Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hepatitis

2.1.1. Hepatitis A
Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral. Seseorang dapat terkena
Hepatitis A saat memakan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh kotoran
orang yang telah terinfeksi virus ini. Hal ini bisa terjadi dengan berbagai cara.
Misalnya saat orang yang telah terinfeksi menyiapkan/memasak makanan
untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih dahulu dengan baik. Seseorang
pun bisa terkena Hepatitis A lewat minuman yang terkontaminasi dengan virus
ini. Virus Hepatitis A lebih mudah menyebar di area yang kebersihannya
kurang terjaga.4

2.1.1.1. Virologi
Hepatitis Virus A (HAV) adalah noneveloped virus berukuran 27nm
dan merupakan RNA virus rantai tunggal, dari famili picornavirus, terdiri
dari satu serotipe, tiga atau lebih genotipe, bereplikasi di sitoplasma
hepatosit yang terinfeksi. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena
mekanisme imun yang diperantai sel-T.1 Host infeksi HAV sangat terbatas,
hanya manusia dan beberapa primata yang dapat menjadi host alamiah.
Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi
serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan, melalui rute
fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi
melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di
membran hepatosit. HAV matur yang sudah bereplikasi kemudian
diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses.5,6

2.1.1.2. Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis (Afrika, Amerika
Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara) paparan terhadap HAV hampir
100% pada anak 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan
Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih
dari 0% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti
HAV mencapai hampir 100%. Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi
disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang menyerang lebih dari 500
penderita, yang diduga berasal dari pedagang kaki lima yang berada sekitar
kampus. Di negara maju 3 prevalensi anti HAV pada populasi umum di
bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara
berkembang.6

2.1.1.3. Patofisiologi
Diawali dengan masuknya virus kedalam saluran pencernaan, kemudian
masuk ke aliran darah menuju hati melalui vena porta, lalu menginvasi ke
hepatosit, dan bereplikasi sehingga menyebabkan sel hepatosit menjadi
rusak. Setelah itu virus akan keluar dan masuk kedalam ductus biliaris yang
akan dieksresikan bersama feses. Hepatosit yang telah rusak akan
merangsang reaksi inflamasi yang ditandai dengan adanya agregasi
makrofag, pembesaran sel kupfer yang akan menekan ductus biliaris
sehingga aliran bilirubin direk terhambat, kemudian terjadi penurunan
ekskresi bilirubin ke usus.
Keadaan ini menimbulkan ketidak seimbangan antara uptake dan eksresi
bilirubin dari sel hati sehingga bilirubin yang telah mengalami proses
konjugasi (direct) akan terus menumpuk dalam sel hati yang akan
menyebabkan refluks ke pembuluh darah sehingga akan bermanifestasi
kuning (ikterus) pada jaringan kulit terutama pada sklera, dan kadang
disertai rasa gatal dan air kencing menjadi berwarna teh pekat akibat
partikel bilirubin direk berukuran kecil sehingga dapat masuk ke ginjal dan
dieksresikan melalui urin.
Akibat bilirubin direk yang kurang dalam usus mengakibatkan gangguan
dalam produksi asam empedu, karena produksinya menurun, sehingga
proses pencernaan lemak terganggu, dan lemak akan bertahan dalam
lambung dengan waktu yang cukup lama, dan menyebabkan regangan pada
lambung sehingga merangsang saraf simpatis dan parasimpatis
mengakibatkan teraktifasinya pusat muntah yang berada di medula
oblongata dan menyebabkan timbulnya gejala mual, muntah, dan menurun
nya nafsu makan.7 Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa
mekanisme. Pertama merupakan refleksi jejas pada hepatosit, yang
melepaskan alanin aminotransferase (ALT, atau serum glutamat piruvat
transaminase) dan aspartat aminotransferase (AST, dahulu serum
glutamatoksaloasetat transaminase) ke dalam aliran darah. ALT lebih
spesifik pada hati daripada AST, yang juga dapat naik sesudah cedera pada
eritrosit, otot skelet, atau sel miokardium. Tingginya kenaikan tidak
berkorelasi dengan luasnya nekrosis hepatoseluler dan nilai prognostik
kecil.
Pada beberapa kasus, penurunan kadar aminotransferase dapat
meramalkan hasil yang jelek jika penurunan terjadi bersama dengan
kenaikan bilirubin dan waktu protrombin yang memanjang (prothrombine
time/PT). Kombinasi temuan ini menunjukkan bahwa cedera hati masif
telah terjadi, menyebabkan sedikit berfungsinya hepatosit. Enzim lain, laktat
dehidrogenase bahkan kurang spesifik terhadap hati daripada AST dan
biasanya tidak membantu dalam evaluasi cedera hati. 4 Hepatitis virus juga
disertai dengan ikterus kolestatik, dimana kadar bilirubin direk maupun
indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera
terhadap hepatosit. Kenaikan alkali fosfatase serum, 5'-nukleotidase,
-glutamil transpeptidase, dan ɣ urobilinogen semua dapat merefleksikan
cedera terhadap sistem biliaris. Kelainan sintesis protein oleh hepatosit
digambarkan oleh kenaikan PT. Karena protein ini waktu paruhnya pendek,
PT adalah indikator cedera pada hati yang sensitif. Albumin serum adalah
protein serum lain yang dibuat-hati, tetapi waktu paruhnya yang panjang
membatasi relevansinya untuk pemantauan cedera hati akut. Kolestasis
menyebabkan penurunan kumpulan asam empedu usus dan pengurangan
penyerapan vitamin larut-lemak. Cedera hati dapat juga menyebabkan
perubahan pada karbohidrat, ammonia dan metabolisme obat.

2.1.1.4. Manifestasi Klinis


Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, anoreksia, dan
nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang
dikenali, jarang terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang
terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi
berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu:6
1. Masa inkubasi
Berlangsung selama 18-50 hari (±28 hari)
2. Masa prodomal
Terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih. Gejala: fatigue, malaise,
nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah
kanan atas, demam (biasanya < 39°C). Merasa dingin, sakit kepala,
gejala seperti flu. Tanda yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan
dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik
Dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh
feses yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit
perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah
bertambah berat.
4. Fase penyembuhan
Ikterus menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu
setelah onset.

Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita
sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak
dikenal adanya viremia persisten maupun penyakit kronis.6 Terdapat 5
macam gejala klinis:

1. Hepatitis A klasik
Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1
minggu sebelum jaundice. Diderita oleh ± 80% dari penderita
simtomatis. IgG anti-HAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang
tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari kompleks IgA-HAV, sehingga
dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah terjadinya relaps.
2. Hepatitis A relaps
Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah
dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40
tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah
hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala relaps
lebih ringan daripada bentuk pertama.
3. Hepatitis kolestatik
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan
gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan
jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT, dan ALP secara perlahan turun
ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi.
4. Hepatitis A protracted
Pada bentuk protracted (8,5%), clearance dari virus terjadi perlahan
sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat
mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal
dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan lobular hepatitis.
5. Hepatitis A fulminan
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat
menyebabkan kematian. Ditandai dengan memberatnya ikterus,
ensefalopati, dan pemanjangan waktu protombin. Biasanya terjadi pada
minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita usia tua yang
menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk
terjadinya bentuk fulminan ini.6

2.1.1.5. Diagnosis

Diagnosa hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dari


pemeriksaan serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2 minggu
setelah terinfeksi dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan untuk
pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam waktu 5-6 minggu setelah
terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan memberi proteksi
terhadap HAV seumur hidup. Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk
hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai 5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak
berhubungan dengan derajat penyakit. Pemanjangan waktu protrombin
mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada bentuk fulminan.6

2.1.1.6. Pengobatan
Indeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2
minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut
dirawat secara rawat jalan, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan
kesulitan masukan per-oral, kadar SGOTSGPT> 10 kali nilai normal,
koagulopati, dan ensefalopati. 6 Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan
terhadap bahan hepatotoksik, misalnya asetaminofen. Pada penderita tipe
kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek. Pada tipe
fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu
protombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik
adalah: 1. Pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik 2. Umur penderita
kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun 3. Kadar bilirubin serum lebih dari
17mg/dl atau waktu sejak dari ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.4,5

2.1.1.7. Pencegahan
Higiene baik akan menguramgi risiko transmisi fekal-oral HAV
dengan signifikan. Vaksin HAV direkomendasikan untuk imunisasi rutin
pada semua anak yang dimulai pada usia 12 bulan, dan untuk anak yang
lebih dewasa dan belum divaksinisasi didaerah yang ditargetkan untuk
vaksinasi. Keluarga yang belum divaksinisasi dan kontak dengan orang
HAV harus diberi profilaksis pasca paparan secepatnya dan dalam 2
mingggu dari paparan yang terakhir. Vaksin HAV dosis tunggal dengan
dosis sesuai umur diperuntungkan bagi orang dengan umur 12 bulan
sampai 40 tahun. Immunoglobulin (0,02 mL/kg) secara intramuscular
diperuntukkan bagi anak dengan umur dibawag 12 bulan, dewasa diatas
umur 40 tahun, dan pasien imunokompromais. Wisatawan yang belum
divaksinisasi dan berpergian ke daerah endemis harus mendapatkan dosis
tunggal vaksin HAV yang diberikan kapan saja sebelum waktu
keberangkatan.5

2.1.2. Hepatitis B
2.1.2.1. Virologi
Virus hepatitis B (HBV) manusia termasuk golongan hepadnavirus
tipe 1. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda
sirkular yang terdiri dari 3200 nuklotida dengan diameter 42 nm dan
terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel
lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel
batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm.
Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang
terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B
surface antigen (HbsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion
adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen
(HbcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan
protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat
dalam core adalah hepatitis B e antigen (HbeAg). Antigen ini menjadi
petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal,
pankreas, dan terutama hati. HbeAg merupakan petanda tak langsung
derajat beratnya infeksi. Masa inkubasi HBV 60-90 hari.4,5

2.12.2. Epidemiologi
WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap
HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3
golongan yaitu prevalensi rendah (HbsAg 0,2- 0,5% dan anti-HBs 4-6%),
prevalensi sedang (HbsAg 2-7% dan anti-HBs 20-55%), dan prevalensi
tinggi (HbsAg 7-20% dan anti-HBs 70-95%). Di negara maju seperti
Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi
HbsAg bervariasi antara 0,1%- 0,2% sedangkan di Afrika dan Timur 10%-
15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi
dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%.2 Pada ibu
yang melahirkan dengan HbeAg (+), bayi memiliki risiko tertular sebesar
90%, sedangkan bila hanya HbsAg (+) maka risikonya 10% apabila tidak
dilakukan tindakan imunoprofilaksis. 90% bayi yang tertular akan
berkembang menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena
penyakit hati kronis.2 HBV tidak selalu didapatkan dalam ASI, namun
yang dikhawatirkan adalah luka pada puting susu sehingga bayi menelan
ASI yang mengandung darah dan HBV.5

2.1.2.3. Patofisiologi
Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme system imun
diaktivasi untuk mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan
dengan itu terjadi peningkatan serum transaminase, dan terbentuk antibody
spesifik terhadap protein HBV, yang terpenting adalah anti-HBs. Untuk
dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons imun
nonspesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera
setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik
diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini men ingkatkan ekspresi
HLA kelas I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga
nantinya memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang
terinfeksi dan melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC)
seperti sel makrofag atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah
VHB. Sel APC ini kemudian akan mempresentasikan antigen VHB dengan
bantuan HLA kelas II pada sel CD4 (sel T helper / Th) sehingga terjadi
ikatan dan membentuk suatu kompleks. Kompleks ini kemudian akan
mengeluarkan produk sitokin. Sel CD4 ini mulanya adalah berupa Th0,
dan akan berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. Diferensiasi ini tergantung
pada adanya sitokin yang mempengaruhinya.
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-
2 dan IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk
mengenali sel hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut
yang berarti juga melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal
ini tidak terjadi. Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga
respons imun yang dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.
Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan
mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang
secara non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan
aktivasi sitotoksis dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon.
Walaupun peran sel NK yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini
berperan penting untuk terjadi resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B
kronis siketahui terdapat gangguan fungsi sel NK.4

Perjalanan klinis HBV umumnya dibagi menjadi 4 stadium :

1. Stadium I Bersifat imun toleran.


Pada neonatus, stadium ini dapat berlangsung hanya 2-4 minggu saja.
Pada periode ini, replikasi virus dapat terus berlangsung walaupun
serum ALT hanya sedikit atau bahkan tidak meningkat sama sekali
serta tidak menimbulkan gejala klinis.

2. Stadium II
Mulai muncul respons imun dan berkembang. Hal ini akan
mengakibatkan stimulasi sitokin dan menyebabkan sitolisis hepatosit
secara langsung dan terjadi proses inflamasi. Pada stadium ini HBeAg
tetap diproduksi, tetapi serum DNA-VHB menurun jumlahnya karena
sel yang terinfeksi juga menurun. Pada hepatitis B akut, stadium ini
merupakan periode simtomatik dan umumnya berlangsung selama 3-4
minggu. Pada pasien dengan hepatitis kronis stadium ini dapat
berlangsung selama 10 tahun atau lebih, yang kemudian akan melanjut
sitosis dan komplikasinya.
3. Stadium III
Dimulai ketika pejamu mampu mempertahankan respons imunnya dan
mampu mengeliminasi sel hepatosit yang terinfeksi sehingga sel yang
terinfeksi menurun jumlahnya dan replikasi virus aktif berakhir. Pada
stadium ini tidak terdapat lagi HBeAg dan kemudian muncul antibody
terhadap HBeAg. Penurunan jumlah DNA virus yang bermakna
ditemukan walaupun DNA-VHB pasien tetap positif.
4. Stadium IV
HBsAg menghilang dan timbul antibody terhadap HBsAg (anti-HBs).

Petanda Stadium 1 Stadium II Stadium III Stadium IV


HbsAg + + + -
Anti-Hbs - - - +
DNA-VHB + kuat + - -
Anti HBc + + + +
HbeAg + + - -
Anti Hbe - - + +
AST & N Meningkat N N
ALT

Faktor yang dapat berperan dalam evolusi ke 4 stadium di atas adalah :


1. Predisposisi genetic (Ras Asia)
2. Adanya virus lain (virus hepatitis D, virus hepatitis C)
3. Pengobatan menggunakan imunosupresif
4. Jenis kelamin (lelaki lebih buruk disbanding perempuan)
5. Timbul HBV mutan
Seorang bayi dengan infeksi perinatal oleh HBV mempunyai
predisposisi untuk mengalami infeksi HBV kronis, karena :
1. Pada neonatus system imunnya belum sempurna
2. Diduga HBeAg ibu akan melewati barier plasenta dan HBeAg ini
menyebabkan sel T helper tidak responsive terhadap HbcAg.
3. HBeAg pada neonatus yang lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg positif.
4. Adanya IgG anti HBc ibu yang secara pasif masuk dalam sirkulasi bayi
akan menutupi ekspresi HBcAg di permukaasn hepatosit bayi, sehingga
akan mengganggu pengenalan dan penghancuran hepatosit oleh sel T
sitotoksik.

2.1.2.4. Gejala Klinis

Hepatitis B biasanya asimtomatik atau dengan gejala yang ringan


saja. Walaupun demikian infeksi HBV yang terjadi pada masa anak-anak
mempunyai risiko untuk menjadi kronis. Kronisitas terutama terjadi pada
anak yang mendapat infeksi perinatal. Meskipun asimtomatik, sebetulnya
tingkat replikasi DNA-VHB tinggi. Tetapi hal ini tidak berarti infeksi
hepatitis B kronis selalu ringan pada anak-anak karena dapat langsung
terjadi KHS.4,5

Pada pemeriksaan fisik, hepatomegali merupakan satu-satunya


kelainan yang ditemukan. Infeksi hepatitis B kronis pada anak yang
melanjut sampai dewasa berhubungan dengan tingginya angka kejadian
sirosis dan KHS. Karsinoma hepatoseluler akibat hepatitis B walaupun
jarang ditemukan telah diketahui dapat terjadi pada anak pengidap
hepatitis B kronis. Risiko pengidap VHB untuk berkembang menjadi KHS
230 x lebih besar dibandingkan populasi umum. Frekuensi tertinggi
terjadinya KHS ditemukan pengidap hepatitis B berjenis kelamin lelaki
dengan sirosis. Hubungan KHS dengan VHB pada anak telah dilaporkan.
Walaupun hampir semua kasus KHS yang dilaporkan terjadi pada anak
didahului terjadinya sirosis, tetapi adanya kasus yang tanpa sirosis
mengarah pada kesimpulan bahwa integrasi genom VHB mungkin bersifat
onkogenik.6,7,8

Walaupun umumnya infeksi hepatitis B bersifat asimtomatik, tetapi


pada sebagian kecil kasus (kurang dari 1%) dapat terjadi hepatitis
fulminan. Bila sudah hepatitis fulminan, umumnya bersifat fatal. Hepatitis
fulminan pada bayi berhubungan erat dengan ibu pengidap dengan HBeAg
negative dan anti-HBe positif. Selain itu terdapat hubungan adanya mutan
pre-core dengan gejala infeksi hepatitiS B yang berat, termasuk hepatitis
fulminan.1,2
Gambar 5. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis

Diperkirakan akibat ketidakhadiran HBeAg di dalam serum menyebabkan


virus tidak mampu membuat respons imun untuk toleran terhadap VHB.
Mutasi pada daerah pre-core merupakan cara virus untuk melepaskan diri
terhadap tekanan respons imun. Adanya antibody terhadap HBeAg (anti-
HBe) mendahului timbulnya stop codon pre-core, sehingga tidak
mengherankan bahwa sekuens pre-core tipe wild dapat ditemukan bila
terdapat antiHBe.9

a. Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar


virus. Awalnya gejala seperti flu biasa.

Gejala-gejala yang muncul antara lain :

- Kehilangan nafsu makan

- Cepat lelah

- Mual dan muntah

- Gatal seluruh tubuh

- Nyeri abdomen kanan atas


- Kuning, kulit dan atau sklera

- Warna urin seperti teh atau cola

- Warna feses lebih pucat

b. Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk akut.
Gejalanya:

1. Ketidakseimbangan mental seperti :bingung, lethargy, halusinasi


(hepatic encephalopati)
2. Kolaps mendadak disertai keadaan sangat lemah
3. Jaundice
4. Gagal hati, gejalanya : - Asites - Jaundice yang persisten
5. Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan - Muntah disertai
darah - Perdarahan pada hidung, mulut, anus, atau keluar bersama
feses

2.1.2.5. Diagnosis
Dasar Diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis.
Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus
masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan
replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis.
Pada saat ini DNA HBV, HbsAg, HbeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam
serum. Keadaan ini berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama
pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada
tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel
hari yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau
berkembang menjadi hepatitis kronis.9
Tabel 1. Penanda Serologis Infeksi HBV1

Antigen Interpretasi Bentuk Klinis


HbsAg Sedang infeksi Hepatitis akut,
hepatitis kornis,
penanda kronis
HbeAg Proses replikasi dan Hepatitis akut,
sangat menular hepatitis kronis
Anti HBs Resolusi infeksi Kekebalan
Anti HBc total Sedang infeksi/ Hepatitis akut,
pernah infeksi hepatitis kronis,
penanda kronis,
kekebalan
IgM anti HBc Infeksi akut atau Hepatitis akut,
infeksi kronis yang hepatitis kronis
kambuh
Anti Hbe Penurunan aktivitas Penanda kronis,
replikasi kekebalan
Pemeriksaan Infeksi HBV Hepatitis akut,
Molekular hepatitis kronis,
penanda kronis
Hibridisasi DNA Replikasi aktif dan Hepatitis akut,
HBV sangat menular hepatitis kronis

2.1.3. Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit hati yang serius yang disebabkan oleh
infeksi dari Hepatitis C virus (HCV). Biasanya hepatitis C disebut dengan
silent disease karena seseorang bisa terinfeksi dan tidak mengetahuinya.
Beberapa orang bisa tidak bergejala, dan sembuh, tapi kebanyakan orang
mendapatkan infeksi yang berkembang menjadi keronik ataupun infeksi
seumur hidup. Kronik hepatitis C ini bisa menjadi masalah serius yang
menyerang hati menjadi gagal hati, dan sampai menjadi kanker hati.10

2.1.3.1. Virologi
HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili
Flaviviridae dan Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling
menyerupai. HCV berdiameter 30- 60nm, dengan panjang 9413
nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat melakukan
mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.5 Saat ini
telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat
banyak, terdiri dari 4 genotipe. Pemberian tatanama HCV adalah dengan
cara membandingkan persentase kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya
group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan nukleotida kurang
dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui.5
Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses
replikasi, yang merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari
sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti
bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat ditemukan virus-virus
yang berbeda susunan nukleotidanya. Masa inkubasi virus ini 30-60 21
hari. Akibat dari heterogenitas tersebut adalah:5
1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon
imunologis menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya
persistensi virus.
2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan
infeksi dengan beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang
berat.
3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus
adalah rendah seperti pada genotipe 1 dan 4.
4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes
diagnosis.
5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat
spesifik

2.1.3.1. Epidemiologi
Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV (+), didapatkan
angka 5%. Bila ibu menderita HIV disertai dengan HCV, maka
kemungkinan tertular akan lebih besar yaitu 14%. Kemungkinan
penularan in-utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi
baru lahir. Tetapi viremia mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir;
dalam hal ini apabila seorang bayi dicurigai tertular HCV maka
sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana antibodi
ibu sudah sangat turun.
Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi hati juga penting
pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir, tetapi bila terjadi
peningkatan hasil uji fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga
kuat bahwa bayi tersebut tertular secara perinatal. Gejala klinis hepatitis
akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 - 18 bulan
tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan
secara perinatal.5

2.1.3.2. Patofisiologi
HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang
tergantung pada infeksi non-sitopatik terhadap sel hati dan respons
imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus lainnya, eradikasi HCV
melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus
yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak
sel yang terinfeksi dan menghambat replikasi intraseluler melalui
pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari aktivitas antibodi
penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini
dapat menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam
sirkulasi seorang penderita terdapat virus yang homogen tetapi
mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi dari antobodi
penetral turun.
HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan
cara infeksi langsung pada sel limfoid dan menggangu produksi
interferon. Kerusakan hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga
terjadi melalui efek sitopatik dengan ditemukannya perubahan
degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b mungkin
lebih bersifat sitopatik daripada genotip lain. Mekanisme sitotoksisitas
yang diperantarai sel diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati,
yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi
dengan HLA kelas 1 dan core beserta antigen envelope HCV pada serum
penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga berhubungan dengan gangguan
imunologis seperti vaskulitis, glomerulonefritis, artritis, dan tiroiditis.
Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem
imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan
pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV
langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin juga
menimbulkan limfoma.5

2.1.3.3. Manifestasi Klinis


1. Hepatitis C akut
Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika
Serikat. Perkiraan masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-30 minggu).
Anak maupun dewasa yang terkena infeksi biasanya asimtomatik
atau gejala tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa diagnosis
hepatitis C pada fase akut sangat jarang.
2. Hepatitis C kronis
Pola klinis infeksi kronis biasanya serupa dengan pola klinis virus
hepatitis yang lain. HCV merupakan hepatitis virus yang paling
mungkin menyebabkan infeksi kronis. Tidak kurang dari 85%
penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme
mengenai mengapa virus masih tetap ada setelah infeksi akut belum
diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan
virus untuk melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita
tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak
spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut
kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa
penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat
mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit
hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi gejala hematologis,
autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf.
Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal
sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal.
Khas, pola fluktuasi kenaikan aminotransferase terjadi pada sekitar
80% dari mereka yang berkembang HCV kronis. Walaupun kenaikan
kadar aminotransaminase kronis lazim. Khas Kadar bilirubin dan
fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut. 2

2.1.3.4. Diagnosis
Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2
golongan besar yaitu: 5
1. Uji saring
Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai
beberapa keuntungan yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan
murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita dengan gangguan
imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada
penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan
juga pada awal perjalanan penyakit dengan adanya window period
yakni belum terbentuknya antibodi.
2. Uji konfirmasi
Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji
konfirmasi walaupun perbaikan pemeriksaan serologis EIA
(Enzyme Immuno Assay) generasi ketiga dapat menyamai atau
tidak memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga
pada mereka dengan hasil pemeriksaan yang rendah tetapi
dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah, uji konfirmasi ini
meliputi: a. Recombinant immunoblot assay (RIBA-1, RIBA-2,
RIBA-3)
b. Deteksi virologis
c. Biopsi hati Tes konfirmasi dan genotip

2.1.3.5. Pengobatan11

Terapi standar yang umumnya digunakan adalah pegylated


interferon alfa- 2a atau alfa-2b dikombinasikan dengan ribavirin..
Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin walaupun ditoleransi
dengan baik oleh anak, obat ini memiliki efek samping yang signifikan
dan beberapa kontraindikasi yang perlu diketahui sebelum memutuskan
terapi.Pasien berusia kurang dari satu tahun tidak boleh menggunakan
terapi ini karena risiko terjadinya neurotoksitas yang berat berupa spastik
displegia. Di Amerika Serikat regimen ini dianjurkan digunakan pada
anak berusia 3 tahun atau lebih, mengunakan regimen pegylated
interferon alfa-2b dan ribavirin. Pasien dengan depresi perlu diawasi
oleh psikiater. Pada sekitar 21% pasien yang mendapat terapi ini
mengalami efek samping yang lebih berat sehingga pemeriksaan status
kesehatan sebelum terapi dan selama terapi diperlukan. Efek samping
pegylated interferon sama dengan interferon standar yaitu pireksia, sakit
kepala, gejala gastrointestinal, depresi, penurunan berat badan dan
perlambatan pertumbuhan linier dan neutropenia selama terapi.
Sedangkan efek samping ribavirin adalah anemia hemolitik dan
teratogenisitas. Pasien dengan sirosis kompensasi atau dekompensasi
ringan masih dapat diberikan terapi ini tetapi di senter yang tersedia
transplantasi hati karena bisa dengan cepat memburuk. Dosis pegylated
interferon alfa-2b adalah 60 mcg/m2 sekali seminggu sd.(disetujui
digunakan pada usia 3 tahun atau lebih), dosis maksimal 1,5 mcg/ kg)
dikombinasi dengan ribavirin 15 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila
digunakan pegylated interferon alfa-2a dosisnya 180 mcg/1,73 m2, dosis
maksimum 180 mcg) dikombinasi dengan ribavirin pada anak berusia 5
tahun atau lebih. Dapat juga diberikan interferon (3 MU/m2 tiga kali
dalam seminggu) dan dikombinasi ribavirin.

2.2. Sirosis Hepatis12


Definisi Sirosis hepatis adalah bentuk akhir kerusakan hati dengan
digantinya jaringan yang rusak oleh jaringan fibrotik yang akan
menyebabkan penurunan fungsi hati dan peninggian tekanan portal.

2.2.1. Klasifikasi
a. Klasifikasi etiologik

1. Nutrisi,
Kekurangan protein hewani terutama asam amino kolin dan mentionin.
Kekurangan vitamin B kompleks, tokoferol, kistein atau alfa-1
antitripsin dapat menyebabkan sirosis.

2. Hepatitis virus. Penderita hepatitis B kronik aktif sering menjadi sirosis.


3. Zat hepatotoksik seperti alcohol.
4. Hematokromatosis, akibat kenaikan absorbsi Fe baik yang didapat
maupun yang kongenital.

b. Klasifikasi patologik
1. Mikronoduler, bila nodul bergaris tengah sekitar 1 cm. Vena hepatic
sangat sedikit, sedangkan saluran portal masih terlihat.
2. Makronoduler, bila nodul bergaris tengah sekitar 5 cm dengan septum
fibrotic yang lebar melingkari nodul tersebut. Hati akan menjadi
mengerut.
3. Sirosis septal inkomplit, merupakan gabungan makro dan mikronodul.
Vena hepatica dan saluran portal masih terlihat, namun letaknya sudah
tidak teratur lagi.
4. Sirosis biller, akibat adanya obtruksi pada saluran empedu. Jaringan
fibrotic terpusat di sekitar saluran empedu, sedangkan parenkim hati
relative tidak mengalami perubahan.

c. Klasifikasi klinis
1. Sirosis terkompensasi, tidak ditemukan tanda kea rah penurunan
fungsi sel hati. Dapat dibagi menjadi:
a. Aktif
b. Inaktif, dalam hal seperti ini tidak ada perubahan biomkimiawi
hati.

Pada sirosis yang terkompensasi baik, gambaran klinis penyakit dasarnya


lebih menonjol. Misalnya sirosis setelah hepatitis aktif kronik, maka akan
terlihat gambaran kelainan kulit seperti jerawat dan stria. Pada fibrosis kistik
yang terlihat menonjol adalah infeksi saluran nafas kronik dan insufisiensi
pankreas. Yang aktif terkompensasi dapat menunjukkan pruritis, iktenus
xantelasma, malabsorbsi dan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak
terutama vitamin D dan K.
Malnutrisi dan "failure to thrive" mungkin merupakan gambaran
kegagalan hepatoseluler kronik sebagai akibat anoreksia, malabsorbsi lemak
akibat kurangnya empedu dan hipertensi portal. Kelainan peredarahan
terjadi akibat adanya pirau ("shunt) karena hambatan yang tejadi di hati
sehingga akan terjadi sirkulasi hiperkinetik, yaitu peningkatan ke luaran
("out put jantung dan penurunan resistensi perifer. Akibatnya akan tenjadi
spider nevi, eritema palmar dan "clubbing finger”.
Dekompensasi hati, yang ditandai dengan edema perifer dan asites
akibat penurunan fungsi hati, Tanda penting lain adanya ensefalopati hepatik
Adanya ikterus pada sirosis pasca nekrotik menunjukkan penyakit yang
lanjut. Adanya perdarahan akibat hipersplenisme, berkurangnya trombosit
dan infeksi menunjukkan keganasan penyakit yang diderita. Kematian sering
terjadi akibat septisemi.

2.2.2. Penneriksaan penunjang


Pemeriksaan "barium meal dapat mennperlihatkan adanya varises di
esofagus lambung dan duodenum. Ulserasi peptik yang sering terdapat pada
penderita dewasa, harus juga dicari pada anak terutama apabila ada
perdarahan saluran cema, "Liver scanning dengan tenitium-99 akan
memperlihatkan ukuran hati yang normal atau mengecil. Pemeriksaan
ultrasonografi akan memperlihatkan derajat pembesaran hati dan limfe.
Juga dapat memperlihatkan saluran portal dan vena splenikus.

2.2.3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari keluhan, riwayat penyakit terdahulu,
pemeriksaan fisik, kelainan fungsi hati dan kelainan hasil pemeriksaan
penunjang lainya. Diagnosis pasti didapat dari hasil biopsi.

2.2.4. Pengobatan
Diet dengan pembatasan garam. Pada anak pembatasan garam tidak
seketat orang dewasa, terutama pada anak yang tidak mau makan. Berapa
jumlah yang dapat diberikan tidak ada patokan khusus. Sebagai pegangan
pada anak berusia 1-4 tahun jangan lebih dari 5 mEq/hari. 5-11 tahun jangan
lebih dari 20 mEq/ hari dan untuk anak 12-14 tahun jangan lebih dari 30
mEq/hari.
Obat diuretika yang paling sesuai adalah aldakton yang merupakan
antagonis spironalakton dan diberikan dengan dosis initial
1. Umur 1-3 tahun: 4 x 12,5 mg/hari
2. Umur 4-7 tahun: 4 X 25 mg/hari
3. Umur 8-11 tahun: 4 x 27.5 mg/hari
4. Umur ≥ 12 tahun 4 X 50 mg/hari

Bila diuresis tetap sedikit dan retensi natrium tetap tinggi. dosis aldakton
dapat dinaikkan setengahnya.
Parasintesis Tindakan ini hanya dilakukan atas indikasi
l. Mengurangi rasa sakit
2. Mengurangi
3. Mengurangi komplikasi seperti perdarahan varises dan sindrom hepatore
4. Untuk diagnosis dan tindakan pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai