Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN KENYAMANAN

OLEH:

NI KOMANG TRISNA DEWI

0902105041

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2010
A. Konsep Dasar Kebutuhan Dasar Manusia
1. Pengertian
Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan. Berbagai teori
keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien yang
merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Kolcaba (1992) mendefinisikan
kenyamanan sebagai suatu keadaan yang telah terpenuhi kebutuhan dasar
manusianya. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan ketentraman ( suatu kepuasan
yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan yang telah
terpenuhi), transeden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah nyeri).
Kenyamanan sering diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari nyeri.
Gangguan kenyamanan berarti suatu keadaan ketika individu mengalami sensasi yang
tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya
(Lynda Juall Carpenito.M, 2006). Konsep kenyamanan memiliki subjektivitas yang
hampir sama dengan nyeri. (Fundamental vol.2, 2006). Setiap individu memiliki
karakteristik fisiologis, sosial, spiritual, psikologis, dan kebudayaan yang
mempengaruhi cara mereka menginterpretasikan dan merasakan nyeri.

2. Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran dari reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Nyeri memiliki 3
(tiga) komponen penting, yaitu resepsi, persepsi, dan reaksi.
a. Resepsi
Merupakan proses perjalanan nyeri. Semua kerusakan selular, yang disebabkan
oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik yang menyebabkan
pelepasan substansi (histamine, bradikinin, dan kalium) akan bergabung dengan
lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang
membahayakan) untuk memulai transmisi neural yang akan menghasilkan nyeri.
Kemudian impuls yang dihasilkan menyebar disepanjang serabut saraf perifer
aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengonduksi stimulus nyeri adalah serabut
A-delta yang bermielinasi dan cepat, mengirim sensasi yang tajam dan
terlokalisasi. Serabut tersebut menghantarkan komponen suatu cedera akut dan
segera (Jones dan Cory, 1990). Kedua adalah serabut C yang tidak bermielinasi
dan berukuran sangat kecil dan lambat. Serabut C menyampaikan impuls yang
terlokalisasi buruk visceral dan terus menerus (Puntollo, 1998).
Ketika serabut C dan A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer,
maka akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan respon nyeri.
Transmisi stimulus nyeri berlanjut disepanjang serabut saraf aferen sampai
transmisi tersebut berakhir dibagian kurno dorsalis medulla spinalis. Didalam
kurno dorsalis, neuro transmitter (substansi P) dilepaskan sehingga menyebabkan
suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus (Paice,
1991). Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam
sistem saraf pusat dan menghasilkan respon reflek protektif.
Proses ini berjalan jika sistem saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau
berfungsi normal. Ada beberapa faktor yang menggangu proses resepsi nyeri :
trauma, obat-obatan, pertumbuhan tumor, gangguan metabolic (penyakit DM).

b. Persepsi
Merupakan kesadaran seseorang terhadap nyeri. Persepsi merupakan titik
kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri,
maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Stimulus nyeri yang ditransmisikan naik
ke medulla spinalis kemudian ke thalamus dan ke otak tengah. Dari thalamus,
serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai areal otak, termasuk korteks
sensori dan korteks asosiasi (dikedua lobus parietalis), lobus frontalis dan system
limbic (Paice, 1991). Ada sel-sel didalam system limbic yang diyakini mengontrol
emosi khususnya ansietas. Dengan demikian system limbic berperan aktif dalam
memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir didalam
pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan mempersepsikan sensasi nyeri.

c. Reaksi
Reaksi merupakan respon fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri
yang superficial menimbulkan reaksi “flight atau fight” yang merupakan sindrom
adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan
respon fisiologis.

Respon fisiologis terhadap nyeri mencakup dua stimulasi yaitu stimulasi simpatis
dan parasimpatis. Stimulasi simpatis terjadi saat nyeri ringan, moderat, superficial
biasanya ditandai dengan dilatasi saluran bronchial dan peningkatan RR,
peningkatan HR, vasokonstriksi perifer, peningkatan TD, peningkatan nilai gula
darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil, penurunan motalitas
gastrointestinal. Sedangkan stimulus parasimpatik terjadi pada nyeri berat dan
dalam biasanya ditandai dengan muka pucat, otot mengeras, penurunan HR dan
TD, napas cepat dan ireguler, kelelahan dan keletihan.

Respon tingkah laku terhadap nyeri biasanya ditandai dengan pernyataan verbal
(seperti mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur), ekspresi wajah (seperti
meringis, mengelutukan gigi, dan menggigit bibir), gerakan tubuh (seperti gelisah,
imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan), kontak dengan
orang lain atau interaksi social (seperti menghindari percakapan, menghindari
kontak social dan focus pada aktifitas menghilangkan nyeri)

Meinhart dan McCaffery mendiskripsikan tiga fase pengalaman nyeri:

o Fase antisifasi : terjadi sebelum nyeri diterima


o Fase sensasi :terjadi saat nyeri terasa
o Fase akibat (aftermath) :terjadi ketika nyeri berhenti

3. Klasifikasi Nyeri
a. Berdasarkan sumbernya
 Cutaneus / supervisial : mengenai kulit atau jaringan subkutan, biasanya bersifat
burning seperti terbakar. Misalnya terkena ujung pisau atau gunting.
 Deep somatic/ nyeri dalam : muncul dari ligment, pembuluh darah, tendon dan
saraf, nyeri menyebar dan lebih lama dari pada cutaneus. Contoh sprain sendi.
 Visceral (pada organ dalam) : stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen,
cranium da thorax. Biasanya terjadinya karena spasme otot, iskemia, regangan
jaringan.
b. Berdasarkan penyebab
 Fisik : terjadi karena stimulus fisik. Misalnya fraktur femur.
 Psycogenic : terjadi karena sebab yang kurang jelas/ susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi /psikis dan biasanya tidak disadari. Misalnya orang yang
marah- marah, tiba- tiba merasa nyeri pada dadanya.
c. Berdasarkan lama atau durasinya
 Nyeri akut : terjadi setelah tubuh terkena cidera, atau interpensi bedah dan
memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai
ringan.
 Nyeri kronik : nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya
berlangsung lebih dari 6 bulan.
d. Berdasarkan letak atau lokasi
 Radiating pain : nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan didekatnya
(cardiac paint)
 Referred pain : nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan
berasal dari jaringan penyebab.
 Intractable pain : nyeri yang sangat susah dihilangkan. Contoh nyeri pada
kanker.
 Phantom pain : sensasi nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang hilang.
(Misalnya bagian tubuh yang diamputasi), bagian tubuh yang lumpuh karena
injuri medulla spinalis.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji sehubungan dengan kenyamanan adalah
 Ekspresi nyeri klien
Dapat dilakukan dengan menggunakan pengkajian dan penatalaksanaan
ABCDE nyeri, yaitu:
A(Ask dan Asses) : tanyakan nyeri secara teratur dan kaji nyeri secara
sistematis
B(Believe) : percaya apa yang dilaporkan pasien dan keluarga
serta apa yang dilakukan mereka untuk
menghilangkan nyeri
C(Choose) : pilih cara pengontrolan nyeri yang cocok untuk
pasien, keluarga dan kondisi
D(Deliver) : berikan intervensi secara terjadwal, logis, dan
terkoordinasi
E(Empower&Enable) : daya guna pasien dan keluarga untuk mengetahui
nyeri yang dirasakan klien dan mampukah mereka
mengontrol pengobatan sejauh yang dapat
dilakukan
 Klasifikasi pengalaman nyeri
Didapat dengan cara mengetahui fase nyeri yang pasien alami, fase tersebut
adalah fase antifasi, sensasi, akibat/aftermath
 Karakteristik nyeri
Pengkajian ini membantu perawat membentuk pengertian pola nyeri pasien
dan tipe terapi yang digunakan untuk mengatasi nyeri. Pengkajian tersebut
meliputi awitan, durasi, keparahan dan lokasi
 Efek nyeri pada klien
Pengkajian ini membantu mengidentifikasi sifat dan keberadaan nyeri dengan
lebih baik yang meliputi tanda dan gejala, fisik, efek prilaku dan pengaruh
pada aktivitas sehari-hari

Pengkajian nyeri biasanya dilakukan dengan konsep P,Q,R,S,T

P(Profokasi) : suatu yang mencetuskan terjadinya nyeri

Q(Quality) : kualitas apakah apakah seperti ditusuk-tusuk, ditekan benda


berat dll

R(Radien) : tempat atau lokasi nyeri

S(Skala) : tingkat nyeri pasien(0-5 dengan keterangan 0=tidak ada nyeri,


1=nyeri ringan,2=nyeri sedang,3=nyeri berat,4=nyeri sangat
berat,5=nyeri sangat berat yang tidak tertahankan

T(Time) : waktu terjadinya nyeri

Data subjektif yang mungkin didapat:


 Pasien mengatakan bahwa merasakan nyeri
 Pasien mengatakan sakit saat berpindah posisi
 Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sering mengeluh kesakitan
 Pasien mengatakan tidurnya tidak nyenyak

Data objektif yang mungkin didapat:

 Pasien tampak merintih kesakitan


 Wajah pasien tampak meringis
 Pasien terkadang menangis
 Pasien tampak resah
 PeningkatanTTV(suhu>370C,RR>20x/menit,HR=>100x/menit,TD=>120/>80
mmHg)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul sebagai berikut:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik atau trauma ditandai dengan pasien
mengatakan merasakan nyeri yang hebat, pasien tampak merintih kesakitan.
2. Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan ditandai dengan
pasien tampak resah, pasien mengatakan tidur tidak nyenyak, pasien mengatakan
merasakan nyeri hebat.

Anda mungkin juga menyukai