Lapsus Pertusis
Lapsus Pertusis
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An. AN
Usia : 8 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal masuk RS: 7 Mei 2017
Tanggal keluar RS: 12 Mei 2017
Kondisi saat keluar : Membaik
II. Anamnesis
Keluhan Utama: Batuk Lama
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien merupakan pasien rujukan dari klinik dokter
Sp.A, mengeluh batuk lama yang sudah dirasakan sejak satu bulan terakhir dan
memberat dalam seminggu terakhir. Batuk dikatakan sering pada pagi hari dan
berdahak warna kuning kental. Dikatakan oleh orang tua jika anak batuk, batuknya
memanjang sampai > 10 kali batuk dalam satu periode. Tidak ada demam maupun
sesak dalam sebulan terakhir. Dalam seminggu terakhir kedua mata pasien tampak
merah khususnya mata kiri. Anak mengatakan tidak ada kesulitan dalam melihat
maupun adanya pandangan yang kabur dan berbayang. Tidak ada saudara maupun
keluarga yang mengalami keluhan serupa, namun anak mengatakan ada teman
sekelas yang duduk sebangku mengalami keluhan yang serupa sejak 2 bulan yang
lalu. Dikatakan oleh orang tua bahwa riwayat imunisasi anak lengkap sampai usia 9
bulan.
Riwayat penyakit dahulu: Serupa (-), Alergi (-), TB(-)
Riwayat Penyakit keluarga: Serupa(-), Hipertensi (-), Diabetes (-),TB(-)
Resume anamnesis:
Anak, 8 tahun, dengan keluhan batuk memanjang selama satu bulan terakhir, batuk
memanjang sampai 10x batuk dalam satu periode, tanpa ada keluhan demam maupun
sesak sebelumnya, mata kanan dan kiri tampak merah tanpa ada gangguan
penglihatan, ada riwayat kontak dengan teman sekelas yang mengalami keluhan
serupa, riwayat imunisasi lengkap.
Widal :
Paratyphii A-O : 1/160
Paratyphii B-O : 1/80
Typhii H : 1/160
Typhii O : 1/80
Leukosit 14,100/uL
Trombosit 518,000
Foto polos thorax: bronchitis kronis
V. Diagnosis Kerja
Pertusis
Hifema ODS
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
IX. Follow Up
7 Mei 2017
S: Batuk berdahak, mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 98 x/menit S: 36,7 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Hifema ODS
Perdarahan sklera
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg
Po. Codipent syrup 3x5ml
Konsul Sp.M
8 Mei 2017
S: Batuk berdahak, mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 22 x/menit
N: 104 x/menit S: 36,4 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
Lab: Leukosit 14.100, Trombosit: 518.000
A: Pertusis
Hifema ODS
Perdarahan sclera
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg
Po. Codipent syrup 3x5ml
Konsul Sp.M
9 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 100 x/menit S: 37,0 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
Rontgen thorax: Bronkitis Kronis
Konsul Sp.M: Assesment Subconjungtival bleeding OS
Terapi Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
10 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 22 x/menit
N: 103 x/menit S: 36,4 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (</+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)
11 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 105 x/menit S: 36,6 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (</+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)
12 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 97 x/menit S: 36,6 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (</+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)
BLPL kondisi membaik
Obat pulang : Codipent syrup 3x5ml
Erisanbe 3x7,5 cc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan
(whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop
artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,
merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang
rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang
menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan
morbiditas penyakit ini mulai menurun4.
B. Angka Kejadian
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60
juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-
vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular
pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen
adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6. Dalam
satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan
sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai
semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda
ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi
antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan
proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara
bersama sampai 27%7.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di
negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan
pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis
menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah
sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua
dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1
C. Etiologi
D. Pathogenesis
Pada Pertusis, masa inkubasi 7-14 hari, penyakit berlangsung 6-8 minggu atau
lebih dan berlangsung dalam 3 stadium yaitu:1,2,4
1) Stadium kataralis / stadium prodomal / stadium pro paroksimal Lamanya 1-2 minggu
a. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan bagian
atas, yaitu timbulnya rinore dengan lender yang jernih
b. Kemerahan konjungtiva, lakrimasi
c. Batuk dan panas ringan
d. Anoreksia kongesti nasalis
e. Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold
f. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin hebat.
3) Stadium konvalesen
a. Terjadi pada minggu ke 4 – 6 setelah gejala awal
b. Gejala yang muncul antara lain: batuk berkurang
c. Nafsu makan timbul kembali, muntah berkurang
d. Anak merasa lebih baik
e. Pada beberapa penderita batuk terjadi selama berbulan-bulan akibat gangguan
pada saluran pernafasan.
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis
lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan
limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena
respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.
4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.
G. Penatalaksanaan
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel
perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah,
dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang
tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik,
perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara
spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan
diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk
tetapi bukan tidak berespons1,11.
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama
14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat
tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat
yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis
60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicinestolat diberikan dengan
dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme
pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-
Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada
penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-
gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat
yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan
pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang
tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan
klinisnya tidak dibenarkan.
H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi
B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar13,14.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk
selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi
berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis.
Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati
dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3
hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C
dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga
diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.
J. Komplikasi
K. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi
pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.
BAB III
PEMBAHASAN
Atelektasis 0,3%
Bronkopneumonia 0,88%
Apnea 1,1%
Kejang 0,6%
Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin
difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU (International Unit) dan
diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di
dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4
minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil
imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens,
walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan, tetapi dapat
menjadi sumber penularan infeksi pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0,25 ml/ im) telah dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa
yang terpapar.
1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181:
960-965.
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.
8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases,
6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia.
p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-
epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.
9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.
11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI :Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.
12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm
13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.
14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm