial yang kemudian
disebut sebagai PIK KOPTI Swakerta Semanan. Koperasi bukan

Universitas Indonesia 149


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
hanya membangun prasarana fisik, tetapi juga prasarana sosial yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya: RT/RW,
Sekolah, Masjid, Tranportasi, dan lain sebagainya, yang membuat
kesatuan sosial ini cenderung otonom. Dari segi sosial budaya,
seluruh warga relatif homogen, mereka berasal dari daerah yang
sama, kebiasaan-kebiasaan yang sama, pekerjaan yang sama, bahasa
yang sama. Karena itu, pada dasarnya PIK KOPTI Swakerta
Semanan dapat disebut sebagai community.

3) Karakteristik yang mudah dilihat pada kegiatan rumah


produksi ini adalah kapitalisasi yang rendah, pendidikan formal yang
rendah, ketrampilan yang diperlukan juga rendah atau tidak perlu
kursus atau sekolah tinggi, partisipasi anak dan perempuan tinggi
karena kewajiban, dan penghasilan dipergunakan bukan untuk
memupuk modal melainkan untuk pengeluaran konsumsi rumah
tangga. Mentalitas subsisten ini tampaknya juga menjadi
karakteristik pekerja. Dari beberapa wawancara terhadap pekerja,
tidak ada satupun dari mereka yang ingin meningkatkan status diri
menjadi pengusaha tempe tahu, atau setidaknya memanfaatkan
penghasilannya untuk disertakan sebagai sebagian modal. Tidak
pernah terbayangkan pada suatu hari kelak mereka juga dapat saja
menjadi majikan. Mengikuti kriteria karakteristik usaha kecil
menurut Asian Development Bank (ADB 1997:27-36), maka rumah-
rumah produksi dikawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan ini
adalah jenis livelihood enterprises dan subsisten.

4) Tipe struktur dan fasilitas sosial PIK KOPTI Swakerta


Semanan adalah unik 2 . Tanda-tanda sebagai komunitas berstruktur
sosial tunggal adalah persamaan daerah asal, kebiasaan, lapangan
pekerjaan, bahasa, tinggal di wilayah geografis yang relatif tertutup

2
Unik dalam hal ini juga termasuk berbeda dengan dengan karaktertistik KOPTI di wilayah lain
yang jumlah angotanya sedikit dan lokasi kegiatan produksinya terpencar-pencar membaur
dengan pemukiman penduduk lainnya baik secara administratif maupun teritorial dan tidak
memiliki lahan untuk instalasi pengolahan air limbah.

Universitas Indonesia 150


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dalam arti dikhususkan untuk perajin tempe tahu asal Pekalongan
saja, jumlahnya juga tidak terlalu besar, wilayah teritorialnya juga
tidak terlalu luas, namun memiliki beberapa fasilitas bersama seperti
masjid, sekolah, mobil ambulan dan lahan yang cukup untuk
pengolahan sampah dan limbah produksi; dan eksistensinya disadari
dan diakui oleh pihak luar. Akan tetapi sebagai sebuah organisasi
formal, masing-masing komponen di dalam komunitas PIK KOPTI
Swakerta Semanan memiliki status dan peran yang jelas, diferensiasi
tinggi. Hal itu bukanlah ciri struktur sosial tunggal. Koperasi juga
membentuk RT/RW sendiri, dan mulai menerima orang luar dengan
usaha kecil selain tempe tahu untuk berdomisili di kawasan PIK
KOPTI Swakerta Semanan dan tidak perlu menjadi anggota
Koperasi. Dengan demikian komunitas PIK KOPTI Swakerta
Semanan juga memiliki tanda-tanda sebagai komunitas berstruktur
sosial majemuk. Karena itu penulis mengusulkan untuk tidak
membuat dikotomi antara struktur sosial majemuk dan struktur sosial
tunggal, dan lebih baik melihatnya sebagai proses atau dinamika.
Struktur sosial dualistik-mutualistik barang kali lebih luwes
dipergunakan untuk menyebut tipe komunitas seperti PIK KOPTI
Swakerta Semanan itu.

5) Berdirinya Primkopti Swakerta Semanan adalah memang


dalam rangka melindungi para perajin tempe tahu asal Pekalongan
agar tidak tergilas oleh persaingan di pasar bebas, khususnya dalam
memperoleh bahan baku dan minyak. Dilihat dari segi kawasan,
produksi tempe tahu di Semanan jelas menjadi berlimpah, kawasan
PIK KOPTI Swakerta Semanan yang dulu kosong telah bertumbuh
menjadi lebih dari 700 rumah produksi tempe tahu. Seiring dengan
hal tersebut kedalaman air tanah di kawasan PIK KOPTI Swakerta
Semanan makin lama makin turun, dari 25 m kini sudah mencapai
100 m. Di samping itu kawasan yang dulu segar, kini mengeluarkan
limbah bau dan sudah menggangu kenyamanan umum yang
dilanjutkan dengan boikot dari warga lain kawasan. Konsekuensi

Universitas Indonesia 151


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
lingkungan ini membuat ongkos produksi menjadi tinggi, khususnya
untuk kebutuhan air dan iuran perawatan sanitasi lingkungan.
Tingginya ongkos produksi ini semestinya membuat para perajin
menekan upah pekerja dan juga menaikkan harga jual. Menaikkan
harga jual berarti memungkinkan para perajin akan kalah bersaing
dengan produksi tempe tahu modern yang jauh lebih murah dan
mampu menembus pasar-pasar modern. Tetap rendahnya upah
pekerja membuat kemungkinan mobilitas vertikal para pekerja juga
menjadi kecil. Itu berarti ketimpangan terjadi bukan hanya pada
lingkungan eksternal, tetapi juga internal perusahaan. Dalam hal
inilah semestinya konsep treadmill of production dapat dielaborasi
lebih lanjut; bahwa efek dari kegiatan produksi itu bukan hanya
bersifat pada kemungkinan adanya environmental abuse tetapi juga
mereproduksi social inequality. Konstruk ini mengingatkan penulis
pada asumsi dasar teori Treadmill of Production yang mengatakan
bahwa pasar bebas cenderung memaksa terjadinya peningkatan
produksi, peningkatan konsekuensi lingkungan dan peningkatan
ketimpangan.

Akan tetapi yang terjadi di linkungan penelitian tidak seperti


itu. Para pekerja yang juga anggota keluarga tidak merasa ditekan
upahnya dan tidak merasa ada ketimpangan. Demikian juga bagi para
pengusaha, tidak berkeberatan membayar kebutuhan air yang cukup
tinggi; tidak perlu lalu menaikkan harga produk dan tidak perlu
bersaing dengan industri sejenis yang lebih besar, lebih-lebih industri
kecil tempe tahu ini sudah memiliki segmen pasar tetap. Kemudian
mengenai kekawatiran pencemaran dan kemerosotan lingkungan,
warga setempat sedang berusaha terus-menerus, misalnya dengan
pembuatan sumur-sumur resapan dan penghijauan serta peningkatan
pengelolaan sampah. Jadi pada dasarnya warga setempat sedang
berproses menurut kaidah atau prinsip Ecological Modernization.

Universitas Indonesia 152


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
6) Adanya beberapa kali protes yang mengarah kepada
tindakan brutal dari masyarakat luar KOPTI yang kemudian dijawab
oleh warga KOPTI dengan cara menghindar dan bertahan dan
kemudian baru berunding, adalah cukup untuk menunjukkan bahwa
praksis ToP tampak tidak cocok untuk dilaksanakan di lingkungan
penelitian. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan yang mirip dengan temuan
Sonnenfeld mudah ditemukan dan diakomodasi oleh warga KOPTI.
Sebagaimana telah disampaikan, Sonnenfeld menemukan bahwa
melalui kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan-perusahaan
manufaktur, gerakan-gerakan sosial memainkan peran sentral di
dalam transformasi masyarakat industri untuk ramah lingkungan
Kelompok-kelompok mahasiswa dan civitas academica yang
biasanya mudah untuk bergerak sebagai oposan dan radikal, di
lingkungan KOPTI ternyata bertindak arif membimbing warga untuk
ramah lingkungan. Ini berarti komunitas setempat cenderung
akomodatif terhadap praksis Ecological Modernization.

7). Komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan yang berpola


ekonomi subsisten dan homogen serta berstruktur sosial dualistik-
mutualistik serta tinggal di satu lahan yang cukup itu memang
cenderung tidak sulit melakukan aktivitas ”trial” yang dalam nuansa
praksis Ecological Modernization. Akan tetapi hal ini tidak
mencukupi untuk membuat satu generalisasi yang berlaku untuk
komunitas lain yang sejenis. Hal ini karena: komunitas PIK KOPTI
Swakerta Semanan adalah khas dan unik.

6.2.2. Karakteritik Komunitas dan Intensitas Praktik Ramah


Lingkungan

Dari keseluruhan partisipan penelitian, hanya sebagian kecil


saja yang kegiatan produksinya tergolong benar-benar tidak ramah
lingkungan. Walaupun ada sebagian yang tergolong ramah
lingkungan, namun pada umumnya kegiatan usaha dari para
partisipan penelitian adalah tergolong kurang ramah lingkungan.

Universitas Indonesia 153


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dari aspek bahan baku, semula mereka kurang begitu
memahami bahwa bahan-bahan kimia yang mereka campurkan untuk
proses produksi sesungguhnya berbahaya bagi kesehatan konsumen.
Bahaya dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut mereka sadari
belakangan setelah pemerintah dan media masa menayangkan
bahaya jangka panjang penggunaan bahan-bahan tersebut. Akan
tetapi yang mereka mengerti adalah bahwa bahan-bahan yang
mereka pergunakan dalam proses produksi itu adalah bahan-bahan
yang lazim; walaupun beracun namun tidak membahayakan jika
takarannya kira-kira pas danhasilnya enak dimakan. Di samping itu
mereka juga mempertanyakan jika bahan-bahan tersebut berbahaya
dan beracun, mengapa dijual bebas. Mereka tidak sempat
memikirkan dan sengaja tidak mempedulikan peringatan bahaya
jangka panjang atas penggunaan bahan-bahan beracun tersebut. Yang
lebih banyak mereka pikirkan adalah keuntungan untuk menutup
modal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apapun caranya.

Dari aspek penggunaan air. Unit-unit produksi pada umunya


tidak memiliki sumber air atau sumur sendiri. Kebutuhan air untuk
produksi adalah bersumber dari tiga sumur air tanah yang dikelola
oleh pengurus lingkungan mapun oleh perorangan yang melayani
tetangga sekitar. Tiap unit usaha cenderung sering tidak dapat
mengontrol pengunaan air untuk produksi karena penyaluran air dari
sumber ke unit produksi tidak mempergunakan meteran. Yang harus
mengontrol penggunaan air adalah pemilik sumur, yaitu dengan cara
membuka atau menutup kran-kran distribusi. Dalam hal ini pemilik
sumur hanya membuka pada jam-jam produksi saja, pagi sampai
dengan sore. Jika pemilik lupa menutup kran, penggunaan air
cenderung menjadi boros dan menyimpang, misalnya untuk mencuci
motor atau menyiram jalan. Proposisi konseptual yang dapat
dirumuskan dari temuan empirik ini adalah bahwa untuk dapat

Universitas Indonesia 154


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bersikap taat dan disiplin dalam ramah lingkungan maka diperlukan
kontrol faktor ekternal yang menguasai sumber.

Temuan empirik mengenai penggunaan air tersebut


mengingatkan penulis pada satu proposisi paradoks Karl Marx
bahwa ekonomi khususnya sistem ekonomi kapitalistik cenderung
merugikan diri sendiri dan lingkungan. Marx menunjukkan
terjadinya metabolic rift sebagai akibat kapitalisasi produksi
pertanian. (Foster 1999:373-375, Foster 2002). Percepatan dan
perbesaran skala produksi pertanian telah membuat tanah tidak
punya waktu lagi untuk berestorasi secara alamiah. Kemudian untuk
mengatasi semakin mandulnya tanah maka orang membuat pupuk
kimia yang memerlukan biaya tinggi, yang pada akhirnya tidak akan
menguntungkan golongan ekonomi lemah dan sekaligus semakin
rusaknya tanah. Hal yang demikian itu analog dengan keadaan
empirik di lingkungan PIK KOPTI Semanan. Banyaknya kegiatan
produksi tempe tahu dalam satu lokasi yang sama telah membuat air
tanah semakin dalam karena tidak sempat berestorasi secara alamiah.
Air di lingkungan PIK KOPTI Semanan memang tidak layak
diminum, bahkan untuk mandi sekalipun. Untuk kebutuhan air
tersebut, baik untuk keperluan produksi ataupun untuk keperluan
konsumsi, warga setempat harus mengeluarkan sejumlah biaya;
sementara sebelum mereka tinggal di kawasan PIK KOPTI Semanan
mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kebutuhan air. Biaya
tersebut bukan hanya dikeluarkan oleh warga, tetapi juga oleh
pengelola lingkungan, yaitu untuk perawatan sumur berikut
instalasinya dan juga untuk upah petugas pengelolaan. Akan tetapi
mengenai kebutuhan air ini kenyataannya bukan menjadi masalah
bagi kegiatan produksi, artinya produksi tetap berjalan, walaupun
dengan kontrol yang ketat dari pengurus lingkungan.

Adanya kontrol yang ketat dari pengurus lingkungan agar


warga sedapat mungkin menghemat penggunaan air tersebut,

Universitas Indonesia 155


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mengingatkan penulis pada konsep Marx mengenai perlunya
conscious controll atau conscious and rational treatment of the land
as permanent communal property (Foster 1999:384-386). Dengan
demikian Marx sendiri pada dasarnya tidak terlalu pesimis bahwa
metabolic rift tidak dapat dikendalikan. Akan tetapi conscious
controll tersebut memang harus dipaksakan oleh oleh pihak pengurus
lingkungan. Sebagaimana diinformasikan, bentuk kontrol dari
pengurus lingkungan adalah pelarangan membuat sumur sendiri bagi
unit-unit usaha, pembatasan dan penjadwalan pengaliran air dari
sumur umum ke rumah-rumah produksi, mengelola dapur umum
untuk pencucian dan perbeusan kedelai yang dilengkapi dengan
sumur umum dan IPAL dan pembuatan sumur-sumur resapan.

Dari aspek penanganan limbah padat khususnya kulit ari


kedelai; pada umumnya para perajin sudah memperoleh informasi
mengenai pemanfaatannya untuk diolah kembali menjadi produk
yang lebih bernilai. Namun mereka memilih untuk memanfaakan
limbah tersebut untuk pakan ternak dengan alasan tidak repot. Tanpa
disadari bahwa tindakan tersebut adalah ekologis (menguntungkan
ternak) dan ekonomis (ternak menguntungkan pemilik).

Dari aspek penanganan sampah, yang dalam hal ini adalah


sampah rumah tangga, penulis melihat adanya perkembangan tata-
kelola. Semula sampah rumah tangga dikumpulkan di sudut kawasan
yang kemudian secara berkala diangkut oleh petugas dari Dinas
Kebersihan Pemda Jakarta Barat. Di tempat penampungan tersebut
sampah dikumpulkan begitu saja tanpa ada warga yang merapikan
dan mudah berserakan karena tertiup angin. Di kemudian hari
koperasi memperoleh alat pengepres sampah bantuan dari Pemda
Jakarta Barat. Kawasan Depo menjadi bersih karena sampah
domestik langsung masuk ke mesin pengepres sampah. Mesin
tersebut dioperasikan setiap sore hari oleh petugas tetap dari warga
setempat. Kemudian dengan waktu yang lebih jarang, petugas dari

Universitas Indonesia 156


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dinas Kebersihan mengambil sampah yang sudah dipres tersebut.
Proposisi konseptual yang dapat dirumuskan dari kenyataan empirik
tersebut adalah bahwa perubahan perilaku sebuah komunitas dapat
terjadi karena dukungan atau intervensi eksternal, sementara pihak
eksternal sendiri memperoleh keuntungan dari perubahan tersebut,
baik keuntungan prestis maupun ekonomis.

Dari aspek penanganan air limbah, temuan menunjukkan


bahwa sejak dari tempat usaha semula para perajin tidak memiliki
kebiasaan dan kemampuan untuk mengolah air limbah sendiri-
sendiri sebelum limbah tersebut dibuang ke saluran umum. Setelah
mereka pindah di satu kompleks, dan dengan tersedianya lahan yang
cukup untuk pengolahan air limbah, dan dengan terbentuknya
kepengurusan lingkungan, serta dengan bantuan Pemda setempat,
dan pada akhirnya juga memperoleh dukungan dari warga
masyarakat sekitar, maka mereka dimungkinkan untuk mampu
mengelola limbah air secara bergotong-royong dan terkoordinasi.
Proposisi konseptual yang dapat dikonstruksi berdasarkan temuan
empirik tersebut adalah bahwa praktik ramah lingkungan
dimungkinkan dapat dilakukan secara kolektif, terkoordinasi,
memperoleh dukungan dari pengusasa (mewakili state) dan sekaligus
memperoleh dukungan dari warga sekitar (mewakili society).

Dari aspek penggunaan energi, kegiatan usaha cenderung


ekonomis; sedikit mungkin mempergunakan listrik, minyak tanah
dan gas. Proses pemecahan kedelai pada umumnya dilakukan secara
manual dengan mempergunakan tenaga manusia. Perebusan dan
penggorengan dengan mempergunakan bahan bakar kayu limbah
bangunan atau bekas peti kemas.

Dari aspek keselamatan dan kesehatan tempat produksi:


karena pengutamaan pada aspek ekonomis itulah maka para perajin
menjadi tidak memperhatikan pentingnya kesehatan dan keselamatan

Universitas Indonesia 157


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
kerja. Proses produksi tidak hiegenis, tidak memperhatikan
kesehatan dan keselamatan pekerja dan juga tidak memperhatikan
estitika dan kesehatan. Dengan demikian proposisi konseptual yang
berlaku di lingkungan penelitian adalah bahwa motivasi ekonomi
dari kegiatan usaha cenderung sengaja mengorbankan estetika dan
kesehatan.

6.2.3. Intensitas Praktik Ramah Lingkungan dan Karakteritik


Individual

Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil


pengolahan tempe tahu ternyata tidak memiliki hubungan dengan
karakteristik sosial ekonomi pemilik usaha, khususnya tingkat
pendidikan dan golongan umur baik suami maupun isteri,
tanggungan anak, keanggotaan dalam koperasi, dan juga nilai asset
yang dimiliki.

Dari segi motivasi usaha dan tujuan usaha, data menunjukkan


bahwa baik responden yang motivasi dan tujuan usahanya sekedar
memenuhi kebutuhan rutin keluarga saja, maupun yang juga untuk
mengumpulkan tabungan, serta yang juga bertujuan dan bermotivasi
untuk pengembangan usaha, pada umumnya kegiatan usahanya
kurang ramah lingkungan.

Mengenai hubungan antara status usaha sebagai sumber


penghasilan dengan tingkat ramah lingkungan, Tabel 5.2.2 dan
Diagram 5.2.2. menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
status usahanya merupakan sumber penghasilan utama
berkecenderungan kurang ramah lingkungan.

Apabila tingkat ramah lingkungan dikaitkan dengan


penanggung-jawab usaha, tampak bahwa baik yang
penanggungjawabnya suami, atau isteri atau suami isteri, semua

Universitas Indonesia 158


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berkecenderungan kurang ramah lingkungan (Tabel 5.2.3 dan
Diagram 5.2.3).

Jika tingkat ramah lingkungan dikaitkan dengan jangkauan


rencana yang dibuat, tampak bahwa jangkauan rencana hampir
semua responden adalah rencana harian, dan sebagian besar
memang kurang ramah lingkungan. Responden yang membuat
rencana mingguan, bulanan dan yang tidak membuat perencanaan
sama sekali justru mendekati ramah lingkungan; namun hal ini tidak
dapat digeneralisasi karena jumlahnya yang terlampau sedikit (Tabel
5.2.5. Diagram 5.2.4).

Faktor waktu tampaknya memang menjadi alasan utama


untuk tidak ramah lingkungan. Artinya, responden cenderung tidak
sempat berfikir untuk melakukan kegiatan usaha dengan prinsip
ramah lingkungan. Rencana usaha yang dibuat setiap hari hanya
berfokus pada masalah permodalan dan pemasaran. Sedang yang
rencananya dibuat mingguan, bulanan dan bahkan yang tidak
membuat rencana, berkemungkinan memiliki waktu untuk ramah
lingkungan.

Intensitas praktik ramah lingkungan juga tidak berkaitan


dengan siapa yang membuat rencana usaha. Kegiatan usaha yang
perencanaan usahanya diabuat oleh suami saja, atau isteri saja, atau
suami istri, pada umumnya kurang ramah lingkungan (Tabel 5.2.5
dan Diagram 5.2.5).

Intensitas praktik ramah lingkungan juga tidak berkaitan


dengan penggunaan penghasilan; pada umumnya memang kurang
ramah lingkungan (Tabel 5.2.6 dan Diagram 5.2.6).

Intensitas praktik ramah lingkungan juga tidak berhubungan


dengan jumlah pekerja; semuanya cenderung kurang ramah
lingkungan (Tabel 5.2.7 dan Diagram 5.2.7).

Universitas Indonesia 159


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Namun data menunjukkan bahwa baik yang sudah ikut
pembinaan maupun yang belum, pada umumnya cenderung kurang
ramah lingkungan. Baik responden yang sudah pernah mengikuti
penyuluhan produksi ramah lingkungan maupun yang belum pernah,
sama-sama cenderung memiliki perilaku usaha yang kurang ramah
lingkungan; hanya sebagian kecil saja yang menunjukkan perilaku
mendekati ramah. Di lingkungan penelitian juga pernah dilakukan
penyuluhan mengenai bahan-bahan yang boleh dan tidak boleh
dipergunakan untuk produksi tempe tahu. Akan tetapi partisipasi
warga dalam penyuluhan-penyuluhan tersebut cenderung tidak
memiliki hubungan dengan tingkat ramah lingkungan yang dicapai.
Pada umumnya memang tetap cenderung kurang ramah lingkungan
(Tabel 5.3.2, Diagram 5.3.2, Tabel 5.3.3, Diagram 5.3.3).

Walaupun sebagian besar responden menunjukkan perilaku


produksi yang kurang ramah lingkungan, namun responden yang
pernah memperoleh protes dari konsumen cenderung berperilaku
produksi mendekati ramah lingkungan, sedangkan yang tidak pernah
mendapat protes cenderung tidak ramah lingkungan (Tabel 5.4 dan
Diagram 5.4).

Sebagian besar responden yang tidak pernah mendapat protes


dari para pedagang atau distributornya, kegiatan dalam proses
produksinya cenderung mendekati ramah; yang pernah sekali
mendapat protes cenderung kurang ramah lingkungan; dan yang
sering mendapat protes cenderung tidak ramah lingkungan. Data
menunjukkan bahwa baik responden yang mendekati ramah
lingkungan maupun yang kurang ramah lingkungan dan yang tidak
ramah lingkungan, pada umumnya pernah memperoleh protes dari
warga sekitar karena alasan limbah bau.

Motivasi usaha tampaknya memiliki hubungan dengan sikap


selanjutnya dalam kegiatan produksi di lingkungan baru di Semanan.

Universitas Indonesia 160


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Yang bermotivasi ekonomi semata-mata cenderung kurang ramah
lingkungan, dan yang bermotivasi ekonomi ramah lingkungan
cenderung mendekati ramah lingkungan (Tabel 5.7 dan Diagram
5.7).

Respon pemilik usaha terhadap tindakan-tindakan intervensi


untuk ramah lingkungan adalah berkemungkinan memiliki hubungan
dengan cara yang dilakukan dalam tindakan intervensi tersebut.
Intervensi yang diharapkan oleh warga adalah yang bukan hanya
terbatas pada penyuluhan ”di ruang kelas” saja; tetapi yang
dilengkapi dengan praktek dan percontohan. Sebagaimana telah
diinformasikan dimuka, praktek dan percontohan yang sudah
dilaksanakan di lingkungan penelitian adalah pembuatan sumur
resapan, pengelolaan limbah di IPAL dan pengelolaan sampah
melalui mesin pres. Respon warga terhadap cara pembinaan
semacam itu tampaknya berhubungan dengan tingkat ramah
lingkungan mereka dalam kegiatan produksi. Bagi yang menganggap
bahwa intervensi atau pembinaan tersebut sudah cukup, cenderung
berperilaku produksi ramah lingkungan. Bagi yang menganggap
bahwa pembinaan tersebut belum cukup dan perlu lebih sering
diadakan, cenderung berilaku produksi kurang ramah lingkungan.
Kemudian yang menginginkan pembinaan tersebut perlu lebih sering
diadakan dan sekaligus dengan pemberian bantuan peralatan,
cenderung berperilaku produksi sama sekali tidak ramah lingkungan
(Tabel 5.8, Diagram 5.8).

Respon para pemilik usaha cenderung bersifat akomodatif


terhadap intervensi yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas.
Ideas ini tampak dari kesediaan warga untuk mandiri dalam menjaga
keberlanjutan kegiatan yang telah dihasilkan dari pembinaan ramah
lingkungan, yaitu dengan cara memberikan iuran rutin dan kerjabakti
(Tabel-tabel 5.9). Kenyataan empirik tersebut berbeda dengan
kenyataan empirik lain yang menunjukkan rendahnya partisipasi

Universitas Indonesia 161


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
warga dalam kegiatan penyuluhan ”di ruang kelas” sebagaimana
telah disampaikan di muka (Tabel-tabel 5.3 ). Pilihan partisipasi
yang pada umumnya dalam bentuk iuran rutin dan juga kerja bakti
tersebut tampaknya tidak ada hubungannnya dengan variabel-
variabel status sosial ekonomi warga seperti umur suami, umur isteri,
pendidikan suami, pendidikan isteri dan besar kecilnya asset usaha.

Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif


terhadap protes yang bersifat mengancam eksistensi, tetapi
cenderung akomodatif terhadap tindakan yang bersifat mencarikan
jalan keluar tanpa mengganggu eksistensi.

Dari keseluruhan data tersegbut diatas dapat diperoleh


kesimpulan bahwa intensitas praktik ramah lingkungan pada
kegiatan produksi tempe tahu di lingkungan PIK-KOPTI Semanan
dilatarbelakangi baik oleh faktor-faktor eksternal maupun faktor-
faktor individual para perajin. Faktor eksternal yang memiliki
hubungan signifikan dengan intensitas praktik ramah lingkungan
tersebut adalah desakan atau protes dari warga lain, keberatan dari
konsumen, frekuensi dan materi pembinaan produksi ramah
lingkungan. Sedangkan faktor-faktor internal individual yang
memiliki hubungan dengan intensitas praktik ramah lingkungan
adalah keutamaan aspek ekonomi dalam motivasi usaha, kendala
waktu dan tidak mencukupinya hasil usaha untuk dialokasikan pada
kegiatan produksi ramah lingkungan.

6.3. Refleksi Teoretik

Temuan-temuan empirik penelitian telah memberikanindikasi adanya


usaha komunitas setempat untuk belajar melakukan produksi ramah
lingkungan mengikuti model modernisasi ekologis. Penelitian ini juga telah
mengidentifikasi adanya split pada sikap dan perilaku untuk ramah
lingkungan di kalangan para perajin tempe tahu. Ini mengingatkan penulis

Universitas Indonesia 162


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pada konstruk bahwa Attitude-Behavior Split atau lebih dikenal dengan A-B
Split sebagaimana dikemukan oleh Bell (2004:223-250) adalah bukan
sebatas lingkup mikro individual, tetapi meliputi berkaitan dengan konteks
sosial yang lebih luas. Argumen Bell ini tampaknya paralel dengan argumen
Ungar (1994) bahwa split sikap dan perilaku untuk ramah lingkungan
tersebut adalah akibat dari struktur sosial. Senada dengan temuan dan
argumen Ungar adalah kesimpulan Thapa (1999) yang menemukan bahwa
sikap tidak selamanya harus selaras dengan perilaku. Individu yang
sesungguhnya kurang atau tidak memiliki sikap ramah lingkungan bisa saja
berperilaku ramah lingkungan, dan sebaliknya ditemukan pula individu yang
memiliki sikap ramah lingkungan tetapi perilakunya tidak menunjukkan
ramah lingkungan. Semuanya ini tergantung dari norma-norma sosial yang
berlaku setempat, fasilitas dan remunerasi yang tersedia dan pengaruh
kelompok penggerak dan partisipasi orang banyak. Faktor kesempatan
tampaknya juga menjadi faktor yang signifikan yang mempengaruhi
hubungan antara sikap dan perilaku ramah lingkungan (Portinga, Steg, Vleg,
2004).
Yang masih perlu memperoleh penjelasan sehubungan dengan
dominasi faktor struktur sosial ini adalah seberapa dominan dominasi
tersebut dan bagaimana mekanismenya. Berikut ini penulis mencoba
memaparkannya:

6.3.1. Pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin


tempe tahu tidak memiliki kebiasaan untuk melakukan produksi
ramah lingkungan; lebih-lebih pada waktu mereka belum tinggal di
kawasan KOPTI Semanan. Kegiatan produksi ramah lingkungan
adalah merupakan kegiatan pembelajaran baru setelah mereka berada
di (re)lokasi:baru dengan karakteritik fisik dan sosial baru: PIK-
KOPTI Semanan.

6.3.2. Konflik yang dalam hal ini adalah protes dari warga diluar kawasan
sehubungan dengan limbah air bau dari proses produksi, tidak
menghalangi para perajin untuk tetap berproduksi. Namun demikian

Universitas Indonesia 163


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
protes warga dari luar kawasan tersebut telah ikut memaksa wagra
KOPTI Semanan untuk belajar mentransformasi diri melakukan
produksi ramah lingkungan. Konflik dalam hal ini merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses adaptasi.

6.3.3. Di samping itu adanya tindakan protes dari warga lain tersebut juga
telah ikut mendorong Pemerintah dan Perguruan Tinggi peminat
masalah kesehatan lingkungan untuk memberi jalan keluar. Dalam
hal ini Pemerintah membantu warga PIK KOPTI Semanan
membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di lahan yang
sudah ada. Sedangkan beberapa Perguruan Tinggi memberikan
penyuluhan dan pembinaan produksi ramah lingkungan. Pemerintah
setempat juga menjalankan fungsi sebagai penengah bagi keduabelah
pihak yang bersengketa. Hal ini selaras dengan prinsip Ecological
Modernization bahwa untuk menghindari antagonisme dan konflik,
maka modernisasi ekologis memerlukan satu jaringan dan bantuan
dan kerjasama yang lebih luas untuk pengambilan keputusan-
keputusan atau kesepakatan transformatif maupun reformatif.

6.3.5. Sikap warga setempat untuk terpaksa bersedia belajar melaksanakan


produksi ramah lingkungan adalah didukung terutama oleh adanya
lahan yang cukup dan jumlah warga yang memungkinkan untuk
membiayai kelangsungan kegiatan pengelolaan limbah secara
kolektif, sebagai sufficient conditions. Tentu kedua faktor tersebut
masih memerlukan beberapa necesssary conditions seperti adanya
beberapa orang penggerak warga setempat yang memiliki
kemampuan berkomunikasi ke Pemerintah dan media massa, adanya
warga yang memiliki kemampuan untuk mengelola kegiatan, adanya
bantuan Pemerintah dan bahkan bantuan internasional, dan adanya
pembinaan dari Perguruan Tinggi sebagaimana telah disebutkan
diatas.

Universitas Indonesia 164


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
6.3.5. Adanya protes radikal dari warga lain terhadap warga PIK KOPTI
Semanan sehubungan dengan limbah bau yang dihasilkan, tidak
perlu dikaitkan denga praksis teori Treadmill of Production. Langkah
praksis yang diusulkan oleh teori Treadmill of Production untuk
menghindari kemerosotan lingkungan adalah perubahan radikal pada
politik ekonomi; akan tetapi hal itu tidak terjadi. Pendekatan
perubahan sosial Treadmill of Production adalah bottom-up; ini juga
aneh bagi warga PIK KOPTI yang pada saat bermusyawarah atau
berembug lebih senang bersikap sebagai kawula dan sendika dawuh.
Karakteristik masyarakat yang demikian itu sangat kondusif bagi
praksis Ecological Modernization yang berharap bahwa modernisasi
dapat mengatasi permasalahan lingkungan tanpa harus melakukan
perubahan mendasar pada lembaga-lembaga modernitas seperti
pemerintah, ekonomi, korporasi, teknologi serta struktur sosial
lainnya yang sudah ada. Dengan demikian pendekatan perubahan
sosial menurut Ecological Modernization pada dasarnya adalah top-
down. Memang komunitas setempat cenderung menolak cara-cara
yang radikal itu dan cenderung akomodatif terhadap praktek-praktek
kelembagaan yang bersifat membina Akan tetapi berdasarkan urutan
kejadian, tampaknya tindakan radikal warga lain tersebut cukup
efektif untuk memunculkan tindakan-tindakan pembinaan. Oleh
karena itu dengan meminjam konsep dari Anthony Giddens (1998)
yang juga relevan dengan persoalan politik lingkungan, penulis
mengidentifikasi adanya dialogic democracy untuk mendukung
praksis Ecological Modernization.

Sosiologi Giddens pada dasarnya memang menolak


paradigma konflik dan sekaligus menolak paradigma order. Dalam
kaitannya dengan Ecological Modernization, Giddens (2000:61-73)
berargumen bahwa setiap keputusan untuk penerapan sains dan
tekonologi yang mendukung modernisasi ekologis tidak dapat
dilepaskan dari proses-proses politik. Proses politis yang terjadi di
lapangan adalah mengandung unsur bottom-up dan sekaligus top-

Universitas Indonesia 165


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
down yang keduanya tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan
sebagai satu proses aksi dan reaksi. Mewakili bottom dan sekaligus
mewakili praksis konflik adalah sekelompok warga sekitar yang
melakukan tindakan hampir kriminal dengan maksud untuk
menghentikan kegiatan produksi di PIK KOPTI Semanan dengan
alasan kali yang melewati perkampungan warga tersebut tercemar
oleh air limbah bau yang berasal dari kegiatan produksi di PIK
KOPTI Semanan. Kemudian mewakili bottom namun dengan
semangat order adalah para Pengurus PIK KOPTI Semanan yang
bereaksi menghindar (bersembunyi) tidak melayani aksi protes dan
ancaman tersebut, namun memilih cara mendatangi pemimpin
kelompok warga yang protes tersebut untuk berunding setelah
kemarahan dan ancaman tersebut mereda. Tindakan kelompok lain
yang dapat dianggap mewakili bottom-line dan tergolong
bersemangat order adalah tindakan pihak Pengembang Perumahan
Semanan Indah yang kawasan proyeknya juga dialiri kali yang
tercemar limbah bau dari PIK KOPTI Semanan dan beberapa
kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh
beberapa Perguruan Tinggi. Tindakan pengembang dalam hal ini
jelas tidak bernuansa konflik, tapi sebaliknya benuansa order, yaitu
dengan membantu wara PIK Kopri Semanan membangun pintu-pintu
penyaringan air limbah. Motivasi dasar tindakan pengembang tidak
dapat dilepaskan dari motivasi profit perusahaan dan kepuasan
konsumen, yaitu agar kawasan tersebut tetap laku dan agar
konsumen atau penghuni perumahan yang dibangunnya itu tidak
terganggu oleh adanya bau air limbah yang mengalir melewati
kawasan tersebut. Beberapa legiatan pengabdian pada masyarakat
yang dilaksanakan di lingkungan penelitian antara lain pengobatan
gratis, penyuluhan manajemen produksi, penyuluhan hemat enregi
listrik, penyuluhan produksi ramah lingkungan, pelatihan pengolahan
air limbah, dan pembuatan sumur resapan air. Motivasi dasar
kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini pun tidak dapat

Universitas Indonesia 166


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dilepaskkan dari motivasi peningkatan karir masing-masing dosen
pelaksana maupun motivasi prestasi kelembagaan Perguruan Tinggi.

6.3.6. Peran para aktivis. Para pelaku tindakan-tindakan baik yang


benuansa konflik maupun order bukanlah semua anggota populasi
masing-masing pihak atau kelompok, melainkan diwakili oleh
beberapa individu sebagai tokoh yang bertindak baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan kelompoknya.
Mereka itulah yang bertindak sebagai penggerak terjadinya proses-
proses sosial tersebut.

Proposisi yang paling mendekati untuk menjelaskan


kenyataan empirik tersebut adalah salah satu proposisi Giddens
mengenai strukturasi. Sebagaimana diringkas oleh Turner (1998:491-
502), Dasar pemikiran Giddens adalah bahwa didalam sosiologi
tidak pernah ada dalil-dalil yang bersifat universal atau tidak terikat
oleh waktu sebagaimana pada ilmu alam dan biologi. Hal ini karena
manusia pada dasarnya memiliki kapasitas untuk keagenan, sehingga
dapat melakukan perubahan terhadap organisasi sosial, dan
karenanya dapat menolak dalil-dalil yang sebelumnya dianggap
universal. Salah satu argumen Giddens adalah bahwa proses sosial
dapat dikerjakan oleh lay persons yaitu orang-orang awam yang
tidak perlu merupakan agen resmi atau profesional untuk perubahan,
namun memiliki kapasitas yang dapat memodifikasi proses-proses
sosial tersebut.

Bekal yang dimiliki oleh para lay persons tersebut adalah


struktur yang sudah ada. Akan tetapi yang dimaksud dengan struktur
menurut konseptualisasi Giddens adalah aturan-aturan dan sumber-
sumber yang dimanfaatkan oleh para aktor dalam konteks interaksi.
Kecuali lay persons yang mewakili RW 08, semua lay persons yang
berinteraksi di lingkungan penelitian tampaknya berpijak pada
aturan-aturan yang bernuansa order dan memiliki kemampuan untuk

Universitas Indonesia 167


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
menggerakan sumber-sumber pendukung modernisasi ekologis.
Dengan kata lain, power berada pada pihak yang dominan tersebut.
Itu sebabnya proses-proses sosial yang terjadi di lingkungan
penelitian cenderung mengindisikasikan modernisasi ekologis yang
bernuansa order.

Penjelasan Giddens mengenai peran aktivis dalam lingkup


mikro tampaknya melengkapi penjelasan Etzioni (1967:173-187)
mengenai peran the active actor dalam ikut memobilisasi proses
sosial. Dalam kerangka sosiologi makro, Etzioni menyebutkan
pentingnya peran kaum profesional berpendidikan tinggi dalam ikut
memberikan arahan pada perubahan sosial. Di lingkungan penelitian,
peran aktivis profesional ini dilakukan oleh kalangan eksternal,
khususnya para dosen yang melakukan kegiatan pengabdian pada
masyarakat. Kegiatan para dosen tersebut sudah barang tentu tidak
rutin, tidak selamanya atau hanya sementara saja. yang pada
akhirnya membantu lay persons setempat dalam mewujudkan
produksi ramah lingkungan..

6.3.7. Ada pihak yang memungkinkan terjadinya kesepakatan. Pada


mulanya interaksi antara warga RW 08 dan warga PIK KOPTI
Semanan mengenai penangan air limbah berjalan tidak lancar. Hal
ini karena kedua belah pihak bertindak dengan berpegang pada
prinsip dan tujuannya masing-masing yang pada dasarnya
disjunction. Namun dengan intervensi Pemerintah setempat, kedua
belah pihak dapat berinteraksi dengan cara yang memungkinkan
kedua belah itu berdialog dan saling mengerti, dan pada akhirnya
memang diperoleh kesepakatan. Indikasi adanya communicative
action dalam interaksi juga dapat diamati pada saat Perguruan Tinggi
melakukan kegiatan Pengabdian pada Mayarakat di lingkungan
setempat. Para dosen memberikan penyuluhan dan pemahaman
sekaligus menampung aspirasi produksi ramah lingkungan.

Universitas Indonesia 168


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Konsep-konsep seperti dialogical democracy, communicative action,
dan konsep-konsep komunikatif dialogis lainnya untuk menunjang
terwujudnya kegiatan produksi ramah lingkungan, pada dasarnya tidak atau
kurang diperlakukan sebagai variabel indipenden dalam kerangka pikir
strukturalis order Ecological Modernization Theory dan terlebih dalam
kerangka pikir strukturalis konflik Treadmill of Production Theory. Selain
itu kedua kerangka pikir ini juga tidak atau kurang mengedepankan
pentingnya faktor lay persons - orang-orang biasa yang bukan formal leader
atau profesional. Konsep-konaep tersebut lebih dikenal di dalam
pendengkatan interaksionis Weberian atau contructivistic.

Itu semua berarti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan


penelitian, khususnya yang memerlukan penjelasan teoretik komprehensif
dan sekaligus aplicable, maka penjelasan dengan mempergunakan
pemikiran Ecological Modernization Theory perlu dilengkapi secara kritis
dengan penjelasan yang mengedepankan dialogical democracy dan
communicative action. Mengikuti Hannigan (2002), model penjelasan
Ecological Modernization masih perlu dilengkapi dengan pendekatan
contructionist. Sebagaimana telah disampaikan, pendekatan Ecological
Modernization Theory menekankan aspek order atau hubungan fungsional
yang harmonik antara berbagai kelompok yang terlibat dalam kegiatan-
kegiatan pemanfaatan lingkungan atau yang membawa dampak pada
lingkungan. Pendekatan Ecological Modernization Theory memang
mengakui adanya kemungkinan grassroots victims akibat kerusakan
lingkungan seperti yang dilihat oleh Treadmill of Production Theory.
Namun melalui kegiatan modernisasi ekologis, hubungan fungsional antar
berbagai kelompok kepentingan seperti kelompok industri, pemerintah,
regulator, ilmuwan, kelompok-kelompok pemerhati lingkungan, organisasi-
organisasi komunitas, perdagangan, kelompok profesional, dan juga pihak
grassroots victims tersebut diasumsikan akan dapat menemukan jalan
bersama mengatasi kerusakan lingkungan. Akan tetapi sejauh asumsi
tersebut, Ecological Modernization Theory tidak menjelaskan bagaimana
mekanisme dan proses hubungan atau interaksi antar berbagai kelompok

Universitas Indonesia 169


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tersebut dalam rangka memperoleh satu kesepakatan mengenai definisi
masalah-masalah lingkungan beserta kesepakatan mengenai tindakan-
tindakan yang harus ditempuh masing-masing pihak untuk mengatasinya.

Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah manfaat praktis maka
pendekatan Ecological Modernization Theory dengan paradigma order dan
struktural fungsionalnya, pada dasarnya cukup mampu memberikan arahan
ideologis mengenai reorganisasi sosial ataupun reformasi teknologi yang
diperlukan, tanpa mengabaikan data dan analisis kritis mengenai adanya
dampak buruk khususnya kerusakan lingkungan dan pihak yang menjadi
korban. Kemudian pendekatan constuctionist memperkaya deskripsi dan
penjelasan mengenai proses-proses interaksional yang terjadi antar berbagai
kelompok kepentingan dalam rangka implementasi praksis Ecological
Modernization.

Universitas Indonesia 170


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 7
PENUTUP

7.1. Kesimpulan Empirik.

Pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin


tahu tempe, meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun
secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha
tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan,
ramah lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah
lingkungan.

Gejala yang paling umum adalah bahwa mereka masing-masing


melakukan produksinya dengan cara yang masih kurang bahkan tidak
ramah lingkungan:

7.1.1. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan


pengolahan tempe tahu tersebut tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat pendidikan suami.

7.1.2. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan


pengolahan tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan umur suami.

7.1.3. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan


pengolahan tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat pendidikan isteri.

7.1.4. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan


pengolahan tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan umur isteri.

7.1.5. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan


pengolahan tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan jumlah anak yang menjadi tanggungan.

Universitas Indonesia 171


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
7.1.6. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan
pengolahan tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan keanggotaan mereka pada koperasi.

7.1.7. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan


pengolahan tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan besar-kecilnya pemilikan aset usaha..

7.1.8. Kegiatan usaha diprioritaskan sebagai sumber penghasilan utama,


dengan tujuan utama memperoleh penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan pokok keluarga, bukan untuk pelestarian lingkungan.

7.1.9. Yang dipikirkan oleh para pemilik usaha adalah memperoleh


penghasilan dan tidak waktu untuk memikirkan apakah kegiatan
produksinya itu ramah lingkungan atau tidak. Waktu dihabiskan
untuk membuat perencanaan dan kegiatan produksi harian.

7.1.10. Konsumen dan pedagang pada dasarnya memiliki power yang


dapat memaksa pelaku usaha untuk melakukan kegiatan produksi
ramah lingkungan. Tetapi mereka cenderung tidak mempersoalkan
apakah produk yang dibeli itu diproses dengan cara ramah
lingkungan atau tidak, kecuali jika produk yang dibelinya itu rusak.

7.1.11. Akibat dari semua itu, para pengusaha memang tidak termotivasi
untuk melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan.

7.1.12. Namun secara kolektif, para perajin dapat diarahkan untuk


melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan. Penjelasan yang
dapat dikemukakan dalam hal ini adalah:

7.1.5.1. Bermula dari tidak adanya kebiasaan dan pemahaman. Para


perajin tempe tahu di kawasan tersebut memang tidak
memiliki kebiasaan untuk melakukan produksi ramah
lingkungan; lebih-lebih pada waktu mereka belum tinggal
di kawasan PIK KOPTI Semanan. Pada waktu itu mereka

Universitas Indonesia 172


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tidak memiliki atau tidak mengenal konsep ataupun
pengertian mengenai produksi ramah lingkungan. Pada saat
mereka menanggapi protes pun, pada mulanya dilakukan
bukan karena kesadaran akan produksi ramah lingkungan.

7.1.5.2. Adanya protes dari warga sekitar sebagai pendorong.


Benturan atau protes dari warga sekitar memang
merupakan salah satu faktor pendorong utama dari proses
pembelajaran tersebut. Namun demikian proses
pembelajaran tersebut tidak terjadi secara serta-merta
begitu mereka menerima protes. Protes dari warga sekitar
tersebut disertai dengan ancaman terhadap keselamatan
beberapa pengelola lingkungan PIK KOPTI Semanan.
Protes dari warga diluar kawasan tersebut sehubungan
dengan limbah air bau dari proses produksi. Protes disertai
ancaman tersebut tidak menghalangi para perajin untuk
tetap eksis dan berproduksi.

7.1.5.3. Adanya pedagang dan konsumen yang tidak


mempersoalkan proses produksi maupun limbah yang
dihasilkan. Permintaan pedagang dan konsumen cenderung
tetap ada, bahkan ketika Pemerintah menemukan beberapa
kegiatan produksi tahu terbukti telah menggunakan bahan-
bahan yang dilarang karena berbahaya dan beracun. Para
pedagang dan kosumen cenderung tidak melakukan protes
terhadap proses produksi maupun limbah tersebut.

7.1.5.4. Adanya dialog dengan Pemerintah sebagai penengah.


Untuk menghindari protes dan ancaman berkepanjangan
yang berkemungkingan dapat berubah menjadi tindakan-
tindakan radikal anarkhis, pimpinan linkungan PIK KOPTI
mengambil inisiatif untuk berdialog dengan pimpinan
warga yang melakukan protes. Dialog tersebut telah

Universitas Indonesia 173


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
menghasilkan kesepakatan yang memuaskan keduabelah
pihak. Dengan demikian pada dasarnya protes warga dari
luar kawasan tersebut telah ikut memaksa wagra KOPTI
Semanan untuk berdialog dan belajar mentransformasi diri
melakukan produksi ramah lingkungan.

7.1.5.5. Adanya usaha bersama, koordinasi dan bantuan


ketersediaan lahan dan bantuan peralatan. Bagi warga PIK
KOPTI Semanan, kegiatan produksi ramah lingkungan
memang merupakan kegiatan pembelajaran baru begitu
mereka berada di lokasi PIK-KOPTI Semanan. Dalam
mencoba mengatasi masalah bau air limbah tersebut, warga
atau masing-masing unit usaha di PIK-KOPTI Semanan
tidak mampu melakukannya sendiri-sendiri, tetapi mereka
perlu melakukankannya bersama-sama dengan fasilitas dari
koperasi, dikoordinasi oleh pengurus koperasi sekaligus
pengurus lingkungan setempat. Usaha bersama yang
dilakukan adalah membuat satu dapur umum dan kolam
komunal untuk penampungan air limbah produksi. Kolam
komunal tersebut dimaksudkan untuk menampung air
limbah produksi baik dari dapur umum maupun dari
masing-masing rumah tangga unit produksi. Dapur umum
dan kolam penampungan air limbah produksi tersebut
dibangun terpisah dari masing-masing rumah produksi.
Lahan untuk lokasi dapur umum dan kolam penampungan
air limbah tersebut adalah milik koperasi. Sedangkan
peralatan untuk keberfungsian klanm tersebut seperti mesin
blower dan mesin pompa air artesis adalah sumbangan
Pemda. Demikian juga lahan untuk tempat penampungan
limbah padat termasuk sampah domestik, disediakan oleh
koperasi. Peralatan berupa mesin pengepres sampah adalah
bantuan Pemda.

Universitas Indonesia 174


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
7.1.5.6. Adanya bantuan teknis dari kompleks pemukiman lain
yang berkepentingan terhadap penanganan saluran buangan
limbah air. Ini adalah bentuk reaksi yang sama sekali
berbeda dengan reaksi protes. Jika reaksi protes sudah
cukup mendorong warga PIK KOPTI Semanan untuk
menyadari perlunya mengelola limbah dengan baik, maka
bantuan teknis itu telah memberikan pembelajaran yang
lebih konkret dalam bentuk praktek. Warga PIK KOPTI
Semanan cenderung akomodatif terhadap bantuan-bantuan
jenis konkret dan praktis, seperti juga yang berikut ini.

7.1.5.7. Adanya bantuan teknis dan pembiayaan dari Pemerintah


untuk meningkatkan keberfungsian kolam penampungan
air limbah sebagai instalasi pengolahan limbah. Kolam
yang dibuat tersebut pada mulanya hanya sekedar
penampungan air limbah saja, yang makin lama makin
berbau menyengat, yang pada akhirnya menimbulkan
beberapa kali protes dari warga sekitar. Lalu dengan
bantuan pendanaan, teknis dan peningkatan kapasitas lokal
yang dilakukan oleh Pemda yang dalam hal ini adalah
BPLH DKI dan Dinas PU DKI, kolam penampungan
tersebut dikembangkan menjadi IPAL.

7.1.5.8. Adanya bantuan pemantauan dan secara rutin dari instansi


pemerintah. Secara berkala pengurus lingkungan yang
dalam hal ini juga pengurus kooperasi, bersama dengan
tim-nya dan juga bersama dengan petugas dari Pemda
melakukan pemantauan terhadap keberfungsian IPAL,
termasuk perawatan terhadap peralatan IPAL. Pemantauan
dan bantuan perawatan secara rutin juga dilakukan
terhadap alat pengepres sampah.

Universitas Indonesia 175


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
7.1.5.9. Adanya pembinaan secara berkala dari Perguruan Tinggi.
Eksistensi komunitas PIK KOPTI Semanan dengan
kegiatan pembelajarannya untuk melakukan produksi
ramah lingkungan juga memperoleh dukungan dari
beberapa Perguruan Tinggi yang melaksanakan kegiatan
Pengabdian pada Masyarakat di kawasan tersebut. Tema-
tema yang dilaksanakan dalam kegiatan tersebut antara lain
tentang menajemen produksi, produksi sehat dan aman,
penghematan listrik dan konservasi air, di samping bakti
sosial yang berupa dokter dan pengobatan gratis.

7.1.5.10. Kesediaan para perajin untuk belajar dan mengambil


bagian dalam mencoba melakukan prinsip-prinsip produksi
ramah lingkungan. Kesediaan ini lebih banyak
berhubungan dengan rasa ”kewajiban” yang ditanamkan
pengurus lingkungan kepada para warga. Dalam hal ini
pengurus lingkungan melakukan kontrol yang ketat
terhadap partisipasi warga dalam melaksanakan prinsip-
prinsip produksi ramah lingkungan. Dalam kegiatan
pembinaan dan penyuluhan, lembaga penyelenggara
menyediakan konsumsi; dan jika penyelenggaran kegiatan
itu dilakukan di luar kawasan PIK KOPTI Semanan maka
penyelenggara menyediakan juga akomodasi, tranportasi,
bahkan uang transport.

7.1.5.11. Unit-unit produksi berada dalam satu lingkungan


pemukiman yang sama dengan peruntukan khusus bagi
kegiatan produksi tahu tempe. Ini mempermudah
penanganan limbah, artinya: IPAL dapat dibuat secara
kolektif sehingga masing-masing unit usaha tidak perlu
memiliki atau membuatnya sendiri-sendiri; pengelolaan
IPAL dapat dikerjakan oleh kelompok khusus yaitu warga
setempat yang telah memperoleh pelarihan seperlunya,

Universitas Indonesia 176


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
sehingga masing-masing pemilik usaha tidak perlu ikut
bekerja mengurus IPAL tersebut melainkan cukup
berpartisipasi melalui iuran.

7.1.5.12. Struktur komunitas yang khas. Tanda-tanda sebagai


komunitas berstruktur sosial tunggal adalah persamaan
daerah asal, kebiasaan, lapangan pekerjaan, bahasa, tinggal
di wilayah geografis yang relatif tertutup dalam arti
dikhususkan untuk perajin tahu tempe asal Pekalongan
saja, jumlahnya juga tidak terlalu besar, wilayah
teritorialnya juga tidak terlalu luas, namun memiliki
beberapa fasilitas bersama seperti masjid, sekolah, mobil
ambulan dan lahan yang cukup untuk pengolahan sampah
dan limbah produksi; dan eksistensinya disadari dan diakui
oleh pihak luar. Akan tetapi sebagai sebuah organisasi
formal, yaitu koperasi, masing-masing unsur di dalam
komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan memiliki status
dan peran yang jelas, diferensiasi tinggi. Hal itu bukanlah
ciri struktur sosial tunggal. Koperasi juga membentuk
RT/RW sendiri, dan mulai menerima orang luar dengan
usaha kecil selain tempe tahu untuk berdomisili di kawasan
PIK KOPTI Swakerta Semanan dan tidak perlu menjadi
anggota Koperasi. Dengan demikian komunitas PIK
KOPTI Swakerta Semanan juga memiliki tanda-tanda
sebagai komunitas berstruktur sosial majemuk. Lebih dari
itu di dalam struktur sosial komunitas PIK KOPTI
Semanan terdapat fungsi lay persons yang sanggup
menggerakkan warga untuk peduli pengolahan limbah
secara bersama dan memiliki akses ke beberapa sumber
pembinaan lingkungan..

Universitas Indonesia 177


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
7.2. Kesimpulan Teoretik.

Dari keseluruhan data dan penjelasan tersebut diatas, maka dapat


dirangkai beberapa proposisi konklusif yaitu: bahwa produksi tradisional
masal dan terkonsentrasi pada satu lokasi yang sama cenderung menimbulkan
akumulasi polusi sejenis yang kemenggangguannya dapat dirasakan oleh
masyarakat sekitar; untuk mengatasi polusi tersebut, masyarakat yang
terganggu oleh polusi tersebut cenderung merespon dengan menempuh cara
atau melakukan tindakan radikal; respon tersebut berbeda dengan tindakan
yang dilakukan oleh warga pemilik atau pelaku usaha yang lebih
menginginkan cara dialog atau berunding; kelancaran jalannya perundingan
tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah setempat sebagai pelindung dan
penengah yang dihormati oleh keduabelah pihak; kesepakatan yang
dihasilkan dari perundingan itu adalah bahwa pihak pemilik atau pelaku
usaha bertanggungjawab untuk mengatasi polusi tersebut dengan cara
melakukan produksi ramah lingkungan dan juga memberikan bantuan
fasilitas fisik seperlunya untuk kepentingan kenyamanan lingkungan tempat
warga yang protes; untuk melaksanakan produksi ramah lingkungan tersebut
pihak pemilik atau pelaku usaha memerlukan bantuan dari pelindungnya yaitu
pemerintah, lahan yang cukup, bantuan teknologi modern ramah lingkungan,
kerjasama dan koordinasi antar pemilik usaha dalam satu wadah atau
organisasi, bantuan dan pembinaan kontinyu dari para active actors,
kesediaan dari semua pelaku usaha untuk menerima pembelajaran produksi
dengan teknologi ramah lingkungan, serta memerlukan lingkungan
pemukiman dan struktur sosial yang khas dengan adanya lay persons yang
memiliki kemampuan communicative action.

Proposisi-proposisi tersebut di atas merefleksikan bahwa perspektif


Modernisasi Ekologis memang terverifikasi memberikan sumbangan
ideologis yang dominan.

Dalam proses selanjutnya, aplikasi ideologi ramah lingkungan tidak


dapat dilepaskan dari proses-proses interaksi sosial termasuk konflik yang

Universitas Indonesia 178


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
terjadi, pada dasarnya sudah cukup dapat dijelaskan oleh Teori Modernisasi
Ekologis, walaupun tidak semendalam penjelasan teori interaksi sosial.
Proses sosial seperti penyelesaian sengketa mengenai penanganan limbah
produksi, akan dapat lebih mendalam untuk dijelaskan misalnya dengan
bantuan Teori Sosialisasi, Teori Organisasi atau Teori Manajemen Konflik
yang pada dasarnya juga separadigma dengan teori Modernisasi Ekologis.

Penjelasan mengenai peran aktif lay persons setempat yang mampu


melakukan dialogues and communicative action dapat diperkaya dengan
mempergunakan bantuan Teori Strukturasi dari Anthony Giddens. Namun
sesungguhnya peran lay person tersebut menjadi lancar karena struktur yang
sudah tersedia. Kemudian pentingnya peran para aktifis lingkungan,
khususnya dari kalangan Perguruan Tinggi yang jelas-jelas mendukung
pemerintah, tampaknya memang merupakan gerakan yang disyaratkan untuk
melancarkan praksis Ecological Modernization.

7.3. R e k o m e n d a s i .

Karakter studi ini adalah empirisisme dan pragmatik. Secara empirik


disain besar pembangunan nasional adalah menganut paham
developmentalism yang berorientasi pada growth. Pembangunan tidak boleh
berhenti. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali Ecological Modernization.
Yang perlu dicermati sekarang adalah persyaratan teknis dan sosial dari
paraksis Ecological Modernization. Optimisme menuju produksi ramah
lingkungan sebagaimana yang terjadi di lingkungan penelitian, tampaknya
patut menjadi model untuk pembangunan usaha industri kecil ramah
lingkungan. Kondisi yang mendukung optimisme itu adalah: 1) Stuktur
sosial dualistik-mutualistik walaupun yang lebih menonjol adalah
homogenitasnya: satu daerah asal, satu wadah koperasi, satu daerah teritorial
administratif, satu jenis usaha, tapi banyak pembinanya. 2) Lahan
mencukupi untuk implementasi produksi ramah lingkungan, dengan tata
guna lahan terencana secara pasti dan tertutup. 3) Berbentuk koperasi,
dengan salah satu seksinya adalah Urusan Pengelolaan Limbah dan
Kelestarian Lingkungan, dan ada tokoh warga yang bersedia duduk dan

Universitas Indonesia 179


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mampu melaksanakan tugas pada seksi tersebut 4) Ada Perguruan Tinggi
yang membina kawasan tersebut untuk ramah lingkungan. 5) Memiliki akses
langsung dengan beberapa departemen teknis.

Kemudian secara empirik, permasalahan lingkungan pada dasarnya


adalah bersifat network and flows (Mol dan Spaargaren 2003, 2005), baik
sumber, proses maupun dampaknya adalah berbentuk network, link,
mengalir dan bersirkulasi melintasi (menyatukan) ruang maupun waktu.
Dengan kata lain (kembali ke Diagram 2.1. Lingkungan Usaha Mikro dan
Kecil) permasalahan lingkungan adalah permasalahan lintas daerah,
regional, lintas negara; permasalahan global; permasalahan bersama. Karena
itu keputusan-keputusan politik yang dimaksud adalah bukan hanya
keputusan politik pada tingkatan pemerintah lokal atau pemerintah daerah,
tetapi keputusan bersama sampai pada tingkat nasional bahkan internasional.
Ini berarti peran state dan juga interstate harus menjadi variabel sentral
dalam studi-studi sosiologi lingkungan. Atas dasar ini, penulis mengajukan
rekomendasi untuk agenda penelitian dan untuk implementasi kebijakan
berikut ini.

7.3.1.Rekomendasi untuk Penelitian Sosiologi Lingkungan.

Dalam jangka pendek, penelitian ini perlu dan akan dilanjutkan


dengan penelitian empirik dengan pendekatan yang bukan sekedar
Environmental Sociology, tetapi Sociology of Environmental Network
atau Sociology of Environmental Flows. Mengikuti Mol dan
Spaargaren 3 , tema-tema yang perlu diagendakan selanjutnya adalah
tema-tema mengenai definisi dari flows atau network itu sendiri yang
dikaitkan dengan persoalan-persoalan power, ketimpangan dan akses,
peran negara, tata pemerintahan dan regulasi, perlunya tata
pemerintahan global dan pendekatan civil society.

3
Sudah dilakukan kontak awal dengan Prof. Dr. Ir. Arthur PJ. Mol dan Prof. Dr. Ir. Gert
Spaargaren di Wegeningen University, Prof. Dr. Ir. Joseph Huber di Marthin Luther University,
dan Prof. John Hannigan PhD di Toronto University.

Universitas Indonesia 180


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dugaan penulis, nanti akan ditemukan environmental flows yang
rumit dan environmental flows yang sistematik harmonik. Pekerjaan
Rumah yang cukup berat manakala Ecological Modernization harus
mereformasi flows yang sudah telanjur ruwet di suatu kawasan yang
sudah telanjur tumbuh penuh tanpa rencana. Perencanaan Ecological
Modernization of Flows akan mudah dibuat di kawasan kosong, baik
kosong karena belum dihuni atau kosong karena relokasi atau kosong
karena habis dissaster.

7.3.2.Rekomendasi untuk Penelitian dan Implementasi Kebijakan.

Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun


1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan pengelolaan
limbah kegiatan dan/atau usaha, perankat kebijakan lingkungan hidup
di Propinsi DKI Jakarta pada dasarnya sudah komplit.

Yang perlu dievaluasi lebih lanjut adalah pelaksanaannya.


Evaluasi mungkin sudah ada, namun publikasinya, misalnya dalam
bentuk buku atau CD Status Lingkungan Hidup Wilayah, tidak pernah
bisa populer, dan mungkin kurang memiliki efektivitas bagi
peningkatan mutu manajemen lingkungan dan peningkatan kesadaran
lingkungan.

Peraturan perundangan di atas lebih banyak mengatur


kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam kegiatan usaha kecil.
Untuk peraturan perundangan yang mengatur hak usaha kecil dapat
diperhatikan misalnya UU No. 5 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Undang-undang ini lebih banyak mengatur kewajiban Pemerintah
untuk melakukan perlindungan dan pembinaan terhadap usaha kecil.
Pembinaan produksi, pengolahan dan teknologi sudah disebutkan
dalam Pasal 14, 15, 16. Bagian Penjelasan dari pasal-pasal ini
disebutkan “cukup jelas”. Menurut hemat penulis pasal-pasal ini pada
dasarnya memerlukan penjelasan yang rinci khususnya mengenai

Universitas Indonesia 181


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pembinaan produksi, pengolahan dan teknologi ramah lingkungan.
Yang demikian itu tidak perlu dipandang sebagai kelemahan, justru
sebaliknya memberikan peluang baik kepada pelaku usaha, pemerintah
dan seluruh stake holder untuk duduk bersama-sama mengkonstruksi
pembinaan dan pengembangan yang relevan dengan kondisi
lingkungan dan budaya komunitas setempat

7.3.3.Tindak Lanjut untuk PIK KOPTI Semanan.

Sebagaimana sudah dilaporkan, kondisi lingkungan dan budaya


kawasan PIK KOPTI Semanan adalah khas yang memungkinkan untuk
lebih memaksimalkan kebersamaan dalam pelaksanaan produksi
ramah lingkungan. Yang sedang penulis siapkan sesudah disertasi ini
adalah memimpin studi kelayakan untuk peningkatan dapur umum
manjadi pabrik bersama dengan teknologi ramah lingkungan dan
ekonomis. Judul yang sedang digarap melanjutkan disertasi ini adalah
Optimisme Implementasi Ecological Modernization pada Industri
Kecil Pengolahan Tempe Tahu, Percontohan di PIK KOPTI Jakarta
Barat.

Pendekatan utama proyek ini adalah ko-konstruktivistik,


maksudnya melibatkan komunitas setempat, beberapa instansi
pemerintah, beberapa perguruan tinggi dan beberapa LSM.

Universitas Indonesia 182


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TESIS 1:

EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL

PENCEMARAN
USAHA INDUSTRI LINGKUNGAN :
KECIL TEMPE- AIR & UDARA
TAHU

Universitas Indonesia 183


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TESIS 2:

EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT RESISTEN DAN
KECIL MELAWAN

KONFLIK

SENTRA PENCEMARAN KERESAHAN


INDUSTRI KECIL LINGKUNGAN : DAN PROTES
TEMPE-TAHU AIR & UDARA WARGA
SETEMPAT DAN SEKITAR
SEKITAR

1992 1998

Universitas Indonesia 184


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TESIS 3:

PEMERINTAH EKONOMI KOOPERATIF


MASYARAKAT UNTUK
KECIL BERUBAH
MASYARAKAT
(LSM, LPPM-/PT,
SWASTA
PENYIAPAN
SENTRA
DIALOG INDUSTRI
KECIL
TEMPE-TAHU
MODERN

PENCEMARAN
SENTRA TEKNOLOGI WARGA SEKITAR
BERKURANG/
INDUSTRI KECIL PRODUKSI MENDUKUNG DAN
TEMPE-TAHU RAMAH
TIDAK MENGAMBIL MANFAAT
LINGKUNGAN MELEWATI
BATAS
TOLERANSI

1992 2005 2009 2010 2011

Universitas Indonesia 185


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAFTAR PUSTAKA

Absori (2002)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Perdagangan Bebas,: Universitas Muhammadiyah
Surakarta Press, Surakarta.

Absori (2005)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2,
September 2005: 221 - 237

Adam, Barbara, Ulrich Beck and Joost van Loon (2004)


The Risk Society and Beyond, Critical Issues for Social Theory, Sage Publication, London,
Thousand Oaks, New Delhi

Ali, Zainuddin 2008


Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Anderson, Ingvar (1998)


Environmental Management Tools for SME: A Handbook, Environmental Issues Series,
European Environmental Agency, Denmark.

Aron, Raymond (1965)


Main currents in sociological thought I, Basic Books, New York

Asian Development Bank (1997)


Microenterprise Development, Not By Credit Alone,
http://www.adb.org/Documents/Books/Microenterprise/microenterprise.pdf

Asian Development Bank (2002)


Handbook on Environmental Statistics, Development Indicators and Policy Research Division
Economics and Research Department, Asian Development Bank, April 2002,

Asian Development Bank.SME Development TA (2002)


Praktek Terbaik Dalam Menciptakan Suatu Lingkungan Kondusif Bagi UKM, Policy Papers
2001 / 2002, Policy Paper No. 1, ADB SME Development TA Kantor Mentri Negara Urusan
Koperasi dan UKM, Jakarta ,
http://www.adbtasme.or.id/file/sme_pp01_bi.pdf

Asian Debvelopment Bank (2003)


Environment Assesment Guidlines, Asian Development Bank,
http://www.adb.org/documents/guidelines/environmental_assessment/Environmental_Assessment
_Guidelines.pdf

Badan Pusat Statistik (2005)


Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga 2003

Badan Pusat Statitik Provinsi DKI Jakarta (2005)


Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga DKI Jakarta 2005

186
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Badan Pusat Statitik Provinsi DKI Jakarta (2006)
Potret Dunia Usaha DKI Jakarta 2006, Ulasan Ringkas Hasil Pendaftaran Perusahaan/Usaha
Sensus Ekonomi 2006

Bain, Read (1928)


An Attitude on Attitude Research, American Journal of Sociology, 33 (1927-28), pp. 940-957.

Barry, John (1999)


Environment and Social Theory, Routledge Introductions to Environment Series, Routledge,
London and New York

Bell, Michael Mayerfeld (2004)


An Invitation to Environmental Sociology, Pine Forge Press, Sage Publications Inc; Thousand
Oaks, London, New Delhi

Berger, Johannes (1994)


The Economy and the Environment, dalam Neil Smelser and Richard Swedberg (eds)
The Handbook of Economic Sociology, Princeton, NJ: Princeton University Press, pp. 768–97

BPLH DKI Jakarta (2003)


Laporan Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2003,
http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2003/Docs/index.htm

BPLH DKI Jakarta (2004)


Kondisi Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2004,
http://bplhd.jakarta.go.id/info/laporan/LAP_GUB_12JAN05.doc

BPLH DKI Jakarta (2008)


Laporan Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2008,
http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2008/Docs/index.htm

Buttel, Frederick H. (2000)


World Society. The Nation State, and The Environmental Protection; Comment on Frank,
Hironaka, and Schofer, American Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 117-121

Buttel, Frederick H. (2001)


“Environmental Sociology and the Explanation of Environmental Reform”, Paper presented at the
Kyoto Environmental Sociology Conference, Kyoto, October 2001

Buttel, Frederck H. (2002)


Has Environmental Sociology Arrived?, Organization & Environment, Vol. 15 No. 1, March
2002, Sage Publication, pp. 42-54

Buttel, Frederick H. (2003)


Environmental Sociology and the Explanation of Environmental Reform, Organization &
Environment, Vol. 16 No. 3, September 2003, Sage Publication, pp. 306-344

Buttel, Frederick H. (2004)


The Treadmill of Production: An Appreciation, Assessment, ans Agenda for Research,
Organization & Environment, Sep 2004, 17, 3; ABI/INFORM Global, pp. 323-336

187
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Castro, Carlos J (2004)
Sustainable Development, Mainstream and Critical Perspectives, Organization & Environment,
© 2004 Sage Publications Vol. 17 No. 2, June 2004 195-225

Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E. (1980)


A New Ecological Paradigm for Post-Exuberant Sociology, The American Behavioral; Sep/Oct
1980; 24, 1; ABI/INFORM Global

Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E. (1980)


A New Ecological Paradigm for Post-Exuberant Sociology, dalam R. Scott Frey ed. (2001), The
Environment and Society Reader, Allyn and Bacon, Boston

Cernea, Michael M (1993)


The sociologist's approach to sustainable development, Finance & Development, Dec 1993; 30,
4; Wilson Social Sciences Abstracts, pp. 11-13

Cohen, Maurie J. (1998)


Science and Environment: Assessing Cultural Capacity for Ecological Modernization, Public
Understand Science, 7 (1998) , IOP Publishing Ltd and The Science Museum, UK. pp. 149-167

Comte, Auguste (1988)


Introduction to positive philosophy. Ed. by Frederick Ferré. Hackett, Cambridge/Indianapolis

Dalberg-Larsen, Jorgen (1999/2002)


A Sociological Perspective on Environmental Law, August 1999 at the Nordic Re-search
Course “Law and the Environmental Challenge.” RETTID 2002,
http://www.rettid.dk/artikler/20020009.pdf

Deschrocher, Pierre (2002)


Natural Capitalists’ Indicement of Traditional Capitalism: A Reappraisal, Business Strategy and
the Environment, July/Aug. 2002, pp. 203-220

Diekmann, Andreas and Peter Preisendörfer (2003


Green and Green back, The Behavioral Effects of Environmental Attitudes in Low-Cost and
High-Cost Situation, Rationality and Society, Vol. 15(4) 2003: 441-472

Doyle, Timothy and Doug McEachern (2001)


Environment and Politics, Routledge Introductions to Environment Series, Routledge, London
and New York

Durkheim, Emile, (1893/1933)


The Division of Labor in Society, Glencoe, Free Press, Illinois

Durkheim, Emile, (1895/1982)


The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its Method, Free Press,
New York

Dunlap, Riley E. (2001), The Evolution of Environmental Sociology: A Brief History and Assessment of
the American Experience, R. Scott Frey ed. (2001), The Environment and Society Reader, Allyn
and Bacon, Boston, pp. 43-62

188
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dunlap, Riley E. (2002)
Environmental Sociology, A Personal Perspective on Its First Quarter Century, Organization and
Environment, Vol. 15 No. 1, March 2002, Sage Publications 2002

D’Souza, Clare and Roman Peretiatko (2002)


The nexus between industrialization and environment, A case studi of Indian enterprises,
Environmental Management and Health, Vol. 13 No. 1, 2002, pp. 80-97

England, Paula and Nancy Folbre (2003)


Gender and Economic Sociology, Handbook of Economic Sociology, edited by Neil Smelser and
Richard Swedberg, Russell Sage and Princeton.
http://www.cas.northwestern.edu/cics/England.pdf

Etzioni, Amitai (2004)


The Post Affluent Society, Review of Social Economy, Vol. LXII No. 3 September 2004,
Routledge, http://www.tandf.co.uk/journals

Etzioni, Amitai (2002)


"The Good Society." Seattle Journal of Social Justice. Vol. 1, Issue 1 (Spring/Summer 2002)
83-96.

Etzioni, Amitai (2000)


Creating good communities and good societies, Contemporary Sociology, Vol. 29, Issue 1
(January 2000), pp. 188-195, http://www.gwu.edu/~ccps/etzioni/A276.html

Etzioni, Amitai (1968)


"Societal Guidance: A Key to Macro-Sociology," Acta Sociologica Scandinavian Review of
Sociology, Vol. 11 (Fasc. 4, 1968), pp. 197-206.

Etzioni, Amitai (1968)


The Active Society, Theory of Societal and Political Processes, The Free Press, A Division of
Macmillan Publishing Co; Inc; New York.
Etzioni, Amitai (1967)
"Toward a Theory of Societal Guidance," The American Journal of Sociology, Vol. 73, No. 2
(September 1967), pp. 173- 187.

Evers, Hans-Dieter (1980)


Produksi Subsistensi dan “Massa Apung” di Jakarta, PRISMA VIII – Juni 1980

Foster, John Bellamy (1999)


Marx’s Theory of Metabolic Rift: Classical Foundation for Environmental Sociology, The
American Journal of Sociology, September 1999, 105, 2

Foster, John Bellamy (2002)


Capitalism and ecology: the nature of the contradiction, Monthly Review, September 1, 2002,
http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m1132/is_4_54/ai_91659884

Frank, David John, Ann Hironaka and Evan Schofer (2000)


The Nation State and the Natural Environment Over the Twentieth Century, American
Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 96-116

189
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Franklin, Adrian (2002)
Naature and Social Theory, Sage Publications Ltd. London

Fulkerson, Gregory M. (2000)


Environmental sociology, an Analysis of Trends, Western Michigan University, Kalamazoo,
Michigan

Hawken, Paul, Amory Lovins and Hunter Lovins (2004)


Natural Capitalism, Creating Next Industrial Revolution, Rocky Mountain Institute. 1739
Snowmass Creek Road, Snowmass,

Geertz, Clifford (1976)


Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia, Bhratara, Jakarta,

Giampietro, Mario; Kozo Mayumi; Sandra G.F. Bukkens (2001)


Multiple-Scale Integrated Assessment of Societal Metabolism: An Analytical Tool to Study
Development and Sustainability, Environment, Development and Sustainability; 2001; 3, 4; pp.
275-307

Gould, Kenneth A., David N. Pellow, Allan Schnaiberg (2004)


Interogating the Treadmill of Production, Everything You Wanted to Know About the Treadmill
but Were Afraid to Ask, Organization & Environment, Vol. 17 No. 3, September 2004, Sage
Publication, pp. 296-316

Green Microfinance (2004)


Examples of Microfinance Impacts.
http://www.greenmicrofinance.org/Pages/EcoImpact.html

Gross, Matthias (2000)


Classical Sociology and the Restoration of Nature, the relevance of Emile Durkheim and Georg
Simmel, Organization & Environment, Sept, 13, 3, Sage Publications, Inc. pp. 280 -284

Hannigan, John A. (2002)


Environmental Sociology, A Social Constructionist Perspectives, Environment and Society,
Routledge, London and New York

Hardesty, Donald L. (1977)


Ecological Anthropology. New Yook : John Wiley & Sons, Inc

Hitchens, David, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, Samarthia Thankappan (2003),
Competitiveness, Environmental Performance and Management of SMEs, Greener Management
International, Winter 2003; 44, pp. 45-57

Hoesin, Helmon (2003)


Pola Pembinaan UKM dan Kaki Lima Jakarta Barat,
Pelatihan Pemberdayaan Sektor Informal Untuk Pengembangan Ekonomi Lokal, Urban and
Regional Institute, http://www.urdi.org/ILO/PDF/Lampiran-4.pdf

190
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Huber, Joseph (1998)
“Toward Industrial Ecology: Sustainable Development as a Concept of Ecological
Modernization”, Paper prepared for the International Workshop on “Ecological Modernization”
at the University of Helsinki 10-13 September 1998

Huber, Joseph (2001)


“Environmental Sociology in Search of Profile”, Paper prepares for the Autumn Meeting of the
section “Sociology and Ecology” of the German Society of Sociology, Bremen 9 November
2001

Jauhari, A; 2002
Pemberdayaan Usaha Kecil Ramah Lingkungan, SUARA PEMBARUAN DAILY, 18/6/2002,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=4297

Johnson, Doyle Paul (1981)


Sociological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, John Wiley & Sons,
New York

Jones, Robert Emmet and Riley Dunlap (1992)


The Social Bases of Environmental Concern: Have They changes Over Time?, Rural Sociology
57 (1992) pp. 28-47, Frey, R. Scott, ed. (2001), The Environment and Society Reder, Allyn and
Bacon, Singapore, pp. 164-179

Kantor MNLH Urusan Limbah Usaha Kecil (2004)


Pengelolaan Limbah Usaha Kecil, http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/top/dampak.htm

Kantor MNLH Urusan Limbah Usaha Kecil (2004)


Data Usaha Kecil dan Agroindustri Yang Potensial Mencemari Lingkungan
http://www.mnlh.go.id/usaha-kecil/

Kementerian Lingkungan Hidup (2004)


Info Berita Terkini, Pengelolaan Limbah Usaha Kecil, http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/

Kementerian Lingkungan Hidup (2004)


Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003

Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004)


Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan, Indikator Keberhasilan, Program dan
Kegiatan, Deputi Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup - Kementrian Negara
Lingkungan Hidup

Kementerian Lingkungan Hidup (2004)


Hasil Kerja Kementrian Lingkungan Hidup 2001-2004, Jakarta, hal. 31-33

Kementerian Lingkungan Hidup (2005)


Hasil Kerja Kementrian Lingkungan Hidup 2001-2004,

Kementerian Lingkungan Hidup (2005),


Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004

191
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Keraf, Sonny A. (1991)
Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Konttinen, A (ed.) (1996)


Green Moves, Political Stalemates. Annales Universitatis Turkuensis, B 215, pp. 16-24,
http://wwwedu.oulu.fi/homepage/tjarviko/nature.htm

Lal, Abhishek and Betty Meyer (2004)


An Overview of Microfinance and Environmental Management, The Global Development
Research Center, http://www.gdrc.org/icm/environ/abhishek.html

Lindell, Martin and Necmi Karagozoglu (2001)


Corporate Environmental Behavior – A Comparison Between Nordic and US Firms, Business
Strategy and the Environment, Jan/Feb. 2001, pp. 38-52, John Wiley & Sons, Ltd and ERP
Environment

Lowry, Jean (1996)


Environmental Auditing Training Package, Technical Report, Proyek Pengembangan Pusat
Studi Lingkungan Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta

Lovins, Amory, Hunter Lovins and Paul Hawken (1999)


A Road Map for Natural Capitalism, Harvard Business Review, May-June 1999, pp. 146-158;

Luhmann, Niklas 2007


Law as Social System, Transnational Justice Center, No.1.2007, pp. 177-195
http://journal.transnationaljustice.com/index.php/DERECHOyPODER/article/view/11/14

Mill, John Stuart (1874)


On Nature, Lancaster E-text, prepared by the Philosophy Department at Lancaster University,
from Nature, The Utility of Religion and Theism, Rationalist Press, 1904,
http://www.lancs.ac.uk/users/philosophy/texts/mill_on.htm
http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/index.htm

Mitchell, Ross E. (2001)


Thorstein Veblen, Pioneer in Environmental Sociology, Organization & Environment,
December 14, 4, Sage Publications 2001, pp. 389-408

Mol, Arthur P.J. and Get Spaargaren (2003)


“Towards A Sociology of Environmental Flows, A new agenda for 21st century Environmental
Sociology”, Paper for the International Conference on ‘Governing Environmental Flows’,
Environmental Policy Group Wageningen University and the International Sociological
Association RC-24, June 13-14 Wageningen, The Netherlands,

Mol, Arthur P.J. and Get Spaargaren (2005)


“From Additions and Withdrawals to Environmental Flows, Reframing Debates in the
Enviromental Social Sciences” Organization & Environment, Vol.18 No.1, March 2005, pp. 91-
107.

192
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Muladi (1998)
Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU No. 23
Tahun 1997, Makalah Seminar Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, tanggal 21 Pebruari.

Murphy, Joseph and Andrew Gouldson (1998)


Integrating environment and economy through Ecological Modernization: an assessment of
the impact of environmental policy on industrial innovation, OCEES Research Paper No. 16,
Oxford Centre for the Environment, Ethics & Society, Mansfield Colledge, Oxford, UK

Murphy, Joseph (2001)


Ecological Modernization: The Environment and the Transformation of Society, OCEES
Research Paper No. 20, Oxford Centre for the Environment, Ethics & Society, Mansfield
Colledge, Oxford, UK

Pagell, Mark, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede and Chwen Sheu (2004)
Does Competitive Environment Influence the Efficacy of Investments in Environmental
Management?, The Journal of Supply Chain Management, 40, 3, Summer 2004, pp. 30-39

Pataki, George E, and Crotty, Erin M. (2003)


The Environmental Self-Audit for Small Business, A Quick and Easy Guide to Environmental
Compliance, Prepared for Small Business in New York State, by Pollution Prevention Unit, New
York State Department of Environmental Conservation, New York

Pellow, David N., Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg (1999)


Putting the Ecological Modernization Thesis to the Test: The Promise oad Performance of Urban
Recysling, in Arthur PJ. Mol and David A. Sonnenfeld, eds., Ecological Modernization Around
the World: Perspectives and Critical Debates, OR: Frank Cass & Co., Ilford (UK) and Portland

Pemda Propinsi DKI Jakarta (2002)


Renstrada Propinsi DKI Jakarta 2002-2007, copyright dkiweb@dki.go.id

Perdue William D. (1986)


Sociological Theory, Mayfield Publishing Co., Palo Alto, California

Petts, Judith, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998)


Environmental Responsiveness, Individuals and Organization Learning: SME Experience,
Journal of Environmental Planning and Management, Nov. 1998; 41, 6, pp. 711-730

Picou, Steve (1999)


“Theoretical Trends in Environmental Sociology: Implications for Resource Management in the
Modern World”, Paper presented at the Social and Economic Planning Conference, Minerals
Management Service, August 24-26, 1999, Park City, Utah

Portinga, Wouter, Linda Steg, Charles Vleg (2004)


Values, Environmental Concern and Enviromental Behavior, A Study into Household Energy
Use, Environment and Behavior, Vol 36, No. 1, Januaryb 2004, pp. 70-93

Satjipto Rahardjo, 2009


Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta

193
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Ramjeawon, T. (2004)
A Case Study of Cleaner Production Opportunities In Small and Medium Enterprises on Island of
Mauritius, Electronic Green Journal, Issue 20 Spring 2004

Ratzel, Friedrich (1972)


Emile Durkheim 1899, Anthropogeographie, Book Review, dalam Anthony Giddens
eds. Emile Durkheim Selected Writings, Cambridge University Press, Cambridge, UK, pp.86-88

Revell, Andrea (2003)


“The Ecological Modernization of Small Firms in the UK”, Paper presented to the Business
Strategy and Environment Conference, Leicester, September 16th 2003

Rock, Michael T. and Jean Aden (1999),


Initiating Environmental Behavior in Manufacturing Plant in Indonesia, Journal of Environment
and Development, Vol 8 No. 4 Dec. 1999, Sage Publication 1999, pp. 357-735

Roy, Edward Van (1997)


Toward Comprehensive Strategy for Poverty Alleviation and The Pacific, in Valuing the Past
and Investing for the Future to Eradicate Poverty, Proceeding, 27th Regional Conference of The
International Council on Social Welfare for Asia and Pacific Region, Jakarta 2-6 September 1997,
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial.

Saifuddin, Ahmad Fedyani (2005)


Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta :
Prenada Media.

Schaper, Michael (2002)


Small Firms and Environmental Management, Predictor of Green Purchasing in Western
Australian Pharmacies, International Small Business Journal, Vol. 20(3) pp. 235-251

Scott, James, C. (1981)


Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta

Seidman , Steven (1998)


Contested Knowledge, Social Theory in the Post modern Era, Second Edition, Blackwell
Publishers, Oxford

Sibeon, Roger (2004)


RethinkingSocial Theory, SAGE Publcications, London,-Thousand Oaks-New Delhi, chapter 2:
Agency-Structure and Maicro-Macro, pp. 34-59

Smelser, Neil J. and Richard Swedberg (1996),


The Sociological Perspective on the Economy dalam Chapter 1 Neil J. Smelser and Richard
Swedberg, The Handbook of Economic Sociology, Princeton University Press and copyrighted,
(c) 1996, Princeton University Press, pp.3-24
http://www.efpu.hr/fet/dokumenti/sociologija/ekonomska_sociologija/Smelser.Swedberg.pdf

Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg, David N. Pellow (1999)


Politicizing the Treadmill of Production: Reshaping Social Outcomes of ‘Efficient’ Recycling,
Revista Internacional de SociologĂa, Vol. 19-20 (January-August), pp. 181-222

194
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg, David N. Pellow (2000)
The Treadmill of Production and the Environmental State,
http://www.northwestern.edu/ipr/publications/papers/2004/schnaiberg/17_TreadmillEnvirState.pdf

Schnaiberg, Allan (2004)


Economy and the Environment, Draft on Second Edition of Handbook of Economic Sociology,
Chapter 31
Sonnenfeld, David A. (1999)
“Social Movements and Ecological Modernization: The Transformation of Pulp and Paper
Manufacturing”, Berkeley Workshop on Environmental Politics, Institute of International
Studies, University of California, Berkeley 1999

Sonnenfeld, David A. and Arthur PJ. Mol (2002)


Ecological Modernization, Governance, and Globalization, Epilogue, American Begavioral
Scientist, Vol. 45 No. 9, May 2002, pp. 1456-1461

Spaargaren, Gert (1999)


“The Ecological Modernization of Domestic Consumption”, lecture at the Workshop on
Ecological Modernization at the University of Helsinki, 10-12 September 1998, distributed for
the Consumption, Everyday Life and Sustainability Summer School 1999, Lancaster University.

Spence, Martin (2000)


Capital Agints Nature; James O’Conor’s Theory of the Second Contradiction of Capitalism,
Capital & Calss, Autum, 72, 2000:81-109

Spencer, Herbert (1959)


The Principles of Sociology from Robert Bierstedt 1959,
The Making of Society. New York: Modern Library, pp. 445-447.
http://www2.pfeiffer.edu/~lridener/DSS/Spencer/SPENCER.HTML

Srinivas, Hari (2004)


The Environmental Colours of Microfinance, Theory and Practice, The Global Development
Research Center, http://www.gdrc.org/icm/environ/environ.html

Stinchcombe, Arthur L. (1982)


Economic Sociology, Academic Press Inc; Orlando, Florida

Swedberg, Richard (2003)


Principles of Economic Sociology, Princeton University Press

Sweezy, Paul M. (2004)


Capitalism and the Environment, Monthly Review Vol. 56 No. 5, Monday, November 08 2004,
http://www.monthlyreview.org/1004pms3.htm

Tardan, M Agus M, dkk. (1997)


Audit Lingkungan, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Ditjen Dikti Depdikbud,
Jakarta

195
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Thapa, Brijesh (1999)
Environmentalism: The Relation of Environmental Attitudes and Environmentally Responsible
Behaviors Among Undegraduate Students, Bulletin of Science, Technology and Society, Vol 9,
No. 5, October 1999, pp. 426-438

Tilley, Fiona (1999),


The Gap Between The Environmental Attitudes and Environmental Behaviour of Small Firms,
Business Strategy and the Environment, July/August, 199, 8, 4, pp. 238-248.

Turner, Jonathan H. (1998)


The Structure of Sociological Theory, Sixth Edition, Wadsworth Publishing Co., Belmont, CA,
Albany, NY

Ungar, Sheldon (1994)


Apples and Oranges: Probing the Attitude-Behavior Relationship for the Environment, Canadian
Review of Sociology and Anthropology, 31 (Aug), 1994, pp. 288-304.

United Nations of Environment Programme (2006)


What is Cleaner Production?, UNEP Working Group for Cleaner Production in the Food
Industry, http://www.gpa.uq.edu.au/CleanProd/what_is_cp.htm

Veblen, TB. (1899/1967)


The Theory of The Leisure Class: An Economic Study of Institution, Funk & Wagnalls, New
York

Warhurst Alyson (1998)


Developing a Sustainable Economy: Towards a Pro-Active Research Agenda, ESRC Global
Environmental Change Programme, Environment & Sustainability Desk Study Prepared for
the ESRC April 1998

Wariyanto, Agus (2007)


Kendala Penegakan Hukum Lingkungan, SUARA MERDEKA Selasa, 05 Juni 2007

Weber, Max (1968)


Basic Terms (The Fundamental Concepts of Sociology), summary from Economy and Society.
Edited by Guenther Roth and Claus Wittich. New York: Bedminister Press, 1968, vol. 1,
pp.3-38, http://www.spc.uchicago.edu/ssr1/PRELIMS/Theory/weber.html

Widianrko, Budi (2004)


Bias Politik dalam Kasus Pencemaran,, KOMPAS, 31 Juli 2004

World Bank (2001)


Poverty Reduction in Indonesia, Constructing a New Strategy, Report No. 23028-IND, October
29, 2001, Environment and Social Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region, World
Bank Office, Jakarta

196
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Wright, Erik Olin (2004)
Interogating The Treadmill of Production, Some Question I Still Want to Know and Am Not
Afraid to Ask, Organization & Environment, Vol. 1 No. 3, September 2004, Sage Publication,
pp. 317-322

York, Richard, Eugene A. Rosa, Thomas Dietz (2003)


Footprints on the Earth: The Environmental Consequences of Modernity, American Sociological
Review, Apr. 2003, 68, 2, pp. 279-300

York, Richard (2004)


The Treadmill of (Diversifying) Production, Organization & Environment; Sep 2004; 17, 3;
ABI/INFORM Global, Sage Publication 2004, pg. 355-361.

Zinn, Jens (2004)


Sociology and Risk, Literature Review, Social Contexts and Responses to Risk – An Economic
and Social Research Council Network, Kent University,
http://www.kent.ac.uk/scarr/papers/Sociology%20Literature%20Review.pdf

PERATURAN PERUNDANGAN

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997


Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tap MPR No IX tahun 2001


Tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001


Tentang : Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 40 TAHUN 2000


Tentang : Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001


Tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 40 TAHUN 2000 Tentang


Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123, Tanggal 1 Februari 1995
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Administratif bagi Perusahaan/Industri/Kegiatan Peserta
Prokasih.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 852 Tanggal 12 Juni 1995
Tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah
Cair.

197
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 299 Tanggal 12 Februari 1996
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 Tanggal 19 April 1999
Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tanggal 11 Mei 2000
Tentang Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 Tanggal 25 Juli 2001
Tentang Keterlibatan Masyarakat.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tanggal 12 November 2001
Tentang Sumur Resapan.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tanggal 7 Februari 2001
Tentang Baku Mutu Udara Ambien.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2863 Tanggal 4 Oktober 2001
Tentang Jenis Rencana Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tanggal 5 Februari 2002
Tentang Jenis Usaha /Kegiatan Yang wajib dilengkapi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tanggal 12 Januari 2005
Tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1532 Tanggal 2 Agustus 2005
Tentang Penetapan Kepengurusan Komite Evaluasi Lingkungan Kota Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tanggal 16 Februari 2005
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 68 Tanggal 8 Juni 2005
Tentang Sumur Resapan.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tanggal 20 Juni 2005
Tentang Kawasan Dilarang Merokok

BERITA SURAT KABAR

SUARA PEMBARUAN DAILY, 23/9/04


Komintmen Penegakan Lingkuingan Masih Setengah Hati, (L-11/S-22/E-5)

MEDIA INDONESIA ONLINE, Rabu 1 Desember 2004


Lingkungan: Hukum Lingkungan Perlu Penguatan, (YD/V-2)

198
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
WARTA EKONOMI, Minggu, 19 April 2009 10:07
Hukuman Tidak Bikin Kapok Pelanggar LH,
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php/hukuman-tidak-bikin-kapok-pelanggar-lh.html

WARTA EKONOMI, Senin, 20 April 2009 08:03


Lemahnya Penanganan Kasus LH di Pengadilan,
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php/kasus-lh-ditangani-lemah-pengadilan.html

WASPADA Online, Wednesday, 16 January 2008 07:26


Dipermainkan Spekulan Karena Keenakan Impor
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9910:dipermainkan
-spekulan-karena-keenakan-impor&catid=27:tajuk-rencana&Itemid=102

199
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL

USAHA
PENCEMARAN
INDUSTRI
LINGKUNGAN:
KECIL
AIR & UDARA
TEMPE-TAHU

Keberadaan usaha industri kecil tempe tahu memang belum memberikan


sumbangan yang berarti bagi produktivitas nasional; kegiatan produksinya
cenderung menimbulkan pencemaran air dan udara. Akan tetapi industri kecil
tempe tahu memberikan manfaat ekonomi pada kalangan masyarakat kecil;
dan itu berarti ikut membantu pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran
bagi rakyat kecil. Akan tetapi pencemaran air dan udara yang ditimbulkannya
pada akhirnya membebani masyarkat kecil itu sendiri, termasuk pelaku usaha.

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


EKONOMI MASYARAKAT KAPITALISTIK 
MENURUT PARADIGMA STRUKTURAL DALAM 
SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Treadmill of  Ecological 
Production (ToP)  Modernization 
Theory versus (EM) Theory
Conflict Order
Pessimism Optimism, innovative
Environmental abuse Environment friendly

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


IDEAS
FAKTOR EKSTERNAL
Komunitas dan
Nilai‐nilai SETEMPAT
Mekanisme
Mekanisme 
Kebijakan/PerUU
Sosialisasi
Sosialisasi
Pemerintah dan
Pemda setempat
Mekanisme
Mekanisme 
Grosir, Pengecer,
Kontrol
Kontrol Sosial
Sosial
Konsumen
Saingan

KARAKTERISTIK 
PERUSAHAAN
Produk
Permodalan
Pekerja
Pasokan
Jaringan
Perusahaan Induk
KARAKTERISTIK  PRAKTIK Ramah 
PEMILIK:  Lingkungan Usaha 
Aspek Sosial Ekonomi,  Industri Kecil 
Pengetahuan. Motivasi Tempe Tahu
Usaha, Persepsi dan
Sikap

Proposisi Induk: Signifikansi hubungan antara Karakteristik Perusahaan maupun Karakteristik Pemilik Usaha terhadap


Intensitas Praktek Ramah Likngkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan, dipengaruhi oleh 
Mekanisme Sosialisasi dan Kontrol yang dilakukan oleh Komunitas Setempat
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010 termasuk Pemda Setempat, Konsumen, 
Pemasar dan Saingan setempat.
FOCUSED GROUP DISCUSSION 28 OKT. 2009
Tentang

KESIAPAN SOSIAL
MENUJU USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU
RAMAH LINGKUNGAN,

Edy Siswoyo

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK 
(STISIP) WIDURI
Jakarta 28 Oktober 2009
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
SEMANAN

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


KAWASAN KELURAHAN SEMANAN

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


IPAL

PIK KOPTI 
SEMANAN

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


PIK KOPTI 
SEMANAN

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Masalah Empirik
1. Usaha Kecil: menolong masyarakat, fungsional, punya hak hidup
Ada yang berhasil dan memperoleh pengakuan ramah
lingkungan dari pemerintah
Terutama
Pada umumnya cenderung mengabaikan ketertiban, sektor industri
estetika, kesehatan dan pelestarian lingkungan pengolahan
makanan
2. Dampak terhadap lingkungan hidup:
Secara individual dan sporadis, cenderung tidak terasa
Secara kolektif dan terkonsentrasi, perlu diperhitungkan, khususnya
dampaknya yg berupa pencemaran air
Diakui adanya produk yang membawa dampak buruk bagi konsumen,
sementara konsumen tidak punya pilihan lain
Diakui adanya rasa tidak nyaman warga setempat dan sekitar
3. Ideal kebijakan penertiban dan pembinaan:
membela kepentingan ekonomi usaha kecil
membela konsumen SME exist in a
membela pedagang Structural pressure
membela kreditor ????
meningkatkan PAD
kepentingan stakeholderIndustri
lainnya
kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
sekaligus melestarikan lingkungan.
EKONOMI MASYARAKAT KAPITALISTIK
MENURUT PARADIGMA STRUKTURAL DALAM
SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Treadmill of Ecological
Production Modernization
(ToP) Theory versus (EM) Theory
Conflict Order
Pessimism Optimism, innovative
Environmental abuse Environment friendly

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Permasalahan Sosiologis

Karakteristik Struktur Sosial


Individual (External
Praktik Ramah Factor/
(Individual
Lingkungan dlm Structure)
Factor/Agent)
Kegiatan Industri
Mikro Kecil Pengolahan Makro
Makanan Driving
Resistant
forces
force

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Permasalahan Sosiologis

Struktur
Makro Sosial
Driving (External
forces Factor/
Structure)
Praktik Ramah
Lingkungan dlm
Kegiatan Industri
Kecil Pengolahan
Makanan
Karakteristik
Mikro Individual
(Individual
Resistant
Factor/Agent)
forces

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Pertanyaan Penelitian

1) Sampai dimana industri kecil pengolahan tempe-tahu di


PIK KOPTI Semanan melaksanakan atau tidak
melaksanakan praktik ramah lingkungan?

2) Bagaimana peranan karakteristik individual masing-


masing usaha tersebut terhadap intensitas ramah
lingkungan yang dicapai ?

3) Bagaimana peranan struktur sosial setempat terhadap


intensitas ramah lingkungan kegiatan usaha kecil
tersebut?

4) Bagaimana persepsi dan aspirasi masyarakat mengenai


pengelolaan lingkungan di kawasan PIK KOPTI
Semanan?
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan praktik ramah lingkungan yang dilakukan oleh
usaha kecil produksi tahu-tempe di PIK KOPTI Semanan Jakarta,
beserta penjelasannya mengenai mengapa dalam tingkat tertentu
industri kecil pengolahan makanan tersebut mampu ramah
lingkungan, namun sebagian besar lainnya menunjukkan indikasi
tidak ramah lingkungan.

2. Mendeskripsikan peranan faktor-faktor struktural yang melatar-


belakangi praktik ramah lingkungan pada usaha kecil produksi tahu-
tempe di PIK KOPTI Semanan, Jakarta Dalam hal ini deskripsi
meliputi:

a. Aktor-aktor sosial yang ikut terlibat dalam kegiatan industri kecil


pengolahan makanan di DKI Jakarta, khususnya yang berkenaan
dengan praktik ramah lingkungan tersebut.

b. Status dan peran masing-masing aktor tersebut dalam kegiatan


industri kecil pengolahan makanan di Jakarta itu.
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tujuan Penelitian
3. Mendeskripsikan peranan faktor-faktor individual yang melatar-
belakangi praktik ramah lingkungan pada usaha kecil produksi
tempe-tahu tersebut, baik faktor karakteristik pemilik usaha maupun
karaktersitik perusahaan itu sendiri

4. Mendeskripsikan persepsi dan aspirasi masyarakat mengenai


pengelolaan lingkungan di kawasan PIK KOPTI Semanan .

5. Mendeskripsikan feasibilitas sosial setempat dalam rangka merealisasi


aspirasi masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan di kawasan
PIK KOPTI Semanan.

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Manfaat Penelitian
Manfaat akademis: Analisis dan refleksi teoretik
penelitian ini memperkaya kajian dan perspektif sosiologi
dengan tema lingkungan

Manfaat praktis: Studi dan percontohan yang akan


dibuat, diharapkan dapat menjadi satu alternative opinion
bagi proses perumusan dan revisi kebijakan model
pembinaan usaha kecil ramah lingkungan di DKI Jakarta,
melalui pendekatan sosiologis khususnya dengan
kemungkinan memanfaatkan teori Ecological
Modernization dalam Sosiologi Lingkungan.

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


IDEAS
FAKTOR EKSTERNAL
Komunitas dan
Nilai-nilai SETEMPAT
Mekanisme
Kebijakan/PerUU
Sosialisasi
Pemerintah dan
Pemda setempat
Mekanisme
Grosir, Pengecer,
Kontrol Sosial
Konsumen
Saingan

KARAKTERISTIK
PERUSAHAAN
Produk
Permodalan
Pekerja
Pasokan
Jaringan
Perusahaan Induk PRAKTIK Ramah
KARAKTERISTIK Lingkungan
PEMILIK: Industri Kecil
Aspek Sosial Ekonomi, Pengolahan
Pengetahuan. Makanan
Motivasi Usaha,
Persepsi dan Sikap

Proposisi Induk: Signifikansi hubungan antara Karakteristik Perusahaan maupun Karakteristik Pemilik Usaha terhadap
Intensitas Praktek Ramah Likngkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan, dipengaruhi oleh
Mekanisme Sosialisasi danIndustri
Kontrol yangEdy
kecil..., dilakukan oleh
Siswoyo, Komunitas
FISIP UI, 2010 Setempat termasuk Pemda Setempat, Konsumen,
Pemasar dan Saingan setempat.
METODE PENELITIAN
1. FIELD STUDY aspek fisik lingkungan dan sosial budaya
setempat:
• Wawancara Mendalam
• Studi Dokumen
• Observasi Partisipasi

2. Survai Karakteristik Usaha: “Self Environmental Audit”


• 100 sampel aksidental

3. FOCUSED GROUP DISCUSSION:


• Putaran 1: Pemandangan Umum Partisipan
• Putaran 2: Pengelompokan Aspirasi Partisipan
• Putaran 3: Kesepakatan Aspirasi Partisipan dan

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Pada umumnya warga lingkungan 
penelitian khususnya para perajin tempe‐
tahu, meskipun berada di dalam satu 
sentra pembinaan, namun secara empirik 
intensitas ramah lingkungan pada masing‐
masing unit usaha tampak bervariasi, 
mulai dari yang konsisten untuk tetap 
ramah lingkungan, ramah lingkungan 
temporer saja, dan samasekali kembali 
tidak ramah lingkungan

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Gejala yang paling umum adalah masing‐
masing melakukan produksinya dengan cara 
yang masih kurang 
bahkan tidak ramah lingkungan

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Kegiatan usaha diprioritaskan sebagai
sumber penghasilan utama,
dengan tujuan utama memperoleh
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
pokok keluarga.

Yang dipikirkan oleh para pemilik usaha adalah


memperoleh penghasilan dan tidak ada waktu
untuk memikirkan apakah kegiatan produksinya
itu ramah lingkungan atau tidak. Waktu
dihabiskan untuk membuat perencanaan dan
kegiatan produksi harian.

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Konsumen atau para pedagang 
cenderung tidak mempersoalkan 
apakah produk yang dibeli itu 
diproses dengan cara ramah 
lingkungan atau tidak

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Namun secara kolektif, para perajin 
dapat diarahkan untuk melakukan 
kegiatan produksi ramah lingkungan. 

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
PRODUKSI BERSIH
Pelatihan Pengelolaan Limbah Industri Tahu Tempe
Hotel Bumi Wiyata, Depok, 10 – 11 Nopember 2008
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TATA KELOLA APIK
• Sarana manajemen untuk pengelolaan biaya, 
pengelolaan lingkungan dan perubahan 
organisasional.
• Manfaat:
– Penghematan biaya
– Lingkungan lebih baik/pengurangan pencemaran
– Organisasi perusahaan lebih baik
• Daftar Periksa kegiatan Tata Kelola Apik

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAFTAR PERIKSA TATA KELOLA APIK – INDUSTRI TAHU TEMPE

(1)
Pemeriksaan Penggunaan air Energi
Bahan

Persiapan bahan Proses produksi : Finishing


Bahan Baku baku & bahan pemasakan, :
tambahan: pemanasan, pewadah
penimbangan penyaringan, an,
perendaman, pencetakan, pengirim
pencucian, penggorengan, an
penggilingan, pemotongan
dll.
Penanganan
&
penyimpanan
Limbah Lingkungan Kerja :
padat, keselamatan & kesehatan
limbah cair kerja

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
PABRIK TEMPE MODERN ??

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Rp

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tanggapan dari Kelompok Teknik adalah mendukung usulan
dari Pengurus PIK KOPTI mengenai perlunya segera berpindah
dari teknologi tradisional dan individual ke teknologi
modern tetapi bersama-sama dalam satu wadah
Koperasi.
Masalah-masalah teknologi yang mungkin akan dihadapi
dengan beroperasinya pabrik tempe modern ini, menurut Kelompok
Teknik dapat diduga dan dapat dicarikan solusinya dengan
mudah.
Misalnya masalah suku cadang mesin, kelompok ini siap
merakitnya. Pengoperasiannya pun mudah dan sederhana,
lebih mudah daripada mengendarai sepeda motor, sehingga tidak
perlu lisensi khusus bagi operator.
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Rp

Meskipun belum dihitung secara lebih rinci dan


mendalam, kelompok meyakini akan
keuntungan yang lebih besar apabila para perajin
bersedia mempergunakan mesin modern. Penggunaan
mesin modern, di samping akan meningkatkan
kapasitas produksi, akan menghemat bahan
bakar, tenaga dan waktu

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


setelah setelah ada pabrik bersama, fungsi
rumah produksi masing-masing akan berubah
menjadi rumah pameran atau toko yang
memamerkan atau memasarkan rupa-rupa
tempe olahan pabrik bersama.

Tenaga dan waktu yang semula dipergunakan


untuk produksi dapat dialihkan untuk
kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif lainnya
terutama yang berhubungan dengan pemasaran
rupa-rupa produkIndustri
tempe kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Kelompok mengusulkan agar lokasi pabrik bersama ini
berada di lahan kosong sekitar IPAL. Dengan demikian
limbah air bekas cucian kedelai langsung dapat
disalurkan ke IPAL tanpa melewati saluran-saluran
buangan domestik. Dengan demikian pula saluran
buangan domestik yang berasal dari unit-unit produksi rumah
tangga akan bebas dari limbah air bekas cucian kedelai. Akibat
selanjutnya adalah lingkungan akan menjadi nyaman,
bebas dari bau limbah air bekas cucial kedelai. Di
samping itu jika unit-unit produksi rumah rangga beralih fungsi
menjadi rumah pamer atau toko atau cafe, maka dipastikan
lingkungan tidak akan menjadi kumuh lagi, bahkan sebaliknya
akan menjadi artistikIndustri
dan asri
kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan
industri kecil tempe tahu di Perkampungan
Industri Kecil (PIK) KOPTI Swakerta Semanan
Jakarta Barat sama sekali tidak dapat
dikategorikan sebagai kegiatan
industri kecil ramah lingkungan
walaupun sudah ada usah ake arah itu. Pada
umumnya warga lingkungan penelitian
khususnya para perajin tempe tahu, meskipun
berada di dalam satu sentra pembinaan, namun
secara empirik intensitas ramah lingkungan
pada masing-masing unit usaha tampak
bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk
tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan
temporer saja, dan samasekali kembali tidak
ramah lingkungan.Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Namun mereka mempunyai
aspirasi ramah lingkungan,
bahkan mereka sedang berusaha keras
mencari cara baru agar kegiatan
produksi mereka dapat memenuhi
standard ramah lingkungan baik dari
segi pengelolaan limbahnya maupun
pada proses produksinya

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


komunitas setempat dapat diarahkan
dan siap dibina untuk melakukan
kegiatan produksi ramah lingkungan.
Model pembinaan yang diharapkan oleh
komunitas setempat adalah pembinaan
yang bersifat persuasif, fasilitatif
dan dengan percontohan yang
tuntas

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAMPIRAN 9

TANGGAPAN WARGA TERHADAP HASIL PENELITIAN


DAN HARAPAN UNTUK TINDAK LANJUT TAHUN 2010

Temuan sebagaimana diuraikan tersebut diatas disampaikan oleh tim peneliti dan
dibahas oleh warga setempat dalam forum FGD. Kegiatan FGD ini dilaksanakan selama
satu hari pada tanggal 28 Oktober 2009. Warga yang diundang untuk hadir pada kegiatan
FGD tersebut adalah tokoh-tokoh warga setempat yang dianggap oleh pengurus
lingkungan memahami dan mampu memberikan masukan atau solusi untuk permasalahan
industeri kecil tempe tahu khususnya dari aspek teknik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Karena itu dalam FGD tersebut, setelah pleno pemaparan hasil penelitian, peserta
dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu kelompok teknik (10 orang), kelompok
ekonomi (10 orang), kelompok sosial (10 orang) dan kelompok lingkungan (9 orang).

1.1. TANGGAPAN UMUM

Tanggapan umum ini disampaikan oleh Pengurus PIK KOPTI Swakerta


Semanan. Dalam tanggapan itu disampaikan bahwa paparan yang disampaikan oleh
tim peneliti adalah benar dalam arti sesuai sengan kenyataan empirik yang terjadi di
lapangan.
Pengurus sependapat bahwa pada umumnya warga lingkungan penelitian
khususnya para perajin tempe tahu, meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan,
namun secara empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha
tampak bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah
lingkungan temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan. Pengurus
juga mengakui bahwa gejala yang paling umum adalah bahwa mereka masing-masing
melakukan produksinya dengan cara yang masih kurang bahkan tidak ramah
lingkungan.
Karena itu tanggapan berikutnya adalah sebuah usulan atau ajakan kepada
segenap warga PIK KOPTI Semanan untuk memikirkan kemungkinan dan
merencanakan pembangunan pabrik bersama industri kecil tempe ramah lingkungan.
Pengutamaan pada usulan pembangunan pabrik tempe modern ini, dan bukan
pabrik tahu, dipertimbangkan berdasarkan mayoritas warga PIK KOPTI Semanan
adalah pengusaha industri kecil tempe.

1.2. TANGGAPAN DARI KELOMPOK TEKNIK

Tanggapan dari Kelompok Teknik adalah mendukung usulan dari Pengurus


PIK KOPTI mengenai perlunya segera berpindah dari teknologi tradisional dan
individual ke teknologi modern tetapi bersama-sama dalam satu wadah Koperasi.
Masalah-masalah teknologi yang mungkin akan dihadapi dengan beroperasinya
pabrik tempe modern ini, menurut Kelompok Teknik dapat diduga dan dapat
dicarikan solusinya dengan mudah. Misalnya masalah suku cadang mesin, kelompok
ini siap merakitnya. Pengoperasiannya pun mudah dan sederhana, lebih mudah
daripada mengendarai sepeda motor, sehingga tidak perlu lisensi khusus bagi
operator.

1.3. TANGGAPAN DARI KELOMPOK EKONOMI

Seperti pada Kelompok Teknik, Kelompok Ekonomi jug mendukung usulan


dari Pengurus PIK KOPTI Semanan. Meskipun belum dihitung secara lebih rinci dan

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


mendalam, kelompok ini meyakini akan keuntungan yang lebih besar apabila para
perajin bersedia mempergunakan mesin modern. Penggunaan mesin modern, di
samping akan meningkatkan kapasitas produksi, akan menghemat bahan bakar,
tenaga dan waktu.

1.4. TANGGAPAN DARI KELOMPOK SOSIAL

Kelompok ini mengingatkan bahwa pengelolaan dan pemilikan pabrik


dengan mesin modern adalah pada Koperasi dan keuntungannya untuk semua
anggota. Dengan demikian penghematan tenaga dan waktu sebagaimana disampaikan
oleh Kelompok Ekonomi tidak menimbulkan kerugian terutama bagi para pekerja
pada masing-masing rumah produksi. Memang akan terjadi sedikit perubahan sosial
yang akan terjadi. Selama ini masing-masing rumah tangga melakukan kegiatan
produksinya sendiri, dengan pekerjanya sendiri. Nanti setelah setelah ada pabrik
bersama, fungsi rumah produksi masing-masing tersebut akan berubah menjadi
rumah pameran atau toko yang memamerkan atau memasarkan rupa-rupa tempe
olahan pabrik bersama tersebut. Tenaga dan waktu yang semula dipergunakan untuk
produksi dapat dialihkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif lainnya terutama
yang berhubungan dengan pemasaran rupa-rupa produk tempe.

1.5. TANGGAPAN DARI KELOMPOK LINGKUNGAN

Seperti halnya kelompok-kelompok yang lain, Kelompok Lingkungan juga


memberikan tanggapan positif terhadap ajakan Pengurus PIK KOPTI Semanan untuk
segera membangun pabrik bersama pengolahan tempe dengan mesin modern.
Kelompok ini mengusulkan agar lokasi pabrik bersama ini berada di lahan kosong
sekitar IPAL. Dengan demikian limbah air bekas cucial kedelai langsung dapat
disalurkan ke IPAL tanpa melewati saluran-saluran buangan domestik. Dengan
demikian pula saluran buangan domestik yang berasal dari unit-unit produksi rumah
tangga akan bebas dari limbah air bekas cucian kedelai. Akibat selanjutnya adalah
lingkungan akan menjadi nyaman, bebas dari bau limbah air bekas cucial kedelai. Di
samping itu jika unit-unit produksi rumah rangga beralih fungsi menjadi rumah
pamer atau toko atau cafe, maka dipastikan lingkungan tidak akan menjadi kumuh
lagi, bahkan sebaliknya akan menjadi artistik dan asri.

1.6. HARAPAN dan KESEPAKATAN UNTUK TINDAK LANJUT TAHUN 2010

Persoalan penting yang dihadapi adalah kondisi KOPTI Swakerta Semanan


yang sekarang ini tidak lagi bergungsi sebagai koperasi. Akibatnya kebersamaan
dalam permodalan dan manajemen yang diperlukan untuk pembangunan pabrik
bersama tersebut akan menghadapi kesulitan serius. Oleh karena itu rencana jangka
pendek yang harus dilakukan mulai tahun 2010 adalah konsolidasi fungsi KOPTI
Swakerta Semanan supaya benar-benar sesuai dengan apa yang disebut koperasi.
Jika konsolidasi berhasil dilakukan, pengurus PIK KOPTI Swakerta tidak
akan serta-merta atau langsung melakukan pembagunan pabrik bersama pengolahan
tempe dengan mesin modern secara besar-besaran. Yang penting untuk dilaksanakan
adalah melakukan uji coba dan percontohan lebih dahulu dengan satu unit mesin
modern pengolah tempe.
Untuk itu Pengurus PIK KOPTI Swakerta beserta semua peserta yang hadir
dalam FGD berhadap kiranya Tim Peneliti dapat membantu realisasi rencana
kosolidasi dan pembangunan percontohan pabrik bersama tersebut di tahun 2010.

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


LAMPIRAN 8

FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD)


TEMA: MENINGKATKAN INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN
INDUSTSRI KECIL TAHU-TEMPE DI PIK KOPTI SEMANAN, JAKARTA BARAT
SUB TEMA: KEBERSAMAAN MENUJU PABRIK TEMPE MODERN
28 Oktober 2009

KELOMPOK TEKNIK

NO. KEMUNGKINAN MANFAAT & MASALAH SOLUSI

1. Apakah kelompok sudah memiliki gambaran jelas


mengenai mesin yang akan dipergunakan untuk pabrik
bersama:

Sangat jelas Cukup jelas Masih samar-samar

2. Apakah mesin tersebut cukup mudah bagi setiap orang


untuk mengoperasikannya?

Sangat mudah
Tidak begitu sulit, tapi perlu pelatihan khusus
Sangat tidak mudah, perlu tenaga ahli khusus

3. Apakah perawatan mesin tersebut cukup mudah?

Sangat mudah
Tidak begitu sulit, tapi perlu pelatihan khusus
Sangat tidak mudah, perlu tenaga ahli khusus

219

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


4 Apakah suku cadang mesin tersebut mudah di dapat

Sangat mudah di dapat di hampir semua toko onderdil


Sulit didapat, perlu bengkel khusus
Sangat tidak mudah, perlu tenaga ahli khusus

5 Bagaimana tingkat kemanan mesin tersebut, tetutama bagi


oprator?

Sangat aman
Agak membahayakan keselamatan kerja
Sangat membahayakankeselamatan kerja

6. Masalah teknis lainnya:

220

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD)
TEMA: MENINGKATKAN INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN
INDUSTSRI KECIL TAHU-TEMPE DI PIK KOPTI SEMANAN, JAKARTA BARAT
SUB TEMA: KEBERSAMAAN MENUJU PABRIK TEMPE MODERN
28 Oktober 2009
KELOMPOK EKONOMI

NO. KEMUNGKINAN MANFAAT & MASALAH SOLUSI

1. Apakah kelompok sudah memiliki perhitungan yang jelas


mengenai perhitungan keuntungan atas penggunaan mesin
untujk pabrik bersama ini jika dibandingkan usaha sendiri-
senfiri dan tanpa menggunakan mesin?

Perhitungan keuntungan sangat jelas


Perhitingan keuntungan masih belum begitu jelas
Perhitungan keuntungan sangat tidak jelas

2. Apakah dengan menggunakan mesin modern, jumlah


tenaga dapat dikurangi?

Ya Tidak

3. Apakah dengan menggunakan mesin modern, upah untuk


tenaga kerja dapat dikurangi?

Ya Tidak

221

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


4 Apakah dengan menggunakan mesin modern, biaya bahan
bakar dapat dikurangi?

Ya Tidak

5 Apakah dengan menggunakan mesin modern, waktu atau


jam kerja dapat dikurangi?

Ya Tidak

6. Apakah dengan menggunakan mesin modern, volume


produksi dapat ditambah?

Ya Tidak

7. Apakah dengan menggunakan mesin modern, harga


produk menjadi lebih murah?

Ya Tidak

8. Apakah dengan menggunakan mesin modern, laba dapat


bertambah?

Ya Tidak

222

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD)
TEMA: MENINGKATKAN INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN
INDUSTSRI KECIL TAHU-TEMPE DI PIK KOPTI SEMANAN, JAKARTA BARAT
SUB TEMA: KEBERSAMAAN MENUJU PABRIK TEMPE MODERN
28 Oktober 2009
KELOMPOK SOSIAL

NO. KEMUNGKINAN MANFAAT & MASALAH SOLUSI

1. Jika dengan menggunakan mesin modern dan jumlah


tenaga harus dikurangi, apakah keberadaan tenaga-tenaga
yang tersisa tidak akan menimbulkan masalah?

Ya Tidak

2. Jika dengan menggunakan mesin modern dan upah tenaga


kerja harus dikurangi karena sebagian pekerjaannya
digantikan oleh mesin, apakah hal ini tidak akan
menimbulkan masalah?

Ya Tidak

3. Jika dengan menggunakan mesin modern dan jumlah jam


kerja para pekerja dapat dikurangi, jam kerja yang tidak
yang tidak terpakai dapat dipergunakan untuk kegiatan-
kegiatan kreatif?

Ya Tidak

223

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


4 Jika dengan menggunakan mesin modern dan volume
produksi meningkat, apakah sudah dipikirkan
kemungkinan over produksi dan pengendalian yang
diperlukan?

Sudah Belum

5 Jika dengan menggunakan mesin modern dan beberapa


pengeluaran dapat dihemat serta laba meningkat, apakah
sudah dipikirkan apa dan bagaimana memanfaatkan
peningkatan laba tersebut?

Sudah Belum

6. Jika dengan menggunakan mesin modern dan volume


produksi meningkat dan ongkos dapat ditekan, lalu harga
produk menjadi rendah atau jatuh, apakah sudah
dipikirkan bagaimana mengatasinya?

Sudah Belum

7. Apakah kebersamaan hanya terbatas pada pemilikan


pabrik dengan mesin modern namun pemasarannya
sendiri-sendiri, ataukan diperlukan pemasaran bersama?

Sudah Belum

224

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


8. Apakah masih ada masalah-masalah sosial lain yang
mungkin timbul akibat pengoperasian pabrik modern
bersama?

Tidak ada Ada, yaitu

225

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


FOCUSED GROUP DISCUSSION (FGD)
TEMA: MENINGKATKAN INTENSITAS PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN
INDUSTSRI KECIL TAHU-TEMPE DI PIK KOPTI SEMANAN, JAKARTA BARAT
SUB TEMA: KEBERSAMAAN MENUJU PABRIK TEMPE MODERN
28 Oktober 2009
KELOMPOK LINGKUNGAN

NO. KEMUNGKINAN MANFAAT & MASALAH SOLUSI

1. Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah polusi di


rumah-rumah akan berkurang?

Ya Tidak

2. Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kebutuhan


bahan bakar untuk rumah tangga akan berkurang?

Ya Tidak

3. Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kebutuhan


listrik untuk rumah tangga akan berkurang?

Ya Tidak

226

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


4 Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kondisi
interior rumah warga akan menjadi lebih rapi dan nyaman?

Ya Tidak

5 Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kondisi


eksterior rumah warga akan menjadi lebih rapi dan
nyaman?

Ya Tidak

6. Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kondisi


linkungan PIK KOPTI akan menjadi lebih asri dan
nyaman?

Ya Tidak

7. Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kondisi air


tanah di linkungan PIK KOPTI akan menjadi lebih baik?

Ya Tidak

Dengan pengoperasian pabrik bersama, apakah kondisi


kesehatan warga PIK KOPTI akan menjadi lebih baik?

Ya Tidak

227

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


228

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


LAMPIRAN 6

DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN


PRAKTIK RAMAH LINGKUNGAN
USAHA INDUSTRI KECIL

Nomor Sampel :

Nama Usaha : ….........…………………………………… .........


Alamat Usaha : ……………………….……………………..........
………..…………………………………….........
…………………………………………...........…
RT…… /RW………

Kelurahan …...........................…………………

Kecamatan ……..........…………………………

Kota/Kab. …………………..........……………..
Propinsi …………………………..........………

Nama Pemilik : ………….…………….………………….


No. Telepon : ………….…………….………………….

Tanggal survai : ………………………………………….

PENELITIAN DALAM RANGKA STUDI EDY SISWOYO


PROGRAM DOKTOR SOSIOLOGI
DEPARTEMEN SOSIOLOGI FISIP-UNIVERSITAS INDONESIA
2006

Universitas Indonesia 1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
I. INFORMASI DASAR KODE

1. Produk Utama:
Keterangan …………………………………………………………
……………………………………………………………………
2. Tahun mulai kegiatan usaha :
3. Bentuk Badan Hukum : 1… Tidak berbadan hukum 2… CV 3… PT
4. Jika sampai sekarang tidak berbadan hukum:
4.1. NPWP : 1… Ada 2… Tidak ada
4.2. SIUI : 1… Ada 2… Tidak ada
4.3. STDP : 1… Ada 2… Tidak ada
5. Status Usaha dalam Afiliasi dan Pembinaan: 1… Usaha Mandiri
2… Binaan usaha yang lebih besar
3… Binaan LSM, termasuk Perguruan Tinggi
4… Binaan Pemda Setempat
Keterangan …………………………………………………………
………………………………………………………………………
6. Keanggotaan Usaha dalam Asosiasi/Koperasi Usaha Sejenis:
1… Menjadi anggota 2… Tidak menjadi anggota
Keterangan …………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
7. Rata-rata hari kerja perminggu: 1… < 5 hari 2… 5 hari 3… 6 hari 4… 7 hari
Keterangan …………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
8. Rata-rata jam kerja perhari :1… <8 jam 2… 8 jam 3… 9-12 jam 4… >12 jam
Keterangan …………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
9. Lain-lain ………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….

Universitas Indonesia 2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
II. BAHAN BAKU dan ENERGI KODE

1. Bahan Baku Dasar:


2. Cara memperoleh bahan baku utama
1… Diproduksi sendiri 5… Dari perusahaan induk
2… Dari sumbernya langsung 6… Dari Koperasi
3… Dari pedagang/penyalur perorangan 7… Dari Pemerintah
4… Dari sesama usaha sejenis 8… Lainnya ……………..
Keterangan:
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….

2. Bahan Baku untuk Proses (Bahan untuk campuran, pewarna, pengawet dll):
Nama Bahan Kegunaan Diperoleh dari
…………………………… …………..……….. …………………
…………………………… ……………..…….. …………………
…………………………… ………………..….. …………………
…………………………… ……………………. …………………
…………………………… …………..……….. …………………
…………………………… ……………..…….. …………………

3. Rata-rata volume bahan baku dan energi yang diperlukan dalam produksi per bulan:
Bahan Baku / Energi Unit Rupiah
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
A i r……….……………… ……………….. …………………
L i s t r i k………………… ……………….. …………………
G a s……………………… ……………….. …………………
Bensin ....………………… ……………….. …………………
Minyak Pelumas.………… ……………….. …………………
S o l a r…………………… ……………….. …………………
Minyak Tanah…………… ……………….. …………………
Kayu/Arang....…………… ……………….. …………………
3. Hambatan dalam memperoleh bahan baku dasar
1… Langka 4… Jauh
2… Mahal 5… Prosedur rumit
3… Persaingan 6… Lainnya ……………………..
Keterangan:
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….

3. Hambatan dalam memperoleh bahan baku untuk proses


1… Langka 4… Jauh
2… Mahal 5… Prosedur rumit
3… Persaingan 6… Lainnya ……………………..
Keterangan:
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….

Universitas Indonesia 3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE

1. Pertimbangan pemilihan lokasi usaha:


1… Ekonomi semata-mata 2… Ekonomi dan kelestarian lingkungan
3… Ekonomi dan estetika lingkungan
4… Ekonomi, estetika kelestarian lingkungan
5… Lainnya ……………..
2. Kesehatan ruang usaha:
2.1. Fentilasi dan sirkulasi udara 1… Cukup 2… Kurang
2.2. Suhu dan kelembaban ruangan 1… Cukup 2… Kurang
2.3. Penerangan ruang usaha 1… Cukup 2… Kurang
3. Keamanan ruang usaha
3.3. Fasilitas pemadam kebakaran 1… Ada pada setiap unit/bagian
2… Tidak pada setiap init/bagian
3… Tidak ada samasekali
3.4. Fasilitas pintu bahaya 1… Ada pada setiap unit/bagian
2… Tidak pada setiap init/bagian
3… Tidak ada samasekali
3.5. Fasilitas tangga darurat 1… Ada pada setiap unit/bagian
2… Tidak pada setiap init/bagian
3… Tidak ada samasekali
4. Penggunaan perlengkapan keamanan diri pada saat bekerja:
4.1. Baju khusus untuk kerja 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
4.2. Masker pelindung pernafasan 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
4.3. Masker pelindung muka/mata 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
4.4. Sarung tangan khusus 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
4.5. Tutup kepala khusus 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
4.6. Sepatu khusus 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
4.7. Sabuk pengaman 1… Selalu 2… Kadang-kadang 3… Tidak Pernah
5. Pengamanan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3):
5.1. Apakah usaha ini mempergunakan bahan B3 1… Ya 2… Tidak
Jika Ya, sebutkan
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
5.2. Apakah usaha ini melakukan pengamanan terhadap bahan B3 1… Ya 2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
5.3. Apakah terhadap perusahaan ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap toleransi
penggunaan B3?
1… Ya, yaitu oleh ……………………………………………………………………
dengan hasil………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
2… Tidak, dengan alasan
………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………….

Universitas Indonesia 4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE

6. Pengelolaan limbah yang mencemari udara:


6.1. Apakah usaha ini menghasilkan limbah debu/abu ? 1… Ya 2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
6.2. Apakah usaha ini menghasilkan limbah asap? 1… Ya 2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
6.3. Apakah usaha ini menghasilkan limbah uap/gas? 1… Ya 2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
6.4. Apakah usaha ini menghasilkan limbah bau? 1… Ya 2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
6.5. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap limbah
emisi udara?
1… Ya, yaitu oleh ……………………………………………………………………
dengan hasil………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
2… Tidak, dengan alasan
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
7. Pengelolaan air limbah.
7.1. Apakah usaha ini menghasilkan air limbah?
1… Ya, yaitu
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
7.2. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap air limbah?
1… Ya, yaitu oleh ……………………………………………………………………
dengan hasil…………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………
2… Tidak, dengan alasan
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..

Universitas Indonesia 5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE

8. Pengelolaan minyak/olie limbah.


8.1. Apakah usaha ini menghasilkan minyak/olie limbah?
1… Ya, yaitu …….…..…………………………………………………………………
………………………………….……………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..

8.2. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap minyak/olie
limbah?

1… Ya, yaitu oleh .…………………………………………………………………..


Dengan hasil …………..…………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
2… Tidak, dengan alasan
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
9. Pengelolaan limbah padat.
9.1. Apakah usaha ini menghasilkan limbah padat?
1… Ya, yaitu
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
9.2. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap
limbah padat?

1… Ya, yaitu oleh …………………………………………………………………..


Dengan hasil …..…………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
2… Tidak, dengan alasan
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
10. Pengelolaan kebisingan.
10.1. Apakah usaha ini menghasilkan suara bising?
1… Ya, yaitu
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
2… Tidak
Jika Ya, bagaimana menanganinya?
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..

Universitas Indonesia 6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE

10.2. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap
kebisingan suara?

1… Ya, yaitu oleh …………………………………………………………………..


Dengan hasil …………………………………………………
……………………………………………………………………………………
2… Tidak, dengan alasan
………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………..
11. Partisipasi dalam Pengelolaan Kebersihan lingkungan.
Apakah usaha ini ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kebersihan lingkungan?
1… Ya, yaitu dalam bentuk iuran rutin
2… Ya, yaitu dalam bentuk kerja bakti
3… Ya, yaitu dalam bentuk iuran rutin dan kerja bakti
4… Ya, yaitu ikut dalam kepengurusan kebersihan lingkungan
5… Ya, yaitu ikut dalam rapat-rapat kebersihan lingkungan
6… Ya, yaitu ikut dalam kegiatan lainnya …………………………………………
…………………………………………………………………………………..
7… Tidak, dengan alasan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………………..
12. Informasi pada kemasan: bahan, produk, aturan penggunaan, tahun produksi dan
peringatan
1… Lengkap 2… Tidak lengkap 3… Tidak ada
13. Protes masyarakat sekitar.
13.1. Apakah kegiatan usaha ini pernah mendapat teguran dari masyarakat sekitar
karena produk komoditi yang dihasilkan membahayakan kesehatan dan keamanan
konsumen?
1… Pernah 2… Tidak pernah
13.2. Jika Ya, bagaimana mengatasinya? ………………………………………………..
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
13.3. Apakah kegiatan usaha ini pernah mendapat teguran dari masyarakat sekitar karena
limbah yang dihasilkan?
1… Ya, karena limbah debu 5… Ya, karena dianggap mencemari sumber air
2… Ya, karena limbah bau 6… Ya, karena dianggap mencemari tanah
3… Ya, karena limbah asap/uap 7… Ya, karena dianggap mengganggu hewan
dan tanaman sekitar
4… Ya, karena bising 8… Ya, karena lainnnya……………………
………………………………
9… Tidak pernah
13.4. Jika Ya, bagaimana mengatasinya? ………………………………………………..
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
13. Apakah bapak/ibu pernah memberikan masukan dalam pembuatan kesepakatan
mengenai usaha kecil yang ramah lingkungan?
1… Ya, yaitu dalam forum …………………………………………….…………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
2… Belum pernah

Universitas Indonesia 7
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IV. PERMODALAN KODE
1. Sumber kepemilikan modal:
1… Seluruhnya milik sendiri Rp………………..
2… Sebagian dari pihak lain Rp………………..
3… Seluruhnya dari pihak lain Rp………………..
4… Lainnya ………………… Rp………………..
2. Sumber permodalan jika berasal dari pihak lain:
1… Pinjaman Bank 4… Modal Ventura
2… Pinjaman Koperasi 5… Pinjaman Perorangan
3… Pinjaman LKNB 6… Pinjaman Keluarga
6… Pemilik Modal lainnya ………………………………………
3. Jika sumber permodalan berasal dari pihak lain, apakah memerlukan
a Jaminan/Agunan
1… Semuanya Ya 2…Ada yang Ya , ada yang Tidak 2… Semuanya Tidak
Keterangan: yang Ya, yaitu yang dari ................................................................................

b. Persyaratan AMDAL/Audit Ramah Lingkungan


1… Semuanya Ya 2…Ada yang Ya , ada yang Tidak 2… Semuanya Tidak
Keterangan: yang Ya, yaitu yang dari ................................................................................

4 Jika sumber permodalan berasal dari Bank, sebutkan nama Bank tersebut:
1… Bank BRI 4… Bank Pasar
2… Bank BNI 5… Lainnya …………………….
3… Bank BPR ………………………………
5. Jika sumber permodalan tidak meminjam dari Bank, alasannya adalah
1… Tidak tahu prosedur 4… Suku bunga tinggi
2… Prosedur sulit 5… Tidak berminat
3… Tidak ada agunan 6… Proposal ditolak
Keterangan: …………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………
6. Apakah usaha ini pernah menerima bantuan kredit?
1… Ya 2… Tidak
7. Jika Ya, bantuan tersebut berasal dari:
1… JPS 2… Lainnya …………………….. 1… Tidak Tahu
8. Jika no. 6 Ya, bantuan tersebut disalurkan melalui:
1… Intansi Pemerintah 2… LKMD 3… LSM 4… Lainnya ………….
9. Jika no. 6 Ya, bantuan tersebut berupa:
1… Modal/uang Rp ….…………. 3… Mesin/peralatan = Rp. …………
2… Bahan baku = Rp ….…………. 4… Lainnya ….……………………..
10. Jika usaha ini tidak memperoleh bantuan (no. 6 Tidak), alasan utamanya adalah:
1… Tidak tahu prosedur 3… Tidak berminat 4… Lainnya ……………..
2… Proposal ditolak 4… Tidak tahu ………………………
11. Jika sumber permodalan tidak meminjam dari Koperasi, alasannya adalah
1… Tidak tahu prosedur 4… Suku bunga tinggi
2… Prosedur sulit 5… Tidak berminat
3… Tidak ada agunan 6… Proposal ditolak

Universitas Indonesia 8
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IV. PERMODALAN KODE
12. Kesulitan utama dalam hal permodalan ini adalah:
1… Tidak tahu prosedur 4… Suku bunga tinggi
2… Prosedur sulit 5… Tidak berminat
3… Tidak ada agunan 6… Proposal ditolak
Keterangan ……………………………………………………….
…. …………………………………………………………………
13. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/meminjam modal:
Rp ……………………
Keterangan ……………………………………………………….
…. …………………………………………………………………

V. ASET KODE

1. Luas lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pengolahan/produksi: ……. M2


2. Status Pemilikan Lahan untuk kegiatan produksi/pengolahan:
1… Milik Sendiri 3… Milik sudara/orang tua 5… Milik pihak lain .....................
2… Milik Bersama 4… Milik Pemerintah ................................................

3. Status Penempatan jika lahan bukan milik sendiri:


1… Menempati begitu saja 3… Sewa/Kontrak
2… Dengan ijin resmi dari ……………… 4… Lainnya ………………….

4. Luas Lantai Bangunan yang dipergunakan untuk kegiatan produksi: ……. M2


5. Status Pemilikan Bangunan: 1… Milik Sendiri 4… Milik Pemerintah
2… Milik Bersama 5… Milik .....................................
3… Milik sudara/orang tua ...............................................
6. Status Penempatan jika bangunan bukan milik sendiri:
1… Menempati begitu saja 3… Sewa/Kontrak
2… Dengan ijin resmi daari ……………… 4… Lainnya ………………….

7. Lokasi Lahan/Bangunan untuk kegiatan produksi/pengolahan:


1… Menyatu dengan rumah tinggal 2…Terpisah dengan rumah tinggal

Keterangan ..............................................................................................................................
................................................................................................................................................
8. Jenis Bangunan untuk kegiatan produksi/pengolahan:
1… Permanen 2… Partisi 3… Bedeng/Sementara 4… Tenda 5… Tanpa bangunan

9. Apakah kegiatan pemasaran dilakukan di tempat terpisah dari kegiatan


produksi?
1… Ya 2… Tidak
10. Jika No. 9 Ya, luas lahan yang dipergunakan untuk kegiatan pemasaran: ……. M2
11. Status Pemilikan lahan untuk kegiatan pemasaran:
1… Milik Sendiri 4… Milik Pemerintah
2… Milik Bersama 5… Milik …………………………….
3… Milik sudara/orang tua ……………………………………

Universitas Indonesia 9
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
V. ASET KODE

12. Status Penempatan lahan utk kegiatan pemasaran jika bukan milik sendiri:
1… Menempati begitu saja 3… Sewa/Kontrak
2… Dengan ijin resmi dari ……………… 4… Lainnya ………………….

13. Lokasi bangunan untuk kegiatan pemasaran jika tidak menyatu dengan rumah tinggal
atau rumah produksi:
1… Di dalam Mall 5… Di lahan Pertokoan
2… Di dalam Pasar 6… Di Pusat Sosial Lain
3… Di halaman Mall 7… Di Rumah
4… Di halaman Pasar 8… Tidak menetap
14. Jenis Bangunan untuk kegiatan pemasaran:
1… Permanen 2… Partisi 3… Bedeng/Sementara 4… Tenda 5… Tanpa bangunan

15. Peralatan Produksi yang dipergunakan:


15.1 Peralatan Modern/bermesin/listrik/digital:
(sebutkan nama, bahan bakarnya gas/bensin/solar/minyak tanah/listrik/kayu, jumlah
dan statusnya milik/sewa/pinjam, beserta potensi risiko keamanan bagi lingkungan)
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
15.2. Peralatan Manual dan Tradisional:
(sebutkan nama, bahan bakarnya gas/bensin/solar/minyak tanah/listrik/kayu, jumlah
dan statusnya milik/sewa/pinjam, beserta potensi risiko keamanan bagi lingkungan)
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
…………………………… g/b/mt/s/l/k, m/s/p ……………………..……….
16. Peralatan Distribusi (Angkutan):
baik yang bermotor maupun yang tidak, termasuk sepeda, sado, dan gerobak:
(sebutkan nama, jumlah dan statusnya milik, sewa atau pinjam,
beserta potensi risiko keamanan bagi lingkungan)
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….
……………………………………………… m/s/p ……………………..……….

17. Besarnya ongkos/biaya rata-rata per tahun yang dikeluarkan untuk


pemeliharaan dan sewa asset, termasuk pajak-pajak: Rp. …………………..
……………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………..

Universitas Indonesia 10
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
VI. KONDISI SDM KODE

1. Persyaratan pendidikan ketrampilan untuk menjalankan usaha ini:


1… Tidak perlu kursus/sekolah khusus/kejuruan
2… Perlu kursus saja
3… Perlu sekolah khusus/kejuruan
2. Jumlah pekerja yang tidak dibayar
Anak, Laki-laki : ….…..… Perempuan: ………
Dewasa, Laki-laki: ……..… Perempuan: ………
3. Jumlah pekerja yang dibayar
Anak, Laki-laki : ….…..… Perempuan: ………
Dewasa, Laki-laki: ……..… Perempuan: ………
4. Dalam menjalankan usaha ini apakah ada tenaga suka rela yang membantu?
1… Ya, Sering 3… Ya, Pernah
2… Ya, Kadang 4… Tidak Pernah
5. Jika no. 4 Ya, bagaimanakah status hubungan ybs tehadap bapak/ibu?
1… Sebagai anggota keluarga
2… Sebagai saudara
3… Sebagai tetangga
4… Petugas setempat
5… Lainnya: ………………………………….
6. Kesulitan dalam memperoleh tenaga kerja:
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
7. Besarnya nilai balas jasa yang diberikan kepada tenaga kerja:
1… Upah Rp. ……………………/bl/th
2… Pengobatan Rp. ……………………/bl/th
3… THR Rp. ……………………/bl/th
4… Hadiah/Bonus Rp. ……………………/bl/th
5… Pelatihan/kursus Rp. ……………………/bl/th

VII. JARINGAN KERJASAMA DAN PEMASARAN KODE


1. Banyaknya usaha yang sama di sekitar usaha ini:
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
2. Cara yang ditempuh untuk promosi produk
1… Berceritera langsung 5… Membagikan contoh
2… Berceritera lewat telepon 6… Mengadakan demo
3… Mengedarkan selebaran 7 … Menjadi sponsor acara lingkungan
4… Menunjukkan contoh 8… Lainnya ……………….
Keterangan ………………………………………………………………….
3. Jalur Pemasaran
1… Langsung kepada konsumen 4… Melalui koperasi
2… Melalui pedagang perantara 5… Melalui induk usaha
3… Melalui agen 6… Lainnya ……………….
Keterangan ………………………………………………………………….

Universitas Indonesia 11
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
VII. JARINGAN KERJASAMA DAN PEMASARAN KODE

4. Volume Pemasaran (omzet dan nilai Rupiah)


Produk Unit Rupiah
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
5. Layanan Pelanggan
1… Antar barang 4… Servis purna jual
2… Garansi 5… Boleh bon dulu
3… Manual 6… Lainnya ……………….
Keterangan ………………………………………………………………….
6. Rata-rata biaya pemasaran per bulan
1… Transportasi Rp ………….. 4… Konsumsi Rp …………..
2… Retribusi Rp ………….. 5… Sewa tempat Rp …………..
3… Upah Kuli Rp ………….. 6… Lainnya ……………….
Keterangan ………………………………………………………………….
7. Kesulitan dalam pemasaran
1… Persaingan keras 4… Pembayaran tidak lancar
2… Minat pembeli rendah 5… Cuaca buruk
3… Tempat tidak aman 6… Lainnya ……………….
Keterangan …………………………………………………………….

VIII PENGELOLAAN USAHA KODE

1. Status usaha sebagai sumber penghasilan :


1… Sumber penghasilan utama
2… Sumber penghasilan sekunder
Keterangan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………
2. Tujuan dan motivasi utama kegiatan usaha:
1… Sekedar mengisi waktu, iseng
2… Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga
3… Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga dan untuk tabungan
masa depan
4… Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga, tabungan masa depan
dan untuk pengembangan usaha selanjutnya.
5… Untuk memenuhi kebutuhan sementara/sebagai sambilan dan
tabungan masa depan dan untuk pengembangan usaha selanjutnya
Keterangan ………………………………………………………
……………………………………………………………………
3. Penanggungjawab seluruh kegiatan Usaha:
1… Suami 2… Isteri 3… Suami dan Isteri
Keterangan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………

Universitas Indonesia 12
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
VIII PENGELOLAAN USAHA KODE

4. Perencanaan
4.1. Apakah dalam kegiatan usaha ini bapak/ibu menyusun rencana rutin?
1… Ya, Rencana Harian 4… Ya, Rencana Tahunan
2… Ya, Rencana Mingguan 5… Ya, Rencana 5 Tahunan
3… Ya, Rencana Bulanan 4… Tidak membuat rencana
4.2. Jika no. 4.1. Ya, siapakah yang membuat perencanaan itu?
1… Suami 2… Isteri 3… Suami dan Isteri 4… Profesional
Keterangan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4.3. Jika no. 4.1. Tidak, apakah alasannya?
1… Sulit 2… Tidak perlu 3… …………..
Keterangan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………
5. Pengorganisasian:
5.1. Dalam menjalankan usaha ini, apakah bapak/ibu melakukan
pembagian tugas yang jelas, terutama untuk tenaga kerja?
1… Ya 2… Tidak
5.2. Jika no. 5.1. Tidak, apakah alasannya?
1… Sulit 2… Tidak perlu 3… ………….
6. Pembukuan:
6.1. Dalam menjalankan usaha ini, apakah bapak/ibu melakukan pembukuan?
1… Ya 2… Tidak
6.2. Jika no. 5.1. Tidak, apakah alasannya?
1… Sulit 2… Tidak perlu 3… ………….
7. Penggunaan Penghasilan sampai saat:
1… Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga
2… Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga dan untuk tabungan
masa depan
3… Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga, tabungan masa depan
dan untuk pengembangan usaha selanjutnya.
4… Untuk memenuhi kebutuhan sementara/sebagai sambilan dan
tabungan masa depan dan untuk pengembangan usaha selanjutnya.
8. Kesulitan yang dihadapi dalam pengelolaan usaha, selain yang sudah di-
sebutkan:
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………

Universitas Indonesia 13
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IX. PENYULUHAN DAN PEMBINAAN RAMAH LINGKUNGAN KODE
1. Dari manakah bapak/ibu memperoleh pengetahuan mengenai teknik produksi?
1… Dari teman 2… Dari petugas 3… Dari buku
4… Dari Media Massa 5… Coba-coba 6… Lainnya ……………..
2. Apakah bapak/ibu pernah menerima Penyuluhan dan Pembinaan Teknik Produksi Ramah
Lingkungan?
1… Ya, yaitu dari …………………. Sebanyak …………………
2… Belum pernah
3. Dari manakah bapak/ibu memperoleh pengetahuan mengenai Kredit Permodalan?
1… Dari teman 2… Dari petugas 3… Dari buku
4… Dari Media Massa 5… Coba-coba 6… Lainnya ……………..
4. Apakah bapak/ibu pernah menerima Penyuluhan dan Pembinaan Kredit Permodalan Ramah
Lingkungan?
1… Ya, yaitu dari …………………. Sebanyak …………………
2… Belum pernah
5. Dari manakah bapak/ibu memperoleh pengetahuan mengenai bahan baku?
1… Dari teman 2… Dari petugas 3… Dari buku
4… Dari Media Massa 5… Coba-coba 6… Lainnya ……………..
6. Apakah bapak/ibu pernah memperoleh penyuluhan tentang bahan baku Ramah Lingkungan?
1… Ya, yaitu dari …………………. Sebanyak …………………
2… Belum pernah
7. Penyuluhan-penyuluhan dan pembinaan-pembinaan lainnya tentang Produksi Ramah
Lingkungan yang pernah diikuti :
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

X. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMILIK UTAMA KODE

1. Suami :
1.1. Umur: ……………………………………………………………...
1.2. Pendidikan terakhir: ……………………………………………….
1.3. Pekerjaan selain usaha ini : …………………………………………
1.4. Pemilikan Rekening Perbankan:
1… Tabungan …………….. 3… ATM 5… Lainnya ……..
2… Giro 4… Kartu Kredit ……………….
Keterangan/nama Bank ……………………………….………………..
1.5. Keanggotaan dalam Koperasi: 1… Ya 2… Tidak
Keterangan/nama Koperasi ……………………………….…………
1.6. NPWP : 1… Ada 2… Tidak ada
1.7. Jabatan di lingkungan : 1… Warga biasa 3… Pamong
2… Aktivis 4… Tokoh
Keterangan ………………………………………………………….
1.8. Asal Daerah: ………………………………………………………..

Universitas Indonesia 14
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
X. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMILIK UTAMA KODE
2. Isteri :
2.1. Umur: ……………………………………………………………...
2.2. Pendidikan terakhir: ……………………………………………….
2.3. Pekerjaan selain usaha ini: ………………………………………….
2.4. Pemilikan Rekening Perbankan:
1… Tabungan …………….. 3… ATM 5… Lainnya ……..
2… Giro 4… Kartu Kredit ……………….
Keterangan/nama Bank ………………………………………………..
2.5. Keanggotaan dalam Koperasi: 1… Ya 2… Tidak
Keterangan/nama Koperasi ……………………………….…………
2.6. NPWP : 1… Ada 2… Tidak ada
2.7. Jabatan di lingkungan : 1… Warga biasa 3… Pamong
2… Aktivis 4… Tokoh
Keterangan ………………………………………………………….
2.8. Asal Daerah: ………………………………………………………..
3. Jumlah Anak dan Tanggungan:
3.1. Jumlah anak yang masih menjadi tanggungan: ……………………..
3.2. Jumlah tanggungan selain anak: …………………………………….
3.3. Jumlah anak yang tidak menjadi tanggungan: ………………………
4. Tempat Tinggal:
4.1. Status: 1… Milik Sendiri 3… Milik Saudara/Ortu
2… Milik Dinas 4… Kontrak/Sewa
Keterangan …………………………………………………………..
………………………………………………………………………..
4.2. Lokasi tempat tinggal: 1… Perkampungan Non PKT
2… Perkampungan PKT
3… Kompleks
Keterangan ………………………………………………………….
………………………………………………………………………
4.3. Atap Utama Bangunan Tempat Tinggal: 1… Beton 3… Sirap 5… Asbes 7… Daun
2… Genteng 4… Seng 6… Ijuk 8… Lain2
4.4. Dinding Utama Bangunan Tempat Tinggal:
1… Tembok 2… Kayu 3… Bambu 4… Lain2
4.5. Lantai Utama Bangunan Tempat Tinggal:
1… Marmer/keramik/teraso 4… Kayu/papan
2… Ubin tegel 5… Bambu
3… plester semen/pasang bata 6… Tanah
7… Lain2
4.6. Luas Lantai: ……………m2
4.7. Sumber air Minum: 1… Kemasan 3… Sumur 5… Sungai
2… PAM 4… Mata air 6… Air Hujan
4.8. Pemilikan Sumber air Minum: 1… Sendiri 3… Umum
2… Bersama 4… Tidak ada
4.9. Pemilikan Tempat Buang Air Besar: 1… Sendiri 3… Umum
2… Bersama 4… Tidak ada

Universitas Indonesia 15
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
X. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMILIK UTAMA KODE
4.10. Jenis Closet: 1… Leher Angsa 3… Cemplung/Cebluk
2… Plengsengan 4… Tidak Pakai
4.11. Sumber Penerangan: 1… Listrik PLN 3… Jenis Petromaks 5… Lain2
2… Listrik Non PLN 4… Jenis Pelita

5. Pemilikan Kendaraan pribadi: 1… Ada 2… Tidak ada


Keterangan: …………………………………………………………….
6. Pemilikan Sambungan Telepon/Handphone: 1… Ada 2… Tidak ada
Keterangan: …………………………………………………………….
7. Pemilikan Sawah/ladang/kebun/tanah/empang: 1… Ada 2… Tidak ada
Keterangan: …………………………………………………………….
8. Pemilikan ternak: 1… Ada 2… Tidak ada
Keterangan: …………………………………………………………….
9. Pemilikan Rumah di tempat lain/di kampung: 1… Ada 2… Tidak ada
Keterangan: …………………………………………………………….
10. Rata-rata Pengeluaran Untuk Makanan Per Bulan/Per Tahun:
11. Rata-rata Pengeluaran Bukan Makanan Per Bulan:
11.1. Perumahan dan Fasilitas Rumah: sewa/perawatan, dll. Rp …….……….
11.2. Listrik: Rp ……………… (……………watt)
11.3. Minyak Tanah dan Gas: Rp ……………… (……………liter)
11.4. Kayu Bakar / Arang: Rp ……………… (……………ikat)
11.5. Telepon dan Faks, termasuk wartel, kartu telepon dan pulsa isi ulang: Rp …………
11.6. Transportasi, taksi, angkutam umum dan bensin pribadi: Rp ………………
11.7. Pakaian: Rp ………………
11.8. Kesehatan: Puskesmas, RS, Dokter danm Obat: Rp ………………
11.9. Pendidikan, Sekolah, Kursus: Rp ………………
11.10. Bahan Kebersihan: Sabun Cuci, Pemutih, Pembersih: Rp ………………
11.11. Kosmetik: Rp ………………
11.12. Rekreasi dan Hiburan Rp ………………
11.13. Pajak dan Asuransi: PBB, STNK, SIM, KTP dll: Rp…..……………
11.14. Koran dan Majalah: Rp ………………
11.15. Persaudaraan, Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan: Rp ………………
11.16. Cicilan-cicilan: Rumah, Tanah, Kendaraan, dll: Rp. ………………
11.17. Nilai Tabungan/Saving: Rp ………………
11.18. Pengeluaran lain-lain: ……………………………… Rp ………………
11.19. Jumlah Pengeluaran Bukan Makanan: Rp …………..…
12. Sumber-sumber Penghasilan Rumah Tangga selain dari Usaha ini:
1… Tidak ada 4… Dari Orang Tua 6… Bunga
2… Dari Anak 5… Gaji/Honorarium 7… Bantuan Pemerintah
3… Dari Saudara 8… Bantuan LSM 9… Usaha lain

Universitas Indonesia 16
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
XI. KONDISI LINGKUNGAN SEKITAR MENURUT RESPONDEN KODE

1. Penggunaan lahan terdekat dengan lingkungan usaha:


1… Pertanian/Perkebunan 2… Industri 3… Pasar/Perdagangan
4… Perumahan/Hunian 5… Perkantoran 6… Lainnya ……………..
2. Kandungan air sumur sekitar menurut hasil test Laboratorium
1… Layak diminum 4… Tidak layak untuk mandi
2… Layak diminum setelah direbus 5… Lainnya ................................................
3… Tidak layak diminum ..............................................................
3. Sakit-penyakit yang paling banyak diderita warga dewasa setempat
1… Sakit kepala 5… Athma dan TBC
2… Sakit mata 6… Diarea
3… Sakit telinga 7… Kulit
4… ISPA 8… Lainnya ……….…………………..
4. Sakit-penyakit yang paling banyak diderita anak-anak setempat
1… Sakit kepala 5… Athma dan TBC
2… Sakit mata 6… Diarea
3… Sakit telinga 7… Kulit
4… ISPA 8… Lainnya ……….…………………..
5. Pendapat pribadi tentang kondisi pencemaran di lingkungan perusahaan sendiri

6. Pendapat pribadi tentang kondisi pencemaran di lingkungan sekitar

7. Pendapat pribadi tentang kesehatan dan keamanan bahan-bahan yang dipergunakan


untuk produksi

9. Saran dalam rangka melaksanakan kegiatan produksi ramah lingkungan

10 Saran dalam rangka meningkatkan kesehatan lingkungan

11. Lain-lain:

Universitas Indonesia 17
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN LAPANGAN LAMPIRAN 5
FENOMENA USAHA KECIL RAMAH LINGKUNGAN
Fokus Penelitian: Praktik Ramah Lingkungan Usaha Kecil di Jakarta,
Kajian Sosiologis pada Industri Kecil Pengolahan Tahu-Tempe
PRIMKOPTI Swakerta Kelurahan Semanan Jakarta Barat
Peneliti: Edy Siswoyo
Sponsor: Ford Foundation 2006
BULAN DAN
HASIL YANG DIPEROLEH
KEGIATAN

JANUARI-MARET 2006 Pemahaman peta dan denah lingkungan penelitian, menjalin relasi dengan pamong dan tokoh-tokoh
Orientasi lapangan dan setempat: Pengurus Koperasi, Pengurus RT/RW, tokoh anggota Koperasi, Pimpinan dan Guru Sekolah setempat,
pemetaan lingkungan. Pengelola Lingkungan, para Operator IPAL, anggota Karang Taruna, Petugas Pos Keamanan, dan beberapa
Pemetaan dilakukan dengan pengusaha setempat.
mempergunakan software
Google Earth. KELURAHAN SEMANAN

SEMANAN

Semanan

SALURAN BU ANGAN
IP A L
AKERTA
PIK KOPTI SW
PIK KOPTI
SW AKERTA

APRIL 2006
Lapor diri secara resmi Diterima dengan suka cita oleh para pengurus Koperasi, disertai harapan untuk memperoleh bimbingan dan
ke pengelola lingkungan kemungkinan-kemunginan rujukan atau sumber-sumber eksternal guna pengembangan eksistensi koperasi yang
KOPTI /Pengurus selama ini dirasakan berjalan tidak sebagaimana diharapkan semula.
PRIMKOPTI Swakerta
Semanan Jakarta Barat.

1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
MEI 2006 Koperasi Produksi Tahu-Tempe Indonesia (KOPTI) Semanan dirintis sejak tahun 1972 oleh para pengrajin
Studi dokumen mengenai tahu-tempe yang mayoritas berasal dari Pekalongan Jawa Tengah, yang tersebar dan bercampur dengan kawasan
PRIMKOPTI Swakerta pemukiman penduduk di Wilayah Tambora, Grogol, Kebon Jeruk, Cengkareng dan Kali Deres. Pada tahun 1990,
Semanan, Jakarta Barat. atas dasar tekad dan keinginan para anggota untuk mempunyai tempat usaha bersama, dan dengan dimotori oleh
Studi dokumen dilakukan beberapa tokoh anggota, serta kemudian memperoleh bantuan dan dukungan dari Pemda DKI Jakarta, Menteri
di Kantor Koperasi, Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perumahan, Koperasi berhasil membeli tanah eks milik KOPTINAS
didampingi oleh sekretaris seluas 12 Ha di kawasan Kelurahan Semanan Jakarta Barat sebagai lahan untuk pembangunan rumah tinggal
Koperasi bapak Warminto sekaligus rumah produksi bagi anggota. Kawasan itu disebut kemudian dengan Perkampungan Industri Kecil
(PIK) Semanan yang disermikan pada tahun 1992. Anggota dapat memiliknya dengan cara mengangsur atau dapat
juga menyewanya.

Pada tahun 1994, KOPTI Semanan berganti nama menjadi PRIMKOPTI Swakerta Jakarta Barat, berbadan
hukum, dengan akta No. 10733b/BH/I/Tgl.26 Oktober 1994, dengan jumlah anggota sebanyak 762 orang.
Kepengurusan yang berjalan sekarang ini adalah kepengurusan tahun 2004-2007 hasil Rapat Anggota Luar Biasa.
Semula kegiatan usaha Koperasi meliputi 1) penyaluran bahan baku kedelai, 2) penyediaan bahan pembantu
produksi, 3) simpan pinjam, 4) angkutan bahan baku, 5) kredit barang, 6) pengelolaan lahan PIK, 7) penyewaan
alat-alat pesta, 8) usaha kilang tahu, 9) penyediaan minyak tanah, 11) usaha rumah sewaan. Pada saat penulis
masuk ke lokasi, rupanya hampir semua usaha tersebut sudah bukan lagi merupakan kegiatan Koperasi, melainkan
sebagai usaha anggota secara perorangan walaupun prosedur dan perijinannya masih mengatasnamakan Koperasi,
khususnya untuk memperoleh kedelai dan minyak tanah. Usaha yang masih dikelola langsung oleh Koperasi
adalah usaha penyewaan rumah dan pengelolaan lahan kosong untuk kegiatan usaha kecil kecil. Keadaan tersebut
rupanya sudah terjadi sejak tahun 2001. Alasan yang paling sering diucapkan oleh para Pengurus Koperasi adalah
karena dihentikannya subsidi dari pemerintah khususnya untuk pembelian kedelai. Sementara dari beberapa

2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
anggota diperoleh informasi bahwa terpuruknya Koperasi itu karena habisnya modal yang diakibatkan oleh
penyalahgunaan dana oleh Pengurus sebelumnya. Ketua Koperasi yang lama sekarang ini masih menjalani
hukuman penjara atas penyalahgunaan dana tersebut. Adapun dana yang disalahgunakan itu meliputi uang cicilan
perumahan anggota, uang impor kedelai milik anggota, dan dana abadi Koperasi.

JUNI 2006 Secara topografis, kawasan ini relatif mendatar; dikelilingi oleh sawah-sawah pada bagian Selatan dan
Pengamatan Keadaan Timur. Angin cukup kencang, namun tidak sejuk. Pepohonan di kawasan ini hanya dapat dijumpai pada median
Fisik Lahan, didampingi jalan utama, sebelah lapangan dan pada taman di sekitar masjid. Pada beberapa gang dapat dijumpai pot-pot pohon
oleh penanggungjawab kecil. Kawasan memang didominasi oleh bangunan rumah.
pengelolaan lingkungan,
bapak Handoko, ST.

Jumlah rumah yang telah dibangun sejak kawasan ini dikembangkan adalah 679 rumah permanen dan 26
rumah non permanen dengan kepadatan 57 rumah per Ha. Rumah permanen dibangun oleh developer dengan luas
bangunan standar 27m dan luas tanah 90mdan 126m. Kondisi bangunan standar adalah atap genteng dinding
batako plesteran dan lantai keramik serta dilengkapi dengan septik tank dan resapan. Sekarang ini jumlah rumah
permanen bertambah menjadi 682 unit. Bertambahnya jumlah penghuni dalam rumah menyebabkan tiap-tiap
penghuni, merenovasi rumahnya sesuai dengan kebutuhannya yaitu untuk memproduksi tahu tempe sekaligus juga
sebagai rumah tinggal. Hal ini menyebabkan permukiman mereka menjadi tidak sedap dipandang mata, tidak
teratur dan tidak layak ditinggali sebagai rumah hunian (rawan kebakaran). Kondisi sebagian jalan yang rusak,
tidak adanya krib pembatas jalan, serta mampatnya saluran-saluran drainasi, penggunaan rumah tinggal untuk
kegiatan produksi, ditambah lagi bau yang khas dari limbah produksi yang masuk ke saluran tersebut, dan juga
penggunaan serambi rumah dan pinggiran jalan sebagai tempat penjemuran produk, memberikan kesan kumuh

3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
linkungan PIK Semanan. Jaringan jalan yang ada adalah berbentuk grid iron yang meliputi 0,656 km jalan akses
dari jalan raya Semanan dan 4,6 km jaringan jalan lingkungan. Pada saat penulis berada di lokasi, kondisi jalan
ada yang rusak, yaitu jalan dengan lebar 4m rusak sepanjang 812m dan jalan yang lebarnya 6m rusak sepanjang
223m. Kesan kumuh juga diperparah dengan adanya beberapa rumah yang sudah mulai menunjukkan kerusakan.
Penempatan rumah sewa/kontrakan di bagian Selatan kawasan juga menambah kesan kumuh karena materialnya
yang sebagian besar non permanen dan menghalangi pemandangan ke sawah.

JULI 2006
Pengamatan Fasilitas
Lingkungan, didampingi
oleh penanggungjawab
pengelolaan lingkungan,
bapak Handoko, ST

Primkopti Swakerta juga melengkapi kawasan dengan Dapur Umum yang diharapkan dapat dimanfaatkan
oleh semua anggota untuk kegiatan produksi. Bangunan dapur umum terletak di atas tanah yang lebih tinggi di
bagian Timur kawasan, berbentuk shelter dan tidak memiliki dinding dan tempias di waktu hujan.. Angin bertiup
kencang sehingga tungku api tidak dapat memberikan panas optimal. Ruang perebusan, ruang pencucian dan
pentirisan kedelai tidak disekat atau dibatasi, membuat ruang perebusan menjadi basah. Air limbah yag dihasilkan
dari dapur umum ini langsung masuk ke Instalasi Pengolahan Akhir Limbah (IPAL). IPAL dibangun oleh Dinas
Pekerjaan Umum DKI berdampingan dengan Dapur Umum, dengan mempergunakan sistem kolam stabilisasi
untuk mengolah air limbah industri tahu tempe dan air buangan domestik. Air limbah domestik yang mengalir ke
kolam IPAL adalah air bekas kamar mandi, air bekas cucian, air limbah dapur dan air buangan industri rumah
tangga tahu tempe; tidak termasuk air kotor dari WC dan juga tidak termasuk air hujan. Saluran air limbah
domestik yang bercampur dengan air limbah produksi itu pada umumnya tersumbat endapan lumpur endapan
limbah produksi tahu-tempe dan sampah, menimbulkan bau yang tidak sedap. Sampah dapat masuk ke saluran
karena terbawa angin dan saluran terbuka. Di samping itu memang masih ada bagian saluran yang belum sempat
dibangun dengan baik, membuat air limbah domestik tidak dapat masuk IPAL melainkan langsung menyatu
dengan saluran buangan IPAL. Bau yang tidak sedap itu semestinya dapat hilang setelah air limbah masuk IPAL.
Namun tidak demikian kenyataannya, karena kapasitas blower di IPAL tidak mencukupi. Air limbah yang keluar

4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dari IPAL disalurkan keluar kawasan dalam keadaan masih bau, ditambah lagi dengan bau air buangan domestik
yang tidak dapat masuk IPAL.
90% warga PIK KOPTI Semanan adalah produsen tempe, 5% produsen tahu dan 5 % lainnya memiliki
bidang usaha lain. Setiap rumah produksi tempe membutuhkan air per hari 2,5m3, atau 1915m3 per hari secara
keseluruhan. Koperasi telah menyediakan satu sumur berkedalaman 100M untuk memenuhi kebutuhan dapur
umum. Rumah-rumah produksi yang tidak mempergunakan dapur umum memperoleh airnya dengan cara
membeli dari para pemilik sumur air tanah. Saat ini terdapat 6 sumur air tanah milik perorangan warga. Satu
sumur di antaranya melayani beberapa rumah produksi dengan cara menyalurkannnya melalui jaringan pipa air
bersih. Lima sumur lainnya menyediakan gerobak dan jerigen untuk pengangkutan air yang dibutuhkan oleh
rumah-rumah produksi. Tiap-tiap rumah pada dasarnya sudah berusaha membuat sumurnya sendiri, namun sumur-
sumur mereka sudah kering. Diperoleh informasi bahwa pada tahun 1992 kedalaman sumur air tanah hanya 20M,
tetapi sekarang sudah menjadi 50-100M dan memerlukan biaya tinggi. Karena itu warga lebih memilih membeli
atau berlangggan dari sumur lain daripada harus membuat sumur sendiri. Semua air yang disebutkan di atas adalah
air untuk kebutuhan produksi dan mandi; bukan air minum. Untuk air minum, warga berlangganan PDAM.

Koperasi juga menyediakan transfer depo sampah di ujung Baratdaya PIK. Volume sampah diperkirakan 7
sd. 8 m3 per hari, yang berupa sampah rumah tangga. Ampas sisa produksi tahu tempe tidak termasuk sebagai
sampah, melainkan dipergunakan untuk campuran makanan ternak. Sekali dalam dua minggu sampah yang sudah
terkumpul di depo tersebut selanjutnya diangkut ke TPA oleh Dinas Kebersihan DKI. Namun sampah di depo
tampak tidak pernah berkurang. Diperoleh informasi bahwa sampah yang tertangani oleh Dinas Kebersihan DKI
hanya 2m3 perhari. Kerasnya angin di kawasan tersebut membuat sampah-sampah kering beterbangan dan
menyumbat saluran-saluran pembuangan yang terbuka. Agar tidak menumpuk baik di depan rumah atupun di

5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
transfer depo, ada juga sampah yang tidak dibuang di transfer depo, melainkan langsung dibakar oleh pemiliknya.
Untuk mengatasi persoalan sampah tersebut, sekarang ini TPA sedang direnovasi dan rencananya akan dikelola
langsung oleh Dinas Kebersihan DKI. Beban biaya operasional pengelolaan nantinya tetap akan ditanggung oleh
warga PIK KOPTI melalui iuran kebersihan bulanan.

AGUSTUS 2006 Jumlah Penduduk PIK KOPTI pada tahun 2005 tercatat 1.732 jiwa. Mereka ini meliputi 762 anggota
Survai Kegiatan Usaha, Koperasi beserta anggota keluarganya. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah keluarga yang bukan anggota
dibantu oleh para Pengurus Koperasi yang mengontrak rumah milik Koperasi sebanyak 23 KK., yang tidak berprofesi sebagai produsen tahu
Karang Taruna tempe. Bidang produksi mereka adalah kerupuk kulit, sari kelapa, pengolahan ikan, warung kelontong, warung
makan dan bengkel sepeda motor.
Tidak semua anggota Koperasi memperoduksi tahu dan tempe. Mayoritas memproduksi tempe saja,
sebagian kecil lainnya memproduksi tahu saja. Namun demikian, limbah dan dampak lingkungannya sama. Untuk
produksi tahu tempe, sebagian besar warga melakukan seluruh proses produksinya di rumah, bahkan sampai ke
bagian luar rumah. Kegiatan proses produksi meliputi penyimpanan bahan baku, tempat pencucian, dapur untuk
perebusan, tempat perendaman, tempat fermentasi dan pengemasan. Dapur Umum berikut fasilitas dan tenaganya
yang sudah disediakan oleh Koperasi tidak dimanfaatkan oleh sebagian besar warga ini, dengan alasan tempatnya
terlalu jauh dan sudah terlanjur menjadi kebiasaan melakukan proses produksi di rumah dengan tenaga kerja dari
anggota keluarga atau kerabat sendiri, yang tidak perlu pendidikan ketrampilan khusus. Mereka juga tidak
membuat perencanaan usaha, melainkan mejalankannya sebagai rutinitas sehari-hari. Penanggungjawab usaha
adalah suami, sementara isteri dan anak-anak ikut bekerja misalnya untuk fermentasi, penjemuran, pengepakan

6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan pemasaran. Partisipasi anak dan perempuan dapat dikatakan tinggi, bukan karena hak melainkan karena
kewajiban sebagai anggota keluarga.
Jumlah kedelai uang diperlukan oleh tiap-tiap rumah produksi untuk produksi tempe atau tahu per hari pada
umumnya 1kw, harganya Rp.400.000,- Pengeluaran harian lainya adalah kayu bakar Rp.20.000,- Ragi Rp.6.000,-
Plastik Rp.30.000,- Daun Rp.10.000,- Air Rp.20.000,- dan 4 tenaga Rp.100.000,-. Total pengeluaran per hari kira-
kira Rp.586.000. Harga jual produk per hari adalah Rp. 725.000. Keuntungan yang diperoleh kira-kira
Rp.131.000,- per hari. Mereka tidak membayar ongkos pemasaran, karena para pedagang atau distributor langsung
mengambil produk tempe tersebut ke lokasi. Untuk produksi tahu, jumlah air yang siperlukan lebih banyak, yaitu
Rp.30.000,- per hari, dan perlu ongkos pemasaran yaitu sebesar Rp.30.000,- perhari, dengan hasil penjualan kira-
kira Rp.805.000,- per hari, atau untung Rp.225.000,- per hari. Total penghasilan rata-rata per rumah rumah
produksi dapat dihitung kira-kira sebesar Rp.4-5juta per bulan. Penggunaan penghasilan adalah untuk konsumsi
rumah tangga sehari-hari termasuk untuk cicilan rumah atau cicilan kredit lainnya dan juga untuk membangun
properti di kampung asal di Pekalongan.

SEPTEMBER 2006
Pengamatan dan
Wawancara Terfokus
pada Intensitas Praktik
Ramah Lingkungan,
didampingi oleh
penanggungjawab
pengelolaan lingkungan,
bapak Handoko, ST
Intensitas praktik ramah lingkungan penulis lihat dari dua tingkatan, yaitu pada tingkatan individual rumah
produksi dan pada tingkatan kolektif. Pada tingkatan individual rumah produksi, proses pengolahan produk tahu-
tempe mempergunakan peralatan sederhana, pengupasan kulit ari kedelai masih bersifat manual dengan cara
direndam dan direbus, air bersih yang dibutuhkan menjadi banyak dan limbah cair pun juga menjadi banyak.
Tempat perebusan kedelai adalah drum-drum bekas dan umumnya berkarat. Bahan bakar yang dipergunakan
adalah kayu bakar, menimbulkan asap yang membuat udara di dalam rumah menjadi pengap dan panas, serta
membuat warna hitam pada dinding ruangan. Pada saat proses produksi, tidak satupun dari para pekerja
mempergunakan masker, sarung tangan, sepatu boot atau perlengkapan perlindungan lainnya. Mereka tampak
kebal debu abu, kebal asap, kebal bau dan kebal kelembaban. Dengan tenang dan tanpa merasa salah, pemilik

7
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
rumah produksi atau pekerja membuang limbah cair ditempat (on site). Limbah mengalir ke saluran drainase
lingkungan, bercampur dengan limbah cair domestik. Sedangkan limbah padat berupa abu sisa pembakaran,
mereka kumpulkan dalam karung untuk dibuang ke transfer depo sampah. Tranfer depo sampah ini dikelola oleh
Dinas Kebersihan Jakarta Barat. Untuk merawat kebersihan lingkungan dan kelancaran saluran drainase, termasuk
untuk beroperasinya IPAL dengan baik, mereka membayar sejumlah iuran. Namun apabila saluran drainase itu
telah mulai tersumbat oleh sampah dan endapan lumpur sisa produksi, maka sebagai bentuk praktis kepedulian
pada lingkungan dan kepentingan umum merekapun bekerjabakti membersihkannya. Warga yang berpartisipasi
dalam kerjabakti pada umumnya didorong alasan karena kewajiban dan supaya tidak diomeli pengurus, bukan
karena untuk menjaga kesehatan lingkungan. Kerjabakti dikoordinasi oleh Pengurus Koperasi bersama dengan
Pengurus RT/RW.
Mengenai limbah bau, sejak semula mereka menganggapnya biasa dan tidak berbahaya; dulu ketika masih
di Pekalongan hal itu tidak ada yang mempersoalkan. Demikian juga ketika mereka sudah berada di Jakarta
sebelum pindah di PIK KOPTI, ketika mereka masih tinggal di pinggir-pinggir kali dengan keadaan lingkungan
yang lebih-lebih kumuh, membuang limbah produksi begitu saja ke kali adalah sudah menjadi kebiasaan. Namun
setelah mengikuti berbagai penyuluhan lingkungan mereka menyadari juga bahwa hal tersebut adalah
membahayakan kesehatan bagi diri sendiri dan bagi lingkungan sekitar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-
apa, dan menganggapnya tidak lagi masalah karena sudah ada IPAL yang akan menetralisir bau. Akan tetapi bau
limbah itu sudah menyebar lebih dahulu sebelum air limbah itu sampai ke IPAL.
Untuk menghindari terjadinya polusi udara di masing-masing rumah produksi dan untuk mempercepat
pembuangan limbah cair ke IPAL, maka proses perendaman, perebusan dan pencucian kedelai itu seharusnya
dilakukan di Dapur Umum. Akan tetapi sebagaimana telah disampaikan, hanya sebagian kecil saja rumah produksi
yang memanfaatkan Dapur umum ini. Alasan utama bagi yang tidak memanfaatkan Dapur Umum adalah karena
sudah kebiasaan melakukan proses produksi di rumah; juga kebiasaan melakukan proses pencucian kedelai
dengan air yang berlimpah di kali yang limbahnya terbuang dengan sendirinya di kali yang sama, atau jika
pencuciannya dilakukan di rumah, limbah dibuang ke drainase domestik tanpa diolah lebih dahulu. Alasan lain
adalah karena sudah memiliki tenaga kerja sendiri, sehingga tidak memerlukan tenaga dari dapur umum. Di
samping itu letak Dapur Umum dianggapnya terlalu jauh. Sedangkan bagi yang memanfaatkan Dapur Umum,
alasannya bukanlah karena peduli lingkungan, tetapi lebih karena tidak punya tenaga kerja yang cukup, tidak
punya peralatan yang cukup dan tidak mampu memperoleh air bersih yang cukup pula.
IPAL dan drainase pada dasarnya sudah bukan urusan rumah produksi secara individual, melainkan sudah
menjadi urusan kolektif. Untuk ini Pengurus Koperasi yang bertanggungjawab, agar kawasan PIK KOPTI tetap
memenuhi syarat AMDAL dan bebas dari protes-protes yang sering dilancarkan oleh warga luar PIK yang

8
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
kawasan huniannya dilewati drainase air buangan PIK KOPTI. IPAL dikontrol dan dibersihkan setiap hari. IPAL
pernah memperoleh sumbangan mesin Water Treatment dari Pangeran Charles, namun kini keadaannya sudah
rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi. Pada saat penulis berada di lokasi, IPAL sedang dipersiapkan oleh BPLH
DKI untuk mengolah limbah menjadi gas methan yang akan berguna bahan bakar gas. Gas methan ini menurut
rencana akan dipergunakan sebagai sumber energi pengganti bahan bakar kayu di Dapur Umum dan sumber
energi untuk lampu-lampu penerangan di sekitas IPAL.

Untuk perawatan IPAL, Pengurus tidak memperlakukan kerjabakti bagi seluruh warga, melainkan hanya
dilakukan oleh pekerja-pekerja di Dapur Umum yang sehari-hari sebagai operator. Para operator IPAL ini
memperoleh pengarahan khusus dari BPLHD Jakarta Barat, BPPT, Dinas PU Jakarta Barat, dan juga dari
perguruan tinggi yang melakukan bakti sosial bidang pengelolaan limbah. Adapun biaya operasional IPAL adalah
swadaya warga ditambah dengan subsidi dari Koperasi. Sedangkan untuk pengolahan gas methan, Pengurus
Koperasi bersama BPLH DKI sedang mengusahakan sponsor dari sebuah lembaga internasional di Jerman.
Pengurus Koperasi juga berusaha memperoleh bantuan untuk memperbaiki dan melanjutkan saluran drainase yang
belum terbangun.
Usaha-usaha lain yang ditunjukkan oleh Pengurus Koperasi dalam sebagai wujud kepedulian lingkungan
adalah mengkoordinasi kegiatan-kegiatan penyuluhan dan bakti sosial kesehatan lingkungan yang diselenggarakan
oleh instansi swasta dan pemerintah sebagaimana telah disampaikan di muka. Bahkan, Pengurus juga sedang
berusaha mencari bantuan internasional untuk mendirikan sebuah Poliklinik.

9
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
OKTOBER 2006 Dari segi struktur kepemimpinan lokal, komunitas PIK KOPTI Semanan adalah khas. Komunitas ini terdiri
Pengamatan dan dari 1 RW yang meliputi 2 RT. Pembentukan RW dan RT ini adalah atas inisiatif Pengurus Koperasi.
Wawancara Terfokus Sebagaimana diketahui, institusi Koperasi, anggota maupun Pengurus, pada dasarnya tidak memiliki hubungan
pada Struktur Sosial hirarkhis dengan RT/RW dan Pemerintah Kelurahan ataupun Kecamatan. Namun sebagai warga ataun penduduk
setempat, didampingi oleh suatu wilayah, institusi RT/RW adalah diperlukan. Karena pembentukan RT/RW tersebut adalah dimaksudkan
penanggungjawab untuk membantu kelancaran hubungan antara warga dengan Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan. Ketua RW
pengelolaan lingkungan, yang sekarang ini adalah Ketua Koperasi. Peran kepengurusan RT/RW di sini lebih kepada urusan kependudukan,
bapak Handoko, ST keamanan lingkungan, peringatan hari-hari besar dan kegiatan kegiatan keolah ragaan. Selama penulis berada di
lokasi, belum pernah melihat kantor RW buka, kecuali Pos Keamanan yang memang buka setiap hari. Pos
Keamanan ini ramai setiap sore; para petugas keamanan pun siaga di tempat, ada juga yang mondar-mandir
mengawasi orang banyak yang berada di situ, di halaman pos. Orang banyak itu bukan bermaksud untuk urusan
keamanan, melainkan akan melakukan perjalanan ke luar kota. Pos Keamanan itu dimanfaatkan oleh Koperasi
untuk keagenan bus AKAP (antar kota antar propinsi) PO Garuda Mas jurusan Jakarta-Pekalongan.

Berbeda dengan kantor RW yang seolah-olah tidak ada kegiatan, adalah kantor Koperasi yang meskipun
bidang pelayanannya sudah jauh berkurang namun tetap buka setiap hari mulai sekitar jam 10.00 dan tutup sekitar
jam 17.00. Sebagaimana telah disampaikan, urusan Koperasi sekarang ini adalah mengelola rumah sewa atau
rumah kontrakan dan pemanfaatan lahan kosong untuk kegiatan usaha kecil di lingkungan PIK KOPTI. Di
samping itu Pengurus juga mengelola kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial dan penyuluhan-penyuluhan
pembinaan yang rutin diselenggarakan oleh instansi swasta maupun pemerintah masing-masing sekali dalam
setahun. Bidang-bidang kegiatan sosial itu antara lain pengobatan gratis, penyuluhan kemanan instalasi listrik,

10
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan pengelolaan IPAL, dan percontohan sumur resapan. Alasan utama
para Pengurus Koperasi untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan termasuk untuk kegiatan-kegiatan non
ekonomi ini adalah karena lahan PIK KOPTI masih hak milik Koperasi. Hanya sebagian kecil saja anggota yang
sudah melunasi cicilan pembayaran rumah dan memperoleh Sertifikat Hak Miliknya. Di samping itu para
Pengurus berpendirian bahwa Badan Hukum Koperasi adalah sah, dan Koperasi memperoleh ijin, dukungan dan
pembinaan serta ”impartasi wibawa” dari banyak instansi pembina baik swasta maupun pemerintah seperti BPPT,
BPLH DKI, BPLHD Jakarta Barat, Dinas Perindustrian Jakarta Barat, Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Barat,
Dinas Kebersihan Jakarta Barat, Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Barat, Walikota Jakarta Barat dan Nyonya,
Universitas Trisakti, Insitut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Demikianlah segala sesuatu yang berlangsung di atas lahan itu harus sepengetahuan dan seijin Pengurus
Koperasi, perlu rekomendasi dari Pengurus Koperasi, bahkan ada yang harus mengatasnamakan Koperasi
walaupun pelaksanaannya bukan oleh Koperasi. Kegiatan pemasokan kedelai untuk rumah-rumah produksi
misalnya, seharusnya memang menjadi salah satu usaha Koperasi. Akan tetapi oleh karena habisnya modal
Koperasi akibat kesalahan managemen sebagaimana telah disampaikan, maka untuk urusan pemasokan kedelai ini
harus direlakan dikelola oleh seorang anggota yang mampu. Demikian juga untuk pemasokan minyak tanah yang
bukan saja sepengetahuan Pengurus, melainkan juga harus mengatasnamakan Koperasi demi untuk memperoleh
perijinan distribusi dengan harga yang lebih murah. Demikian juga untuk pemasokan dana untuk permodalan
ataupun untuk keperluan konsumtif anggota yang seharusnya merupakan usaha vital dari Koperasi, sekarang
ditangani oleh Bank Mandiri, BRI dan BPR Artha Secana. Lembaga-lembaga keuangan ini memberikan kredit
kecil dengan jaminan surat-surat pemilikan properti dan rekomendasi dari Pengurus Koperasi. Dalam urusan
kredit ini Pengurus memperoleh komisi dan kemudahan dalam berurusan dengan lembaga-lembaga keuangan
tersebut.
Pengoperasian IPAL, Dapur umum bahkan sampai pada distribusi air minum PDAM untuk kawasan PIK
KOPTI, Koperasi dan Pengurus mengambil peran sebagai pengelola. Dalam pengelolaan IPAL, Pengurus
mempekerjakan sekitar 30 orang warga luar PIK KOPTI. Mereka ini juga menjadi pekerja di Dapur Umum.
Mereka tidak berlogat Pekalongan dan tidak dapat berbahasa Jawa. Diperoleh informasi bahwa para pekerja di
IPAL/Dapur umum ini pada umumnya mantan preman di kawasan Jakarta Barat. Ketika beberapa kali terjadi
protes warga luar PIK KOPTI yang drainase huniannya dilewati air limbah dari PIK KOPTI, para pekerja inilah
yang berjaga-jaga melindungi kawasan. Dalam setahun dapat terjadi tiga kali protes. Bentuk protes mulai dari
surat pelaporan dan peringatan, ancaman pembunuhan kepada pengurus dan para pekerja, dan juga penutupan
saluran pembuangan. Untuk mengatasi protes-protes tersdebut Pengurus Koperasi berlindung kepada instansi-
instansi yang membinanya, khususnya instansi Pemerintah.

11
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAPUR UMU
SALURAN BUANGAN

M
IP AL

PIK KOPTI

Rupanya Pengurus tidak hanya menerima protes dari luar, tetapi juga dari tokoh-tokoh PIK KOPTI sendiri,
khususnya Mantan Pengurus. Bentuk protesnya tidak sekeras protes warga luar PIK yang drainase huniannya
dilewati limbah, melainkan sekedar percakapan-percakapan di sana-sini tentang keburukan para Pengurus.
Keburukan Pengurus yang paling banyak dibicarakan adalah mengenai belum juga dilaksanakannya Rapat
Anggota Tahunan (RAT) yang merupakan forum pertangungjawaban Pengurus dan forum untuk menetapkan
Pengurus Baru.

NOVEMBER 2006 Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga setempat, Koperasi telah membangun sebuah sekolah
Pengamatan dan tingkat TK, SD, SMP dan SMA. Sekolah-sekolah ini dikelola oleh sebuah Yayasan Pendidikan yang didirikan
Partisipasi dalam oleh Koperasi. Penulis mencoba melihat peran serta sekolah-sekolah tersebut dalam membudayakan hidup sehat
kegiatan Pembinaan dan produksi ramah lingkungan. Yang penulis temukan adalah kegiatan-kegiatan sosialisasi hidup sehat yang
Kesehatan Lingkungan, belum mengkaitkan dengan produksi ramah lingkungan. Sosialisasi dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan kepada
didampingi oleh para murid yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam rangka prgram Pengabdian Pada Masyarakat, dan juga
penanggungjawab dari Puskesmas setempat. Generasi muda tampaknya belum menjadi sasaran sosialisasi produksi ramah
pengelolaan lingkungan, lingkungan. Ketrampilan produksi dan pemasaran tahu-tempe ramah lingkungan tampaknya juga belum
bapak Handoko, ST dan terpikirkan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum lokal. Itu semua belum pernah terpikirkan oleh para pengurus
Sekretaris Koperasi bapak lingkungan setempat, dan baru disadari setelah kehadiran penulis.
Warminto. Di samping gedung sekolah, Koperasi juga membangun sebuah masjid. Kemudian untuk keperluan

12
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
emergensi, Koperasi memiliki sebuah mobil ambulance L300. Melalui partisipasi dalam kegiatan pengobatan
gratis bagi warga PIK KOPTI yang diselenggarakan rutin oleh sebuah perguruan tinggi, penulis memperoleh
informasi mengenai kesehatan penduduk setempat. Penyakit yang paling lazim di derita adalah penyakit kulit,
batuk sesak nafas dan sakit kepala. Penyakit ini melanda mulai dari anak-anak maupun orang dewasa. Beberapa
orang tua menginformasikan mereka sehat atau tidak merasa satu gejala sakit sebelum mereka pindah ke kawasan
ini. Sejak tiggal di kawasan ini orang tua tersebut merasakan gejala sakit, terutama sesak nafas dan sakit kepala.
Penulis juga menemukan satu orang dewasa yang harus minum obat sakit kepala setiap hari sejak tinggal di
kawasan ini.

Di balik kegiatan-kegiatan non ekonomi yang diprakarsai oleh para pengurus Koperasi tersebut,
sesungguhnya mengandung beberapa harapan yang tersembunyi. Apa yang disampaikan kepada penulis adalah
berbeda dengan harapan warga pada umumnya. Harapan Pengurus adalah revitalisasi Koperasi, terutama melalui
subsidi Pemerintah sebagai awal berdirinya Koperasi Dulu. Bagaimanapun Pengurus ingin menunjukkan bahwa
Koperasi masih eksis, walaupun kegiatannya sebagai lembaga ekonomi hampir tidak tampak lagi. Harapan untuk
memperoleh kemudahan dan subsidi permodalan seperti dulu tampaknya sudah tidak mungkin lagi di era

13
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
persaingan bebas ini. Koperasi selaku ”penguasa” kawasan berusaha menunjukkan eksistensinya itu melalui jalur
non ekonomi, yaitu pembenahan kondisi fisik dan kesehatan kawasan. Adanya ”tuntutan” produksi ramah
lingkungan, pembinaan dari berbagai instansi bakah bantuan internasional untuk produksi ramah lingkungan yang
semuanya adalah melalui Koperasi, dan juga adanya protes warga sekitar terhadap Pengurus atas polusi bau yang
ditimbulkan oleh kegiatan PIK KOPTI, serta sifat khas dari struktur kepemimpinan kawasan PIK KOPTI, telah
memperkuat harapan Pengurus bahwa Koperasi diperlukan dan eksistensinya perlu dipertahankan. Karena itu
bersama Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Barat, Pengurus telah mencoba mengartikulasi harapan-harapan itu
menjadi rencana Master Plan yang lebih menitik-beratkan pada rencana penataan lingkungan dan keinginan untuk
penerapan teknologi produksi modern daripada penataan kelembagaan Koperasi. Dalam rangka itulah penulis
berpartsisipasi dalam penyusunan proposal proyek-proyek Environment Sanitation.
Harapan warga atau pengrajin pada umumnya adalah tidak sampai pada keinginan memenuhi kriteria
produksi ramah lingkungan. Mereka tidak mempersoalkan apakah produk dan proses produksi mereka memenuhi
kriteria ramah lingkungan atau tidak. Bagi mereka yang penting produk laku terjual. Demikianlah adanya, produk
memang laku terjual, pedagang dan pembeli tidak pernah mempersoalkan apakah produk dan proses produksinya
memenuhi kriteria ramah lingkungan atau tidak. Menurut mereka lingkungan dan rumah produksi yang mereka
tempati sekarang ini adalah sudah baik jika dibandingkan dengan rumah produksi ketika mereka masih tinggal di
pinggir kali. Akan tetapi sesungguhnya bagi mereka semua itu bukan masalah, sebab yang penting bagi mereka
adalah menghasilkan uang, dan uang itu untuk membangun rumah yang lebih baik di kampung halaman. Yang
lebih sering diucapkan warga adalah keinginan memperoleh pasokan bahan baku dan bahan penunjang yang lebih
murah

DESEMBER 2006 Penulisan laporan dalam bentuk naskah untuk Jurnal edisi khusus Sosiologi Lingkungan. Sebelum diterbitkan,
naskah dipresentasikan pada Seminar On Environmental Sociology, diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana
Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, 12 Desember 2006, dan memperoleh masukan dari blind reviewer
yang terdiri dari Dr. Iwan Gardono, Dr. Iwan Tjitra dan Dr. Suraya Afif. Jurnal terbit pada bulan April 2007.

14
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAPORAN KEUANGAN
KEGIATAN PENELITIAN LAPANGAN
FENOMENA USAHA KECIL RAMAH LINGKUNGAN

1. Biaya Pendamping Lapangan Juni-Desember 2006


7 bulan @ Rp.500.000,00 Rp. 3.500.000,00
2. Biaya Survai Kegiatan Usaha
150 responden @ Rp. 10.000,00 Rp. 1.500.000,00
3. Biaya perdiem: akomodasi dan transportasi lokal
Juni-Des. 2006:7 bulan @ Rp. 1.000.000,00 Rp. 7.000.000,00
4. Biaya partisipasi Program Pembinaan Kesehatan Lingkungan Rp. 1.000.000,00
5. Biaya perekaman data audio-visual (dalam proses) Rp. 3.000.000,00
6. Biaya penyiapan naskah laporan untuk jurnal (selesai) Rp. -pm.-
7. Biaya penyiapan naskah disertasi (dalam proses) Rp. -pm.-
8. Biaya editing audio-visual untuk disertasi (dalam proses) Rp. -pm.-
-----------------------+
Total Biaya ≥ Rp 16.000.000,00
==============

Jakarta, 28 April 2007


Pelaksana Penelitian,

Edy Siswoyo
NPM. 890405003X

15
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAMPIRAN 4

PEDOMAN PENGUMPULAN DATA

Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda


Data

1. KARAKTERIS- 1.1. Sektor Usaha Pemilik Usaha Verbal, Angket


TIK PERUSA- 1.2. Bentuk Badan Hukum Instansi Pembina Dokumen Wawancara
HAAN 1.3. Kedudukan hierarkhis Observasi
1.4. Tahun mulai operasi
1.5. Produk Layanan
1.6. Lokasi Usaha Artefak
1.7. Jumlah Tenaga Kerja
1.8. Hari dan Jam Kerja
1.9. Asosiasi yang diikuti
1.10. Kontinuitas Usaha
1.11.Masalah Pokok

2. ASET USAHA 2.1. Pemilikan tanah atau Pemilik Usaha Artefak Angket
lahan usaha, kios, toko, Wawancara
2.2. Jenis bangunannya, Observasi
2.3. Peralatan yang dimiliki,
termasuk mesin-mesin
dan kendaraan.
2.4. Kesulitan-kesulitan dalam Verbal
mengusahakan lahan atau
lokasi usaha

3. PERMODALAN 3.1.Komposisi pemilikan Pemilik Usaha Verbal Angket


DAN PARTISI- modal sendiri dan modal Instansi Pembina Wawancara
PASI DALAM pihak lain,
LEMBAGA 3.1.Sumber-sumber permodal-
PEMBIAYAAN an dari pihak lain,
3.2.Partisipasi dalam kredit
yang disediakan oleh
Lembaga Kredit Usaha
Kecil dari Perbankan,
Bank Perkreditan Rakyat
dan Lembaga Pembiyaan
Mikro lainnya,
3.3.Bantuan permodalan yang
pernah diterima dari
Pemerintah,
3.4.Kesulitan-kseulitan yang
dihadapi dalam permodal-
an dan kredit perbankan
3.5.Persyaratan Ramah Ling-
kungan utk akad kredit

4. KONDISI SDM 4.1. Persyaratan ketrampilan Pemilik Usaha, Verbal Angket


DAN PEKERJA 4.2. Jumlah pekerja yang tidak Pegawai Wawancara
dibayar
4.3. Jumlah pekerja yang
dibayar
4.4. Pelayanan bantuan SDM
4.5. Pengupahan
4.6. Asuransi dan Jaminan2

Universitas Indonesia197
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda
Data

5. KETERSEDIA- 5.1. Cara pengadaan bahan Pemilik Usaha Verbal Angket


AN BAHAN baku, Instansi Pembina Wawancara
BAKU 5.2. Sumber-sumber dan asal
bahan baku,
5.3. Kerjasama dalam
memperoleh bahan baku,
5.4. Kesulitan-kesulitan dalam
memperoleh bahan baku.

6. PASAR DAN 6.1. Lokasi dan kepadatan Pemilik Usaha, Verbal, Angket
CARA PEMA- pasar usaha sejenis, Monografi Daerah Perilaku Wawancara
SARAN 6.2. Pola kerjasama Setempat, dan Observasi
6.2. Pola persaingan Kegiatan Ekonomi
6.3. PeranaN agen dan Setempat,
penampung, Instansi Pembina
6.4. Jalur distribusi,
6.5. Harga,
6.5. Kemasan
6.6. Layanan kepada
pelanggan/konsumen
6.7. Masalah-masalah yang
dihadapi dalam pemasaran

7. MANAJEMEN 7.1. Motivasi pengembangan Pemilik Usaha, Verbal, Angket


USAHA usaha Pegawai Perilaku Wawancara
7.2. Status usaha sebagai
sumber penghasilan,
7.3. Perencanaan dan
penganggaran usaha,
7.4. Penanggungjawab usaha,
7.5. Keseimbangan peran
suami isteri dalam
pengelolaan usaha,
7.6. Pengorganisasian tenaga,
7.7. pengendalian kegiatan,
7.8. Cara pembukuan,
7.9. Kesulitan yang dihadapi
dalam setiap aspek
manajemen usaha

8. PRAKTEK 8.1. Lokasi aman bagi ekosis- Pemilik Usaha, Artefak Observasi
RAMAH tem Kegiatan Usaha, Verbal Wawancara
LINGKUNGAN 8.2. Lokasi tidak merusak Informan Perilaku Angket
estetika lingkungan
8.3. Pengaturan tata ruang
kerja yang aman dan sehat
8.4. Pilihan mesin dan
perawatannya
8.5. Konsumsi Air
8.6. Pilihan dan konsumsi
energi/bahan bakar
8.7. Penggunaan perlengkapan
keselamatan kerja

Universitas Indonesia198
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda
Data

8. PRAKTEK 8.8. Mengurangi pengguna- Pemilik Usaha, Artefak Observasi


RAMAH an bahan B3 Kegiatan Usaha, Verbal Wawancara
LINGKUNGAN 8.9. Penanganan bahan dan Informan Perilaku Angket
limbah B3
8.10. Meminimasi buangan
baik gas, cair, padat, bau
dan kebisingan
8.10. Cara mengatasi
kecelakaan kerja.
8.11. Akes dan kerjasama
dengan lembaga2
kesehatan masyarakat
8.12. Kerjasama dengan
pihak2 yang menangani
kelestarian dan kesehatan
lingkungan
8.13.Bahan pengepakan ramah
lingkungan hatan kerja.
8.13. Penghargaan, Teguran,
dan Protes yang pernah
diterima
8.14.Alasan setiap praktek
tsb. Di atas

9. PENGETA- 9.1. Pandangan responden Pemilik Usaha Verbal Angket


HUAN TENTANG mengenai layanan Instansi Pembina Wawancara
LEMBAGA lembaga pembiayaan
PEMBIAYAAN mikro,
9.2. Informasi yang pernah
diterima,
9.3. Sumber informasi
9.4. Pembinaan atau
penyuluhan yang pernah
diterima
9.5. Peranan LPM dan
Instansi lain dalam
penyuluhan perkreditan
9.6.Persyaratan Ramah Ling-
kungan utk akad kredit

10. PENGETA- 10.1. Pandangan responden Pemilik Usaha Verbal Wawancara


HUAN TENTANG mengenai UMK
UMK 10.2. Informasi yang pernah
diterima,
10.3. Sumber informasi,
10.4. Pembinaan atau
penyuluhan yang pernah
diterima
10.5. Instansi-Instansi yang
terlibat dalam
penyuluhan UMK

Universitas Indonesia199
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda
Data

11. PE NGETA- 11.1. Pengetahuan responden Pemilik Usaha Verbal Angket


HUAN dan SIKAP mengenai UMK Wawancara
TENTANG UMK Ramah Lingkungan
RAMAH LING- 11.2. Informasi yang pernah
KUNGAN diterima,
11.3. Sumber2 informasi
11.4. Pembinaan atau
penyuluhan yang pernah
diterima
11.5.Kesediaan dan kerelaan
menjalankan UK Ramah
Lingkungan

12. KINERJA 12.1.Perkembangan orientasi Pemilik Usaha Verbal Angket


UMK dan motivasi usaha dari Instansi Pembina Wawancara
subsisten ke viabel
12.2. Perkembangan volume
produksi
12.3.Perkembangan produk
12.4.Perkembangan status
badan hukum
12.5.Perkembangan cabang
12.6.Perkembangan pegawai
12.7.Perkembangan
konsumen
12.8.Teguran dan Penghargaan

13. KONDISI 13.1.Umur suami isteri, Pemilik Usaha Verbal, Angket,


SOSIAL 13.2.Tingkat pendidikan suami Artefak Wawancara
EKONOMI isteri, Observasi
PEMILIK 13.3. Pekerjaan suami isteri,
USAHA 13.4.Jabatan di lingkungan
baik suami maupun isteri,
13.5.Pemilikan NPWP suami
dan isteri,
13.6.Jumlah tanggungan,
13.7.Kondisi tempat tinggal,
13.8.Pemilikan kendaraan
pribadi
13.9.Pemilikan property
13.10.Rata-rata pengeluaran
untuk makan
13.11.Rata-rata pengeluaran
untuk bukan makan
13.12.Sumber-sumber
penghasilan suami isteri

Universitas Indonesia200
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Fenomena Tema Sumber Data Jenis Metoda
Data

14. KONDISI 14.1.Tata Guna Lahan Pemilik Usaha, Verbal, Observasi


LINGKUNGAN 14.2.Kondisi estetika Monografi Daerah Perilaku Wawancara
SEKITAR 14.3.Keanekaragaman flora Setempat, dan Angket
14.4.Keanekaragaman fauna Kegiatan Pelestarian
14.5.Kesuburan tanah Lingkungan
14.6.Kelayakan sumber air Pemilik Usaha,
minum Monografi Daerah
14.7.Keanekaragaman penyakit Setempat, dan
14.8.Tingkat kematian Kegiatan Pelestarian
14.9.Fasilitas kesehatan Lingkungan
14.10.Pengalaman Bencana Setempat,
14.11.Fasilitas Penanganan Instansi Pembina,
Bencana Informan
14.10.Fasilitas penanganan
sampah/limbah

15. PEMBINAAN 15.1.Implementasi setempat Kepustakaan Bahan Studi


DAN PENG- atas : Pembina UMKM pustaka, pustaka,
AWASAN • Peraturan perundangan setempat, Verbal Wawancara
& Kesepakatan2 tentang Pemilik/pelaku
Lingkungan Hidup usaha,
• Lisensi dan perijinan Informan
• Standardisasi produk dan
proses produksi
• Perlindungan konsumen
• Perpajakan
15.2. Instansi-Instansi yang
terlibat dalam pembinaan
dan kontrol untuk
Ramah Lingkungan
15.3. Hubungan antar instansi /
Organisasi Pembina

16. SISTEM 16.1. Asal-usul dan Legalitas Tokoh-tokoh Verbal Observasi,


SOSIAL Penghunian setempat, Informan Non- Wawancara
KOMUNITAS 16.2. Struktur Kepemimpinan Verbal Mendalam,
SETEMPAT 16.3. Demografi dan
Stratifikasi Sosial
16.3. Kegiatan2 Sosial
16.4. Kegiatan 2 Ekonomi
16.5. Kegiatan 2 Politik
16.6. Kegiatan 2 Seni-Budaya
16.7. Kegiatan Penanganan
Limbah dan Kebersihan
L:ingkungan
16.6.Paguyuban2
16.7. Nilai, Norma dan
Kebiasaan-kebiasaan yang
berkaitan dg Lingkungan
16.8.Kehidupan Keagamaan yg
berkaitan dg. Lingkungan
16.9.Tingkat Kriminal
16.10.Fasilitas dan Organisasi
Kamtib

Universitas Indonesia201
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3

3.1. DAFTAR BEBERAPA PERATURAN PERUNDANGAN LINGkUNGAN


HIDUP YANG BERLAKU DI PROPINSI DKI JAKARTA

1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang Jenis Rencana
Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.

2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 40 TAHUN 2000 Tentang :


Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

3. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123, Tanggal 1
Februari 1995, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Administratif bagi
Perusahaan/Industri/Kegiatan Peserta Prokasih.

4. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 852 Tanggal 12 Juni
1995 Tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair.

5. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 299 Tanggal 12
Februari 1996 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peruntukan dan Baku Mutu Air
Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair.

6. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 Tanggal 19 April
1999 Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).

7. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tanggal 11 Mei
2000 Tentang Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta.

8. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 Tanggal 25 Juli
2001 Tentang Keterlibatan Masyarakat.

9. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tanggal 12
November 2001 Tentang Sumur Resapan.

10. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tanggal 7
Februari 2001 Tentang Baku Mutu Udara Ambien.

11. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2863 Tanggal 4
Oktober 2001 Tentang Jenis Rencana Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan
AMDAL.

12. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tanggal 5
Februari 2002 Tentang Jenis Usaha /Kegiatan Yang wajib dilengkapi Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta.

13. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tanggal 12
Januari 2005 tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan.

14. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1532 Tanggal 2
Agustus 2005 tentang Penetapan Kepengurusan Komite Evaluasi Lingkungan Kota
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3

15. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tanggal 16 Februari
2005 PengendalianPencemaran Udara.

16. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 68 Tanggal 8 Juni 2005
Tentang Sumur Resapan.

17. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tanggal 20 Juni
2005 Kawasan Dilarang Merokok

2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3

3.2. DAFTAR KEGIATAN BPLH-DKI Jakarta Tahun 2008


(Sumber: Laporan Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 2008, http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2008/Docs/index.htm

1. Diklat AMDAL (Tipe A, B dan C)


2. Penyusunan Sosialisasi Program 5 Tahunan BPLHD
3. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Penerbitan Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC) Termasuk Inventarisasi yang Belum
Memiliki IPLC
5. Penerapan Sertifikasi IPAL Domestik
6. Penyusunan Draft Perubahan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 189 Tahun
2002
7. Penyusunan Draft Perubahan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2863 Tahun
2001
8. Penilaian AMDAL
9. Pengawasan Pelaksanaan RKL-RPL dan UKL-UPL pada Tahap Konstruksi
10. Kajian Lingkungan Strategis (KLS) Pantura dan Kepulauan Seribu
11. Peremajaan Blok Perkotaan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan pada Kasus Wilayah
Perkotaan di DKI Jakarta (Kota Tua)
12. Pelaksanaan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok
13. Penerapan Penegakan Hukum Satu Atap
14. Penerbitan Izin Operasional dan Penunjukan Laboratorium Lingkungan
15. Pembinaan Forum Laboratorium Lingkungan
16. Kejian Strategis Perubahan UPT menjadi BLU Berbasis Kinerja dan Kemitraan
Pemerintah Swasta
17. Pelaksanaan P3LE (Pengamatan, Pemantauan, dan Pengendalian Lingkungan dan
Evaluasi) dalam rangka PBLL (Pantai Bersih Laut Lestari)
18. Pelaksanaan Pengendalian Limbah Cair di Segmen Sungai Prioritas (PROKASIH)
19. Pelaksanaan Program Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) di Provinsi DKI Jakarta
20. Penyusunan Raperda Pengendalian Pencemaran Air
21. Penyusunan Mekanisme Kalibrasi Bengkel Pelaksana Uji Emisi
22. Pengendalian Pencemaran Udara dan Sumber Tidak Bergerak/Industri (Program Udara
Bersih)
23. Penentuan Kriteria Bengkel Pelaksana dan Teknisi Uji Emisi Sepeda Motor
24. Workshop Penerapan Kebijakan (Pergub) Pemanfaatan BBG/Biofuel

25. Pembinaan Gerakan Apresiasi Emisi Bersih (AEB) dan Mitra Emisi Bersih (MEB)
26. Pelaksanaan dan Evaluasi Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) pada Kawasan
Tertentu
27. Sertifikasi Bengkel Pelaksana dan Teknis Uji Emisi
28. Supervisi Pelaksanaan SPM Uji Emisi
29. Pelaksanaan Uji Petik Emisi Kendaraan Bermotor
30. Pelaksanaan Program SUPER di Pesisir Pantai
31. Koordinasi dan Pembinaan Pengelolaan Limbah Padat (sampah)
32. Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah B3
33. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pergub tentang KDM yang dilaksanakan oleh Unit
Terkait
34. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Dokumen Lingkungan Kegiatan
Usaha (yang sudah beroperasi)
35. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Udara Ambien dan Roadside (termasuk ISPU)
36. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Perairan Laut dan Muara Teluk Jakarta
37. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Air Sungai
38. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Air Situ/Waduk
39. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Air Tanah

3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3

40. Penyusunan Rencana Kerja/Program 5 Tahun Pemantauan Kualitas Udara Ambien


41. Evaluasi dan Penyusunan Rencan Kerja/Program 5 Tahun Pemantauan Kualitas Air
42. Penerapan CDM di Busway dan Pengelolaan Sampah
43. Relokasi Stasiun Pemantau Kualitas Udara Otomatis
44. Implementasi Penggalakan/Edukasi Pembangunan Resapan Air (Sumur Resapan, Kolam
Resapan, Biopori)
45. Mitigasi Dampak Bencana Lingkungan
46. Pelaksanaan Pekan Penghijauan dan Konservasi Alam Nasional (PPKAN)
47. Pameran Flora dan Fauna
48. Seminar Nasional Air dan Udara
49. Pemetaan Ekologis Daerah Perbatasan
50. Pembuatan Detail Plan Penataan Sungai Dalam Rangka Prokasih
51. Sosialisasi Sumur Resapan Melalui Media TV
52. Pengelolaan Website BPLHD Provinsi DKI Jakarta
53. Kampanye Pengendalian Pencemaran Udara (Perda No.2 Tahun 2005) dan Uji Emisi di
20 Mal
54. Pengembangan dan Implementasi Lanjutan Sistem Informasi BPLHD
55. Penyusunan Brosur, Leaflet, Booklet, Stiker, Poster, dan Kliping (Harian Berita
Lingkungan)
56. Sosialisasi Pengendalian Pencemaran Udara
57. Pameran Pembangunan Berkelanjutan
58. Hari Lingkungan Hidup Tahun 2008
59. Peningkatan Publikasi Informasi Lingkungan Hidup melalui Media Massa Cetak dan
Elektronik
60. Pemberdayaan Warga Madani (Formapel)
61. Penyusunan Buletin Lingkungan Hidup
62. Penyusunan Neraca Sumber Daya Alam Daerah Provinsi DKI Jakarta
63. Penyusunan Status Lingkungan Hidup
64. Seleksi Calon Penerima Kalpataru Tingkat Provinsi DKI Jakarta
65. Koordinasi dan Pembinaan Program Adipura
66. Pelaksanaan Penilaian Program ADIPURA
67. Evaluasi Konerja Pengelolaan Lingkungan TPA Bantar Gebang
68. Kampanye No Tobacco
69. Panduan dan Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Terpadu Lintas Sektor dan Masyarakat
Berbasis Manajemen Sumberdaya di Pesisir Pantura dan Muara Sungai
70. Penilauan / Lomba Kampung Ramah Lingkungan
71. Pelaksanaan Green School dan Adiwiyata (SD, SMP dan SMA)
72. Kampanye Pengelolaan Air Limbah Domestik (Pergub No.122 Tahun 2005)
73. Pemeliharaan dan Operasionalisasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
74. Pengadaan Bahan Kimia (Reagent) dan Gas serta Standard Reference Material (SRM)
75. Penerapan Kewajiban Tahunan Laboratorium yang Terakreditasi
76. Verifikasi Data dan Mampu Telusur Hasil Pengujian
77. Pemeliharaan Jaminan Mutu dan Pengendalian Mutu UPT Laboratorium Lingkungan
BPLHD Provinsi DKI Jakarta
78. Pemeliharaan dan Pengadaan Suku Cadang Stasiun Pemantau Kualitas Udara Otomatis
(termasuk SPKU Mobile Station dan Kendaraan Operasional)
79. Pengadaan Peralatan Uji Mercury Analyzer
80. Pemeliharaan dan Perawatan Peralatan Pengujian Laboratorium Kimis Fisik dan
Laboratorium Mikrobiologi (termasuk Kalibrasi)
81. Pengembangan Metode Uji Laboratorium Mikrobiologi
82. Operasionalisasi Sarana Apung
83. Pemantauan Kualitas Air Situ / Waduk
84. Penyusunan SOP tentang Pengambilan Sampel Air
85. Pengembangan Metode Uji Laboratorium Kimia Fisik
86. Pendataan dalam Rangka Pendukung Kasus Lingkungan

4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3

87. Penanganan Limbah B3 dan Bahan Kimia Kadaluarsa


88. Pemantauan Kualitas Air Sungai
89. Pemantauan Kualitas Perairan dan Muara Teluk Jakarta
90. Pemantauan Kualitas Air Tanah
91. Penyusunan SOP tentang Pengambilan Sampel Udara Ambien dan Bising
92. Pengadaan Alat Pemantauan Kualitas Udara (Dedicated)
93. Pemeliharaan dan Perawatan Peralatan Pengujian Laboratorium Udara dan Bising
(termasuk SPKU Manual Aktif & Kalibrasi Peralatan SPKU)
94. Optimalisasi Penggunaan Mobile Station Pemantau Kualitas Udara
95. Pengumpulan Data Kualitas Udara Ambien (stasiun manual)
96. Pengumpulan Data Kualitas Udara Ambien (ISPU)
97. Pengumpulan Data dalam Rangka Pelaksanaan KUDR (Kualitas Udara Dalam Ruang)

5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3

3.3. Rekapitulasi Data Pegawai BPLHD Prop. DKI Jakarta, Tahun 2008
JENIS
PENDIDIKAN
KELAMIN
NO PANGKAT GOL JUM JUM
L P S2 S1 D3 SLTA SLTP SD

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

1 Pembina Utama
IVe - - - - - - - - - -
2 Pembina utama Madya
IVd - - - - - - - - - -
3 Pembina Utama Muda IVc
1 - 1 1 - - - - - 1
4 Pembina Tk. I
IVb 5 2 7 4 3 - - - - 7
5 Pembina
IVa 5 2 7 6 1 - - - - 7
6 Penata Tk. I IIId
31 13 44 8 33 3 - - - 44
7 Penata IIIc
14 21 35 9 23 1 2 - - 35
8 Penata Muda Tk. I IIIb
29 12 41 - 9 3 29 - - 41
9 Penata Muda IIIa -
9 12 21 - 12 2 7 - 21
10 Pengatur Tk. I IId
5 7 12 - 1 6 5 - - 12
11 Pengatur IIc
9 2 11 - 2 2 7 - - 11
12 Pengatur Muda Tk.I IIb
2 - 2 - - - - 2 - 2
13 Pengatur Muda IIa
3 1 4 - - - 1 - 3 4
14 Juru Tk. I Id
1 - 1 - - - - 1 - 1
15 Juru Ic
1 - 1 - - - - - 1 1
16 Juru muda Tk. I Ib
- - - - - - - - - -
17 Juru muda Ia
- - - - - - - - - -
18 PTT -
14 8 22 - 2 3 17 - - 22

JUMLAH 129 80 209 28 86 20 68 3 4 209

Sumber: Status Lingkungan Hidup Propinsi DKI Jakarta 2008.

6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB IV : SUMBER PENCEMARAN
Tabel : 2A.1 - A.6 : BEBAN LIMBAH CAIR DAN PENCEMARAN AIR DARI SUMBER EFFLUENT INDUSTRI
Propinsi : DKI JAKARTA
Tahun : 2004

PRODUKSI VOLUME LIMBAH BOD


INDUSTRI DAN PROSES SATUAN
ribu satuan m3 per ribu m3 kg per ton per
per tahun satuan per tahun satuan tahun
(01) (02) (03) (04) (05) (06) (07)

AGRO INDUSTRI
1110a. Jumlah Sapi ekor 0.21 20.20 4.24 250.00 52.50
1110b. Jumlah babi ekor - 1.60 - 28.40 -
1110c. Jumlah ayam ekor 54.86 0.04 2.19 1.40 76.80
1110d. Jumlah kambing/domba ekor 6.50 1.80 11.70 36.60 237.90
1110f. Jumlah itik ekor 41.38 0.04 1.66 1.40 57.93
1110g. Jumlah sapi perah ekor 3.61 - - 539.00 1,945.79
1110h. Jumlah ayam petelur ekor 88.00 - - 4.60 404.80
Sub-total(1) 19.79 2,775.73
PENGOLAHAN MAKANAN
3111a. Rumah potong hewan ton lwk 39.00 0.01 0.21 6.40 249.60
3111c. Pengolahan unggas ribu unggas 105.00 37.50 3,937.50 11.90 1,249.50
3112. Hasil olahan susu ton susu 3,473.06 2.40 8,335.34 5.30 18,407.22
ton keju 0.00 0.00 0.00 18.00 0.00
3113. Pengalengan buah dan sayur ton buah 0.70 11.30 7.91 3.90 2.73
3114. Pengalengan ikan ton udang 7.80 23.00 179.40 130.00 1,014.00
3114. Pengalengan ikan ton 3.50 23.00 80.50 7.90 27.65
3115b. Pemurnian minyak sayur ton minyak 16.80 57.50 966.00 12.90 216.72
Pemurnian minyak sayur ton margarin 0.00 57.50 0.00 180.00 0.00
Pemurnian minyak sayur Cl ton CPO 2,500.00 57.50 143,750.00 142.50 356,250.00
3116. Pengolahan biji bijian ton 0.21 0.65 0.14 1.10 0.23
3117. Mie ton 87,500.00 - - 0.75 65,625.00
3119.Coklat dan permen ton 6.00 - - 13.40 80.40
3121a. Gula dan glukosa ton 45.00 33.00 1,485.00 13.40 603.00
31220 Kopi Bubuk ton 0.30 - - 625.00 187.50
3123 Es Batu ton 750.00 - - - -
41242. Tempe ton kedele 1,250.00 - - 20.00 25,000.00
41242. Tahu ton kedele 65.00 - - 65.00 4,225.00
3124. Kecap ton kedele 35.00 - - 20.00 700.00
Sub-total(II) 158,742.00 473,838.55
INDUSTRI MINUMAN
3133d. Produksi minuman anggur m3 anggur 0.10 4.80 0.48 0.26 0.03
3134. Minuman ringan ton produk 45.00 7.10 319.50 3.15 141.75
Sub-total(III) 319.98 141.78
INDUSTRI PEMBUATAN TEKSTIL
3211c. Katun ton produk 1,250.00 317.00 396,250.00 155.00 193,750.00
3211d. Rayon ton produk 720.00 42.00 30,240.00 30.00 21,600.00
3211f. Nilon ton produk 390.00 125.00 48,750.00 45.00 17,550.00
3211g. Akrilik ton produk 67.00 210.00 14,070.00 125.00 8,375.00
3211h. Poliester ton produk 750.00 100.00 75,000.00 185.00 138,750.00
Sub-total(IV) 564,310.00 380,025.00

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


INDUSTRI KULIT
3231. Penyamakan kulit ton produk 0.50 52.00 26.00 89.00 44.50
Sub-total(V) 26.00 44.50

(01) (02) (03) (04) (05) (06) (07)


INDUSTRI KAYU, OLAHAN KAYU
DAN GABUS
3311a. Kayu Lapis lembar 107.00 4.10 438.70 600.00 64,200.00
Sub-total(VI) 438.70 64,200.00
INDUSTRI KIMIA DASAR
3511. Kimia Dasar Anorganik
3511b. Asam Sulfat ton produk 45.00 1.62 72.90 0.00 0.00
3511c. Asam Nitrit ton produk 5.00 0.00 0.00 - -
3513e Resin vinyl (PVC) ton produk 675.00 12.50 8,437.50 10.00 6,750.00
3511g. Amonia ton produk 45.00 2.10 94.50 0.20 9.00
3521. Cat, pernis dan lak ton produk 2,500.00 - - 6.00 15,000.00
3522. Obat obatan :
3522c. Tetrasiklin ton produk 0.80 4,000.00 3,200.00 5,200.00
3523a. Sabun dengan pemanasan ketel ton produk 45.56 4.50 205.02 6.00 273.36
3523c. Deterjen ton produk 33.00 2.80 92.40 0.04 1.32
3523e. Deterjen Cair ton produk 0.00 5.30 0.00
3551. Ban luar dan dalam
Pabrik lama ton produk 11.64 37.00 430.68 0.36 4.19
Sub-total(VII) 12,533.00 22,037.87
INDUSTRI MINERAL NON LOGAM
3620. Gelas dan olahan gelas ton produk 45,000.00 45.90 2,065,500.00 - -
3610. Keramik dan tembikar ton produk 701.00
3632. Semen : ton produk 0.00 5.10 0.00
Sub-total(VIII) 2,065,500.00 0.00
INDUSTRI LOGAM DASAR
3710f. Pengecoran besi dan baja ton produk 4,500.00 11.60 52,200.00 - -
3720c. Peleburan aluminium sekunder ton produk 43.22 - - - -
Sub-total(IX) 52,200.00 0.00
INDUSTRI HASIL OLAHAN LOGAM
3811a. Alat Alat rumah tangga ton plat yg 30.00 55.00 1,650.00 19.30 579.00
3843. Industri mobil ton plat yg 275.00 55.00 15,125.00 19.30 5,307.50
di cat
Sub-total(X) 16,775.00 5,886.50
INDUSTRI LISTRIK DAN GAS
4101. Pembangkit tenaga MWh 2,100.00 129.00 270,900.00 2.20 4,620.00

Sub-total(XI) 270,900.00 4,620.00


Sub Total II s.d XI 3,141,744.68 950,794.20
JUMLAH 3,141,764.47 953,569.92

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta


Keterangan : Data merupakan hasil estimasi Tim dengan mengacu pada Faktor pencemaran : Djajadiningrat dan Har

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


PENGOLAHAN

COD SS TDS Minyak N

kg per ton per kg per ton per kg per ton per kg per ton per kg per
satuan tahun satuan tahun satuan tahun satuan tahun satuan
(08) (09) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16)

- - 1,716.00 360.36 80.30


- - 183.00 0.00 8.40
- - 14.60 800.96 0.51
- - 201.00 1,306.50 8.40
- - 14.60 604.15 0.51
- - - - -
- - - - -
0.00 3,071.96 0.00 0.00

- - 5.60 218.40 2.10 81.90 0.68


22.40 2,352.00 12.70 1,333.50 15.00 0.60 5.60 0.22
- - 2.20 7,640.73 3.30 750.90
- - 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
- - 4.30 3.01
16.00 124.80 9.20 71.76 4.50 35.10 1.00
16.00 56.00 9.20 32.20 4.50 15.75 1.00
21.00 352.80 16.40 275.52 882.00 14,817.60 6.50 109.20
21.00 0.00 16.40 0.00 882.00 0.00 6.50 0.00
21.00 52,500.00 16.40 41,000.00 882.00 2,205,000.00 6.50 16,250.00
0.00 0.00 1.60 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00
1.60 140,000.00
- -
21.80 981.00 9.70 436.50 42.30 1,903.50 1.20 54.00
- - - - - - - - -
- - - - - - - - -
- -
- -
- -
196,366.60 51,011.96 2,222,472.60 16,546.17

- - 0.00 0.00
- - 1.90 85.50
0.00 85.50 0.00 0.00

- - 70.00 87,500.00 205.00 256,250.00


52.00 37,440.00 55.00 39,600.00 100.00 72,000.00
78.00 30,420.00 30.00 11,700.00 100.00 39,000.00
216.00 14,472.00 87.00 5,829.00 100.00 6,700.00
320.00 240,000.00 95.00 71,250.00 150.00 112,500.00
322,332.00 215,879.00 486,450.00 0.00

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


258.00 129.00 138.00 69.00 351.00 175.50 20.00 10.00 15.00
129.00 69.00 175.50 10.00

(08) (09) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16)

77.50 8,292.50 1.10 117.70 5.10 545.70 0.00 0.00 0.24


8,292.50 117.70 545.70 0.00

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00


- - - - - - - - -
1.50 1,012.50
0.26 11.70 10.00 450.00 0.12
10.00 25,000.00 4.00 10,000.00 0.90 2,250.00

1,776.00 1,420.80
10.00 455.60 4.00 182.24 0.90 41.00 -
1.20 39.60 0.70 23.10 0.40 13.20 -
7.90 0.00 0.60 0.00

0.41 4.77 1.00 11.64 12.00 139.68 0.12 1.40


25,511.67 12,650.28 139.68 2,755.60

4.60 207,000.00 0.70 31,500.00 8.00 360,000.00 -

0.30 0.00
4.60 207,000.00 0.70 31,500.00 8.30 360,000.00 0.00 0.00 0.00

- - 0.30 1,350.00 - - 0.25 1,125.00 -


2.90 125.34 4.47 193.19 2.20 95.08 0.46 19.88
125.34 1,543.19 95.08 1,144.88 0.00

82.00 2,460.00 8.30 249.00 22.60 678.00 3.40 102.00 -


82.00 22,550.00 8.30 2,282.50 22.60 6,215.00 3.40 935.00 -

25,010.00 2,531.50 6,893.00 1,037.00 0.00

17.00 35,700.00 286.00 600,600.00 110.00 231,000.00 0.15 315.00

35,700.00 600,600.00 231,000.00 315.00


820,467.11 915,988.13 3,307,771.56 21,808.66
820,467.11 919,060.10 3,307,771.56 21,808.66

rsono (1989) dan WHO (1982)

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


N Lainnya

ton per kg per ton per


tahun satuan tahun
(17) (18) (19)

16.86
0.00
27.98
54.60
21.10
-
-
120.55 0.00

26.52 0.06 2.34


-
-
0.00 0.00
-
7.80 -
3.50 -
-

-
-
-
- - -
- - -
-
-
-
37.82 2.34
-
-
3.70 alkali -
0.00 0.00
-
-

-
-
-
0.00 0.00

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


7.50 3.50 Cr 0.00
7.50 0.00
bersambung

sambungan
(17) (18) (19)

25.68 0,5 Pher 0.00


25.68 0.00

0.00 0.00 0.00 0.00


- - -

5.40

- - -
- - -

5.40 0.00 0.00

- - -

0.1 Alkalinitas
0.00 0.00 0.00 0.00
-
- - -
4.20 F 181.52
0.00 4.20 0.00 181.52

- 0.13 Cr 3.90
- 0.13 Cr 35.75

0.00 0.26 0.00 39.65

0.13 Cr

0.00 Cr
76.40 223.51
196.95 223.51

Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010


Lampiran 1

Tabel 1.5.1. Sentra Industri Kecil Jakarta Pusat

NO SENTRA KOMODITI ALAMAT STATUS JUMLAH


JL. Kebon Kosong –
1 Kebon Kosong Tempe Ada 15
Kemayoran
Jl. Kampung Rawa
2 Kampung Rawa Tempe Ada 150
Kec Johar Baru
Jl. Karet Tensin -
3 Karet Tensin Tempe Ada 87
Tanah Abang
Jl. Serdang –
4 Kel Serdang Tempe Ada 100
Kemayoran
Jl. Rawa Sari - Johar
5 Rawa Sari Tahu/Tempe Ada 100
Baru
KPKJ Cempaka JL. Cempaka Putih
6 Kerupuk Ada 4
Putih Barat XIX Rt.007/07
JL. Batu Tulis. Kebon
7 Batu Tulis Batu-Batuan Ada 35
Kelapa
JL. Kebon Sirih Timur
8 Kebon Sirih Kap/Jok Ada 40
Dalam No. 54
Blok A Lt II Los C
Tas/Sepatu
9 Tanah Abang No.19 Ps Tanah Ada 15
(KPPS)
Abang
Celana Panjang JL. Letjen Suprapto
10 Kabel Pendek Ada 20
Jeans Rt.009/07
JL. Panca Marga IV/1
11 Karet Tensin Kulit Reptil Tidak Ada 0
Rt.009/03
12 Ps. Senen Penjahit Blok II Lt.2 Ps. Senen Ada 50

13 Kramat Pulo Pakaian Jadi Jl. Kramat Pulo Gundul Ada 17


Pemasangan JL. Hasyim Ashari Kel
14 Suri Pulo Ada 6
Krey/Awning Duri Pulo
15 Paseban Logam Jl. Paseban Salemba Ada 6
Jl. Bendungan Jago
16 Bendungan Jago Kompor Ada 4
Rt.009/01. Kemayoran
JUMLAH 649
Sumber: Jumlah Sentra Industri Kecil di 5 Wilayah DKI Jakarta 2006
Portal Industri & Perdagangan Jakarta, http://www.jakartatradein.com/html_view.aspx?i=28

Universitas Indonesia 1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 1

Tabel 1.5.2. Sentra Industri Kecil Jakarta Utara

NO SENTRA KOMODITI ALAMAT STATUS JUMLAH


Komp. PHPT Muara
1 MUARA ANGKE ikan asin Ada 1
Angke
2 MUARA ANGKE ikan asin Jl. Pelelangan Ikan Ada 1
3 CAKUNG Tahu/Tempe Jl. Tipar Cakung Ada 2
Jl. Delima Kel. S.
4 CAKUNG Tahu/Tempe Ada 1
Bambu
Jl. Sunter Jaya
5 SUNTER Tahu/Tempe Ada 159
Kemayoran
Jl. Yos Sudarso
6 KLP GADING Tahu/Tempe Ada 2
Kelapa Gading
Jl. A. Teluk Gong
7 MUARA ANGKE Tahu/Tempe Ada 3
Penjagalan
8 KOJA Kerajinan Kerang JL. Luar Batang II/10 Ada 3
JL. Cipucung Raya No.
9 KOJA Topi Laken Ada 5
9 Koja
10 ANCOL Aneka Kerajinan Ps. Seni Jaya Ancol Ada 50
11 ANCOL Kapal Kayu Kel Kalibaru Ada 1
12 KOJA Kemeja Jl. Lorong II/19 Koja Ada 2
13 KOJA Pakaian Jadi Jl. Budi Mulia Ada 3
JL. Warakas IV. Gg
14 WARAKAS Pakaian Jadi Ada 1
VIII/55
JL. Malang Baru No.
15 SEMPER Meubel. Ranjang Ada 1
10
Jl. Kebantenan No. 1.
16 SEMPER Las, Ketok Ada 2
Semper
Jl. Rawa Badak. Ps.
17 RAWA BADAK Aneka Kerajinan Ada 5
Rawa Badak
JUMLAH 242
Sumber: Jumlah Sentra Industri Kecil di 5 Wilayah DKI Jakarta 2006
Portal Industri & Perdagangan Jakarta, http://www.jakartatradein.com/html_view.aspx?i=28

Tabel 1.5.3. Sentra Industri Kecil Jakarta Barat

NO SENTRA KOMODITI ALAMAT STATUS JUMLAH


Primkopti Kel Semanan. Kec.
1 Tahu/Tempe Ada 605
Swakerta Kalideres
Jl. Betet Dalam NO. 33
2 Tambora Mie Basah Ada 25
Tambora
Jl. KPBD Sukabumi
3 Sukabumi Pakaian Jadi
Selatan Kebon Jeruk
Ada 40
Kel Palmerah. Kec
4 Palmerah Pakaian Jadi
Palmerah
Ada 40
Kel Kota Bambu.
5 Kota Bambu Pakaian Jadi Ada 30
Palmerah
Jl. Raya Meruya Ilir
6 Meruya Mukena Ada 2
No. 16 Kembangan
Kusen Pintu & Jl. Semeru Raya.
7 Semeru Ada 20
Jendela Grogol
JUMLAH 762
Sumber: Jumlah Sentra Industri Kecil di 5 Wilayah DKI Jakarta 2006
Portal Industri & Perdagangan Jakarta, http://www.jakartatradein.com/html_view.aspx?i=28

Universitas Indonesia 2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 1

Tabel 1.5.4. Sentra Industri Kecil Jakarta Timur


NO SENTRA KOMODITI ALAMAT STATUS JUMLAH
JL. Bekasi Timur V/4
1 Cipinang Besar Tahu/Tempe Ada 45
Cipinang Besar
JL. Kebon Pala I
2 Kebon Pala Tahu Ada 139
Rt.009/04
Jl. Jeruk IV/23
3 Hutan Kayu Tahu Ada 170
Rt.009/04
Jl. Raya Bekasi Gg.
4 Jatinegara Lio Meubel Ada 45
Lio Rt.007/04
5 Jatinegara Kaum Meubel Jl. Raya Bekasi Km.17 Ada 80
Sepatu, Sikat & Jl. Lubang Buaya Kel
6 Lubang Buaya Ada 0
Kuas Lubang Buaya
Jl. Bumi Daya No. 3
7 Duren Sawit Meubel Ada 40
Rt.008/02
JL. Pahlawan Revolusi
8 Klender Meubel Ada 65
Intercchange
Jl Pahlawan Revolusi I
9 Pondok Banbu Meubel Ada 80
Rt.07/04
PD. Pasar Jaya. St
10 Rawa Bening Batu-batuan Ada 200
Jatinegara, Rw Bening
11 PIK Penggilingan Kap/Jok Jl. Raya Penggilingan Ada 7
Jl. Rasem Bale
12 Condet Pakaian Jadi Ada 0
Kembang
PIK Penggilingan Blok
13 PIK Penggilingan Pakaian Jadi Ada 242
F, E, B, C/117
14 PIK Penggilingan Tas/Sepatu PIK Penggilingan Ada 45
15 Hutan Kayu Pakaian Jadi Jl. Kemuning II/8 Ada 20
PIK Penggilingan Blok
16 PIK Penggilingan Kompor Ada 24
A No. 8
17 Pisangan Lama Kompor Pisangan Lama III Ada 40
18 Bidara Cina Kaleng Jl. Setia Bidara Cina Ada 40
Jl. Rawa Gelam V/5
19 SUIK Pulogadung Barang Logam Ada 50
Kawasan Industri PG
Percetakan PIK Penggilingan Blok
20 PIK Penggilingan Ada 51
Aneka B-122 Jaktim
JUMLAH 1383
Sumber: Jumlah Sentra Industri Kecil di 5 Wilayah DKI Jakarta 2006
Portal Industri & Perdagangan Jakarta, http://www.jakartatradein.com/html_view.aspx?i=28

Universitas Indonesia 3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 1

Tabel 1.5.5. Sentra Industri Kecil Jakarta Selatan


NO SENTRA KOMODITI ALAMAT STATUS JUMLAH
Menteng Atas
1 Menteng Atas Krupuk Ada 3
Rt.008/06 No. 26
2 Ps. Minggu Tahu/Tempe JL. Pejaten Ps Minggu Ada 60
Mampang JL. Kandang Sapi.
3 Tahu/Tempe Ada 50
Prapatan Mampang Prapatan
JL.Warung Buncit III
4 Tegal Parang Tahu/Tempe Mampang Prapatan Ada 70
V/IX
Jl. A. Rachim NO. 17
5 Kuningan Barat Tahu/Tempe
Kuningan Barat
Ada 40
JL. Sarkawi. Keb
6 Kebayoran Lama Tahu/Tempe Ada 55
Lama
7 Setia Budi Tahu/Tempe JL. Guru Mugni NO.7 Ada 35
8 Tebet Tahu/Tempe JL. Tebet Timur Raya Ada 40
JL. Cikoko Barat III -
9 Cikoko Tahu/Tempe
IV Pancoran - Jak Sel
Ada 50

10 Cilandak Tempe Jl. Tarogong Cilandak Ada 25


JL. Petogogan II
11 Kramat Pela Tempe
Kebayoran Baru
Ada 23

Jl. Ciputat Raya NO. 6


12 Pondok Pinang Meubel Ada 40
Rt.003/02
13 Pondok Pinang Alat Olahraga Pondok PInang Tidak Ada 0
Pertukangan
14 Utara
Kain Lap Pertukangan Utara Tidak Ada 0
Jl. H. Buang No. 17
15 Ulujami Peci
RT.002/07 Ulujami
Ada 25
Jl. Buncit Raya (UPT
16 Kalibata Pulo Pakaian Anak
Kalibata Pulo)
Ada 400
17 Karet Kuningan Sepatu/Sandal JL. Pelita No. 1 Karet Ada 2
Jl. H. Nur. No. 3
18 Pejaten Pakaian/Mukena Ada 55
Pejaten
Jl. Samudera
19 Cipulir Pakaian Jadi
Rt.007/06 Cipulir
Ada 50
Mampang JL. Tegal Parang
20 Prapatan
Pakaian Jadi
Utara I No. 10
Ada 50
JL. Mampang
21 Tegal Parang Pakaian Jadi Prapatan VI NO. 77 Ada 70
RT.011/02
Jl. Mesjid No. 16
22 Cidodol Pakaian Jadi
Kebayoran Lama
Ada 200

Jl. Kebon Nanas I/1


23 Kebon Nanas Celana Panjang
RT.01/02 Grogol Utara
Ada 40

24 Lebak Bulus Pakaian Wanita Jl. P & K RT.001/04 Ada 24


25 Rawa Jati Sepatu/Sandal Rawajati Pancoran Ada 2
26 Bukit Duri Kusen Jl. Kp. Melayu Kecil Ada 35
Pasar Rumput Service
27 (ABE) Radio/TV/Kipas,dll
Jl. Pasar Rumput Ada 4

JUMLAH 1448
Sumber: Jumlah Sentra Industri Kecil di 5 Wilayah DKI Jakarta 2006
Portal Industri & Perdagangan Jakarta, http://www.jakartatradein.com/html_view.aspx?i=28

Universitas Indonesia 4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN

1. Latarbelakang.

Disertasi ini berjudul Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu dalam Perspektif
Sosiologi Lingkungan. Penetapan judul disertasi ini dilatarbelakangi oleh isu
dilematik yang melekat pada kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
dimana industri kecil tempe tahu termasuk didalamnya. Isu dilematik tersebut
meliputi aspek sosial ekonomi, aspek lingkungan dan aspek penegakan hukum
terutama oleh pemerintah, sebagaimana dapar divisulaisasi dan dideskripsikan
sebagai berikut:.

EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL

USAHA
INDUSTRI PENCEMARAN
KECIL TEMPE- LINGKUNGAN:
TAHU AIR & UDARA

Diagram 1.1.
Isu Dilematik Usaha Industri Kecil Tempe Tahu
Keberadaan usaha industri kecil tempe tahu memang belum memberikan sumbangan
yang berarti bagi produktivitas nasional; kegiatan produksinya cenderung menimbulkan
pencemaran air dan udara. Akan tetapi industri kecil tempe tahu memberikan manfaat
ekonomi pada kalangan masyarakat kecil; dan itu berarti ikut membantu pemerintah
dalam mewujudkan kemakmuran bagi rakyat . kecil. Akan tetapi pencemaran air dan udara
yang ditimbulkannya pada akhirnya membebani masyarkat kecil itu sendiri, termasuk
pelaku usaha.

1.1. Aspek Sosial-Ekonomi

Pendapat umum menyepakati bahwa dari aspek sosial – ekonomi,


UMKM adalah lemah, prospeknya tidak jelas, kurang menunjang produktuivitas
nasional. Di sisi lain UMKM adalah fungsional, memenuhi permintaan pasar dari
segmen tertentu dan mampu menciptakan lapangan kerja. Pendapat umum ini
dapat dijelaskan setidaknya sebagai berikut:

Sudah menjadi pendapat umum, bahwa UMKM dan terutama yang


tergolong mikro atau kecil atau skala rumah tangga, adalah fungsional bagi
masyarakat. Secara empiric juga tampak bahwa usaha kecil, mikro atau usaha

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 1


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berskala rumah tangga telah menyerap paling banyak tenaga kerja. Jumlah
mereka sangat banyak, jauh melebihi jumlah usaha berskala sedang dan besar.
Namun dari segi produktivitas jauh berada di bawah produktivitas usaaha skala
sedang dan besar. Rendahnya produktivitas tersebut disamping karena kualitas
teknologi yang dipergunakan juga rendah dan sederhana, juga karena kualitas
tenaga kerja yang pada umumnya berpendidikan rendah. Dari Survei Usaha
Terintegrasi yang dilakukan oleh BPS tahun 2003 (SUSI 2003) diperoleh
pernyataan bahwa Usaha mikro kecil atau yang lazim disebut BPS sebagai
Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga (IKKR) menyerap tenaga kerja lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok Industri Besar/Sedang (IBS). Pada tahun
2003, jumlah usaha IKKR merupakan bagian terbesar (99,25%), penyerapan
tenaga kerja sebesar 59.82% dari keseluruhan usaha sektor industri (Tabel 1.1.1.).
Namun jika dilihat dari produktivitas per-tenaga kerja dan share output-nya,
IKKR jauh berada dibawah IB/S, yaitu Rp.13,55juta/tenaga kerja atau 9,32%
(Tabel 1.1.2.).

Tabel 1.1.1.
Banyaknya Usaha danPekerja Sektor Industri menurut Golongan Industri
Tahun 2000-2003

2000 2001 2002 2003


Golongan Usaha Pekerja Usaha Pekerja Usaha Pekerja Usaha Pekerja
Industri (000 (000 (000 (000 (000 (000 (000 (000
unit org) unit org) unit org) unit org)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
I B/S 22 4.367 22 4.386 21 4.365 20 4.274
IKKR 2.599 6.291 2.538 6.110 2.729 6.566 2.642 6.364
JUMLAH 2.621 10.658 2.560 10.496 2.750 10.931 20662 10.638
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Tabel 1.1.2.
Produktivitas dan Kontribusi Sektor Industri menurut Golongan Industri
Tahun 2000-2003

2000 2001 2002 2003


Golongan Produk- Share Produk- Share Produk- Share Produk- Share
Industri tivitas Output tivitas Output tivitas Output tivitas Output
(%) (%) (%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
I B/S 143,99 91,65 167,70 91,50 166,31 89,94 196,26 90,68
IKKR 9,11 8,35 10,98 8,50 12,36 10,06 13,55 9,32
Produktivitas = output pertenaga kerja (dalam juta rupiah)
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Pendidikan tertinggi (Tabel 1.1.3.) sebagian besar pengusaha IKKR adalah


Sekolah Dasar (SD). Sedangkan partisipasi perempuan sebagai pekerja pada IKKR
adalah cukup tinggi, hampir sama dengan jumlah pekerja laki-laki kecuali pada IK
dimana jumlah pekerja perempuan kurang lebih hanya separuh dari jumlah pekerja
laki-laki.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 2


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 1.1.3.
Persentase Usaha IKKR menurut Pendidikan Pengusaha Tahun 2003

Tdk Tamaat
Jumlah Tamat Tamat
Kelompok Industri Tamat Tamat SD PT
Usaha SLTP SMTA
SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Industri Kecil 235.851 27.045 98.809 52.523 51.733 5.741
% 100,00 11,47 41,90 22,27 21,93 2,43
IKR 2.406.058 653.246 1.147.467 396.627 193.251 15.467
% 100,00 27,15 47,70 16,48 8,03 0,64
IKKR 2.641.909 680.291 1.246.276 419.150 244.984 21.208
% 100,00 25,75 47,18 17,00 9,27 0,80
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Jadi pada dasarnya usaha mikro dan kecil adalah merupakan katup
pengaman untuk mengatasi pengangguran penduduk berpendikan rendah.

Status hukum mereka juga tidak jelas. Pada umumnya mereka memang
merupakan bentuk usaha yang tidak berbadan hukum. Bisa diduga, mereka juga
tidak memiliki NPWP. Mereka juga tidak melakukan pencatatan asset atau
pembukuan keuangan yang disahkan oleh akuntan publik. Akibatnya ketika
mereka mengalami masalah permodalan, mereka sulit memperoleh bantuan yang
mencukupi dari bank. Namun demikian mereka ini tetap dibutuhkan oleh segmen
pasar tertentu yang mengutamakan harga produk ”yang penting murah dan
memenuhi kebutuhan”. Mengenai wilayah pemasaran, hampir seluruh IKKR
melakukan produksi hanya mampu memenuhi permintaan pasar domestik.
Wilayah pemasaran luar negeri hanya dilakukan 2,46% IK dan 0,81 IKR (Tabel
1.1.4.).

Tabel 1.1.4.
Persentase Usaha IKKR menurut Wilayah Pemasaran
Tahun 2003
Wilayah Pemasaran
Kelompok Industri
Domestik Luar Negeri
(1) (2) (3)
IK 97,54 2,46
IKR 99,19 0,81
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan tenaga kerja dan kemampuan


permodalan, kemampuan jangkauan pemasaran yang pada umumnya tidak dapat
menembus pasaran luar negeri, adalah dapat dimengerti. Sumber permodalan
IKKR pada umumnya adalah modal sendiri (Tabel 1.1.5.). Peranan kredit
perbankan untuk membantu permodalan IKKR cenderung rendah karena
pengusaha tidak memiliki agunan (Tabel 1.1.6.)..

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 3


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 1.1.5.
Persentase Usaha IKKR menurut Sumber Modal dan
Asal Pinjaman Utama Tahun 2003
Uraian IK IKR
(1) (2) (3)
1. Sumber Modal
• Modal sendiri 68,10 82,62
• Modal sendiri dan pinjaman 30,83 16,04
• Seluruhnya dari pinjaman 0,98 1,09
• Lainnya 0,09 0,25
J U M L A H 100,00 100,00
2. Asal PinjamanSumber Modal
• Bank 30,91 8,93
• Koperasi 3,01 2,62
• Modal Ventura 0,89 1,33
• Lembaga Keuangan Non Bank 0,59 0,12
• Keluarga 17,24 39,26
• Perorangan 11,61 8,82
35,75 38,92
• Lainnya
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Tabel 1.1.6.
Persentase Usaha IKKR yang Modal Pinjamannya
di luar Bank menurut Jenis Alasan Tahun 2003

Uraian IK IKR
(1) (2) (3)
Alasan tidak meminjam ke Bank
• Tidak punya agunan 28,80 32,30
• Tidak tahu prosedur peminjaman 15,90 17,84
• Prosedur terlalu sulit 9,48 14,79
• Suku Bunga tinggi 9,24 10,42
• Tidak berminat 36,32 23,60
• Proposalditolak 0,26 1,05
J U M L A H 100,00 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

1.2. Aspek Lingkungan.

Pendapat umum juga menyepakati bahwa lingkungan semakin lama


semakin tercemar dan membahayakan kehidupan. Aneka ragam limbah memang
sering menimbulkan keresahan masyarakat. Disadari bahwa limbah tersebut
bukan saja berasal dari usaha skala besar tetapi juga berasal dari industri rumah
tangga/usaha kecil. Akibat akumulasinya, limbah yang masuk ke lingkungan
akan membuat menurunnya daya dukung lingkungan dalam menunjang kegiatan
ekonomi, termasuk kegiatan usaha kecil. Kalaulah kegiatan ekonomi termasuk
kegiatan usaha kecil tetap harus berjalan, namun biaya yang harus dikeluarkan
untuk meningkatkan daya dukung lingkungan dan juga untuk mengatasi dampak
kerusakan lingkungan akan membebani kegiatan ekonomi itu sendiri. Dari segi

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 4


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ekonomi maupun lingkungan. Ditinjau dari wacana mengenai sustainable
development yang telah disepakati secara internasional, maka hal tersebut adalah
masalah. Elemen kunci Sustainable Development ini adalah: saling hubungan dan
ketergantungan yang melipuiti aspek ekologi, sosial dan ekonomi; adanya
kesetaraan hak dan kebebasan lintas generasi dan spesies; kebijaksanaan
mengarah pada perawatan dan pencegahan – baik secara teknologis, ilmiah
maupun politis; dan adanya jaminan keselamatan dan perlindungan berbagai
kemungkinan dampak buruk kerusakan lingkungan (Lihat misalnya: Cernea
1993, Warhurst 1998), Giampietro, Kozo, Bukkens 2001, dan Castro 2004).
Karena itu dalam rangka menunjang terwujudnya sustainable development, usaha
kecil juga dituntut untuk ramah lingkungan atau environment friendly dengan
melaksanakan cleaner production. Itu adalah dilemma; dilema besar.

Badan Pusat Statistik (2005) juga melaporkan bahwa dari segi


penyebarannya, konsentrasi usaha kecil termasuk IKKR dari tahun ke tahun tidak
berubah; sebagian besar berlokasi di Jawa dan Bali. Implikasi negatif yang
mungkin dapat ditimbulkan dengan kepadatan konsentrasi IKKR di Jawa dan
Bali tersebut adalah kemungkinan menurunnya daya dukung alam di Jawa dan
Bali (Tabel 1.2.1.).

Tabel 1.2.1. Luas Wilayah, Banyaknya Usaha danPekerja IKKR menurut


Wilayah Tahun 2004

Persentase Usaha (000 unit) Pekerja (000 orang)


Luas
Wilayah
Wilayah Banyaknya % Banyaknya %
(Km2)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kawasan barat 32,48 2.136 80,85 5.192 81,59
1. Sumatera 25,44 312 11,80 777 12,22
2. Jawa dan Bali 7,04 1.824 69,05 4.414 69,37

Kawasan Timur 67,52 506 19,15 1.172 18,41


1. Nusa Tenggara 3,57 169 6,40 351 5,52
2. Kalimantan 30,37 121 4,60 310 4,87
3. Sulawesi 10,14 199 7,54 465 7,30
4. Maluku dan Papua 23,44 16 0,61 46 0,72
Indonesia 100,00 2.642 100,00 6.364 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005

Dalam Hasil Kerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2001-2004


(Kementrian Lingkungan Hidup, 2004:31-33) dilaporkan bahwa dampak
lingkungan kegiatan usaha kecil secara individual tidak begitu nyata. Akan tetapi
karena industri skala kecil umumnya terkonsentrasi dalam satu lokasi (sentra) dan
berada di lokasi pemukiman di perkotaan atau di kawasan yang kemudian secara
fisik tumbuh menjadi kota, maka dampak lingkungannya cukup besar.
Dilaporkan juga bahwa berbagai usaha kecil yang potensial mencemari
lingkungan sebagian besar belum mentaati keharusan untuk melakukan
pengelolaan limbah dengan baik. Dilaporkan bahwa air limbah dibuang ke sungai
atau selokan tanpa pengolahan lebih dahulu. Belum baiknya pengelolaan limbah
ini disebabkan antara lain oleh lemahnya permodalan yang mendorong pelaku
usaha kecil lebih beroerientasi pada peningkatan kapasitas produksi, dan juga
karena terbatasnya pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 5


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Pembinaan teknis yang telah dilakukan oleh KLH antara lain
pembangunan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sosialisasi serta uji
coba teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah. Pembangunan IPAL
diharapkan dapat menjadi contoh bagi pengelolaan lingkungan pada usaha kecil.
IPAL Percontohan di Sumedang (pengolahan limbah tahu), Garut (pengolahan air
limbah penyamakan kulit) dan Sidoardjo (penglolah air limbah electroplating),
dilaporkan memang mampu menurunkan tingkat pencemaran. Kemudian dalam
tahun 2001-2004 telah dilakukan sosialisasi di 24 propinsi dengan melibatkan
1.234 orang peserta. Namun, menurut laporan Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2004, kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan adalah
rendah. Remdahnya kesadaran masyaralat ini merupakan salah satu dari 24 (dua
puluh empat) persoalan utama pengelolaan lingkungan hidup yang sampai tahun
2004 belum dapat diatasi selama tahun 2000-2004. Gejala yang sering dilaporkan
adalah adanya split antara sikap dan praktik untuk ramah lingkungan di kalangan
usaha kecil. Sikap cenderung berhenti pada level pengetahuan dan kognitif; akan
tetapi sulit terwujud menjadi sebuah tindakan konkret (KLH, 2005).

1.3. Aspek penegakan hukum.

Kenyataan empirik menunjukkan bahwa usaha menegakan hukum


lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih
terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami
dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada. Kedua, biaya untuk
menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, pekerjaan
untuk membuktikan bahwa telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan
bukanlah pekerjaan mudah (Suara Merdeka 5 Juni 2007)

Dalam proses produksi, industri pengolahan tempe tahu yang terletak di


lingkungan pemukiman tidak melakukan pengolahan limbah sama sekali. Limbah
langsung dibuang di selokan setempat. Ciri sebaliknya adalah industri
pengolahan tahu dan tempe yang terletak di Kawasan Industri, yang harus
mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi seluruh kawasan; yaitu melakukan
pengolahan limbah sebelum limbah itu dibuang ke saluran pembuangan umum.

Dari segi penggunaan bahan baku, beberapa kali terdengar kegiatan


insustri kecil mikro sengaja mempergunakan bahan berbahaya dan beracun.
Tindakan hukum memang sudah dilakukan, namun kurang bahkan tidak efektif.
Bahkan norma agama sekalipun, harus diabaikan dengan sadar oleh pelaku demi
ekonomi.

Menurut laporan Hasil Kerja Kementerian Negara Lingkungan Hidup


(2004:31-33) pembinaan ramah lingkungan sudah dilakukan, termasuk di sentra-
sentra usaha kecil, kepada anggota sentra diberikan pengetahuan dan pelatihan
produksi ramah lingkungan agar sadar dan berusaha untuk melakukan
pengolahan limbah dan kewajiban ramah lingkungan lainnya. Namun kenyataan
yang penulis lihat adalah bervariasi, pengetahuan dan pelatihan memang sudah
diberikan, namun sampai pada pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin
ramah lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada yang tidak
sama sekali (Siswoyo, 2006).

Hasil pengamatan penulis di DKI Jakarta pada tahun 2006, industri


pengolahan tahu dan tempe yang terletak di lingkungan pemukiman tidak

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 6


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
melakukan pengolahan limbah sama sekali. Limbah langsung dibuang di selokan
setempat. Ciri sebaliknya adalah industri pengolahan tahu dan tempe yang
terletak di Kawasan Industri, yang harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku
bagi seluruh kawasan; yaitu melakukan pengolahan limbah sebelum limbah itu
dibuang ke saluran pembuangan umum.

Dari segi penggunaan bahan baku, beberapa kali terdengar kegiatan


insustri kecil mikro sengaja mempergunakan bahan berbahaya dan beracun.
Tindakan hukum memang sudah dilakukan, namun kurang bahkan tidak efektif.
Bahkan norma agama sekalipun, harus diabaikan dengan sadar oleh pelaku demi
ekonomi. Di sebuah sentra pembinaan usaha kecil tempe tahu misalnya,. semua
anggota sentra pada dasarnya sudah dibina, memiliki pengetahuan, sadar, dan
berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah lingkungan
lainnya. Namun kenyataan yang penulis lihat adalah bervariasi, pada praktiknya
ada yang konsisten dan disiplin ramah lingkungan, ada yang temporer saja ketika
ada inspeksi dan ada yang tidak sama sekali (Siswoyo, 2006).
Terungkap dalam salah satu Diklat Pengolahan Limbah Industri Kecil 12
November 2008 dimana penulis berpartisipasi sebagai peserta, bahwa beberapa
peserta memang sengaja mempergunakan bahan berbahaya dan beracun (B3)
seperti pewarna, borax dan formalin.

1.4. Aspek perspektif teoretik dan implikasinya bagi kebijakan pembangunan.

Disertasi ini mencoba memperoleh dan mengemukakan penjelasan dari


perspektif sosiologi lingkungan mengenai dampak dilematik kegiatan industri
kecil terhadap pengentasan kemiskinan namun sekaligus merusak lingkungan
sebagaimana dimaksudkan di atas.

Bersumber dari induknya yang multi paradigmatik, sosiologi lingkungan


kaya dengan perspektif. Arus utama dalam prespektif teoretik sosilogi lingkungan
adalah perspektif dari teori Tradmill of Production (ToP) mewakilik paradigma
konflik dan perspektif dari Ecological Modernization (EM) mewakili paradigma
order.
Asumsi dasar kedua teori tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu
adanya hubungan antara sistem ekonomi kapitalis dengan environmental
degradation. Sebagaimana diungkapkan oleh Catton and Dunlap (1983),
kerusakan lingkungan adalah terjadi karena adanya three competing functions of
the environment. Ke tiga fungsi itu adalah supply depot, living space dan waste
repository. Fungsi supply depot menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai
penyedia sumber daya alam yang renewable dan yang non-renewable yang
penting bagi kehidupan. Pemanfaatan yang berlebihan atas sumber daya alam ini
mengakibatkan kerusakan dan kelangkaan. Fungsi living space menunjuk pada
fungsi lingkungan sebagai habitat yang menyediakan tempat tinggal, sistem
transportasi dan prasarana penting lainnya bagi kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan yang berlebihan atas fungsi ini mengakibatkan kepadatan yang
berlebihan, kemacetan dan rusaknya habitat spesies lain. Fungsi waste repository
menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai tempat untuk menampung sampah,
kotoran, polusi industri dan barang-barang buangkan lainnya. Melampaui
kemampuan ekosistem dalam menyerap barang-barang buangan tersebut
mengakibatkan masalah kesehatan yang disebabkan oleh sampah beracun dan
kerusakan lingkungan. Perbedaannya, teori ToP beranggapan bahwa system
ekonomi kapitalis membuat terpuruknya lingkungan akibat tidak adanya
environmental consciousness, environmental awarensess, environmental attitude

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 7


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
and behavior. Sedangkan pendapat teori EM adalah sebaliknya, system ekonomi
kapitalis dan modernisasi yang penuh dengan semangat inovasi akan mampu
memperbaiki struktur dan sekaligus membimbing agent untuk memiliki
environmental consciousness, environmental awarensess, environmental attitude
and behavior. Kekuatan dan keterbatasan dari perspektif-perspektif teoretik
tersebut sudah barang tentu merupakan hal yang perlu dicermati berbagai pihak,
terutama berkenaan dengan perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi
ramah lingkungan, agar kebijakan yang dimaksud selain memenuhi persyaratan
berlaku umum namun juga sekaligus kontekstual.

Kenyataan empirik di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan-


kebijakan ekonomi dan lingkungan, disadari atau tidak disadari oleh Pemerintah,
tampak lebih berorientasi pada ideologi EM yang berorientasi pada growth dan
developmentalism. Sebagaimana diketahui, disain besar pembangunan nasional
juga berorientasi pada growth dan developmentalism.
Namun banyaknya pemberitaan mengenai protes dan sengketa yang
berkenaan dengan masalah implementasi kebijakan lingkungan, cukup menjadi
pertanda bahwa praksis ideologi EM tidak seindah dan semulus yang dijanjikan.

1.5. Usaha Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu di Perkampungan Industri


Kecil (PIK) KOPTI Semanan relevan untuk diangkat sebagai bahan
disertasi.

Pilihan studi perilaku ramah lingkungan pada usaha industri kecil tempe
tahu dan bukan pada industri kecil lainnya adalah karena alasan yang sangat
praktis. Limbah produksi tempe tahu adalah mudah di lihat dan dirasakan dengan
pancaindera, yaitu limbah air keruh dan bau busuk.

Di Jakarta terdapat 25 sentra industri tempe/tahu dengan jumlah total


2026 unit usaha. Untuk memperoleh pemahaman empirik secara lebih mendalam
mengenai bagaimana usaha industri kecil berusaha tau diusahakan untuk
melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan, penulis memilih melakukan
studi di Perkampungan Industri Kecil Primer Koperasi Tempe-Tahu Indonesia
(PIK PRIMKOPTI, atau lazimnya dibaca PIK KOPTI) Swakerta Semanan RW
011 Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Dibandingkan
dengan usaha sejenis di lokasi-lokasi yang lain, PIK KOPTI Swakerta Semanan
adalah unik, yaitu:
1) merupakan satu-satunya sentra yang secara fisik direncanakan dan
diusahakan untuk memenuhi syarat ramah lingkungan, sementara sentra yang lain
tidak karena sudah terlanjur tumbuh bersama pemukiman penduduk;
2) merupakan sentra industri tahu dan tempe dengan jumlah unit usaha
terbanyak (Lihat Lampiran Bab 1 Tabel 1.5.1 sd. 1.5.5);
3) meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara
empirik intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak
bervariasi, mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah
lingkungan temporer saja, dan pada umumnya kembali ke perilaku yang
samasekali tidak ramah lingkungan.
4) namun para tokoh masyarakat dan juga Pemda setempat tetap optimis
akan dapat mengantisipasi ketidak mulusan implementasi EM tersebut. Itulah
sebabnya judul komersial yang sedang digarap melanjutkan disertasi ini adala
Optimisme Implementasi Ecological Modernization pada Industri Kecil
Pengolahan Tempe Tahu, Percontohan di PIK KOPTI Jakarta Barat.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 8


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Perkembangan dewasa ini pada industri kecil tempe tahu, terutama yang
penulis amati di kawasan PIK KOPTI Semanan, menunjukkan tanda-tanda ke
arah lebih ramah lingkungan Pengoperasian Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL)
mulai menunjukkan hasil yang lebih efektif, bukan sekedar menetralisir bau
limbah, tetapi juga telah mampu memanfaatkan limbah tersebut menjadi gas
methan sebagai sumber penerangan. Demikian juga untuk pengelolaan sampah
sudah mulai efektif membuat lingkungan lebih bersih.

2. Perumusan Masalah:

2.1. Bagaimana intensitas praktik ramah lingkungan usaha industri kecil tempe tahu
di lingkungan PIK PRIMKOPTI Semanan?
2.2. Bagaimana respon usaha industri kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI
Semanan baik sebagai komunitas maupun sebagai individu-individu terhadap
kewajiban untuk memenuhi standard produksti ramah lingkungan?
2.3. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan respon masing-masing usaha
industri kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI Semanan baik terhadap
kewajiban untuk memenuhi standard produksti ramah lingkungan?
2.4. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan respon komunitas usaha industri
kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI Semanan baik terhadap kewajiban untuk
memenuhi standard produksti ramah lingkungan?

3. ”Ideas” sebagai ”Model Operasional” Penelitian:

Dari berbagai hasil penelitian mengenai hubungan antara usaha kecil dengan
lingkungan terutama yang berkembang di negara-negara maju (Judith Petts, Andrew
Herd and Mary O’heocha 1998; Fiona 1999; Michael T. Rock dan Jean Aden 1999;
Martin Lindell dan Necmi Karagozoglu 2001; Schaper 2002; Clare D’Souza dan
Roman Preretiatko 2002; David Hitchens, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael
Keil, dan Samarthia Thankappan 2003; Revell 2003; Ramjeawon 2004; Mark
Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede dan Chwen Sheu 2004; Andreas
Diekman dan Peter Preisendörfer 2003; Robert Emet Jones dan Riley E. Dunlap
1992/2001), dapat diperoleh satu generalisasi bahwa fenomena usaha kecil dalam
memenuhi standard ramah lingkungan adalah dilatar-belakangi banyak faktor, baik
yang bersifat resistance forces mapun yang bersifat driving forces baik pada
tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik pada
lingkup lokal maupun global.

Kemudian berdasarkan masukan-masukan empiris yang penulis peroleh pada


saat field orientation di lokasi penelitian, penulis mencoba merumuskan ideas atau
tepatnya sebagai kerangka pemikiran, bahwa intensitas atau tingkat kemampuan
usaha kecil dalam memenuhi standard ramah lingkungan, dilatarbelakangi oleh
banyak faktor dilematis, baik yang bersifat resistance forces maupun yang bersifat
driving forces baik pada tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro
institusional, baik pada lingkup lokal maupun global. Proposisi yang dapat
dirumuskan berdasarkan ideas tersebut adalah bahwa Intensitas praktik ramah
lingkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan berkemungkinan dapat
dihubungkan dengan karakteristik pemilik usaha maupun dengan karakteristik
usaha itu sendiri. Kemudian dalam kemungkinan hubungan antara karakteristik
usaha maupun karakteristik pemilik usaha dengan intensitas praktik ramah
lingkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan tersebut, mekanisme
sosialisasi dan kontrol yang dilakukan oleh komunitas setempat termasuk Pemda

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 9


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
setempat, konsumen, pemasar dan saingan setempat berkemungkinan dapat ikut
berperan.

Nilai dan Norma Lingkungan setempat


Partisipasi dalam
Persepsi Komunitas setempat MODEL
Sosialisasi dan
Persepsi Pemerintah /Pemda setempat, PEMBINAAN
Pemberdayaan
Persepsi Grosir
Persepsi Pengecer
Persepsi Konsumen
Persepsi Saingan

KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
Produk, Bahan Baku dan Energi
INTENSITAS
Permodalan, Aset, Kondisi SDM,
PRAKTIK
Jaringan Kerjasama, Perusahaan Induk
Ramah Lingkungan
KARAKTERISTIK PEMILIK: Industri Kecil
Aspek Sosial Ekonomi, Pengetahuan. Tempe Tahu
Motivasi Usaha, Persepsi dan Sikap

Diagram 1.2. I d e a s

Ideas atau kerangka pemikiran tersebut penulis tuangkan dalam beberapa


sub ideas atau sub fokus sebagai berikut:

1) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan karakteristik sosial
ekonomi pemilik usaha.

2) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan karakteristik
usaha.

3) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan partisipasi dalam
pembinaan dan sosialisasi ramah lingkungan.

4) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap konsumen.

5) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap
distributor/pengecer.

6) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap warga
sekitar.

7) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan


Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan nilai-nilai yang
dianut oleh warga setempat.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 10


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
8) Respon pemilik usaha terhadap tindakan-tindakan intervensi untuk ramah
lingkungan adalah berkemungkinan memiliki hubungan dengan cara yang
dilakukan dalam tindakan intervensi tersebut.

9) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat akomodatif terhadap intervensi


yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas.

10) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap intervensi
yang bersifat oposisi atau protes.

4. Konsep Ramah Lingkungan

Pada prinsipnya, ramah lingkungan berarti tidak mencemari lingkungan, yaitu


tidak merusak lingkungan, tidak memasukkan makhluk hidup, zat, energi dan/atau
komponen lain ke lingkungan hidup sehingga kualitas lingkungan tersebut turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (lihat Pasal 1 UU
Nomor 23 Tahun 1997).

Mengikuti konsep dari UNEP (2006), cleaner production atau kegiatan


produksi ramah lingkungan adalah pendekatan preventif dalam kegiatan produksi
yang berorientasi pada proses pengelolaan lingkungan.

Cleaner production mengutamakan pengurangan konsumsi sumber dan


mencegah munculnya generasi sampah dan polutan.

Cleaner production bukan saja merupakan peningkatan kinerja linkungan,


tetapi juga meliputi efisiensi, financial savings, guna meningkatkan kemampuan
bersaing di pasar dimana konsumen lebih peduli terhadap lingkungan.

Cleaner production adalah aplikasi kontinyu dari strategi lingkungan yang


preventif dan terintegrasi ke dalam proses-proses, produk dan jasa untuk
meningkatkan efisiensi yang menyeluruh dan mengurangi risiko-risiko bagi manusia
maupun lingkungan.

Dari segi proses, cleaner production dihasilkan dari kombinasi atas konservasi
bahan baku, air, energi, pengurangan bahan B3, pengurangan limbah B3 dan emisi
udara serta sampah selama proses produksi.

Dari segi produk, cleaner production bertujuan mengurangi dampak buruk


bagi lingkungan, kesehatan dan keselamatan sehubungan dengan masuknya produk-
produk tersebut ke dalam siklus kehidupan, mulai dari proses ekstraksi bahan
mentah, proses produksi dan konsumsi, sampai produk itu dibuang kembali.

5. Strategi dalam Pengumpulan Data.

Untuk mencapai tujuan penelitian dimana peneliti bermaksud memperoleh


informasi spesifik yang mendalam mengenai struktur sosial beserta proses-proses
yang ada, maka penelitian ini dilaksanakan terutama dengan mempergunakan
pendekatan dan strategi field study.

Penelitian ini juga bermaksud memperoleh gambaran umum mengenai


karakteristik perusahaan yang ada di lingkungan penelitian, termasuk juga

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 11


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
karateristik para pemiliknya, dan juga untuk memperoleh gambaran umum mengenai
intensitas praktik ramah lingkungan masing-masing usaha tersebut. Karena itu
penelitian ini juga mempergunakan pendekatan dan strategi survai pada masing-
masing rumah tangga/ unit usaha.

6. TEMUAN PENELITIAN.

Pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin tahu-


tempe, meskipun berada di dalam satu sentra pembinaan, namun secara empirik
intensitas ramah lingkungan pada masing-masing unit usaha tampak bervariasi,
mulai dari yang konsisten untuk tetap ramah lingkungan, ramah lingkungan
temporer saja, dan samasekali kembali tidak ramah lingkungan.

Gejala yang paling umum adalah bahwa mereka masing-masing melakukan


produksinya dengan cara yang masih kurang bahkan tidak ramah lingkungan:

6.1.1. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
tingkat pendidikan suami.

6.1.2. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
tingkat umur suami.

6.1.3. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
tingkat pendidikan isteri.

6.1.4. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
tingkat pendidikan isteri.

6.1.5. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
jumlah anak yang menjadi tanggungan.

6.1.6. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
keanggotaan mereka pada koperasi.

6.1.7. Intensitas dari praktik ramah lingkungan dalam kegiatan pengolahan


tempe tahu tersebut juga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
besar-kecilnya pemilikan aset usaha..

6.1.8. Kegiatan usaha diprioritaskan sebagai sumber penghasilan utama, dengan


tujuan utama memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok
keluarga, bukan untuk pelestarian lingkungan.

6.1.9. Yang dipikirkan oleh para pemilik usaha adalah memperoleh penghasilan
dan tidak waktu untuk memikirkan apakah kegiatan produksinya itu
ramah lingkungan atau tidak. Waktu dihabiskan untuk membuat
perencanaan dan kegiatan produksi harian.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 12


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
6.1.10. Konsumen dan pedagang pada memiliki power yang dapat memaksa
pelaku usaha untuk melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan.
Tetapi mereka cenderung tidak mempersoalkan apakah produk yang
dibeli itu diproses dengan cara ramah lingkungan atau tidak, kecuali jika
produk yang dibelinya itu rusak.

6.1.11. Akibat dari semua itu, para pengusaha memang tidak termotivasi untuk
melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan.

6.1.12. Namun secara kolektif, para perajin dapat diarahkan untuk melakukan
kegiatan produksi ramah lingkungan. Penjelasan yang dapat dikemukakan
dalam hal ini adalah:

6.1.5.1. Bermula dari tidak adanya kebiasaan dan pemahaman. Para


perajin tahu-tempe di kawasan tersebut memang tidak memiliki
kebiasaan untuk melakukan produksi ramah lingkungan; lebih-
lebih pada waktu mereka belum tinggal di kawasan PIK KOPTI
Semanan. Pada waktu itu mereka tidak memiliki atau tidak
mengenal konsep ataupun pengertian mengenai produksi ramah
lingkungan. Pada saat mereka menanggapi protes pun, pada
mulanya dilakukan bukan karena kesadaran akan produksi
ramah lingkungan.

6.1.5.2. Adanya protes dari warga sekitar sebagai pendorong. Benturan


atau protes dari warga sekitar memang merupakan salah satu
faktor pendorong utama dari proses pembelajaran tersebut.
Namun demikian proses pembelajaran tersebut tidak terjadi
secara serta-merta begitu mereka menerima protes. Protes dari
warga sekitar tersebut disertai dengan ancaman terhadap
keselamatan beberapa pengelola lingkungan PIK KOPTI
Semanan. Protes dari warga diluar kawasan tersebut sehubungan
dengan limbah air bau dari proses produksi. Protes disertai
ancaman tersebut tidak menghalangi para perajin untuk tetap
eksis dan berproduksi.

6.1.5.3. Adanya pedagang dan konsumen yang tidak mempersoalkan


proses produksi maupun limbah yang dihasilkan. Permintaan
pedagang dan konsumen cenderung tetap ada, bahkan ketika
Pemerintah menemukan beberapa kegiatan produksi tahu
terbukti telah menggunakan bahan-bahan yang dilarang karena
berbahaya dan beracun. Para pedagang dan kosumen cenderung
tidak melakukan protes terhadap proses produksi maupun
limbah tersebut.

6.1.5.4. Adanya pendekatan dialogis. Untuk menghindari protes dan


ancaman berkepanjangan yang berkemungkingan dapat berubah
menjadi tindakan-tindakan radikal anarkhis, pimpinan linkungan
PIK KOPTI mengambil inisiatif untuk berdialog dengan
pimpinan warga yang melakukan protes. Dialog tersebut telah
menghasilkan kesepakatan yang memuaskan keduabelah pihak.
Dengan demikian pada dasarnya protes warga dari luar kawasan
tersebut telah ikut memaksa wagra KOPTI Semanan untuk

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 13


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berdialog dan belajar mentransformasi diri melakukan produksi
ramah lingkungan.

6.1.5.5. Adanya usaha bersama, koordinasi dan bantuan ketersediaan


lahan dan bantuan peralatan. Bagi warga PIK KOPTI Semanan,
kegiatan produksi ramah lingkungan memang merupakan
kegiatan pembelajaran baru begitu mereka berada di lokasi PIK-
KOPTI Semanan. Dalam mencoba mengatasi masalah bau air
limbah tersebut, warga atau masing-masing unit usaha di PIK-
KOPTI Semanan tidak mampu melakukannya sendiri-sendiri,
tetapi mereka perlu melakukankannya bersama-sama dengan
fasilitas dari koperasi, dikoordinasi oleh pengurus koperasi
sekaligus pengurus lingkungan setempat. Usaha bersama yang
dilakukan adalah membuat satu dapur umum dan kolam
komunal untuk penampungan air limbah produksi. Kolam
komunal tersebut dimaksudkanuntuk menampung air limbah
produksi baik dari dapur umum maupun dari masing-masing
rumah tangga unit produksi. Dapur umum dan kolam
penampungan air limbah produksi tersebut dibangun terpisah
dari masing-masing rumah produksi. Lahan untuk lokasi dapur
umum dan kolam penampungan air limbah tersebut adalah milik
koperasi. Sedangkan peralatan untuk keberfungsian klanm
tersebut seperti mesin blower dan mesin pompa air artesis adalah
sumbangan Pemda. Demikian juga lahan untuk tempat
penampungan limbah padat termasuk sampah domestik,
disediakan oleh koperasi. Peralatan berupa mesin pengepres
sampah adalah bantuan Pemda.

6.1.5.6. Adanya bantuan teknis dari kompleks pemukiman lain yang


berkepentingan terhadap penanganan saluran buangan limbah
air. Ini adalah bentuk reaksi yang sama sekali berbeda dengan
reaksi protes. Jika reaksi protes sudah cukup mendorong warga
PIK KOPTI Semanan untuk menyadari perlunya mengelola
limbah dengan baik, maka bantuan teknis itu telah memberikan
pembelajaran yang lebih konkret dalam bentuk praktek. Warga
PIK KOPTI Semanan cenderung akomodatif terhadap bantuan-
bantuan jenis konkret dan praktis, seperti juga yang berikut ini.

6.1.5.7. Adanya bantuan teknis dan pembiayaan dari Pemerintah untuk


meningkatan keberfungsian kolam penampungan air limbah
sebagasi instalasi pengolahan limbah. Kolam yang dibuat
tersebut pada mulanya hanya sekedar penampungan air limbah
saja, yang makin lama makin berbau menyengat, yang pada
akhirnya menimbulkan beberapa kali protes dari warga sekitar.
Lalu dengan bantuan pendanaan, teknis dan peningkatan
kapasitas lokal yang dilakukan oleh Pemda yang dalam hal ini
adalah BPLH DKI dan Dinas PU DKI, kolam penampungan
tersebut dikembangkan menjadi IPAL.

6.1.5.8. Adanya bantuan pemantauan dan secara rutin dari instansi


pemerintah. Secara berkala pengurus lingkungan yang dalam hal
ini juga pengurus kooperasi, bersama dengan tim-nya dan juga
bersama dengan petugas dari Pemda melakukan pemantauan

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 14


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
terhadap keberfungsian IPAL, termasuk perawatan terhadap
peralatan IPAL. Pemantauan dan bantuan perawatan secara rutin
juga dilakukan terhadap alat pengepres sampah.

6.1.5.9. Adanya pembinaan secara berkala dari Perguruan Tinggi.


Eksistensi komunitas PIK KOPTI Semanan dengan kegiatan
pembelajarannya untuk melakukan produksi ramah lingkungan
juga memperoleh dukungan dari beberapa Perguruan Tinggi
yang melaksanakan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat di
kawasan tersebut. Tema-tema yang dilaksanakan dalam kegiatan
tersebut antara lain tentang menajemen produksi, produksi sehat
dan aman, penghematan listrik dan konservasi air, di samping
bakti sosial yang berupa dokter dan pengobatan gratis.

6.1.5.10. Kesediaan para perajin untuk belajar dan mengambil bagian


dalam mencoba melakukan prinsip-prinsip produksi ramah
lingkungan. Kesediaan ini lebih banyak berhubungan dengan
rasa ”kewajiban” yang ditanamkan pengurus lingkungan kepada
para warga. Dalam hal ini pengurus lingkungan melakukan
kontrol yang ketat terhadap partisipasi warga dalam
melaksanakan prinsip-prinsip produksi ramah lingkungan.
Dalam kegiatan pembinaan dan penyuluhan, lembaga
penyelenggara menyediakan konsumsi; dan jika penyelenggaran
kegiatan itu dilakukan di luar kawasan PIK KOPTI Semanan
maka penyelenggara menyediakan juga akomodasi, tranportasi,
bahkan uang transport.

6.1.5.11. Unit-unit produksi berada dalam satu lingkungan pemukiman


yang sama dengan peruntukan khusus bagi kegiatan produksi
tahu tempe. Ini mempermudah penanganan limbah, artinya:
IPAL dapat dibuat secara kolektif sehingga masing-masing unit
usaha tidak perlu memiliki atau membuatnya sendiri-sendiri;
pengelolaan IPAL dapat dikerjakan oleh kelompok khusus yaitu
warga setempat yang telah memperoleh pelarihan seperlunya,
sehingga masing-masing pemilik usaha tidak perlu ikut bekerja
mengurus IPAL tersebut melainkan cukup berpartisipasi melalui
iuran.

6.1.5.12. Struktur komunitas yang khas. Tanda-tanda sebagai komunitas


berstruktur sosial tunggal adalah persamaan daerah asal,
kebiasaan, lapangan pekerjaan, bahasa, tinggal di wilayah
geografis yang relatif tertutup dalam arti dikhususkan untuk
perajin tahu tempe asal Pekalongan saja, jumlahnya juga tidak
terlalu besar, wilayah teritorialnya juga tidak terlalu luas, namun
memiliki beberapa fasilitas bersama seperti masjid, sekolah,
mobil ambulan dan lahan yang cukup untuk pengolahan sampah
dan limbah produksi; dan eksistensinya disadari dan diakui oleh
pihak luar. Akan tetapi sebagai sebuah organisasi formal, yaitu
koperasi, masing-masing komponen di dalam komunitas PIK
KOPTI Swakerta Semanan memiliki status dan peran yang jelas,
diferensiasi tinggi. Hal itu bukanlah ciri struktur sosial tunggal.
Koperasi juga membentuk RT/RW sendiri, dan mulai menerima
orang luar dengan usaha kecil selain tahu-tempe untuk

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 15


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berdomisili di kawasan PIK KOPTI Swakerta Semanan dan
tidak perlu menjadi anggota Koperasi. Dengan demikian
komunitas PIK KOPTI Swakerta Semanan juga memiliki tanda-
tanda sebagai komunitas berstruktur sosial majemuk. Lebihdari
itu di dalam struktur sosial komunitas PIK KOPTI Semanan
terdapat fungsi lay persons yang sanggup menggerakkan warga
untuk peduli pengolahan limbah secara bersama dan memiliki
akses ke beberapa sumber pembinaan lingkungan..

Dari keseluruhan penjelasan tersebut diatas, maka dapat dirangkai beberapa


proposisi konklusif yaitu: bahwa produksi tradisional masal dan terkonsentrasi
pada satu lokasi yang sama cenderung menimbulkan akumulasi polusi sejenis yang
kemenggangguannya dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar; untuk mengatasi
polusi tersebut, masyarakat yang terganggu oleh polusi tersebut cenderung
merespon dengan menempuh cara atau melakukan tindakan radikal; respon
tersebut berbeda dengan tindakan yang dilakukan oleh warga pemilik atau pelaku
usaha yang lebih menginginkan cara dialog atau berunding; kelancaran jalannya
perundingan tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah setempat sebagai
pelindung dan penengah yang dihormati oleh keduabelah pihak; kesepakatan yang
dihasilkan dari perundingan itu adalah bahwa pihak pemilik atau pelaku usaha
bertanggungjawab untuk mengatasi polusi tersebut dengan cara melakukan
produksi ramah lingkungan dan juga memberikan bantuan fasilitas fisik seperlunya
untuk kepentingan kenyamanan lingkungan tempat warga yang protes; untuk
melaksanakan produksi ramah lingkungan tersebut pihak pemilik atau pelaku
usaha memerlukan bantuan dari pelindungnya yaitu pemerintah, lahan yang cukup,
kerjasama dan koordinasi antar pemilik usaha dalam satu wadah atau organisasi,
bantuan dan pembinaan kontinyu dari para active actors, kesediaan dari semua
pelaku usaha untuk menerima pembelajaran produksi ramah lingkungan, serta
memerlukan lingkungan pemukiman dan struktur sosial yang khas dengan adanya
lay persons yang memiliki kemampuan communicative action.

Proposisi-proposisi tersebut di atas merefleksikan pentingnya beberapa


pendekatan teoretik sekaligus. Teori Modernisasi Ekologis memang terverifikasi
memberikan sumbangan ideologis yang dominan. Prostes atau konflik memang
tidak dapat dihindari untuk terjadi dan tidak dapat diabaikan. Hal itu merupakan
pendorong awal terjadinya proses dialog pembelajaran ramah lingkungan. Dalam
proses selanjutnya, aplikasi ideologi ramah lingkungan tidak dapat dilepaskan dari
proses-proses sosial yang tidak dapat dijelaskan oleh Teori Modernisasi Ekologis.
Proses sosial seperti penyelesaian sengketa mengenai penanganan limbah
produksi, lebih tepat dijelaskan melalui Teori Manajemen konflik dari Ralph
Dahrendorf. Peran aktif lay persons setempat yang mampu melakukan dialogues
and communicative action dapast dijelaskan dengan mempergunakan Teori
Strukturasi dari Anthony Giddens. Kemudian pentingnya peran para aktifis
lingkungan, khususnya dari kalangan Perguruan Tinggi yang jelas-jelas
mendukung pemerintah, tampaknya memang merupakan gerakan yang disyaratkan
untuk melanjcarkan praksis Ecological Modernization.

7. REFLEKSI TEORETIK

Temuan-temuan empirik penelitian telah memberikan indikasi


adanya usaha komunitas setempat untuk belajar melakukan produksi ramah
lingkungan mengikuti model modernisasi ekologis. Penelitian ini juga telah

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 16


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mengidentifikasi adanya split pada sikap dan perilaku untuk ramah
lingkungan di kalangan para perajin tahu-tempe. Ini mengingatkan penulis
pada konstruk bahwa Attitude-Behavior Split atau lebih dikenal dengan A-B
Split sebagaimana dikemukan oleh Bell (2004:223-250) adalah bukan
sebatas lingkup mikro individual, tetapi meliputi berkaitan dengan konteks
sosial yang lebih luas. Argumen Bell ini tampaknya paralel dengan argumen
Ungar (1994) bahwa split sikap dan perilaku untuk ramah lingkungan
tersebut adalah akibat dari struktur sosial. Senada dengan temuan dan
argumen Ungar adalah kesimpulan Thapa (1999) yang menemukan bahwa
sikap tidak selamanya harus selaras dengan perilaku. Individu yang
sesungguhnya kurang atau tidak memiliki sikap ramah lingkungan bisa saja
berperilaku ramah lingkungan, dan sebaliknya ditemukan pula individu yang
memiliki sikap ramah lingkungan tetapi perilakunya tidak menunjukkan
ramah lingkungan. Semuanya ini tergantung dari norma-norma sosial yang
berlaku setempat, fasilitas dan remunerasi yang tersedia dan pengaruh
kelompok penggerak dan partisipasi orang banyak. Faktor kesempatan
tampaknya juga menjadi faktor yang signifikan yang mempengaruhi
hubungan antara sikap dan perilaku ramah lingkungan (Portinga, Steg, Vleg,
2004).
Yang masih pelu memperoleh penjelasan sehubungan dengan
dominasi faktor struktur sosial ini adalah seberapa dominan dominasi
tersebut dan bagaimana mekanismenya. Berikut ini penulis mencoba
memaparkannya:

7.1. Pada umumnya warga lingkungan penelitian khususnya para perajin


tahu-tempe tidak memiliki kebiasaan untuk melakukan produksi ramah
lingkungan; lebih-lebih pada waktu mereka belum tinggal di kawasan
KOPTI Semanan. Kegiatan produksi ramah lingkungan adalah
merupakan kegiatan pembelajaran baru setelah mereka berada di
(re)lokasi:baru dengan karakteritik fisik dan sosial baru: PIK-KOPTI
Semanan.

7.2. Konflik yang dalam hal ini adalah protes dari warga diluar kawasan
sehubungan dengan limbah air bau dari proses produksi, tidak
menghalangi para perajin untuk tetap berproduksi. Namun demikian
protes warga dari luar kawasan tersebut telah ikut memaksa wagra
KOPTI Semanan untuk belajar mentransformasi diri melakukan
produksi ramah lingkungan. Konflik dalam hal ini merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses adaptasi.

7.3. Di samping itu adanya tindakan protes dari warga lain tersebut juga
telah ikut mendorong Pemerintah dan Perguruan Tinggi peminat
masalah kesehatan lingkungan untuk memberi jalan keluar. Dalam hal
ini Pemerintah membantu warga PIK KOPTI Semanan membangun
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di lahan yang sudah ada.
Sedangkan beberapa Perguruan Tinggi memberikan penyuluhan dan
pembinaan produksi ramah lingkungan. Pemerintah setempat juga
menjalankan fungsi sebagai penengah bagi keduabelah pihak yang

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 17


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bersengketa. Hal ini mengingatkan penulis pada proposisi Dahrendorf
bahwa konflik cenderung dapat diatasi melalui peranserta pihak ketiga
yang secara struktural berada diatas kedua pihak yang sedang
berkonflik itu.

7.5. Sikap warga setempat untuk terpaksa bersedia belajar melaksanakan


produksi ramah lingkungan adalah didukung terutama oleh adanya
lahan yang cukup dan jumlah warga yang memungkinkan untuk
membiayai kelangsungan kegiatan pengelolaan limbah secara kolektif,
sebagai sufficient conditions. Tentu kedua faktor tersebut masih
memerlukan beberapa necesssary conditions seperti adanya beberapa
orang penggerak warga setempat yang memiliki kemampuan
berkomunikasi ke Pemerintah dan media massa, adanya warga yang
memiliki kemampuan untuk mengelola kegiatan, adanya bantuan
Pemerintah dan bahkan bantuan internasional, dan adanya pembinaan
dari Perguruan Tinggi sebagaimana telah disebutkan diatas.

7.5. Adanya protes radikal dari warga lain terhadap warga PIK KOPTI
Semanan sehubungan dengan limbah bau yang dihasilkan, tidak perlu
dikaitkan denga praksis teori Treadmill of Production. Langkah
praksis yang diusulkan oleh teori Treadmill of Production untuk
menghindari kemerosotan lingkungan adalah perubahan radikal pada
politik ekonomi; akan tetapi hal itu tidak terjadi. Pendekatan
perubahan sosial Treadmill of Production adalah bottom-up; ini juga
aneh bagi warga PIK KOPTI yang pada saat bermusyawarah atau
berembug lebih senang bersikap sebagai kawula dan sendika dawuh.
Karakteristik masyarakat yang demikian itu sangat kondusif bagi
praksis Ecological Modernization yang berharap bahwa modernisasi
dapat mengatasi permasalahan lingkungan tanpa harus melakukan
perubahan mendasar pada lembaga-lembaga modernitas seperti
pemerintah, ekonomi, korporasi, teknologi serta struktur sosial lainnya
yang sudah ada. Dengan demikian pendekatan perubahan sosial
menurut Ecological Modernization pada dasarnya adalah top-down.
Memang komunitas setempat cenderung menolak cara-cara yang
radikal itu dan cenderung akomodatif terhadap praktek-praktek
kelembagaan yang bersifat membina Akan tetapi berdasarkan urutan
kejadian, tampaknya tindakan radikal warga lain tersebut cukup efektif
untuk memunculkan tindakan-tindakan pembinaan. Oleh karena itu
dengan meminjam konsep dari Anthony Giddens (1998) yang juga
relevan dengan persoalan politik lingkungan, penulis mengidentifikasi
adanya dialogic democracy untuk mendukung praksis Ecological
Modernization.

Sosiologi Giddens pada dasarnya memang menolak paradigma


konflik dan sekaligus menolak paradigma order. Dalam kaitannya
dengan Ecological Modernization, Giddens (2000:61-73) berargumen
bahwa setiap keputusan untuk penerapan sains dan tekonologi yang
mendukung modernisasi ekologis tidak dapat dilepaskan dari proses-

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 18


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
proses politik. Proses politis yang terjadi di lapangan adalah
mengandung unsur bottom-up dan sekaligus top-down yang keduanya
tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan sebagai satu proses aksi dan
reaksi. Mewakili bottom dan sekaligus mewakili praksis konflik adalah
sekelompok warga sekitar yang melakukan tindakan hampir kriminal
dengan maksud untuk menghentikan kegiatan produksi di PIK KOPTI
Semanan dengan alasan kali yang melewati perkampungan warga
tersebut tercemar oleh air limbah bau yang berasal dari kegiatan
produksi di PIK KOPTI Semanan. Kemudian mewakili bottom namun
dengan semangat order adalah para Pengurus PIK KOPTI Semanan
yang bereaksi menghindar (bersembunyi) tidak melayani aksi protes
dan ancaman tersebut, namun memilih cara mendatangi pemimpin
kelompok warga yang protes tersebut untuk berunding setelah
kemarahan dan ancaman tersebut mereda. Tindakan kelompok lain
yang dapat dianggap mewakili bottom-line dan tergolong bersemangat
order adalah tindakan pihak Pengembang Perumahan Semanan Indah
yang kawasan proyeknya juga dialiri kali yang tercemar limbah bau
dari PIK KOPTI Semanan dan beberapa kegiatan pengabdian kepada
masyarakat yang dilakukan oleh beberapa Perguruan Tinggi. Tindakan
pengembang dalam hal ini jelas tidak bernuansa konflik, tapi
sebaliknya benuansa order, yaitu dengan membantu wara PIK Kopri
Semanan membangun pintu-pintu penyaringan air limbah. Motivasi
dasar tindakan pengembang tidak dapat dilepaskan dari motivasi profit
perusahaan dan kepuasan konsumen, yaitu agar kawasan tersebut tetap
laku dan agar konsumen atau penghuni perumahan yang dibangunnya
itu tidak terganggu oleh adanya bau air limbah yang mengalir melewati
kawasan tersebut. Beberapa legiatan pengabdian pada masyarakat yang
dilaksanakan di lingkungan penelitian antara lain pengobatan gratis,
penyuluhan manajemen produksi, penyuluhan hemat enregi listrik,
penyuluhan produksi ramah lingkungan, pelatihan pengolahan air
limbah, dan pembuatan sumur resapan air. Motivasi dasar kegiatan-
kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini pun tidak dapat
dilepaskkan dari motivasi peningkatan karir masing-masing dosen
pelaksana maupun motivasi prestasi kelembagaan Perguruan Tinggi.

7.6. Peran para aktivis. Para pelaku tindakan-tindakan baik yang benuansa
konflik maupun order bukanlah semua anggota populasi masing-
masing pihak atau kelompok, melainkan diwakili oleh beberapa
individu sebagai tokoh yang bertindak baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan kelompoknya. Mereka itulah yang
bertindak sebagai penggerak terjadinya proses-proses sosial tersebut.

Proposisi yang paling mendekati untuk menjelaskan kenyataan


empirik tersebut adalah salah satu proposisi Giddens mengenai
strukturasi. Sebagaimana diringkas oleh Turner (1998:491-502), Dasar
pemikiran Giddens adalah bahwa didalam sosiologi tidak pernah ada
dalil-dalil yang bersifat universal atau tidak terikat oleh waktu
sebagaimana pada ilmu alam dan biologi. Hal ini karena manusia pada

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 19


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dasarnya memiliki kapasitas untuk keagenan, sehingga dapat
melakukan perubahan terhadap organisasi sosial, dan karenanya dapat
menolak dalil-dalil yang sebelumnya dianggap universal. Salah satu
argumen Giddens adalah bahwa proses sosial dapat dikerjakan oleh lay
persons yaitu orang-orang awam yang tidak perlu merupakan agen
resmi atau profesional untuk perubahan, namun memiliki kapasitas
yang dapat memodifikasi proses-proses sosial tersebut.

Bekal yang dimiliki oleh para lay persons tersebut adalah


struktur yang sudah ada. Akan tetapi yang dimaksud dengan struktur
menurut konseptualisasi Giddens adalah aturan-aturan dan sumber-
sumber yang dimanfaatkan oleh para aktor dalam konteks interaksi.
Kecuali lay persons yang mewakili RW 08, semua lay persons yang
berinteraksi di lingkungan penelitian tampaknya berpijak pada aturan-
aturan yang bernuansa order dan memiliki kemampuan untuk
menggerakan sumber-sumber pendukung modernisasi ekologis.
Dengan kata lain, power berada pada pihak yang dominan tersebut. Itu
sebabnya proses-proses sosial yang terjadi di lingkungan penelitian
cenderung mengindisikasikan modernisasi ekologis yang bernuansa
order.

Penjelasan Giddens mengenai peran aktivis dalam lingkup mikro


tampaknya melengkapi penjelasan Etzioni (1967:173-187) mengenai
peran the active actor dalam ikut memobilisasi proses sosial. Dalam
kerangka sosiologi makro, Etzioni menyebutkan pentingnya peran
kaum profesional berpendidikan tinggi dalam ikut memberikan arahan
pada perubahan sosial. Di lingkungan penelitian, peran aktivis
profesional ini dilakukan oleh kalangan eksternal, khususnya para
dosen yang melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Kegiatan para dosen tersebut sudah barang tentu tidak rutin, tidak
selamanya atau hanya sementara saja. yang pada akhirnya membantu
lay persons setempat dalam mewjudkan produksi ramah lingkungan..

7.7. Pentingnya communicative action. Pada mulanya interaksi antara


warga RW 08 dan warga PIK KOPTI Semanan mengenai penangan air
limbah berjalan tidak lancar. Hal ini karena kedua belah pihak
bertindak dengan berpegang pada prinsip dan tujuannya masing-
masing yang pada dasarnya disjunction. Meminjam konsep dari
Habermas (Turner 1998:567-570), pola tindakan yang demikian itu
termasuk dalam tipologi teleological action, yang jika dipaksakan akan
berakibat adanya pihak yang menjadi oppressed people. Namun pada
akhirnya memang diperoleh kesepakatan setelah kedua belah pihak
dapat berinteraksi dengan cara yang memungkinkan kedua belah itu
berdialog dan saling mengerti. Dialog yang demikian itu disebut
communicative action menurut konsep Habermas.

Indikasi adanya communicative action dalam interaksi juga


dapat diamati pada saat Perguruan Tinggin melakukan kegiatan

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 20


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Pengabdian pada Mayarakat di lingkungan setempat. Para dosen
memberikan penyuluhan dan pemahaman sekaligus menampung
aspirasi produksi ramah lingkungan.

7.8. Konsep-konsep seperti dialogical democracy, communicative action,


dan konsep-konsep komunikatif dialogis lainnya untuk menunjang
terwujudnya kegiatan produksi ramah lingkungan, pada dasarnya tidak
atau kurang diperlakukan sebagai variabel indipenden dalam kerangka
pikir strukturalis order Ecological Modernization Theory dan terlebih
dalam kerangka pikir strukturalis konflik Treadmill of Production
Theory. Selain itu kedua kerangka pikir ini juga tidak atau kurang
mengedepankan pentingnya faktor lay persons - orang-orang biasa
yang bukan formal leader atau profesional. Konsep-konaep tersebut
lebih dikenal di dalam pendengkatan interaksionis Weberian atau
contructivistic.

7.9. Itu semua berarti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan


penelitian, khususnya yang memerlukan penjelasan teoretik
komprehensif dan sekaligus aplicable, maka penjelasan dengan
mempergunakan pemikiran Ecological Modernization Theory masih
kurang mencukupi meskipun sudah dilengkapi secara kritis dengan
penjelasan yang mengedepankan dialogical democracy dan
communicative action. Mengikuti Hannigan (2002), kedua model
penjelasan Ecological Modernization masih perlu dilengkapi dengan
pendekatan contructionist. Sebagaimana telah disampaikan,
pendekatan Ecological Modernization Theory menekankan aspek
order atau hubungan fungsional yang harmonik antara berbagai
kelompok yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemanfaatan
lingkungan atau yang membawa dampak pada lingkungan.
Pendekatan Ecological Modernization Theory memang mengakui
adanya kemungkinan grassroots victims akibat kerusakan lingkungan
seperti yang dilihat oleh Treadmill of Production Theory. Namun
melalui kegiatan modernisasi ekologis, hubungan fungsional antar
berbagai kelompok kepentingan seperti kelompok industri,
pemerintah, regulator, ilmuwan, kelompok-kelompok pemerhati
lingkungan, organisasi-organisasi komunitas, perdagangan, kelompok
profesional, dan juga pihak grassroots victims tersebut diasumsikan
akan dapat menemukan jalan bersama mengatasi kerusakan
lingkungan. Akan tetapi sejauh asumsi tersbut, Ecological
Modernization Theory tidak menjelaskan bagaimana mekanisme dan
proses hubungan atau interaksi antar berbagai kelompok tersebut
dalam rangka memperoleh satu kesepakatan mengenai definisi
masalah-masalah lingkungan beserta kesepakatan mengenai tindakan-
tindakan yang harus ditempuh masing-masing pihak untuk
mengatasinya.

7.10. Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah manfaat praktis dan
sekaligus teoretik, maka ketiga pendekatan tersebut harus dipakai

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 21


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
secara simultan Sebagai leader, Pendekatan Ecological
Modernization Theory memberikan arahan ideologis mengenai
reorganisasi sosial yang diperlukan, tanpa mengabaikan data dan
analisis kritis mengenai adanya dampak buruk khususnya kerusakan
lingkungan dan pihak yang menjadi korban, kemudian pendekatan
constuctionist memberikan deskripsi mengenai proses-proses
interaksional yang terjadi antar berbagai kelompok kepentingan.

8. R E K O M E N D A S I

8.1. MODEL PENGEMBANGAN USAHA KECIL RAMAH LINGKUNGAN.

Karakter studi ini adalah empirisisme dan pragmatik. Secara empirik


disain besar pembangunan nasional adalah menganut paham developmentalism
yang berorientasi pada growth. Pembangunan tidak boleh berhenti. Karena itu
tidak ada pilihan lain kecuali Ecological Modernization. Yang perlu dicermati
sekarang adalah persyaratan teknis dan sosial dari paraksis Ecological
Modernization. Optimisme menuju produksi ramah lingkungan sebagaimana
yang terjadi di lingkungan penelitian, tampaknya patut menjadi model untuk
pembangunan usaha industri kecil ramah lingkungan. Kondisi yang mendukung
optimisme itu adalah: 1) Stuktur sosial dualistik-mutualistik walaupun yang
lebih menonjol adalah homogenitasnya: satu daerah asal, satu wadah koperasi,
satu daerah teritorial administratif, satu jenis usaha, tapi banyak pembinanya. 2)
Lahan mencukupi untuk implementasi produksi ramah lingkungan, dengan tata
guna lahan terencana secara pasti dan tertutup. 3) Berbentuk koperasi, dengan
salah satu seksinya adalah Urusan Pengelolaan Limbah dan Kelestarian
Lingkungan, dan ada tokoh warga yang bersedia duduk dan mampu
melaksanakan tugas pada seksi tersebut 4) Ada Perguruan Tinggi yang membina
kawasan tersebut untuk ramah lingkungan. 5) Memiliki akses langsung dengan
beberapa departemen teknis.

8.2. AGENDA PENELITIAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN.

Secara empirik, permasalahan lingkungan pada dasarnya adalah bersifat


network and flows (Mol dan Spaargaren 2003, 2005), baik sumber, proses
maupun dampaknya adalah berbentuk network, link, mengalir dan bersirkulasi
melintasi (menyatukan) ruang maupun waktu. Dengan kata lain permasalahan
lingkungan adalah permasalahan lintas daerah, regional, lintas negara;
permasalahan global; permasalahan bersama. Karena itu keputusan-keputusan
politik yang dimaksud adalah bukan hanya keputusan politik pada tingkatan
pemerintah lokal atau pemerintah daerah, tetapi keputusan bersama sampai pada
tingkat nasional bahkan internasional. Ini berarti peran state dan juga interstate
harus menjadi variabel sentral dalam studi-studi sosiologi lingkungan. Karena
itu dalam waktu dekat ini, penelitian ini perlu dilanjutkna dengan penelitian
empirik dengan pendekatan yang bukan sekedar Environmental Sociology, tetapi
Sociology of Environmental Network atau Sociology of Environmental Flows.
Mengikuti Mol dan Spaargaren, tema-tema yang perlu diagendakan selanjutnya
adalah tema-tema mengenai definisi dari flows atau network itu sendiri yang
dikaitkan dengan persoalan-persoalan power, ketimpangan dan akses, peran
negara, tata pemerintahan dan regulasi, perlunya tata pemerintahan global dan
pendekatan civil society.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 22


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
8.3. AGENDA PENELITIAN KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASINYA.

Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997


tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan melakukan pengelolaan limbah kegiatan dan/atau
usaha, perankat kebijakan lingkungan hidup di Propinsi DKI Jakarta pada
dasarnya sudah komplit. Yang perlu dievaluasi lebih lanjut adalah
pelaksanaannya. Evaluasi mungkin sudah ada, namun publikasinya, misalnya
dalam bentuk buku atau CD Status Lingkungan Hidup Wilayah, tidak pernah bisa
populer, dan mungkin kurang memiliki efektivitas bagi peningkatan mutu
manajemen lingkungan dan peningkatan kesadaran lingkungan.

Peraturan perundangan di atas lebih banyak mengatur kewajiban-


kewajiban yang harus dipenuhi dalam kegiatan usaha kecil. Untuk peraturan
perundangan yang mengatur hak usaha kecil dapat diperhatikan misalnya UU No.
5 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Undang-undang ini lebih banyak mengatur
kewajiban Pemerintah untuk melakukan perlindungan dan pembinaan terhadap
usaha kecil. Pembinaan produksi, pengolahan dan teknologi sudah disebutkan
dalam Pasal 14, 15, 16. Bagian Penjelasan dari pasal-pasal ini disebutkan “cukup
jelas”. Menurut hemat penulis pasal-pasal ini pada dasarnya memerlukan
penjelasan yang rinci khususnya mengenai pembinaan produksi, pengolahan dan
teknologi ramah lingkungan. Yang demikian itu tidak perlu dipandang sebagai
kelemahan, justru sebaliknya memberikan peluang baik kepada pelaku usaha,
pemerintah dan seluruh stake holder untuk duduk bersama-sama mengkonstruksi
pembinaan dan pengembangan yang relevan dengan kondisi lingkungan dan
budaya komunitas setempat.

8.4. TINDAK LANJUT UNTUK PIK KOPTI SEMANAN.

Sebagaimana sudah dilaporkan, kondisi lingkungan dan budaya kawasan


PIK KOPTI Semanan adalah khas yang memungkinkan untuk lebih
memaksimalkan kebersamaan dalam pelaksanaan produksi ramah lingkungan.
Yang sedang penulis siapkan sesudah disertasi ini adalah memimpin studi
kelayakan untuk peningkatan dapur umum manjadi pabrik bersama dengan
teknologi ramah lingkungan dan ekonomis. Judul yang sedang digarap
melanjutkan disertasi ini adalah Optimisme Implementasi Ecological
Modernization pada Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu, Percontohan di PIK
KOPTI Jakarta Barat. Pendekatan utama proyek ini adalah ko-konstruktivistik,
melibatkan komunitas setempat, beberapa instansi pemerintah, beberapa
perguruan tinggi dan beberapa LSM.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 23


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TESIS 1:

EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL

PENCEMARAN
USAHA INDUSTRI LINGKUNGAN :
KECIL TEMPE- AIR & UDARA
TAHU

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 24


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TESIS 2:

EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT RESISTEN DAN
KECIL MELAWAN

KONFLIK

SENTRA PENCEMARAN KERESAHAN


INDUSTRI KECIL LINGKUNGAN : DAN PROTES
TEMPE-TAHU AIR & UDARA WARGA
SETEMPAT DAN SEKITAR
SEKITAR

1992 1998

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 25


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
TESIS 3:

PEMERINTAH EKONOMI KOOPERATIF


MASYARAKAT UNTUK
KECIL BERUBAH
MASYARAKAT
(LSM, LPPM-/PT,
SWASTA
PENYIAPAN
SENTRA
DIALOG INDUSTRI
KECIL
TEMPE-TAHU
MODERN

PENCEMARAN
SENTRA TEKNOLOGI WARGA SEKITAR
BERKURANG/
INDUSTRI KECIL PRODUKSI MENDUKUNG DAN
TEMPE-TAHU RAMAH
TIDAK MENGAMBIL MANFAAT
LINGKUNGAN MELEWATI
BATAS
TOLERANSI

1992 2005 2009 2010 2011

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 26


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAFTAR PUSTAKA

Absori (2002)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Perdagangan Bebas,: Universitas
Muhammadiyah Surakarta Press, Surakarta.

Absori (2005)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.
8, No. 2, September 2005: 221 - 237

Adam, Barbara, Ulrich Beck and Joost van Loon (2004)


The Risk Society and Beyond, Critical Issues for Social Theory, Sage
Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi

Ali, Zainuddin 2008


Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta

Anderson, Ingvar (1998)


Environmental Management Tools for SME: A Handbook, Environmental
Issues Series, European Environmental Agency, Denmark.

Aron, Raymond (1965)


Main currents in sociological thought I, Basic Books, New York

Asian Development Bank (1997)


Microenterprise Development, Not By Credit Alone,
http://www.adb.org/Documents/Books/Microenterprise/microenterprise.pdf

Asian Development Bank (2002)


Handbook on Environmental Statistics, Development Indicators and Policy
Research Division Economics and Research Department, Asian Development
Bank, April 2002,

Asian Development Bank.SME Development TA (2002)


Praktek Terbaik Dalam Menciptakan Suatu Lingkungan Kondusif Bagi UKM,
Policy Papers 2001 / 2002, Policy Paper No. 1, ADB SME Development TA
Kantor Mentri Negara Urusan Koperasi dan UKM, Jakarta ,
http://www.adbtasme.or.id/file/sme_pp01_bi.pdf

Asian Debvelopment Bank (2003)


Environment Assesment Guidlines, Asian Development Bank,
http://www.adb.org/documents/guidelines/environmental_assessment/Environme
ntal_Assessment_Guidelines.pdf

Badan Pusat Statistik (2005)


Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga 2003

Badan Pusat Statitik Provinsi DKI Jakarta (2005)


Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga DKI Jakarta 2005

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 27


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Badan Pusat Statitik Provinsi DKI Jakarta (2006)
Potret Dunia Usaha DKI Jakarta 2006, Ulasan Ringkas Hasil Pendaftaran
Perusahaan/Usaha Sensus Ekonomi 2006

Bain, Read (1928)


An Attitude on Attitude Research, American Journal of Sociology, 33 (1927-
28), pp. 940-957.

Barry, John (1999)


Environment and Social Theory, Routledge Introductions to Environment
Series, Routledge, London and New York

Bell, Michael Mayerfeld (2004)


An Invitation to Environmental Sociology, Pine Forge Press, Sage Publications
Inc; Thousand Oaks, London, New Delhi

Berger, Johannes (1994)


The Economy and the Environment, dalam Neil Smelser and Richard Swedberg
(eds) The Handbook of Economic Sociology, Princeton, NJ: Princeton
University Press, pp. 768–97

BPLH DKI Jakarta (2003)


Laporan Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 2003, http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2003/Docs/index.htm

BPLH DKI Jakarta (2004)


Kondisi Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 2004, http://bplhd.jakarta.go.id/info/laporan/LAP_GUB_12JAN05.doc

BPLH DKI Jakarta (2008)


Laporan Status Lingkungan HidupDaerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 2008, http://bplhd.jakarta.go.id/info/NKLD/2008/Docs/index.htm

Buttel, Frederick H. (2000)


World Society. The Nation State, and The Environmental Protection; Comment
on Frank, Hironaka, and Schofer, American Sociological Review, Feb. 2000, 65,
1, pp. 117-121

Buttel, Frederick H. (2001)


“Environmental Sociology and the Explanation of Environmental Reform”, Paper
presented at the Kyoto Environmental Sociology Conference, Kyoto, October
2001

Buttel, Frederck H. (2002)


Has Environmental Sociology Arrived?, Organization & Environment, Vol. 15
No. 1, March 2002, Sage Publication, pp. 42-54

Buttel, Frederick H. (2003)


Environmental Sociology and the Explanation of Environmental Reform,
Organization & Environment, Vol. 16 No. 3, September 2003, Sage Publication,
pp. 306-344

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 28


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Buttel, Frederick H. (2004)
The Treadmill of Production: An Appreciation, Assessment, ans Agenda for
Research, Organization & Environment, Sep 2004, 17, 3; ABI/INFORM Global,
pp. 323-336

Castro, Carlos J (2004)


Sustainable Development, Mainstream and Critical Perspectives, Organization &
Environment, © 2004 Sage Publications Vol. 17 No. 2, June 2004 195-225

Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E. (1980)


A New Ecological Paradigm for Post-Exuberant Sociology, The American
Behavioral; Sep/Oct 1980; 24, 1; ABI/INFORM Global

Catton, William R Jr., Dunlap, Riley E. (1980)


A New Ecological Paradigm for Post-Exuberant Sociology, dalam R. Scott Frey
ed. (2001), The Environment and Society Reader, Allyn and Bacon, Boston

Cernea, Michael M (1993)


The sociologist's approach to sustainable development, Finance & Development,
Dec 1993; 30, 4; Wilson Social Sciences Abstracts, pp. 11-13

Cohen, Maurie J. (1998)


Science and Environment: Assessing Cultural Capacity for Ecological
Modernization, Public Understand Science, 7 (1998) , IOP Publishing Ltd and
The Science Museum, UK. pp. 149-167

Comte, Auguste (1988)


Introduction to positive philosophy. Ed. by Frederick Ferré. Hackett,
Cambridge/Indianapolis

Dalberg-Larsen, Jorgen (1999/2002)


A Sociological Perspective on Environmental Law, August 1999 at the
Nordic Re-search Course “Law and the Environmental Challenge.”
RETTID 2002, http://www.rettid.dk/artikler/20020009.pdf

Deschrocher, Pierre (2002)


Natural Capitalists’ Indicement of Traditional Capitalism: A Reappraisal,
Business Strategy and the Environment, July/Aug. 2002, pp. 203-220

Diekmann, Andreas and Peter Preisendörfer (2003


Green and Green back, The Behavioral Effects of Environmental Attitudes in
Low-Cost and High-Cost Situation, Rationality and Society, Vol. 15(4) 2003:
441-472

Doyle, Timothy and Doug McEachern (2001)


Environment and Politics, Routledge Introductions to Environment Series,
Routledge, London and New York

Durkheim, Emile, (1893/1933)


The Division of Labor in Society, Glencoe, Free Press, Illinois

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 29


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Durkheim, Emile, (1895/1982)
The Rules of Sociological Method and Selected Texts on Sociology and Its
Method, Free Press, New York

Dunlap, Riley E. (2001), The Evolution of Environmental Sociology: A Brief History


and Assessment of the American Experience, R. Scott Frey ed. (2001), The
Environment and Society Reader, Allyn and Bacon, Boston, pp. 43-62
Dunlap, Riley E. (2002)
Environmental Sociology, A Personal Perspective on Its First Quarter Century,
Organization and Environment, Vol. 15 No. 1, March 2002, Sage Publications
2002

D’Souza, Clare and Roman Peretiatko (2002)


The nexus between industrialization and environment, A case studi of Indian
enterprises, Environmental Management and Health, Vol. 13 No. 1, 2002, pp.
80-97

England, Paula and Nancy Folbre (2003)


Gender and Economic Sociology, Handbook of Economic Sociology, edited by
Neil Smelser and Richard Swedberg, Russell Sage and Princeton.
http://www.cas.northwestern.edu/cics/England.pdf

Etzioni, Amitai (2004)


The Post Affluent Society, Review of Social Economy, Vol. LXII No. 3
September 2004, Routledge, http://www.tandf.co.uk/journals

Etzioni, Amitai (2002)


"The Good Society." Seattle Journal of Social Justice. Vol. 1, Issue 1
(Spring/Summer 2002) 83-96.

Etzioni, Amitai (2000)


Creating good communities and good societies, Contemporary Sociology, Vol.
29, Issue 1 (January 2000), pp. 188-195,
http://www.gwu.edu/~ccps/etzioni/A276.html

Etzioni, Amitai (1968)


"Societal Guidance: A Key to Macro-Sociology," Acta Sociologica
Scandinavian Review of Sociology, Vol. 11 (Fasc. 4, 1968), pp. 197-206.

Etzioni, Amitai (1968)


The Active Society, Theory of Societal and Political Processes, The Free Press,
A Division of Macmillan Publishing Co; Inc; New York.
Etzioni, Amitai (1967)
"Toward a Theory of Societal Guidance," The American Journal of Sociology,
Vol. 73, No. 2 (September 1967), pp. 173- 187.

Evers, Hans-Dieter (1980)


Produksi Subsistensi dan “Massa Apung” di Jakarta, PRISMA VIII – Juni
1980

Foster, John Bellamy (1999)


Marx’s Theory of Metabolic Rift: Classical Foundation for Environmental
Sociology, The American Journal of Sociology, September 1999, 105, 2

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 30


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Foster, John Bellamy (2002)
Capitalism and ecology: the nature of the contradiction, Monthly Review,
September 1, 2002,
http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m1132/is_4_54/ai_91659884

Frank, David John, Ann Hironaka and Evan Schofer (2000)


The Nation State and the Natural Environment Over the Twentieth Century,
American Sociological Review, Feb. 2000, 65, 1, pp. 96-116

Franklin, Adrian (2002)


Naature and Social Theory, Sage Publications Ltd. London

Fulkerson, Gregory M. (2000)


Environmental sociology, an Analysis of Trends, Western Michigan University,
Kalamazoo, Michigan

Hawken, Paul, Amory Lovins and Hunter Lovins (2004)


Natural Capitalism, Creating Next Industrial Revolution, Rocky Mountain
Institute. 1739 Snowmass Creek Road, Snowmass,

Geertz, Clifford (1976)


Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia, Bhratara, Jakarta,

Giampietro, Mario; Kozo Mayumi; Sandra G.F. Bukkens (2001)


Multiple-Scale Integrated Assessment of Societal Metabolism: An Analytical
Tool to Study Development and Sustainability, Environment, Development and
Sustainability; 2001; 3, 4; pp. 275-307

Gould, Kenneth A., David N. Pellow, Allan Schnaiberg (2004)


Interogating the Treadmill of Production, Everything You Wanted to Know
About the Treadmill but Were Afraid to Ask, Organization & Environment, Vol.
17 No. 3, September 2004, Sage Publication, pp. 296-316

Green Microfinance (2004)


Examples of Microfinance Impacts.
http://www.greenmicrofinance.org/Pages/EcoImpact.html

Gross, Matthias (2000)


Classical Sociology and the Restoration of Nature, the relevance of Emile
Durkheim and Georg Simmel, Organization & Environment, Sept, 13, 3, Sage
Publications, Inc. pp. 280 -284

Hannigan, John A. (2002)


Environmental Sociology, A Social Constructionist Perspectives, Environment
and Society, Routledge, London and New York

Hardesty, Donald L. (1977)


Ecological Anthropology. New Yook : John Wiley & Sons, Inc

Hitchens, David, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, Samarthia Thankappan
(2003), Competitiveness, Environmental Performance and Management of
SMEs, Greener Management International, Winter 2003; 44, pp. 45-57

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 31


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Hoesin, Helmon (2003)
Pola Pembinaan UKM dan Kaki Lima Jakarta Barat,
Pelatihan Pemberdayaan Sektor Informal Untuk Pengembangan Ekonomi Lokal,
Urban and Regional Institute, http://www.urdi.org/ILO/PDF/Lampiran-4.pdf

Huber, Joseph (1998)


“Toward Industrial Ecology: Sustainable Development as a Concept of
Ecological Modernization”, Paper prepared for the International Workshop on
“Ecological Modernization” at the University of Helsinki 10-13 September 1998

Huber, Joseph (2001)


“Environmental Sociology in Search of Profile”, Paper prepares for the Autumn
Meeting of the section “Sociology and Ecology” of the German Society of
Sociology, Bremen 9 November 2001

Jauhari, A; 2002
Pemberdayaan Usaha Kecil Ramah Lingkungan, SUARA PEMBARUAN DAILY,
18/6/2002, http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=4297

Johnson, Doyle Paul (1981)


Sociological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, John
Wiley & Sons, New York

Jones, Robert Emmet and Riley Dunlap (1992)


The Social Bases of Environmental Concern: Have They changes Over Time?,
Rural Sociology 57 (1992) pp. 28-47, Frey, R. Scott, ed. (2001), The
Environment and Society Reder, Allyn and Bacon, Singapore, pp. 164-179

Kementerian Lingkungan Hidup (2004)


Info Berita Terkini, Pengelolaan Limbah Usaha Kecil,
http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/

Kementerian Lingkungan Hidup (2004)


Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003

Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004)


Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan, Indikator Keberhasilan,
Program dan Kegiatan, Deputi Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan
Hidup - Kementrian Negara Lingkungan Hidup

Kementerian Lingkungan Hidup (2004)


Hasil Kerja Kementrian Lingkungan Hidup 2001-2004, Jakarta, hal. 31-33

Kementerian Lingkungan Hidup (2005)


Hasil Kerja Kementrian Lingkungan Hidup 2001-2004,

Kementerian Lingkungan Hidup (2005),


Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004

Keraf, Sonny A. (1991)


Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 32


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Konttinen, A (ed.) (1996)
Green Moves, Political Stalemates. Annales Universitatis Turkuensis, B 215, pp.
16-24, http://wwwedu.oulu.fi/homepage/tjarviko/nature.htm

Lal, Abhishek and Betty Meyer (2004)


An Overview of Microfinance and Environmental Management, The Global
Development Research Center, http://www.gdrc.org/icm/environ/abhishek.html

Lindell, Martin and Necmi Karagozoglu (2001)


Corporate Environmental Behavior – A Comparison Between Nordic and US
Firms, Business Strategy and the Environment, Jan/Feb. 2001, pp. 38-52, John
Wiley & Sons, Ltd and ERP Environment

Lowry, Jean (1996)


Environmental Auditing Training Package, Technical Report, Proyek
Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Ditjen Dikti Depdikbud, Jakarta

Lovins, Amory, Hunter Lovins and Paul Hawken (1999)


A Road Map for Natural Capitalism, Harvard Business Review, May-June 1999,
pp. 146-158;

Luhmann, Niklas 2007


Law as Social System, Transnational Justice Center, No.1.2007, pp. 177-195
http://journal.transnationaljustice.com/index.php/DERECHOyPODER/article/vie
w/11/14

Mill, John Stuart (1874)


On Nature, Lancaster E-text, prepared by the Philosophy Department at
Lancaster University, from Nature, The Utility of Religion and Theism,
Rationalist Press, 1904,
http://www.lancs.ac.uk/users/philosophy/texts/mill_on.htm
http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/index.htm

Mitchell, Ross E. (2001)


Thorstein Veblen, Pioneer in Environmental Sociology, Organization &
Environment, December 14, 4, Sage Publications 2001, pp. 389-408

Mol, Arthur P.J. and Get Spaargaren (2003)


“Towards A Sociology of Environmental Flows, A new agenda for 21st century
Environmental Sociology”, Paper for the International Conference on
‘Governing Environmental Flows’, Environmental Policy Group Wageningen
University and the International Sociological Association RC-24, June 13-14
Wageningen, The Netherlands,

Mol, Arthur P.J. and Get Spaargaren (2005)


“From Additions and Withdrawals to Environmental Flows, Reframing Debates
in the Enviromental Social Sciences” Organization & Environment, Vol.18
No.1, March 2005, pp. 91-107.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 33


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Muladi (1998)
Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU
No. 23 Tahun 1997, Makalah Seminar Fakultas Hukum UNDIP, Semarang,
tanggal 21 Pebruari.

Murphy, Joseph and Andrew Gouldson (1998)


Integrating environment and economy through Ecological Modernization: an
assessment of the impact of environmental policy on industrial innovation,
OCEES Research Paper No. 16, Oxford Centre for the Environment, Ethics &
Society, Mansfield Colledge, Oxford, UK

Murphy, Joseph (2001)


Ecological Modernization: The Environment and the Transformation of
Society, OCEES Research Paper No. 20, Oxford Centre for the Environment,
Ethics & Society, Mansfield Colledge, Oxford, UK

Pagell, Mark, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede and Chwen Sheu (2004)
Does Competitive Environment Influence the Efficacy of Investments in
Environmental Management?, The Journal of Supply Chain Management, 40,
3, Summer 2004, pp. 30-39

Pataki, George E, and Crotty, Erin M. (2003)


The Environmental Self-Audit for Small Business, A Quick and Easy Guide to
Environmental Compliance, Prepared for Small Business in New York State, by
Pollution Prevention Unit, New York State Department of Environmental
Conservation, New York

Pellow, David N., Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg (1999)


Putting the Ecological Modernization Thesis to the Test: The Promise oad
Performance of Urban Recysling, in Arthur PJ. Mol and David A. Sonnenfeld,
eds., Ecological Modernization Around the World: Perspectives and Critical
Debates, OR: Frank Cass & Co., Ilford (UK) and Portland

Pemda Propinsi DKI Jakarta (2002)


Renstrada Propinsi DKI Jakarta 2002-2007, copyright dkiweb@dki.go.id

Perdue William D. (1986)


Sociological Theory, Mayfield Publishing Co., Palo Alto, California

Petts, Judith, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998)


Environmental Responsiveness, Individuals and Organization Learning: SME
Experience, Journal of Environmental Planning and Management, Nov. 1998;
41, 6, pp. 711-730

Picou, Steve (1999)


“Theoretical Trends in Environmental Sociology: Implications for Resource
Management in the Modern World”, Paper presented at the Social and Economic
Planning Conference, Minerals Management Service, August 24-26, 1999, Park
City, Utah

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 34


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Portinga, Wouter, Linda Steg, Charles Vleg (2004)
Values, Environmental Concern and Enviromental Behavior, A Study into
Household Energy Use, Environment and Behavior, Vol 36, No. 1, Januaryb
2004, pp. 70-93

Satjipto Rahardjo, 2009


Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta

Ramjeawon, T. (2004)
A Case Study of Cleaner Production Opportunities In Small and Medium
Enterprises on Island of Mauritius, Electronic Green Journal, Issue 20 Spring
2004

Ratzel, Friedrich (1972)


Emile Durkheim 1899, Anthropogeographie, Book Review, dalam Anthony
Giddens
eds. Emile Durkheim Selected Writings, Cambridge University Press,
Cambridge, UK, pp.86-88

Revell, Andrea (2003)


“The Ecological Modernization of Small Firms in the UK”, Paper presented to
the Business Strategy and Environment Conference, Leicester, September 16th
2003

Rock, Michael T. and Jean Aden (1999),


Initiating Environmental Behavior in Manufacturing Plant in Indonesia, Journal
of Environment and Development, Vol 8 No. 4 Dec. 1999, Sage Publication
1999, pp. 357-735

Roy, Edward Van (1997)


Toward Comprehensive Strategy for Poverty Alleviation and The Pacific, in
Valuing the Past and Investing for the Future to Eradicate Poverty, Proceeding,
27th Regional Conference of The International Council on Social Welfare for
Asia and Pacific Region, Jakarta 2-6 September 1997, Dewan Nasional Indonesia
untuk Kesejahteraan Sosial.

Saifuddin, Ahmad Fedyani (2005)


Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma.
Jakarta : Prenada Media.

Schaper, Michael (2002)


Small Firms and Environmental Management, Predictor of Green Purchasing in
Western Australian Pharmacies, International Small Business Journal, Vol.
20(3) pp. 235-251

Scott, James, C. (1981)


Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES,
Jakarta

Seidman , Steven (1998)


Contested Knowledge, Social Theory in the Post modern Era, Second Edition,
Blackwell Publishers, Oxford

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 35


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Sibeon, Roger (2004)
RethinkingSocial Theory, SAGE Publcications, London,-Thousand Oaks-New
Delhi, chapter 2: Agency-Structure and Maicro-Macro, pp. 34-59

Smelser, Neil J. and Richard Swedberg (1996),


The Sociological Perspective on the Economy dalam Chapter 1 Neil J. Smelser
and Richard Swedberg, The Handbook of Economic Sociology, Princeton
University Press and copyrighted, (c) 1996, Princeton University Press, pp.3-24
http://www.efpu.hr/fet/dokumenti/sociologija/ekonomska_sociologija/Smelser.S
wedberg.pdf

Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg, David N. Pellow (1999)


Politicizing the Treadmill of Production: Reshaping Social Outcomes of
‘Efficient’ Recycling, Revista Internacional de SociologĂa, Vol. 19-20
(January-August), pp. 181-222

Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg, David N. Pellow (2000)


The Treadmill of Production and the Environmental State,

http://www.northwestern.edu/ipr/publications/papers/2004/schnaiberg/17_Tread
millEnvirState.pdf

Schnaiberg, Allan (2004)


Economy and the Environment, Draft on Second Edition of Handbook of
Economic Sociology, Chapter 31
Sonnenfeld, David A. (1999)
“Social Movements and Ecological Modernization: The Transformation of Pulp
and Paper Manufacturing”, Berkeley Workshop on Environmental Politics,
Institute of International Studies, University of California, Berkeley 1999

Sonnenfeld, David A. and Arthur PJ. Mol (2002)


Ecological Modernization, Governance, and Globalization, Epilogue, American
Begavioral Scientist, Vol. 45 No. 9, May 2002, pp. 1456-1461

Spaargaren, Gert (1999)


“The Ecological Modernization of Domestic Consumption”, lecture at the
Workshop on Ecological Modernization at the University of Helsinki, 10-12
September 1998, distributed for the Consumption, Everyday Life and
Sustainability Summer School 1999, Lancaster University.

Spence, Martin (2000)


Capital Agints Nature; James O’Conor’s Theory of the Second Contradiction of
Capitalism, Capital & Calss, Autum, 72, 2000:81-109

Spencer, Herbert (1959)


The Principles of Sociology from Robert Bierstedt 1959,
The Making of Society. New York: Modern Library, pp. 445-447.
http://www2.pfeiffer.edu/~lridener/DSS/Spencer/SPENCER.HTML

Srinivas, Hari (2004)


The Environmental Colours of Microfinance, Theory and Practice, The Global
Development Research Center, http://www.gdrc.org/icm/environ/environ.html

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 36


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Stinchcombe, Arthur L. (1982)
Economic Sociology, Academic Press Inc; Orlando, Florida

Swedberg, Richard (2003)


Principles of Economic Sociology, Princeton University Press

Sweezy, Paul M. (2004)


Capitalism and the Environment, Monthly Review Vol. 56 No. 5, Monday,
November 08 2004, http://www.monthlyreview.org/1004pms3.htm

Tardan, M Agus M, dkk. (1997)


Audit Lingkungan, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan Ditjen Dikti
Depdikbud, Jakarta

Thapa, Brijesh (1999)


Environmentalism: The Relation of Environmental Attitudes and
Environmentally Responsible Behaviors Among Undegraduate Students,
Bulletin of Science, Technology and Society, Vol 9, No. 5, October 1999, pp.
426-438

Tilley, Fiona (1999),


The Gap Between The Environmental Attitudes and Environmental Behaviour of
Small Firms, Business Strategy and the Environment, July/August, 199, 8, 4,
pp. 238-248.

Turner, Jonathan H. (1998)


The Structure of Sociological Theory, Sixth Edition, Wadsworth Publishing
Co., Belmont, CA, Albany, NY

Ungar, Sheldon (1994)


Apples and Oranges: Probing the Attitude-Behavior Relationship for the
Environment, Canadian Review of Sociology and Anthropology, 31 (Aug),
1994, pp. 288-304.

United Nations of Environment Programme (2006)


What is Cleaner Production?, UNEP Working Group for Cleaner Production in
the Food Industry, http://www.gpa.uq.edu.au/CleanProd/what_is_cp.htm

Urusan Limbah Usaha Kecil, Kantor MNLH. (2004)


Pengelolaan Limbah Usaha Kecil, http://www.menlh.go.id/usaha-
kecil/top/dampak.htm

Urusan Limbah Usaha Kecil, Kantor MNLH. (2004)


Data Usaha Kecil dan Agroindustri Yang Potensial Mencemari Lingkungan
http://www.mnlh.go.id/usaha-kecil/

Veblen, TB. (1899/1967)


The Theory of The Leisure Class: An Economic Study of Institution, Funk &
Wagnalls, New York

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 37


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Warhurst Alyson (1998)
Developing a Sustainable Economy: Towards a Pro-Active Research Agenda,
ESRC Global Environmental Change Programme, Environment &
Sustainability Desk Study Prepared for the ESRC April 1998

Wariyanto, Agus (2007)


Kendala Penegakan Hukum Lingkungan, SUARA MERDEKA Selasa, 05 Juni
2007

Weber, Max (1968)


Basic Terms (The Fundamental Concepts of Sociology), summary from
Economy and Society. Edited by Guenther Roth and Claus Wittich. New York:
Bedminister Press, 1968, vol. 1, pp.3-38,
http://www.spc.uchicago.edu/ssr1/PRELIMS/Theory/weber.html

Widianrko, Budi (2004)


Bias Politik dalam Kasus Pencemaran,, KOMPAS, 31 Juli 2004

World Bank (2001)


Poverty Reduction in Indonesia, Constructing a New Strategy, Report No.
23028-IND, October 29, 2001, Environment and Social Development Sector
Unit, East Asia and Pacific Region, World Bank Office, Jakarta

Wright, Erik Olin (2004)


Interogating The Treadmill of Production, Some Question I Still Want to Know
and Am Not Afraid to Ask, Organization & Environment, Vol. 1 No. 3,
September 2004, Sage Publication, pp. 317-322

York, Richard, Eugene A. Rosa, Thomas Dietz (2003)


Footprints on the Earth: The Environmental Consequences of Modernity,
American Sociological Review, Apr. 2003, 68, 2, pp. 279-300

York, Richard (2004)


The Treadmill of (Diversifying) Production, Organization & Environment; Sep
2004; 17, 3; ABI/INFORM Global, Sage Publication 2004, pg. 355-361.

Zinn, Jens (2004)


Sociology and Risk, Literature Review, Social Contexts and Responses to Risk –
An Economic and Social Research Council Network, Kent University,
http://www.kent.ac.uk/scarr/papers/Sociology%20Literature%20Review.pdf

PERATURAN PERUNDANGAN

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang : Jenis
Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 40 TAHUN 2000 Tentang :


Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 38


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang Jenis
Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 40 TAHUN 2000 Tentang


Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123, Tanggal 1
Februari 1995 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Administratif bagi
Perusahaan/Industri/Kegiatan Peserta Prokasih.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 852 Tanggal 12 Juni
1995 Tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 299 Tanggal 12
Februari 1996 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peruntukan dan Baku Mutu Air
Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 Tanggal 19 April
1999 Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tanggal 11
Mei 2000 Tentang Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI
Jakarta.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 Tanggal 25 Juli
2001 Tentang Keterlibatan Masyarakat.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tanggal 12
November 2001Tentang Sumur Resapan.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tanggal 7
Februari 2001Tentang Baku Mutu Udara Ambien.

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2863 Tanggal 4
Oktober 2001 Tentang Jenis Rencana Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan
AMDAL.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tanggal 5
Februari 2002 Tentang Jenis Usaha /Kegiatan Yang wajib dilengkapi Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tanggal 12


Januari 2005 Tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan.

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1532 Tanggal 2
Agustus 2005 Tentang Penetapan Kepengurusan Komite Evaluasi Lingkungan Kota
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tanggal 16 Februari
2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 39


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 68 Tanggal 8 Juni
2005 Tentang Sumur Resapan.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tanggal 20 Juni
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok

BERITA SURAT KABAR

SUARA PEMBARUAN DAILY, 23/9/04


Komintmen Penegakan Lingkuingan Masih Setengah Hati, (L-11/S-22/E-5)

MEDIA INDONESIA ONLINE, Rabu 1 Desember 2004


Lingkungan: Hukum Lingkungan Perlu Penguatan, (YD/V-2)

WARTA EKONOMI, Minggu, 19 April 2009 10:07


Hukuman Tidak Bikin Kapok Pelanggar LH,
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php/hukuman-tidak-bikin-kapok-
pelanggar-lh.html

WARTA EKONOMI, Senin, 20 April 2009 08:03


Lemahnya Penanganan Kasus LH di Pengadilan,
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php/kasus-lh-ditangani-lemah-
pengadilan.html

WASPADA Online, Wednesday, 16 January 2008 07:26


Dipermainkan Spekulan Karena Keenakan Impor
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=99
10:dipermainkan-spekulan-karena-keenakan-impor&catid=27:tajuk-
rencana&Itemid=102

Universitas Indonesia, Ringkasan Disertasi Edy Siswoyo 40


Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010

Anda mungkin juga menyukai