Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

bakteri Mycobacterium tuberculsosis. yang dapat menyerang berbagai organ,

terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak

tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB

diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5000 tahun SM, namun kemajuan dalam

penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam 2 abad terakhir.1

Kemajuan pengendalian TB di dunia pada awalnya terkesan lambat. Pada

1882 Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacerium tuberculosis. Pada

1906 vaksin BCG berhasil ditemukan. Lama sesudah itu, mulai ditemuan Obat

Anti Tuberkulosis (OAT). Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai anti TB

pertama yang efektif. Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan Asam Para-

aminosalisilat (PAS). Pada 1951 ditemukan Isoniazid (Isonicotinic Acid

Hydrazide; INH), diikuti dengan penemuan Pirazinamid (1952) Cycloserine

(1952), Ethionamide (1956), Rifampicin (1957), dan Ethambutol (1962). Namun

kemajuan pengobatan TB mendapat tantangan dengan bermunculan strain M.

Tuberculosis yang resisten terhadap OAT. Epidemi HIV AIDS yang terjadi sejak

tahun 1980-an semakin memperberat kondisi epidemi TB. Pada akhir tahun 1980-

an dan awal 1990-an mulai dilaporkan adanya resistensi terhadap OAT.1

Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan

Belanda namun masih terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang

kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4).


Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui Puskesmas.

Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi

pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Directly Observed

Treatment Short-Course, DOTS) yang dilaksanakan di Puskesmas secara

bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional diseluruh

Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan

dasar.1

TB masih merupakan beban bagi negara berkembang baik dalam segi

diagnosis maupun tatalaksana. Diperlukan kerjasama antar sektor baik kesehatan

maupun pemerintah sebagai pengatur kebijakan mengenai masalah TB.

Tatalaksana yang baik dapat menghindari terjadinya resistensi dan komplikasi

bagi pasien.

1.2 TUJUAN

Tujuan penulisan case report ini adalah untuk memahami dan menambah

pengetahuan mengenai definisi, epidemiologi, faktor resiko, patogenesis,

diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar terjadi pada paru yyang

mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20%

selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar.2

2.2 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting

di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah

mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Sepertiga penduduk dunia

telah terinfeksi kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB

terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.3

WHO melaporkan pada tahun 2013 bahwa diperkirakan terdapat 8,6 juta

kasus TB pada tahu 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien

TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada diwilayah Afrika.

Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR

dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB pada

anak diantara seluruh kasus TB secara global menacapai 6% (530.000 pasien TB

anak/ tahun), sedangkan kematian anak yang menderita TB mencapai 74.000

kematian/ tahun.4

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab

kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001

menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama pada

golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit

TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443 penderita BTA

positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga

perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun.4

2.3 FAKTOR RISIKO

Faktor Risiko TB dibagi atas tiga, yaitu1

1. Faktor individu (host)

• Usia. Usia mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit TB.

Anak-anak hingga usia lima tahun memiliki kerentanan yang tinggi. Anak

dengan usia antara lima tahun hingga awal pubertas relatif tahan terhadap

infeksi TB.

• Jenis kelamin. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa lebih

banyak terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan. Akan tetapi

penyebab pasti belum diketahui, apakah disebabkan karena perbedaan gen

terkait atau faktor gaya hidup seperti merokok, atau kemampuan untuk

mengakses layanan kesehatan.

• Daya tahan tubuh. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah,

diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan

memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Beberapa faktor lain

yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, yaitu ketergantungan alkohol,

penggunaan narkoba suntik, merokok, diabetes melitus, orang-orang


dengan terapi kortikosteroid, gastrektomi, dan stadium akhir penyakit

ginjal.

2. Faktor kuman (agent)

Konsentrasi kuman yang terhirup dan lamanya waktu kontak seseorang

dengan sumber penularan mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

3. Faktor lingkungan (environment)

Ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan hunian rumah berhubungan dengan

kejadian tuberkulosis.

2.4 PATOGENESIS

1.TUBERKULOSIS PRIMER

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana

saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan

kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal sebagai kompleks primer.3

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis

fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara :


a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah

epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus,

biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat

atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang

tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada

lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus

c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat

bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang

yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak

terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan

cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan

tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,

genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir

dengan cara yaitu sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma ) atau meninggal Semua kejadian diatas adalah perjalanan

tuberkulosis primer.

2. TUBERKULOSIS POST-PRIMER

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian

tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post


primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat

menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini,

yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus

inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.3

Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai

berikut :

a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan

penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi

lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran.

Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk

jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).

Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti

awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti

sklerotik). Nasib kaviti ini:

• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang

pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas

• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula

aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi


• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed

cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga

kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post primer dan


perjalanan penyembuhannya

2.5 KLASIFIKASI

1. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,

tidak termasuk pleura (selaput paru) 3

a. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi dalam:

a) Tuberkulosis Paru BTA (+)

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

b) Tuberkulosis Paru BTA (-)

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak

respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M.tuberculosis positif

• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

b. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Ada beberapa tipe penderita yaitu :

a) Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30

dosis harian)

b) Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan

perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali,

harus dipikirkan beberapa kemungkinan berupa Infeksi sekunder, Infeksi

jamur, TB paru kambuh


c) Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang mendapatkan

pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten

lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah

d) Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1

bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA

positif.

e) Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik

positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau

gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.

f) Kasus kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih

positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang

baik

g) Kasus bekas TB

• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif

dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih

gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun

setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada

perubahan gambaran radiologik


2. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis

sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis

kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan

oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru

dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu:

a. TB di luar paru ringan

Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

b. TB diluar paru berat

Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa

bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

2.6 MANIFESTASI KLINIS

Pada pasien TB gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan,

yaitu gejala respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala

sistemik. 4

1. Gejala respiratorik

• Batuk ≥ 3 minggu

• Batuk darah

• Sesak napas

• Nyeri dada
Gejala respiratorik yang dialami oleh pasien sangat bervariasi, dari mulai

tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi yang

mengenai paru pasien. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check

up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita

mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi

bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.4

2. Gejala Sistemik

 Demam

 Malaise

 Keringat malam

 Anoreksia

 Berat badan menurun

3. Gejala TB ekstra paru

Gejala TB ekstra paru yang dialami pasien tergantung dari organ yang

terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang

lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa

akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat

gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya

terdapat cairan.4

2.7 DIAGNOSIS TB PARU

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,

pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan


terdapatnya paling sedikit satu spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai

dengan gambaran histologi TB atau bukti klinis sesuai TB.5

WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan atau

isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:5

 Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada

pasien dengan riwayat gagal terapi.

 Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang

tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.

 Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.

 Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.

WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan

berlangsung pada situasi berikut ini:5

 Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada

akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan

berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M.

tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus

dilakukan.

1. Gejala Klinis

Gejala klinis yang terjadi dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

respiratorik (atau gejala lokal dari organ yang terlibat) dan gejala sistemik.4

• Batuk ≥ 3 minggu

• Batuk darah

• Sesak napas

• Nyeri dada
• Demam

• Gejala lainnya malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

2. Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung

luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit

umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen

posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat

ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,

ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada TB ekstra paru, antara lain :

 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari

banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada

auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang

terdapat cairan.

 Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,

tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-

kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold

abses”4

3. Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi

jarum halus/BJH).4

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau

dengan cara:

• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

• Dahak Pagi ( keesokan harinya )

• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan

dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau

lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada

fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)

sebelum dikirim ke laboratorium.4

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas

objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl

0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam

pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim

ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai

dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti

laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak

dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.4

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:4


• Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian

tengahnya

• Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari

kertas saring sebanyak + 1 ml

• Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung

yang tidak mengandung bahan dahak

• Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,

misal di dalam dus

• Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik

kecil

• Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan

sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi

• Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan

dahak

• Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat

laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat

dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.4

Pemeriksaan mikroskopik:4

 Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan Kinyoun Gabbett


 Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk

screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih

dahulu dengan cara sebagai berikut :

a) Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan

tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%

b) Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair

sempurna • Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000

rpm

c) Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-

merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi

merah

d) Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl

2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-

kuningan

e) Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh

juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis )

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah

bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali

negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif →

Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif Interpretasi

pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD. Bila

terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis

aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu

diulang.4
Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan

metode konvensional ialah dengan cara :4

• Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)

• Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk

mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis

dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi

MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya

pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran

dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

4. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.

Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada

pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-

macam bentuk (multiform).4

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

• Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah

• Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular

• Bayangan bercak milier

• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik

yang dicurigai lesi TB inaktif

• Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau

fibrotik
• Kompleks ranke

• Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura Luluh Paru

(Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan

paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik

luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit

untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik

tersebut.

• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses

penyakit Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan

dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) : a. Lesi minimal ,

bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari

volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan

dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5

(sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti. b. Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi

minimal.4

5. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara

konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat

mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.4

a. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih

yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu

masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara

pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan


ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu

untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan

dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR

positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB,

maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan

dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.

b. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:4

 Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu

uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-

antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah

kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

 Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh

manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang

direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini

kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum

tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai

yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada

sisir yang dapat dideteksi dengan mudah

 Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji

yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi d. ICT Uji

Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik

untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis

merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang


berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38

kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada

membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1

garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 µl

diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati

garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap

M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk

garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit

terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada

membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,

para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar

antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai

sebagai pegangan untuk diagnosis

c. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini

adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang

kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh

mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan

secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.

d. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta

cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu

menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis

tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada

analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat

diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB),

trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar

getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi

aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis

ekstra paru Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan

histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil

berupa granuloma dengan perkejuan

f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan

indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam

pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai

indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,

sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan

penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan

penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya

tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering

meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak

menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

g. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi

TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan

prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat

bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan

mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan
sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau

bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada

malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi

positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung

reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang

analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ

yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila

menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).

Agar tidak terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis, pertimbangan dokter dalam

menetapkan pemberian pengobatan berdasarkan pada:

1. keluhan, gejala, dan kondisi klinis yang sangat kuat mendukung ke arah TB

2. kondisi yang memerlukan pengobatan segera seperti meningitis TB, TB

milier, ko-infeksi TB/HIV, dsb.

2.8 PENGOBATAN TB PARU

Pengobatan TB yang adekuat mengguunakan OAT harus mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi. Obat harus

diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan dalam dosis yang teratur, diawasi

langsung oleh PMO (pengawas makan obat). Pengobatan TB dibagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.6

Pada pengobatan tahap awal, OAT diberikan setiap hari untuk menurunkan

jumlah kuman. Untuk semua pasien baru, pengobatan TB harus diberikan selama

2 bulan. Umumnya, pengobatan yang teratur dan tanpa penyulit, daya penularan

pasien akan menurun secara signifikan dalam 2 minggu pengobatan. Pada tahap
lanjutan, pengobatan bertujuan untuk membunuh sisa bakteri M.tb hingga pasien

benar-benar sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.6

Tabel 1. OAT Lini I


Tabel 2. Dosis OAT

Panduan OAT menurut Program Nasional Penanggulangan TB di

Indonesia adalah:

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Kategori 2 : 2(HRZE)S/9HRZE)/5(HR)3E3

Kategori Anak : (HRZ)/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien Tb resisten obat di

Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisis, kapreomisin, Levofloksasin,

Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu

pirazinamid dan etambutol.6


OAT disediakan dalam dua bentuk yaitu KDT (kombinasi dosis tetap) dan

kombipak. Pada OAT KDT, trdapat 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet yang

disesuaikan dengan BB pasien. Pada paket OAT kombipak, terdiri atas obat leas

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol yang dikemas dalam bentuk

blister. OAT kombipak digunakan pada pasien yang terbukti mengalami efek

samping pada OAT KDT sebelumnya. Berikut table untuk masing masing OAT

KDT dan kombipak pada kategori 1 maupun 2.6

Table 3.Panduan OAT KDT kategori 1

Table 4.OAT kombipak kategori 1

Table 5.Panduan OAT KDT kategori 2

Table 6. Panduan OAT Kombipak kategori 2


1. Hasil Pengobatan TB

Hasil pengobatan TB dapat dilihat pada table berikut

2. Pemantauan Kemajuan dan Hasil Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengbatan pada dewasa dilaksanakan

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir bulan ke-2 dan
ke-5. Untuk pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemriksaan dahak dua

kali yaitu sewaktu dan pagi, dinyatakan hasil dahak negatif bila keduanya

menunjukkan hasil negatif. Bila pemeriksaan menunjukkan hasil negatif, maka

pengobatan dapat dilanjutkan ke fase lanjutan dan kembali memeriksa dahak pada

akhir bulan e-5 dan akhir pengobatan. Bila hasil dahak positif, tetap lanjutkan

pengobatan tanpa pemberian sisipan seperti program sebelumnya. Pasien

kemudian kembali memeriksakan dahak pada 1 bulan setelah fase lanjutan. Bila

hasil tetap masih positif, lakukan uji kepekaan obat. Bila fasilitas tidak

mendukung untuk dilakukannya uji kepekaan obat, maka obat fase lanjutan tetap

dilanjutkan dan kembali melakukan pemeriksaan pada akhir bulan ke-5.6

2.9 KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah batuk darah, pneumotoraks,

gagal napas, gagal jantung, efusi Pleura.7

Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa dengan beberapa cara:

1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan

radiologi toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi

pleura TB biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada

anak-anak dan orang dewasa muda.

Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan

subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke

rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan

menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan


melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas

dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi

cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah.

Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi

tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.

2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih

lanjut. Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah

(empiema). Efusi pleura ini terjadi akibat proses reaktivasi yang

mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti rendah.

3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke

dalam rongga pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam

ruang antara paru dan dinding dada. TB dari kavitas yang memecah

mengeluarkan efusi nanah (empiema). Udara dengan nanah bersamaan

disebut piopneumotoraks.
2.10 PROGNOSIS

Prognosis TB paru umumnya baik dengan pengobatan yang tepat,

ketersediaan obat dan pengawasan minum obat yang baik. Namun apabila pasien

dengan tb paru tidak diobati setelah lima tahun akan memiliki prognosis :8

 50% meninggal

 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi

 25% manjadi kasus kronis yang tetap menular


BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. AF

No. RM : 979067

Tanggal Masuk : 19 Mei 2017

Tanggal Lahir : 21 September 1994

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Pua data Korong Padang Bukit, Lubuk Paandan, Enam

Lingkung, Kab. Padang Pariaman

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Negeri Asal : Indonesia

3.2 Anamnesis

Seorang pasien laki-laki berumur 22 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil

Padang pada tanggal 19 Mei dengan:


Keluhan Utama

Sesak napas yang meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Sesak napas meningkat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas

tidak menciut. Sesak napas terus-menerus meningkat karena aktivitas. Sesak

napas tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan emosi. Sesak napas mulai

dirasakan sejak 3 minggu minggu yang lalu. Sesak berkurang dengan tidur

miring ke kiri.

 Riwayat Batuk ada. Batuk mulai dirasakan sejak 1 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Batuk hilang timbul. Batuk berdahak berwarna putih. Batuk

darah tidak ada.

 Riwayat batuk darah ada, 3 tahun yang lalu, 2 kali, lengket didahak.

 Nyeri dada ada, sebelah kiri, kadang-kadang.

 Demam ada, sejak 1 minggu yang lalu, tidak tinggi dan tidak menggigil,

namun saat ini pasien sudah tidak demam.

 Keringat malam ada sejak 1 bulan yang lalu.

 Penuurunan BB ada, tidak tahu berapa Kg.

 Penurunan nafsu makan ada.

 Riwayat merokok ada, 10 batang per hari selama 5 tahun (IB=50, Ringan),

berhenti sejak 3 tahun yang lalu.

 Mual dan muntah tidak ada.

 Riwayat DM tidak ada

 Nyeri Ulu hati tidak ada

 BAK dan BAB normal.


Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat minum obat OAT sebelumnya tidak ada

 Riwayat DM tidak ada

 Riwayat Hipertensi tidak ada

Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.

Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan

 Pasien seorang penjual parfum isi ulang di jakarta, merokok 10 batang perhari

selama 5 tahun dengan IB ringan dan sudah berhenti sejak 3 tahun terakhir.

 Kosumsi alkohol disangkal

 Riwayat Free Sex disangkal

 Riwayat penggunaan narkoba suntik disangkal

 Riwayat tatoo tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik (Penilaian awal medis pasien rawat inap)

3.2.1 Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit sedang

Kesadaran : CMC

Tinggi Badan : 180 cm

Berat Badan : 60 kg

IMT : 18,5 Kg/m2

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 100 x/menit


Frekuensi Napas : 24 x/menit

Suhu : 36,5ºC

3.2.2 Status Lokalis

Kepala : normocepal, simetris

Mata : Konjungtiva anemis ada dan

sklera ikterik tidak ada

Mulut : Tidak ada kelainan

Leher : tidak ada kelainan

JVP : 5-2 cmH20

Trakea : tidak ada deviasi

KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis sukar teraba

Perkusi : batas jantung sukar dinilai

Auskultasi : suara jantung normal tidak ditemukan bising

irama regular

Paru Depan

Inspeksi : paru kiri lebih cembung dari yang kanan (statis)

paru kiri gerakannya lebih tertinggal dari yang kanan

(dinamis)

Palpasi : fremitus paru kiri melemah dari yang kanan

Perkusi : - kiri : redup

- kanan : atas – setinggi RIC V sonor, kebawah Redup


Auskultasi : suara napas kiri melemah- menghilang

Suara napas kanan : Atas – RIC V bronkovesikular, Ronkhi+,

wheezing -, Kebawah melemah.

Paru Belakang

Inspeksi : paru kiri lebih cembung dari kanan (statis)

paru kiri pergerakannya tertinggal dari yang kanan

(dinamis)

Palpasi : fremitus kiri melemah dari yang kanan

Perkusi : kiri : redup

Kanan : atas- setinggi VT VII sonor, kebawah Redup

Auskultasi : suara napas kiri: melemah - menghilang

suara napas kanan : atas- SVT VII bronkovesikuler, ronkhi

(+), whezzing (-), Kebawah normal.

Abdomen

Inspeksi : tidak terdapat distensi

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri epigastrium (-)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus positif

Genitalia: tidak diperiksa

Ekstremitas: udem tidak ada, clubbing finger tidak ada

3.3 Pemeriksaan Laboratorium

Hb 12,8 g/dl Ureum 29


Leukosit 4880 /mm3 Kreatinin 0,9
Trombosit 386.000/mm3 Globulin 4,2 g/dL
Ht 39% Bilirubin total 0,6 mg/dL
SGOT 24 u/L Total Protein 7,0 g/dL
SGPT 31 u/L Albumin 2,8 g/dL

Kesan labor : Leukopenia, Albumin rendah, Globulin tinggi.

1.4 Gambaran Rontgen Toraks:

Rontgen thorak pria usia 22 tahun di RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 26

Mei 2017. Rontgen tampak simetris, sentris, densitas sedang, inspirasi cukup,

trakea di tengah, diafragma kiri dan kanan terselubung, dengan sudut costo

frenikus kanan dan kiri terselubung. Jantung CTR sulit dinilai, aorta dan

mediastinum superior tidak melebar, tampak perselubungan homogen

dihemitoraks dextra dan sinistra dengan gambaran meniscus sign, dan infiltrat

dikedua lapangan paru.

Kesan : efusi pleura bilateral, dominan kiri dengan TB Paru milier.

3.5 Diagnosis Kerja


Efusi pleura bilateral et causa Susp TB + Leukositopenia, Albumin rendah,

Globulin tinggi

3.6 Diagnnosis Banding

Susp Ca bronkogenik jenis belum diketahui

3.7 Rencana pengobatan dan pemeriksaan:

• Prednison 3x3 mg

• Vit B6 1x10 mg

• N asetil sistein

• OAT kategori I mulai tanggal 27 Mei 2017

o Rifampisin 1x450 mg

o INH 1x300 mg

o Pirazinamid 1x1500 mg

o Etambutol 1x1000mg

• IVFD asering selama 12 jam/kolf

• Punksi pleura

• BTA Sputum SPS

3.8 Hasil Pemeriksaan Sputum SPS

 19 Mei 2017 I : Negatif

 19 Mei 2017 II : Negatif

 22 Mei 2017 III : Negatif

3.9 Follow Up

Tabel 1. Follow up pasien tanggal 31 Mei hingga 1 Juni 2017

SOAP
Tanggal dan jam (Subjective, Objective, Assesmen, Planing)
31 Mei 2017 S/
16.00  Sesak sudah mulai berkurang
 Sesak terutama bila beraktifitas
 Nafsu makan meningkat
 Keringat malam (+)
 Batuk berdahak
 Batuk darah (-)
 Demam (-)
 Nyeri dada (-)
 Mual muntah (-)

O/
KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 110/80, ND: 80, RR: 17, T: AF
Paru depan
 Inspeksi: Simetris kiri kanan, pergerakan kiri kanan
simetris
 Palpasi: Fremitus kiri melemah
 Perkusi: Kanan Sonor, Kiri sonor pekak pada RIC V-VI
 Auskultasi: SN Bronkovesikuler ronki (+/+) Wheezing
(-/-)

A/
Efusi pleura bilateral ec TB Paru dalam pengobatan OAT
Kategori I Fase Intensif H5

P/
R450/H300/Z1500/E1000 (H6)
Prednison 3x2 tablet
Vit B6 1x10
1 Juni 2017 S/
09.00  Sesak napas (-)
 Nafsu makan meningkat
 Keringat malam (+)
 Batuk berdahak
 Batuk darah (-)
 Demam (-)
 Nyeri dada (-)
 Mual muntah (-)

O/
KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 110/70, ND: 80, RR: 20, T: AF
Paru depan
 Inspeksi: Simetris kiri kanan, pergerakan kiri kanan
simetris
 Palpasi: Fremitus kiri melemah
 Perkusi: Kanan Sonor, Kiri sonor pekak pada RIC V-VI
 Auskultasi: SN Bronkovesikuler ronki (+/+) Wheezing
(-/-)

A/
Efusi pleura bilateral ec TB Paru dalam pengobatan OAT
Kategori I Fase Intensif H6

P/
R450/H300/Z1500/E1000 (H6)
Prednison 3x2 tablet
Vit B6 1x10
1 Juni 2017 S/
11.00  Sesak nafas (-)
 Nafsu makan meningkat
 Keringat malam (+)
 Batuk berdahak
 Batuk darah (-)
 Demam (-)
 Nyeri dada (-)
 Mual muntah (-)

O/
KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 120/80, ND: 100, RR: 24, T: AF
Paru depan
 Inspeksi: Simetris kiri kanan, pergerakan kiri kanan
simetris
 Palpasi: Fremitus kiri = kana
 Perkusi: Sonor
 Auskultasi: SN Bronkovesikuler ronki (+/+) Wheezing
(-/-)
A/
Efusi pleura bilateral ec TB Paru dalam pengobatan OAT
Kategori I Fase Intensif H6

P/
R450/H300/Z1500/E1000 (H6)
Prednison 3x2 tablet
Vit B6 1x10

BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 22 tahun datang ke RSUP Dr M Djamil

Padang rujukan RSUD Pariaman dengan keluhan sesak nafas yang meningkat

sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Sesak tidak

menciut, sesak bertambah saat melakukan aktifitas. Pasien lebih nyaman tidur

miring ke arah kiri. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk sudah dirasakan sejak

satu bulan yang lalu, batuk disertai dahak berwarna putih kental. Batuk berdarah

tidak ada. Riwayat batuk berdarah ada 3 tahun yang lalu.


Pasien juga mengeluhkan adanya keringat malam semenjak 1 bulan yang

lalu dan penurunan nafsu makan ada, disertai penurunan berat badan.

Pasien mengeluhkan demam, terutama pada malam hari tidak tinggi. Tidak ada

keluhan nyeri dada. Tidak ada keluhan mual, muntah, nyeri ulu hati, dan keluhan

buang air kecil dan besar.

Dari keluhan diatas, dapat dicurigai pasien mengalami gangguan pada ruang

interpleura akibat adanya cairan sehingga membuat pengembangan paru tidak

maksimal dan muncul gejala sesak. Gangguan tersebut disebut efusi pleura yang

diakibatkan karena penyakit sebelumnya yaitu TB paru. Efusi pleura sekunder

bisa merupakan komplikasi dari TB paru karena akibat pecahnya fokus perkijuan

subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga

pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu

reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan

menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang

akan menghasilkan akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap

kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di

dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk

empiema TB.

Batuk merupakan reflex pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan

trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting

untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah. Rangsangan yang biasanya

menyebabkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan salah

satunya akibat infeksi bakteri. Proses perangsangan batuk ini dicetuskan oleh

adanya benda asing oleh tubuh, seperti dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri
inilah yang nantinya akan memicu batuk. Sedangkan dahak merupakan hasil dari

reaksi inflamasi tubuh dimana terjadi perlawanan dari leukosit untuk melawan

bakteri.

Pada pasien ini terdapat riwayat keringat malam dan penurunan berat badan.

Hal ini merupakan ciri khas dari pasien TB. Dari pemeriksaan fisik paru, gerak

dinding dada kiri tertinggal. Pada palpasi, ditemukan fremitus di dada maupun

punggung kiri melemah. Hal ini dikarenakan efusi yang menghambat getaran

kepermukaan. Pada pemeriksaan perkusi didapatkan dada dan punggung kiri

redup. Redup pada perkusi diakibatkan adanya cairan di rongga pleura. Auskultasi

didapatkan bahwa suara nafas kiri melemah sedangkan suara nafas kanan

bronkovesikuler, terdapat ronki, tidak terdapat whezzing. Suara nafas melemah ini

dikarenakan efusi pada rongga kiri menyebabkan suara nafas terhambat oleh

cairan tersebut.

Pada laboratorium, didapatkan hemoglobin 12,8 gr/dL, leukosit 4880/mm3,

trombosit 386000/mm3, ureum 29, kreatinin 0,9, bilirubin total 0,6, SGOT 24,

SGPT 31. Kesan leukopenia dengan albumin rendah dan globulin tinggi. Hasil

pemeriksaan rontgen toraks tampak adanya perselubungan homogen di

hemitoraks kiri dan kanan, dan juga infiltrate di kedua lapangan paru.

Disimpulkan kesan foto adalah efusi pleura bilateral dominan kiri dan tuberculosis

milier.

Berdasarkan penjabaran anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja untuk pasien adalah

efusi pleura et causa tuberculosis.


DAFTAR PUSTAKA

1 Infodatin. Tuberkulosis, Temukan Obati Sampai Sembuh [serial online].


Jakarta: Pusadatin, 2014

2 Darmanto D. Respirologi, respiratory medicine. Jakarta: EGC, 2009.

3 PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.


Jakarta: PDPI, 2014.

4 Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2014.

5 Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:


Tatalaksana Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2013.

6 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
7 PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia.
Jakarta: PDPI, 2006.

8 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun


2005. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2005.

Anda mungkin juga menyukai