Anda di halaman 1dari 22

‫هللا أكبر هللا اكبر هللا اكبر ال اله اال هللا هللا اكبر هللا اكبر وهلل الحمد‬

‫هللا أكبر كبيرا والحمد هلل كثيرا وسبحان هللا بكرة وأصيال الاله اال هللا وحده صدق وعده ونصر عبده وأعز جنده وهزم األحزاب‬
‫ الاله اال هللا والنعبد اال اياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون الاله اال هللا و هللا اكبر هللا اكبر وهلل الحمد‬.‫وحده‬.

‫الحمد هلل الذى شرع للمسلمين الصيام فى شهر رمضان سببا على تكفير الذنوب و مضاعفة األجور من صام نهاره وقام لياله‬
‫ أشهد أن الاله اال هللا وحده ال شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسل إلى جميع‬.‫ايمانا واحتسابا غفر له ما تقم من ذنبه‬
‫ وصلى هللا على محمد خير األنام وسيدنا المرسلين وعلى آله وصحبه والتابعين وتابعهم إلى‬.‫عباد هللا من اإلنس والجان‬
‫ اما بعد‬.‫آخرالزمان‬

Al-Hamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadhirat Allah SWT atas perkenan-Nyalah kita
bisa berkumpul di tempat ini untuk menunaikan shalat Idul Fitri sembari kita mengumandangkan
Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai pengakuan kita akan kebesaran-Nya. Idul Fitri adalah hari
raya Islam yang disebut hari raya berbuka, setelah sebulan penuh kita berpuasa, menahan lapar
dan dahaga, kini tibalah saatnya hari berbuka.

Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, Nabi yang
telah mengajarkan kepada kita pentingnya menunjukkan kepedulian kepada sesama.
Keselamatan dan kesejahteraan semoga tercurah kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya.

Sebagai muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan kita kecuali untuk
menyembah kepada-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.“ (QS. Az-Dzariyat: 56). Olehnya itu, jika ada manusia yang
menyombongkan diri tidak mau taat dan tunduk kepada Allah SWT, maka ia telah mengingkari
tujuan ia diciptakan. Akibat dari keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan
dihinakan.

Ketika masih berada di alam rahim, Allah SWT telah mengambil perjanjian kesiapan dari
manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum mereka lahir ke muka bumi ini. Allah
SWT menanyai ruh manusia tentang kesiapan mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya
dengan semua konsekuensinya, lalu ruh tersebut menjawab dengan tegas bahwa mereka bersaksi
tiada Tuhan selain Allah yang berhak mereka imani dan mereka sembah. Allah bertanya kepada
ruh tersebut:

َ‫ش ِهدْنَا أ َ ْن تَقُولُوا َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة ِإنَّا ُكنَّا َع ْن َهذَا غَافِلِين‬


َ ‫أَلَ ْستُ ِب َر ِِّب ُك ْم قَالُوا َبلَى‬

“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap (ketauhidan) ini” (QS. Al-
A’raf: 172)

Dalam menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan pada alam rahim tersebut, Allah SWT
memerintahkan manusia setelah ia lahir, agar menghadapkan wajahnya kepada agama yang lurus
sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana firman-Nya:
ِ َّ‫َّللاِ ذَلِكَ ال ِدِّينُ ْالقَ ِِّي ُم َولَ ِك َّن أ َ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس َال يَ ْعلَ ُمون‬ َّ ‫ق‬ ِ ‫اس َعلَ ْي َها َال ت َ ْبدِي َل ِلخ َْل‬ َ َ‫َّللاِ الَّتِي ف‬
َ َّ‫ط َر الن‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ف‬
َّ َ‫ط َرت‬ ِ ‫فَأَقِ ْم َوجْ َهكَ ِلل ِد‬

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

Fitrah adalah kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Namun
keadaan manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya sehingga menodai kesucian fitrah
tersebut. Maka berubahlah ia dari ketauhidan menjadi kemusyrikan, dari keimanan menjadi
kekafiran. Rasulullah SAW bersabda:

‫ أَ ْو يُ َم ِ ِّج َسانِ ِه‬،‫َص َرانِ ِه‬ ْ ‫ُك ُّل َم ْولُو ٍد يُولَد ُ َعلَى ال ِف‬
ِّ ِ ‫ أَ ْو يُن‬،‫ فَأ َ َب َواهُ يُ َه ِّ ِودَانِ ِه‬،‫ط َر ِة‬

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Fitrah adalah suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam pemeliharaan tauhid, ketundukan dan
penghambaan, serta pemeliharaan kesucian diri sebagai hamba Tuhan yang Maha Pengasih. Jika
di penghujung Ramadhan ini kaum muslimin merayakan hari Raya Idul Fitri, tentu maknanya
adalah kesiapan untuk menjadikan momentum Ramadhan ini sebagai proses pembersihan diri
dan kesadaran akan urgensi kembali kepada fitrah. Dan hakikat kembali fitrah itu diwujudkan
dalam bentuk mengokohkan ketauhidan, menguatkan komitmen ubudiyah, dan
memelihara karakteristik terpuji.

Wujud kembali kepada fitrah yang pertama adalah: Mengokohkan Ketauhidan

Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tilawatil Qur’an,
membayar zakat fitrah dan zakat harta, I’tikaf, membaca dzikir dan ma’tsurat, hingga hari ini
kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya itu kita yakini sebagai bentuk
aktualisasi keimanan kita kepada Allah SWT.

Sebagai hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita lakukan. Terkadang
kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun bekerja keras dan banting
tulang hanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang kita cintai. Suami menghabiskan
hampir semua waktu siangnya untuk menyenangkan istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan
shalat Zhuhur dan Asharnya, dan istri menghabiskan hampir semua waktu malamnya untuk
menyenangkan suaminya hingga berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan isyanya. Keadaan
itu tentu menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga boleh jadi sampai pada titik
keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus berlanjut, kita pasti akan semakin jauh dari
fitrah kita.

Ramadhan adalah momentum yang sangat efektif untuk mengokohkan keimanan kita dan
mengembalikan kita kepada fitrah. Ramadhan merupakan bulan yang disiapkan Allah SWT
untuk mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk kembali kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa
yang berlumur dosa untuk datang memohon ampunan kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang
lalai dari ibadahnya untuk bersimpuh bersujud dan mengikhlaskan pengabdiannya. Semoga
Ramadhan ini mampu kita buktikan sebagai bulan mengokohkan iman dan ihtisab (mengharap
pahala) kita kepada-Nya, sehingga kita semua mendapatkan ampunan Allah SWT. Rasulullah
SAW bersabda:

‫غ ِف َر لَهُ َما تَقَد ََّم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬


ُ ،‫سابًا‬
َ ِ‫ ِإي َمانًا َواحْ ت‬، َ‫ضان‬
َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬

“Barang siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya dari Allah), akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)

Melalui momentum Idul fitri ini, marilah kita mengokohkan keimanan dan tauhid kita, yang
dengannya kita akan senantiasa terjaga pada fitrah kehambaan kita yang lurus, kita akan
dijauhkan dari sikap menghinakan diri kepada makhluk. Dengan kekuatan tauhid, orang yang
kaya akan menjaga fitrah dirinya sehingga tidak sombong dan angkuh, dengannya pula orang
miskin akan tegar mengarungi ujian hidupnya dan tidak berputus asa.

Wujud kembali kepada fitrah yang kedua adalah: Menguatkan Komitmen Ubudiyah

Fitrah kehambaan menuntut setiap muslim untuk membuktikan komitmen ibadahnya. Dia
dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh menunaikan semua ibadah-ibadah fardhu, tapi juga
ibadah-ibadah sunnah. Dengan pembuktian komitmen tersebut, setiap muslim akan mampu
mengantarkan dirinya kepada ketakwaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa dibalik perintah ibadah
puasa tersebut Allah SWT menghendaki agar setiap hamba yang melaksanakannya dapat
mengantarkan dirinya ke derajat takwa.

َ‫ب َعلَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُك ِت‬
ِّ ِ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬
َ ‫الص َيا ُم َك َما ُك ِت‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Perintah takwa adalah perintah agama yang harus dilanggengkan dalam kehidupan setiap
muslim, ia wajib memeliharanya hingga ia berhadapan dengan kematiannya. Apabila seseorang
memelihara ibadahnya secara benar dan konsisten, akan terangkat derajat ketaqwaannya, suatu
derajat istimewa yang menjadikannya lebih mulia dari hamba-hamba yang lain. Allah SWT
berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Jika seorang muslim ingin membuktikan kesungguhannya untuk kembali kepada fitrahnya, salah
satu bentuknya adalah dengan membuktikan komitmen ibadahnya. Ia memelihara shalat yang
difardhukan kepadanya dan melengkapinya dengan shalat-shalat sunnah. Ia berpuasa wajib dan
melengkapinya dengan puasa-puasa sunnah. Mengeluarkan zakat dan menyempurnakannya
dengan infak dan sedekah. Ia melaksanakan haji ke Baitullah dan menyempurnakannya dengan
umrah.
Ibadah itu mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain yang menyertainya, di mana tujuan-
tujuan yang menyertai ibadah tersebut merupakan keshalihan jiwa dan meraih keutamaan dalam
setiap ibadah. Imam As-Syathibi mengatakan bahwa asal mula disyariatkannya ibadah shalat
adalah ketundukan kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan penghadapan diri kepada-Nya,
bersimpuh di atas kaki kehinaan di hadapan-Nya dan mengingatkan jiwa agar senantiasa ingat
kepada-Nya. Allah SWT berfirman “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha:
14) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar keutamaannya.” (QS.
Al-Ankabut: 45).

Dengan menjaga konsistensi ibadah dan menegakkannya secara sempurna, seorang muslim akan
terpelihara fitrah kesuciannya.

Wujud kembali kepada fitrah yang ketiga adalah: Memelihara Karakteristik Terpuji

Cara lain memaknai pemeliharaan fitrah kita adalah dengan menjaga karakteristik kehambaan
kita. Karakteristik yang dimaksud adalah karakter amanah, jujur, sabar dan syukur. Apabila
seseorang memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia akan merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ia
tidak perlu merasa khawatir sebagaimana khawatirnya orang yang suka berkhianat, karena takut
terbongkar pengkhianatan-nya, atau seperti pendusta yang takut terbongkar kebohongannya. Ia
juga akan terhindar dari bahaya pertengkaran dan perselisihan yang besar, karena sifat sabar
yang dimilikinya. Bahkan ia akan dicintai orang sekitarnya, karena tidak menunjukkan sifat
tamak dan rakus, disebabkan kuatnya sifat syukur dalam dirinya.

Orang yang amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan disenangi dan dirindukan
semua orang. Ia adalah bukti nyata orang yang bersungguh-sungguh memelihara fitrah
kehambaanya. Semua karakter terpuji itu tentu tidak lahir begitu saja, tapi melalui proses
penempaan dan pelatihan. Dan salah satu sarana pelatihan itu adalah puasa. Dengan berpuasa,
seseorang akan terdidik untuk bersifat amanah, karena dalam berpuasa ia sudah melatih dirinya
agar amanah memelihara puasanya dari segala hal yang membatalkannya, meski pun orang lain
tidak melihatnya. Ia memelihara amalan puasanya semata-semata karena Allah SWT. Ia
mungkin bisa berbohong kalau ia makan dan minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa
membohongi dirinya sendiri yang sedang terkondisi untuk mendekat kepada Allah SWT.

Puasa juga membentuk karakter sabar. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa adalah setengah dari
kesabaran”. Dengan menguatnya sifat sabar pada diri seorang muslim, ia akan bisa menjaga diri
untuk tidak terlibat dalam konflik, pertentangan, apalagi permusuhan sekecil apa pun lingkup
dan kadarnya. Dan kalau pun harus terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat, maka ia akan bisa
menyikapinya dengan sikap-sikap yang bijaksana. Ia tidak mau perbedaan pendapat itu
mengundang malapetaka yang besar, yaitu munculnya rasa gentar dan hilang kekuatannya dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Ia merenungkan firman Allah SWT tentang hal tersebut:

َ‫صا ِب ِرين‬ َّ ‫ص ِب ُروا ِإ َّن‬


َّ ‫َّللاَ َم َع ال‬ َ ‫شلُوا َوتَذْه‬
ْ ‫َب ِري ُح ُك ْم َوا‬ َ ‫سولَهُ َو َال تَنَازَ عُوا فَت َ ْف‬ َّ ‫َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)

Marilah kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta dan itsar
(mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan seperti menetapkan masuknya 1
Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan dan saling membenci. Sikap itu hanya akan
memuaskan setan dan hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan
dihinggapi rasa lemah dan gentar sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati
kita pun akan kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter pemarah, egois,
dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali kepada fitrah, padahal kita berkumpul
menaikkan shalat Idul fitri hari adalah agar kita kembali kepada fitrah kita.

Untuk mengakhiri khutbah ini, marilah kita tundukkan kepala kita, melupakan kebesaran diri kita
di hadapan manusia, mengakui betapa kecil dan lemahnya kita di hadapan Allah Penggenggam
langit dan bumi.

َ ‫ع ْال ُم ْلكَ ِم َّم ْن تَشَا ُء َوت ُ ِع ُّز َم ْن تَشَا ُء َوت ُ ِذ ُّل َم ْن تَشَا ُء بِيَدِكَ ْال َخي ُْر ِإنَّكَ َعلَى ُك ِِّل‬
‫ش ْيءٍ قَدِير‬ ُ ‫اللَّ ُه َّم َمالِكَ ْال ُم ْل ِك تُؤْ تِي ْال ُم ْلكَ َم ْن تَشَا ُء َوت َ ْن ِز‬

“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

ْ َ ‫س ِلِّ ْم َعلَى نَ ِب ِِّينَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ا َ ِل ِه َوا‬


‫ص َحا ِب ِه َو َم ْن ت َ ِب َعهُ اِلَى َي ْو ِم ال ِدِّي ِْن‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
َ ‫ص ِِّل َو‬

Ya Allah Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari hawa nafsu yang penuh ambisi, yang selalu
mau menang sendiri dan tidak mau peduli dengan penderitaan sesama. Jadikanlah kami hamba-
hamba yang tahu mensyukuri nikmat dan karunia-Mu. Tanamkanlah dalam hati kami kepekaan
rasa, yang membuat kami mampu meraba penderitaan saudara-saudara kami dan mau
membantunya.

‫ان َو َال تَجْ عَ ْل فِي قُلُوبِنَا ِغ اال ِللَّذِينَ آ َمنُوا َربَّنَا إِنَّكَ َر ُءوف َر ِحيم‬ َ َ‫َربَّنَا ا ْغ ِف ْر لَنَا َو ِ ِإل ْخ َوا ِننَا الَّذِين‬
ِ ْ ِ‫سبَقُونَا ب‬
ِ ‫اإلي َم‬

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang“

ِ ‫س ِميْع قَ ِريْب ُم ِجيْبُ الدَّع َْوا‬


‫ت‬ ِ ‫اء ِم ْن ُه ْم َواأل َ ْم َوا‬
َ َ‫ت اِنَّك‬ ِ ‫ت َو ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ َو ْال ُمؤْ ِمنَا‬
ِ َ‫ت اَألَحْ ي‬ ِ ‫اَللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِل ْل ُم ْس ِل ِميْنَ َو ْال ُم ْس ِل َما‬.

Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang
masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar,
Dekat dan Mengabulkan doa.
Ya Allah yang Maha Kuat! berikanlah kami kekuatan agar kami mampu memikul beban yang
dititipkan di pundak kami, Ya Allah yang maha Maha Kaya lepaskanlah kami dari lilitan utang
dan kesulitan ekonomi kami, Ya Allah yang Maha Penyayang buanglah rasa benci dan dendam
yang bersemayam di dalam dada kami, Ya Allah yang Maha Pengasih tanamkanlah dalam dada
kami rasa kasih kepada orang tua kami, anak-anak kami, dan saudara-saudara kami. Ya Allah
yang Maha Mendengar lagi Maha Penerima Taubat dengarlah permohonan kami dan terimalah
taubat kami. Innaka Antas Samiud Du’a wa Innaka Antat Tawwabur Rahim.

Ya Allah Ya Rabb, anugerahkan rasa syukur kepada kami agar kami dapat mengerti arti jasa ibu
bapak kami, terkhusus ibu kami, yang bersedia dengan tulus menampung kami selama berbulan-
bulan di dalam rahimnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, yang rela bersakit-sakit
bersimbah darah ketika melahirkan kami, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi agar
kami dapat menghirup udara kehidupan, yang bersedia terganggu tidurnya setiap malam demi
agar kami dapat tertidur lelap, yang bersedia menahan rasa lapar dan dahaganya demi agar kami
dapat merasakan kenyang.

Ya Allah Ya Rabb, kami tahu keridhaan-Mu terdapat pada keridhaannya dan kemurkaan-Mu
terdapat pada kemurkaannya, maafkan kami jika selama ini khilaf telah melukai hatinya atau
membuatnya tidak ridha kepada sikap dan tingkah laku kami. Maafkan kami ya Allah jika kami
tidak mampu membalas kebaikannya. Kami tahu bahwa yang ia butuhkan dari kami bukanlah
materi dan harta tapi cinta dan kasih sayang kami seperti ia menyayangi kami di waktu kecil.
Maafkan kami jika ia sakit kami tak menjenguknya. Jika ia butuh, kami tak di sampingnya. Jika
ia merindukan kami, kami tak datang menyapanya. Ya Allah ya Rabb Jadikanlah kami hamba-
hamba yang siap mengistimewakannya di dalam hati kami, lalu mau membalas jasa-jasanya,
meski kami sadar tidak akan mampu membalasnya.

‫ربنااغفر لنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغيرا‬

Ya Allah Ya Rabb. Kabulkanlah permohonan orang-orang kecil bangsa kami yang merindukan
ketenangan, kestabilan dan kemakmuran. Jangan Engkau timpakan azab kepada kami hanya
karena kedurhakaan segelintir orang di antara kami. Jadikanlah kami mulia dengan
kesederhanaan kami dan janganlah Engkau hinakan kami dengan curahan rezki yang melimpah
ruah.

Bimbinglah ya Allah derap langkah kami dan pemimpin kami yang dengan tulus ikhlas hendak
mengeluarkan kami dari keterpurukan dan kesulitan hidup, dengan kemurahan dan kasih sayang-
Mu. Agar kami dapat mengantarkan bangsa kami ini menuju negeri yang lebih baik yaitu
Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur.

‫اللهم يا مجيب دعوة المضطر اذادعاك نسألك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والعزيمة على الرشد والغنيمة من كل بر و‬
‫السالمة من كل اثم والفوز بالجنة والنجاة من النار‬

Ya Allah jika begitu lama kami melalaikan perintah-Mu. Jika bertahun-tahun kami
terpedaya oleh hawa nafsu kami sehingga lalai dari jalan-Mu, jika dengan sengaja atau tidak
sengaja, dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi kami telah berbuat durhaka kepada-
‫‪Mu dan telah menganiaya diri kami sendiri. Maka maafkanlah kami dan ampunilah dosa-dosa‬‬
‫‪kami. Innaka ‘Afuwwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anna.‬‬

‫سنَا َوإِ ْن لَ ْم ت َ ْغ ِف ْر لَنَا َوت َْر َح ْمنَا لَ َن ُكون ََّن ِمنَ ْالخَا ِس ِرينَ ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم وتب علينا انك انت التواب‬
‫ظلَ ْمنَا أ َ ْنفُ َ‬
‫َربَّنَا َ‬
‫الرحيم‪ .‬آمين يا رب ا لعالمين يا حي يا قيوم يا ذالجالل واإلكرام وصل وسلم على نبينا محمد وعلى آله واصحابه اجمعين‬
ali-Imran:133-136 BERPACU MERAIH MAGHFIRAH

BERPACU MERAIH AMPUNAN

(kajian tafsir ali Imran: 133-136)

A. Teks Ayat dan Tarjamahnya

َ‫َاظ ِمين‬ِ ‫اء َو ْالك‬ ِ ‫اء َوالض ََّّر‬ ْ ‫ض أ ُ ِعد‬


ِ ‫َّت ِل ْل ُمتَّقِينَ () الَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ فِي الس ََّّر‬ ُ ‫س َم َواتُ َو ْاأل َ ْر‬ ُ ‫ارعُوا إِلَى َم ْغ ِف َرةٍ ِم ْن َربِِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َع ْر‬
َّ ‫ض َها ال‬ ِ ‫س‬َ ‫َو‬
ْ
َ‫َّللاُ ي ُِحبُّ ال ُمحْ ِسنِين‬ ْ
ِ َّ‫ظ َوالعَافِينَ َع ِن الن‬
َّ ‫اس َو‬ ْ
َ ‫َّللاَ فَا ْستَ ْغفَ ُروا ِلذُنُو ِب ِه ْم َو َم ْن )( الغَ ْي‬ َ ُ‫ظلَ ُموا أ َ ْنف‬
َّ ‫س ُه ْم ذَك َُروا‬ َ ‫شةً أ َ ْو‬َ ‫اح‬ ِ َ‫َوالَّذِينَ ِإذَا فَعَلُوا ف‬
َ‫ُص ُّروا َعلَى َما فَ َعلُوا َو ُه ْم َي ْعلَ ُمون‬ َ ُ‫ار )( َي ْغ ِف ُر الذُّن‬
َّ ‫وب ِإ َّال‬
ِ ‫َّللاُ َولَ ْم ي‬ ُ ‫أُولَئِكَ َجزَ اؤُ ُه ْم َم ْغ ِف َرة ِم ْن َر ِِّب ِه ْم َو َجنَّات تَجْ ِري ِم ْن تَحْ ِت َها ْاأل َ ْن َه‬
َ‫املِين‬ ْ َ
ِ َ‫خَا ِلدِينَ فِي َها َونِ ْع َم أجْ ُر الع‬

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,. (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan
siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari
Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.. Qs.3:133-136

B. Kaitan dengan Ayat Sebelumnya

1. Ayat sebelumnya menyerukan agar mu`min bertaqwa dengan menjauhi riba, menjaga diri dari
segala hal yang menjerumuskan ke neraka serta disiplin manaati Allah dan Rasul-Nya. Ayat
berikutnya memnyeru mu`min untuk berpacu meraih ampunan Allah SWT.

2. Ayat sebelumnya memerintahkan agar mu`min bertaqwa kepada Allah dan taqwa pada neraka,
maka pada ayat berikutnya dikemukakan tentang bagaimana cara bertaqwa.

3. Ayat sebelumnya menjelaskan dosa yang masti dijauhi. Ayat berikut memberikan bimbingan
tentang bagaimana cara bertaubatk kalau sudah terlanjur tergelincir pada perbuatan dosa.

C. Tinjauan Historis

1. Beberapa orang menghadap Nabi SAW mengatakan bahwa Bani Israel beruntung sekali di
mata Tuhan. Jika mereka berdosa, terus mengutarakannya di tempat ibadah, langsung mendapat
ampunan. Bagaimana nasib kita bila berdosa? Rasul SAW terdiam, tidak lama kemudian turun
ayat ini.[1]
2. Ibn Mas’id menerangkan bahwa Bani Israil kalau berbuat dosa, ingin mendapat amupnan
menuliskan dosanya di pintu masuk. Mereka juga menuliskan tentang apa yang mereka lakukan
untuk menghapusnya. Kata Ibn Mas’ud, dengan menurunkan ayat ini, Allah SWT memberikan
bimbingan kepada kita bagaimana cara taubat yang benar.

D. Tafsir Kalimat

1. ‫ارعُوا ِإلَى َم ْغ ِف َر ٍة ِم ْن َر ِبِّ ُك ْم‬


ِ ‫س‬َ ‫ َو‬Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu

Ayat ini menyerukan agar mu`min berpacu meraih ampunan dari segala dosa, dan menempuh
jalan ke surga sebagai imbalan beribadah dan beramal shalih selama di dunia. Al-Razi
berpendapat, tidak ada jalan untuk meraih maghfirah selain melaksanakan segala perintah dan
menjauhi segala yang dilarang. Para ahli ushul fiqih menykmpulkan bahwa bersegera meriah
ampunan itu hukumnya wajib, karena tidak ada perintah secara paksa selain wajib segera
dipenuhi. Setelah ayat sebelumnya memerintah agar pandai menjaga diri dari hal-hal yang
menjerumuskan ke neraka, maka pada ayat ini diserukan agar memburu maghfirah dan surga.
Dengan demikian jalan menuju keselamatan abadi adalah menjauhi segala yang dilarang dan
menaati segala yang diperintahkan. Al-Razi mengutip beberapa pendapat dengan cara apa
bersegera meih maghfirah dan surga itu; (a) menurut Ibn Abbas, maghfirah dan surga adalah al-
Islam, karena aturannya mencakup segala aspek kehidupan, (b) menurut Ali bin Abi Thalib
adalah dengan memenuhi segala perintah syari’ah, (c) menurut Utsman bin Affan meraih
maghfirah adalah dengan ikhlash dalam menjalankan segala ibadah, (d) menurut Abu al-Aliah,
dengan hijrah, (e) menurut al-Dlahak dan Muhammad bin Ishaq dengan jihad, (f) menurut Sa’id
bin Jubair, mengerakan takbir al-Ihram untuk shalat, (g) menurut Utsman, bersegera dalam shalat
lima waktu, (h) menurut Ikrimah bersegera dalam segala taat, (i) menurut al-Asham bersegera
dalam taubat dari roba dan dosa lain, karena ayat ini masih satu rangkaian dengan ayat
sebelumnya.[2] Meraih ampunan dari segala dosa, dan surga sebagai pahala amal dunia,
merupakan merupakan kebahagiaan yang paripurna.

ُ ‫س َم َواتُ َو ْاأل َ ْر‬


2. ‫ض‬ ُ ‫و َجنَّ ٍة َع ْر‬dan
َّ ‫ض َها ال‬ َ kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi

Surga pada ayat ini digambarkan seluas langit dan bumi. Luas langit dan bumi tidak bisa diukur
oleh jangkauan manusia. Abu Muslim menandaskan bahwa ukuran langit dan bumi memberikan
gambaran bahwa surga itu tidak bisa diukur oleh jangkauan manusia. Luasnya tidak terbatas,
ni’matnya tiada terhingga. Raja Heraqlius menanggapi ayat ini dengan mengirim surat isinya
bertanya: ‫ار‬ ُ َّ‫ض فَأَيْنَ الن‬
ُ ‫س َم َواتُ َو ْاأل َ ْر‬ ُ ‫ دَ َع ْوتَنِي ِإلَى َجنَّ ٍة َع ْر‬anda mengajak ku untuk menuju surga yang
َّ ‫ض َها ال‬
luasnya seluas langit dan bumi, lalu kalau begitu di mana neraka? Rasul SAW menjawab: ‫إِذَا َجا َء‬
ُ ‫اللَّ ْي ُل فَأَيْنَ النَّ َه‬kalau waktu malam tiba, lalu kemana perginya siang? Hr. Ahmad.[3]
‫ار‬

Soal jawab tersebut kelihatan sekali ketinggian isi dialognya. Rasul SAW tahu bahwa pertanyaan
Heraqlius itu hanya mengetes, maka dijawab dengan pertanyaan yang mengtes pula. Ditanya
tentang letaknya neraka, karena surga seluas langit dan bumi, bagaikan pertanyaan tentang di
mana letaknya siang tatkala malam tiba? Bukankah siang dan malam itu tidak sama? Oleh karena
itu tak perlu timbul tanda Tanya tentang luasnya surga yang melebihi langit dan bumi. Surga
berada bukan di langit atau di bumi.

Menurut al-Razi, terdapat beberapa masalah tentang pengertian bahwa surga seluas langit dan
bumi itu yang patut disoroti antara lain: (1) bumi diciptakan Allah SWT berlapis-lapis, juga
langit yang luasnya tidak terjangkau manusia. Perumpamaan ini mengisyaratkan bahwa ;uas
surgaa seluas berbagai bumi, dan berbagai langit, maka tidak diketahui selebar apa luasnya.
Hanya Allah SWT yang tahu. (2) Apa yang disebut suga seluas langit dan bumi itu adalah untuk
satu orang. Tegasnya setiap penghuni surga menguasai seluruh kawasan surga, dan tidak ada
yang membatasinya. Setiap penghuni surga merasakan berkuasa atas seluruh surga. (3) menurut
Abu Muslim, perumpamaan surga seluas langit dan bumi ini menggunakan istilah perniagaan.
Dengan kata lain surga itu yang diberikan kepada muttaqin senilai harga seluas langit dan bumi.
Siapa pun tidak akan memapu membeli surga dengan nilai transaksi duniawi. (4) Luas surga itu
tidak terbatas, tapi supaya ada banyangan di masyarakat awam, maka digambarkan seperti
luasnya langit dan bumi. Manusia membayangkan luasnya bumi saja tidak akan yang bisa
menjangkau apalagi ditambah dengan tujuh langit.[4]

ْ ‫أ ُ ِعد‬yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,


2. َ‫َّت ِل ْل ُمتَّقِين‬

ْ ‫ أ ُ ِعد‬menggunakan kata kerja lampau memberi isyarat (a) kepastian bahwa surga itu
Perkataan ‫َّت‬
benar-benar disedikan untuk orang yang bertaqwa, (b) surga telah tersedia sejak diciptakan langit
dan bumi. Surga yang luas itu sudah disedikan bagi orang yang bertaqwa. Kalimat ini juga
memberi isyarat bahwa untuk mencapai maghfirah dan surga, mesti menempuh jalan taqwa,
mesti menjadi muttaqin, serta segera meraih maghfirah. Perhatikan hadits berikut:

‫َّللاِ قَ ْب َل أ َ ْن ت َ ُموتُوا َوبَاد ُِروا بِ ْاأل َ ْع َما ِل‬


َّ ‫اس تُوبُوا إِلَى‬ ُ َّ‫سلَّ َم فَقَا َل يَا أَيُّ َها الن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ َ ‫َّللاِ قَا َل َخ‬
ُ ‫طبَنَا َر‬ َّ ‫َع ْن َجابِ ِر ب ِْن َع ْب ِد‬
‫ص ُروا‬ ْ
َ ‫س ِ ِِّر َوالعَ َالنِيَ ِة ت ُ ْرزَ قُوا َوت ُ ْن‬ ْ ْ َّ
َّ ‫صلُوا الذِي بَ ْينَ ُك ْم َوبَيْنَ َر ِبِّ ُك ْم ِب َكث َرةِ ِذ ْك ِر ُك ْم لَهُ َو َكث َرةِ ال‬
ِّ ‫صدَقَ ِة فِي ال‬ َ
ِ ‫صا ِل َح ِة قَ ْب َل أ ْن ت ُ ْشغَلُوا َو‬
َّ ‫ال‬
‫َوتجْ بَ ُروا‬ُ

Dari Jabir bin Abd Allah diriwayatkan bahwa Rasul SAW pernah khuthbah yang menyerukan:
Wahai manusia, taubatlah kepada Allah semelum mati. Bersegeralah amal shalih sebelum
disibukkan. Jalinlah hubungan baik antaramu dan Tuhanmu dengan dzikir dan banyak
bersedekah, baik di kala rahasia ataupun terang-terangan, nisaya kamu mendapat rejeki,
mendapat pertolongan dan diberi kecukupan. Hr. Ibn Majah, al-Bayhaqi (384-458H)[5]

ْ ‫أ ُ ِعد‬menjadi dalil bahwa surga itu telah


Al-Baydlawi menyimpulkan bahwa kalimat َ‫َّت ِل ْل ُمتَّقِين‬
diciptakan Allah SWT, yang letaknya di luar alam ini.

3. ‫اء‬ ِ ‫(الَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ فِي الس ََّّر‬yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
ِ ‫اء َوالض ََّّر‬
lapang maupun sempit,

Menurut Abu al-Su’ud, awal ayat ini bisa berfungsi sebegai penjelas dari al-Muttaqin,
menerangkan sifat orang yang bertaqwa yang mendapat jaminan surga.[6] Namun bisa juga
sebagai awal pembicaraan sifat orang yang disebutkan pada kelanjutannya. Orang yang bertaqwa
memiliki sifat yang baik, bukan hanya terhadap Allah SWT dengan banyak beribadah ritual, tapi
juga dalam sosial, bukan hanya ibadah badani tapi juga dengan harta. Dalam ayat ini ditegaskan
bahwa mereka berinfak di jalan Allah, baik di kala sempit maupun luas, di kala suka maupun
duka. Al-Baidlawi menerangkan bahwa ‫اء‬ ِ ‫اء َوالض ََّّر‬
ِ ‫ فِي الس ََّّر‬mengandung arti sepanjang hayat,
karena manusia tidak pernah lepas dari kedua hal antara suka dan duka, antara kelapangan dan
kesempitan.[7] Namun tentu saja infaq yang dikeluarkan juga mengikuti kondisi, besar tatkala
kaya, infaq kecil tatkala kekurangan. Jangan malas infaq tatkala leluasa, jangan malu infaq yang
kecil tatkala kekurangan. Nilai infaq sangat dipengaruhi oleh keikhlasan. Adapun jumlahnya
bukan ditentukan oleh berapa nominal, tapi berepa prosen dari apa yang dimiliki. Dengan
demikian, orang kaya maupun miskin, pasti mampu berinfaq.

َ ‫َاظ ِمينَ ْالغَ ْي‬


4. ‫ظ‬ ِ ‫و ْالك‬dan
َ orang-orang yang menahan amarahnya

Al-kazhimin ialah orang yang menahan amarah tatkala melihat orang yang kurang ia senangi,
padah dia memiliki kekuasaan untuk memarahinya. Rasul SAW bersabda:

ِ ‫ي ِ ْال ُح‬
‫ور شَا َء‬ ِ ِ‫وس ْالخ ََالئ‬
ِّ َ‫ق َحتَّى يُ َخيِِّ َرهُ فِي أ‬ ِ ‫َّللاُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َعلَى ُر ُء‬
َّ ُ‫ظا َوه َُو يَ ْست َِطي ُع أ َ ْن يُ َن ِفِّذَهُ دَ َعاه‬
ً ‫ظ َم َغ ْي‬
َ ‫َم ْن َك‬

Barangsiapa yang menahan amarah, padahal dia memiliki kekuatan untuk memarahinya, maka
Allah akan memanggilnya di hari kiamat sebagai pembesar makhluq sehingga dipiluhkan
baginya para bidarari yang diinginkannya. Hr. Ahmad, Abu Daud dan al-Turmidzi.[8] Menurut
Nashiruddin al-Bani, kualitas hadits ini sebagai hadits hasan.

Jadi yang memiliki derajat tinggi itu menahan marah tatkala mampu memarahinya. Kalau
menahan marah, karena tidak bisa marah, bukanlah sesuatu yang diunggulkan. Menahan amarah
lebih mengarah pada pengendalian diri dalam berucap, sikap dan tindakan. Rasul SAW bersabda:

‫ب‬ َ َ‫سهُ ِع ْندَ ْالغ‬


ِ ‫ض‬ َ ‫شدِيد ُ الَّذِي يَ ْم ِلكُ نَ ْف‬
َّ ‫ع ِة إِنَّ َما ال‬
َ ‫ص َر‬ َ ‫لَي‬
َّ ‫ْس ال‬
ُّ ‫شدِيد ُ بِال‬

Orang kuat, bukanlah yang berani bertindak pada manusia hinga bikin orang lain takut, tapi
yang kuat adalah yang mampu mengendalikian dirinya tatkala marah. Hr.al-Bukhari dan
Muslim.[9]

ِ َّ‫و ْالعَافِينَ َع ِن الن‬dan


5. ‫اس‬ َ mema`afkan (kesalahan) orang.

Orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa sakit hati, bahkan dendam.
Mu`min yang baik, bukan hanya menahan amarah, tapi mampu memaafkan orang yang bersalah,
sebagaimana mana ditegaskan pada kalimat ini. Memberi maaf paling berat pada manusia yang
berdosa, adalah tatkala marah. Oleh karena itu, sifat mu`min yang baik, bukan hanya mampu
menahan amarah, tapi juga memberi maaf ketika marah. Allah SWT memuji orang yang
demikian sebagai manusia yang memiliki derajat tinggi Qs.42:37:

ِ ‫ش َوإِذَا َما غ‬
َ‫َضبُوا ُه ْم يَ ْغ ِف ُرون‬ ِ ‫اإلثْ ِم َو ْالفَ َو‬
َ ‫اح‬ ِ ْ ‫َوالَّذِينَ يَجْ تَنِبُونَ َكبَائِ َر‬

dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi ma`af. Qs.42:37
menurut al-Baydlawi, memafkan manusia utamanya pada orang yang berbuat salah, padah
sebenarnya berhak untuk menghukum atau membalas kesalahannya. Bila memeafkan orang yang
demikian, maka ampuan Allah akan tercurah pada mereka. Ayat ini bukan berarti melarang
malawan pada yang berbuat zhalim, tapi kalau memberi maaf bisa lebih bermanfaat, maka
nilainya jauh lebih baik, karena termasuk kategori shabar. Allah SWT berfirman Qs.16:126:

َ ‫َوإِ ْن َعاقَ ْبت ُ ْم فَعَاقِبُوا بِ ِمثْ ِل َما عُوقِ ْبت ُ ْم بِ ِه َولَئِ ْن‬
َّ ‫صبَ ْرت ُ ْم لَ ُه َو َخيْر ِلل‬
َ‫صابِ ِرين‬

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan
yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang-orang yang sabar. Qs.16:126

6. َ‫َّللاُ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬


َّ ‫و‬Allah
َ menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Allah SWT sangat mencintai orang yang berbuat ihsan. Kalimat ini dilertakan sebagai pengunci
ayat yang menerangkan sifat manusia pada manusia. Dengan demikian ihsan itu ada yang
berkaitan dengan kewajiban pada Allah ada pula yang berkaitan dengan sesama manusia.

‫ش ْيءٍ فَإِذَا قَت َْلت ُ ْم‬َ ‫سانَ َعلَى ُك ِِّل‬ َ ْ‫اإلح‬ِ ْ ‫َب‬ َّ ‫سلَّ َم قَا َل إِ َّن‬
َ ‫َّللاَ َكت‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ْ ‫َان َح ِف‬
ُ ‫ظت ُ ُه َما َع ْن َر‬
َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ِ ‫شدَّا ِد ب ِْن أ َ ْو ٍس قَا َل ثِ ْنت‬
َ ‫َع ْن‬
ْ
ُ‫ش ْف َرتَهُ فَلي ُِرحْ ذَبِي َحتَه‬ َ ْ َّ َ ْ َ
َ ‫فَأحْ ِسنُوا ال ِقتْلَةَ َو ِإذَا ذَبَحْ ت ُ ْم فَأحْ ِسنُوا الذ ْب َح َولي ُِحدَّ أ َحد ُ ُك ْم‬

Dari Syaddad bin Aws. Ia mengatakan: dua hal yang saya pelihara dari Rasul SAW. Beliau
bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan berlaku ihsan (baik) dalam segala hal.
Jika kamu membunuh sesuatu, maka hendaklah berlaku baik ketika membunuhnya. Jika kamu
menyembelih, hendaklah belaku baik ketika menyembelihnya. Tajamkanlah mata pisaumu, agar
tidak terlalu menyakitkan yang disembelih. Hr. Muslim (206-261H).[10]

Kalimat َ‫سان‬ ِ ْ ‫َب‬


َ ْ‫اإلح‬ َّ ‫ إِ َّن‬dalam Hadits ini mengisyaratkan bahwa kita diperintah Allah SWT
َ ‫َّللاَ َكت‬
untuk ihsan. Sedangkan perkataan ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫ َعلَى ُك ِِّل‬mengandung ma’na bahwa ihsan itu mesti
diterapkan dalam segala kehidupan dan diberlakukan kepada siapa pun, baik kepada Allah SWT
maupun kepada sesama makhluq-Nya. Ihsan kepada Allah SWT telah disabdakan Rasul SAW
ketika mendapat pertanyaan dari Mali`ikat Jibril:

َ‫أ َ ْن ت َ ْعبُدَ هللاَ َكأَنَّكَ ت ََراهُ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنَّهُ َي َراك‬

“Ihsan’ ialah: menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Hr.Muslim[11]

Ihsan kepada sesama manusia diperintahkan langsung dalam berbagai ayat al-Qur`an antara lain
Qs.4:36:

ِ ُ‫ار ْال ُجن‬


‫ب‬ ِ ‫ار ذِي ْالقُ ْربَى َو ْال َج‬
ِ ‫ين َو ْال َج‬
ِ ‫سا ِك‬ َ ‫سانًا َو ِبذِي ْالقُ ْربَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم‬
َ ْ‫ش ْيئًا َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإح‬
َ ‫َّللاَ َو َال ت ُ ْش ِر ُكوا ِب ِه‬
َّ ‫َوا ْعبُد ُوا‬
‫ورا‬ ُ َ ً ْ ْ
ً ‫َّللاَ ال ي ُِحبُّ َمن َكانَ ُمخت َاال فخ‬َ ُ ُ َ
َّ ‫َت أ ْي َمانك ْم إِ َّن‬ َ
ْ ‫سبِي ِل َو َما َملك‬ َّ ‫ب َواب ِْن ال‬ ْ ْ
ِ ‫ب بِال َجن‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫َوال‬

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
Ihsan (berlaku baikbaiklah) kepada ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri, Qs.4:36

6. ً‫شة‬ ِ َ‫ َوالَّذِينَ ِإذَا فَ َعلُوا ف‬Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
َ ‫اح‬

Perkataan َ‫ َوالَّذِين‬pada pangkal ayat ini menurut sebagiann ulama merupakan poko kalimat, tapi
menurut yang lainnya sebagai sambungan dari ayat sebelumnya. Jika dianggap sebagai pokok
kalimat berarti keterangannya yang tercantum pada ayat 136.[12] Jika perkatan ini difahami
sebagai satu kesatuan dengan ayat sebelumnya berati sebagai keterangan َ‫( ْال ُمحْ ِسنِين‬orang yang
ihsan) atau َ‫( ِل ْل ُمتَّقِين‬yang bertaqwa). Sedangkan ً‫شة‬ ِ َ‫ فَعَلُوا ف‬mengandung arti segala perbuatan
َ ‫اح‬
yang sangat buruk, terkadang berma’na zina.[13] Ibnu Asyur menerangkan bahwa ً‫شة‬ َ ‫اح‬ ِ َ‫فَ َعلُوا ف‬
mengandung arti antara lain (1) dosa besar seperti zina, (2) perbuatan dosa yang berdampak
negatif pada orang lain, (3) perbuatan ma’shiat yang amat dimurkai Allah SWT.[14] Rasul SAW
bersabda: ‫ش‬ َ ْ‫ض ْالفُح‬
َ ‫ش َوالتَّفَ ُّح‬ َّ ‫إِ َّن‬Rasul SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT membenci
ُ ‫َّللاَ يُ ْب ِغ‬
keburukan dan yang mengakibatkan buruk. Hr. Ahmad (164-241H).[15] Al-Nawawi (631-
678H);[16] berpendapat ‫ َوأ َ َّما ْالفُحْ ش فَ ُه َو ْالقَبِيح ِم ْن ْالقَ ْول َو ْال ِف ْعل‬bahwa al-Fuhsy ialah kejelekan dalam
perkataan maupun perbuatan. Kata al-Qadli ِّ‫الزيَادَة َو ْال ُخ ُروج َع ْن ْال َحد‬ ِّ ِ ‫صل ْالفُحْ ش‬ ْ َ ‫ أ‬arti asal dari al-Fuhsy
adalah melebihi, melampaui batas. Adapun ‫ش‬ َ ‫ التَّفَ ُّح‬terkadang berarti orang yang berbuat
kejahatan, terkadang berma’na yang berbuat kerusakan. Segala yang buruk dalam istilah Arab
disebut al-Fuhsy. Menurut Al-Asqalani (773-852H), ‫ش‬ ْ
َ ْ‫الفُح‬ialah َّ ‫الز َيادَة َعلَى ْال َحدِّ فِي ْالك ََالم ال‬
‫س ِيِّئ‬ ِّ ِ
melampaui batas kewajaran dalam kata-kata yang buruk. Sedangkan‫ش‬ َّ
َ ‫ َالتفَ ُّح‬adalah kesengajaan
berbuat buruk yang mengakibatkan orang lain merasa terhina. Al-Kusymihani berpendapat
bahwa ‫ش‬ َ ْ‫ ََ ْالفُح‬adalah ‫ َويَدْ ُخل فِي ْالقَ ْول َو ْال ِف ْعل‬، ‫ ُك ِّل َما خ ََر َج َع ْن ِم ْقدَاره َحتَّى يُ ْستَ ْقبَح‬segala yang melampaui
ukuran kewajaran sehingga berakibat buruk, baik berupa perkataan ataupun tindakan. Al-Daudi
berpendapat bahhwa ‫احش‬ ِ َ‫ ْالف‬adalah ‫الَّذِي يَقُول ْالفُحْ ش‬yang berkata buruk, sedangkan ‫ش‬ َ ‫ التَّفَ ُّح‬adalah
ْ
‫ يَ ْستَ ْع ِمل الفُحْ ش ِليُض ِْحك النَّاس‬berkata buruk atau jorok supaya orang lain tertawa.[17] Pendapat
semacam ini dikutip pula oleh Abu Tayib, [18]. Al-Mubarakfuri, (1283-1353H) Berkomentar ‫قَا َل‬
‫ فِي النِِّ َهايَ ِة‬: ‫صلَ ٍة قَبِي َح ٍة ِم ْن‬
ْ ‫ َو ُك ُّل َخ‬، ‫الزنَا‬ ِّ ِ ‫شةُ بِ َم ْعنَى‬
َ ‫اح‬ ِ َ‫يرا َما ت َِردُ ْالف‬ ً ِ‫ َو َكث‬، ‫اصي‬ ِ َ‫ب َو ْال َمع‬ ِ ‫ش ه َُو ُك ُّل َما يَ ْشتَدُّ قُ ْب ُحهُ ِم ْن الذُّنُو‬ ُ ْ‫ْالفُح‬
َّ ‫ب َو ُك ُّل َما نَ َهى‬
، ُ‫َّللاُ َع َّز َو َج َّل َع ْنه‬ ِ ‫الزنَا َو َما َي ْشتَدُّ قُ ْب ُحهُ ِم ْن الذُّنُو‬ِّ ِ ُ‫شة‬َ ‫اح‬ِ َ‫ ْالف‬: ‫وس‬ِ ‫ َوقَا َل ِفي ْالقَا ُم‬. ‫ْاأل َ ْق َوا ِل َو ْاأل َ ْف َعا ِل‬
Diterangkan dalam kitab al-Nihayah bahwa al-Fuhsy intu mencakup segala sesuatu yang amat
buruk berupa dosa dan kema’siatan. Namun istilah tersebut sering digunakan untuyk perbautan
zina. Yang jelas segala yang buruk, baik perkataan maupun perbuatan termasuk al-Fuhsy.
Dalam kamus sering diistilahkan pada perbuatan zina dan pada segala yang sangat buruk dan
segala yang dilarang Allah SWT. [19]

Istilah al-Fuhsy dan al-Tafahusy digunakan untuk perkataan buruk, sebagaimana dalam hadits
berikut:

‫ َو َعلَ ْي ُك ُم السَّا ُم‬:ُ‫شة‬ َ ِ‫ت َعائ‬ ْ َ‫ فَقَال‬،‫ َف َقالُواالسَّا ُم َع َليْكَ يَا أَبَا ْالقَا ِس ِم‬،ُ ‫سلَّ َم يَ ُهود‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ دَخ َل َعلَى َر‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،َ‫شة‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
َُّ ‫صلَّى‬
‫َّللا‬ َ ِ َّ
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬
ُ َ ‫ل‬َ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫؟‬ ‫ي‬
َ‫ْك‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫م‬
َ ُ ‫َّا‬
‫س‬ ‫ال‬ َ‫ون‬ ُ ‫ل‬ ‫و‬ُ ‫ق‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ه‬
َ ُُْ َ‫ع‬‫م‬ ‫س‬
ْ َ ‫ت‬ ‫ال‬َ ‫أ‬ : ُ‫ت‬‫ل‬ْ ُ ‫ق‬ ، ”‫ش‬َ ُّ‫ح‬ َ ‫ف‬َّ ‫ت‬‫ال‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ش‬
َ َ ْ‫ح‬ ُ ‫ف‬ ْ
‫ال‬ ُّ‫ب‬‫ُح‬
ِ ‫ي‬ ‫ال‬ َ َّ
‫َّللا‬ َّ
‫ن‬ ِ ‫إ‬ ،ُ ‫ة‬ ‫ش‬
َ ‫ئ‬‫ا‬ ‫ع‬
ِ َ َ ‫ا‬ ‫ي‬ ” :َ
‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ‫ ف‬،ُ‫َواللَّ ْعنَة‬
َ
َّ ‫َّللاُ َوإِذَا َجا ُءوكَ َحي َّْوكَ ِب َما ل ْم يُ َحيِِّكَ بِ ِه‬
ُ‫َّللا‬ َ َ
َّ ‫ فَأ ْنزَ َل‬،”‫ َو َعل ْي ُك ْم‬:ُ‫ت َما أقول‬ ُ َ ِ ‫س ِم ْع‬ َ
َ ‫”أ َو َما‬:‫سل َم‬َّ َ
َ ‫َعل ْي ِه َو‬

Diriwayatkan dari Aisyah: seorang yahudi datang kepada Rasul SAW, dengan mengatakan ‫السَّا ُم‬
‫( َعلَيْكَ َيا أَ َبا ْالقَا ِس ِم‬mampuslah kau abu al-Qasim). Kemudian Aisyah mengatakan ُ‫َو َعلَ ْي ُك ُم السَّا ُم َواللَّ ْعنَة‬
(mampuslah kamu dan terkutuk!). Rasul SAW bersabda: :” ‫ش‬ َ ْ‫َّللاَ ال ي ُِحبُّ ْالفُح‬
َ ‫ش َوال التَّفَ ُّح‬ َّ ‫ إِ َّن‬،ُ‫شة‬
َ ِ‫يَا َعائ‬
(wahai Aisyah, Allah tidak mencintai al-Fuhsy, tidak pula mencintai al-Tafahusy. Aisyah
berkata: bukankah dia mengatakan ‫ ?السَّا ُم َعلَيْكَ ؟‬Rasul bersabda bukankah sudah aku katakan
kepadanya ‫? َو َعلَ ْي ُك ْم‬. tidak lama kemudian turunlah ayat ‫أَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ نُ ُهوا َع ِن النَّجْ َوى ث ُ َّم يَعُودُونَ ِل َما نُ ُهوا‬
َّ ‫َّللاُ َويَقُولُونَ فِي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم لَ ْو َال يُعَ ِذِّبُنَا‬
‫َّللاُ بِ َما‬ َّ ‫سو ِل َوإِذَا َجا ُءوكَ َحي َّْوكَ بِ َما لَ ْم يُ َحيِِّكَ بِ ِه‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫صيَ ِة‬ ِ ‫اإلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
ِ ‫ان َو َم ْع‬ ِ ْ ِ‫َع ْنهُ َويَتَنَا َج ْونَ ب‬
‫ير‬ُ ‫ص‬ ْ
ِ ‫س ال َم‬ َ ْ‫صلَ ْو َن َها فَبِئ‬ْ َ‫نَقُو ُل َح ْسبُ ُه ْم َج َهنَّ ُم ي‬Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang
mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan
mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka
kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu
dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka
mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa
yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki.
Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Qs.58(al-Mujadilah):8. Hr. Muslim.[20]

Berdasar beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ‫ التفحش – الفاحشة – الفحش‬mencakup
(1) ucapan buruk seperti mengutuk, mencerca, mencela, menghina; (2) tindakan atau perbuatan
seperti zina.

Seperti telah diungkapkan di atas, arti dari al-Fuhsy dan al-Tafahusy itu antara lain perkataan
kotor, ungkapan menyakitkan, sesuatu yang membawa akibat buruk dan terkadang berma’na
zina. Bila semua yang buruk-buruk itu telah dianggap biasa di masyarakat maka kehancuran
akan segera tiba. Dalam hadits lain disebutkan bahwa perzinahan merajalela merupakan pertanda
mendekati kehancuran. Rasul SAW bersabda: ‫ب ْال َخ ْم ُر‬ َ ‫ع ِة أَ ْن ي ُْرفَ َع ْال ِع ْل ُم َويَثْبُتَ ْال َج ْه ُل َويُ ْش َر‬ ِ ‫ِم ْن أَ ْش َر‬
َ ‫اط السَّا‬
‫الزنَا‬ ْ َ‫وي‬di
ِّ ِ ‫ظ َه َر‬ َ antara pertanda mendekati saat (kiamat / kehancuran) adalah ilmu telah diangkat,
kebodohan merajalela, banyaknya yang minum khamr, dan tersebarnya perzinahan. Hr.
Musim.[21]

Rasul SAW bersabda: ُ‫شةُ ِإالَّ َفشَا فِ ْي ِه ُم ال َموت‬ ِ ‫ت فِ ْي ِه ُم ال َف‬


َ ‫اخ‬ َ ‫ال‬
ْ ‫ظ َه َر‬ َ ‫و‬tidaklah
َ merajalela perzinaan pada
mereka, kecuali kematian melanda mereka. Hr. al-Thabrani (260-360H), al-Hakim (321-425H),
al-Bayhaqi (384-458H), al-Dailami (445-509H). [22]

Ada juga ulama yang membedakan antara pengertian ‫ الفحش‬dengan ‫احشَة‬ ِ َ‫الف‬. Istilah ‫ الفُحش‬berma’na
umum mencakup segala keburukan, baik perkataan, sikap, maupun tindakan, baik yang bobotnya
ringan maupun berat. Sedangkan ‫شة‬ َ ‫اح‬ ِ َ‫ الف‬lebih banyak digunakan pada perbuatan yang sangat
buruk seperti: (1) zinah sebagaimana pada firman Allah SWT ‫يال‬ ً ‫س ِب‬
َ ‫سا َء‬ َ ‫شةً َو‬ ِ َ‫الزنَا ِإنَّهُ َكانَ ف‬
َ ‫اح‬ ِّ ِ ‫َو َال ت َ ْق َربُوا‬
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk. Qs.17:32. (2) menikahi janda ayah; ‫اء ِإ َّال َما‬ َ ِِّ‫َو َال ت َ ْن ِك ُحوا َما نَ َك َح آَبَا ُؤ ُك ْم ِمنَ الن‬
ِ ‫س‬
ً‫سبِيال‬ ً ْ
َ ‫شة َو َمقتا َو َسا َء‬ً َ َ َّ
ِ ‫ف إِنهُ كانَ ف‬
َ ‫اح‬ َ ‫سل‬َ َ
َ ْ‫قد‬Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji
dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Qs.4:22. Dalam al-Qur`an
dikemukakan bahwa ‫ الفواحش‬sebagai bentuk jama dari ‫ فاحشة‬itu ada yang bersifat lahir ada pula
yang batin, sebagaimana tersurat pada firman-Nya: ‫اإلثْ َم‬ ِ ْ ‫طنَ َو‬ َ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب‬َ ‫ش َما‬ ِ ‫ي ْالفَ َو‬
َ ‫اح‬ َ ِّ‫قُ ْل ِإنَّ َما َح َّر َم َر ِب‬
َ
َ‫َّللاِ َما َال تَ ْعل ُمون‬ َ ُ ُ َ َ
َّ ‫سلطانًا َوأ ْن تَقولوا َعلى‬ ْ َ َ
َّ ِ‫ق َوأ ْن ت ُ ْش ِر ُكوا ب‬
ُ ‫اَّللِ َما ل ْم يُن ِ َِّز ْل بِ ِه‬ ْ ْ
َ ‫ َوالبَ ْغ‬Katakanlah: “Tuhanku
ِ ِّ ‫ي بِ َغي ِْر ال َح‬
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“. Qs.7:33
َ ُ‫ظلَ ُموا أَ ْنف‬
7. ‫س ُه ْم‬ َ ‫أَ ْو‬atau menganiaya diri sendiri,

Sebagian ulama berpendapat bahwa ‫ظلَ ُموا أ َ ْنفُ َس ُهم‬


َ adalah dosa yang hanya berakibat pada diri
sendiri dan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Ada pula yang berpendapat sebagai
dosa kecil, tidakl termasuk dosa besar berbeda dengan ‫ فاحشة‬sebagaimana disebutkan di atas. Bila
dikaitakan dengan kalimat sebelumnya, pengertian ‫س ُه ْم‬ َ ُ‫ظلَ ُموا أ َ ْنف‬
َ merupakan dosa yang dilakukan
tapi tidak terkait dengan orang lain. Nampaklah bahwa dosa itu terdiri ‫ فاحشة‬yang berkaitan
ْ yaitu dosa yang tidak terkait dengan orang lain. Itulah sebabnya
dengan orang lain, dan ‫ظلم النفس‬
zina, perkataan buruk, menghina, mengumpat, menggunjing, menyakiti orang lain termasuk ‫فاحشة‬
sedangkan minum khamr, memakan makan yang haram, memboroskan harta, menyia-nyiakan
waktu, ceroboh, masuk ke kategori ‫ظلم النفس‬ ْ atau dosa menyangkut diri sendiri.

8. ‫َّللاَ فَا ْستَ ْغفَ ُروا ِلذُنُو ِب ِه ْم‬


َّ ‫ذَك َُروا‬mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka

Orang yang bertaqwa, atau orang yang bakal meraih maghfirah akan segera َ‫َّللا‬ َّ ‫ ذَك َُروا‬mengingat
ُ
Allah juga dalam arti sadar akan kesalahan yang terlanjur dilakukan, ‫ فَا ْست َ ْغ َف ُروا ِلذنوبِ ِه ْم‬pada saat itu
ُ
pula mohon ampun pada Allah dengan bertaubat. Perlu disadari bahwa tidak ada manusia yang
bebas dari dosa, disadari ataukah tidak, kecil ataukah besar. Seorang mu`min bukan berarti tidak
pernah berbuat salah, tapi yang segera bertaubat tatkala terlanjur melakukan kesalahan. Itulah
sebabnya dalam meraih ampunan Allah dan surga, seoranmg mu`min mesti mema’lumi
kesalahan orang lain dengan memberi maaf, dan menyadari akan kesalahan diri sendiri dengan
segera taubat.

9. ُ‫َّللا‬ َ ُ‫و َم ْن يَ ْغ ِف ُر الذُّن‬dan


َّ ‫وب ِإ َّال‬ َ siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?

Kalimat tanya seperti merupakan berita gembira bagi yang mau bertaubat. Kalau mereka
bertaubat, siapa lagi yang bakal mencurahkan ampunan selain Allah. Ini juga merupakan jaminan
dari Allah SWT yang memiliki ampunan yang sangat luas tidak terbatas.

10. َ‫ُص ُّروا َعلَى َما فَعَلُوا َو ُه ْم يَ ْعلَ ُمون‬


ِ ‫ولَ ْم ي‬Dan
َ mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui.

Setelah diberi kabar gembira bahwa Allah SWT yang memiliki ampunan yang luas, maka pada
penghunjung ayat ini ditekankan syarat dan ketentua tetap berlaku. Ampunan bakal tercurah bagi
yang berbuat dosa sebesar apapun, apabila ‫ُص ُّروا َعلَى َما فَ َعلُوا‬
ِ ‫ َولَ ْم ي‬mereka tidak meneriskan
perbuatannya, alias segera menghentikan kesalahan yang sudah terlanjur dilakukan. Dengan
demikian ampuan Allah Maha Luas, bakal diberikan kepada yang baertaubat dengan syarat dan
ketentuan tidak mengulangi lagi dosa yang pernah dilakukan. Kemudian dikunci dengan kalimat
َ‫ َو ُه ْم يَ ْعلَ ُمون‬padahal mereka dalam keadaan mengetahui atau dalam keadaan sadar.

ُ ‫أُو َلئِكَ َجزَ اؤُ ُه ْم َم ْغ ِف َرة ِم ْن َر ِِّب ِه ْم َو َجنَّات تَجْ ِري ِم ْن تَحْ تِ َها ا ْأل َ ْن َه‬Mereka itu balasannya ialah
11. ‫ار خَا ِلدِينَ فِي َها‬
ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya;
Inilah jaminan bagi yang berusaha keras meraih maghfirah dan surga, maka pahalanya akan
diberikan sesuai yang diinginkan. Ampunan Allah dan surga merupakan ganjaran yang nilainya
tiada terhingga. Keni’matan surga tidak pernah terputus atau terhenti sejenakpun. Keni’matan
ِ َ‫ َونِ ْع َم أَجْ ُر ْالع‬dan itulah sebaik-
surga bagaikan air mengalir yang tidak pernah berhenti, sebagai َ‫املِين‬
baik pahala orang-orang yang beramal

E. Beberapa Ibrah:

1. Untuk meraih surga dan ampunan mesti ditempuh langkah dengan segera melakukan segala
perintah syari’ah dan menjauhi segala yang dilarangnya. Jangan menunda untuk beramal baik
apa pun.

2. Luas surga yang seluas langut dan bumi, berarti tidak bisa diukur oleh manusia. Manusia tidak
bisa mengukur berapa luas langit dan bumi, seperti itulah luasnya surga.

3. Surga telah tersedia yang diperuntukkan bagi orang yang bertaqwa dan yang meraih ampunan
dengan segera. Orang yang berpacu meraih surga antara lain meningkatkan taqwa, menginfakkan
harta, memberi maaf kepada sesame.

4. Orang yang meraih surga memang bukan hanya yang tidak pernah berbuat dosa, tapi juga
yang pernah melakukan kesalahan baik yang berakibat pada orang lain ataupun diri sendiri, tapi
dengan segera bertaubat dan tanpa mengulangi lagi kesalahannya.

5. Tiada manusia yang bebas dari dosa dan kesalahan, maka janganlah berhenti dari taubat serta
membina kesadaran, serta mema’lumi kesalahan orang lain dengan memaafkan.

6. Dosa terdiri atas berbagai macam ada yang termasuk fakhisyah ada pula yang termasuk
zhalmun-Nafs. Jika ingin meraih maghfirah hendaklah menjauhi segala perbuatan dosa tersebut.
Jika terlanjur melakukannya, segeralah bertaubat dengan (1) menyesali kekeliruan, (2) memohon
ampun secepatnya, (3) menghentikan perbuatan yang salah, (4) mengganti kesalahan dengan
berbagai kebaikan.

7. Allah SWT Maha pemberi maghfirah dan surga, maka untuk meraihnya mesti memenuhi
syarat serta ketentuan yang berlaku. Penuhilah syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah SAW dan Rasul-Nya, kalau ingin meraih surga dan maghfirah.
SYARAT, RUKUN, DAN SUNNAH KHUTBAH JUM'AT

Syarat-Syarat Khutbah

1. Khatib harus suci dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.

2. Khatib harus suci dari najis, baik badan, pakaian, maupun tempatnya.

3. Khatib harus menutup auratnya.

4. Khatib harus berdiri bila mampu.

5. Khutbah harus dilaksanakan pada waktu dzuhur.

6. Khutbah harus disampaikan dengan suara keras sekira dapat didengar oleh empat puluh orang
yang hadir.

7. Khatib harus duduk sebentar dengan thuma’ninah (tenang seluruh anggota badannya) di antara
dua khutbah.

8. Khutbah pertama dan khutbah kedua harus dilaksanakan secara berturut-turut, begitu pula
antara khutbah dan shalat jum’ah.

9. Rukun-rukun khutbah harus disampaikan dengan bahasa arab, adapun selain rukun boleh
dengan bahasa lain.

Rukun-Rukun Khutbah

1. Khatib harus membaca Hamdalah, pada khutbah pertama dan khutbah kedua.

2. Khatib harus membaca Shalawat kepada Rasulullah saw, pada khutbah pertama dan Khutbah
kedua.

3. Khatib harus berwasiat kepada hadlirin agar bertaqwa kepada Allah, baik pada khutbah
pertama maupun khutbah kedua.

4. Khatib harus membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu dari dua khutbah.

5. Khatib harus mendoakan seluruh kaum muslimin pada khutbah kedua.

Sunnah-Sunnah Khutbah

1. Khutbah hendaknya disampaikan di atas mimbar, yang berada disebelah kanan mihrab.

2. Khatib hendaknya mengucapkan salam, setelah berdiri di atas mimbar (sebelum berkhutbah).
3. Khatib hendaknya duduk sewaktu adzan sedang dikumandangkan oleh Bilal.

4. Khatib hendaknya memegang tongkat dengan tangan kiri.

5. Khutbah hendaknya disampaikan dengan suara yang baik dan jelas, sehingga mudah dipahami
dan diambil manfaatnya oleh para hadlirin.

6. Khutbah hendaknya tidak terlalu panjang.

Begitulah hendaknya khutbah jum’ah disampaikan oleh khatib, dan lebih sempurna lagi bila
khatib berakhlaqul karimah dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat menjadi suri tauladan yang
baik bagi kaum muslimin, sebab ia adalah sang pemberi nasehat, maka sudah sepatutnya bila
berperilaku yang baik dan dapat diteladani. Semoga kita senantiasa mendapatkan Hidayah dan
Taufiq dari Allah Ta’ala, Amin.

Semoga bermanfaat!
Khususnya bagi seluruh siswa putra kelas XII MAN Paron, yang akan menempuh ujian praktik
mata mata pelajaran Agama, ini bisa dijadikan acuan.
wassalam.
Assalamualaikum wr. Wb.

Pak ustad kebetulan saya diamanati untuk jadi kotib shalat ied fitri tapi Saya bingung karena ada
dua pendapat ada yang mengatakan khotbah dilakukan 2 kali khotbah seperti kotbah jumat, ada
yang mengatakan sekali kotbah saja, pertanyaanya:

1. Apa saja rukun khotbah shalat ied?

2.Jumhur ulama berapa kali khotbah shalat ied? Apa dalilnya?

Terima kasih, mohon dijawab sebelum Lebaran.

Wassalamualaikum.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya dari segi rukun, tidak ada perbedaan antara khutbah hari raya dengan khutbah jumat.
Rukun khutbah Jumat ada lima, yaitu: mengucap hamdalah, bershalawat kepada nabi
Muhammad SAW, menyampaikan pesan atau wasiat, membaca ayat Al-Quran dan berdoa
mohon ampunan umat umat Islam.

Namundari segi syarat, harus diakui bahwa khutbahdua hari rayamemang agak berbeda
ketentuannya dengan khutbah Jumat. Kalau dilihat dari syaratnya, khutbahdua hari rayamemang
lebih ringan dan lebih mudah dibandingkankhutbah Jumat.

Para ulama telah menuliskan beberapa perbedaankedua jenis khutbah itudi dalam banyak kitab
fiqih. Antara lain yang kita kutip dari kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 2 halaman 1403
karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili.

Berikut petikannya:

1. Khutbah Jumat dilakukan sebelum shalat Jumat dilaksanakan, sedangkan khutbahdua


harirayadilakukan setelah shalat. Dalilnya adalah sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar ra berkata, "Sesungguhnya nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman
(ridhwanullahi ‘alaihim) melakukan shalat ‘Ied sebelum berkhutbah. (HR Bukhari dan Muslim)

Bahkan jumhur ulama selain Al-Hanafiyah mengatakan bila khutbah dilakukan terlebih dahulu
dari shalatnya, maka hukumnya tidak sah. Dalam kasus itu, disunnahkan untuk mengulangi
khutbah setelah shalat.

2. Sunnah di dalam khutbah dua hari raya adalah memulai dengan takbir, sedangkanpada shalat
jumat, khutbah dibuka dengan ucapan hamdalah.

Menurut jumhur ulama, pada khutbah yang pertama, disunnahkan untuk mengucapkan takbir 9
kali berturut-turut dan pada khutbah yang kedua sebanyak 7 kali berturut-turut.
Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari Said bin Mansur bin Ubaidillah bin ‘Atabah berkata, "Imam bertakbir 9 kali pada dua hari
raya sebelum berkhutbah dan 7 kali pada khutbah yang kedua.

Sedangkanshalat Jumat tidak didahului dengan takbir melainkan dengan mengucapkan


hamdalah. Danmengucapkan hamdalahtermasuk rukun yang bila ditinggalkan, khutbah jumat
menjadi tidak sah menurut Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Namun hamdalah hukumnya
sunnah menurut Al-Hanafiyah serta mandub menurut Al-Malikiyah.

3. Di dalam khutbah dua hari raya, disunnahkan juga buat jamaah yang hadir untuk ikut bertakbir
saat khatib membuka khutbahnya dengan takbir, meski dilakukan cukup secara perlahan (sirr).

Sedangkan di dalam khutbah jumat, haram hukumnya berbicara apapun meksi untuk berzikir.
Dan hal ini telah disepakati oleh jumhur ulama.

4. Di dalam khutbah dua hari raya, khatib tidak disunnahkan untuk duduk begitu naik ke atas
mimbar. Khatib langsung mulai khutbahnya tanpa ada sunnah untuk duduk sebentar seperti pada
khutbah jumat.

Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam khutbah jumat, begitu khatib naik mimbar dan
mengucapkan salam kepada jamaah, disunnahkan untuk duduk sebentar dan muadzdzir
mengumandangkan adzan.

Sedangkan khutbah dua hari raya, begitu naik mimbar, maka langsung saja membacakan
khutban, tidak ada sunnah untuk duduk sebentar seperti dalam khutbah Jumat.

5. Dalam menyampaikan khutbah dua hari raya, tidak ada syarat bagi khatib untuk suci dari
hadats seperti dalam khutbah Jumat, sehingga dibolehkan menyampaikan khutbah meski tidak
dalam keadaan suci.

Sehingga misalnya khatib sedang khutbah dua hari raya, lalu karena satu dan lain hal, tiba-tiba
wudhu’-nya batal, maka dia boleh meneruskan khutbahnya.

Berbeda dengan khutbah Jumat, bila khatib batal wudhu’-nya karena satu dan lain hal, maka dia
harus berwudhu’ lagi. Karena syarat sah khutbah Jumat adalah suci dari hadats kecil (dan besar
tentunya).

Berwudhu’ atau suci dari hadats khutbah dua hari raya hukumnya sunnah, bukan wajib atau
syarat sah.

6. Tidak disyaratkan bagi khatib dalam khutbah dua hari raya untuk berdiri. Dia boleh
melakukannya sambil duduk. Namun tetap disunnahkan untuk berdiri, meski bukan rukun atau
syarat.
Sedangkan dalam khutbah Jumat, khatib harus berdiri ketika menyampaikan khutbahnya, karena
berdiri termasuk rukun khutbah.

7. Khutbah dua hari raya tidak disyaratkan terdiri dari dua khutbah. Sedangkan khutbah jumat
diharuskan terdiri dari dua khutbah. Namun jumhur ulama tetap mengatakan bahwa meski tidak
disyaratkan, namun hukumnya tetap sunnah untuk menjadikan khutbah dua hari raya terdiri dari
2 khutbah.

8. Juga tidak disyaratkan untuk duduk sejenak di antara dua khutbah. Hukumnya bukan rukun
atau kewajiban, namun hukumnya adalah sunnah untuk duduk di antara dua khutbah seperti
layaknya khutbah Jumat.

Sedangkan di dalam khutbah Jumat, duduk di antara dua khutbah diharuskan.

Hukum Mengukuti Khutbah Dua Hari Raya

Namun pada hakikatnya, menurut para ulama, hukum untuk mengikui khutbah dua hari raya
sebenarnya bukan rukun dan juga bukan kewajiban. Melainkah hukumnya sunnah. Sehingga bila
ada jamaah yang selesai shalat langsung pulang dantidak hadir mendengarkan khutbah,
sesungguhnya shalatnya sudah sah.

Namun demikian, tetap disunnahkan untuk hadits mendengarkan khutbah dua hari raya, karena
pasti akan sangat berguna dan itulah yang dilakukan oleh para shahabat nabi ridhwanullahi
‘alaihim.

Dalilnya adalah sabda nabi Muhammad SAW berikut ini:

Dari Atha’ bin Abdillah bin As-Saib berkata, "Aku hadits bersama nabi SAW pada shalat hari
raya, ketika shalat selesai beliau SAW bersabda, "Kami akan berkhutbah, bagiyang ingin
mendengarkan, silahkan mendengarkan. Namun bagi yang ingin pergi, silahkan pergi. (HR Ibnu
Majah dengan isnad yang tsiqah)

Hadits ini selain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-
Nasa’i. Namun beliau mengatakan bahwa hadits ini mursal. Silahkan periksa di dalam kitab
Nailul Authar jilid 3 halaman 305.

Namun keberadaan khutbah dua hari raya itu sendiri tetap harus ada. Karena yang namanya
shalat dua hari raya memang harus dengan khutbah.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Anda mungkin juga menyukai