Anda di halaman 1dari 28

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. AN
Usia : 8 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal masuk RS: 7 Mei 2017
Tanggal keluar RS: 12 Mei 2017
Kondisi saat keluar : Membaik

II. Anamnesis
Keluhan Utama: Batuk Lama
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien merupakan pasien rujukan dari klinik dokter
Sp.A, mengeluh batuk lama yang sudah dirasakan sejak satu bulan terakhir dan
memberat dalam seminggu terakhir. Batuk dikatakan sering pada pagi hari dan
berdahak warna kuning kental. Dikatakan oleh orang tua jika anak batuk, batuknya
memanjang sampai > 10 kali batuk dalam satu periode. Tidak ada demam maupun
sesak dalam sebulan terakhir. Dalam seminggu terakhir kedua mata pasien tampak
merah khususnya mata kiri. Anak mengatakan tidak ada kesulitan dalam melihat
maupun adanya pandangan yang kabur dan berbayang. Tidak ada saudara maupun
keluarga yang mengalami keluhan serupa, namun anak mengatakan ada teman
sekelas yang duduk sebangku mengalami keluhan yang serupa sejak 2 bulan yang
lalu. Dikatakan oleh orang tua bahwa riwayat imunisasi anak lengkap sampai usia 9
bulan.
Riwayat penyakit dahulu: Serupa (-), Alergi (-), TB(-)
Riwayat Penyakit keluarga: Serupa(-), Hipertensi (-), Diabetes (-),TB(-)

Resume anamnesis:
Anak, 8 tahun, dengan keluhan batuk memanjang selama satu bulan terakhir, batuk
memanjang sampai 10x batuk dalam satu periode, tanpa ada keluhan demam maupun
sesak sebelumnya, mata kanan dan kiri tampak merah tanpa ada gangguan
penglihatan, ada riwayat kontak dengan teman sekelas yang mengalami keluhan
serupa, riwayat imunisasi lengkap.

III. Pemeriksaan Fisik


KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 26 x/menit, regular SpO2: 98%
N: 100 x/menit, regular, kuat S: 36,5 C BB: 37 kg
Kepala: Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax (Paru):
Inspeksi : Simetris, retraksi -
Palpasi : Fermitus taktil normal, nyeri tekan -
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-
Thorax (Jantung):
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV linea midclavicula
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1, S2 tunggal, reguler, bising -
Abdomen:
Inspeksi : Tampak datar, distensi -
Auskultasi : BU + normal
Perkusi : Timpani di seluruh regio
Palpasi : Defens muscular -, supel, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –

Resume pemeriksaan fisik:


 RR: 26x/m
 Conjungtival Bleeding (+/+)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Darah
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Leukosit 14,100/ uL 4.000-10.000/ uL
Eritrosit 4,71 juta/ uL 3,5-5,0 juta/ uL
Hemoglobin 12,9 g/ dL 11-15 g/ dL
Hematokrit 40,2 % 35-50 %
Trombosit 518,000 / uL 150.000-450.000/ uL
Neutrofil 52 % 50-70 %
Limfosit 35,7 % 20-40 %
Monosit 7,3 % 3-8 %
Gula darah sewaktu 130 mg/dl 70-140 mg/dl
SGOT 52 mg/dl 10-50 mg/dl
SGPT 51 mg/dl 0,6-1,4 mg/dl

Widal :
Paratyphii A-O : 1/160
Paratyphii B-O : 1/80
Typhii H : 1/160
Typhii O : 1/80

Foto polos Thorax


Kesan:
 Bronkitis Kronis

Resume pemeriksaan laboratrium:

 Leukosit 14,100/uL
 Trombosit 518,000
 Foto polos thorax: bronchitis kronis

V. Diagnosis Kerja
Pertusis
Hifema ODS

VI. Diagnosa Banding


Bronkitis, TB Paru, Pneumonia

VII. Tatalaksana (IGD)


 IVFD D5 ½ NS 20 tpm
 Inj. Cefotaxim 3x500 mg
 Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
 Inj. Indexon 3x1/2 ampul
 Inj. Antrain 3x400 mg (jika demam)
 Konsul dokter spesialis mata
 Cek lab DL, LED, SGOT, SGPT
 Cek Thorax AP/Lateral

VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
IX. Follow Up
7 Mei 2017
S: Batuk berdahak, mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 98 x/menit S: 36,7 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Hifema ODS
Perdarahan sklera
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg
Po. Codipent syrup 3x5ml
Konsul Sp.M

8 Mei 2017
S: Batuk berdahak, mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 22 x/menit
N: 104 x/menit S: 36,4 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
Lab: Leukosit 14.100, Trombosit: 518.000
A: Pertusis
Hifema ODS
Perdarahan sclera
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg
Po. Codipent syrup 3x5ml
Konsul Sp.M

9 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 100 x/menit S: 37,0 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (+/+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki +/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
Rontgen thorax: Bronkitis Kronis
Konsul Sp.M: Assesment  Subconjungtival bleeding OS
Terapi Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml

10 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 22 x/menit
N: 103 x/menit S: 36,4 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (</+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)

11 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 105 x/menit S: 36,6 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (</+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
Leukositosis
Trombositosis
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)

12 Mei 2017
S: Batuk berdahak (<), mata kiri tampak merah
O: KU: Compos Mentis, tampak sakit sedang
TD: - R: 24 x/menit
N: 97 x/menit S: 36,6 C
Kepala:Conjungtiva Anemis -, Sklera Ikterik -, Conjungtiva Bleeding (</+)
Leher: Lnn tidak teraba
Thorax: Simetris, Retraksi -, suara nafas vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 S2 tunggal, murmur –
Abdomen: Tampak datar, distensi -, BU + normal, timpani, supel, nyeri tekan -
Ekstermitas: Akral hangat +, CRT <2 detik, Edema –
A: Pertusis
Bronkitis Kronis
Subconjungtival bleeding
P: IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x500 mg
Inj. Gentamicin 2x1/2 ampul
Inj. Indexon 3x1/2 ampul
Inj. Antrain 3x400mg (k/p)
Po. Codipent syrup 3x5ml
Optimax syrup 1x1 cth
Vasacuv A 4x1 tetes (OS)
BLPL kondisi membaik
Obat pulang : Codipent syrup 3x5ml
Erisanbe 3x7,5 cc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan
(whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop
artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif,
merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang
rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang
menurun1,2,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan
morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

B. Angka Kejadian

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60
juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-
vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular
pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen
adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun1,2,3,5,6.
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6. Dalam
satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan
sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai
semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda
ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki
dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi
antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan
proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara
bersama sampai 27%7.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di
negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan
pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis
menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah
sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.
Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk
mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat
ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah
diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan
pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua
dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,


adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu
bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk
paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3
Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak
membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa
didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian
ditanam pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B.
parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B.
pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada
manusia 8.
Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada
gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi
sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin
pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada
aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip
bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.
B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3),
dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara
dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan
mempermudah penyerapan TP1.
TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,
sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik
penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan
pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran
sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram
negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou.3 bakteri ini menghasilkan
dua toksin: toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin) dan endotoksin
(lipopolisakarida). Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:3

1. Berbentuk batang (coccobacilus).


2. Tidak dapat bergerak.
3. Bersifat gram negatif.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul.
5. Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10ºC).
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
7. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
terhdap penicillin.

D. Pathogenesis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian


melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena
pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka
akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
whooping cough1,9.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B
selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang
aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit
dan makrofag ke daerah infeksi1,9.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine
dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin,
sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir
akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada
saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan
infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.
E. Manifestasi klinis

Pada Pertusis, masa inkubasi 7-14 hari, penyakit berlangsung 6-8 minggu atau
lebih dan berlangsung dalam 3 stadium yaitu:1,2,4
1) Stadium kataralis / stadium prodomal / stadium pro paroksimal Lamanya 1-2 minggu
a. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan bagian
atas, yaitu timbulnya rinore dengan lender yang jernih
b. Kemerahan konjungtiva, lakrimasi
c. Batuk dan panas ringan
d. Anoreksia kongesti nasalis
e. Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold
f. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin hebat.

2) Stadium paroksimal / stadium spasmodic, lamanya 2-4 minggu.


a. Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop (batuk yang
bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas pada akhir
serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tak dapat
bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai menarik nafas denagn cepat
dan dalam. Sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan
muntah.
b. Batuk ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya
infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat.
c. Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah terjulur,
lakrimasi, salvias dan pelebaran vena leher.
d. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional missal menangis dan aktifitas
fisik (makan, minum, bersin dll).

3) Stadium konvalesen
a. Terjadi pada minggu ke 4 – 6 setelah gejala awal
b. Gejala yang muncul antara lain: batuk berkurang
c. Nafsu makan timbul kembali, muntah berkurang
d. Anak merasa lebih baik
e. Pada beberapa penderita batuk terjadi selama berbulan-bulan akibat gangguan
pada saluran pernafasan.

F. Diagnosis

1. Anamnesis
Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis
lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan
limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena
respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis


pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94%
pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan
adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk
menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan
PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12.

4. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis atau emfisema.

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia


bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya
mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B.
parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis
B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.

G. Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan


batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan
penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai
kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak
penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat
alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan
bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,11.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel
perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah,
dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang
tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik,
perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara
spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan
diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk
tetapi bukan tidak berespons1,11.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-


faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada
bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau
medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :

1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama
14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat
tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat
yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis
60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicinestolat diberikan dengan
dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme
pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-
Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada
penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-
gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat
yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan
pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.

3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang
tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan
klinisnya tidak dibenarkan.

H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang
dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,
difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat,
imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin diimunisasi1,11,13,14.
Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens
infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi
B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah
dipakai untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar13,14.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian
asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk
selama 48-72 jam1,11,14.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas,
kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang.
Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi
berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis.
Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati
dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3
hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C
dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis1,11,13,14.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral
selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga
diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi
penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi
gejala-gejala penyakit1,11,12.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak
diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai
batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,11,12.

I. Diagnosis Banding Batuk Kronik pada Anak


Kelompok I Kelompok II
Anak relatif tampak sehat Penyakit dasar nyata
• Bronkitis akut viral berulang Penyakit paru supuratif kronik
• Batuk pasca infeksi • Aspirasi paru berulang
• Pertussis and tussis like cough • Benda asing
• Asma • Bronkiektasis
• Postnasal drip • Defisiensi imun
• Refluks gastro-esofagus • Diskinesia silia primer
Lesi respiratorik
 Trakeobronkomalasia
 Tuberkulosis (kompresi oleh kelenjar
getahbening)
 Tumor, kolaps lobus, kista,
sekuestrasi

J. Komplikasi

1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.


2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-anak B.
pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.
3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.
4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental.
Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi1,11.
9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan
oleh temperatur tinggi1,10.
10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.

K. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase
rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi
pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,12.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis yaitu Pertusis berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan
keluhan Pasien datang ke IGD RSUD Ratu Zalecha dengan keluhan dari ibu pasien,
batuk memanjang sejak satu bulan SMRS. Batuk dirasa berdahak tapi dahak tidak dapat
keluar. Batuk timbul khususnya pagihari tidak disertai sesak dan demam. Sejak satu
minggu terakhir batuk bertambah parah, saat batuk wajah pasien memerah dan batuk
menjadi lebih sering terutama pagi sehingga pasien sulit tidur. batuk tidak dipicu oleh
cuaca ataupun debu.Dimana pada pertusis sendiri gejala klinis yang dialami oleh pasien
termasuk ke dalam stadium paroksismal. Adapun stadium-stadium dalam pertusis adalah
sebagai berikut :
 Stadium Kataral (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya
rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis
pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan common cold.
Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak
sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi.Selama masa ini penyakit
sering tidak dapat dibedakan dengan common cold.
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi
lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi
terlihat sakit berat dan iritabel.
 Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang
berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir
serangan batuk. Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5
sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi whoop akibat udara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat
dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis,
mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai
terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat
terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak
menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat
badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih,
gembira) dan aktivitas fisik. Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata
yang jelas, di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah, perdarahan
subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti
biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen,
kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan berangsur –angsur
menurun sampai whoop dan muntah menghilang.
 Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan
puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih
menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada
beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi
berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran
napas bagian atas yang berulang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan perdarahan subconjunctival pada mata dextra
sinistra yang lebih dominan di bagian sinistra. Hal tersebut menunjukkan gejala klinis
pertusis pada stadium paroksismal. Kemudian pada pemeriksaan auskultasi thoraks
didapatkan ronchi di kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit (14.100 uL),
peningkatan tersebut tidak spesifik pada pertusis dimana terjadi peningkatan kadar
leukosit 20.000 sampai dengan 50.000 uL dengan limfositosis absolut yang khas pada
akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Untuk pemeriksaan penunjang
anjuran untuk mendiagnosis pertusis ialah dengan isolasi B.pertussis dari secret
nasofaring, dimana biakan akan menunjukkan hasil positif pada stadium kataral 95-
100%, stadum paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya. Namun hal yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi
alami dan sudah di imunisasi yakni dengan pemeriksaan IgG toksin pertusis.
Sedangkan pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan gambaran bronchitis
dimana hal tersebut merupakan penyulit dari pertusis.
Berat badan 16,8%
menurun

Bronkitis akut 9,8%

Atelektasis 0,3%

Bronkopneumonia 0,88%

Apnea 1,1%

Kejang 0,6%

Otitis media 7,5%

Penatalaksanaan pada kasus pertusis ini diberikan antibiotik untuk membatasi


penyebaran infeksi dan mengeliminasi organism dari nasofaring. Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 gr/24 jam) selama 14
hari merupakan pengobatan baku atau diberikan ampisilin 100 mg/kgBB/hari. Pemberian
Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup
efektif dalam beberapa penelitian.
Kemudian pada pasien diberikan kortikosteroid dexamethasone secara intravena
dengan tujuan untukmengurangi batuk paroksismal walaupun belum terbukti dalam
penelitian kontrol.
Pemberian edukasi mengenai pencegahan pertusis juga penting kepada keluarga.
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Pencegahan dapat
dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.
Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin. Namun
berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini
human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.

Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk
mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin
difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU (International Unit) dan
diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di
dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4
minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil
imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens,
walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan, tetapi dapat
menjadi sumber penularan infeksi pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0,25 ml/ im) telah dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa
yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti


eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,
anafilaksis. Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan asetaminofen
(15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72
jam.(2,4,6,12) Anak dengan kelainan neurologik dengan riwayat kejang 7,2x lebih mudah
terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat
kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian hanya diberikan
imunisasi DT (Difteri Tetanus).

Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati


dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari
sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau
hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak
dapat diterangkan penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181:
960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi
Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children.


WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective


therapy8 (2): 163–73.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember


2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of


the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics
:115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-
1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases,
6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia.
p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-
epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari
http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau :Pediatric Respiratory Medicine. Missouri,


USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI :Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h:
564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari
https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions
Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

Anda mungkin juga menyukai