Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

PENEGAKAN DIAGNOSIS DIFTERI SECARA KLINIS

Disusun Oleh:
Iin Nila Nuraini J510170011
Gusprita Ningtyas J5010170092

Pembimbing:

DR. Dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT-KL


Dr. Dimas Adi Nugroho, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN UMUM ILMU PENYAKIT THT


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara.
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia
merupakan salah satu reservoir dari bakteri. Manifeatsi klinis difteri tergantung
pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa
gejala sampai keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala -
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman
antara 2 - 5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun
karier.
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang
mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang -
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang
buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri
meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun
secara drastis.
B. Rumusan Masalah

1. Banyaknya variasi gejala pada tonsilitis difteri?


2. Begaimana mekanisme ternjadinya mekanisme gejala difteri?
3. Bagaimana metode diagnosis tonsilitis difteri?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui gejala klinis yang mempunyai nilai prediksi yang kuat
untuk penegakan diagnosis?
2. Untuk mengetahui metode diagnosis difteri?
BAB II
PEMBAHASAN

Etiologi

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu
bisa menjadi media penularan (vehicle of transmission). Menurut manifestasi
klinisnya difteri terdiri dari difteri hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, dan
difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Diagnosis tonsilitis difteri
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan
kuman Corynebacterum diphteriae. Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat
obstruksi jalan napas, aktivitas eksotoksin, ataupun karena infeksi sekunder
bakteri lain.
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium
diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
maltosa, dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria.

Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya


memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk / memproduksi
toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.

Gambar I. Corynebacterium diphtheria

Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara


nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian
pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan puluh persen
kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan
wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi
setempat.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet (infeksi tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu
bisa menjadi media penularan (vehicle of transmission).
Difteria kulit, meskipun jarang dibahas, memegang peranan yang cukup
penting secara epidemiologik. Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria
faucial di beberapa negara mulai memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat.
Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi tertentu dengan karier kulit dalam
proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria faucial, namun
sebalikya berperan pula dalam terjadinya wabah difteri faucial.
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur,
Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR)
11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan
jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa
Timur dinyatakan berstatus KLB.

Gambar I. Penyebaran Difteri

Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,


melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain
untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase yang aktif.

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan


fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga
tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi
inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik, membentuk
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau
sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang
trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri
hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi
tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah
toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi
saraf pada umumnya terjadi setelah 3 - 7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam
organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup,
terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala
hipoglikemik, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal.

Manifestasi Klinis

Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri,


virulensi serta toksigenitas Corynebacterum diphteriae dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit
pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa inkubasi antara 1-5
hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious (perlahan-lahan) dimulai
dengan gejala yang tidak spesifik. Difteri mempunyai masa tunas 2 - 6 hari.
Pasien pada umumnya datang berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung
pada lokalisasi penyakit difteri
Difteria Hidung
Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala
klinis pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet
pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi. Absorsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga diagnosis lambat dibuat
Difteria Tonsil Faring
Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula
dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis
servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung
dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik
unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,
koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa
disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan
terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Gambar III. Pseuomembran dan bull neck


Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri
primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya
serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk
dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan
trakeobrongkial.Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria
faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obsruksi dan
toksemia.
Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtifa dan Telinga merupakan tipe
difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas
dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, oedem dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen
dan berbau.
Diagnosis

Diagnosis difteria harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, oleh


karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Penentuan
kuman difteria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih
akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C.diphtheriae
dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenisitas
secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
Diagnosis Banding
 Difteria Hidung
Penyakit yang menyerupai Difteria hidung adalah rhinorrhea(common
cold,sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).
 Difteria Faring
Harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang disebabkan
oleh Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), mononucleosis infeksiosa,
tonsilitis membranosa non-bakterial, tonsilitis herpetika primer, moniliasis, blood
dyscrasia, pasca tonsilektomi.
 Difteria Laring
Gejala difteria laring menyerupai laringitis, dapat menyerupai infectious
croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan
benda asing dalam laring.
 Difteria Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.

Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain. Di Indonesia,
pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus
difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak
pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membrana
difteria
2) Adanya miokarditis dan gagal jantung
3) Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
BAB III

PEMBAHASAN

Gejala klinis difteri bervariasi dari ringan hingga berat, dan tergantung
pada organ yang terkena. Difteri pada rongga mulut (tonsil-faring-laring)
merupakan bentukan paling sering (> 90%). Gejalanya seringkali tidak khas:
diawali nyeri telan, demam ringan, tidur ngorok, pembesaran kelenjar getah
bening leher dengan atau tanpa bullneck, stridor hingga tanda-tanda sumbatan
jalan nafas atas. Pemeriksaan fisik yang teliti dengan melihat rongga mulut
penderita adalah hal mutlak dalam mendiagnosis difteri, terutama difteri
tonsil/faring (Buescher, 2007).
Inkubasi difteri terjadi pada hari ke 2–7 (interval 1–10 hari) setelah
paparan di mana transmisinya bisa berupa partikel droplet nuklei dari pernafasan
atau bisa juga melalui kontak langsung dengan kulit pasien karier difteri.
Manifestasi klinis umum yang terjadi pada difteri adalah panas badan dan nyeri
telan. Awalnya nyeri telan merupakan gejala awal yang tidak menyebabkan orang
tua membawa anaknya ke dokter tetapi panas yang terjadi kemudian membuat
seorang anak dibawa ke dokter.
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampa keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi
serta toksigenitas C. Diphtheria (kemampuan kuman membentuk toksin), dan
lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,90 C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteria.
Pseudomembran merupakan tanda khas difteri yang terbentuk dari sel-sel
leukosit, fibrin, jaringan nekrosis dan kuman difteri yang melekat kuat dengan
jaringan di bawahnya dan akan mengeluarkan darah jika berusaha dilepaskan.
Pada penelitian ini, 84,4% pseudomembran terdapat pada kedua sisi tonsil, 12,8%
pada satu tonsil tetapi lebih dari setengah luas tonsil atau meluas keluar tonsil.
Terdapat 6 kasus dengan pseudomembran di faring, 3 kasus di laring yang
sebagian besar merupakan perluasan dari difteri tonsil. Adanya satu kasus difteri
di konjungtiva merupakan hal yang sangat jarang terjadi pasca era imunisasi DPT,
yang mengindikasikan tingginya kasus dif teri dan kuman C. diphtheria yang
beredar di masyarakat. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun
2011 juga melaporkan mulai munculnya kasus difteri di luar saluran nafas seperti
difteri kulit, konjungtiva dan urogenital (vagina) yang setelah era imunisasi sudah
menghilang (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2011).
Diagnosis difteri terutama berdasarkan gejala klinis dan konfirmasi
laboratorium berupa hasil kultur C. diphtheria hanya ditemukan pada 23,3%.
Studi di India mengemukakan bahwa diagnosis difteri secara klinis perlu
mendapat perhatian atau sangat penting karena rendahnya temuan positif kuman
C. diphtheria. Jika terjadi keterlambatan diagnosis selama 48–72 jam akan
menimbulkan komplikasi yang serius bagi pasien (Ray, 1998).
Difteri merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Di
Indonesia, program imunisasi yang telah digalakkan mulai tahun 1970-an, telah
berhasil menurunkan angka kejadian difteri. Imunisasi kombinasi DTP
(diphtheria toxoid, tetanus toxoid, dan pertussis) dimulai saat seseorang berusia 6
minggu kemudian diulang 2× interval tiap 4 minggu kemudian di-booster setahun
setelah imunisasi terakhir dan saat usia 5 tahun.
BAB IV

KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan


segera, oleh karena itu bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam
mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai
tempat di dunia tetapi masih terdapat beberapa kasus yang terkena pada anak yang
kadang dengan tanda dan gejala yang tidak khas.
Penyebab dari penyakit difteri adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China. Masa inkubasi kuman 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,90C.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri
tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit
ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian
dalam (kultur).
Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriaedengan antibiotik. Antibiotik penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.Pencegahan secara umum dilakukan dengan
menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak
dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuskular untuk anak
kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuskular untuk anak lebih
dari 7 tahun.
Untuk saran bagi anak-anak dengan penyakit difteri pada umumnya
datang dengan keluhan panas dannyeri telan. Separuh penderita datang dengan
kondisi difteri berat, dan sebagian besar penderita sudah pernah mendapat
imunisasi DPT, tetapi tidak adekuat. Kematian umumnya terjadi pada difteri berat
dan yang tidak pernah
diimunisasi DPT.
Daerah di mana kasus difteri banyak terjadi, penting untuk melaksanakan
pemeriksaan fi sik yang menyeluruh, termasuk melihat faring penderita, karena
gejala difteri yang tidak khas. Penemuan kasus yang dini akan memperbaiki
prognosis penderita, karena semakin cepat diagnosis ditegakkan dan diberikan
terapi yang adekuat, semakin sedikit jumlah toksin yang sudah masuk ke jaringan,
sehingga kemungkinan komplikasi juga semakin rendah. Peningkatan cakupan
imunisasi dasar DPT dan pemberian booster atau ulangan DPT pada umur 18
bulan diharapkan dapat menekan morbiditas dan mortalitas infeksi Difteri.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. T.H.Rampengan, SpA (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Sp A. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18.
Buescher, E.S., 2007. Diphtheria. Dalam:Kliegman R.M., dkk. (ed). Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: W.B Saunders
company, hlm. 1153–7.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2012. Data Difteri 2011 Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur (data tidak dipublikasikan).
Jukka, L., 2003. Studies on the Epidemiology and Clinical Characteristics of
Diphtheria during the Russian Epidemic of the 1990s. Disertasi Tampere
University. Tampere University Press, (online),
(http://acta.uta.fi/english/teos. php?id=8914, diakses tanggal 1 Mei
2012,mjam 12.00 WIB)
Magdei, M., Melnic, A., Benes, O., dkk., 2000. Epidemiology and control of
diphtheria in the Republic of Moldova, 1946–1996.J Infect Dis.;
181(Suppl 1): S47–54.
Naiditch, M.J., Bower, A.G., 1954. Diphtheria. A study of 1.433 cases observed
during a ten-year period at the Los Angeles County Hospital. Am J Med,
7, 229–45.
Pancharoen, C., Mekmullica, J., Thisyakorn U., 2002. Clinical features of
diphtheria in Thai children: a historic perspective. Southeast Asian J Trop
Med Public Health, 22, 352–4.
Pantukosit, P., Arpornsuwan, M., Sookananta, K., 2008. A diphtheria outbreak in
Buri Ram, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health, 39,
690–6.
Quick, M.L., Sutter, R.W., Kobaidze, K., dkk., 2000. Epidemic diphtheria in the
Republic of Georgia, 1993–1996: risk factors for fatal outcome among
hospitalized patients. J infect Dis, 181(Suppl 1), 130–7.
Ray, S.K., Das, Gupta, S., Saha, I. 1998. A report of diphtheria surveillance from
arural medical college hospital. J Indian Med Assoc, 96, 236–8.
Sharma, N.C., Banavaliker, J.N., Ranjan. R, dkk., 2007. Bacteriological &
epidemiological characteristics of diphtheria cases in and around Delhi–
A retrospective study. Indian J Med Res, 126, 545–52.
Top, F.H., Wehrle, P.F., 1976. Diphtheria. In:Communicable and Infectious
disease, 8th ed. St. Louis: Mosby Co, hlm. 223–38.

Anda mungkin juga menyukai