DISERTASI
Edy Siswoyo
NPM. 890405003X
DISERTASI
Edy Siswoyo
NPM. 890405003X
ii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa disertasi
ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.
Edy Siswoyo
iii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
PERNYATAAN ORISINALITAS
NPM : 890405003X
Tanda Tangan :
iv
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LEMBAR PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
v
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kepada Tuhan sumber segala hikmat, karena pada akhirnya karya
yang sederhana ini dapat penulis selesaikan. Ini bukan karena kemampuan dan kuat-
gagah penulis, tapi karena kasih, bimbingan, pertolongan, bantuan dan berbagai bentuk
peranserta dan apresiasi, dari berbagai pihak:
Namun demikian penulis tetap menyadari bahwa karya ini masih jauh dari
sempurna, banyak kekurangan di sana-sini. Hal ini terjadi semata-mata karena
keterbatasan penulis. Oleh karena penulis tetap mengharapkan bimbingan, saran dan
masukan, agar karya dapat benar-benar memiliki nilai dan manfaat yang maksimal dan
berkelanjutan bagi semakin banyak pihak.
Jakarta/Depok 2010
Edy Siswoyo
edysw2001@yahoo.com
vi
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk rangkaian data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
(Edy Siswoyo)
vii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ABSTRACT
The data are collected through field study and survey. The research findings
show that individually, the production activities of the soy bean small industries at the
KOPTI kampong totally cannot be categorized as environmental friendly. They know
and aware about these unfriendly environmental behavior realities. So, their community
leaders tray hard to look for the right way to fulfill the standard requirement of eco-
friendly production, both in the process of production and in the dump and waste
management.
The active role of the local lay person that has ability to conduct the dialogues
and communicative action, can be explain through structuration theory from the
Anthony Giddens that ecological modernist too. Then, the important of the constructive
role of the environmental activist, particularly from the universities, are the sufficient
indicators that the implementation of the ecological modernization perspective need
constructionist approach.
For the next research, this dissertation recommended to use Arthur Mol and Gert
Spaargaren’s theory of Sociology of Environmental Flows.
Key words:
Small and micro enterprises, environmental friendly, environmental sociology,
ecological modernization, treadmill of production and consumption, constructivism.
viii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ABSTRAK
Disertasi ini membahas upaya komunitas Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu
di Kawasan PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat untuk memenuhi tuntutan produksi
ramah lingkungan.
Data dikumpulkan melalui field study dan survai. Hal ini dimaksudkan agar
penggunaan hasil penelitian ini untuk mengambilan keputusan kebijakan, dapat
dilakukan dengan berpegang pada prinsip triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kegiatan industri kecil tempe tahu di Perkampungan Industri Kecil (PIK) KOPTI
Swakerta Semanan Jakarta Barat sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan
industri kecil ramah lingkungan walaupun sudah ada usaha ke arah itu. Keadaan ini
disadari betul oleh para pelaku usaha setempat. Namun secara kolektif mereka
mempunyai aspirasi ramah lingkungan, bahkan mereka sedang berusaha keras mencari
cara baru agar kegiatan produksi mereka dapat memenuhi standard ramah lingkungan
baik dari segi pengelolaan limbahnya maupun pada proses produksinya.
Kata Kunci
Usaha kecil, ramah lingkungan, sosiologi lingkungan, ecological modernization,
treadmill of production and consumption, konstruktivisme.
ix
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Lembar Pernyataan Orisinalitas iii
Lembar Pengesahan iv
Kata Pengantar v
Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah vi
Abstrak vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel.................................................................................................... xii
Daftar Diagram................................................................................................ xiv
Daftar Gambar................................................................................................ xv
Daftar Lampiran............................................................................................... xv
x
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 3 METODOLOGI ....................................................................................... 76
3.1. Konsep Produksi Ramah Lingkungan 76
3.2. Strategi Pengumpulan Data 77
a. Field Study 77
b. Survey 79
3.3. Analisis dan Penyajian Data 82
xi
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 6 USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU
DALAM DISKUSI TEORETIK SOSIOLOGI LINGKUNGAN ........... 148
6.1. Pokok Diskusi....................................................................................... 148
6.2. Konseptualisasi temuan ....................................................................... 149
6.3. Refleksi Teoretik................................................................................... 162
LAMPIRAN .............................................................................................................200
xii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan Jenisnya di DKI Jakarta, 2004
Tabel 2.9.5. Pencemaran BOD Dari Sumber Effluent Industri
Pengolahan Makanan DKI Jakarta Tahun 2004
Tabel 2.10.1.Jumlah Perusahaan menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
Tabel 2.10.2.Jumlah Tenaga Kerja menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
xiii
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 5.9.4. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Pendidikan Isteri
Tabel 5.9.5. Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan TINGKAT NILAI ASET
Tabel 5.10. Partisipasi dalam Menangani Protes Warga
xiv
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lingkungan & Kebersihan dan Pendidikan Suami
Diagram 5.9.4.Partisipasi dalam Pengelolaan
Lingkungan & Kebersihan dan Pendidikan Isteri
Diagram 5.9.5.Partisipasi dalam Pengelolaan Lingkungan & Kebersihan
dan Nilai Asset yang Dimiliki
Diagram 5.10. Cara Menangani Protes Warga
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Sentra Industri Kecil di Jakarta 2006
Lampiran 2 Tabel Sumber Pencemaran DKL 2004
Lampiran 3.1.Daftar Beberapa Peraturan Perunddangan Lingkungan Hidup
Yang Berlaku di Propinsi DKI Jakarta
3.2.Kegiatan BPLH DKI 2008
3.3.Rekapitulasi Data Pegawai BPLHD Prop. DKI Jakarta, Tahun 2008
Lampiran 4 Pedoman Pengumpulan Data
Lampiran 5 Data Hasil Field Study
Lampiran 6 Kuesioner Profil Usaha
Lampiran 7 Data SPSS
Lampiran 8 Pedoman Diskusi Kelompok Terfokus
Lampiran 9 Hasil Diskusi Kelompok Terfokus
Lampiran 10 CD.
xv
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latarbelakang.
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL
USAHA
PENCEMARAN
INDUSTRI
LINGKUNGAN:
KECIL TEMPE-
AIR & UDARA
TAHU
Diagram 1.1.
Isu Dilematik Usaha Industri Kecil Tempe Tahu
Universitas Indonesia 1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
1.1.1. Aspek Sosial-Ekonomi
Pendapat umum menyepakati bahwa dari aspek sosial –
ekonomi, UMKM adalah lemah, prospeknya tidak jelas, kurang
menunjang produktuivitas nasional. Di sisi lain UMKM adalah
fungsional, memenuhi permintaan pasar dari segmen tertentu dan
mampu menciptakan lapangan kerja. Pendapat umum ini dapat
dijelaskan setidaknya sebagai berikut:
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa UMKM dan terutama
yang tergolong mikro atau kecil atau skala rumah tangga, adalah
fungsional bagi masyarakat. Secara empirik juga tampak bahwa usaha
kecil, mikro atau usaha berskala rumah tangga telah menyerap paling
banyak tenaga kerja. Jumlah mereka sangat banyak, jauh melebihi
jumlah usaha berskala sedang dan besar. Namun dari segi
produktivitas jauh berada di bawah produktivitas usaaha skala sedang
dan besar. Rendahnya produktivitas tersebut disamping karena kualitas
teknologi yang dipergunakan juga rendah dan sederhana, juga karena
kualitas tenaga kerja yang pada umumnya berpendidikan rendah. Dari
Survei Usaha Terintegrasi yang dilakukan oleh BPS tahun 2003 (SUSI
2003) diperoleh pernyataan bahwa usaha mikro kecil atau yang lazim
disebut BPS sebagai Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
(IKKR) menyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok Industri Besar/Sedang (IBS). Pada tahun 2003, jumlah
usaha IKKR merupakan bagian terbesar (99,25%), penyerapan tenaga
kerja sebesar 59.82% dari keseluruhan usaha sektor industri (Tabel
1.1.1.).
Tabel 1.1.1.
Banyaknya Usaha danPekerja Sektor Industri menurut Golongan
Industri Tahun 2000-2003
2000 2001 2002 2003
Golongan Usaha Pekerja Usaha Pekerja Usaha Pekerja Usaha Pekerja
Industri (000 (000 (000 (000 (000 (000 (000 (000
unit org) unit org) unit org) unit org)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
I B/S 22 4.367 22 4.386 21 4.365 20 4.274
IKKR 2.599 6.291 2.538 6.110 2.729 6.566 2.642 6.364
JUMLAH 2.621 10.658 2.560 10.496 2.750 10.931 20662 10.638
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Universitas Indonesia 2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Namun jika dilihat dari produktivitas per-tenaga kerja dan share
output-nya, IKKR jauh berada dibawah IB/S, yaitu Rp.13,55juta/tenaga
kerja atau 9,32% (Tabel 1.1.2.).
Tabel 1.1.2.
Produktivitas dan Kontribusi Sektor Industri menurut Golongan
Industri Tahun 2000-2003
Tabel 1.1.3.
Persentase Usaha IKKR menurut Pendidikan Pengusaha Tahun 2003
Kelompok Jumlah Tdk Tamat Tamat Tamat Tamaat PT
Tamat SD
Industri Usaha SD SLTP SMTA
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Industri
Kecil 235.851 27.045 98.809 52.523 51.733 5.741
% 100,00 11,47 41,90 22,27 21,93 2,43
IKR 2.406.058 653.246 1.147.467 396.627 193.251 15.467
% 100,00 27,15 47,70 16,48 8,03 0,64
IKKR 2.641.909 680.291 1.246.276 419.150 244.984 21.208
% 100,00 25,75 47,18 17,00 9,27 0,80
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Jadi pada dasarnya usaha mikro dan kecil merupakan katup pengaman
untuk mengatasi pengangguran penduduk berpendikan rendah.
Status hukum mereka juga tidak jelas. Pada umumnya mereka
memang merupakan bentuk usaha yang tidak berbadan hukum. Bisa
diduga, mereka juga tidak memiliki NPWP. Mereka juga tidak
melakukan pencatatan asset atau pembukuan keuangan yang disahkan
oleh akuntan publik. Akibatnya ketika mereka mengalami masalah
permodalan, mereka sulit memperoleh bantuan yang mencukupi dari
bank. Namun demikian mereka ini tetap dibutuhkan oleh segmen pasar
Universitas Indonesia 3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tertentu yang mengutamakan harga produk ”yang penting murah dan
memenuhi kebutuhan”. Mengenai wilayah pemasaran, hampir seluruh
IKKR melakukan produksi hanya mampu memenuhi permintaan pasar
domestik. Wilayah pemasaran luar negeri hanya dilakukan 2,46% IK
dan 0,81 IKR (Tabel 1.1.4.).
Tabel 1.1.4.
Persentase Usaha IKKR menurut Wilayah Pemasaran
Tahun 2003
Kelompok Wilayah Pemasaran
Industri Domestik Luar Negeri
(1) (2) (3)
IK 97,54 2,46
IKR 99,19 0,81
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Universitas Indonesia 4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 1.1.6.
Persentase Usaha IKKR yang Modal Pinjamannya
di luar Bank menurut Jenis Alasan Tahun 2003
Uraian IK IKR
(1) (2) (3)
Alasan tidak meminjam ke Bank
Tidak punya agunan 28,80 32,30
Tidak tahu prosedur peminjaman 15,90 17,84
Prosedur terlalu sulit 9,48 14,79
Suku Bunga tinggi 9,24 10,42
Tidak berminat 36,32 23,60
Proposal ditolak 0,26 1,05
J U M L A H 100,00 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Universitas Indonesia 5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
rangka menunjang terwujudnya sustainable development, usaha kecil
juga dituntut untuk ramah lingkungan atau environment friendly
dengan melaksanakan cleaner production. Itu adalah dilemma; dilema
besar.
Badan Pusat Statistik (2005) juga melaporkan bahwa dari segi
penyebarannya, konsentrasi usaha kecil termasuk IKKR dari tahun ke
tahun tidak berubah; sebagian besar berlokasi di Jawa dan Bali.
Implikasi negatif yang mungkin dapat ditimbulkan dengan kepadatan
konsentrasi IKKR di Jawa dan Bali tersebut adalah kemungkinan
menurunnya daya dukung alam di Jawa dan Bali (Tabel 1.2.1.).
Tabel 1.2.1.
Luas Wilayah, Banyaknya Usaha danPekerja IKKR menurut Wilayah
Tahun 2004
Persentase Usaha Pekerja
Wilayah Luas Wilayah (000 unit) (000 orang)
(Km2) Banyaknya % Banyaknya %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kawasan barat 32,48 2.136 80,85 5.192 81,59
1. Sumatera 25,44 312 11,80 777 12,22
2. Jawa dan Bali 7,04 1.824 69,05 4.414 69,37
Kawasan Timur 67,52 506 19,15 1.172 18,41
1. Nusa Tenggara 3,57 169 6,40 351 5,52
2. Kalimantan 30,37 121 4,60 310 4,87
3. Sulawesi 10,14 199 7,54 465 7,30
4. Maluku dan Papua 23,44 16 0,61 46 0,72
Indonesia 100,00 2.642 100,00 6.364 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Universitas Indonesia 6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
lemahnya permodalan yang mendorong pelaku usaha kecil lebih
beroerientasi pada peningkatan kapasitas produksi, dan juga karena
terbatasnya pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan.
Pembinaan teknis yang telah dilakukan oleh KLH antara lain
pembangunan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sosialisasi
serta uji coba teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah.
Pembangunan IPAL diharapkan dapat menjadi contoh bagi
pengelolaan lingkungan pada usaha kecil. IPAL Percontohan di
Sumedang (pengolahan limbah tahu), Garut (pengolahan air limbah
penyamakan kulit) dan Sidoardjo (penglolah air limbah electroplating),
dilaporkan memang mampu menurunkan tingkat pencemaran.
Kemudian dalam tahun 2001-2004 telah dilakukan sosialisasi di 24
propinsi dengan melibatkan 1.234 orang peserta. Namun, menurut
laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004, kesadaran
masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan adalah rendah.
Remdahnya kesadaran masyaralat ini merupakan salah satu dari 24
(dua puluh empat) persoalan utama pengelolaan lingkungan hidup
yang sampai tahun 2004 belum dapat diatasi selama tahun 2000-2004.
Gejala yang sering dilaporkan adalah adanya split antara sikap dan
praktik untuk ramah lingkungan di kalangan usaha kecil. Sikap
cenderung berhenti pada level pengetahuan dan kognitif; akan tetapi
sulit terwujud menjadi sebuah tindakan konkret (KLH, 2005).
Universitas Indonesia 7
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dalam proses produksi, industri pengolahan tempe tahu yang
terletak di lingkungan pemukiman tidak melakukan pengolahan
limbah sama sekali. Limbah langsung dibuang di selokan setempat.
Ciri sebaliknya adalah industri pengolahan tahu dan tempe yang
terletak di Kawasan Industri, yang harus mengikuti aturan-aturan yang
berlaku bagi seluruh kawasan; yaitu melakukan pengolahan limbah
sebelum limbah itu dibuang ke saluran pembuangan umum.
Dari segi penggunaan bahan baku, beberapa kali terdengar
kegiatan insustri kecil mikro sengaja mempergunakan bahan
berbahaya dan beracun. Tindakan hukum memang sudah dilakukan,
namun kurang bahkan tidak efektif. Bahkan norma agama sekalipun,
harus diabaikan dengan sadar oleh pelaku demi ekonomi.
Menurut laporan Hasil Kerja Kementerian Negara Lingkungan
Hidup (2004:31-33) pembinaan ramah lingkungan sudah dilakukan,
termasuk di sentra-sentra usaha kecil, kepada anggota sentra diberikan
pengetahuan dan pelatihan produksi ramah lingkungan agar sadar dan
berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah
lingkungan lainnya. Namun kenyataan yang penulis lihat adalah
bervariasi, pengetahuan dan pelatihan memang sudah diberikan,
namun sampai pada pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin
ramah lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada
yang tidak sama sekali (Siswoyo, 2006).
Hasil pengamatan penulis di DKI Jakarta pada tahun 2006,
industri pengolahan tahu dan tempe yang terletak di lingkungan
pemukiman tidak melakukan pengolahan limbah sama sekali. Limbah
langsung dibuang di selokan setempat. Ciri sebaliknya adalah industri
pengolahan tahu dan tempe yang terletak di Kawasan Industri, yang
harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku bagi seluruh kawasan;
yaitu melakukan pengolahan limbah sebelum limbah itu dibuang ke
saluran pembuangan umum.
Dari segi penggunaan bahan baku, beberapa kali terdengar
kegiatan insustri kecil mikro sengaja mempergunakan bahan
Universitas Indonesia 8
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berbahaya dan beracun. Tindakan hukum memang sudah dilakukan,
namun kurang bahkan tidak efektif. Bahkan norma agama sekalipun,
harus diabaikan dengan sadar oleh pelaku demi ekonomi. Di sebuah
sentra pembinaan usaha kecil tempe tahu misalnya,. semua anggota
sentra pada dasarnya sudah dibina, memiliki pengetahuan, sadar, dan
berusaha untuk melakukan pengolahan limbah dan kewajiban ramah
lingkungan lainnya. Namun kenyataan yang penulis lihat adalah
bervariasi, pada praktiknya ada yang konsisten dan disiplin ramah
lingkungan, ada yang temporer saja ketika ada inspeksi dan ada yang
tidak sama sekali (Siswoyo, 2006).
Terungkap dalam salah satu Diklat Pengolahan Limbah
Industri Kecil 12 November 2008 dimana penulis berpartisipasi
sebagai peserta, bahwa beberapa peserta memang sengaja
mempergunakan bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti pewarna,
borax dan formalin.
Universitas Indonesia 9
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
itu adalah supply depot, living space dan waste repository. Fungsi
supply depot menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai penyedia
sumber daya alam yang renewable dan yang non-renewable yang
penting bagi kehidupan. Pemanfaatan yang berlebihan atas sumber
daya alam ini mengakibatkan kerusakan dan kelangkaan. Fungsi living
space menunjuk pada fungsi lingkungan sebagai habitat yang
menyediakan tempat tinggal, sistem transportasi dan prasarana penting
lainnya bagi kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan yang berlebihan atas
fungsi ini mengakibatkan kepadatan yang berlebihan, kemacetan dan
rusaknya habitat spesies lain. Fungsi waste repository menunjuk pada
fungsi lingkungan sebagai tempat untuk menampung sampah, kotoran,
polusi industri dan barang-barang buangkan lainnya. Melampaui
kemampuan ekosistem dalam menyerap barang-barang buangan
tersebut mengakibatkan masalah kesehatan yang disebabkan oleh
sampah beracun dan kerusakan lingkungan. Perbedaannya, teori ToP
beranggapan bahwa system ekonomi kapitalis membuat terpuruknya
lingkungan akibat tidak adanya environmental consciousness,
environmental awarensess, environmental attitude and behavior.
Sedangkan pendapat teori EM adalah sebaliknya, system ekonomi
kapitalis dan modernisasi yang penuh dengan semangat inovasi akan
mampu memperbaiki struktur dan sekaligus membimbing agent untuk
memiliki environmental consciousness, environmental awarensess,
environmental attitude and behavior. Kekuatan dan keterbatasan dari
perspektif-perspektif teoretik tersebut sudah barang tentu merupakan
hal yang perlu dicermati berbagai pihak, terutama berkenaan dengan
perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi ramah lingkungan,
agar kebijakan yang dimaksud selain memenuhi persyaratan berlaku
umum namun juga sekaligus kontekstual.
Kenyataan empirik di Indonesia menunjukkan bahwa
kebijakan-kebijakan ekonomi dan lingkungan, disadari atau tidak
disadari oleh Pemerintah, tampak lebih berorientasi pada ideologi EM
yang berorientasi pada growth dan developmentalism. Sebagaimana
Universitas Indonesia 10
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
diketahui, disain besar pembangunan nasional juga berorientasi pada
growth dan developmentalism.
Namun banyaknya pemberitaan mengenai protes dan sengketa
yang berkenaan dengan masalah implementasi kebijakan lingkungan,
cukup menjadi pertanda bahwa praksis ideologi EM tidak seindah dan
semulus yang dijanjikan.
Universitas Indonesia 11
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ramah lingkungan; 4) namun para tokoh masyarakat dan juga Pemda
setempat tetap optimis akan dapat mengantisipasi ketidak mulusan
implementasi EM tersebut. Itulah sebabnya judul komersial yang
sedang digarap melanjutkan disertasi ini adala Optimisme
Implementasi Ecological Modernization pada Industri Kecil
Pengolahan Tempe Tahu, Percontohan di PIK KOPTI Jakarta Barat.
Universitas Indonesia 12
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
2.3. Ecological Modernization adalah satu proses, yang tidak dapat
dilepaskan dari reaksi negatif dan bahkan konflik terutama pada tahap-
tahap awal dimana penerapan Ecological Modernization tersebut
belum sempurna. Konflik dapat terjadi secara internal di antara
anggota komunitas itu sendiri atau konflik dengan komunitas eksternal.
Pertanyaannya:
2.3.1. Dalam hal apa atau dalam proses Ecological Modernization
tahap mana konflik itu terjadi di lingkungan PIK KOPTI
Semanan?
2.3.2. Bagaimana konflik itu diselesaikan?
2.4.Ecological Modernization menjamin kesejahteraan pelaku usaha
sehingga menimbulkan optimisme untuk semakin meningkatkan dan
menyempurnakan penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Pertanyaannya:
2.4.1. Bagaimana kondisi kesejahteraan para pelaku usaha
industri kecil tempe tahu di PIK KOPTI Semanan?
2.4.2. Bagaimana harapan dan optimisme warga dan komunitas
setempat dalam penerapan teknologi produksi ramah
lingkungan?
Universitas Indonesia 13
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
1.4. Manfaat Disertasi:
4.1. Manfaat akademis:
Sosiologi Lingkungan mulai berkembang pada era 60-70-an dan
kemudian merosot kembali pada era 80-an, lalu bangkit kembali pada
tahun 90-an. Beberapa kritik utama terhadap Sosiologi Lingkungan ini
adalah kritik mengenai substansi teoretiknya. Studi Sosiologi
Lingkungan pada umumnya adalah berorientasi empirik, insular dan a-
teoretik dari segi sosiologi, terlalu bergantung pada konsep-konsep, teori
dan paradigma Ekologi. Namun demikian penulis sependapat dengan
Fulkerson (2000) dan Dunlap (Frey 2001:43-62, Dunlap 2002), yang
justru menganggap sebagai satu kemajuan jika sosiologi mulai
mempertimbangkan pentingnya dimensi ekologis dan aspek lingkungan
pada permasalahan sosial. Disamping itu, Sosiologi juga dapat
memberikan kontribusi positif dalam perdebatan mengenai lingkungan
khususnya melalui penerapan perspektif dan teori sosiologi terhadap
persoalan-persoalan masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan.
Yang terakhir itulah yang dicoba dilakukan melalui studi ini, yaitu
mengkaji fenomena tingkat ramah lingkungan pada satu kesatuan sosial
tertentu, dengan mepergunakan perspektif sosiologi. Dengan demikian
proses dan hasil studi ini diharapkan dapat memperkaya kajian dan
perspektif sosiologi dengan tema lingkungan, dan dapat menjadi satu
sumbangan bagi perintisan pelembagaan Environmental Sociology di
Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia 14
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
1.5. Batasan Penelitian:
Disertasi ini adalah disertasi studi sosiologi bukan disertasi studi ilmu
ekonomi dan bukan disertasi studi ilmu lingkungan. Dengan demikian
landasan filosofi, paradigma, teori, konsep dan variabel dan juga empirinya
adalah sosiologi, yang dalam hal ini adalah sosiologi lingkungan, khususnya
dari perspektif Ecological Modernization. Sebagaimana diketahui, teori atau
perspektif Ecological Modernization pada dasarnya lebih bersifat sebagai
ideologi atau politik ekologi yang bermuara dari perspektif Parsonian
Struktural Fungsional dari paradigma order. Konsisten dengan hal tersebut,
disertasi yang antara lain bermaksud membahas implementasi perspektif
Ecological Modernization ini berusaha untuk tetap berada di dalam rambu-
rambu perspektif Parsonian atau paradigma order. Namun demikian dalam
pembahasan data, penulis sering tergoda untuk menoleh untuk menggunakan
perspektif lain bahkan yang bertentangan perspektif Ecological
Modernization; walaupun akhirnya harus tetap kembali pada perspektif awal:
Ecological Modernization – Sistem – Struktural Fungsional – Parsonian –
Order.
Universitas Indonesia 15
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik pada
lingkup lokal maupun global.
Kemudian berdasarkan masukan-masukan empiris yang penulis
peroleh pada saat field orientation di lokasi penelitian, penulis mencoba
merumuskan ideas atau tepatnya sebagai kerangka pemikiran, bahwa
intensitas atau tingkat kemampuan usaha kecil dalam memenuhi standard
ramah lingkungan, dilatarbelakangi oleh banyak faktor dilematis, baik yang
bersifat resistance forces maupun yang bersifat driving forces baik pada
tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik
pada lingkup lokal maupun global. Proposisi yang dapat dirumuskan
berdasarkan ideas tersebut adalah bahwa Intensitas praktik ramah lingkungan
pada kegiatan industri pengolahan makanan berkemungkinan dapat
dihubungkan dengan karakteristik pemilik usaha maupun dengan
karakteristik usaha itu sendiri. Kemudian dalam kemungkinan hubungan
antara karakteristik usaha maupun karakteristik pemilik usaha dengan
intensitas praktik ramah lingkungan pada kegiatan industri pengolahan
makanan tersebut, mekanisme sosialisasi dan kontrol yang dilakukan oleh
komunitas setempat termasuk Pemda setempat, konsumen, pemasar dan
saingan setempat berkemungkinan dapat ikut berperan.
KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
Produk, Bahan Baku dan Energi
INTENSITAS
Permodalan, Aset, Kondisi SDM,
PRAKTIK
Jaringan Kerjasama, Perusahaan Induk
Ramah Lingkungan
KARAKTERISTIK PEMILIK: Industri Kecil
Aspek Sosial Ekonomi, Pengetahuan. Tempe Tahu
Motivasi Usaha, Persepsi dan Sikap
Diagram 1.2. I d e a s
Universitas Indonesia 16
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Ideas atau kerangka pemikiran tersebut penulis tuangkan dalam
beberapa sub ideas atau sub fokus sebagai berikut:
1) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan karakteristik
sosial ekonomi pemilik usaha.
2) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan karakteristik
usaha.
3) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan partisipasi
dalam pembinaan dan sosialisasi ramah lingkungan.
4) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap
konsumen.
5) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap
distributor/pengecer.
6) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan sikap warga
sekitar.
7) Intensitas praktik ramah lingkungan di kalangan industri kecil pengolahan
Tempe Tahu berkemungkinan memiliki hubungan dengan nilai-nilai yang
dianut oleh warga setempat.
8) Respon pemilik usaha terhadap tindakan-tindakan intervensi untuk ramah
lingkungan adalah berkemungkinan memiliki hubungan dengan cara yang
dilakukan dalam tindakan intervensi tersebut.
9) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat akomodatif terhadap
intervensi yang bersifat pembinaan peningkatan kapasitas.
10) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap intervensi
yang bersifat oposisi atau protes.
Universitas Indonesia 17
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia 18
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
struktur ekonomi dan organisasi sosial perkonomian bervariasi sesuai dengan
kondisi alam setempat, 2) batas-batas alami dapat ditanggulangi melalui kemajuan
teknologi (transportasi). 3) kegiatan ekonomi di satu tempat akan menjadi input
vital bagi kegiatan ekonomi di sekitarnya sebagai ekonomi eksternal dan
merupakan jaringan interdependensi (Stinchcombe 1982: 78-81).
John Bellamy Foster (1999, 2002) pada saat menanggapi perdebatan
mengenai kaitan antara krisis ekologi dan krisis ekonomi pada masyarakat
kapitalistik, menganjurkan agar kita kembali kepada Marx dalam tanggapannya
kepada Malthus dan Ricardo mengenai kapitalisme pertanian, khususnya
mengenai dampak kapitalisasi pertanian terhadap kemerosotan kesuburan tanah
sekaligus kemerosotan kesejahteraan pekerja. Meskipun tidak secara eksplisit,
sesungguhnya sosiologi Marx tidak meremehkan adanya gejala eksploitasi sumber
alam oleh kegiatan ekonomi kapitalistis, peranan alam bagi kesejahteraan,
keterbatasan kemampuan sumber daya alam, sifat alam yang dapat berubah, dan
peranan teknologi bagi kemerosotan lingkungan.
Sementara itu Ross Mitchel (2001) menunjukkan bahwa pemikiran
Thorstein Bunde Veblen khususnya mengenai conspicuous consumption,
absentee ownership, natural resources exploitation, wasteful use of environmental
resources, emulative consumerism, environmental crises, juga sangat berguna
bagi penelitian-penelitian sosiologi lingkungan, mendampingi teori-teori klasik
yang sudah ada. Secara umum, ontology Veblen mengenai masyarakat adalah
materialistically grounded, class devided dan evolusioner. Sebagaimana
dielaborasi dalam The Theory of the Leisure Class, Veblen (1899/1967)
mengidentifikasi adanya dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas pekerja yang
disebutnya sebagai industrious class dan kelas pengusaha yang disebutnya dengan
predatory class, yang termasuk di dalamnya adalah para pemilik perusahaan,
akuntan, pengacara, manajer dan politisi. Perilaku predator pada kalangan
pengusaha itu meluas sejak abad 19, ditandai dengan eksploitasi faktor manusia
dan bukan manusia dalam rangka efisiensi industri. Persaingan untuk memperoleh
monopoli pasar, keinginan untuk memperoleh dan meningkatkan status sosial
dengan menunjukkan perilaku conspicuous consumption di kalangan kelas
Universitas Indonesia 19
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
predator membuat eksploitasi sumber-sumber alam menjadi semakin besar-
besaran dan cenderung wasteful use.
Kajian mengenai economy and environment bahkan dalam skala makro
society and nature pada dasarnya bukan kajian baru dan asing bagi sosiologi
(Berger 1994, Konttinen ed 1996). Bahkan Doyle Paul Johnson (1981)
menganjurkan satu alternatif teori sosiologi masa depan adalah teori sistem
terbuka, yang sangat sangat dipengaruhi oleh Social Darwinism dan
Sociobiology, dimana faktor lingkungan diperhitungkan sebagai variabel penting
dalam penjelasan sosiologis. Hanya saja sebagai satu cabang tersendiri dari
sosiologi, kajian-kajian tersebut baru mulai berkembang pada sekitar decade 60-
70an yang kemudian dikategorikan oleh William R. Catton Jr. dan Riley E.
Dunlap sebagai New Ecological Paradigm (NEP) pada sosiologi yang
terjabarkan dalam teori environmental sociology atau sosiologi lingkungan
(Catton and Dunlap 1980/2001)
Adapun arus utama teori-teori sosiologi lingkungan yang sudah
berkembang sampai dewasa ini adalah Risk Society Theory dan Ecological
Modernization Theory pada level makro, dan Ecological Symbolic Theory dan
Resources Dependency Theory pada level mikro Picou (1999). Risk Society
Theory dan Ecological Symbolic Theory bernuansa teori konflik, sedangkan
Ecological Modernization Theory dan Resources Dependency Theory bernuansa
harmoni. Sedangkan Frederich H. Buttel (2004) mengelompokkan arus utama
Sosiologi Lingkungan meliputi lima tradisi, yaitu Treadmill of Production dan
other Eco-Marxism, Ecological Modernization and other Sociologies of
Environmental Reform, Cultural-Environmental Sociologies, Neo-Malthusianism,
dan New Ecological Paradigm. Sebagai teori sosiologi, teori-teori ini tidak
terpisah dari akar dan batang tubuh pemikiran maupun teori-teori sosiologi klasik,
terutama teori klasik John Stuart Mill, August Comte, Karl Marx, Thorstein
Veblen, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan George Simmel.
Treadmill of Production (ToP) dan Ecological Modernization (EM) adalah
dua teori dan ideologi popular yang secara spesifik membahas masalah dilemma
ekonomi dan lingkungan dalam rangka mencari solusi menuju sustainable
development. Treadmill of Production (ToP) mewakili perspektif konflik, dan
Universitas Indonesia 20
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
teori Ecological Modernization (EM) mewakili perspektif order. Asumsi dasar
ToP antara lain adalah bahwa bagaimanapun majunya, kegiatan ekonomi adalah
tetap bergerak ditempat namun makin cepat dan menghabiskan energi dan
merusak lingkungan dan baru akan berhenti setelah lingkungan rusak atau energi
habis. Persaingan antar usaha akan mempercepat kerusakan lingkungan.
Sedangkan asumsi dasar EM lebih optimis, antara lain bahwa pembangunan atau
ekonomi adalah membawa perubahan ke arah kemajuan, persaingan antar usaha
akan memacu semangat inovasi teknologi, efisiensi energi dan pembaharuan
sumberdaya. Pangkal tolak kedua teori tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu
mengenai hubungan antara sistem ekonomi kapitalis dengan environmental
degradation 1 . Bedanya adalah ToP beranggapan bahwa sistem ekonomi kapitalis
membuat terpuruknya lingkungan akibat tidak adanya environmental
consciousness, environmental awarensess, environmental attitude and behavior.
Sedangkan pendapat teori EM adalah sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dan
modernisasi yang penuh dengan semangat inovasi akan mampu memperbaiki
struktur dan sekaligus membimbing agent untuk memiliki environmental
consciousness, environmental awarensess, environmental attitude and behavior.
1
Di dalam pustaka bisnis, konsep yang lebih dikenal untuk menunjukkan hubungan antara
kapitalisme dan lingkungan adalah conventional capitalism atau traditional capitalism yang
dituduh tidak ramah lingkungan dan natural capitalism yang ramah lingkungan. Lihat misalnya
Amory Lovins, Hunter Lovins and Paul Hawken (1999), Pierre Deschrocher (2002) dan Paul
Hawken, Amory Lovins and Hunter Lovins (2004).
Universitas Indonesia 21
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
ToP adalah satu teori yang diperkenalkan oleh Schnaiberg (1980) untuk
menjawab pertanyaan mengenai mengapa kemerosotan lingkungan di Amerika
Serikat meningkat secara cepat sejak sesudah PD II. Dijelaskan bahwa tingkat
ketersediaan modal untuk investasi dan perubahan alokasi investasi tersebut,
secara bersama-sama menghasilkan peningkatan permintaan akan sumber daya
alam. Akumulasi modal terjadi sehubungan dengan hasil investasi teknologi yang
dengan sendirinya mengurangi tenaga kerja dan meningkatkan keuntungan dan
juga investasi untuk teknologi yang lebih baru. Teknologi yang membuat proses
produksi menjadi lebih cepat mengakibatkan permintaan yang lebih cepat pula
akan sumber daya alam. Investasi merusak ekosistem dan sekaligus mengubah
struktur ketenagakerjaan dan struktur sosial pada umumnya ke arah semakin
menguatnya kapasitas politik share holder kalangan investor dan manager) tetapi
semakin lemahnya stakeholder (para pekerja dan penduduk).
ToP menghadirkan gambaran tentang masyarakat yang lari di tempat tanpa
bergerak maju. Efisiensi sosial dalam sistem produksi merosot. Pemanfaatan
sumber daya alam yang meningkat, meningkatkan kerusakan ekosistem dan
polusi. Para investor, manager dan pekerja kalangan atas dapat menikmati
keuntungan dan menghindari polusi dengan tinggal di luar kota atau lingkungan
yang sehat. Semantara para pekerja rendahan dan penduduk kalangan bawah harus
berjuang di dalam kota yang berpolusi. Akan tetapi dengan pajak yang meningkat,
maka pemerintah dapat meningkatkan tunjangan kesejahteraan penduduk. Karena
itulah para politisi dan perserikatan-perserikan pekerja berpihak kepada investor
dan manager. Demikian juga lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi,
menerima dana penelitiannya dari penemuan-penemuan teknologi yang
dimanfaatkan oleh investor itu. Dukungan para pekerja pada umumnya didasari
oleh kesadaran bahwa bentuk investasi yang seperti itulah yang diperlukan, dan
memang dirasakan cukup menghasilkan ”kemajuan sosial”. Namun, sebagai
penerima tunjangan, para pekerja dan keluarganya sesungguhnya adalah tetap
warga kelas dua, sekaligus mengalami pengelompokan-penglompokan atau
segregasi sosial.
ToP memusatkan pembahasannya pada proses produksi. Argumennya
adalah bahwa proses produksi berhubungan langsung dengan sumber daya alam
Universitas Indonesia 22
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan ekosistem. Sedangkan kegiatan konsumsi tidak berhubungan langsung dengan
sumber daya alam dan ekosistem, tetapi lebih berhubungan langsung dengan hasil
dari proses produksi. Di samping itu meskipun konsumen memiliki preferensi
untuk memilih produk yang ramah lingkungan atau tidak, akan tetapi pada suatu
titik mereka tidak akan mempunyai pilihan lain kecuali harus mengkonsumsi satu
produk tertentu; artinya keputusan konsumsi ditentukan oleh produsen. Demikian
juga keputusan proses produksi berada pada produsen. Produser memiliki akses
pada permodalan, tenaga kerja, pertanggungjawaban, pemasaran, keuntungan,
bahkan merupakan driving force politik-ekonomi. Karena itu asumsi ToP untuk
memperbaiki kondisi sosial dan degradasi lingkungan antara lain adalah dengan
demokratisasi pemilikan dan kontrol terhadap proses produksi; bukan pada
pembatasan tingkat konsumsi. Pendekatan pada konsumsi juga tidak pernah
menghasilkan treadmill deceleration.
Mengenai model perubahan sosial sosial menurut ToP, adalah dialektik.
Misalnya, penggunaan teknologi akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas
tenaga kerja; namun efisiensi berarti mengurangi tenaga kerja, selanjutnya
menimbulkan masalah-masalah dan gerakan-gerakan sosial yang menghambat
proses ToP itu sendiri. Penggunaan teknologi juga akan mempercepat kerusakan
lingkungan yang pada akhirnya juga akan menghambat proses produksi.
Buttel menginformasikan bahwa karya Pellow, Gould, Schnaiberg dan
Weinberg, dan khususnya karya Schnaiberg mengenai The Environment (1980),
dan gagasannya mengenai ToP, telah menjadi tonggak yang paling berpengaruh
bagi sosiologi lingkungan Amerika Utara pada akhir tahun 70an hingga awal
80an. Akan tetapi seiring dengan merosotnya popularitas neo-Marxism yang
digeser oleh neo-liberalism pada awal abad 21 ini, maka ToP menjadi kurang
menonjol.
Erik Olin Wright (2004) mememberikan komentar terhadap tulisan-tulisan
Gould, Pellow dan Schnaiberg mengenai ToP, dengan beberapa kritik. Dikatakan
bahwa argumen ToP yang berfokus pada produksi dan kurang atau tidak
memperhatikan konsumsi, dan pada dasarnya belum menjawab pertanyaan
mengenai penyebab terjadinya degradasi lingkungan. Produksi pada dasarnya
dikendalikan oleh pemilik atau investor atau kapitalis - pihak yang mengontrol
Universitas Indonesia 23
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
keuntungan. Menurut Wright, kapitalisme bisa saja menjadi green capitalism,
akan tetapi logika kapitalisme pada dasarnya mesin yang merusak lingkungan.
Mengenai treadmill of production, Bell (2004:63-64) mengemukakan
pentingnya konsep treadmill of consumption. Secara dialogis, treadmill of
production saling berhubungan dengan treadmill of consumption. Dengan
demikian konsumsi pada dasarnya juga ikut ambil bagian dalam kemerosotan
lingkungan.
ToP pada dasarnya memang tidak mengabaikan aspek konsumsi. Walaupun
bukan merupakan variabel indipenden, akan tetapi konsumsi tetap merupakan
salah satu mata rangkai penting dalam ToP. Secara singkat rangkaian logikanya
begini: industri modern mengkonsumsi bahan baku lebih banyak dan semakin
menguras lingkungan; produk industri modern mendorong peningkatan pajak dan
kemakmuran yang memungkinkan pemerintah memberikan subsidi bagi
penduduk miskin maupun tenaga kerja yang tersingkir oleh kemajuan teknologi,
sehingga daya beli mereka tetap tinggi; tingginya daya beli dan berkembangnya
peluang-peluang kredit lunak dalam rangka pemasaran produk meningkatkan
konsumsi; tingginya tingkat konsumsi dan daya beli penduduk meningkatkan
modal produsen; meningkatnya modal produsen dan meningkatnya permintaan
meningkatkan percepatan dan volume produksi; meningkatnya kecepatan dan
volume produksi mempercepat pengurasan lingkungan dan mendorong
penggunaan bahan-bahan kimia yang merusak lingkungan (Lihat Schnaiberg,
Pellow dan Weinberg, 2000)
Ini berbeda dengan pendapat Etzioni (2004), yang mengatakan bahwa tidak
selamanya kekayaan atau kemakmuran akan menimbulkan peningkatan konsumsi
dan khususnya gaya hidup konsumerism. Etzioni menyebutkan kecenderungan
munculnya gerakan voluntary simplicity, dimana konsumsi diarahkan oleh gaya
hidup sederhana dan ramah lingkungan.
Universitas Indonesia 24
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Ecological Modernization. Teori ini cenderung optimis bahwa masalah degradasi
lingkungan akibat industrialisasi akan dapat diatasi, antara lain dengan apa yang
disebut dengan Corporate Environmental Responsibility (CER) melalui Model of
Resources and Risk Management. Sebagaimana diuraikan oleh John Barry
(2007:242-255) saat membahas tesis Beck mengenai risk society, karakteristik
risiko yang melekat pada industrial civilization dapat dibagi empat kategori yaitu:
(1) ecological risk berupa global warming, biodiversity loss, ozone depletion,
ecosystem destruction, dan sebagainya yang sangat depriving/destructing karena
peradaban industri selalu disertai oleh konsumsi energi massal skala besar (atau
skalanya membesar) seiring dengan perkembangan peradaban, serta menghasilkan
residual flows yang lambat atau cepat menggerus eksistensi planet ini - menuju
doomsday scenario atau skenario hari kiamat; (2) health risks berupa genetically
altered foodstuff, heart diseases, serta berbagai penyakit degeneratif lain yang
makin variatif diderita masyarakat seiring dengan "majunya' konsumsi bahan
pangan; (3) economic risk berupa unemployment dan decline in job security; dan
(4) social risks berupa memudarnya personal safety, meningkatnya kriminalitas,
memudarnya komunitas, meningkatnya perpisahan dan bahkan perceraian.
Ecological Modernization pada dasarnya adalah tanggapan terhadap
berbagai kritik terutama dari penganut ToP, dan jawaban atas pertanyaan
mengenai solusi yang diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan risiko yang
melekat pada kegiatan insdustrialisasi. Asumsi dasar teori Ecological
Modernization ini antara lain adalah: (1) Modernisasi ekologis akan mengkoreksi
the design flaws teknologi industri ke apa apa yang disebut dengan super
industrialization yang lebih pro environment. (2) Penerapan teknologi ramah
lingkungan dalam proses industrialisasi tersebut memerlukan regulasi yang ketat
dari pemerintah. (3) Modernisasi ekologi mengasumsikan adanya strategi
manajemen lingkungan yang baik, khususnya dengan anticipatory planning
practices yang berpegang pada precaution principle. (4) Modernisasi ekologis
mengasumsikan diberlakukannya organizational internalization of environmental
responsibility bagi semua lembaga publik maupun privat. (5) Untuk menghindari
antagonisme dan konflik pada kebijakan lingkungan, maka modernisasi ekologis
memerlukan satu jaringan dan kerjasama yang lebih luas untuk pengambilan
Universitas Indonesia 25
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
keputusan-keputusan transformatif maupun reformatif. Pendukung teori ini antara
lain Maurie J. Cohen (1998), Joseph Murphy dan Andrew Gouldson (1998),
David A. Sonnenfeld and Arthur PJ. Mol (2002), dan Joseph Huber (2001).
David A. Sonnenfeld (1999) melaporkan analisisnya mengenai pengaruh
gerakan-gerakan sosial terhadap transformasi industri pengolahan pulp dan kertas,
dengan mempergunakan teori EM. Hipotesis yang diuji adalah bahwa melalui
kerjasama dengan pemerintah dan perusahaan-perusahaan manufaktur, gerakan-
gerakan sosial memainkan peran sentral di dalam transformasi masyarakat industri
untuk ramah lingkungan. Penulis melakukan field research tahun 1992-1996 di
Thailand, Malaysia, Indonesia, Australia dan Amerika Utara; korespondensi
dengan pejabat-pejabat perusahaan dan pemerintah, aktivis lingkungan dan lain-
lain dari berbagai tempat di dunia; dan juga memanfaatkan data yang tersedia.
Penulis mengunjungi 16 pabrik kertas dan pulp, 3 perusahaan pulpwood, dan 2
pusat penelitian industri pulp; melakukan 76 wawancara, menghadiri 7 seminar
teknis industri pulp dan mengikuti satu kursus pendek tentang industri pulp, studi
dokumen, studi literatur di 5 negara dan melakukan komunikasi data dan sumber-
sumber.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan-gerakan sosial memainkan
peran kuat dalam setiap moment of EM pada industri pengolah pulp dan kertas,
yaitu: dalam hal mendifinisikan masalah, dalam mendorong gerakan politik
lingkungan, dalam memperoleh respon positif dari pemerintah, mendorong
inovasi teknologi ramah lingkungan, dan adoposi teknologi ramah lingkungan.
Beberapa implikasi teoretik dari hasil penelitian Sonnenfeld adalah: (1) Adanya
validasi yang kuat pada hipotesis bahwa gerakan-gerakan sosial memainkan
peranan yang semakin penting dan langsung dalam mentransformasi ekologis
masyarakat. (2) Gerakan-gerakan sosial perlindungan lingkungan telah bergeser
dari oposisi terhadap kapitalisme, industrialisasi dan birokratisasi, ke gerakan
yang berorientasi pada reformasi institusional. (3) Teori EM menganjurkan bahwa
dalam rangka meningkatkan peran transformatif, gerakan-gerakan sosial
lingkungan seyogyanya berorientasi pada satu isu tunggal, bukan pada isu yang
meluas sebagimana awal gerakan. (4) Involvement gerakan sosial lingkungan
dalam tranformasi ekologis cenderung semakin efektif dilakukan secara “inside”
Universitas Indonesia 26
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pada setiap momen transformasi ekologis, termasuk kegiatan jangka panjang
sebagai konsultan dan reviewers. (5) Dalam rangka institusionalisasi kesadaran
lingkungan, gerakan-gerakan sosial lingkungan terbukti dapat melakukan
komunikasi, dan konsultasi langsung dengan agen-agen pemerintah, termasuk
dalam perencanaan jangka panjang dan redesign teknologi produksi. (6) Gerakan-
gerakan sosial lingkungan, pada perkembangannya harus bersaing dengan
organisasi-organisasi lingkungan yang disponsori pemerintah dan organisasi-
organisasi lain yang disponsori perusahaan. (7) Gerakan-gerakan sosial
lingkungan telah mengalami perkembangan dari bekerja dengan pemerintah ke
bekerja dengan pelaku-pelaku pasar.
David John Frank, Ann Hironaka dan Evan Schofer (2000) melakukan
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nation-state environmentalism Negara-
negara di dunia, dengan memanfaatkan data sekunder dari berbagai sumber
internasional dari berbagai tahun. Nation-state environemtnalism diukur dengan
jumlah taman nasional dan cagar alam yang dimiliki oleh masing-masing Negara,
jumlah LSM internasional yang bergerak dalam bidang lingkungan keanggotaan
Negara dalam organisasi-organisasi lingkungan internasional, penerapan
perundang-undangan lingkungan dan kegiatan kementerian lingkungan.
Indipenden variabelnya adalah institusionalisasi global perlindungan lingkungan
nasional yang dalam hal ini jumlah perwakilan yang duduk di UNEP,
keikutsertaan dalam konferensi lingkungan internasional dan perjanjian-perjanjian
lingkungan internasional; keterikatan dengan masyarakat dunia selain dalam hal
lingkungan; dan situs-situs reseptor yang dimiliki Negara yang dalam hal ini
adalah jumlah organisasi domestik dalam bidang ekologi dan dalam bidang ilmu
alam. Untuk variabel kontrol, peneliti menempatkan antara lain faktor penduduk
dan produksi besi dan baja. Dengan mempergunakan alat analisis Ordinary Least
Square (OLS) regression para peneliti menghasilkan kesimpulan penelitian bahwa
meskipun sudah dikontrol dengan variabel populasi dan produksi besi dan baja,
institusionalisasi secara global atas program-program perlindungan lingkungan
nasional tetap saja behubungan dengan nation-state environmentalism; demikian
juga kedekatan atau keterikatan dengan masyarakat internasional serta dukungan
Universitas Indonesia 27
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
para ilmuwan dan organisasi lingkungan domestik merupakan determinan yang
signifikan bagi nation-state environmentalism tersebut.
Hasil penelitian Frank dan kawan-kawan tersebut memperoleh tanggapan
positif sekaligus kritik dari Frederick H. Buttel (2000). Dari segi metodologi,
Buttel mempertanyakan kejelasan ukuran nation-state environmentalism yang
kurang mengukur aspek outcomes dari program-program perlindungan
lingkungan. Di samping itu tingkat partisipasi nation-state pada kegiatan-kegiatan
organisasi-organisasi lingkungan semestinnya dikontrol faktor resources yang
dimiliki. Dari segi referensi, Buttel juga meragukan beberapa hal, misalnya tidak
jelasnya referensi untuk disertakannya variabel produksi besi dan baja sebagai
variabel kontrol. Dari segi teori, Buttel menilai penelitian Frank tersebut
cenderung conflict-free dan tidak sedikitpun menyebut gejala coercion atau
contestation. Dari segi value, tampaknya Frank dan kawan-kawan berorientasi
pada culture of Western rationality tanpa memperhatikan kontradiksi yang
melekat di dalamnya seperti akumulasi modal >< ketimpangan, dan birokrasi ><
demokrasi. Hasil penelitian Frank dan kawan-kawan tersebut jelas bersifat
persuasif ke arah penerapan strategi top down dari pada bottom up dalam
kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan.
Richard York, Eugene a. Rossa, dan Thomas Dietz (2003) mencoba
melakukan validasi terhadap teori-teori environmental impact dari dari perspektif
ecological modernization, human ecology, dan political economy, dengan
mempergunakan metoda ecological footprints yang mengukur area produktif dari
agregat: luas lahan perkebunan, luas lahan penggembalaan, luas hutan, luas
lahan terbangun, dan luas lahan penyerap limbah carbon dioksida. Variabel
indipenden meliputi populasi, non-dependen populasi, luas lahan percapita, letak
geografis dan iklim, GDP percapita, derajat kapitalisme, persentasi penduduk
perkotaan, posisi internasional, hak-hak politik warga, kemerdekaan warga, dan
tingkat state-environmentalism. Data sebagian besar bersumber dari Freedom
House dan WRI antara tahun 1997 – 2000. Analisis data mempergunakan
Ordinary Least Squares Regression, menghasilkan kesimpulan yang seluruhnya
bertentangan dengan perspektif ecological modernization, seluruhnya mendukung
perspektif human ecology, dan sebagian mendukung perspektif political
Universitas Indonesia 28
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
economy. Kondisi-kondisi material seperti populasi, produksi ekonomi, urbanisasi
dan faktor-faktor geografis semuanya mempengaruhi lingkungan dan menjelaskan
sebagian besar dari variasi environmental impact antar negara. Faktor-faktor dari
perspektif neo-liberal yang dalam hal ini adalah perspektif ecological
modernization, seperti kemerdekaan warga dan tingkat state environmentalism,
tidak memiliki efek terhadap impak. Pada akhirnya para peneliti cenderung
pesimis bahwa pembangungan berkelanjutan akan tercapai melalui pendekatatan
pertumbuhan ekonomi dan perubahan institusional.
Satu pokok persoalan dalam perdebatan antara penganut reori Treadmill of
Production (ToP) dengan penganut teori Ecological Modernization (EM) berpusat
pada dampak modernisasi terhadap sustainabilitas lingkungan. Dalam artikelnya,
Richard York (2004) menunjukkan bahwa para pendukung teori modernisasi
ekologis sering melakukan pengamatan terhadap kecenderungan sustainabilitas
lingkungan hanya dalam kasus-kasus spesifik dan non-representative, kurang
melihat kecenderungan umum. Keberadaan kasus-kasus spesifik (termasuk
nations dan organisasi) yang memperbaiki kinerja lingkungan sebagai bagian dari
proses modernisasi, mungkin bukan merupakan kecenderungan umum menuju
sustainabilitas sehubungan dengan modernisasi, setetapi lebih berhubungan
dengan kecenderungan meningkatnya variabilitas kinerja lingkungan pada
lembaga-lembaga pada modernitas baru-baru ini. Kinerja lingkungan dari
lembaga-lembaga bisa saja menjadi lebih buruk, sebagaimana dugaan para
pendukung ToP, tetapi variabilitas kelembagaan meningkat yang membuat kasus-
kasus ekstrem muncul dalam rangka modernisasi berwawasan ekologis.
Pertanyaan yang diperdebatkan adalah. apakah reformasi lingkungan yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga kunci pada masyarakat kapitalis modern itu
sungguh-sungguh terjadi? Para pendukung ToP (Gould, Schnaiberg, & Weinberg,
1996; Schnaiberg 1980, Schnaiberg & Gould 1994) berpendapat bahwa yang ada
adalah tetap enduring conflict antara pembangunan ekonomi modern dengan
environmental sustainability. Sebaliknya, pendukung teori EM berargumen
bahwa yang disebut memelihara konflik itu tidak benar; kenyataannya
pembangunan ekonomi dan modernisasi adalah progresif dan dapat membantu
Universitas Indonesia 29
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
penataan lingkungan (Mol 1995, 2001; Mol & Sonnenfeld 2000, Mol &
Spaargaren 2000; Spaargaren & Mol 1992).
Pendukung ToP berargumen bahwa kapitalisme memperburuk
permasalahan lingkungan dengan meluasnya konsumsi sumber daya dan limbah
emisi, yang secara menyeluruh merupakan kecenderungan umum dari kegiatan
ekonomi; bukan kegiatan sub unit ekonomi tertentu saja. Logika teori ToP ini
bukan berarti menyangkal adanya variasi dampak lingkungan pada kegiatan
ekonomi kapitalis atau sub unit kegiatan ekonomi. Beberapa di antara kegiatan
ekonomi itu mungkin lebih ramah lingkungan dari pada yang lain. Namun sebaik
apapun kegiatan ekonomi kapitalis, masih saja merupakan jalan yang panjang
menuju sustainabilitas lingkungan. Karena itu untuk menghindari kemerosotan
lingkungan, yang diperlukan adalah perubahan radikal pada politik ekonomi.
Penganut teori ToP pada umumnya menyarankan de-industrilization sebagai
solusi. Ini berbeda dengan padangan EM yang berharap bahwa modernisasi dapat
mengatasi permasalahan lingkungan tanpa harus melakukan perubahan mendasar
pada lembaga-lembaga modernitas, bahkan harus meningkatkannnya ke arah
supra-industrialization (Schnaiberg, Pellow & Weinberg 2000:16).
Demikianlah pada dasarnya sumber filosofis persepektif Ecological
Modernization adalah pendekatan sistem – struktural fungsional – Parsonian –
Order. Melalui karyanya The Structure of Social Action (1937), Parsons
mendiskusikan batas-batas yang dihadapi oleh masyarakat kapitalis dalam rangka
menciptakan kondisi sosial yang diperlukan untuk menjamin stabilitas sosial. Bagi
Parsons, the nation-state adalah bentuk terbaik dari organisasi sosial yang
menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan sosial, politik dan ekonomi terpenuhi
melalui kapitalisme. Namun demikian Parsons tetap waspada terhadap tekanan
yang berasal dari liberalisme ekstrem dan karena itu Parsons menempatkan
masyarakat sebagai satu sistem yang memiliki satu kesatuan nilai. Di dalam satu
masyarakat tanpa stabilitas, perilaku individu khususnya di lingkungan
marketplace akan gagal menjadi kekuatan korektif yang diperlukan bagi
terjadinya keteraturan sosial. Bagi Parsons, stabilitas dan keteraturan sosial dapat
dicapai melalui penyehatan institusi-instsitusi sosial yang kurang berfungsi,
termasuk juga pasar, dengan lebih menekankan konsensus daripada difersitas
Universitas Indonesia 30
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
opini. Pendekatan Parsonian dalam mengelola masyarakat adalah dengan
mengontrol seluruh sistem berikut sub-sistemnya. Pendekatan sistem ini juga
menekankan superioritas institusi-institusi terhadap individu.
Ecological Modernization dan kerangka teori struktural fungsional
Parsonian itulah yang menyemangati penelitian dan penulisan disertasi ini.
Artinya melalui Ecological Modernization dengan kerangka teori struktural
fungsional Parsonian itulah permasalahan teoretik dan praktis UMKM khususnya
Industri Kecil Tempe Tahun di PIK KOPTI Semanan dicoba untuk dijawab,
dengan asumsi: (1) Modernisasi ekologi yang menyangkut penerapan teknologi
ramah lingkungan untuk bidang air limbah akan mengatasi bau busuk air limbah
tersebut. (2) Penerapan teknologi sistem produksi dan pengolahan limbah
mengharuskan intervensi institusional yang mendukung dan dijamin oleh struktur
internal dan eksternal yang saling terkait. (3) Penerapan teknologi sistem produksi
dan pengelolaan limbah mengurangi risiko sosial, ekonomi dan mungkin politik
yang kalau tidak diatasi dapat mengancam sustainability. (4) Melalui teknologi
produksi modern dan teknologi pengelolaan limbah, UMKM sebagai institusi
ekonomi dapat menjawab sebagian masalah-masalah utama. (5) Untuk
memperluas jangkauan pemecahan masalah, modernisasi ekologis memerlukan
peningkatan kapasitas organisasi dan manajemen internal, fasilitas dan kerjasama
eksternal.
Universitas Indonesia 31
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dirumuskan juga melalui proses-proses politik. Sosiologi Giddens pada dasarnya
memang menolak paradigma konflik dan sekaligus menolak paradigma order.
Sebagaimana diringkas oleh Turner (1998:491-502), Dasar pemikiran
Giddens adalah bahwa didalam sosiologi tidak pernah ada dalil-dalil yang bersifat
universal atau tidak terikat oleh waktu sebagaimana pada ilmu alam dan biologi.
Hal ini karena manusia pada dasarnya memiliki kapasitas untuk keagenan,
sehingga dapat melakukan perubahan terhadap organisasi sosial, dan karenanya
dapat menolak dalil-dalil yang sebelumnya dianggap universal. Salah satu
argumen Giddens adalah bahwa proses sosial dapat dikerjakan oleh lay persons
yaitu orang-orang awam yang tidak perlu merupakan agen resmi atau profesional
untuk perubahan, namun memiliki kapasitas yang dapat memodifikasi proses-
proses sosial tersebut. Bekal yang dimiliki oleh para lay persons tersebut adalah
struktur yang sudah ada. Akan tetapi yang dimaksud dengan struktur menurut
konseptualisasi Giddens adalah aturan-aturan dan sumber-sumber yang
dimanfaatkan oleh para aktor dalam konteks interaksi. Meskipun Giddens tidak
mengatakannya secara eksplisit, namun kandungan karakteristik uncertain pada
proses sosial dalam sosiologi Giddens adalah sangat terasa,
Penjelasan Giddens mengenai peran aktivis dalam lingkup mikro
tampaknya melengkapi penjelasan Etzioni (1967:173-187) mengenai peran the
active actor dalam ikut memobilisasi proses sosial. Dalam kerangka sosiologi
makro, Etzioni menyebutkan pentingnya peran kaum profesional berpendidikan
tinggi dalam ikut memberikan arahan pada perubahan sosial. Wacana mengenai
arahan tersebut, termasuk arahan mengenai bagaimana memahami dan mengatasi
risiko bagi lingkungan, jelas bersifat relatif, atau dengan kata lain uncertain.
Paralel dengan argumen Giddens adalah tulisan Ulrich Beck (1992)
mengenai risk society theory yang mengidentifikasi adanya pergeseran perhatian
dari logika distribusi kemakmuran ke perhatian mengenai logika distribusi risiko.
Wacana mengenai risiko menjelaskan bahwa konflik dan ketimpangan akan
muncul akibat distribusi risiko teknologi yang berasal dari negara industri maju.
Konflik terjadi bukan lagi berdasarkan perjuangan kelas untuk memperoleh harta
dan sumber-sumber. Konflik berubah menjadi non-class-based dan bertujuan
untuk mengatasi polusi dan buruknya lingkungan sebagai risiko modernisasi.
Universitas Indonesia 32
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Akan tetapi untuk menilai entitas risiko itu diperlukan pengetahuan dan keahlian
tersendiri. Karena itu pengetahuan kita tentang risiko pada dasarnya adalah second
hand, non-experience”. Mengutip Dietz et al, Hannigan (1995:95-96)
menunjukkan bahwa pemahaman, persepsi dan keputusan-keputusan yang harus
diambil sehubungan dengan risiko itu adalah sesuai konteks sosial. Jadi pada
dasarnya risiko itu adalah hasil konstruksi sosial yang berbeda antara populasi
yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya risiko diinterpretasikan sebagai
satu strategi untuk mentransformasi ketidakpastian menjadi satu entitas yang
dapat dikelola untuk menghadapi masa depan yang juga tidak pasti (Zinn, 2004).
Bagaimana praksis dari konstruksi sosial mengenai risiko itu, Giddens
(1994) menunjukkan adanya kecenderungan proses dialogic democracy; dialog
yang bukan top-down approach, tetapi yang menghubungkan unsur top dan unsur
bottom untuk bersama-sama melakukan perubahan sosial. Pendekatan
konstruktivistik khususnya dalam praksisnya pada dilogic democracy tersebut
jelas lebih pro EM daripada ToP.
Bagi UMKM, argumen ToP tentu menakutkan. Pemerintah yang orientasi
kebijakannya pada ToP, tentu akan menghentikan UMKM yang pada umumnya
memang tidak memenuhi standard ramah lingkungan. Hal ini amat sangat sulit
untuk dilaksanakan di Indonesia, dimana masyarakat sudah telanjur hidup dengan
UMKM yang tidak berstandard ramah lingkungan. Sedangkan argumen EM yang
lebih luwes, demokratis, dialogis, jelas lebih banyak memberi harapan kepada
kehidupan UMKM.
Universitas Indonesia 33
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
eksistensinya, masing-masing sub sistem tersebut memiliki proses internal sendiri
dan mengembangkan kode-kode dan pola komunikasinya sendiri yang khas, atau
yang dikenal dengan konsep autopoietic systems theory. Di samping itu
eksistensi dari masing-masing sub sistem tersebut dapat dipertahankan sepanjang
sub sistem tersebut well-difined dan memiliki kontribusi tunggal dan spesifik bagi
dunia sekitarnya yang berisi sistem-sistem yang lain. Kontribusi hukum adalah
untuk mengunci atau mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diharapkan dari
hubungan atau fungsi masing-masing sub sistem terhadap dunia sekitarnya.
Dengan demikian law as a social system (Niklas Luhmann 2007:177-195)
yang di dalamnya termasuk hukum lingkungan akan sulit ditegakkan apabila tidak
well-defined dan tidak memiliki kontribusi spesifik bagi sistem-sistem yang lain
misalnya sistem perekonomian.
Premis-premis Niklas Luhmann tersebut di atas, jika diterapkan untuk
membahas penegakan hukum lingkungan maka hipotesis yang spesifik atau yang
berlaku khusus bagi industri kecil adalah bahwa kesadaran pada hukum
lingkungan di kalangan industri kecil jelas berhubungan dengan tegas atau
tidaknya hukum lingkungan yang berlaku untuk industri kecil itu. Lemahnya
kesadaran untuk menaati hukum linkungan berkemungkinan karena lemahnya
atau kaburnya sistem hukum lingkungan itu sendiri, atau meminjam istilah
Durkheim: terdapat anomie pada sistem hukum lingkungan.
Dalberg-Larsen (1999/2002), juga menampilkan pemikiran pluralis
postmodernis Portugis Boaventura de Sousa Santos dalam teorinya mengenai
Heterogeneous State and Legal Pluralism (2006). Sebagai seorang pluralis,
Santos berpendapat bahwa hukum harus diselidiki dan ditemukan di berbagai
tempat; dan hukum negara haruslah dipandang sebagai hukum yang bersifat
pluralistik, yang tidak memiliki kekuatan regulator menyeluruh seperti yang
diasumsikan. Hukum atau regulasi, termasuk hukum atau regulasi mengenai
lingkungan, perlu dibuat di berbagai level yang berbeda. Eksistensi hukum,
termasuk hukum lingkungan, akan diakui jika hukum tersebut mengakomodasi
berbagai sudut pandang yang berbeda dan berbagai level yang berbeda yang
saling menghargai dengan berpegang pada prinsip none of which is more correct
than the others. Singkatnya, pendekatan pluralis terhadap penegakan hukum
Universitas Indonesia 34
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
adalah situasional; sulit memahami situasi sulit pula menegakkan hukum; gagal
memahami situasi gagal pula menegakkan hukum.
Jika premis pluralis tersebut diterapkan pada penegakan hukum lingkungan
pada industri kecil, maka konklusinya adalah bahwa: sulitnya menegakkan hukum
lingkungan di dunia industri kecil adalah karena adanya pemahaman yang kurang
mengakomodasi pandangan ataupun level kompleksitas situasi dunia industri
kecil tersebut.
Lepas dari penerapannya pada industri besar atau kecil, hukum lingkungan
atau hukum apa saja, efektivitas penegakan hukum dalam masyarakat dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan
hukum itu adalah: 1) faktor kaidah hukum/pertauran itu sendiri, 2) faktor
petugas/penegak hukum, 3) faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh
penegak hukum, 4) faktor kesadaran masyarakat (Zainuddin Ali, 2008 : 62-70).
Menurut Satjipto Rahardjo (2009: 23-27) penegakan hukum itu prosesnya
sudah simulai pada saat hukum dan peraturan perundangan itu dibuat di lembaga
legislatif. Sedangkan pelaksanaan dari penegakan hukum itu dilakukan oleh
pejabat atau aparat penegak hukum, misalnya polisi. Kemudian dengan dipaksa,
masyarakat melaksanakan kaidah-kaidah hukum yang diberlakukan itu.
Universitas Indonesia 35
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan kemampuan politis para pengambil keputusan dalam menjalankan supremasi
hukum secara konsisten.
Menurut Witoelar, masih terdapat kendala yang harus segera dibenahi serta
diselesaikan secara internal dalam mendorong kukuhnya implementasi hukum
lingkungan. Salah satu kendala tersebut adalah masih minimnya pengetahuan
bidang pengawasan dan penyidikan. Kendala berikutnya adalah jumlah tenaga
pengawas maupun penyidik masih jauh dari kapasitas ideal. Beberapa kasus
seperti pembalakan kayu liar, pencurian ikan, maupun penambangan liar,
merupakan representasi dari kombinasi ketidaktahuan masyarakat dan eksploitasi
pihak tidak bertanggung jawab, baik yang berskala lokal maupun yang berskala
global.
Witoelar menambahkan bahwa efektivitas penegakan hukum lingkungan
harus didukung dengan perubahan kuantitas serta kualitas kemampuan aparatur
pelaksana di lapangan. Selanjutnya diperlukan kerja sama, koordinasi, dan
komitmen yang terencana di tingkat pusat maupun daerah, serta harus terus
diupayakan untuk ditingkatkan.
Ditegaskan bahwa substansi atas problematika supremasi hukum
lingkungan adalah integritas serta konsistensi akan komitmen dalam menjalankan
kerangka dasar aturan yang berlaku. Dalam soal lingkungan hidup, tidak hanya
diperlukan kemampuan pokok teknis tetapi juga hati nurani yang bermartabat.
Witoelar juga mengungkapkan bahwa arus industrialisasi serta
pembangunan berkonsekuensi logis dengan dampak terhadap lingkungan hidup.
Untuk itu perlu diupayakan sebuah mekanisme operasi usaha secara lestari yang
juga memerhatikan aspek terkait secara ekologis. Kemudian sesuai dengan
konsekuensi perundangan, semua investor yang tertarik menanamkan modal di
dalam negeri perlu diwajibkan untuk mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
Penegakan hukum diharapkan menjadi alat bagi penjeraan investor yang tidak
baik terhadap lingkungan domestik.
SUARA PEMBARUAN DAILY 23/9/04 memberitakan bahwa komitmen
penegakan hukum lingkungan masih setengah hati. Pemerintah kabinet gotong
royong yang selama tiga tahun menetapkan arah kebijakan lingkungan hidup di
Indonesia menggoreskan catatan tentang sejumlah bencana lingkungan hidup.
Universitas Indonesia 36
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Kerusakan hutan oleh pembalakan liar (illegal logging), pencemaran, sungai dan
laut oleh berbagai kegiatan industri dan pertambangan, meningkatnya pencemaran
udara, banjir, serta tanah longsor akibat daya dukung lingkungan yang makin
rendah. Boleh jadi pemerintahan kabinet gotong royong masih setengah hati
memperjuangkan komitmen lingkungan.
Hutan yang kian rusak, krisis air, sawah yang tidak lagi subur, sungai dan
danau yang tercemar, mendorong orang meninggalkan pertanian sebagai mata
pencaharian. Kondisi itulah yang melanda Indonesia paling tidak dalam 30 tahun
terakhir sehingga mendorong penduduk berpindah dari desa ke kota.
Arus urbanisasi yang kian deras membuat Jakarta dan kota-kota lain di
Indonesia semakin penuh sesak. Kota yang terlalu padat dan kacau tata ruangnya
membuat penduduknya stres, emosional, berperilaku seks menyimpang. Orang
merasa boleh mengambil sesuatu yang bukan haknya. Masyarakat yang stres
mudah terhasut huru-hara, tega menyiksa atau membunuh sesamanya. Tingkah
laku sebagian warga Jakarta dan kota-kota lainnya membuktikan hal itu. Persoalan
sepele gampang menyulut aksi massa. Di lain pihak aparat keamanan menghadapi
aksi itu dengan gaya yang nyaris sama. Aparat sering bertindak seolah
menghadapi musuh di medan perang.
Eksperimen di laboratorium menunjukkan, terlalu banyak tikus hingga
berhimpitan di kandang yang kecil membuat binatang itu berperilaku mengerikan.
Tikus-tikus itu berubah menjadi ganas hingga memangsa sesamanya. Selain itu
juga berperilaku menyimpang, antara lain tidak bisa lagi membedakan jenis
kelamin, sehingga menyetubuhi sesama jenis. Tikus-tikus itu saling berebut
makanan dengan rakus, bahkan saling menggigit hingga mati.
Diinformasikan juga bahwa menurut pakar lingkungan hidup UGM Prof Dr
Koesnadi Hardjasoemantri dan psikolog sosial UI Shinto B Adelar, penataan
ruang kota berpengaruh terhadap perilaku masyarakatnya. Penataan ruang yang
kacau balau seperti Jakarta, membuat warganya mudah stres dan bertindak brutal.
Apalagi jika warganya diperlakukan tidak adil, tidak mendapat pelayanan yang
baik, dan menderita kemiskinan berat. Keduanya sependapat bahwa Jakarta dan
kota-kota besar yang manajemen perkotaannya buruk, berdampak jelek terhadap
semua aspek kehidupan. Kekacauan muncul akibat tidak konsistennya para
Universitas Indonesia 37
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pengelola perkotaan terhadap Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dan bahkan
seenaknya dilanggar dan diubah-ubah.
Para pejabat seenaknya mengizinkan pembangunan gedung-gedung di jalur
hijau. Jalur itu sebenarnya berfungsi sebagai kawasan resapan air dan
penyeimbang lingkungan hidup. Kota-kota besar itu memerlukan kawasan
penyangga, tetapi pembangunan telanjur amburadul sehingga semakin sulit
menata lingkungan.
Pembangunan di Jakarta dan kota-kota sekelilingnya berjalan sendiri-
sendiri. Akibatnya muncul ketidakharmonisan lingkungan. Tata ruang menjadi
berantakan, lalu-lintas kacau, banyak polusi, sungai-sungai kotor, got-got mampet,
sampah di mana saja, sehingga warga mudah terkena berbagai penyakit.
Diingatkan bahwa Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang diremehkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah daerah dan
kalangan swasta. Mereka menganggap UU itu belum jelas dan tidak dilengkapi
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksananya. Tidak heran bila
pelanggaran kerap terjadi. Alasan itu sebetulnya mengada-ada, karena sudah ada
PP sebagai acuan pelaksanaan UU. PP yang dimaksud yaitu Nomor 69 Tahun
1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara
Peranserta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Di kota-kota besar maupun kecil, RUTR wilayah dan kawasan yang susah-
payah disusun oleh pemerintah daerah setempat dan DPRD, sering diacak-acak
justru oleh pejabat daerah yang baru. Demikian seterusnya, sampai akhirnya
muncul masalah dan mereka dengan seenaknya lari dari tanggung jawab.
Penyimpangan RUTR menimbulkan dampak lingkungan sangat serius.
Permukiman menjadi tidak teratur, sulit memadamkan api saat kebakaran, dan
mudah banjir besar di musim hujan. Pembangunan permukiman, tempat hiburan,
vila yang resmi maupun liar, di kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur)
menjadi contoh aktual. Tata ruang yang rusak di kawasan itu berdampak
terjadinya banjir di Jakarta, terutama di musim hujan.
Pemerintahan kabinet gotong royong yang selama tiga tahun menetapkan
arah kebijakan lingkungan hidup di Indonesia menggoreskan catatan tentang
bencana lingkungan hidup. Kerusakan hutan oleh pembalakan liar (illegal
Universitas Indonesia 38
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
logging), pencemaran.sungai dan laut oleh berbagai kegiatan industri dan
pertambangan, meningkatnya pencemaran udara, banjir, serta tanah longsor akibat
daya dukung lingkungan yang makin rendah.
SUARA PEMBARUAN DAILY 23/9/04 juga mencatat bahwa Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) dalam Out Look beberapa waktu lalu tidak
memberikan gambaran bahwa masalah lingkungan hidup akan lebih baik pada
tahun ini. Bahkan sejumlah prediksinya lebih mencerminkan wajah suram. Hal ini
diperlihatkan karena belum ada tanda-tanda kebijakan pemerintah maupun
legislatif yang bisa meyakinkan bahwa bidang lingkungan hidup akan mendapat
perhatian serius. Beban pembayaran utang luar negeri yang makin berat, misalnya,
adalah salah satu yang membuat prediksi ini berwajah suram. Di sisi lain beban
pembayaran utang ini adalah ketergantungan pemerintah dari hasil ekspor
produksi yang mengekstrasi sumber daya alam, terutama sektor kehutanan,
perkebunan, dan kelautan.
Ada baiknya dilihat lebih dulu bagaimana masalah lingkungan hidup di
Indonesia dalam tahun lalu. Satu contoh kasus masalah lingkungan yang muncul
di penghujung 2001 adalah masalah sampah, terutama di Jakarta dan Surabaya.
Setiap hari penduduk Jakarta memproduksi sampah sebanyak 25.000 meter kubik,
dan Surabaya 9.000 meter kubik. Masalah timbul karena di tempat pembuangan
akhir (TPA) sudah penuh dan masyarakat sekitarnya protes. Bahkan beberapa kali
warga Bantar Gebang, Bekasi menutup jalan masuk truk yang membawa sampah
dari Jakarta, dan penduduk sekitar Keputih menolak sampah Surabaya.
Kebijaksanaan pemerintah dalam masalah sampah ini ternyata hanya
sebatas bagaimana menyediakan tempat pembuangan. Pemda DKI Jakarta,
misalnya, hanya bingung mencari pengganti Bantar Gebang, sampai ada ide untuk
mengirimkan ke Pulau Bangka. Pilihan-pilihan yang dicari hanya akan
menyelesaikan masalah sesaat dan tidak pernah muncul ide untuk pengelolaan
sampah secara terpadu.
Darurat sampah memang membutuhkan tindakan segera untuk mengatasi
bertumpuknya sampah di kedua kota. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa
pemerintah kedua kota memikirkan, misalnya menetapkan kebijakan yang
mengarah kepada zero waste, atau mengharuskan produsen untuk menggunakan
Universitas Indonesia 39
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
kemasan yang bisa didaur ulang dan mewajibkan untuk mengambil kembali dari
konsumen atau yang dikenal sebagai take back policy.
Bahkan tidak ada pemikiran untuk memanfaatkan sampah, seperti
menjadikannya pupuk kompos. Menurut catatan Walhi, 60 persen sampah di
Jakarta adalah sampah rumah tangga yang merupakan organik (sampah basah).
Dulu pernah ada gagasan mengelola sampah menjadi pupuk kompos, tetapi itu
hanya menjadi sebuah dongeng saja. Kenangan dongeng itu adalah nama sebuah
gang, yaitu "gang kompos" di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, di mana
di lokasi itu pernah akan dibuat pengolahan sampah menjadi pupuk kompos.
Pencemaran lingkungan oleh industri juga marak. Catatan Walhi misalnya,
menyebutkan, di Sumatra Selatan, sepanjang Sungai Musi telah tercemar bahan
beracun berbahaya (B3) oleh sebelas perusahaan. Juga Sungai Lematang oleh
pabrik pulp, dan Sungai Sepang oleh Pertamina OEP II Prabumulih. Sejumlah
pencemaran lingkungan oleh industri yang dicatat Walhi adalah kebocoran gas
amoniak PT Petrokimia Gresik, pencemaran oleh PT Pusri, Palembang,
pencemaran Kali Brantas oleh Pabrik Gula Ngadirejo, Kediri, dan pencemaran
Sungai Cicalengka, Bandung. Deretan kasus pencemaran masih bisa diperpanjang
lagi.
Bencana lingkungan lainnya adalah banjir dan tanah longsor yang terjadi di
berbagai wilayah. Beberapa yang bisa dicatat adalah kasus tanah longsor dan
banjir di Kebumen, Muara Enim, Nias, Sangie, Sumatra Selatan, Sumatra Barat,
dan Donggala, Sulawesi Tengah. Di beberapa daerah bencana itu adalah untuk
yang pertama kali, dan merupakan akibat akumulatif dari penggundulan lahan.
Penebangan liar atau pembalakan liar merupakan kasus yang banyak terjadi
di berbagai daerah. Bahkan perusakan ini banyak terjadi di berbagai taman
nasional. Yang lebih menyedihkan, kegiatan ilegal ini dilakukan secara terang-
terangan karena ada beking dari aparat.
Di bidang kelautan, masih banyak perilaku penangkapan ikan yang tidak
memperhitungkan aspek keberlanjutan. Praktik penangkapan ikan dengan bahan
peledak dan racun terus berlanjut di berbagai daerah. Perburuan biota laut yang
langka dan dilindungi juga terus berlanjut. Bahkan pencurian ikan oleh kapal
asing tidak pernah bisa diatasi. Indonesia diperkirakan kehilangan empat miliar
Universitas Indonesia 40
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dolar AS atau setara dengan Rp 40 triliun akibat pencurian ikan di ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif).
Pencemaran dan kerusakan lingkungan oleh kegiatan pertambangan juga
terus terjadi, baik oleh pertambangan besar maupun pertambangan rakyat, bahkan
penambang liar. Walhi mengutip data Jatam (Jaringan Advokasi untuk Tambang)
juga mencatat sekarang ada 11,4 juta hektar hutan lindung dan kawasan
konservasi di berbagai daerah yang akan dikonversi untuk kegiatan tambang.
Selain itu, pembakaran hutan dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing)
juga terus terjadi setiap tahunnya, bahkan telah meresahkan negara tetangga
Namun, Walhi juga mencatat adanya sesuatu yang baik, yang disebutnya
sebagai "setetes embun sejuk di tahun 2001." Walhi tentu saja mencatat
kemenangan gugatannya terhadap PT Freeport Indonesia dalam kasus longsornya
tumpukan batuan limbah (wasterock) di danau Wanagong.
Selain itu, Sidang Tahunan MPR 2001 juga menghasilkan ketetapan yang
diharapkan menjadi payung bagi keluarnya peraturan yang ramah lingkungan. Tap
itu adalah Tap MPR No IX tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP ini memberikan arahan kebijakan yang
harus ditempuh pemerintah dalam melaksanakan langkah-langkah pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Bahkan TAP ini mulai bergaung di
daerah, antara lain adalah di Wonosobo, Jawa Tengah. Pemda dan DPRD
setempat dengan dorongan otonomi daerah te-lah mengeluarkan Perda (Peraturan
Daerah) yang mengakomodasi keinginan masyarakat untuk terlibat dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Walhi menyayangkan bahwa di sisi lain kecenderungan dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan tidak memperlihatkan tanda yang membaik.
Beban utang luar negeri dikhawatirkan akan semakin mendorong upaya lebih
besar dalam eksploitasi sumbar daya alam. Apalagi dalam keadaan perekonomian
yang serba penuh guncangan ini. Bahkan rencana pemerintah untuk mengkonversi
utang luar negeri untuk pembiayaan lingkungan melalui mekanisme debt nature
swap (DNS) juga dinilai tidak akan banyak menyelesaikan masalah lingkungan.
Kebijakan ini hanya memberi sedikit "wajah ekologis" pada utang luar negeri
yang selama ini dinilai membebani masyarakat dan lingkungan.
Universitas Indonesia 41
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Walhi juga memprediksi bahwa kebijakan lingkungan juga akan semakin
termarjinalkan. Yang mengkhawatirkan adalah dalam waktu dekat ini akan
dibahas sejumlah RUU yang kemungkinan tidak ramah terhadap lingkungan. Di
antaranya adalah RUU Pertambangan serta RUU Minyak dan Gas. Bahkan telah
terjadi pergeseran "payung" Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang selama
ini di bawah Menko Perekonomian ke Menko Kesra. Hal ini mencerminkan
prioritas perhatian terhadap lingkungan hidup makin kecil.
WARTA EKONOMI, Minggu, 19 April 2009 menyampaikan ulasan
mengenai hukuman yang tidak membuat jera pelanggar lingkungan hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) memang terus menempuh jalur
hukum bagi penyelesaian kasus lingkungan hidup. Walaupun efek jera belum
dirasakan oleh pelanggar hukum tersebut. Menurut Deputi V Menteri Lingkungan
Hidup Bidang Penataan dan Penegakan Hukum Ilyas Asaad yang dikutip Warta
Ekonomi dari situs KNLH pada Jum'at (17/4/2009 dikatakan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir, kasus lingkungan hidup cenderung meningkat. Satu
orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup (PPNS-LH) ditargetkan
menangani satu kasus lingkungan hidup. Dengan begitu satu tahun sebanyak 528
kasus dapat diselesaikan tenaga PPNS-LH. Untuk menampung laporan
masyarakat, KNLH menyediakan 37 posko pengaduan di seluruh wilayah
Indonesia.
Sekarang KNLH mempunyai 568 tenaga PPNS-LH dan 1.600 tenaga Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH). Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) tenaga
PPLH dan PPNS-LH akan ditingkatkan terus kementerian tersebut. Dalam waktu
dekat KNLH akan menyelenggarakan lagi diklat bagi PPNS-LH.
Pada sisi lain data KNLH menyebutkan sebanyak 10 kasus lingkungan
hidup telah ditangani KNLH mulai Januari-Maret 2009. Dari angka itu empat
kasus sedang pengumpulan bukti dan enam kasus telah dikenai sanksi
administrasi.
Pada 2009 sebanyak 68 kasus lingkungan ditangani KNLH pada 2008. Dari
34 kasus itu masuk tahap penyidikan, 13 kasus dalam tahap pengumpulan bahan
keterangan (PULBAKET), 15 kasus telah dilengkapi pemberkasannya, 12 kasus
proses persidangan, dan 4 kasus telah diputus pengadilan.
Universitas Indonesia 42
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Pada edisi lain, WARTA EKONOMI, Senin, 20 April 2009 mengulas
pernyataan Indonesia Center for Environment Law mengenai lemahnya
penanganan kasus LH di Pengadilan. Indonesia Center for Environment Law
(ICEL) menilai putusan pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan hidup masih
lemah. Padahal, sejumlah pelatihan bagi hakim tingkat Mahkamah Agung (MA)
dan Pengadilan Tinggi (PT) telah diselenggarakan organisasi tersebut.
Mengutip dari situs Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH)
Jum'at (17/4/2009), Reno Subagja direktur eksekutif ICEL menginformasaikan
bahwa sampai saat ini sudah ada 827 hakim mengikuti pelatihan hukum
lingkungan. Sementara jaksa sudah 144 orang, polisi 104 orang dan 92 orang
aktivis lembaga swadaya masyarakat, 115 orang dari kalangan akademisi, sektor
kehutanan dan lain-lain.
Diinformasaikan juga bahwa Data Pusat Hukum Lingkungan Indonesia
menyebutkan pada 2006 terdapat 13 kasus perdata dan tata usaha negara, 7 kasus
gugatan ditolak, 1 kasus ditolak di PTUN, 2 kasus kalah ditingkat banding, 1
kasus tidak dilanjutkan karena tercapai perdamaian, dan 2 kasus sebagian gugatan
diterima tapi tidak dieksekusi. Sementara itu perkara pidana lingkungan terdiri
dari 16 kasus, 2 kasus diputus dengan vonis bebas, 5 kasus dengan hukuman
percobaan, 7 kasus dihukum ditingkat operator lapangan, 1 kasus dijatuhi
hukuman denda, dan 1 kasus tak dapat diekskusi karena terdakwa keluar
Indonesia.
Menyoal kemungkinan pembentukan pengadilan khusus lingkungan,
menurut Reno, tidak menjamin penegakan hukum semakin baik. Malahan, beban
pengeluaran negara diprediksi meningkat. Ditegaskan bahwa masalah penegakan
hukum lingkungan, tidak hanya pada persidangan, tapi juga pada penyidikan dan
penuntutan. Jadi perbaikan tidak cukup dengan mengadakan pengadilan khusus
lingkungan.
Sementara itu Agus Wariyanto, kepala Bidang Agribisnis pada Badan
Bimbingan Massal Ketahanan Pangan (BBMKP) Provinsi Jawa Tengah. (SUARA
MERDEKA Selasa, 05 Juni 2007), mengemukakan beberapa masalah penegakan
hukum lingkungan di Indonesia antara lain sebagai berikut:
Universitas Indonesia 43
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Yang pertama belum ada exit strategy sebagai solusi penting yang harus
diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup.
Keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup belum intensif.
Yang kedua belum dilaksanakannya secara baik sanksi yang memadai
(enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah
sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat
penegak hukum kurang dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab
kegiatan seperti diatur dalam Pasal 41-48 UU 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Yang ketiga kurang partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.
Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah,
pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup
setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Dikatakan oleh Agus Wariyanto, persoalan lingkungan hidup bagi negara
berkembang seperti Indonesia adalah dilematis bagaikan buah simalakama. Di
satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan pembangunan yang berdampak terhadap
lingkungan, di sisi lain harus melakukan upaya-upaya kelestarian lingkungan.
Solusinya, dalam melaksanakan pembangunan praktis sekaligus meningkatkan
mutu lingkungan.
Upaya memupuk disiplin lingkungan amat urgen dalam arti menaati aturan
yang berlaku sebagai solusi dalam menangani problem lingkungan yang kian
marak. Pada prinsipnya, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian
lingkungan hidup, mencegah, dan menanggulangi pencemaran serta perusakan
lingkungan hidup.
Karena itu, setiap kegiatan yang berakibat pada kerusakan lingkungan,
seperti pencemaran lingkungan dan pembuangan zat berbahaya (B3) melebihi
ambang batas baku mutu bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan hukum, sehingga dapat dikenai sanksi, baik sanksi administrasi, perdata,
maupun pidana.
Universitas Indonesia 44
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Hingga kini problem lingkungan terus menjadi isu yang selalu aktual dan
belum tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan
demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya
dampak kontraproduktif terhadap lingkungan, khususnya akibat perkembangan
dunia industri yang pesat, maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup
menjadi mutlak diperlukan.
Agus mensinyalir adanya kenyataan empirik yang menunjukkan bahwa
usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak
hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan
bukanlah pekerjaan mudah.
Wacana berikutnya adalah dari Absori (2002 dan 2005), yang menilai
bahwa Penegakan hukum lingkungan dalam berbagai kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan melalui isntrumen hukum pidana lingkungan adalah lemah.
Hal ini disebabkan oleh kompleksnya aspek yang muncul dalam proses penegakan
hukum lingkungan. Persoalan utama tidak disebabkan oleh faktor bukti semata,
tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor lain di luar lingkungan, yakni faktor politik,
sosial, dan ekonomi. Penanganan pencemaran menjadi telah problem pelik dan
perlu upaya penanganan lintas sektoral.
Dalam hukum lingkungan pengajuan tuntutan melalui jalur pidana
dimungkinkan setelah pendekatan penyelesaian melalui hukum administrasi
negara dan hukum perdata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah
lingkungan. Kejahatan lingkungan berupa pencemaran lingkungan dikategorikan
sebagai tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana
yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak
pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup
sebagaimana telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Selama ini ketentuan mengenai sanksi terhadap pencemaran lingkungan
masih merupakan ketentuan yang sifatnya ultimum remidium, yang menganggap
Universitas Indonesia 45
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius
atau premium remidium yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen yang
diutamakan dalam menangani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan
lingkungan. Demikianlah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada dasarnya masih menjadikan ketentuan sanksi pidana
sebagai ultimum remidium.
Namun menurut Muladi (1998:10) ketentuan pidana dijadikan sebagai
instrumen premium remidium masih belum perlu karena sanksi yang lain seperti
administrasi dan perdata masih bisa didayagunakan. Hal tersebut sesuai dengan
azas pengadilan (principle of restraint), yang merupakan salah satu syarat
kriminalisasi, dimana sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi
administrasi dan perdata ternyata tidak tepat dan tidak efektif untuk menangani
tindak pidana lingkungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan
dikategorikan sebagai adminstrative penal law atau public welfare offenses, yang
memberi kesan ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana
bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma
hukum administrasi. Dengan demikian, keberadaan tindak pidana lingkungan
sepenuhnya tergantung pada hukum lain.
Jadi betapapun pentingnya lingkungan hidup yang sehat dan baik, namun
peraturan perundanagn lingkungan hidup yang ada belum dilengkapi dengan
ketentuan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari
hukum lain atau yang dinamakan generic crime atau core crime. Dalam
perumusan tindak pidana lingkungan, tamapknya belum mempertimbangkan
adanya kerugian dan kerusakan lingkungan hidup yang bukan hanya yang bersifat
nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial, baik
terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Kerusakan tersebut sering
kali tidak seketika timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi.
Dari segi instrumen hukum, sekalipun undang-undang lingkungan, telah
mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar, dan sanksi hukuman yang
begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktik belum menjamin
para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang memadai. Para
pihak yang didakwa melakukan perbuatan pencemaran lingkungan hidup dapat
Universitas Indonesia 46
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
lolos dari jeratan hukum. Kasus pencemaran sungai Babon, Demak, pencemaran
Sungai Banger Pekalongan dan pencemaran di Karanganyar, warga masyarakat
yang menuntut ke pengadilan hanya memperoleh ganti rugi yang teramat kecil
dan hukuman untuk terdakwa yang ringan. Hal tersebut dapat dilihat pada data
kasus persidangan pencemaran yang dilakukan terhadap PT Indorayon Utama di
PN Jakarta Pusat tahun 1989. Demikian juga pada kasus PT.Sido Makmur di PN
Sidoarjo terdakwa dijatuhi hukuman hanya 3 bulan penjara dan terdakwa
diperintahkan tidak perlu menjalankan hukuman tersebut (Absori 2005:225).
Dari persidangan kasus-kasus tersebut dapat dilihat bahwa majelis hakim
yang mengadili sengketa lingkungan dibuat bingung oleh kemampuan penasehat
hukum terdakwa dalam mengajukan bukti limbah sebagai sampel pembuktian
yang tidak melewati ambang batas. Hal ini bisa terjadi disebabkan jaksa penuntut
umum dan hakim sama-sama belum memahami liku-liku perkara yang berkaitan
tindakan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Jaksa penuntut umum
tidak mampu membantah fakta yang diajukan pihak terdakwadan majelis hakim
tidak berupaya untuk menguji keadaan yang meragukan secara lebih mendalam.
Budi Wijanarko (KOMPAS, 31 Juli 2004) menyebutkan bebarapa faktor
penghambat penegakan hukum lingkungan. Yang pertama adalah faktor
kesepakatan yang berkisar pada tidaksepemahaman dalam menetapkan sampai
seberapa jauh masalah lingkungan itu benar-benar ada dan seberapa pentingnya
masalah tersebut bagi para pihak, bagaimana masalah tersebut harus dipecahkan
berikut konsensus tentang cakupan dan cara-cara pencapaian penyelesaian serta
tujuan akhir yang harus dicapai.
Ketika hambatan kesepakatan sudah terlewati, hambatan pengetahuan
memunculkan pertanyaan selanjutnya, apakah tersedia cukup bukti dan
pengetahuan yang memadai tentang penyebab, proses terjadinya, dan dampak
masalah itu? Setelah hambatan pengetahuan teratasi, pertanyaan muncul
berikutnya apakah kita memiliki sarana untuk memecahkan masalah itu? Puncak
dari semua hambatan adalah hambatah sosial, ekonomi, dan politik menghadang
penyelesaian masalah lingkungan. Ketiga hambatan terakhir ini saling terkait dan
merupakan faktor-faktor penentu dalam menyelesaikan masalah lingkungan.
Dalam banyak kasus sering kali terjadi penekanan yang berlebihan terhadap faktor
Universitas Indonesia 47
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
sosial, ekonomi, dan politik, sehingga kebenaran pengetahuan ilmiah terpaksa
dikorbankaan. Akibatnya, sudah jelas kepentingan lingkungan dikalahkan oleh
kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Wijanarko, kinerja dan kebijakan pemerintah dalam menangani
masalah lingkungan sangat ditentukan oleh ciri pluralisme dan inkrementalisme.
Pluralisme dimaknai sebagai suatu bentuk pengambilan kebijakan publik yang
diambil melalui tawar menawar, kompromi, dan negosiasi di antara kelompok
kepentingan dalam masyarakat. Sementara dalam rezim inkrementalisme
kebijakan publik diambil hanya berdasarkan beberapa alternatif yang sifatnya
terbatas. Pengaruh politik tidak lepas dari imbal pengorbanan (trade-off), tawar-
menawar dan kompromi antar kekuatan kepentingan. Tidak bisa dipungkiri di
negara manapun termasuk Indonesia, yang didominasi kapitalisme selalu terdapat
bias ideologi yang lebih memihak pada pembangunan ekonomi sebagai
mainstream yang lebih mengutamakan kepentingan investasi dan mengabaikan
kepentingan lingkungan.
UMK, seperti bentuk usaha lainnya, berada dalam suatu lingkungan yang
kompleks dan dinamis. Lingkungan dan konteks inilah yang membentuk ‘aturan
main’ bagi segala jenis usaha dan mempengaruhi cara beroperasi perusahaan dan
pasar. ADB-SME-TA 2000/2001 (ADB 2002:8) menunjukkan kondisi UMK
dipengaruhi oleh tiga lingkungan utama, yaitu lingkungan pasar, lingkungan dunia
usaha dan lingkungan yang lebih luas. Lingkungan pasar adalah lingkungan yang
terdekat dengan UMK, terdiri dari pelanggan, buruh, ketrampilan dan teknologi,
informasi, lokasi usaha, modal, jaringan, bahan baku dan peralatan. Lingkungan
dunia usaha antara meliputi peraturan dan birokrasi seperti lisensi dan perijinan,
perpajakan, proses dan standardisasi produk, perlindungan konsumen, serta
berbagai bentuk layanan dan intervensi seperti layanan keuangan dan layanan
penembangan usaha. Lingkungan yang lebih luas meliputi kondisi ekonomi
makro, kondisi pemerintahan dan politik, kondisi layayan pemerintah, pengaruh
internasional, kondisi masyarakat dan budaya, dan kondisi alam.
Universitas Indonesia 48
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LINGKUNGAN USAHA YANG LEBIH LUAS
Diagram 2.1. Lingkungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(Sumber: Disadur dengan penyesuaian seperlunya dari Asian Development Bank.SME Development TA,
2002 Praktik Terbaik Dalam Menciptakan Suatu Lingkungan Kondusif Bagi UKM, Policy Papers 2001 /
2002, Policy Paper No.1 ADB SME Development TA, Kantor Mentri Negara Urusan Koperasi dan UKM,
p.8.
Dengan kata lain proses ekonomi yang melibatkan usaha kecil itu juga
melibatkan institusi-institusi lain yang ada di dalam masyarakat, yang semestinya
akan membawa perubahan di dalam masyarakat, menuju masyarakat yang sadar
lingkungan dan memiliki tanggungjawab lingkungan. Kegiatan usaha dan
ekonomi secara umum yang dilakukan di dalamnya haruslah kegiatan ekonomi
berkelanjutan, ramah lingkungan, melestarikan lingkungan. Asumsi yang
mendasari tuntutan ini adalah bahwa ekonomi yang tidak memperhatikan
lingkungan atau merusak lingkungan pada akhirnya akan berjalan di tempat
bahkan mandeg, dan dengan sendirinya dan menggali kuburnya sendiri, karena
tidak ada lagi daya dukung lingkungan. Dari sinilah pentingnya ideologi
sustainable development, pembangunan yang melestarikan dan membaharui
lingkungan untuk mendukung kontinuitas pembangunan itu sendiri.
Persoalannnya ialah masing-masing pihak yang terlibat dalam kompleks ekonomi
Universitas Indonesia 49
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan lingkungan tersebut belum tentu memiliki definisi, persepsi, pengetahuan dan
kerugian yang sama mengenai risiko dan kerusakan lingkungan. Persoalan
lingkungan menjadi tidak menentu karena dapat dikonstruksi berbeda-beda.
Beberapa aspek untuk membedakan UMK misalnya berdasarkan orientasi
kegiatan atau perilakunya, besarnya, gender, lokasi dan sektor usaha serta
kepemilikannya. Satu klasifikasi yang sangat bermanfaat bagi pengembangan
kebijakan adalah klasifikasi berdasarkan needs dan constraints yang dihadapi
oleh UMK. Dalam hal ini ADB mengidentifikasi adanya dua jenis UMK, yaitu
yang bersifat “survival” atau sama dengan “subsistence”, dan yang bersifat
“viable” (ADB 1997:27-36).
Konsep subsistensi pada dasarnya adalah sama dengan konsep subsistensi
yang dikemukakan oleh James C. Scot mengenai moral ekonomi petani di Asia
Tenggara (LP3ES 1981) dan Hans Dieter Evers produksi massa apung di Jakarta
(PRISMA VIII-Juni 1980). Dalam hal ini konsep subsistensi dipakai untuk
menunjuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh golongan miskin adalah hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Produksi pertanian di
pedesaan dan barang maupun jasa di perkotaan adalah bukan untuk pasar, tetapi
untuk dikonsumsi sendiri, tidak ada orientasi untuk pengembangan usaha,
melainkan hanya sebagai livelihood saja.
Tabel 2.7.1.
Karakteristik UMK Survial/Subsistence dan Viable
Survival/Subsistence Viable
1 Motivasi Sering karena terpaksa oleh keinginan Memang berminat dan berniat untuk
untuk memperoleh keuntungan melakukan usaha yang viable dan
alternative menguntungkan, berdasarkan pilihan
2 Waktu Biasanya bersifat part-time atau Merupakan sumber utama
musiman, sekedar sebagai sumber penghasilan rumah tangga
sekunder penghasilan rumah tangga
3 Syarat Biasanya tidak terlalu diperlukan, Pengalaman dan ketrampilan sangat
Ketrampilan mudah dilakukan sehinga menjadi diperlukan
overcrowded
4 Penggunaan Penghasilan usaha cenderung dipakai Penghasilan usaha dipergunakan
penghasilan untuk sekedar mempertahankan hidup untuk reinvestasi pengembangan
dan untuk pengeluaran rumah tangga usaha, ada potensi pertumbuhan
Sumber: Asian Development Bank 1997, Microenterprise Development, Not By Credit Alone, pp.
26-27
Universitas Indonesia 50
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dari segi orientasi tindakan ekonomi, memang ada dua jenis usaha, yaitu
livelihood enterprises dan growth oriented enterprises. Livelihood enterprises
adalah usaha yang tujuannya hanya sebatas sebagai matapencarian. Sedangkan
growth oriented enterprises adalah usaha yang berorientasi pada pengembangan
usaha.
Tabel 2.7.2.
Perbedaan Utama antara UMK Livelihood dan
UMK Growth Oriented
Livelihood Enterprises Microenterprises
1 Kapitalisasi Relatif rendah Lebih tinggi, tetapi awalnya
sama
2 Pendidikan Sedikit pendidikan formal Setidaknya sekolah menengah
3 Ketrampilan Relatif rendah, kecuali ketrampilan Lebih tinggi, umumnya didapat
dan tradisional seperti untuk kerajinan tangan; dari kursus-kursus atau dari
Pengalaman kegiatan berdagang sering merupakan arena pengalam kerja yang lalu
latihan untuk kemudian merakit produk
yang sama
4 Gender Partisipasi perempuan tinggi Partisipasi perempuan
umumnya lebih rendah, dengan
beberapa pengecualian
5 Sektor Umumnya peternakan, perunggasan, Lebih banyak manufaktur dan
makanan dan perdagangan kecil jasa yang memerlukan beberapa
ketampilan
6 Kompetisi Kompetisi pasar sempurna, relatif bebas Sering memanfaatkan pasar
masuk, penggunaan tenaga keluarga intensif khusus dengan spesialisasi
dan menawarkan kredit kepada buruh produk
7 Musim Musiman, ikut siklus tanaman, tahun Kurang dipengaruhi oleh musim
sekolah, hari-hari besar
8 Kontribusi Biasanya merupakan sumber sekunder, Sering merupakan sumber
terhadap walaupun vital utama
penghasilan
9 Jumlah usaha Biasanya merupakan salah satu dari Biasanya hanya satu-satunya
beberapa usaha yang sama, sebagai
kompensasi musim dan keuntungan rendah
10 Penggunaan Jarang, umumnya tenaga keluarga Umumnya bukan keluarga, ada
tenaga yang juga yang keluarga dan anak-
dibayar anak
11 Surplus dan Surplus terbatas dan sering dikeruk untuk Umumnya surplus direinves
Reinvestasi pengeluaran rumah tangga
12 Penggunaan Consigment dalam kegiatan dagang, profit Kesempatan kredit lebih luas,
kredit sharing dalam peternakan, sewa di muka baik formal maupun semi
untuk perahu atau kereta; dan menjadi net formal, serta lebih besar
lender agar dapat bersaing.
13 Potensi Produksi, penjualan, keuntungan dan Memiliki potensi pertumbuhan:
pertumbuhan penghasilan bisa meningkat, tetapi untuk jumlah tenaga kerja, tenaga
kesempatan lapangan kerja terbatas; kerja yang dibayar, dan tenaga
pertumbuhan sering terhambat oleh tingkat yang berkualitas
permintaan, ketersediaan bahan,
keterbatasan tempat.
Sumber: Asian Development Bank 1997, Microenterprise Development, Not By Credit Alone, pp.
31-32
Universitas Indonesia 51
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
2.8. Dilema Pemerintah dalam Pembinaan UMK
Universitas Indonesia 52
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.8.1.
Bimbingan, Pelatihan dan Penyuluhan (BPP) Pekerja
Universitas Indonesia 53
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.8.1.a.
Banyaknya Usaha IKKR menurut Jenis Kesulitan Usaha
Tahun 2003
Uraian IK IKR Jumlah
(1) (2) (3) (4)
1.Tidak mempunyai kesulitan 73,328 966.905 1.039.233
% 30,67 40,19 39,34
Universitas Indonesia 54
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.8.1.b.
Banyaknya Pekerja Usaha IKKR menurut Status dan Jenis Kelamin Pekerja
Tahun 2003
Dari segi prospek usaha, sebagian besar pelaku IKKR merasa apatis,
tidak lebih buruk tetapi juga tidka lebih baik dari masa sekarang ini (Tabel
2.8.2.). Ini mengingatkan penulis pada konsep usaha kecil sekedar untuk
livelihood, survival atau subsistence. Apatisme ini juga mendukung
rendahnya partisipasi mereka dalam kegiatan pembinaan (Tabel 2.8.1.)
Tabel 2.8.2.
Banyaknya IKKR menurut Prospek Usaha 6 Bulan Mendatang, Tahun 2003
Prosepek Usaha 6 Bulan Mendatang IK IKR Jumlah
(1) (2) (3) (4)
Lebih Buruk 23.080 253.645 276.725
% 9,79 10,54 10,47
Universitas Indonesia 55
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
2.9. Kebijakan Dasar tentang Lingkungan di Jakarta dalam hubungannya
dengan Pembinaan UMKM
Universitas Indonesia 56
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
serta mengembangkan jaringan distribusi produk industri dan perdagangan;
dengan salah satu indikator kinerja adalah meningkatnya usaha industri ramah
lingkungan.
Akan tetapi dalam buku Kondisi Kualitas Lingkungan HidupDaerah
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2004 (BPLH DKI 2004),
diperoleh laporan bahwa bahwa kualitas air DKI Jakarta pada tahun 2004 sudah
mengalami pencemaran yang berat. Sumber pencemaran air itu berasal dari agro
industri, industri pengolahan dan sumber domestik. Limbah yang paling dominan
berasal dari industri pengolahan, yaitu sebesar 3.141.764.470 m3/tahun atau 97,81
% dari total limbah cair (Tabel 2.9.1). Dari jumlah tersebut, sumbangan dari
industri pengolahan makanan adalah sebesar 159.062,98 m3 atau 5,06 %. Dari segi
volume limbah, sumbangan industri pengolahan makanan tersebut tampaknya
kecil (BPLH Propinsi DKI Jakarta 2004)
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
Agrobisnis Ind.Pengolahan Sumber Domestik
SUMBER PENCEMARAN
Akan tetapi dari segi kualitas limbah, tetutama limbah BOD (biological oxygen
demand) dab TDS (total dissolve solid), industri pengolahan makanan adalah
penyumbang terbesar (Tabel 2.9.2). Hal yang demikian itu adalah dimungkinkan
sehubungan dengan buruknya pengelolaan limbah pada industri pengolahan
makanan. Sebagaimana telah disampaikan di muka, industri pengolahan makanan
pada umumnya adalah industri kecil dan industri rumah tangga dan tidak
melakukan pengolahan limbah.
Universitas Indonesia 57
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.9.2. Distribusi Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air
BIOLOGICAL CHEMICAL
VOLUME SUSPENDED TOTAL
OXYGEN OXYGEN MINYAK NITROGEN
LIMBAH SOLIDS DISSOLVED SOLID
SUMBER DEMAND DEMAND ton per ton per
ribu m3 per ton per ton per
ton per ton per tahun tahun
tahun tahun0 Tahun
tahun tahun
(01) (02) (03) (04) (05) (06) (07) (08)
AGRO INDUSTRI
19.79 2,775.73 - 3,071.96 - - 120.55
INDSPENGOLAHAN
3,141,764.47 950,784.20* 820,467.11 915,988.13 3,307,771.56** 21,808.66 76.40
DOMESTIK 70,444.93 61,392.16 142,181.56 139,653.64 317,623.73 - 347.59
Jika dilihat dengan angka persen, volume limbah cair industri pengolahan
adalah dominan, yaitu sebesar 97,81% dari total limbah cair di Propinsi DKI
Jakarta, dengan BOD sebesar 93,68% dan TDS sebesar 91,24%. Dari jumlah
tersebut infustri pengolah makanan menyumbang BOD dan TDS sukub besar,
yaitu 67,19% untuk BOD fan 49,71% untuk TDS (Tabel 2.9.3 dan 2.9.4)
Universitas Indonesia 58
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel dan Grafik 2.9.4.
Beban Awal Limbah Cair Menurut Sumber dan Jenisnya di
DKI Jakarta, 2004
3500000
3000000
BEBAN (ton/tahun
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0
BOD COD SS TDS N
PARAMETERPENCEMAR
Sumbangan BOD dari industri kecil tempe tahu pada dasarnya kecil, yaitu
hanya sebesar 25.000 ton dan 4.225 ton per tahun atau sekitar 5% untuk tempe
dan dan 0,89% untuk tahu (Tabel 2.95). Akan tetapi karena baunya menyengat
maka hal tersebut menjadi masalah.
Universitas Indonesia 59
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.9.5.
Pencemaran BOD Dari Sumber Effluent Industri
Pengolahan Makanan DKI Jakarta Tahun 2004
PRODUKSI BOD
INDUSTRI DAN PROSES SATUAN
Ribu satuan kg per ton per
Per tahun satuan tahun
(01) (02) (03) (06) (07)
Universitas Indonesia 60
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
model modernisasi ekologis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model
pembangunan menurut pendekatan EM pada dasarnya dapat dilaksanakan.
Universitas Indonesia 61
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
perdagangan yang sehat dan efisien, adil dan dinamis bagi semua skala usaha,
serta mengembangkan jaringan distribusi produk industri dan perdagangan;
dengan salah satu indikator kinerja adalah meningkatnya usaha industri ramah
lingkungan.
Universitas Indonesia 62
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.10.1.
Jumlah Perusahaan menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
Tidak Dapat
Usaha Usaha Usaha Usaha
Kodya Diiden- Jumlah
Mikro Kecil Menengah Besar
tifikasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Jakarta
Selatan 144.481 71.036 4.393 2.350 643 222.903
Jakarta
Timur 166.536 80.519 3.063 1.202 174 251.494
Jakarta
Pusat 98.471 67.984 4.200 2.299 683 173.637
Jakarta
Barat 191.883 81.379 3.780 1.334 81 278.397
Jakarta
Utara & 138.038 64.646 4.326 1.740 309 209.059
Kep Seribu
Universitas Indonesia 63
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Tabel 2.10.2.
Jumlah Tenaga Kerja menurut Kab/Kodya dan Skala Usaha
Tidak Dapat
Usaha Usaha Usaha Usaha
Kodya Diiden- Jumlah
Mikro Kecil Menengah Besar
tifikasi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Jakarta
Selatan 225.927 213.798 98.636 207.571 17.046 762.978
Jakarta
Timur 243.007 206.530 43.676 107.020 2.967 603.200
Jakarta
Pusat 149.120 205.303 69.303 206.096 13.004 642.826
Jakarta
Barat 298.719 250.404 80.272 103.167 2.455 735.017
Jakarta
Utara & 202.465 187.032 80.072 199.478 3.862 672.909
Kep Seribu
Adapun jenis-jenis komoditi yang diolah oleh industri kecil di DKI Jakarta
adalah bermacam-macam, meliputi makanan, minuman, pakaian, kulit, kayu, batu
dan logam (lihat Lampiran 1).
Informasi yang lebih ditail dari profil UMK di Jakarta penulis peroleh dari
Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga 2005 (BPS Propinsi DKI
Jakarta 2006). Survai IKKR ini dikhususkan pada usaha industri tempe tahu,
pakaian jadi, dan industri mebel dari kayu. Dilakukannya survai pada ketiga jenis
usaha industri ini karena usaha industri ini menyerap banyak tenaga kerja.
Hasil survai menginformasikan bahwa karakteristik ketiga jenis usaha
industri tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, baik dari bentuk
segi usaha, pelaku usaha dan kendala yang dihadapi:
1. Bentuk usaha merupakan usaha perorangan.
2. Pelaku usaha didominasi oleh laki-laki, dengan pendidikan paling tinggi
SLTA. Demikian juga untuk tenaga kerja, didominasi oleh laki-laki dengan
tingkat pendidikan paling tinggi SLTA. Jenis usaha industri ini memang lebih
Universitas Indonesia 64
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
memerlukan tenaga kerja terampil dan berpengalaman daripada tenaga kerja
berpendidikan.
3. Pada umumnya mereka memiliki dua golongan tenaga kerja, yaitu tenaga kerja
yang dibayar dan tenaga kerja yang tidak dibayar. Gaji atau upah yang
diberikan kepada pekerja pada umumnya rendah, sekitar Rp.600 ribu sampai
dengan Rp.1juta.
4. Biaya produksi diluar balas jasa tenaga kerja sebagian besar untuk biaya bahan
baku, jumlahnya sekitar Rp. 10juta sampai dengan Rp.20juta.per bulan
Sedangkan total nilai produksinya sekitar Rp.13juta sampai dengan Rp.23juta
per bulan. Ini berati keuntungan per bulan kira-kira sebesar Rp.3juta.
5. Dari segi permodalan, pada umumnya adalah modal sendiri. Jika ada modal
dari pihak lain, modal tersebut pada umumnya adalah pinjaman perorangan.
6. Hubungan dengan perbankan pada umumnya terkendala oleh bentuk usaha
yang tidak berbadan hukum dan penjaminan yang tidak jelas.
7. Untuk mengatasi kendala permodalan dan juga kendala lain, pada umumnya
usaha industri kecil ini tempe tahu bergabung dalam asosiasi atau koperasi
sejenis; sedangkan untuk industri pakaian jadi danmebel hanya sebagian kecil
saja yang bergabung dalam asosiasi atau koperasi.
8. Mengenai prospek usaha, pada umumnya mereka juga apatis; tidak pesimis
tetapi juga tidak optimis.
9. Motivasi usaha mereka adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan tidak tampak orientasinya pada pengembangan usaha. Permodalan dan
pemasaran tampaknya tetap merupakan kendala umum bagi UMK di DKI
Jakarta.
Dalam hal tenaga dan pengupahan, industri kecil tempe tahu tidak
mengalami kendala. Tenaga cukup tersedia dari anggota keluarga atau kerabat,
sehingga upahnya dapat ditetapkan secara kekeluargaan. Dalam hal energi untuk
pengolahan, industri kecil ini juga tidak mengalami kendala. Kenaikan harga
minyak dan gas tidak menjadi masalah, karena dapat diganti dengan arang dan
kayu bakar. Kayu bakar yang dimaksud bukanlah kayu bakar dalam bentuk batang
Universitas Indonesia 65
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
atau ranting pohon hasil tebangan, melainkan berasal dari bekas bahan bangunan,
bekas peti kemas ataupun bekas perlatan mebel yang sudah tidak dapat dipakai
lagi. Distribusi, transportasi dan pemasaran juga bukan masalah. Alat tranportasi
untuk distribusi dan pemasaran pada umumnya adalah sepeda motor. Namun pada
dasarnya para perajin tidak perlu mendistribusikan sendiri tempe tahu yang
mereka hasilkan, sebab para pelanggan (pedagang) sudah mengambilnya
sendiri.dan mendistribusikannya ke pasar atau ke konsumennya masing-masing.
Satu-satunya kendala yang dihadapi oleh para perajin industri kecil tempe
tahu adalah semakin mahalnya bahan baku yaitu kedelai yang berkualitas baik.
Kedelai lokal kualitasnya rendah dan harganya lebih mahal daripada kedelai
impor. Saat para perajin lebih memilih kedelai impor, harga kedelai impor
semakin mahal mengikuti harga pasar bebas. Sementara itu kedelai lokal mulai
langka karena para petani kedelai cenderung beralih ke tanaman lain yang harga-
jualnya lebih mampu berasaing dan lebih menguntungkan.
Rubrik Ekonomi & Bisnis dalam ANTARA News, Jumat 18 Januari 2008
mengemukanan head line berjudul Liberalisasi Tata Niaga Jadi Perusak Harga
Kedelai. Mengutip penjelasan Direktur Budidya Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian Muchlizar
Murkam, ANTARA News menulis beberapa hal sebagai berikut: Waktu Bulog
masih memegang kendali tahun 1992, Indonesia justru bisa swasembada kedelai
dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun. Akan tetapi semenjak
liberalisasi, tata niaga kedelai di Indonesia mengikuti tata niaga dunia.
Diinformasikan oleh Direktur Budidya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian bahwa waktu Bulog
masih memegang kendali tahun 1992, Indonesia justru dapat mengalami
swasembada kedelai dengan produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun. Tapi,
semenjak liberalisasi dan mengikuti tata niaga dunia, maka pasarlah yang
mengatur. Diakui pula bahwa Departemen Pertanian tidak dapat memacu para
petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai, jika harga kedelai di tanah
air tidak dapat bersaing.
Menurut beliau, saat ini tata niaga dunia dimonopoli Amerika Serikat
(AS). Pemberian kemudahan impor kedelai dari AS tentu membuat produk
Universitas Indonesia 66
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pertanian tersebut jauh lebih murah dibanding harga kedelai dalam negeri. Hal
tersebut, dinilainya, menyebabkan para petani kedelai enggan mengembangkan
produk pertanian tersebut dan lebih memilih harga komoditas pertanian yang
memiliki harga jual tinggi. Departemen Pertanian tidak dapat membiarkan petani
terus merugi karena harga yang tidak bersaing. Karena itu Departemen Pertanian
mendukung petani yang ingin mengembangkan produk pertanian yang lebih
memiliki harga jual dibanding kedelai. Karena itu petani dibebaskan beralih
ketanaman lain. Akibatnya, dalam kurun waktu 10 tahun lahan pertanian kedelai
berkurang dari 1,6 juta hektar menjadi 600.000 hektar saja.
Departemen Pertanian juga sudah mengetahui, sebenarnya petani kedelai
sudah sejak lama ingin melakukan demonstrasi ke Istana Negara untuk menuntut
dinaikannya harga kedelai. Direktur Budidya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian Muchlizar Murkam
juga menjelaskan bahwa sudah sejak 10 tahun lalu petani kedelai menjerit karena
harga jual kedelai dalam negeri selalu kalah bersaing. Kepada ANTARA beliau
menunjukkan data yang dikeluarkan BPS, yaitu bahwa harga kedelai dalam negeri
tidak dapat bersaing: Tahun 2005 harga kedelai impor Rp2.800, sedangkan harga
kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600
sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai
impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram. Beliau juga
menginformasikan bahwa upaya menarik petani untuk mau beralih lagi menanam
kedelai di tahun 2007 telah dilakukan dengan cara memberikan bantuan benih
gratis untuk lahan seluas 313.489 hektar, yang kemudian direvisi menjadi 260.000
hektar. Namun, sangat disayangkan petani tidak tertarik menanam kedelai akibat
harga kedelai yang tidak bersaing.
Judith Petts, Andrew Herd and Mary O’heocha (1998) melaporkan hasil
penelitiannya yang bermaksud mengeksplorasi links antara perilaku lapisan
manajemen dan non-manajemen terhadap lingkungan dan response secara
organisasi di kalangan SME. Subyek penelitian adalah usaha kecil (10-49 pekerja)
Universitas Indonesia 67
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan menengah (50-249) pekerja. Kelompok usaha mikro tidak diteliti karena
potensi polusinya sulit diidentifikasi. Untuk mengatasi masalah akibat terlalu
hetrogennya SME, peneliti mempergunakan multiple methods. Laporan ini
mengidentifikasi lingkup dan cara dimana sikap pribadi dapat dipicu untuk
memotivasi, mengaktifkan dan membantu mengoperasionalkan respon
perusahaan terhadap lingkungan.
Dalam laporan ini ditunjukkan adanya sikap positif yang kuat terhadap
lingkungan pada pribadi-pribadi. Pada perusahaan-perusahaan yang lebih
proaktif, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya elemen-elemen pembelajaran
organisasional yang dapat membantu mengejawantahkan sikap menjadi perilaku
yang efektif; dalam hal ini termasuk struktur manajemen yang mendukung,
pelatihan dan komunkasi dua arah dan adanya tokoh-tokoh champion di dalam
perusahaan; di samping adanya keterbatasan-keterbatasan perusahaan. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua perusahaan dapat melakukan
apresiasi tersebut sehubungan dengan hambatan struktural internal perusahaan
maupun kemampuan perusahaan dalam mengakses sumber-sumber yang relevan.
Fiona Tilley (1999) melakukan penelitian yang bermaksud mencari
pengertian dan makna dari sikap dan perilaku usaha kecil terhadap lingkungan.
Dengan teknik penelitian kualitatif data dikumpulkan melalui wawancara
mendalam terhadap 60 usaha kecil bidang jasa dan perbengkelan di kota Leeds,
West Yokshire. Hasil yang diperoleh menyimpulkan bahwa usaha kecil
menghadapi kesulitan serius dalam merespon tekanan-tekanan lingkungan.
Sehubungan dengan karaktersitik uniknya, usaha kecil tidak dapat diharapkan ikut
menerapkan solusi sebagaimana telah dikembangkan untuk dan oleh usaha yang
lebih besar, sekalipun skalanya telah diturunkan. Diindikasikan bahwa
pemilik/manager tertentu dari manufaktur dan usaha kecil perlu berjuang untuk
menjembatani gap antara attitude terhadap lingkungan dan behavior terhadap
lingkungan; gap antara aspirasi dan praktik. Sebagian masalahnya terletak pada
dominannya paradigma lama yang menciptakan seperangkat nilai, baik pribadi
maupun korporat, yang tidak mampu mengakomodasi persoalan-persoalan
lingkungan dewasa ini. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu membuat kita pesimis.
Ada beberapa kekuatan pendorong yang diharapkan dapat merubah usaha kecil ke
Universitas Indonesia 68
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
arah yang lebih sustainable. Sejumlah solusi muncul dan menawarkan jalan keluar
pada level perusahaan, misalnya ekologi industri, atau pada level institusional,
misalnya modernisasi ekologi. Akan tetapi yang masih perlu adalah dukungan
yang lebih bagi pendidikan lingkungan dan program-program pelatihan serta
kerangka regulasi yang lebih kuat dalam rangka mengatasi ketidak-seimbangan
anta factor-faktor resistan dan faktor-faktor pendorong yang dewasa ini
memperlebar gap antara sikap dan perilaku lingkungan di kalangan usaha kecil.
Michael T. Rock dan Jean Aden (1999) melaporkan hasil survainya
terhadap industri-industri manufaktur di Semarang. Survai dilakukan terhadap 121
industri menengah dan besar yang paling potensial mencemari lingkungan, yaitu
industri kimia, industri pengolahan makanan dan minuman, industri tekstil dan
industri lainnya terutama industri pemoresan kayu. Pengujian hipotesis
mempergunakan analisis regresi. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa
perilaku untuk ramah lingkungan pada industri-industri manufaktur di Semarang
berhubungan signifikan dengan besarnya perusahaan, umur perusahaan, teguran
dan monitoring dari pemerintah, tekanan dari masyarakat sekitar, dan
keringanan fiscal serta kemampuan finansial perusahaan. Sedangkan mengenai
berapa besarnya pengeluaran perusahaan untuk penggunaan peralatan pengendali
polusi, lebih tergantung dari sector atau produk yang dihasilkan perusahaan.
Industri kimia pada umumnya memiliki peralatan pengendali polusi yang
memerlukan biaya tinggi.
Martin Lindell dan Necmi Karagozoglu (2001) meneliti dan
membandingkan opini para manager di negara-negara Nordic dan Amerika
Serikat mengenai persoalan-persoalan lingkungan. 645 kuesioner dikirimkan
kepada para manager senior terutama pada perusahaan-perusahaan kehutanan dan
kertas, eletronika, telekomunikasi dan percetakan. Dilaporkan response rate hanya
sebesar 26 %, meliputi usaha kecil dengan kurang dari 50 pekerja sampai ke
perusahaan yang lebih besar dengan 10.000 pekerja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan alasan waktu yang tersedia untuk penyesuaian
dirasakan sangat pendek, maka para manager perusahaan di Amerika Serikat
cenderung lebih luwes dalam mentaati peraturan perundangan lingkungan jika
dibandingkan dengan para menager Nordic. Menurut pandangan para manajer
Universitas Indonesia 69
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Amerika, di samping terlalu ketat peraturan perundangan lingkungan di Amerika
Serikat kurang memberikan dukungan terhadap adaptasi yang kreatif. Mengenai
pro-activeness dan inovasi lingkungan, adalah tidak ada perbedaan antara
manager AS dan Nordic. Akan tetapi para manager AS melaporkan kurangnya
tenaga terlatih di perusahaannya. Mengenai environmental actions, baik manager
di AS maupun di Nordic mengaku siap melebihi kompetitornya. Akan tetapi para
manager Nordic cenderung lebih bersikap poisitf terhadap competitive effects dan
manfaat environmental measures.
Michael Schaper (2002) melakukan studi yang bertujuan untuk
menetapkan factor-faktor dapat memprediksi tingkat tanggungjawab lingkungan
dari perilaku bisnis di kalangan UKM. Variabel-variabel yang diuji meliputi sikap
mengenai lingkungan dari para pemilik/manajer, karakteristik demografik pemilik,
dan variable-variabel eksternal seperti permintaan konsumen, ketersediaan modal,
besarnya usaha, waktu dan sumber-informasi. Pengujian dilakukan terhadap 154
pemilik/manajer toko obat di Australia Barat. Hasilnya menunjukkan tingginya
“green” attitudes di kalangan pemilik/manajer usaha, tetapi tidak ada hubungan
signifikan antara sikap tersebut dengan kinerja actual dari usaha tersebut.
Karaktersitik demografis pemilik/manajer juga tidak berhubungan dengan tingkat
kinerja lingkungan. “Green” activities tampaknya berhubungan positif signifikan
dengan waktu dan informasi yang dimiliki oleh manajer/pemilik.
Clare D’Souza dan Roman Preretiatko (2002) melakukan survai mengenai
hubungan industrialisasi dengan pengelolaan lingkungan di dua kota industri di
India, yaitu Gujarat dan Maharashtra. Sampel terdiri dari 63 industri kecil dan 49
industri besar. Dengan mempergunakan analisis Chi Square, peneliti
menghasilkan 4 kesimpulan dari empat hipotesisnya. Yang pertama, ada
perbedaan signifikan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar dalam
pemahamannya mengenai permasalahan kebijakan-kebijakan lingkungan;
perusahaan kecil cenderung tidak memahami isues maupun kebijakan lingkungan.
Yang ke dua, ada perbedaan signifikan antara perusahaan besar dan perusahaan
kecil dalam kesediaannya mempergunakan peralatan pengendali polusi.
Perusahaan kecil cenderung tidak mempergunakan peralatan pengendali polusi
dengan alasan kurang memberikan keuntungan. Yang ke tiga, dengan demikian
Universitas Indonesia 70
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dalam proses produksi, perusahaan kecil cenderung tidak mengikuti prosedur
green manufacturing process sebagaimana di lakukan oleh perusahaan-
perusahaan besar. Kemudian kesimpulan yang ke empat menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan kecil cenderung tidak mentaati perturan-peraturan
lingkungan yang ada, kecuali jika sedang dikontrol oleh pemerintah.
David Hitchens, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, dan Samarthia
Thankappan (2003), melakukan penelitian selama empat tahun guna mengukur
hubungan antara persaingan usaha, budaya manajemen lingkungan, pentingnya
bimbingan eksternal dalam penggunaan cleaner production, dan kinerja
lingkungan pada usaha kecil dan menengah sektor manfaktur furniture di Irlandia,
Jerman dan Itali. Penelitian dilakukan dengan kuesioner melalui pos dan juga
wawancara setengah terstruktur. Masing-masing Negara diambil 100 sampel
untuk kuesioner pos dan 33 sampel untuk wawancara. Daftar pertanyaan yang
dipergunakan adalah daftar pertanyaan yang uga dipakai untuk sector textile
finishing dan fruit and vegetable processing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kendali biaya dan penguasaan pasar adalah penting, hampir sama pentingnya
dengan regulasi. Akan tetapi inisiatif lingkungan yang dilakukan tidak memiliki
impak terhadap kinerja biaya dan pasar. Tidak ada hubungan signifikan antara
inisiatif lingkungan dengan kinerja perusahaan secara ekonomi. Inisiatif
lingkungan juga tidak berhubungan dengan sikap manajemen lingkungan.
Sementara itu bimbingan lingkungan meskipun relevan dan gratis, tidak
dimanfaatkan oleh SME. Kendala yang dihadapi adalah permodalan, poor
payback, prioritas rendah, kurang waktu dan tidak adanya ketrampilan atau
bimbingan. Menurut pembimbing lingkungan, kendalanya adalah factor sumber
daya, khususnya waktu dan modal, skeptisme bahwa inisiatif lingkungan kurang
memberi keuntungan ekonomi, dan kecenderungan resistance to change, persepsi
terhadap lingkungan serta tidak dikehendakinya interupsi dalam kegiatan-kegiatan
produksi.
Andrea Revell (2003) melakukan penelitian yang bermaksud
mengeksplorasi praktik-praktik ramah lingkungan pada kalangan usaha kecil dan
menengah di UK, dengan mempergunakan teori EM sebagai alat analisis.
Penelitian yang disponsori oleh European Social Research Council (ESRC) ini
Universitas Indonesia 71
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap pemilik-manager 40
perusahaan di London dan Leeds, termasuk wawancara terhadap 10 informan
kunci dari pihak perindustrian dan pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang
diteliti adalah industri bangunan dan restoran. Pertanyaan penelitian diajukan
sesuai dengan prinsip-prinsip EM. Pertama, dinamika pasar dan agen-agen
ekonomi memiliki peranan penting dalam meningkatkan restrukturisasi ekologis.
Pertanyaanya adalah: apakah UKM-UKM yang diteliti menunjukkan tanda-tanda
restrukturisasi ekologi? Apakah dinamika pasar mendorong restrukturisasi
tersebut? Kedua, terdapat kecenderungan munculnya ideologi-ideologi baru
dalam dunia bisnis, masyarakat umum dan arena politik, yaitu environmental
concern. Pertanyaannya adalah: apakah para pemilik-manager melaksanakan
usaha engan prinsip sustainabilitas? Apakah kegiatan ekonomi dan meningkatnya
interest pada lingkungan itu compatible? Ketiga, modernisasi politik di negara-
negara maju telah mentransformasi peranan pemerintah dari kebijakan gaya
komando dan kontrol ke pendekatan “streering” yang menekan market-based
incentives seperti pajak-pajak lingkungan dan kesepakatan-kesepakatan sukarela
serta meningkatnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan-kebijakan.
Pertanyaannya adalah: apakah kebijakan pemerintah mendorong kegiatan UKM
ramah lingkungan?
Hasil penelitian sementara memberikan jawaban bahwa pada umumnya
para pengusaha mengetahui banyak mengenai bahan-bahan yang berbahaya dan
beracun dan tidak aman bagi kesehatan. Akan tetapi mereka kurang merasa
harus bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan atas penggunaan bahan-
bahan tersebut. Di samping itu mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa karena
hanya itu yang tersedia dan murah. Mengenai tuntutan pasar untuk ramah
lingkungan, hasil sementara penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk
pro aktif memenuhi standar lingkungan seperti eco labeling, internal audits dan
ISO14000 cenderung hanya dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
lebih besar atau yang bergabung di dalam konsorsium atau bersubsidi di bawah
afiliasi perusahaan induk. Faktor biaya dan persaingan yang tinggi juga menjadi
alasan bagi perusahaan untuk tidak mengutamakan pentingnya ramah lingkungan
dan sustainabilitas. Di samping itu bahan-bahan yang ramah lingkungan pada
Universitas Indonesia 72
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
umumnya kurang awet. Para pemilik-manager perusahaan menyadari bahwa
untuk sampai pada UKM yang ramah lingkungan diperlukan regulasi dari
pemerintah. Akan tetapi menurut mereka inforcement-nya di lapangan masih
sangat kurang.
Ramjeawon (2004) mendeskripsikan perbedaan kemampuan industri
menengah dan industri kecil di Mauritius dalam melaksanakan Cleaner
Production dan pengendalian polusi. Dilaporkan bahwa ke dua jenis industri yang
diteliti melalui studi kasus, adalah sama-sama membawa dampak pada
lingkungan. Pada industri kecil yang diteliti, yaitu industri-industri pengolahan
kulit yang pada umumnya tersebar di pemukiman penduduk, ditemukan tidak
mampu dalam melaksanakan Cleaner Production dan pengendalian polusi.
Ketidakmampuan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti:
ketidakmampuan perusahaan dalam mengakses sumber-sumber investasi untuk
pengendalian polusi, tingkat teknologi yang rendah, kekurangan ruang dan
waktu, tidak tersedianya tenaga yang terlatih dalam bidang lingkungan, dan
memang tidak ada kemauan dan komitmen dari pihak management untuk
berinvestasi dalam perlindungan lingkungan, serta tidak adanya alokasi
tanggungjawab yang jelas antara perencana dan pelaksanaan kegiatan, termasuk
tidak adanya kontrol dari pemerintah. Pada industri yang lebih besar, yang dalam
penelitian tersebut diwakili oleh industri pengolahan minuman beer, modal dan
teknologinya mampu menghasilkan Cleaner Production. Management perusahaan
ini adalah focus on quality, product improvement, on brand and company image,
memiliki tanaga ahli pengendalian polusi dan kesadaaran lingkungan yang tinggi
pada level management, dan memang ada kontrol dari pemerintah melalui
monitoring effluent; serta bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat dalam
rangka peningkatan teknologi dan pengendalian limbah.
Mark Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede dan Chwen Sheu
(2004) melakukan penelitian terhadap para supply chain manager pada berbagai
level perusahaan kecil, menengah sampai ke yang besar. Sampel diambil
sebanyak 64 perusahaan di Taiwan dan 39 perusahaan di Amerika Serikat. Para
peneliti berangkat dengan asumsi bahwa environmental management yang
dilakukan oleh para pelaku usaha adalah dilatar-belakangi oleh kondisi persaingan
Universitas Indonesia 73
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
yang dihadapi. Dalam hal ini ada dua jenis lingkungan bisnis berdasarkan pola
persaingannya, yaitu lingkungan yang bersifat hostility dan lingkungan yang
bersifat dynamism. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa ke dua jenis lingkungan
persaingan tersebut adalah sama, keduanya berhubungan positif terhadap tingkat
investasi dalam manajemen lingkungan. Hipotesis lainnya adalah bahwa investasi
dalam manajemen lingkungan memiliki dampak terhadap kinerja perusahaan.
Dengan path analysis diperoleh kesimpulan bahwa lingkungan persaingan
yang dinamis yang memiliki hubungan positif dengan investasi dalam manajemen
lingkungan, sedangkan lingkungan yang bersifat hostility adalah tidak.
Kesimpulan lainnya adalah bahwa investasi dalam manajemen lingkungan
memang terbukti signifikan beruhubungan positif dengan kinerja perusahaan.
Andreas Diekman dan Peter Preisendörfer (2003) melakukan penelitian
mengenai the behavioral effets of environmental attitudes dalam kaitannya dengan
ketersediaan biaya. Penelitian ini tidak khusus dilakukan tehadap para pengusaha
kecil, melainkan kepada penduduk pada umumnya, yaitu di beberapa kawasan di
Jerman Barat dan Jerman Timur, dengan sample masing-masing 1.095 dan 2.307
responden. Beberapa indikator environmental behavior yang diteliti adalah
relevan dengan indikator environmental behavior pada kegiatan usaha, seperti
partisipasi dalam kegiatan daur ulang, pola konsumsi dan penggunaan produk eco-
label dan penghematan energi dan air. Penelitian ini bermaksud menguji the low-
cost hypothesis dari rational choices theory.
Dengan mempergunakan t-test peneleliti melakukan komparasi aspek
kepedulian lingkungan pada kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan
kepedulian lingkungan pada kegiatan yang murah atau tidak memerlukan biaya
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kepedulian lingkungan cenderung terwujud
dalam bentuk perilaku nyata jika tidak mengakibatkan atau memerlukan biaya
lebih tinggi. Peneliti juga mengajukan hipotesis baru, bahwa pada dasarnya biaya
tinggi dalam kehidupan masyarakat dapat ditekan melalui perencanaan sosial dan
regulasi yang baik. Itu berarti hipotesis selanjutnya adalah bahwa realisasi sikap
peduli lingkungan menjadi tindakan nyata peduli lingkungan adalah ditentukan
oleh perencanaan sosial dan regulasi yang ada.
Universitas Indonesia 74
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Robert Emmet Jones dan Riley E. Dunlap (1992/2001) melakukan
penelitian mengenai kaitan antara sikap kepedulian lingkungan dengan
karakteristik sosial-politik dengan memanfaatkan data yang telah dikumpulkan
oleh NORC General Social Survey mulai tahun 1973 sd. 1990, kecuali tahun 1979
dan 1981. Setiap survai menjangkau antara 1.352 sd. 1.592 responden. Sikap
kepedulian lingkungan diukur dengan jumlah pengeluaran untuk kegiatan-
kegiatan yang berkenaan dengan environmental protection. Sedangkan variable-
variabel sosial-politik meliputi umur, ideologi politik, pendidikan, tempat tinggal
pada umur 16 tahun (masa anak/remaja), tempat tinggal sekarang, partai politik,
sektor industri tempat bekerja, penghasilan keluarga, gender, race dan
occupational prestige. Data dianalisis dengan mempergunakan analisis bivariat
dan standardized regession coefficients, multiple correlation coefficients. Hasilnya
adalah bahwa prediktor sangat signifikan untuk kepedulian lingkungan adalah
umur, dalam hal ini didominasi oleh kalangan dewasa muda. Prediktor berikutnya,
signifikan, adalah ideology politik, pendidikan, tempat tinggal masa remaja.
Dalam hal ini kepedulian lingkungan didominasi oleh penganut ideologi liberal,
berpendidikan tinggi dan dibesarkan di kawasan urban. Pridiktor selanjutnya,
cukup signifikan, adalah tempat tinggal sekarang, partai politik dan sektor industri
tempat bekerja, yang dalam hal ini adalah responden yang bertempat tinggal di
kawasan urban, berafiliasi pada partai Demokrat dan tidak bekerja pada
perusahaan ekstraktif. Survai memang tidak dimaksudkan untuk meneliti perilaku
usaha kecil, namun cukup relevan untuk diterapkan pada penelitan kepedulian
lingkungan para pelaku usaha kecil.
Universitas Indonesia 75
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 3
METODE PENELITIAN
Universitas Indonesia 76
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
3.2. Strategi dalam Pengumpulan Data.
a. Field Study:
Sub-sub tema studi komunitas pada penelitian ini meliputi aspek fisik
dan aspek sosial budaya komunitas. Sub-sub tema studi pada aspek fisik
lingkungan meliputi:
• tata guna lahan,
• konstruksi masyarakat setempat mengenai kondisi estetika
lingkungan,
• keanekaragaman flora dan fauna,
• kesuburan tanah,
• kelayakan sumur-sumur sumber air minum,
• keanekaragaman penyakit,
• tingkat kematian.
Universitas Indonesia 77
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
• kegiatan-kegiatan seni-budaya,
• kegiatan penanganan limbah dan kebersihan lingkungan,
• paguyuban-paguyuban,
• nilai, norma, definisi, persepsi dan kebiasaan-kebiasaan yang
berkaitan dengan lingkungan,
• kehidupan keagamaan yang berkaitan dengan lingkungan,
• tingkat kriminal, fasilitas dan organisasi Kamtib,
• fasilitas kesehatan,
• pengalaman bencana, dan
• fasilitas penanganan sampah/limbah.
• harapan-harapan ke depan.
Universitas Indonesia 78
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
melakukan observasi dan partisipasi dan berinteraksi dengan setiap
anggota.
Bentuk partisipasi yang penulis lakukan antara lain hadir dalam
pertemuan-pertemuan pimpinan PRIMKOPTI, hadir dalam kegiatan-
kegiatan penyuluhan kesehatan lingkungan dan pengolahan limbah,
kegiatan pengobatan massal, dan memberi masukan kepada tokoh-tokoh
setempat dalam menyusun proposal dan mengurus kerjasama nasional dan
internasional bidang pengelolaan lingkungan. Sudah barang tentu penulis
melakukan wawancara mendalam terhadap para pimpinan instansi atau
organisasi sosial setempat dan juga tokoh-tokoh setempat sebagai
informan. Dari para pimpinan setempat penulis memperoleh bahan-bahan
tertulis ataupun visual yang relevan. Penulis juga diijinkan melakukan
perekaman dan fotografi.
Berdasarkan hasil field study ini penulis menyempurnakan kerangka
pemikiran dan menyusun ideas yang lebih terfokus dan spesifik
sebagaimana telah disebutkan di muka. Dari ideas inilah penulis
menyusun kuesioner dan melakukan survai. Dengan demikian pada
dasarnya survai ini adalah bagian dari field study.
b. Survey:
Universitas Indonesia 79
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
• jumlah jam kerja,
• asosiasi yang diikuti,
• aset dan permodalan,
• kondisi SDM,
• cara memperoleh bahan baku dan energi,
• manajemen usaha,
• pembiayaan dan produktivitas,
• cara pemasaran,
• persaingan, dan masalah-masalah yang dihadapi.
Universitas Indonesia 80
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
• pengelolaan limbah minyak/olie
• pengelolaan limbah padat
• pengelolaan kebisingan
• partisipasi dalam kebersihan lingkungan
• pencantuman informasi produk pada kemasan
• banyaknya protes/complain dari masyarakat sekitar
• partisipasi dalam usaha menuju produksi ramah lingkungan
Sumber data dan sampel untuk memperoleh data survai ini adalah
para pemilik usaha pengolahan tempe/tahu setempat. Mengingat
karakteristik populasi yang homogen, maka teknik pengambilan sampel
adalah cukup dengan cara aksidental. Jumlah unit usaha yang berhasil
”ditangkap” sampel adalah 98 unit dari total populasi 710 unit usaha.
Sebagian responden adalah anggota Koperasi PRIMKOPTI setempat, dan
sebagian lainnya belum menjadi anggota atau sudah tidak menjadi
anggota.
Universitas Indonesia 81
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
FGD penulis lakukan dengan mempergunakan pedoman yang penulis
sadur dari Pedoman Tata Kelola yang Apik untuk Produksi Bersih UKM
(PPBN, KLH dan GTZ). Pedoman terlampir.
FGD penulis lakukan dalam tiga tahap. Tahap yang pertama adalah
FGD terhadap Pengurus PIK-KOPTI setempat. FGD dengan pengurus ini
lebih bersifat presentasi dan pembahasan rencana rekomendasi
berdasarkan hasil penelitian penulis.
FGD tahap ke dua penulis lakukan terhadap baik Pengurus maupun
perwakilan warga setempat. FGD tahap kedua lebih bersifat lokakaya yang
terdiri dari 3 (tiga) sesi utama. Sesi yang pertama pertama adalah
presentasi hasil penelitian dan usulan rekomendasi penulis, dan presentasi
tanggapan Pengurus PIK KOPTI. Sesi ke dua adalah diskusi kelompok.
Pada diskusi kelompok ini peserta penulis bagi menjadi 4 (empat)
kelompok/bidang, yaitu Kelompok Teknik (10 orang), Kelompok
Ekonomi (12 orang), Kelompok Sosial (10 orang), dan Kelompok
Lingkungan (10 orang). Tujuan utama diskusi adalah membahas rencana
pembangunan percontohan pabrik pengolahan tempe milik
bersama/koperasi.
Data yang terkumpul baik melalui field study, survai ataupun FGD
dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif.
Di dalam survai penulis memang memberikan skor yang sepertinya
kuantitatif atas jawaban responden. Akan tetapi sesungguhnya penulis tidak
Universitas Indonesia 82
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
pernah mempergunakan skala rasio murni. Misalnya pemberian skor jawaban
yang mengindikasikan ramah atau tidak ramah lingkungan, penulis
mempergunakan cara yang sangat sederhana. Untuk setiap jawaban yang
menunjukkan perilaku tidak ramah lingkungan diberikan skor -1 (minus satu).
Sebaliknya untuk setiap jawaban yang menunjukkan perilaku ramah
lingkungan diberikan +1 (plus satu). Data tidak dianalisis bersadarkan
individu atau dibiarkan tersebar, melainkan dikelompokkan atau
dikatagorikan. Pada variabel intensitas praktik ramah lingkungan ini, tidak
ada satupun responden yang jumlah skor plusnya dapat melebihi jumlah skor
minus. Artinya semuanya minus, bervariasi mulai dari 0 sampai dengan -30.
Untuk memberi semangat kepada responden, penulis tidak mengatakan
bahwa semua peserta survai adalah tidak ramah lingkungan; melainkan
penulis klasifikasi menjadi mendekati ramah lingkungan (skor 0 sd. -10),
kurang ramah lingkungan (skor -11 sd. -20), dan sama sekali tidak ramah
lingkungan (skor -21 sd. -30). Cara yang demikian penulis lakukan juga untuk
data lain yang menyangkut angka atau frekuensi atau seperti umur, jumlah
anak, jumlah pekerja dan tingkat asset
Pengolahan data dilakukan dengan mempergunakan alat bantu statistik
program SPSS. Karena sifat data yang pada umumnya berskala nominal, dan
yang berskala ”rasio” dikelompokkan menjadi berskala ordinal, maka teknik
korelasi yang dipergunakan untuk melihat validitas hubungan-hubungan
sebagaimana yang dirumuskan pada ideas, adalah cukup crosstab dengan
komputasi statistik chi-square.
Adapun daftar keseluruhan variabel, indikator, sumber data, jenis data dan teknik
pengumpulan data, kuesioner, matrik data dan komputasi SPSS, matrik data field
studi dan hasil data FGD, penulis laporkan pada Lampiran 4, 5, 6,7, 8,9.
Universitas Indonesia 83
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 4
Gambar 1.
Lokasi Kelurahan Semanan di dalam Peta Jakarta Barat
Untuk mencapai lokasi penelitian, dapat diempuh melalui tiga akses: 1) Kampung
Malang yang terletak di bagian Utara kawasan. Jalur ini digunakan sebagian
besar untuk menuju Stasiun Kalideres. 2) Kampung Gagak atau Jl. Gagak yang
terletak di bagian Barat kawasan. Jalur ini adalah menuju Pasar Cengkareng. 3)
Jl. Semanan Raya, yang terletak di bagian Selatan kawasan dan merupakan akses
Universitas Indonesia 84
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
utama kawasan ini. Angkutan umum yang mendukung akses dari dan menuju
atau melalui kawasan ini adalah Mikrolet C15 Ciledug-Semanan, L25 Dongkal-
Poris, 04 Kebon Jeruk-Semanan-Stasiun KA Kalideres. Selain itu ada juga
angkutan “tuyul”/plat hitam.
PIK KOPTI
SEMANAN
Gambar 2.
Lokasi PIK KOPTI Semanan diunduh dengan GoogleEarth.
Universitas Indonesia 85
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
tahun 1992. Anggota dapat memiliknya dengan cara mengangsur atau dapat juga
menyewanya.
Universitas Indonesia 86
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
profesionalisme, koperasi memang belum siap memasuki dunia ekonomi
kapitalistik.
Pada Januari 2008, sehubungan dengan melonjaknya harga kedelai akibat
pasar bebas, para pengurus dan anggota KOPTI Semanan berdemo menghadap
Presiden di Istana Negara untuk meminta subsidi; dan Presiden mengabulkan
permintaan subsidi itu dengan Rp.1000,00 per kg kedelai. Sejak saat itu
pengadaan kedelai di kawasan KOPTI Semanan kembali dikelola oleh pengurus
KOPTI. Dari realitas ini, dapat dikatakan bahwa para pelaku usaha industri kecil
tempe-tahu (society) belum siap mengantisipasi fluktuasi harga di pasar bebas
(market); mereka juga memerlukan koperasi (traditional corporation), akan
tetapi koperasi sendiri belum siap memasuki ekonomi pasar bebas tersebut dan
memerlukan subsidi dan proteksi dari negara (state).
BU ANGAN
SALURAN
IPAL
PIK KOPTI
SEMANAN
Gambar 4.
Lokasi PIK KOPTI Semanan diunduh dengan GoogleEarth
Universitas Indonesia 87
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dijumpai pot-pot pohon kecil. Kawasan memang didominasi oleh bangunan
rumah.
Jumlah rumah yang telah dibangun sejak kawasan ini dikembangkan adalah
679 rumah permanen dan 26 rumah non permanen dengan kepadatan 57 rumah
per Ha. Rumah permanen dibangun oleh developer dengan luas bangunan standar
27m2 dan luas tanah 90m2 dan 126m2. Kondisi bangunan standar adalah atap
genteng dinding batako plesteran dan lantai keramik serta dilengkapi dengan
septik tank dan resapan. Sekarang ini jumlah rumah permanen bertambah
menjadi 682 unit. Bertambahnya jumlah penghuni dalam rumah menyebabkan
tiap-tiap penghuni, merenovasi rumahnya sesuai dengan kebutuhannya yaitu
untuk memproduksi tempe tahu sekaligus juga sebagai rumah tinggal. Hal ini
menyebabkan permukiman mereka menjadi tidak sedap dipandang mata, tidak
teratur dan tidak layak ditinggali sebagai rumah hunian (rawan kebakaran).
Kondisi sebagian jalan yang rusak, tidak adanya krib pembatas jalan, serta
mampatnya saluran-saluran drainasi, penggunaan rumah tinggal untuk kegiatan
produksi, ditambah lagi bau yang khas dari limbah produksi yang masuk ke
saluran tersebut, dan juga penggunaan serambi rumah dan pinggiran jalan sebagai
tempat penjemuran produk, memberikan kesan kumuh linkungan PIK Semanan.
Jaringan jalan yang ada adalah berbentuk grid iron yang meliputi 0,656 km jalan
akses dari jalan raya Semanan dan 4,6 km jaringan jalan lingkungan. Pada saat
penulis berad di lokasi, kondisi jalan ada yang rusak, yaitu jalan dengan lebar 4m
rusak sepanjang 812m dan jalan yang lebarnya 6 m rusak sepanjang 223m. Kesan
kumuh juga diperparah dengan adanya beberapa rumah yang sudah mulai
menunjukkan kerusakan. Penempatan rumah sewa/kontrakan di bagian Selatan
kawasan juga menambah kesan kumuh karena materialnya yang sebagian besar
non permanen dan menghalangi pemandangan ke sawah.
Terhadap realitas ini penulis tidak berani berargumen bahwa ekonomi
usaha kecil cenderung mengabaikan keindahan lingkungan. Ada juga ekonomi
usaha kecil yang justru mengutamakan keindahan lingkungan, misalnya usaha
kecil tanaman hias dan jasa pertamanan, karena komoditinya adalah memang
keindahan itu. Kekumuhan yang terjadi di lingkungan penelitian tampak lebih
tepat ditempatkan sebagai akibat komoditinya yang memang bukan keindahan
dan tidak membutuhkan keindahan. Hal ini pun bukan berarti para penghuni tidak
memiliki selera keindahan. Di kampung halaman, di Pekalongan, mereka
Universitas Indonesia 88
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
mengaku membangun dan memiliki rumah dan kebun yang layak dan lebih
indah.
Universitas Indonesia 89
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 5.
Suasana Dapur Umum dan Perawatan Bak Pengolahan Limbah
Universitas Indonesia 90
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
4.5. Fasilitas Air Bersih
Gambar 6.
Jasa Penyediaan Air untuk Cuci dan Perebusan Kedelai
Terhadap realitas menurunnya air tanah dari 20M menjadi 50-100M ini
penulis ingat premis dari Treadmill of Production (ToP) bahwa semakin masal dan
cepat produksi semakin menghabiskan sumber daya lingkungan. Premis tersebut
berkemungkinan benar, karena lahan di sekitar PIK KOPTI Semanan belum
Universitas Indonesia 91
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
berubah peruntukannya (masih kosong) sehingga tidak dapat dicurigai sebagai
penyebab menurunnya air tanah. Ini bukan berarti bahwa kegiatan produksi tempe
dan tahu harus dihentikan, melainkan perlu dicarikan jalan keluar melalui prinsip-
prinsip produksi ramah lingkungan. Jalan keluar itulah yang sedang diusahakan
oleh para pengurus lingkungan setempat bersama-sama dengan pemerintah dan
beberapa perguruan tinggi.
Universitas Indonesia 92
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 7.
Fasilitas Pengolahan Sampah
Universitas Indonesia 93
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
yang senantiasa dipenuhi asap karena proses produksi yang menggunakan bahan
bakar kayu. Penyakit ini melanda mulai dari anak-anak maupun orang dewasa.
Beberapa orang tua menginformasikan mereka sehat atau tidak merasa satu gejala
sakit sebelum mereka pindah ke kawasan ini. Sejak tiggal di kawasan ini orang
tua tersebut merasakan gejala sakit, terutama sesak nafas dan sakit kepala.
Penulis juga menemukan satu orang dewasa yang harus minum obat sakit kepala
setiap hari sejak tinggal di kawasan ini.
Gambar 8.
Fasilitas Pendidikan, Peribadatan dan Kesehatan di PIK KOPTI Semanan
Universitas Indonesia 94
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
4.8. Struktur Kepemimpinan Lokal
Universitas Indonesia 95
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IPAL, dan percontohan sumur resapan. Alasan utama para Pengurus Koperasi
untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan termasuk untuk kegiatan-
kegiatan non ekonomi ini adalah karena lahan PIK KOPTI masih hak milik
Koperasi. Hanya sebagian kecil saja anggota yang sudah melunasi cicilan
pembayaran rumah dan memperoleh Sertifikat Hak Miliknya. Di samping itu
para Pengurus berpendirian bahwa Badan Hukum Koperasi adalah sah, dan
Koperasi memperoleh ijin, dukungan dan pembinaan serta ”impartasi
wibawa” dari banyak instansi pembina baik swasta maupun pemerintah
seperti BPPT, BPLH DKI, BPLHD Jakarta Barat, Dinas Perindustrian Jakarta
Barat, Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Barat, Dinas Kebersihan Jakarta
Barat, Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Barat, Walikota Jakarta Barat dan
Nyonya, Universitas Trisakti, Insitut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah
Mada.
Demikianlah segala sesuatu yang berlangsung di atas lahan itu harus
sepengetahuan dan seijin Pengurus Koperasi, perlu rekomendasi dari
Pengurus Koperasi, bahkan ada yang harus mengatasnamakan Koperasi
walaupun pelaksanaannya bukan oleh Koperasi. Kegiatan pemasokan kedelai
untuk rumah-rumah produksi misalnya, seharusnya memang menjadi salah
satu usaha Koperasi. Akan tetapi oleh karena habisnya modal Koperasi akibat
kesalahan managemen sebagaimana telah disampaikan, maka untuk urusan
pemasokan kedelai ini harus direlakan dikelola oleh seorang anggota yang
mampu. Demikian juga untuk pemasokan minyak tanah yang bukan saja
sepengetahuan Pengurus, melainkan juga harus mengatasnamakan Koperasi
demi untuk memperoleh perijinan distribusi dengan harga yang lebih murah.
Demikian juga untuk pemasokan dana untuk permodalan ataupun untuk
keperluan konsumtif anggota yang seharusnya merupakan usaha vital dari
Koperasi, sekarang ditangani oleh Bank Mandiri, BRI dan BPR Artha
Secana. Lembaga-lembaga keuangan ini memberikan kredit kecil dengan
jaminan surat-surat pemilikan properti dan rekomendasi dari Pengurus
Koperasi. Dalam urusan kredit ini Pengurus memperoleh komisi dan
kemudahan dalam berurusan dengan lembaga-lembaga keuangan tersebut.
Universitas Indonesia 96
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Pengoperasian IPAL, Dapur umum bahkan sampai pada distribusi air
minum PDAM untuk kawasan PIK KOPTI, Koperasi dan Pengurus
mengambil peran sebagai pengelola. Dalam pengelolaan IPAL, Pengurus
mempekerjakan sekitar 30 orang warga luar PIK KOPTI. Mereka ini juga
menjadi pekerja di Dapur Umum. Mereka tidak berlogat Pekalongan dan
tidak dapat berbahasa Jawa. Diperoleh informasi bahwa para pekerja di
IPAL/Dapur umum ini pada umumnya mantan preman di kawasan Jakarta
Barat. Ketika beberapa kali terjadi protes warga luar PIK KOPTI yang
drainase huniannya dilewati air limbah dari PIK KOPTI, para pekerja inilah
yang berjaga-jaga melindungi kawasan.
Dalam setahun dapat terjadi tiga kali protes. Yang paling keras adalah
protes dari sekelompok warga RW 08 karena air limbah produksi dari PIK
KOPTI langsung masuk ke saluran air terbuka yang melewati kawasan RW
08. Bentuk protes mulai dari surat pelaporan dan peringatan, ancaman
pembunuhan kepada pengurus dan para pekerja, dan juga penutupan saluran
pembuangan. Di samping berlindung kepada instansi-instansi yang
membinanya, yaitu Pemerintah, Pengurus PIK KOPTI memilih untuk
menghindar dan tidak menanggapi protes-protes yang bersifat anarkis.
Kemudian setelah kemarahan warga tersebut mereda, beberapa perwakilan
Pengurus mencoba mendatangi pimpinan warga yang protes tersebut untuk
berdialog.
Gambar 9.
Saluran Buangan Pemicu Protes
Universitas Indonesia 97
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAPURUMU
SALURAN BUANGAN
M
IP AL
PIK KOPTI
Gambar 10.
Saluran Buangan Pemicu Protes diunduh dengan GoogleEarth
Universitas Indonesia 98
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
yang dilakukan adalah membantu warga PIK KOPTI Semanan membangun
pintu-pintu penyaringan di beberapa titik pada saluran buangan itu.
Jumlah Penduduk PIK KOPTI pada tahun 2005 tercatat 1.732 jiwa.
Mereka ini meliputi 762 anggota Koperasi beserta anggota keluarganya.
Jumlah tersebut belum termasuk jumlah keluarga yang bukan anggota
Koperasi yang mengontrak rumah milik Koperasi sebanyak 23 KK., yang
tidak berprofesi sebagai produsen tempe tahu. Bidang produksi mereka
adalah kerupuk kulit, sari kelapa, pengolahan ikan, warung kelontong,
warung makan dan bengkel sepeda motor.
Tidak semua anggota Koperasi memperoduksi tempe tahu. Mayoritas
memproduksi tempe saja, sebagian kecil lainnya memproduksi tahu saja.
Namun demikian, limbah dan dampak lingkungannya sama. Untuk produksi
tempe tahu, sebagian besar warga melakukan seluruh proses produksinya di
rumah, bahkan sampai ke bagian luar rumah. Kegiatan proses produksi
meliputi penumpanan bahan baku, tempat pencucian, dapur untuk perebusan,
tempat perendaman, tempat fermentasi dan pengemasan. Dapur Umum
berikut fasilitas dan tenaganya yang sudah disediakan oleh Koperasi tidak
dimanfaatkan oleh sebagian besar warga ini, dengan alasan tempatnya terlalu
jauh dan sudah terlanjur menjadi kebiasaan melakukan proses produksi di
rumah dengan tenaga kerja dari anggota keluarga atau kerabat sendiri, yang
tidak perlu pendidikan ketrampilan khusus. Mereka juga tidak membuat
perencanaan usaha, melainkan mejalankannya sebagai rutinitas sehari-hari.
Penanggungjawab usaha adalah suami, sementara isteri dan anak-anak ikut
bekerja misalnya untuk fermentasi, penjemuran, pengepakan dan pemasaran.
Partisipasi anak dan perempuan dapat dikatakan tinggi, bukan karena hak
melainkan karena kewajiban sebagai anggota keluarga.
Universitas Indonesia 99
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 11.
Suasana Kegiatan Produksi
Universitas Indonesia100
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bersifat manual dengan cara direndam dan direbus, air bersih yang
dibutuhkan menjadi banyak dan limbah cair pun juga menjadi banyak.
Tempat perebusan kedelai adalah drum-drum bekas dan umumnya berkarat.
Bahan bakar yang dipergunakan adalah kayu bakar, menimbulkan asap yang
membuat udara di dalam rumah menjadi pengap dan panas, serta membuat
warna hitam pada dinding ruangan. Pada saat proses produksi, tidak satupun
dari para pekerja mempergunakan masker, sarung tangan, sepatu boot atau
perlengkapan perlindungan lainnya. Mereka tampak kebal debu abu, kebal
asap, kebal bau dan kebal kelembaban. Dengan tenang dan tanpa merasa
salah, pemilik rumah produksi atau pekerja membuang limbah cair ditempat
(on site). Limbah mengalir ke saluran drainase lingkungan, bercampur
dengan limbah cair domestik. Sedangkan limbah padat berupa abu sisa
pembakaran, mereka kumpulkan dalam karung untuk dibuang ke transfer
depo sampah. Tranfer depo sampah ini dikelola oleh Dinas Kebersihan
Jakarta Barat. Untuk merawat kebersihan lingkungan dan kelancaran saluran
drainase, termasuk untuk beroperasinya IPAL dengan baik, mereka
membayar sejumlah iuran. Namun apabila saluran drainase itu telah mulai
tersumbat oleh sampah dan endapan lumpur sisa produksi, maka sebagai
bentuk praktis kepedulian pada lingkungan dan kepentingan umum
merekapun bekerjabakti membersihkannya. Warga yang berpartisipasi dalam
kerjabakti pada umumnya didorong alasan karena kewajiban dan supaya tidak
diomeli pengurus, bukan karena untuk menjaga kesehatan lingkungan.
Kerjabakti dikoordinasi oleh Pengurus Koperasi bersama dengan Pengurus
RT/RW.
Mengenai limbah bau, sejak semula mereka menganggapnya biasa dan
tidak berbahaya; dulu ketika masih di Pekalongan hal itu tidak ada yang
mempersoalkan. Demikian juga ketika mereka sudah berada di Jakarta
sebelum pindah di PIK KOPTI, ketika mereka masih tinggal di pinggir-
pinggir kali dengan keadaan lingkungan yang lebih-lebih kumuh, membuang
limbah produksi begitu saja ke kali adalah sudah menjadi kebiasaan. Namun
setelah mengikuti berbagai penyuluhan lingkungan mereka menyadari juga
bahwa hal tersebut adalah membahayakan kesehatan bagi diri sendiri dan
Universitas Indonesia101
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
bagi lingkungan sekitar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa, dan
menganggapnya tidak lagi masalah karena sudah ada IPAL yang akan
menetralisir bau. Akan tetapi bau limbah itu sudah menyebar lebih dahulu
sebelum air limbah itu sampai ke IPAL.
Untuk menghindari terjadinya polusi udara di masing-masing rumah
produksi dan untuk mempercepat pembuangan limbah cair ke IPAL, maka
proses perendaman, perebusan dan pencucian kedelai itu seharusnya
dilakukan di Dapur Umum. Akan tetapi sebagaimana telah disampaikan,
hanya sebagian kecil saja rumah produksi yang memanfaatkan Dapur umum
ini. Alasan utama bagi yang tidak memanfaatkan Dapur Umum adalah karena
sudah kebiasaan melakukan proses produksi di rumah; juga kebiasaan
melakukan proses pencucian kedelai dengan air yang berlimpah di kali yang
limbahnya terbuang dengan sendirinya di kali yang sama, atau jika
pencuciannya dilakukan di rumah, limbah dibuang ke drainase domestik
tanpa diolah lebih dahulu. Alasan lain adalah karena sudah memiliki tenaga
kerja sendiri, sehingga tidak memerlukan tenaga dari dapur umum. Di
samping itu letak Dapur Umum dianggapnya terlalu jauh. Sedangkan bagi
yang memanfaatkan Dapur Umum, alasannya bukanlah karena peduli
lingkungan, tetapi lebih karena tidak punya tenaga kerja yang cukup, tidak
punya peralatan yang cukup dan tidak mampu memperoleh air bersih yang
cukup pula.
IPAL dan drainase pada dasarnya sudah bukan urusan rumah produksi
secara individual, melainkan sudah menjadi urusan kolektif. Untuk ini
Pengurus Koperasi yang bertanggungjawab, agar kawasan PIK KOPTI tetap
memenuhi syarat AMDAL dan bebas dari protes-protes yang sering
dilancarkan oleh warga luar PIK yang kawasan huniannya dilewati drainase
air buangan PIK KOPTI. IPAL dikontrol dan dibersihkan setiap hari. IPAL
pernah memperoleh sumbangan mesin Water Treatment dari Pangeran
Charles, namun kini keadaannya sudah rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Pada saat penulis berada di lokasi, IPAL sedang dipersiapkan oleh BPLH
DKI untuk mengolah limbah menjadi gas methan yang akan berguna bahan
bakar gas. Gas methan ini menurut rencana akan dipergunakan sebagai
Universitas Indonesia102
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
sumber energi pengganti bahan bakar kayu di Dapur Umum dan sumber
energi untuk lampu-lampu penerangan di sekitar IPAL.
Gambar 12.
Bak Pengolahan Limbah
Universitas Indonesia103
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 13.
Penyuluhan Hemat Energi
4.11.Harapan-harapan
Universitas Indonesia104
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
itulah penulis berpartsisipasi dalam penyusunan proposal proyek-proyek
Environment Sanitation.
Harapan warga atau perajin pada umumnya adalah tidak sampai pada
keinginan memenuhi kriteria produksi ramah lingkungan. Mereka tidak
mempersoalkan apakah produk dan proses produksi mereka memenuhi
kriteria ramah lingkungan atau tidak. Bagi mereka yang penting produk laku
terjual. Demikianlah adanya, produk memang laku terjual, pemasok dan
pemodal juga pedagang dan pembeli pada umumnya tidak pernah
mempersoalkan apakah produk dan proses produksinya memenuhi kriteria
ramah lingkungan atau tidak. Menurut mereka lingkungan dan rumah
produksi yang mereka tempati sekarang ini adalah sudah baik jika
dibandingkan dengan rumah produksi ketika mereka masih tinggal di pinggir
kali. Akan tetapi sesungguhnya bagi mereka semua itu bukan masalah, sebab
yang penting bagi mereka adalah menghasilkan uang, dan uang itu untuk
membangun rumah yang lebih baik di kampung halaman. Yang lebih sering
diucapkan warga adalah keinginan memperoleh pasokan bahan baku dan
bahan penunjang yang lebih murah.
Beberapa warga dan pamong PIK KOPTI Semanan Jakarta Barat
membenarkan bahwa dampak kenaikan bahan utama tahu dan tempe adalah
biaya produk semakin mahal, namun harga jual tidak mungkin dinaikkan.
Kalaupun dinaikkan hanya 10-20 persen saja, kalau terlalu mahal maka
dikhawatirkan tidak laku, karena konsumen akan beralih ke ikan, telur asin
dll sebagai pengganti tahu dan tempe untuk lauk-pauknya. Karena itu pula
beberapa perajin tempe tahu di lingkungan penelitan juga melakukan
produksi sambilan seperti ikan asap, telur asin, kerupuk, warung makan,
warung kelontong, bahkan bengkel kendaraan bermotor.
Universitas Indonesia105
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Gambar 14.
Produksi Sambilan di Dapur Umum
Universitas Indonesia106
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
jualnya pun ikut naik di pasar lokal kita. Akan tetapi jika tetap di-Bulog-kan,
kenaikannya tentu tidak separah sekarang ini sampai 100 persen lebih jika
stok kedelai kita cukup.
Dalam FGD juga terungkap bahwa kelemahan pemerintah sehingga
tidak mampu menstabilkan harga kedelai adalah: yang pertama, stok kedelai
dalam negeri (lokal) sangat sedikit. Departemen Pertanian sudah
mengabaikan petani kedelai. Kedelai impor pun menjadi idola. Hal itu
mengakibatkan petani kedelai kita malas menanam kedelai lagi. Apalagi,
kalau tidak ada subsidi dan jaminan harga jual setelah panen. Dengan kata
lain kebutuhan akan kedelai sudah tergantung impor.
Gambar 15.
FGD Menuju Pabrik Tempe Modern
Universitas Indonesia107
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB 5
PEMBAHASAN 2
60
50
Percent 40
30
20
10
0
0 - -10 (Mendekati Ramah) -11 - -20 (Kurang Ramah) -21 - -30 (Tidak Ramah)
Diagram 5.1.
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Hasil penelitian tersebut penulis bahas dengan para pamong dan tokoh
masyarakat setempat. Tanggapan mereka adalah bahwa keadaan tersebut memang
seperti itu adanya. Mereka mengakui bahwa dalam menjalankan kegiatan usaha
produksi tempe tahu itu mereka melakukannya sesuai dengan kebiasaan dan tidak
sempat memikirkan apakah kegiatan mereka itu ramah lingkungan atau tidak. Yang
mereka mengerti adalah bahwa bahan-bahan yang mereka pergunakan dalam proses
produksi itu adalah bahan-bahan yang lazim, mungkin berbahaya atau beracun,
namun menjadi tidak membahayakan karena takaran penggunaannya pas.
Kenyataan yang demikian itu mengingatkan penulis pada karakteristik usaha
kecil pada umumnya yang memang kurang memperhatikan pentingnya ramah
lingkungan. Untuk industri kecil pengolahan makanan, asumsi tersebut adalah valid.
Seperti usaha kecil lainnya, orientasi utama kegiatan usaha industri kecil tempe tahu
adalah semata-mata adalah keuntungan langsung atau instan, sementara itu hasil atau
keuntungan dari ramah lingkungan adalah tidak seketika. Ramah lingkungan masih
belum dianggap sebagai kebutuhan primer ataupun sekunder, tetapi lebih merupakan
beban.
40
Count
30
20
10
0
Tidak tamat SD SD SMP SMA
Pendidikan (Suami)
Diagram 5.1.1.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Pendidikan Suami
Jika perilaku produksi orang yang tidak tamat SD atau tidak bersekolah
adalah tidak ramah lingkungan, adalah wajar. Akan tetapi jika sebagian besar
orang yang telah menyelesaikan satu jenjang pendidikan adalah berperilaku
produksi kurang ramah lingkungan dan bahkan ada yang tidak ramah
lingkungan sama sekali, maka hal ini menarik untuk dipersoalkan. Persoalannya
dapat diletakkan pada ada tidaknya muatan mengenai subyek lingkungan pada
kurikulum, yang selanjutnya dapat merembet ke unsur-unsur kurikulum lainnya
seperti faktor guru, faktor bahan ajar, faktor fasilitas laboratorium dan peraga
lainnya dan faktor metoda pengajaran. Ini semua berarti bahwa untuk dapat
mengimplementasikan ideologi modernisasi ekologis, diperlukan juga peran
serta sekolah secara lebih serentak dan lebih intensif.
Dari segi umur suami, hal yang sama juga berlaku pada hubungan antara
tingkat ramah lingkungan dengan golongan umur suami. Artinya tingkat ramah
lingkungan pada kegiatan usaha pengolahan tempe tahu tidak ada kaitannya
dengan umur suami. Tingkat ramah lingkungan kegiatan usaha yang pada
umumnya kurang, berlaku untuk semua golongan umur suami (Tabel 5.1.2 dan
Diagram 5.1.2). Ideas yang lazim adalah bahwa semakin tua umur seorang laki-
lai, ia akan semakin arif dan semakin bijak dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Itu mungkin hanya terjadi di lingkungan masyarakat pedesaan yang
Tabel 5.1.2.
Golongan Umur Suami dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
40 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
Ramah)
30 -21 - -30 (Tidak Ramah)
Count
20
10
0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun 60 tahun ke
atas
Diagram 5.1.2.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Golongan UmurSuami
Tabel 5.1.3.
Pendidikan Isteri dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
30
Count
20
10
0
Tidak tamat SD SD SMP SMA
Pendidikan Isteri
Diagram 5.1.3
Tingkat Ramah Lingkungan dan Tingkat Pendidikan Isteri
Hal yang sama juga berlaku pada hubungan antara tingkat ramah
lingkungan dengan golongan umur isteri. Artinya tingkat ramah lingkungan
pada kegiatan usaha pengolahan tempe tahu tidak ada kaitannya dengan
golongan umur isteri. Tingkat ramah lingkungan kegiatan usaha yang yang pada
umumnya kurang, berlaku juga untuk semua golongan umur isteri (Tabel 5.1.4
dan Diagram 5.1.4).
Tabel 5.1.4.
Golongan Umur Isteri dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
15
Count
10
0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun
Diagram 5.1.4
Tingkat Ramah Lingkungan dan Golongan Umur Isteri
Tabel 5.1.5.
Tanggungan Anak dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Tanggungan Anak 0 sd -10 -11 sd -20 -21 sd -30 Total
Mendekati Kurang Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 8 28 3 39
0
% 20.5% 71.8% 7.7% 100.0%
Count 0 2 1 3
1
% .0% 66.7% 33.3% 100.0%
Count 6 14 4 24
2
% 25.0% 58.3% 16.7% 100.0%
Count 5 9 1 15
3
% 33.3% 60.0% 6.7% 100.0%
Count 6 8 3 17
4
% 35.3% 47.1% 17.6% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%
20
Count
15
10
0
0 1 2 3 4
Tanggungan Anak
Diagram 4.1.5.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Jumlah Tanggungan Anak
Count 20
10
0
Anggota Koperasi Tdk menjadi anggota
Diagram 5.1.6.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Keanggotaan dalam Koperasi
Dari Tabel 5.1.7 dan Diagram 5.1.7, tampak bahwa pada umumnya
warga PIK KOPTI cenderung kurang ramah lingkungan. Hal itu berlaku baik
50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
40 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
30
Count
20
10
0
11-16 (Di bawah standard 17--19 (Standard umum) > 20 (Melebihi standard
minimal) umum)
Diagram 5.1.7.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Tingkat Nilai Aset
Tabel 5.2.1. Tujuan dan Motivasi Utama Usaha * TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
a) Dari segi motivasi dan tujuan usaha, data menunjukkan bahwa baik
responden yang motivasi dan tujuan usahanya sekedar memenuhi kebutuhan
rutin keluarga saja, maupun yang juga untuk mengumpulkan tabungan, serta
yang juga bertujuan dan bermotivasi untuk pengembangan usaha, pada
50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
40 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
30
Count
20
10
0
Untuk memenuhi Untuk kebutuhan rutin Utk kebutuhan rutin kel,
kebutuhan rutin keluarga keluarga dan untuk tabungan, dan
tabungan pengembangan usaha
Diagram 4.2.1
Tingkat Ramah Lingkungan dan Tujuan & Motivasi Usaha
Tabel 5.2.2.
Status Usaha sebagai Sumber Penghasilan dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
Status Usaha sebagai Sumber 0 sd -10 -11sd-20 -21 sd - Total
Penghasilan Mendekati Kurang 30 Tidak
Ramah Ramah Ramah
Count 24 61 12 97
Sumber penghasilan utama
% 24.7% 62.9% 12.4% 100.0%
Count 1 0 0 1
Sumber penghasilan sekunder
% 100.0% .0% .0% 100.0%
Count 25 61 12 98
Total
% 25.5% 62.2% 12.2% 100.0%
Count 40
30
20
10
0
Sumber penghasilan utama Sumber penghasilan sekunder
Diagram 5.2.2.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Status Usaha
Tabel 5.2.3.
Penanggungjawab Seluruh Kegiatan Usaha dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
30
Count
20
10
0
Suami Isteri Suami dan Isteri
Diagram 5.2.3.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Penanggungjawab Usaha
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
40
Count
30
20
10
0
Rencana Harian Rencana Mingguan Rencana Bulanan Tidak membuat
perencanaan
Diagram 5.2.4.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Jangkauan Rencana
30 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
25 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
20
Count
15
10
0
Suami Isteri Suami dan Isteri Tidak membuat
rencana
Diagram 5.2.5.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Yang Membuat Rencana
50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
40 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
30
Count
20
10
0
Untuk memenuhi Untuk kebutuhan Utk kebutuhan rutin Untuk kebutuhan
kebutuhan rutin rutin keluarga dan kel, tabungan, dan sambilan, tabungan,
keluarga untuk tabungan pengembangan dan pengembangan
usaha
usaha
Diagram 5.2.6.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Penggunaan Penghasilan
25 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
-11 - -20 (Kurang
20 Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
15
Count
10
0
0 1-2 3-4 5-6
Jumlah Pekerja
Diagram 5.2.7.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Jumlah Pekerja
40
Count
30
20
10
0
Pernah Belum pernah
Diagram 5.3.1.
Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Produksi Ramah Lingkungan
Tabel 5.3.2.
Penyuluhan Mengenai Bahan Baku Ramah Lingkungan
dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
40
Count
30
20
10
0
Pernah Belum pernah
Diagram 5.3.2.
Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Bahan Baku Ramah Lingkungan
Count
20
10
0
Pernah Belum pernah
Penyuluhan Lainnya
Diagram 5.3.3.
Tingkat Ramah Lingkungan dan
Partisipasi dalam Penyuluhan Lainnya
Tabel 5.4.
Protes dari Konsumen dan TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
40
Count
30
20
10
0
Pernah Tidak Pernah
Diagram 5.4.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes dari Konsumen
Tabel 5.5.
Protes dari Pedagang/Distributor danTINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
TINGKAT RAMAH LINGKUNGAN
0 sd -10 -11sd-20 -21 sd -
Protes dari Mendekati Kurang 30 Tidak Total
Pedagang/Distributor Ramah Ramah Ramah
Count 23 5 0 28
Tidak Pernah
% 82,1% 17,9% ,0% 100,0%
Count 2 52 1 55
Pernah Sekali %
3,6% 94,5% 1,8% 100,0%
Count 0 4 11 15
Sering
% ,0% 26,7% 73,3% 100,0%
Count 25 61 12 98
Total %
25,5% 62,2% 12,2% 100,0%
40
Count
30
20
10
0
Tidak Pernah Pernah Sekali Sering
Diagram 5.5.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes dari Pedagang
Count
20
10
0
Karena Limbah Karena Limbah Karena Karena Tidak tahu ada
Debu/Abu Bau LimbahAsap dianggap protes
mencemari
sumber air
Diagram 5.6.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Protes Warga Sekitar
5.7. Intensitas praktik ramah lingkungan dan nilai-nilai yang dianut oleh
warga setempat.
60 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
50 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
40
Count
30
20
10
0
Pertimbangan ekonomi semata-mata Pertimbangan ekonomi dan kelestarian
lingkungan
Diagram 5.7.
Tingkat Ramah Lingkungan dan Pertimbangan Pemilihan Lokasi Usaha
50 TINGKAT RAMAH
LINGKUNGAN
0 - -10 (Mendekati
Ramah)
40 -11 - -20 (Kurang
Ramah)
-21 - -30 (Tidak Ramah)
30
Count
20
10
0
Sudah cukup Mohon lebih sering Mohon lebih sering
diadakan diadakan dan dengan
bantuan peralatan
Diagram 5.8.
Tingkat Ramah Lingkungan
dan Harapan terhadap Intervensi/pembinaan
20
10
0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun 60 tahun ke
atas
20
10
0
sd. 29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun
40
20
0
Tidak tamat SD SD SMP SMA
Pendidikan (Suami)
40
30
20
10
0
Tidak tamat SD SD SMP SMA
Pendidikan (Isteri)
40
30
20
10
0
11-16 (Di bawah standard 17--19 (Standard umum) > 20 (Melebihi standard
minimal) umum)
5.10. Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap protes
yang bersifat mengancam; sebaliknya cenderung kooperatif kerjasama
yang saling menguntungkan.
100
80
60
Percent
40
20
0
Ikut dalam Tim Musyawarah Berjaga-jaga Menyerahkan sepenuhnya
kepada Pengurus Lingkungan
PEMBAHASAN 3
2
Unik dalam hal ini juga termasuk berbeda dengan dengan karaktertistik KOPTI di wilayah lain
yang jumlah angotanya sedikit dan lokasi kegiatan produksinya terpencar-pencar membaur
dengan pemukiman penduduk lainnya baik secara administratif maupun teritorial dan tidak
memiliki lahan untuk instalasi pengolahan air limbah.
6.3.2. Konflik yang dalam hal ini adalah protes dari warga diluar kawasan
sehubungan dengan limbah air bau dari proses produksi, tidak
menghalangi para perajin untuk tetap berproduksi. Namun demikian
6.3.3. Di samping itu adanya tindakan protes dari warga lain tersebut juga
telah ikut mendorong Pemerintah dan Perguruan Tinggi peminat
masalah kesehatan lingkungan untuk memberi jalan keluar. Dalam
hal ini Pemerintah membantu warga PIK KOPTI Semanan
membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di lahan yang
sudah ada. Sedangkan beberapa Perguruan Tinggi memberikan
penyuluhan dan pembinaan produksi ramah lingkungan. Pemerintah
setempat juga menjalankan fungsi sebagai penengah bagi keduabelah
pihak yang bersengketa. Hal ini selaras dengan prinsip Ecological
Modernization bahwa untuk menghindari antagonisme dan konflik,
maka modernisasi ekologis memerlukan satu jaringan dan bantuan
dan kerjasama yang lebih luas untuk pengambilan keputusan-
keputusan atau kesepakatan transformatif maupun reformatif.
Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah manfaat praktis maka
pendekatan Ecological Modernization Theory dengan paradigma order dan
struktural fungsionalnya, pada dasarnya cukup mampu memberikan arahan
ideologis mengenai reorganisasi sosial ataupun reformasi teknologi yang
diperlukan, tanpa mengabaikan data dan analisis kritis mengenai adanya
dampak buruk khususnya kerusakan lingkungan dan pihak yang menjadi
korban. Kemudian pendekatan constuctionist memperkaya deskripsi dan
penjelasan mengenai proses-proses interaksional yang terjadi antar berbagai
kelompok kepentingan dalam rangka implementasi praksis Ecological
Modernization.
7.1.11. Akibat dari semua itu, para pengusaha memang tidak termotivasi
untuk melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan.
7.3. R e k o m e n d a s i .
3
Sudah dilakukan kontak awal dengan Prof. Dr. Ir. Arthur PJ. Mol dan Prof. Dr. Ir. Gert
Spaargaren di Wegeningen University, Prof. Dr. Ir. Joseph Huber di Marthin Luther University,
dan Prof. John Hannigan PhD di Toronto University.
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL
PENCEMARAN
USAHA INDUSTRI LINGKUNGAN :
KECIL TEMPE- AIR & UDARA
TAHU
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT RESISTEN DAN
KECIL MELAWAN
KONFLIK
1992 1998
PENCEMARAN
SENTRA TEKNOLOGI WARGA SEKITAR
BERKURANG/
INDUSTRI KECIL PRODUKSI MENDUKUNG DAN
TEMPE-TAHU RAMAH
TIDAK MENGAMBIL MANFAAT
LINGKUNGAN MELEWATI
BATAS
TOLERANSI
Absori (2002)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Perdagangan Bebas,: Universitas Muhammadiyah
Surakarta Press, Surakarta.
Absori (2005)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2,
September 2005: 221 - 237
186
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Badan Pusat Statitik Provinsi DKI Jakarta (2006)
Potret Dunia Usaha DKI Jakarta 2006, Ulasan Ringkas Hasil Pendaftaran Perusahaan/Usaha
Sensus Ekonomi 2006
187
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Castro, Carlos J (2004)
Sustainable Development, Mainstream and Critical Perspectives, Organization & Environment,
© 2004 Sage Publications Vol. 17 No. 2, June 2004 195-225
Dunlap, Riley E. (2001), The Evolution of Environmental Sociology: A Brief History and Assessment of
the American Experience, R. Scott Frey ed. (2001), The Environment and Society Reader, Allyn
and Bacon, Boston, pp. 43-62
188
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Dunlap, Riley E. (2002)
Environmental Sociology, A Personal Perspective on Its First Quarter Century, Organization and
Environment, Vol. 15 No. 1, March 2002, Sage Publications 2002
189
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Franklin, Adrian (2002)
Naature and Social Theory, Sage Publications Ltd. London
Hitchens, David, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, Samarthia Thankappan (2003),
Competitiveness, Environmental Performance and Management of SMEs, Greener Management
International, Winter 2003; 44, pp. 45-57
190
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Huber, Joseph (1998)
“Toward Industrial Ecology: Sustainable Development as a Concept of Ecological
Modernization”, Paper prepared for the International Workshop on “Ecological Modernization”
at the University of Helsinki 10-13 September 1998
Jauhari, A; 2002
Pemberdayaan Usaha Kecil Ramah Lingkungan, SUARA PEMBARUAN DAILY, 18/6/2002,
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=4297
191
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Keraf, Sonny A. (1991)
Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
192
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Muladi (1998)
Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU No. 23
Tahun 1997, Makalah Seminar Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, tanggal 21 Pebruari.
Pagell, Mark, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede and Chwen Sheu (2004)
Does Competitive Environment Influence the Efficacy of Investments in Environmental
Management?, The Journal of Supply Chain Management, 40, 3, Summer 2004, pp. 30-39
193
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Ramjeawon, T. (2004)
A Case Study of Cleaner Production Opportunities In Small and Medium Enterprises on Island of
Mauritius, Electronic Green Journal, Issue 20 Spring 2004
194
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Schnaiberg, Allan, Adam S. Weinberg, David N. Pellow (2000)
The Treadmill of Production and the Environmental State,
http://www.northwestern.edu/ipr/publications/papers/2004/schnaiberg/17_TreadmillEnvirState.pdf
195
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Thapa, Brijesh (1999)
Environmentalism: The Relation of Environmental Attitudes and Environmentally Responsible
Behaviors Among Undegraduate Students, Bulletin of Science, Technology and Society, Vol 9,
No. 5, October 1999, pp. 426-438
196
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Wright, Erik Olin (2004)
Interogating The Treadmill of Production, Some Question I Still Want to Know and Am Not
Afraid to Ask, Organization & Environment, Vol. 1 No. 3, September 2004, Sage Publication,
pp. 317-322
PERATURAN PERUNDANGAN
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123, Tanggal 1 Februari 1995
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Administratif bagi Perusahaan/Industri/Kegiatan Peserta
Prokasih.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 852 Tanggal 12 Juni 1995
Tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah
Cair.
197
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 299 Tanggal 12 Februari 1996
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 Tanggal 19 April 1999
Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tanggal 11 Mei 2000
Tentang Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 Tanggal 25 Juli 2001
Tentang Keterlibatan Masyarakat.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tanggal 12 November 2001
Tentang Sumur Resapan.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tanggal 7 Februari 2001
Tentang Baku Mutu Udara Ambien.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2863 Tanggal 4 Oktober 2001
Tentang Jenis Rencana Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL.
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tanggal 5 Februari 2002
Tentang Jenis Usaha /Kegiatan Yang wajib dilengkapi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta.
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tanggal 12 Januari 2005
Tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan.
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1532 Tanggal 2 Agustus 2005
Tentang Penetapan Kepengurusan Komite Evaluasi Lingkungan Kota Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tanggal 16 Februari 2005
Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 68 Tanggal 8 Juni 2005
Tentang Sumur Resapan.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tanggal 20 Juni 2005
Tentang Kawasan Dilarang Merokok
198
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
WARTA EKONOMI, Minggu, 19 April 2009 10:07
Hukuman Tidak Bikin Kapok Pelanggar LH,
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php/hukuman-tidak-bikin-kapok-pelanggar-lh.html
199
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL
USAHA
PENCEMARAN
INDUSTRI
LINGKUNGAN:
KECIL
AIR & UDARA
TEMPE-TAHU
Treadmill of Ecological
Production (ToP) Modernization
Theory versus (EM) Theory
Conflict Order
Pessimism Optimism, innovative
Environmental abuse Environment friendly
KARAKTERISTIK
PERUSAHAAN
Produk
Permodalan
Pekerja
Pasokan
Jaringan
Perusahaan Induk
KARAKTERISTIK PRAKTIK Ramah
PEMILIK: Lingkungan Usaha
Aspek Sosial Ekonomi, Industri Kecil
Pengetahuan. Motivasi Tempe Tahu
Usaha, Persepsi dan
Sikap
KESIAPAN SOSIAL
MENUJU USAHA INDUSTRI KECIL TEMPE TAHU
RAMAH LINGKUNGAN,
Edy Siswoyo
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
(STISIP) WIDURI
Jakarta 28 Oktober 2009
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
SEMANAN
PIK KOPTI
SEMANAN
Treadmill of Ecological
Production Modernization
(ToP) Theory versus (EM) Theory
Conflict Order
Pessimism Optimism, innovative
Environmental abuse Environment friendly
Struktur
Makro Sosial
Driving (External
forces Factor/
Structure)
Praktik Ramah
Lingkungan dlm
Kegiatan Industri
Kecil Pengolahan
Makanan
Karakteristik
Mikro Individual
(Individual
Resistant
Factor/Agent)
forces
KARAKTERISTIK
PERUSAHAAN
Produk
Permodalan
Pekerja
Pasokan
Jaringan
Perusahaan Induk PRAKTIK Ramah
KARAKTERISTIK Lingkungan
PEMILIK: Industri Kecil
Aspek Sosial Ekonomi, Pengolahan
Pengetahuan. Makanan
Motivasi Usaha,
Persepsi dan Sikap
Proposisi Induk: Signifikansi hubungan antara Karakteristik Perusahaan maupun Karakteristik Pemilik Usaha terhadap
Intensitas Praktek Ramah Likngkungan pada kegiatan industri pengolahan makanan, dipengaruhi oleh
Mekanisme Sosialisasi danIndustri
Kontrol yangEdy
kecil..., dilakukan oleh
Siswoyo, Komunitas
FISIP UI, 2010 Setempat termasuk Pemda Setempat, Konsumen,
Pemasar dan Saingan setempat.
METODE PENELITIAN
1. FIELD STUDY aspek fisik lingkungan dan sosial budaya
setempat:
• Wawancara Mendalam
• Studi Dokumen
• Observasi Partisipasi
(1)
Pemeriksaan Penggunaan air Energi
Bahan
Temuan sebagaimana diuraikan tersebut diatas disampaikan oleh tim peneliti dan
dibahas oleh warga setempat dalam forum FGD. Kegiatan FGD ini dilaksanakan selama
satu hari pada tanggal 28 Oktober 2009. Warga yang diundang untuk hadir pada kegiatan
FGD tersebut adalah tokoh-tokoh warga setempat yang dianggap oleh pengurus
lingkungan memahami dan mampu memberikan masukan atau solusi untuk permasalahan
industeri kecil tempe tahu khususnya dari aspek teknik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
Karena itu dalam FGD tersebut, setelah pleno pemaparan hasil penelitian, peserta
dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu kelompok teknik (10 orang), kelompok
ekonomi (10 orang), kelompok sosial (10 orang) dan kelompok lingkungan (9 orang).
KELOMPOK TEKNIK
Sangat mudah
Tidak begitu sulit, tapi perlu pelatihan khusus
Sangat tidak mudah, perlu tenaga ahli khusus
Sangat mudah
Tidak begitu sulit, tapi perlu pelatihan khusus
Sangat tidak mudah, perlu tenaga ahli khusus
219
Sangat aman
Agak membahayakan keselamatan kerja
Sangat membahayakankeselamatan kerja
220
Ya Tidak
Ya Tidak
221
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
222
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
223
Sudah Belum
Sudah Belum
Sudah Belum
Sudah Belum
224
225
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
226
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
227
Nomor Sampel :
Kelurahan …...........................…………………
Kecamatan ……..........…………………………
Kota/Kab. …………………..........……………..
Propinsi …………………………..........………
Universitas Indonesia 1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
I. INFORMASI DASAR KODE
1. Produk Utama:
Keterangan …………………………………………………………
……………………………………………………………………
2. Tahun mulai kegiatan usaha :
3. Bentuk Badan Hukum : 1
Tidak berbadan hukum 2
CV 3
PT
4. Jika sampai sekarang tidak berbadan hukum:
4.1. NPWP : 1
Ada 2
Tidak ada
4.2. SIUI : 1
Ada 2
Tidak ada
4.3. STDP : 1
Ada 2
Tidak ada
5. Status Usaha dalam Afiliasi dan Pembinaan: 1
Usaha Mandiri
2
Binaan usaha yang lebih besar
3
Binaan LSM, termasuk Perguruan Tinggi
4
Binaan Pemda Setempat
Keterangan …………………………………………………………
………………………………………………………………………
6. Keanggotaan Usaha dalam Asosiasi/Koperasi Usaha Sejenis:
1
Menjadi anggota 2
Tidak menjadi anggota
Keterangan …………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
7. Rata-rata hari kerja perminggu: 1
< 5 hari 2
5 hari 3
6 hari 4
7 hari
Keterangan …………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
8. Rata-rata jam kerja perhari :1
<8 jam 2
8 jam 3
9-12 jam 4
>12 jam
Keterangan …………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
9. Lain-lain ………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….
Universitas Indonesia 2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
II. BAHAN BAKU dan ENERGI KODE
2. Bahan Baku untuk Proses (Bahan untuk campuran, pewarna, pengawet dll):
Nama Bahan Kegunaan Diperoleh dari
…………………………… …………..……….. …………………
…………………………… ……………..…….. …………………
…………………………… ………………..….. …………………
…………………………… ……………………. …………………
…………………………… …………..……….. …………………
…………………………… ……………..…….. …………………
3. Rata-rata volume bahan baku dan energi yang diperlukan dalam produksi per bulan:
Bahan Baku / Energi Unit Rupiah
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
…………………………… ……………….. …………………
A i r……….……………… ……………….. …………………
L i s t r i k………………… ……………….. …………………
G a s……………………… ……………….. …………………
Bensin ....………………… ……………….. …………………
Minyak Pelumas.………… ……………….. …………………
S o l a r…………………… ……………….. …………………
Minyak Tanah…………… ……………….. …………………
Kayu/Arang....…………… ……………….. …………………
3. Hambatan dalam memperoleh bahan baku dasar
1
Langka 4
Jauh
2
Mahal 5
Prosedur rumit
3
Persaingan 6
Lainnya ……………………..
Keterangan:
……………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………….
Universitas Indonesia 3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE
Universitas Indonesia 4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE
Universitas Indonesia 5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE
8.2. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap minyak/olie
limbah?
Universitas Indonesia 6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
III. PENGELOLAAN LINGKUNGAN USAHA KODE
10.2. Apakah terhadap kegiatan usaha ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap
kebisingan suara?
Universitas Indonesia 7
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IV. PERMODALAN KODE
1. Sumber kepemilikan modal:
1
Seluruhnya milik sendiri Rp………………..
2
Sebagian dari pihak lain Rp………………..
3
Seluruhnya dari pihak lain Rp………………..
4
Lainnya ………………… Rp………………..
2. Sumber permodalan jika berasal dari pihak lain:
1
Pinjaman Bank 4
Modal Ventura
2
Pinjaman Koperasi 5
Pinjaman Perorangan
3
Pinjaman LKNB 6
Pinjaman Keluarga
6
Pemilik Modal lainnya ………………………………………
3. Jika sumber permodalan berasal dari pihak lain, apakah memerlukan
a Jaminan/Agunan
1
Semuanya Ya 2
Ada yang Ya , ada yang Tidak 2
Semuanya Tidak
Keterangan: yang Ya, yaitu yang dari ................................................................................
4 Jika sumber permodalan berasal dari Bank, sebutkan nama Bank tersebut:
1
Bank BRI 4
Bank Pasar
2
Bank BNI 5
Lainnya …………………….
3
Bank BPR ………………………………
5. Jika sumber permodalan tidak meminjam dari Bank, alasannya adalah
1
Tidak tahu prosedur 4
Suku bunga tinggi
2
Prosedur sulit 5
Tidak berminat
3
Tidak ada agunan 6
Proposal ditolak
Keterangan: …………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………
6. Apakah usaha ini pernah menerima bantuan kredit?
1
Ya 2
Tidak
7. Jika Ya, bantuan tersebut berasal dari:
1
JPS 2
Lainnya …………………….. 1
Tidak Tahu
8. Jika no. 6 Ya, bantuan tersebut disalurkan melalui:
1
Intansi Pemerintah 2
LKMD 3
LSM 4
Lainnya ………….
9. Jika no. 6 Ya, bantuan tersebut berupa:
1
Modal/uang Rp ….…………. 3
Mesin/peralatan = Rp. …………
2
Bahan baku = Rp ….…………. 4
Lainnya ….……………………..
10. Jika usaha ini tidak memperoleh bantuan (no. 6 Tidak), alasan utamanya adalah:
1
Tidak tahu prosedur 3
Tidak berminat 4
Lainnya ……………..
2
Proposal ditolak 4
Tidak tahu ………………………
11. Jika sumber permodalan tidak meminjam dari Koperasi, alasannya adalah
1
Tidak tahu prosedur 4
Suku bunga tinggi
2
Prosedur sulit 5
Tidak berminat
3
Tidak ada agunan 6
Proposal ditolak
Universitas Indonesia 8
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IV. PERMODALAN KODE
12. Kesulitan utama dalam hal permodalan ini adalah:
1
Tidak tahu prosedur 4
Suku bunga tinggi
2
Prosedur sulit 5
Tidak berminat
3
Tidak ada agunan 6
Proposal ditolak
Keterangan ……………………………………………………….
…. …………………………………………………………………
13. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh/meminjam modal:
Rp ……………………
Keterangan ……………………………………………………….
…. …………………………………………………………………
V. ASET KODE
Keterangan ..............................................................................................................................
................................................................................................................................................
8. Jenis Bangunan untuk kegiatan produksi/pengolahan:
1
Permanen 2
Partisi 3
Bedeng/Sementara 4
Tenda 5
Tanpa bangunan
Universitas Indonesia 9
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
V. ASET KODE
12. Status Penempatan lahan utk kegiatan pemasaran jika bukan milik sendiri:
1
Menempati begitu saja 3
Sewa/Kontrak
2
Dengan ijin resmi dari ……………… 4
Lainnya ………………….
13. Lokasi bangunan untuk kegiatan pemasaran jika tidak menyatu dengan rumah tinggal
atau rumah produksi:
1
Di dalam Mall 5
Di lahan Pertokoan
2
Di dalam Pasar 6
Di Pusat Sosial Lain
3
Di halaman Mall 7
Di Rumah
4
Di halaman Pasar 8
Tidak menetap
14. Jenis Bangunan untuk kegiatan pemasaran:
1
Permanen 2
Partisi 3
Bedeng/Sementara 4
Tenda 5
Tanpa bangunan
Universitas Indonesia 10
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
VI. KONDISI SDM KODE
Universitas Indonesia 11
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
VII. JARINGAN KERJASAMA DAN PEMASARAN KODE
Universitas Indonesia 12
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
VIII PENGELOLAAN USAHA KODE
4. Perencanaan
4.1. Apakah dalam kegiatan usaha ini bapak/ibu menyusun rencana rutin?
1
Ya, Rencana Harian 4
Ya, Rencana Tahunan
2
Ya, Rencana Mingguan 5
Ya, Rencana 5 Tahunan
3
Ya, Rencana Bulanan 4
Tidak membuat rencana
4.2. Jika no. 4.1. Ya, siapakah yang membuat perencanaan itu?
1
Suami 2
Isteri 3
Suami dan Isteri 4
Profesional
Keterangan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4.3. Jika no. 4.1. Tidak, apakah alasannya?
1
Sulit 2
Tidak perlu 3
…………..
Keterangan ……………………………………………………………
…………………………………………………………………………
5. Pengorganisasian:
5.1. Dalam menjalankan usaha ini, apakah bapak/ibu melakukan
pembagian tugas yang jelas, terutama untuk tenaga kerja?
1
Ya 2
Tidak
5.2. Jika no. 5.1. Tidak, apakah alasannya?
1
Sulit 2
Tidak perlu 3
………….
6. Pembukuan:
6.1. Dalam menjalankan usaha ini, apakah bapak/ibu melakukan pembukuan?
1
Ya 2
Tidak
6.2. Jika no. 5.1. Tidak, apakah alasannya?
1
Sulit 2
Tidak perlu 3
………….
7. Penggunaan Penghasilan sampai saat:
1
Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga
2
Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga dan untuk tabungan
masa depan
3
Untuk memenuhi kebutuhan rutin keluarga, tabungan masa depan
dan untuk pengembangan usaha selanjutnya.
4
Untuk memenuhi kebutuhan sementara/sebagai sambilan dan
tabungan masa depan dan untuk pengembangan usaha selanjutnya.
8. Kesulitan yang dihadapi dalam pengelolaan usaha, selain yang sudah di-
sebutkan:
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………
Universitas Indonesia 13
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
IX. PENYULUHAN DAN PEMBINAAN RAMAH LINGKUNGAN KODE
1. Dari manakah bapak/ibu memperoleh pengetahuan mengenai teknik produksi?
1
Dari teman 2
Dari petugas 3
Dari buku
4
Dari Media Massa 5
Coba-coba 6
Lainnya ……………..
2. Apakah bapak/ibu pernah menerima Penyuluhan dan Pembinaan Teknik Produksi Ramah
Lingkungan?
1
Ya, yaitu dari …………………. Sebanyak …………………
2
Belum pernah
3. Dari manakah bapak/ibu memperoleh pengetahuan mengenai Kredit Permodalan?
1
Dari teman 2
Dari petugas 3
Dari buku
4
Dari Media Massa 5
Coba-coba 6
Lainnya ……………..
4. Apakah bapak/ibu pernah menerima Penyuluhan dan Pembinaan Kredit Permodalan Ramah
Lingkungan?
1
Ya, yaitu dari …………………. Sebanyak …………………
2
Belum pernah
5. Dari manakah bapak/ibu memperoleh pengetahuan mengenai bahan baku?
1
Dari teman 2
Dari petugas 3
Dari buku
4
Dari Media Massa 5
Coba-coba 6
Lainnya ……………..
6. Apakah bapak/ibu pernah memperoleh penyuluhan tentang bahan baku Ramah Lingkungan?
1
Ya, yaitu dari …………………. Sebanyak …………………
2
Belum pernah
7. Penyuluhan-penyuluhan dan pembinaan-pembinaan lainnya tentang Produksi Ramah
Lingkungan yang pernah diikuti :
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
1. Suami :
1.1. Umur: ……………………………………………………………...
1.2. Pendidikan terakhir: ……………………………………………….
1.3. Pekerjaan selain usaha ini : …………………………………………
1.4. Pemilikan Rekening Perbankan:
1
Tabungan …………….. 3
ATM 5
Lainnya ……..
2
Giro 4
Kartu Kredit ……………….
Keterangan/nama Bank ……………………………….………………..
1.5. Keanggotaan dalam Koperasi: 1
Ya 2
Tidak
Keterangan/nama Koperasi ……………………………….…………
1.6. NPWP : 1
Ada 2
Tidak ada
1.7. Jabatan di lingkungan : 1
Warga biasa 3
Pamong
2
Aktivis 4
Tokoh
Keterangan ………………………………………………………….
1.8. Asal Daerah: ………………………………………………………..
Universitas Indonesia 14
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
X. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMILIK UTAMA KODE
2. Isteri :
2.1. Umur: ……………………………………………………………...
2.2. Pendidikan terakhir: ……………………………………………….
2.3. Pekerjaan selain usaha ini: ………………………………………….
2.4. Pemilikan Rekening Perbankan:
1
Tabungan …………….. 3
ATM 5
Lainnya ……..
2
Giro 4
Kartu Kredit ……………….
Keterangan/nama Bank ………………………………………………..
2.5. Keanggotaan dalam Koperasi: 1
Ya 2
Tidak
Keterangan/nama Koperasi ……………………………….…………
2.6. NPWP : 1
Ada 2
Tidak ada
2.7. Jabatan di lingkungan : 1
Warga biasa 3
Pamong
2
Aktivis 4
Tokoh
Keterangan ………………………………………………………….
2.8. Asal Daerah: ………………………………………………………..
3. Jumlah Anak dan Tanggungan:
3.1. Jumlah anak yang masih menjadi tanggungan: ……………………..
3.2. Jumlah tanggungan selain anak: …………………………………….
3.3. Jumlah anak yang tidak menjadi tanggungan: ………………………
4. Tempat Tinggal:
4.1. Status: 1
Milik Sendiri 3
Milik Saudara/Ortu
2
Milik Dinas 4
Kontrak/Sewa
Keterangan …………………………………………………………..
………………………………………………………………………..
4.2. Lokasi tempat tinggal: 1
Perkampungan Non PKT
2
Perkampungan PKT
3
Kompleks
Keterangan ………………………………………………………….
………………………………………………………………………
4.3. Atap Utama Bangunan Tempat Tinggal: 1
Beton 3
Sirap 5
Asbes 7
Daun
2
Genteng 4
Seng 6
Ijuk 8
Lain2
4.4. Dinding Utama Bangunan Tempat Tinggal:
1
Tembok 2
Kayu 3
Bambu 4
Lain2
4.5. Lantai Utama Bangunan Tempat Tinggal:
1
Marmer/keramik/teraso 4
Kayu/papan
2
Ubin tegel 5
Bambu
3
plester semen/pasang bata 6
Tanah
7
Lain2
4.6. Luas Lantai: ……………m2
4.7. Sumber air Minum: 1
Kemasan 3
Sumur 5
Sungai
2
PAM 4
Mata air 6
Air Hujan
4.8. Pemilikan Sumber air Minum: 1
Sendiri 3
Umum
2
Bersama 4
Tidak ada
4.9. Pemilikan Tempat Buang Air Besar: 1
Sendiri 3
Umum
2
Bersama 4
Tidak ada
Universitas Indonesia 15
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
X. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PEMILIK UTAMA KODE
4.10. Jenis Closet: 1
Leher Angsa 3
Cemplung/Cebluk
2
Plengsengan 4
Tidak Pakai
4.11. Sumber Penerangan: 1
Listrik PLN 3
Jenis Petromaks 5
Lain2
2
Listrik Non PLN 4
Jenis Pelita
Universitas Indonesia 16
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
XI. KONDISI LINGKUNGAN SEKITAR MENURUT RESPONDEN KODE
11. Lain-lain:
Universitas Indonesia 17
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAPORAN KEGIATAN PENELITIAN LAPANGAN LAMPIRAN 5
FENOMENA USAHA KECIL RAMAH LINGKUNGAN
Fokus Penelitian: Praktik Ramah Lingkungan Usaha Kecil di Jakarta,
Kajian Sosiologis pada Industri Kecil Pengolahan Tahu-Tempe
PRIMKOPTI Swakerta Kelurahan Semanan Jakarta Barat
Peneliti: Edy Siswoyo
Sponsor: Ford Foundation 2006
BULAN DAN
HASIL YANG DIPEROLEH
KEGIATAN
JANUARI-MARET 2006 Pemahaman peta dan denah lingkungan penelitian, menjalin relasi dengan pamong dan tokoh-tokoh
Orientasi lapangan dan setempat: Pengurus Koperasi, Pengurus RT/RW, tokoh anggota Koperasi, Pimpinan dan Guru Sekolah setempat,
pemetaan lingkungan. Pengelola Lingkungan, para Operator IPAL, anggota Karang Taruna, Petugas Pos Keamanan, dan beberapa
Pemetaan dilakukan dengan pengusaha setempat.
mempergunakan software
Google Earth. KELURAHAN SEMANAN
SEMANAN
Semanan
SALURAN BU ANGAN
IP A L
AKERTA
PIK KOPTI SW
PIK KOPTI
SW AKERTA
APRIL 2006
Lapor diri secara resmi Diterima dengan suka cita oleh para pengurus Koperasi, disertai harapan untuk memperoleh bimbingan dan
ke pengelola lingkungan kemungkinan-kemunginan rujukan atau sumber-sumber eksternal guna pengembangan eksistensi koperasi yang
KOPTI /Pengurus selama ini dirasakan berjalan tidak sebagaimana diharapkan semula.
PRIMKOPTI Swakerta
Semanan Jakarta Barat.
1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
MEI 2006 Koperasi Produksi Tahu-Tempe Indonesia (KOPTI) Semanan dirintis sejak tahun 1972 oleh para pengrajin
Studi dokumen mengenai tahu-tempe yang mayoritas berasal dari Pekalongan Jawa Tengah, yang tersebar dan bercampur dengan kawasan
PRIMKOPTI Swakerta pemukiman penduduk di Wilayah Tambora, Grogol, Kebon Jeruk, Cengkareng dan Kali Deres. Pada tahun 1990,
Semanan, Jakarta Barat. atas dasar tekad dan keinginan para anggota untuk mempunyai tempat usaha bersama, dan dengan dimotori oleh
Studi dokumen dilakukan beberapa tokoh anggota, serta kemudian memperoleh bantuan dan dukungan dari Pemda DKI Jakarta, Menteri
di Kantor Koperasi, Koperasi, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perumahan, Koperasi berhasil membeli tanah eks milik KOPTINAS
didampingi oleh sekretaris seluas 12 Ha di kawasan Kelurahan Semanan Jakarta Barat sebagai lahan untuk pembangunan rumah tinggal
Koperasi bapak Warminto sekaligus rumah produksi bagi anggota. Kawasan itu disebut kemudian dengan Perkampungan Industri Kecil
(PIK) Semanan yang disermikan pada tahun 1992. Anggota dapat memiliknya dengan cara mengangsur atau dapat
juga menyewanya.
Pada tahun 1994, KOPTI Semanan berganti nama menjadi PRIMKOPTI Swakerta Jakarta Barat, berbadan
hukum, dengan akta No. 10733b/BH/I/Tgl.26 Oktober 1994, dengan jumlah anggota sebanyak 762 orang.
Kepengurusan yang berjalan sekarang ini adalah kepengurusan tahun 2004-2007 hasil Rapat Anggota Luar Biasa.
Semula kegiatan usaha Koperasi meliputi 1) penyaluran bahan baku kedelai, 2) penyediaan bahan pembantu
produksi, 3) simpan pinjam, 4) angkutan bahan baku, 5) kredit barang, 6) pengelolaan lahan PIK, 7) penyewaan
alat-alat pesta, 8) usaha kilang tahu, 9) penyediaan minyak tanah, 11) usaha rumah sewaan. Pada saat penulis
masuk ke lokasi, rupanya hampir semua usaha tersebut sudah bukan lagi merupakan kegiatan Koperasi, melainkan
sebagai usaha anggota secara perorangan walaupun prosedur dan perijinannya masih mengatasnamakan Koperasi,
khususnya untuk memperoleh kedelai dan minyak tanah. Usaha yang masih dikelola langsung oleh Koperasi
adalah usaha penyewaan rumah dan pengelolaan lahan kosong untuk kegiatan usaha kecil kecil. Keadaan tersebut
rupanya sudah terjadi sejak tahun 2001. Alasan yang paling sering diucapkan oleh para Pengurus Koperasi adalah
karena dihentikannya subsidi dari pemerintah khususnya untuk pembelian kedelai. Sementara dari beberapa
2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
anggota diperoleh informasi bahwa terpuruknya Koperasi itu karena habisnya modal yang diakibatkan oleh
penyalahgunaan dana oleh Pengurus sebelumnya. Ketua Koperasi yang lama sekarang ini masih menjalani
hukuman penjara atas penyalahgunaan dana tersebut. Adapun dana yang disalahgunakan itu meliputi uang cicilan
perumahan anggota, uang impor kedelai milik anggota, dan dana abadi Koperasi.
JUNI 2006 Secara topografis, kawasan ini relatif mendatar; dikelilingi oleh sawah-sawah pada bagian Selatan dan
Pengamatan Keadaan Timur. Angin cukup kencang, namun tidak sejuk. Pepohonan di kawasan ini hanya dapat dijumpai pada median
Fisik Lahan, didampingi jalan utama, sebelah lapangan dan pada taman di sekitar masjid. Pada beberapa gang dapat dijumpai pot-pot pohon
oleh penanggungjawab kecil. Kawasan memang didominasi oleh bangunan rumah.
pengelolaan lingkungan,
bapak Handoko, ST.
Jumlah rumah yang telah dibangun sejak kawasan ini dikembangkan adalah 679 rumah permanen dan 26
rumah non permanen dengan kepadatan 57 rumah per Ha. Rumah permanen dibangun oleh developer dengan luas
bangunan standar 27m dan luas tanah 90mdan 126m. Kondisi bangunan standar adalah atap genteng dinding
batako plesteran dan lantai keramik serta dilengkapi dengan septik tank dan resapan. Sekarang ini jumlah rumah
permanen bertambah menjadi 682 unit. Bertambahnya jumlah penghuni dalam rumah menyebabkan tiap-tiap
penghuni, merenovasi rumahnya sesuai dengan kebutuhannya yaitu untuk memproduksi tahu tempe sekaligus juga
sebagai rumah tinggal. Hal ini menyebabkan permukiman mereka menjadi tidak sedap dipandang mata, tidak
teratur dan tidak layak ditinggali sebagai rumah hunian (rawan kebakaran). Kondisi sebagian jalan yang rusak,
tidak adanya krib pembatas jalan, serta mampatnya saluran-saluran drainasi, penggunaan rumah tinggal untuk
kegiatan produksi, ditambah lagi bau yang khas dari limbah produksi yang masuk ke saluran tersebut, dan juga
penggunaan serambi rumah dan pinggiran jalan sebagai tempat penjemuran produk, memberikan kesan kumuh
3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
linkungan PIK Semanan. Jaringan jalan yang ada adalah berbentuk grid iron yang meliputi 0,656 km jalan akses
dari jalan raya Semanan dan 4,6 km jaringan jalan lingkungan. Pada saat penulis berada di lokasi, kondisi jalan
ada yang rusak, yaitu jalan dengan lebar 4m rusak sepanjang 812m dan jalan yang lebarnya 6m rusak sepanjang
223m. Kesan kumuh juga diperparah dengan adanya beberapa rumah yang sudah mulai menunjukkan kerusakan.
Penempatan rumah sewa/kontrakan di bagian Selatan kawasan juga menambah kesan kumuh karena materialnya
yang sebagian besar non permanen dan menghalangi pemandangan ke sawah.
JULI 2006
Pengamatan Fasilitas
Lingkungan, didampingi
oleh penanggungjawab
pengelolaan lingkungan,
bapak Handoko, ST
Primkopti Swakerta juga melengkapi kawasan dengan Dapur Umum yang diharapkan dapat dimanfaatkan
oleh semua anggota untuk kegiatan produksi. Bangunan dapur umum terletak di atas tanah yang lebih tinggi di
bagian Timur kawasan, berbentuk shelter dan tidak memiliki dinding dan tempias di waktu hujan.. Angin bertiup
kencang sehingga tungku api tidak dapat memberikan panas optimal. Ruang perebusan, ruang pencucian dan
pentirisan kedelai tidak disekat atau dibatasi, membuat ruang perebusan menjadi basah. Air limbah yag dihasilkan
dari dapur umum ini langsung masuk ke Instalasi Pengolahan Akhir Limbah (IPAL). IPAL dibangun oleh Dinas
Pekerjaan Umum DKI berdampingan dengan Dapur Umum, dengan mempergunakan sistem kolam stabilisasi
untuk mengolah air limbah industri tahu tempe dan air buangan domestik. Air limbah domestik yang mengalir ke
kolam IPAL adalah air bekas kamar mandi, air bekas cucian, air limbah dapur dan air buangan industri rumah
tangga tahu tempe; tidak termasuk air kotor dari WC dan juga tidak termasuk air hujan. Saluran air limbah
domestik yang bercampur dengan air limbah produksi itu pada umumnya tersumbat endapan lumpur endapan
limbah produksi tahu-tempe dan sampah, menimbulkan bau yang tidak sedap. Sampah dapat masuk ke saluran
karena terbawa angin dan saluran terbuka. Di samping itu memang masih ada bagian saluran yang belum sempat
dibangun dengan baik, membuat air limbah domestik tidak dapat masuk IPAL melainkan langsung menyatu
dengan saluran buangan IPAL. Bau yang tidak sedap itu semestinya dapat hilang setelah air limbah masuk IPAL.
Namun tidak demikian kenyataannya, karena kapasitas blower di IPAL tidak mencukupi. Air limbah yang keluar
4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dari IPAL disalurkan keluar kawasan dalam keadaan masih bau, ditambah lagi dengan bau air buangan domestik
yang tidak dapat masuk IPAL.
90% warga PIK KOPTI Semanan adalah produsen tempe, 5% produsen tahu dan 5 % lainnya memiliki
bidang usaha lain. Setiap rumah produksi tempe membutuhkan air per hari 2,5m3, atau 1915m3 per hari secara
keseluruhan. Koperasi telah menyediakan satu sumur berkedalaman 100M untuk memenuhi kebutuhan dapur
umum. Rumah-rumah produksi yang tidak mempergunakan dapur umum memperoleh airnya dengan cara
membeli dari para pemilik sumur air tanah. Saat ini terdapat 6 sumur air tanah milik perorangan warga. Satu
sumur di antaranya melayani beberapa rumah produksi dengan cara menyalurkannnya melalui jaringan pipa air
bersih. Lima sumur lainnya menyediakan gerobak dan jerigen untuk pengangkutan air yang dibutuhkan oleh
rumah-rumah produksi. Tiap-tiap rumah pada dasarnya sudah berusaha membuat sumurnya sendiri, namun sumur-
sumur mereka sudah kering. Diperoleh informasi bahwa pada tahun 1992 kedalaman sumur air tanah hanya 20M,
tetapi sekarang sudah menjadi 50-100M dan memerlukan biaya tinggi. Karena itu warga lebih memilih membeli
atau berlangggan dari sumur lain daripada harus membuat sumur sendiri. Semua air yang disebutkan di atas adalah
air untuk kebutuhan produksi dan mandi; bukan air minum. Untuk air minum, warga berlangganan PDAM.
Koperasi juga menyediakan transfer depo sampah di ujung Baratdaya PIK. Volume sampah diperkirakan 7
sd. 8 m3 per hari, yang berupa sampah rumah tangga. Ampas sisa produksi tahu tempe tidak termasuk sebagai
sampah, melainkan dipergunakan untuk campuran makanan ternak. Sekali dalam dua minggu sampah yang sudah
terkumpul di depo tersebut selanjutnya diangkut ke TPA oleh Dinas Kebersihan DKI. Namun sampah di depo
tampak tidak pernah berkurang. Diperoleh informasi bahwa sampah yang tertangani oleh Dinas Kebersihan DKI
hanya 2m3 perhari. Kerasnya angin di kawasan tersebut membuat sampah-sampah kering beterbangan dan
menyumbat saluran-saluran pembuangan yang terbuka. Agar tidak menumpuk baik di depan rumah atupun di
5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
transfer depo, ada juga sampah yang tidak dibuang di transfer depo, melainkan langsung dibakar oleh pemiliknya.
Untuk mengatasi persoalan sampah tersebut, sekarang ini TPA sedang direnovasi dan rencananya akan dikelola
langsung oleh Dinas Kebersihan DKI. Beban biaya operasional pengelolaan nantinya tetap akan ditanggung oleh
warga PIK KOPTI melalui iuran kebersihan bulanan.
AGUSTUS 2006 Jumlah Penduduk PIK KOPTI pada tahun 2005 tercatat 1.732 jiwa. Mereka ini meliputi 762 anggota
Survai Kegiatan Usaha, Koperasi beserta anggota keluarganya. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah keluarga yang bukan anggota
dibantu oleh para Pengurus Koperasi yang mengontrak rumah milik Koperasi sebanyak 23 KK., yang tidak berprofesi sebagai produsen tahu
Karang Taruna tempe. Bidang produksi mereka adalah kerupuk kulit, sari kelapa, pengolahan ikan, warung kelontong, warung
makan dan bengkel sepeda motor.
Tidak semua anggota Koperasi memperoduksi tahu dan tempe. Mayoritas memproduksi tempe saja,
sebagian kecil lainnya memproduksi tahu saja. Namun demikian, limbah dan dampak lingkungannya sama. Untuk
produksi tahu tempe, sebagian besar warga melakukan seluruh proses produksinya di rumah, bahkan sampai ke
bagian luar rumah. Kegiatan proses produksi meliputi penyimpanan bahan baku, tempat pencucian, dapur untuk
perebusan, tempat perendaman, tempat fermentasi dan pengemasan. Dapur Umum berikut fasilitas dan tenaganya
yang sudah disediakan oleh Koperasi tidak dimanfaatkan oleh sebagian besar warga ini, dengan alasan tempatnya
terlalu jauh dan sudah terlanjur menjadi kebiasaan melakukan proses produksi di rumah dengan tenaga kerja dari
anggota keluarga atau kerabat sendiri, yang tidak perlu pendidikan ketrampilan khusus. Mereka juga tidak
membuat perencanaan usaha, melainkan mejalankannya sebagai rutinitas sehari-hari. Penanggungjawab usaha
adalah suami, sementara isteri dan anak-anak ikut bekerja misalnya untuk fermentasi, penjemuran, pengepakan
6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
dan pemasaran. Partisipasi anak dan perempuan dapat dikatakan tinggi, bukan karena hak melainkan karena
kewajiban sebagai anggota keluarga.
Jumlah kedelai uang diperlukan oleh tiap-tiap rumah produksi untuk produksi tempe atau tahu per hari pada
umumnya 1kw, harganya Rp.400.000,- Pengeluaran harian lainya adalah kayu bakar Rp.20.000,- Ragi Rp.6.000,-
Plastik Rp.30.000,- Daun Rp.10.000,- Air Rp.20.000,- dan 4 tenaga Rp.100.000,-. Total pengeluaran per hari kira-
kira Rp.586.000. Harga jual produk per hari adalah Rp. 725.000. Keuntungan yang diperoleh kira-kira
Rp.131.000,- per hari. Mereka tidak membayar ongkos pemasaran, karena para pedagang atau distributor langsung
mengambil produk tempe tersebut ke lokasi. Untuk produksi tahu, jumlah air yang siperlukan lebih banyak, yaitu
Rp.30.000,- per hari, dan perlu ongkos pemasaran yaitu sebesar Rp.30.000,- perhari, dengan hasil penjualan kira-
kira Rp.805.000,- per hari, atau untung Rp.225.000,- per hari. Total penghasilan rata-rata per rumah rumah
produksi dapat dihitung kira-kira sebesar Rp.4-5juta per bulan. Penggunaan penghasilan adalah untuk konsumsi
rumah tangga sehari-hari termasuk untuk cicilan rumah atau cicilan kredit lainnya dan juga untuk membangun
properti di kampung asal di Pekalongan.
SEPTEMBER 2006
Pengamatan dan
Wawancara Terfokus
pada Intensitas Praktik
Ramah Lingkungan,
didampingi oleh
penanggungjawab
pengelolaan lingkungan,
bapak Handoko, ST
Intensitas praktik ramah lingkungan penulis lihat dari dua tingkatan, yaitu pada tingkatan individual rumah
produksi dan pada tingkatan kolektif. Pada tingkatan individual rumah produksi, proses pengolahan produk tahu-
tempe mempergunakan peralatan sederhana, pengupasan kulit ari kedelai masih bersifat manual dengan cara
direndam dan direbus, air bersih yang dibutuhkan menjadi banyak dan limbah cair pun juga menjadi banyak.
Tempat perebusan kedelai adalah drum-drum bekas dan umumnya berkarat. Bahan bakar yang dipergunakan
adalah kayu bakar, menimbulkan asap yang membuat udara di dalam rumah menjadi pengap dan panas, serta
membuat warna hitam pada dinding ruangan. Pada saat proses produksi, tidak satupun dari para pekerja
mempergunakan masker, sarung tangan, sepatu boot atau perlengkapan perlindungan lainnya. Mereka tampak
kebal debu abu, kebal asap, kebal bau dan kebal kelembaban. Dengan tenang dan tanpa merasa salah, pemilik
7
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
rumah produksi atau pekerja membuang limbah cair ditempat (on site). Limbah mengalir ke saluran drainase
lingkungan, bercampur dengan limbah cair domestik. Sedangkan limbah padat berupa abu sisa pembakaran,
mereka kumpulkan dalam karung untuk dibuang ke transfer depo sampah. Tranfer depo sampah ini dikelola oleh
Dinas Kebersihan Jakarta Barat. Untuk merawat kebersihan lingkungan dan kelancaran saluran drainase, termasuk
untuk beroperasinya IPAL dengan baik, mereka membayar sejumlah iuran. Namun apabila saluran drainase itu
telah mulai tersumbat oleh sampah dan endapan lumpur sisa produksi, maka sebagai bentuk praktis kepedulian
pada lingkungan dan kepentingan umum merekapun bekerjabakti membersihkannya. Warga yang berpartisipasi
dalam kerjabakti pada umumnya didorong alasan karena kewajiban dan supaya tidak diomeli pengurus, bukan
karena untuk menjaga kesehatan lingkungan. Kerjabakti dikoordinasi oleh Pengurus Koperasi bersama dengan
Pengurus RT/RW.
Mengenai limbah bau, sejak semula mereka menganggapnya biasa dan tidak berbahaya; dulu ketika masih
di Pekalongan hal itu tidak ada yang mempersoalkan. Demikian juga ketika mereka sudah berada di Jakarta
sebelum pindah di PIK KOPTI, ketika mereka masih tinggal di pinggir-pinggir kali dengan keadaan lingkungan
yang lebih-lebih kumuh, membuang limbah produksi begitu saja ke kali adalah sudah menjadi kebiasaan. Namun
setelah mengikuti berbagai penyuluhan lingkungan mereka menyadari juga bahwa hal tersebut adalah
membahayakan kesehatan bagi diri sendiri dan bagi lingkungan sekitar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-
apa, dan menganggapnya tidak lagi masalah karena sudah ada IPAL yang akan menetralisir bau. Akan tetapi bau
limbah itu sudah menyebar lebih dahulu sebelum air limbah itu sampai ke IPAL.
Untuk menghindari terjadinya polusi udara di masing-masing rumah produksi dan untuk mempercepat
pembuangan limbah cair ke IPAL, maka proses perendaman, perebusan dan pencucian kedelai itu seharusnya
dilakukan di Dapur Umum. Akan tetapi sebagaimana telah disampaikan, hanya sebagian kecil saja rumah produksi
yang memanfaatkan Dapur umum ini. Alasan utama bagi yang tidak memanfaatkan Dapur Umum adalah karena
sudah kebiasaan melakukan proses produksi di rumah; juga kebiasaan melakukan proses pencucian kedelai
dengan air yang berlimpah di kali yang limbahnya terbuang dengan sendirinya di kali yang sama, atau jika
pencuciannya dilakukan di rumah, limbah dibuang ke drainase domestik tanpa diolah lebih dahulu. Alasan lain
adalah karena sudah memiliki tenaga kerja sendiri, sehingga tidak memerlukan tenaga dari dapur umum. Di
samping itu letak Dapur Umum dianggapnya terlalu jauh. Sedangkan bagi yang memanfaatkan Dapur Umum,
alasannya bukanlah karena peduli lingkungan, tetapi lebih karena tidak punya tenaga kerja yang cukup, tidak
punya peralatan yang cukup dan tidak mampu memperoleh air bersih yang cukup pula.
IPAL dan drainase pada dasarnya sudah bukan urusan rumah produksi secara individual, melainkan sudah
menjadi urusan kolektif. Untuk ini Pengurus Koperasi yang bertanggungjawab, agar kawasan PIK KOPTI tetap
memenuhi syarat AMDAL dan bebas dari protes-protes yang sering dilancarkan oleh warga luar PIK yang
8
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
kawasan huniannya dilewati drainase air buangan PIK KOPTI. IPAL dikontrol dan dibersihkan setiap hari. IPAL
pernah memperoleh sumbangan mesin Water Treatment dari Pangeran Charles, namun kini keadaannya sudah
rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi. Pada saat penulis berada di lokasi, IPAL sedang dipersiapkan oleh BPLH
DKI untuk mengolah limbah menjadi gas methan yang akan berguna bahan bakar gas. Gas methan ini menurut
rencana akan dipergunakan sebagai sumber energi pengganti bahan bakar kayu di Dapur Umum dan sumber
energi untuk lampu-lampu penerangan di sekitas IPAL.
Untuk perawatan IPAL, Pengurus tidak memperlakukan kerjabakti bagi seluruh warga, melainkan hanya
dilakukan oleh pekerja-pekerja di Dapur Umum yang sehari-hari sebagai operator. Para operator IPAL ini
memperoleh pengarahan khusus dari BPLHD Jakarta Barat, BPPT, Dinas PU Jakarta Barat, dan juga dari
perguruan tinggi yang melakukan bakti sosial bidang pengelolaan limbah. Adapun biaya operasional IPAL adalah
swadaya warga ditambah dengan subsidi dari Koperasi. Sedangkan untuk pengolahan gas methan, Pengurus
Koperasi bersama BPLH DKI sedang mengusahakan sponsor dari sebuah lembaga internasional di Jerman.
Pengurus Koperasi juga berusaha memperoleh bantuan untuk memperbaiki dan melanjutkan saluran drainase yang
belum terbangun.
Usaha-usaha lain yang ditunjukkan oleh Pengurus Koperasi dalam sebagai wujud kepedulian lingkungan
adalah mengkoordinasi kegiatan-kegiatan penyuluhan dan bakti sosial kesehatan lingkungan yang diselenggarakan
oleh instansi swasta dan pemerintah sebagaimana telah disampaikan di muka. Bahkan, Pengurus juga sedang
berusaha mencari bantuan internasional untuk mendirikan sebuah Poliklinik.
9
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
OKTOBER 2006 Dari segi struktur kepemimpinan lokal, komunitas PIK KOPTI Semanan adalah khas. Komunitas ini terdiri
Pengamatan dan dari 1 RW yang meliputi 2 RT. Pembentukan RW dan RT ini adalah atas inisiatif Pengurus Koperasi.
Wawancara Terfokus Sebagaimana diketahui, institusi Koperasi, anggota maupun Pengurus, pada dasarnya tidak memiliki hubungan
pada Struktur Sosial hirarkhis dengan RT/RW dan Pemerintah Kelurahan ataupun Kecamatan. Namun sebagai warga ataun penduduk
setempat, didampingi oleh suatu wilayah, institusi RT/RW adalah diperlukan. Karena pembentukan RT/RW tersebut adalah dimaksudkan
penanggungjawab untuk membantu kelancaran hubungan antara warga dengan Pemerintah Kelurahan dan Kecamatan. Ketua RW
pengelolaan lingkungan, yang sekarang ini adalah Ketua Koperasi. Peran kepengurusan RT/RW di sini lebih kepada urusan kependudukan,
bapak Handoko, ST keamanan lingkungan, peringatan hari-hari besar dan kegiatan kegiatan keolah ragaan. Selama penulis berada di
lokasi, belum pernah melihat kantor RW buka, kecuali Pos Keamanan yang memang buka setiap hari. Pos
Keamanan ini ramai setiap sore; para petugas keamanan pun siaga di tempat, ada juga yang mondar-mandir
mengawasi orang banyak yang berada di situ, di halaman pos. Orang banyak itu bukan bermaksud untuk urusan
keamanan, melainkan akan melakukan perjalanan ke luar kota. Pos Keamanan itu dimanfaatkan oleh Koperasi
untuk keagenan bus AKAP (antar kota antar propinsi) PO Garuda Mas jurusan Jakarta-Pekalongan.
Berbeda dengan kantor RW yang seolah-olah tidak ada kegiatan, adalah kantor Koperasi yang meskipun
bidang pelayanannya sudah jauh berkurang namun tetap buka setiap hari mulai sekitar jam 10.00 dan tutup sekitar
jam 17.00. Sebagaimana telah disampaikan, urusan Koperasi sekarang ini adalah mengelola rumah sewa atau
rumah kontrakan dan pemanfaatan lahan kosong untuk kegiatan usaha kecil di lingkungan PIK KOPTI. Di
samping itu Pengurus juga mengelola kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial dan penyuluhan-penyuluhan
pembinaan yang rutin diselenggarakan oleh instansi swasta maupun pemerintah masing-masing sekali dalam
setahun. Bidang-bidang kegiatan sosial itu antara lain pengobatan gratis, penyuluhan kemanan instalasi listrik,
10
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan pengelolaan IPAL, dan percontohan sumur resapan. Alasan utama
para Pengurus Koperasi untuk berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan termasuk untuk kegiatan-kegiatan non
ekonomi ini adalah karena lahan PIK KOPTI masih hak milik Koperasi. Hanya sebagian kecil saja anggota yang
sudah melunasi cicilan pembayaran rumah dan memperoleh Sertifikat Hak Miliknya. Di samping itu para
Pengurus berpendirian bahwa Badan Hukum Koperasi adalah sah, dan Koperasi memperoleh ijin, dukungan dan
pembinaan serta ”impartasi wibawa” dari banyak instansi pembina baik swasta maupun pemerintah seperti BPPT,
BPLH DKI, BPLHD Jakarta Barat, Dinas Perindustrian Jakarta Barat, Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Barat,
Dinas Kebersihan Jakarta Barat, Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Barat, Walikota Jakarta Barat dan Nyonya,
Universitas Trisakti, Insitut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Demikianlah segala sesuatu yang berlangsung di atas lahan itu harus sepengetahuan dan seijin Pengurus
Koperasi, perlu rekomendasi dari Pengurus Koperasi, bahkan ada yang harus mengatasnamakan Koperasi
walaupun pelaksanaannya bukan oleh Koperasi. Kegiatan pemasokan kedelai untuk rumah-rumah produksi
misalnya, seharusnya memang menjadi salah satu usaha Koperasi. Akan tetapi oleh karena habisnya modal
Koperasi akibat kesalahan managemen sebagaimana telah disampaikan, maka untuk urusan pemasokan kedelai ini
harus direlakan dikelola oleh seorang anggota yang mampu. Demikian juga untuk pemasokan minyak tanah yang
bukan saja sepengetahuan Pengurus, melainkan juga harus mengatasnamakan Koperasi demi untuk memperoleh
perijinan distribusi dengan harga yang lebih murah. Demikian juga untuk pemasokan dana untuk permodalan
ataupun untuk keperluan konsumtif anggota yang seharusnya merupakan usaha vital dari Koperasi, sekarang
ditangani oleh Bank Mandiri, BRI dan BPR Artha Secana. Lembaga-lembaga keuangan ini memberikan kredit
kecil dengan jaminan surat-surat pemilikan properti dan rekomendasi dari Pengurus Koperasi. Dalam urusan
kredit ini Pengurus memperoleh komisi dan kemudahan dalam berurusan dengan lembaga-lembaga keuangan
tersebut.
Pengoperasian IPAL, Dapur umum bahkan sampai pada distribusi air minum PDAM untuk kawasan PIK
KOPTI, Koperasi dan Pengurus mengambil peran sebagai pengelola. Dalam pengelolaan IPAL, Pengurus
mempekerjakan sekitar 30 orang warga luar PIK KOPTI. Mereka ini juga menjadi pekerja di Dapur Umum.
Mereka tidak berlogat Pekalongan dan tidak dapat berbahasa Jawa. Diperoleh informasi bahwa para pekerja di
IPAL/Dapur umum ini pada umumnya mantan preman di kawasan Jakarta Barat. Ketika beberapa kali terjadi
protes warga luar PIK KOPTI yang drainase huniannya dilewati air limbah dari PIK KOPTI, para pekerja inilah
yang berjaga-jaga melindungi kawasan. Dalam setahun dapat terjadi tiga kali protes. Bentuk protes mulai dari
surat pelaporan dan peringatan, ancaman pembunuhan kepada pengurus dan para pekerja, dan juga penutupan
saluran pembuangan. Untuk mengatasi protes-protes tersdebut Pengurus Koperasi berlindung kepada instansi-
instansi yang membinanya, khususnya instansi Pemerintah.
11
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
DAPUR UMU
SALURAN BUANGAN
M
IP AL
PIK KOPTI
Rupanya Pengurus tidak hanya menerima protes dari luar, tetapi juga dari tokoh-tokoh PIK KOPTI sendiri,
khususnya Mantan Pengurus. Bentuk protesnya tidak sekeras protes warga luar PIK yang drainase huniannya
dilewati limbah, melainkan sekedar percakapan-percakapan di sana-sini tentang keburukan para Pengurus.
Keburukan Pengurus yang paling banyak dibicarakan adalah mengenai belum juga dilaksanakannya Rapat
Anggota Tahunan (RAT) yang merupakan forum pertangungjawaban Pengurus dan forum untuk menetapkan
Pengurus Baru.
NOVEMBER 2006 Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga setempat, Koperasi telah membangun sebuah sekolah
Pengamatan dan tingkat TK, SD, SMP dan SMA. Sekolah-sekolah ini dikelola oleh sebuah Yayasan Pendidikan yang didirikan
Partisipasi dalam oleh Koperasi. Penulis mencoba melihat peran serta sekolah-sekolah tersebut dalam membudayakan hidup sehat
kegiatan Pembinaan dan produksi ramah lingkungan. Yang penulis temukan adalah kegiatan-kegiatan sosialisasi hidup sehat yang
Kesehatan Lingkungan, belum mengkaitkan dengan produksi ramah lingkungan. Sosialisasi dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan kepada
didampingi oleh para murid yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam rangka prgram Pengabdian Pada Masyarakat, dan juga
penanggungjawab dari Puskesmas setempat. Generasi muda tampaknya belum menjadi sasaran sosialisasi produksi ramah
pengelolaan lingkungan, lingkungan. Ketrampilan produksi dan pemasaran tahu-tempe ramah lingkungan tampaknya juga belum
bapak Handoko, ST dan terpikirkan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum lokal. Itu semua belum pernah terpikirkan oleh para pengurus
Sekretaris Koperasi bapak lingkungan setempat, dan baru disadari setelah kehadiran penulis.
Warminto. Di samping gedung sekolah, Koperasi juga membangun sebuah masjid. Kemudian untuk keperluan
12
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
emergensi, Koperasi memiliki sebuah mobil ambulance L300. Melalui partisipasi dalam kegiatan pengobatan
gratis bagi warga PIK KOPTI yang diselenggarakan rutin oleh sebuah perguruan tinggi, penulis memperoleh
informasi mengenai kesehatan penduduk setempat. Penyakit yang paling lazim di derita adalah penyakit kulit,
batuk sesak nafas dan sakit kepala. Penyakit ini melanda mulai dari anak-anak maupun orang dewasa. Beberapa
orang tua menginformasikan mereka sehat atau tidak merasa satu gejala sakit sebelum mereka pindah ke kawasan
ini. Sejak tiggal di kawasan ini orang tua tersebut merasakan gejala sakit, terutama sesak nafas dan sakit kepala.
Penulis juga menemukan satu orang dewasa yang harus minum obat sakit kepala setiap hari sejak tinggal di
kawasan ini.
Di balik kegiatan-kegiatan non ekonomi yang diprakarsai oleh para pengurus Koperasi tersebut,
sesungguhnya mengandung beberapa harapan yang tersembunyi. Apa yang disampaikan kepada penulis adalah
berbeda dengan harapan warga pada umumnya. Harapan Pengurus adalah revitalisasi Koperasi, terutama melalui
subsidi Pemerintah sebagai awal berdirinya Koperasi Dulu. Bagaimanapun Pengurus ingin menunjukkan bahwa
Koperasi masih eksis, walaupun kegiatannya sebagai lembaga ekonomi hampir tidak tampak lagi. Harapan untuk
memperoleh kemudahan dan subsidi permodalan seperti dulu tampaknya sudah tidak mungkin lagi di era
13
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
persaingan bebas ini. Koperasi selaku ”penguasa” kawasan berusaha menunjukkan eksistensinya itu melalui jalur
non ekonomi, yaitu pembenahan kondisi fisik dan kesehatan kawasan. Adanya ”tuntutan” produksi ramah
lingkungan, pembinaan dari berbagai instansi bakah bantuan internasional untuk produksi ramah lingkungan yang
semuanya adalah melalui Koperasi, dan juga adanya protes warga sekitar terhadap Pengurus atas polusi bau yang
ditimbulkan oleh kegiatan PIK KOPTI, serta sifat khas dari struktur kepemimpinan kawasan PIK KOPTI, telah
memperkuat harapan Pengurus bahwa Koperasi diperlukan dan eksistensinya perlu dipertahankan. Karena itu
bersama Dinas Koperasi dan UKM Jakarta Barat, Pengurus telah mencoba mengartikulasi harapan-harapan itu
menjadi rencana Master Plan yang lebih menitik-beratkan pada rencana penataan lingkungan dan keinginan untuk
penerapan teknologi produksi modern daripada penataan kelembagaan Koperasi. Dalam rangka itulah penulis
berpartsisipasi dalam penyusunan proposal proyek-proyek Environment Sanitation.
Harapan warga atau pengrajin pada umumnya adalah tidak sampai pada keinginan memenuhi kriteria
produksi ramah lingkungan. Mereka tidak mempersoalkan apakah produk dan proses produksi mereka memenuhi
kriteria ramah lingkungan atau tidak. Bagi mereka yang penting produk laku terjual. Demikianlah adanya, produk
memang laku terjual, pedagang dan pembeli tidak pernah mempersoalkan apakah produk dan proses produksinya
memenuhi kriteria ramah lingkungan atau tidak. Menurut mereka lingkungan dan rumah produksi yang mereka
tempati sekarang ini adalah sudah baik jika dibandingkan dengan rumah produksi ketika mereka masih tinggal di
pinggir kali. Akan tetapi sesungguhnya bagi mereka semua itu bukan masalah, sebab yang penting bagi mereka
adalah menghasilkan uang, dan uang itu untuk membangun rumah yang lebih baik di kampung halaman. Yang
lebih sering diucapkan warga adalah keinginan memperoleh pasokan bahan baku dan bahan penunjang yang lebih
murah
DESEMBER 2006 Penulisan laporan dalam bentuk naskah untuk Jurnal edisi khusus Sosiologi Lingkungan. Sebelum diterbitkan,
naskah dipresentasikan pada Seminar On Environmental Sociology, diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana
Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia, 12 Desember 2006, dan memperoleh masukan dari blind reviewer
yang terdiri dari Dr. Iwan Gardono, Dr. Iwan Tjitra dan Dr. Suraya Afif. Jurnal terbit pada bulan April 2007.
14
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAPORAN KEUANGAN
KEGIATAN PENELITIAN LAPANGAN
FENOMENA USAHA KECIL RAMAH LINGKUNGAN
Edy Siswoyo
NPM. 890405003X
15
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
LAMPIRAN 4
2. ASET USAHA 2.1. Pemilikan tanah atau Pemilik Usaha Artefak Angket
lahan usaha, kios, toko, Wawancara
2.2. Jenis bangunannya, Observasi
2.3. Peralatan yang dimiliki,
termasuk mesin-mesin
dan kendaraan.
2.4. Kesulitan-kesulitan dalam Verbal
mengusahakan lahan atau
lokasi usaha
Universitas Indonesia197
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda
Data
6. PASAR DAN 6.1. Lokasi dan kepadatan Pemilik Usaha, Verbal, Angket
CARA PEMA- pasar usaha sejenis, Monografi Daerah Perilaku Wawancara
SARAN 6.2. Pola kerjasama Setempat, dan Observasi
6.2. Pola persaingan Kegiatan Ekonomi
6.3. PeranaN agen dan Setempat,
penampung, Instansi Pembina
6.4. Jalur distribusi,
6.5. Harga,
6.5. Kemasan
6.6. Layanan kepada
pelanggan/konsumen
6.7. Masalah-masalah yang
dihadapi dalam pemasaran
8. PRAKTEK 8.1. Lokasi aman bagi ekosis- Pemilik Usaha, Artefak Observasi
RAMAH tem Kegiatan Usaha, Verbal Wawancara
LINGKUNGAN 8.2. Lokasi tidak merusak Informan Perilaku Angket
estetika lingkungan
8.3. Pengaturan tata ruang
kerja yang aman dan sehat
8.4. Pilihan mesin dan
perawatannya
8.5. Konsumsi Air
8.6. Pilihan dan konsumsi
energi/bahan bakar
8.7. Penggunaan perlengkapan
keselamatan kerja
Universitas Indonesia198
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda
Data
Universitas Indonesia199
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Variabel Indikator Sumber Data Jenis Metoda
Data
Universitas Indonesia200
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Fenomena Tema Sumber Data Jenis Metoda
Data
Universitas Indonesia201
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3
1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang Jenis Rencana
Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
3. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123, Tanggal 1
Februari 1995, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Administratif bagi
Perusahaan/Industri/Kegiatan Peserta Prokasih.
4. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 852 Tanggal 12 Juni
1995 Tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair.
5. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 299 Tanggal 12
Februari 1996 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peruntukan dan Baku Mutu Air
Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair.
6. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 Tanggal 19 April
1999 Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).
7. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tanggal 11 Mei
2000 Tentang Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI Jakarta.
8. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 Tanggal 25 Juli
2001 Tentang Keterlibatan Masyarakat.
9. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tanggal 12
November 2001 Tentang Sumur Resapan.
10. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tanggal 7
Februari 2001 Tentang Baku Mutu Udara Ambien.
11. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2863 Tanggal 4
Oktober 2001 Tentang Jenis Rencana Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan
AMDAL.
12. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tanggal 5
Februari 2002 Tentang Jenis Usaha /Kegiatan Yang wajib dilengkapi Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta.
13. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 11 Tanggal 12
Januari 2005 tentang Pelaksanaan Manajemen Lingkungan Kawasan.
14. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1532 Tanggal 2
Agustus 2005 tentang Penetapan Kepengurusan Komite Evaluasi Lingkungan Kota
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3
15. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tanggal 16 Februari
2005 PengendalianPencemaran Udara.
16. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 68 Tanggal 8 Juni 2005
Tentang Sumur Resapan.
17. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tanggal 20 Juni
2005 Kawasan Dilarang Merokok
2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3
25. Pembinaan Gerakan Apresiasi Emisi Bersih (AEB) dan Mitra Emisi Bersih (MEB)
26. Pelaksanaan dan Evaluasi Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) pada Kawasan
Tertentu
27. Sertifikasi Bengkel Pelaksana dan Teknis Uji Emisi
28. Supervisi Pelaksanaan SPM Uji Emisi
29. Pelaksanaan Uji Petik Emisi Kendaraan Bermotor
30. Pelaksanaan Program SUPER di Pesisir Pantai
31. Koordinasi dan Pembinaan Pengelolaan Limbah Padat (sampah)
32. Pelaksanaan Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah B3
33. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pergub tentang KDM yang dilaksanakan oleh Unit
Terkait
34. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Dokumen Lingkungan Kegiatan
Usaha (yang sudah beroperasi)
35. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Udara Ambien dan Roadside (termasuk ISPU)
36. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Perairan Laut dan Muara Teluk Jakarta
37. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Air Sungai
38. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Air Situ/Waduk
39. Pengolahan Data dan Informasi Kualitas Air Tanah
3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3
4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3
5
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 3
3.3. Rekapitulasi Data Pegawai BPLHD Prop. DKI Jakarta, Tahun 2008
JENIS
PENDIDIKAN
KELAMIN
NO PANGKAT GOL JUM JUM
L P S2 S1 D3 SLTA SLTP SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
1 Pembina Utama
IVe - - - - - - - - - -
2 Pembina utama Madya
IVd - - - - - - - - - -
3 Pembina Utama Muda IVc
1 - 1 1 - - - - - 1
4 Pembina Tk. I
IVb 5 2 7 4 3 - - - - 7
5 Pembina
IVa 5 2 7 6 1 - - - - 7
6 Penata Tk. I IIId
31 13 44 8 33 3 - - - 44
7 Penata IIIc
14 21 35 9 23 1 2 - - 35
8 Penata Muda Tk. I IIIb
29 12 41 - 9 3 29 - - 41
9 Penata Muda IIIa -
9 12 21 - 12 2 7 - 21
10 Pengatur Tk. I IId
5 7 12 - 1 6 5 - - 12
11 Pengatur IIc
9 2 11 - 2 2 7 - - 11
12 Pengatur Muda Tk.I IIb
2 - 2 - - - - 2 - 2
13 Pengatur Muda IIa
3 1 4 - - - 1 - 3 4
14 Juru Tk. I Id
1 - 1 - - - - 1 - 1
15 Juru Ic
1 - 1 - - - - - 1 1
16 Juru muda Tk. I Ib
- - - - - - - - - -
17 Juru muda Ia
- - - - - - - - - -
18 PTT -
14 8 22 - 2 3 17 - - 22
6
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
BAB IV : SUMBER PENCEMARAN
Tabel : 2A.1 - A.6 : BEBAN LIMBAH CAIR DAN PENCEMARAN AIR DARI SUMBER EFFLUENT INDUSTRI
Propinsi : DKI JAKARTA
Tahun : 2004
AGRO INDUSTRI
1110a. Jumlah Sapi ekor 0.21 20.20 4.24 250.00 52.50
1110b. Jumlah babi ekor - 1.60 - 28.40 -
1110c. Jumlah ayam ekor 54.86 0.04 2.19 1.40 76.80
1110d. Jumlah kambing/domba ekor 6.50 1.80 11.70 36.60 237.90
1110f. Jumlah itik ekor 41.38 0.04 1.66 1.40 57.93
1110g. Jumlah sapi perah ekor 3.61 - - 539.00 1,945.79
1110h. Jumlah ayam petelur ekor 88.00 - - 4.60 404.80
Sub-total(1) 19.79 2,775.73
PENGOLAHAN MAKANAN
3111a. Rumah potong hewan ton lwk 39.00 0.01 0.21 6.40 249.60
3111c. Pengolahan unggas ribu unggas 105.00 37.50 3,937.50 11.90 1,249.50
3112. Hasil olahan susu ton susu 3,473.06 2.40 8,335.34 5.30 18,407.22
ton keju 0.00 0.00 0.00 18.00 0.00
3113. Pengalengan buah dan sayur ton buah 0.70 11.30 7.91 3.90 2.73
3114. Pengalengan ikan ton udang 7.80 23.00 179.40 130.00 1,014.00
3114. Pengalengan ikan ton 3.50 23.00 80.50 7.90 27.65
3115b. Pemurnian minyak sayur ton minyak 16.80 57.50 966.00 12.90 216.72
Pemurnian minyak sayur ton margarin 0.00 57.50 0.00 180.00 0.00
Pemurnian minyak sayur Cl ton CPO 2,500.00 57.50 143,750.00 142.50 356,250.00
3116. Pengolahan biji bijian ton 0.21 0.65 0.14 1.10 0.23
3117. Mie ton 87,500.00 - - 0.75 65,625.00
3119.Coklat dan permen ton 6.00 - - 13.40 80.40
3121a. Gula dan glukosa ton 45.00 33.00 1,485.00 13.40 603.00
31220 Kopi Bubuk ton 0.30 - - 625.00 187.50
3123 Es Batu ton 750.00 - - - -
41242. Tempe ton kedele 1,250.00 - - 20.00 25,000.00
41242. Tahu ton kedele 65.00 - - 65.00 4,225.00
3124. Kecap ton kedele 35.00 - - 20.00 700.00
Sub-total(II) 158,742.00 473,838.55
INDUSTRI MINUMAN
3133d. Produksi minuman anggur m3 anggur 0.10 4.80 0.48 0.26 0.03
3134. Minuman ringan ton produk 45.00 7.10 319.50 3.15 141.75
Sub-total(III) 319.98 141.78
INDUSTRI PEMBUATAN TEKSTIL
3211c. Katun ton produk 1,250.00 317.00 396,250.00 155.00 193,750.00
3211d. Rayon ton produk 720.00 42.00 30,240.00 30.00 21,600.00
3211f. Nilon ton produk 390.00 125.00 48,750.00 45.00 17,550.00
3211g. Akrilik ton produk 67.00 210.00 14,070.00 125.00 8,375.00
3211h. Poliester ton produk 750.00 100.00 75,000.00 185.00 138,750.00
Sub-total(IV) 564,310.00 380,025.00
kg per ton per kg per ton per kg per ton per kg per ton per kg per
satuan tahun satuan tahun satuan tahun satuan tahun satuan
(08) (09) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16)
- - 0.00 0.00
- - 1.90 85.50
0.00 85.50 0.00 0.00
1,776.00 1,420.80
10.00 455.60 4.00 182.24 0.90 41.00 -
1.20 39.60 0.70 23.10 0.40 13.20 -
7.90 0.00 0.60 0.00
0.30 0.00
4.60 207,000.00 0.70 31,500.00 8.30 360,000.00 0.00 0.00 0.00
16.86
0.00
27.98
54.60
21.10
-
-
120.55 0.00
-
-
-
- - -
- - -
-
-
-
37.82 2.34
-
-
3.70 alkali -
0.00 0.00
-
-
-
-
-
0.00 0.00
sambungan
(17) (18) (19)
5.40
- - -
- - -
- - -
0.1 Alkalinitas
0.00 0.00 0.00 0.00
-
- - -
4.20 F 181.52
0.00 4.20 0.00 181.52
- 0.13 Cr 3.90
- 0.13 Cr 35.75
0.13 Cr
0.00 Cr
76.40 223.51
196.95 223.51
Universitas Indonesia 1
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 1
Universitas Indonesia 2
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 1
Universitas Indonesia 3
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
Lampiran 1
JUMLAH 1448
Sumber: Jumlah Sentra Industri Kecil di 5 Wilayah DKI Jakarta 2006
Portal Industri & Perdagangan Jakarta, http://www.jakartatradein.com/html_view.aspx?i=28
Universitas Indonesia 4
Industri kecil..., Edy Siswoyo, FISIP UI, 2010
INDUSTRI KECIL PENGOLAHAN TEMPE TAHU
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI LINGKUNGAN
1. Latarbelakang.
Disertasi ini berjudul Industri Kecil Pengolahan Tempe Tahu dalam Perspektif
Sosiologi Lingkungan. Penetapan judul disertasi ini dilatarbelakangi oleh isu
dilematik yang melekat pada kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
dimana industri kecil tempe tahu termasuk didalamnya. Isu dilematik tersebut
meliputi aspek sosial ekonomi, aspek lingkungan dan aspek penegakan hukum
terutama oleh pemerintah, sebagaimana dapar divisulaisasi dan dideskripsikan
sebagai berikut:.
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL
USAHA
INDUSTRI PENCEMARAN
KECIL TEMPE- LINGKUNGAN:
TAHU AIR & UDARA
Diagram 1.1.
Isu Dilematik Usaha Industri Kecil Tempe Tahu
Keberadaan usaha industri kecil tempe tahu memang belum memberikan sumbangan
yang berarti bagi produktivitas nasional; kegiatan produksinya cenderung menimbulkan
pencemaran air dan udara. Akan tetapi industri kecil tempe tahu memberikan manfaat
ekonomi pada kalangan masyarakat kecil; dan itu berarti ikut membantu pemerintah
dalam mewujudkan kemakmuran bagi rakyat . kecil. Akan tetapi pencemaran air dan udara
yang ditimbulkannya pada akhirnya membebani masyarkat kecil itu sendiri, termasuk
pelaku usaha.
Tabel 1.1.1.
Banyaknya Usaha danPekerja Sektor Industri menurut Golongan Industri
Tahun 2000-2003
Tabel 1.1.2.
Produktivitas dan Kontribusi Sektor Industri menurut Golongan Industri
Tahun 2000-2003
Tdk Tamaat
Jumlah Tamat Tamat
Kelompok Industri Tamat Tamat SD PT
Usaha SLTP SMTA
SD
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Industri Kecil 235.851 27.045 98.809 52.523 51.733 5.741
% 100,00 11,47 41,90 22,27 21,93 2,43
IKR 2.406.058 653.246 1.147.467 396.627 193.251 15.467
% 100,00 27,15 47,70 16,48 8,03 0,64
IKKR 2.641.909 680.291 1.246.276 419.150 244.984 21.208
% 100,00 25,75 47,18 17,00 9,27 0,80
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Jadi pada dasarnya usaha mikro dan kecil adalah merupakan katup
pengaman untuk mengatasi pengangguran penduduk berpendikan rendah.
Status hukum mereka juga tidak jelas. Pada umumnya mereka memang
merupakan bentuk usaha yang tidak berbadan hukum. Bisa diduga, mereka juga
tidak memiliki NPWP. Mereka juga tidak melakukan pencatatan asset atau
pembukuan keuangan yang disahkan oleh akuntan publik. Akibatnya ketika
mereka mengalami masalah permodalan, mereka sulit memperoleh bantuan yang
mencukupi dari bank. Namun demikian mereka ini tetap dibutuhkan oleh segmen
pasar tertentu yang mengutamakan harga produk ”yang penting murah dan
memenuhi kebutuhan”. Mengenai wilayah pemasaran, hampir seluruh IKKR
melakukan produksi hanya mampu memenuhi permintaan pasar domestik.
Wilayah pemasaran luar negeri hanya dilakukan 2,46% IK dan 0,81 IKR (Tabel
1.1.4.).
Tabel 1.1.4.
Persentase Usaha IKKR menurut Wilayah Pemasaran
Tahun 2003
Wilayah Pemasaran
Kelompok Industri
Domestik Luar Negeri
(1) (2) (3)
IK 97,54 2,46
IKR 99,19 0,81
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Tabel 1.1.6.
Persentase Usaha IKKR yang Modal Pinjamannya
di luar Bank menurut Jenis Alasan Tahun 2003
Uraian IK IKR
(1) (2) (3)
Alasan tidak meminjam ke Bank
• Tidak punya agunan 28,80 32,30
• Tidak tahu prosedur peminjaman 15,90 17,84
• Prosedur terlalu sulit 9,48 14,79
• Suku Bunga tinggi 9,24 10,42
• Tidak berminat 36,32 23,60
• Proposalditolak 0,26 1,05
J U M L A H 100,00 100,00
Sumber: Profil Industri Kecil dan Kerajinan Rumahtangga, BPS, 2005
Pilihan studi perilaku ramah lingkungan pada usaha industri kecil tempe
tahu dan bukan pada industri kecil lainnya adalah karena alasan yang sangat
praktis. Limbah produksi tempe tahu adalah mudah di lihat dan dirasakan dengan
pancaindera, yaitu limbah air keruh dan bau busuk.
2. Perumusan Masalah:
2.1. Bagaimana intensitas praktik ramah lingkungan usaha industri kecil tempe tahu
di lingkungan PIK PRIMKOPTI Semanan?
2.2. Bagaimana respon usaha industri kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI
Semanan baik sebagai komunitas maupun sebagai individu-individu terhadap
kewajiban untuk memenuhi standard produksti ramah lingkungan?
2.3. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan respon masing-masing usaha
industri kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI Semanan baik terhadap
kewajiban untuk memenuhi standard produksti ramah lingkungan?
2.4. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan respon komunitas usaha industri
kecil tempe tahu di PIK PRIMKOPTI Semanan baik terhadap kewajiban untuk
memenuhi standard produksti ramah lingkungan?
Dari berbagai hasil penelitian mengenai hubungan antara usaha kecil dengan
lingkungan terutama yang berkembang di negara-negara maju (Judith Petts, Andrew
Herd and Mary O’heocha 1998; Fiona 1999; Michael T. Rock dan Jean Aden 1999;
Martin Lindell dan Necmi Karagozoglu 2001; Schaper 2002; Clare D’Souza dan
Roman Preretiatko 2002; David Hitchens, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael
Keil, dan Samarthia Thankappan 2003; Revell 2003; Ramjeawon 2004; Mark
Pagell, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede dan Chwen Sheu 2004; Andreas
Diekman dan Peter Preisendörfer 2003; Robert Emet Jones dan Riley E. Dunlap
1992/2001), dapat diperoleh satu generalisasi bahwa fenomena usaha kecil dalam
memenuhi standard ramah lingkungan adalah dilatar-belakangi banyak faktor, baik
yang bersifat resistance forces mapun yang bersifat driving forces baik pada
tingkatan mikro individual maupun pada tingkatan makro institusional, baik pada
lingkup lokal maupun global.
KARAKTERISTIK PERUSAHAAN
Produk, Bahan Baku dan Energi
INTENSITAS
Permodalan, Aset, Kondisi SDM,
PRAKTIK
Jaringan Kerjasama, Perusahaan Induk
Ramah Lingkungan
KARAKTERISTIK PEMILIK: Industri Kecil
Aspek Sosial Ekonomi, Pengetahuan. Tempe Tahu
Motivasi Usaha, Persepsi dan Sikap
Diagram 1.2. I d e a s
10) Respon para pemilik usaha cenderung bersifat difensif terhadap intervensi
yang bersifat oposisi atau protes.
Dari segi proses, cleaner production dihasilkan dari kombinasi atas konservasi
bahan baku, air, energi, pengurangan bahan B3, pengurangan limbah B3 dan emisi
udara serta sampah selama proses produksi.
6. TEMUAN PENELITIAN.
6.1.9. Yang dipikirkan oleh para pemilik usaha adalah memperoleh penghasilan
dan tidak waktu untuk memikirkan apakah kegiatan produksinya itu
ramah lingkungan atau tidak. Waktu dihabiskan untuk membuat
perencanaan dan kegiatan produksi harian.
6.1.11. Akibat dari semua itu, para pengusaha memang tidak termotivasi untuk
melakukan kegiatan produksi ramah lingkungan.
6.1.12. Namun secara kolektif, para perajin dapat diarahkan untuk melakukan
kegiatan produksi ramah lingkungan. Penjelasan yang dapat dikemukakan
dalam hal ini adalah:
7. REFLEKSI TEORETIK
7.2. Konflik yang dalam hal ini adalah protes dari warga diluar kawasan
sehubungan dengan limbah air bau dari proses produksi, tidak
menghalangi para perajin untuk tetap berproduksi. Namun demikian
protes warga dari luar kawasan tersebut telah ikut memaksa wagra
KOPTI Semanan untuk belajar mentransformasi diri melakukan
produksi ramah lingkungan. Konflik dalam hal ini merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari proses adaptasi.
7.3. Di samping itu adanya tindakan protes dari warga lain tersebut juga
telah ikut mendorong Pemerintah dan Perguruan Tinggi peminat
masalah kesehatan lingkungan untuk memberi jalan keluar. Dalam hal
ini Pemerintah membantu warga PIK KOPTI Semanan membangun
instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di lahan yang sudah ada.
Sedangkan beberapa Perguruan Tinggi memberikan penyuluhan dan
pembinaan produksi ramah lingkungan. Pemerintah setempat juga
menjalankan fungsi sebagai penengah bagi keduabelah pihak yang
7.5. Adanya protes radikal dari warga lain terhadap warga PIK KOPTI
Semanan sehubungan dengan limbah bau yang dihasilkan, tidak perlu
dikaitkan denga praksis teori Treadmill of Production. Langkah
praksis yang diusulkan oleh teori Treadmill of Production untuk
menghindari kemerosotan lingkungan adalah perubahan radikal pada
politik ekonomi; akan tetapi hal itu tidak terjadi. Pendekatan
perubahan sosial Treadmill of Production adalah bottom-up; ini juga
aneh bagi warga PIK KOPTI yang pada saat bermusyawarah atau
berembug lebih senang bersikap sebagai kawula dan sendika dawuh.
Karakteristik masyarakat yang demikian itu sangat kondusif bagi
praksis Ecological Modernization yang berharap bahwa modernisasi
dapat mengatasi permasalahan lingkungan tanpa harus melakukan
perubahan mendasar pada lembaga-lembaga modernitas seperti
pemerintah, ekonomi, korporasi, teknologi serta struktur sosial lainnya
yang sudah ada. Dengan demikian pendekatan perubahan sosial
menurut Ecological Modernization pada dasarnya adalah top-down.
Memang komunitas setempat cenderung menolak cara-cara yang
radikal itu dan cenderung akomodatif terhadap praktek-praktek
kelembagaan yang bersifat membina Akan tetapi berdasarkan urutan
kejadian, tampaknya tindakan radikal warga lain tersebut cukup efektif
untuk memunculkan tindakan-tindakan pembinaan. Oleh karena itu
dengan meminjam konsep dari Anthony Giddens (1998) yang juga
relevan dengan persoalan politik lingkungan, penulis mengidentifikasi
adanya dialogic democracy untuk mendukung praksis Ecological
Modernization.
7.6. Peran para aktivis. Para pelaku tindakan-tindakan baik yang benuansa
konflik maupun order bukanlah semua anggota populasi masing-
masing pihak atau kelompok, melainkan diwakili oleh beberapa
individu sebagai tokoh yang bertindak baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan kelompoknya. Mereka itulah yang
bertindak sebagai penggerak terjadinya proses-proses sosial tersebut.
7.10. Dengan kata lain, jika yang diinginkan adalah manfaat praktis dan
sekaligus teoretik, maka ketiga pendekatan tersebut harus dipakai
8. R E K O M E N D A S I
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT
KECIL
PENCEMARAN
USAHA INDUSTRI LINGKUNGAN :
KECIL TEMPE- AIR & UDARA
TAHU
EKONOMI
PEMERINTAH MASYARAKAT RESISTEN DAN
KECIL MELAWAN
KONFLIK
1992 1998
PENCEMARAN
SENTRA TEKNOLOGI WARGA SEKITAR
BERKURANG/
INDUSTRI KECIL PRODUKSI MENDUKUNG DAN
TEMPE-TAHU RAMAH
TIDAK MENGAMBIL MANFAAT
LINGKUNGAN MELEWATI
BATAS
TOLERANSI
Absori (2002)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Perdagangan Bebas,: Universitas
Muhammadiyah Surakarta Press, Surakarta.
Absori (2005)
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.
8, No. 2, September 2005: 221 - 237
Hitchens, David, Jens Clausen, Mary Trainor, Michael Keil, Samarthia Thankappan
(2003), Competitiveness, Environmental Performance and Management of
SMEs, Greener Management International, Winter 2003; 44, pp. 45-57
Jauhari, A; 2002
Pemberdayaan Usaha Kecil Ramah Lingkungan, SUARA PEMBARUAN DAILY,
18/6/2002, http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=4297
Pagell, Mark, Chen-Lung Yang, Dennis W. Krunwiede and Chwen Sheu (2004)
Does Competitive Environment Influence the Efficacy of Investments in
Environmental Management?, The Journal of Supply Chain Management, 40,
3, Summer 2004, pp. 30-39
Ramjeawon, T. (2004)
A Case Study of Cleaner Production Opportunities In Small and Medium
Enterprises on Island of Mauritius, Electronic Green Journal, Issue 20 Spring
2004
http://www.northwestern.edu/ipr/publications/papers/2004/schnaiberg/17_Tread
millEnvirState.pdf
PERATURAN PERUNDANGAN
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang : Jenis
Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 123, Tanggal 1
Februari 1995 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tindakan Administratif bagi
Perusahaan/Industri/Kegiatan Peserta Prokasih.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 852 Tanggal 12 Juni
1995 Tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku
Mutu Limbah Cair.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 299 Tanggal 12
Februari 1996 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peruntukan dan Baku Mutu Air
Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 30 Tanggal 19 April
1999 Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair (IPLC).
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1041 Tanggal 11
Mei 2000 Tentang Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di Provinsi DKI
Jakarta.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 76 Tanggal 25 Juli
2001 Tentang Keterlibatan Masyarakat.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tanggal 12
November 2001Tentang Sumur Resapan.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 551 Tanggal 7
Februari 2001Tentang Baku Mutu Udara Ambien.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2863 Tanggal 4
Oktober 2001 Tentang Jenis Rencana Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan
AMDAL.
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 189 Tanggal 5
Februari 2002 Tentang Jenis Usaha /Kegiatan Yang wajib dilengkapi Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta.
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1532 Tanggal 2
Agustus 2005 Tentang Penetapan Kepengurusan Komite Evaluasi Lingkungan Kota
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tanggal 16 Februari
2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tanggal 20 Juni
2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok