Anda di halaman 1dari 2

Keutamaan Budi

Dari mana kebangkitan nasional harus dimulai? Dari kesadaran pentingnya keutamaan budi; budi
utama. Belajar pada sejarah, awal abad ke-20, kesadaran itu bukan hanya tercermin dari kelahiran
Budi Utomo, tetapi juga organisasi sejaman seperti Jamiat Khair (perkumpulan kebajikan budi), dan
juga Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia: sakti, budi, bakti). Singkat kata, budi pekerti (karakter)
adalah tumpuan utama kebangkitan dan kemajuan.

Presiden Indonesia pertama, Soekarno, mengisahkan pengalaman yang menggugah ketika beliau
diwisuda di Technische Hoogeschool (Sekarang Institut Teknologi Bandung). Ketika Rektor
menyerahkankan ijazah insinyur kepada Bung Karno, secara mengejutkan ia berkata, “Ir. Soekarno,
ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, bahwa satu-
satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.” Atas ucapan tersebut Bung Karno
mengatakan, “Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup, sekalipun dia mati. Aku tak pernah
melupakan kata-kata ini.”

Karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang,
yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya,
sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus).

Sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksitensi seseorang/sekelompok orang, sehingga dalam
peribahasa Inggris dikatakan, “When wealth is lost, nothing is lost; when healt is lost, something is
lost; when character is lost, everything is lost.” Apapun yang dimiliki seseorang, kepintaran,
keturunan, keelokan, kekuasaan menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak
memiliki keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melaikan juga eksistensi dan
kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa. Ibarat individu, pada hakekatnya setiap bangsa
memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian “bangsa”
(nation) yang terkenal dari Otto Bauer, menyatakan bahwa, “Bangsa adalah satu persamaan, satu
persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena
persatuan pengalaman.”

Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia
pinjam sejarawan Inggris, H.G. Wells, “Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Lantas
ia jawab sendiri, bahwa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa luas
wilayahnya dan sebera banyak penduduknya, melainkan tergantung pada kekuatan tekad, sebagai
pancaran karakternya.

Bagi bangsa Indonesia, karakter kebangsaan itu berjejak pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi
dasar, isi hidup dan arah hidup bagi perkembangan bangsa.

Tantangannya adalah bagaimana mencetak nilai-nilai ideal Pancasila itu menjadi karakter
kebangsaan, melalui pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen
untuk mengamalkanya dalam segala lapis dan bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Untuk itu, diperlukan pendekatan sosialiasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistik, meliputi
dimensi kognitif, afektif dan konatif, yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Dalam Amanat Proklamasi, 17 agustus 1956, Bung Karno mengingatkan pentingnya bangsa memiliki
kekuatan karakter yang dibangun atas dasar kedalaman penghayatan atas pandangan hidup bangsa.
”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud
dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang
hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang tidak mempunyai
levensdiepte samasekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia
mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan
kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat,--tetapi kuatnya adalah kuatnya
kulit, padahal ia kosong-mlompong di bagian dalamnya.”

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Anda mungkin juga menyukai