Disusun Oleh:
Iin Nila Nuraini J510170011
Gusprita Ningtyas J5010170092
Pembimbing:
A. Latar Belakang
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia
merupakan salah satu reservoir dari bakteri. Manifeatsi klinis difteri tergantung
pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala -
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman
antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun
karier.
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang
mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang -
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang
buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri
meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun
secara drastis.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui gejala klinis yang mempunyai nilai prediksi yang kuat
untuk penegakan diagnosis?
2. Untuk mengetahui metode diagnosis difteri?
BAB II
PEMBAHASAN
Etiologi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu
bisa menjadi media penularan (vehicle of transmission). Menurut manifestasi
klinisnya difteri terdiri dari difteri hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, dan
difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Diagnosis tonsilitis difteri
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan
kuman Corynebacterum diphteriae. Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat
obstruksi jalan napas, aktivitas eksotoksin, ataupun karena infeksi sekunder
bakteri lain.
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium
diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
maltosa, dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria.
Manifestasi Klinis
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di Indonesia,
pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus
difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak
pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana
difteria
2) Adanya miokarditis dan gagal jantung
3) Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
BAB III
PEMBAHASAN
Gejala klinis difteri bervariasi dari ringan hingga berat, dan tergantung
pada organ yang terkena. Difteri pada rongga mulut (tonsil-faring-laring)
merupakan bentukan paling sering (> 90%). Gejalanya seringkali tidak khas:
diawali nyeri telan, demam ringan, tidur ngorok, pembesaran kelenjar getah
bening leher dengan atau tanpa bullneck, stridor hingga tanda-tanda sumbatan
jalan nafas atas. Pemeriksaan fisik yang teliti dengan melihat rongga mulut
penderita adalah hal mutlak dalam mendiagnosis difteri, terutama difteri
tonsil/faring (Buescher, 2007).
Inkubasi difteri terjadi pada hari ke 2–7 (interval 1–10 hari) setelah
paparan di mana transmisinya bisa berupa partikel droplet nuklei dari pernafasan
atau bisa juga melalui kontak langsung dengan kulit pasien karier difteri.
Manifestasi klinis umum yang terjadi pada difteri adalah panas badan dan nyeri
telan. Awalnya nyeri telan merupakan gejala awal yang tidak menyebabkan orang
tua membawa anaknya ke dokter tetapi panas yang terjadi kemudian membuat
seorang anak dibawa ke dokter.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampa keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi
serta toksigenitas C. Diphtheria (kemampuan kuman membentuk toksin), dan
lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,90 C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteria.
Pseudomembran merupakan tanda khas difteri yang terbentuk dari sel-sel
leukosit, fibrin, jaringan nekrosis dan kuman difteri yang melekat kuat dengan
jaringan di bawahnya dan akan mengeluarkan darah jika berusaha dilepaskan.
Pada penelitian ini, 84,4% pseudomembran terdapat pada kedua sisi tonsil, 12,8%
pada satu tonsil tetapi lebih dari setengah luas tonsil atau meluas keluar tonsil.
Terdapat 6 kasus dengan pseudomembran di faring, 3 kasus di laring yang
sebagian besar merupakan perluasan dari difteri tonsil. Adanya satu kasus difteri
di konjungtiva merupakan hal yang sangat jarang terjadi pasca era imunisasi DPT,
yang mengindikasikan tingginya kasus dif teri dan kuman C. diphtheria yang
beredar di masyarakat. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2011 juga melaporkan mulai munculnya kasus difteri di luar saluran nafas seperti
difteri kulit, konjungtiva dan urogenital (vagina) yang setelah era imunisasi sudah
menghilang (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2011).
Diagnosis difteri terutama berdasarkan gejala klinis dan konfirmasi
laboratorium berupa hasil kultur C. diphtheria hanya ditemukan pada 23,3%.
Studi di India mengemukakan bahwa diagnosis difteri secara klinis perlu
mendapat perhatian atau sangat penting karena rendahnya temuan positif kuman
C. diphtheria. Jika terjadi keterlambatan diagnosis selama 48–72 jam akan
menimbulkan komplikasi yang serius bagi pasien (Ray, 1998).
Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Di
Indonesia, program imunisasi yang telah digalakkan mulai tahun 1970-an, telah
berhasil menurunkan angka kejadian difteri. Imunisasi kombinasi DTP
(diphtheria toxoid, tetanus toxoid, dan pertussis) dimulai saat seseorang berusia 6
minggu kemudian diulang 2× interval tiap 4 minggu kemudian di-booster setahun
setelah imunisasi terakhir dan saat usia 5 tahun.
BAB IV
KESIMPULAN
Dr. T.H.Rampengan, SpA (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Sp A. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18.
Buescher, E.S., 2007. Diphtheria. Dalam:Kliegman R.M., dkk. (ed). Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: W.B Saunders
company, hlm. 1153–7.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2012. Data Difteri 2011 Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur (data tidak dipublikasikan).
Jukka, L., 2003. Studies on the Epidemiology and Clinical Characteristics of
Diphtheria during the Russian Epidemic of the 1990s. Disertasi Tampere
University. Tampere University Press, (online),
(http://acta.uta.fi/english/teos. php?id=8914, diakses tanggal 1 Mei
2012,mjam 12.00 WIB)
Magdei, M., Melnic, A., Benes, O., dkk., 2000. Epidemiology and control of
diphtheria in the Republic of Moldova, 1946–1996.J Infect Dis.;
181(Suppl 1): S47–54.
Naiditch, M.J., Bower, A.G., 1954. Diphtheria. A study of 1.433 cases observed
during a ten-year period at the Los Angeles County Hospital. Am J Med,
7, 229–45.
Pancharoen, C., Mekmullica, J., Thisyakorn U., 2002. Clinical features of
diphtheria in Thai children: a historic perspective. Southeast Asian J Trop
Med Public Health, 22, 352–4.
Pantukosit, P., Arpornsuwan, M., Sookananta, K., 2008. A diphtheria outbreak in
Buri Ram, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 39,
690–6.
Quick, M.L., Sutter, R.W., Kobaidze, K., dkk., 2000. Epidemic diphtheria in the
Republic of Georgia, 1993–1996: risk factors for fatal outcome among
hospitalized patients. J infect Dis, 181(Suppl 1), 130–7.
Ray, S.K., Das, Gupta, S., Saha, I. 1998. A report of diphtheria surveillance from
arural medical college hospital. J Indian Med Assoc, 96, 236–8.
Sharma, N.C., Banavaliker, J.N., Ranjan. R, dkk., 2007. Bacteriological &
epidemiological characteristics of diphtheria cases in and around Delhi–
A retrospective study. Indian J Med Res, 126, 545–52.
Top, F.H., Wehrle, P.F., 1976. Diphtheria. In:Communicable and Infectious
disease, 8th ed. St. Louis: Mosby Co, hlm. 223–38.