Anda di halaman 1dari 4

Farmakologis Statin

Seluruh obat golongan statin memiliki mekanisme primer yang sama melalui inhibisi
kompetitif HMG-CoA reductase yang reversible, terdapat perbedaan pada masing-masing jenis
obat golongan ini. Saat ini terdapat tujuh jenis statin di Amerika Serikat: atorvastatin, fluvastatin,
lovastatin, pitavastatin, pravastatin, rosuvastatin, dan simvastatin. Statin memiliki bioavaibilitas
tinggi dan sementara ini hanya tersedian dalam sediaan oral. Penetrasi statin melewati sawar
darah otak menuju korteks serebri berhubungan langsung dengan sifat lipofilik dari masing-
masing statin. Penelitian pada model tikus murine yang mengevaluasi konsentrasi simvastatin,
lovastatin, dan pravastatin pada korteks serebri menunjukkan konsentrasi simvastatin paling
tinggi disusul lovastatin dan pravastatin.

Profil farmakokinetik dari statin (Matre dkk, 2016)


Statin diketahui memiliki potensi menurunkan low-density lipoprotein (LDL). Dua
penelitian awal mengevaluasi potensi terapi statin diukur dari penurunan persentase LDL dari
baseline. Rosuvastatin ditemukan paling berpotensi disusul atorvastatin, pitavastatin, simvastatin,
lovastatin, pravastatin, dan fluvastatin. (Matre dkk, 2016)

Intracerebral Hemorrhage
Intracerebral Hemorrhage (ICH) mencakup sekitar 10% dari stroke, menyebabkan defisit
neurologis berat dan mortalitas yang tinggi. Tujuan penatalaksanaan ICH antara lain mengurangi
terjadinya iskemia sekunder, edema dan peningkatan tekanan intrakranial, serta memberikan
suplai oksigen dan optimalisasi metabolisme serebral.
Statin memiliki efek pleiotropik yang bekerja pada sistem imun dengan menghambat inflamasi,
perkembangan spesies oksigen reaktif (ROS) dan pembentukan klot. Statin mengaktivasi
endotelium, ketersediaan nitric oxide (NO), membantu angiogenesis, neurogenesis, dan
sinaptogenesis. Pada model hewan coba, atorvastatin menunjukkan peningkatan vascular
endothelial growth factor (VEGF), proliferasi sel endogen, dan peningkatan kadar protein
sinapsis (synaptophysin). Data ini menunjukkan atorvastatin menginduksi plastisitas otak dan
memiliki aktivitas neurorestoratif. Terapi simvastatin pada model hewan coba menuunjukkan
penurunan kerusakan jaringan dan volume hematoma setelah 4 minggu, efek ini tidak didapatkan
pada atorvastatin. Perbedaan antara jenis statin ini kemungkinan berhubungan bahwa simvastatin
dapat menembus sawar darah otak lebih baik dan lebih memiliki efek neuroprotektif. Studi lain
pada model hewan coba menunjukkan atorvastatin tidak memiliki efek dalam penurunan
volume hematoma, tetapi didapatkan penurunan atrofi hemisferik dan ekspresi dari inducible
nitric oxide synthase (iNOS), myeloperoxidases (MPO), dan mikroglia.

Atorvastatin meningkatkan ekspresi endothelial nitric oxide synthase (eNOS) dan pemulihan
sensorimotor setelah ICH eksperimental dengan cara yang tergantung dosis. Kerusakan otak
berhubungan dengan apoptosis, yang distimulasi oleh molekul isyarat apoptosis Fas ligand
(FasL) dan TNF, mikroglia, iNOS dan kemungkinan oleh trombin. Dengan demikian,
menghambat iNOS oleh statin kemungkinan merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah
atrofi otak. Statin menghambat infiltrasi sitokin seperti TNF-α and IFN-γ setelah onset ICH.
Protein pengikat guanosine triphosphate (GTP) seperti Rho, Rac dan Ras, mengalami
isofrenilasi. Proses ini mempengaruhi kemampuan leukosit melewati sawar darah otah dan dapat
dihambat oleh statin. Statin menghambat produksi ROS dengan menurunkan ekspresi gen
angiotensin-1 reseptor dan inhibisi GTPase Rac1....

Efek pemakaian statin pada luaran klinis


Studi The Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL)
mengevaluasi atorvastatin dosis tinggi (80mg) dibandingkan placebo untuk insiden stroke fatal
dan non-fatal pada pasien dengan riwayat TIA atau stroke dalam jangka waktu 6 bulan. Studi ini
menunjukkan penurunan risiko absolut 5 tahun sebesar 2.2% pada pasien dengan atorvastatin
dosis tinggi. Analisis post-hoc dari efek terapi menunjukkan peningkatan signifikan terjadinya
stroke hemoragik pada kelompok atorvastatin dosis tinggi. Hasil Studi SPARCL ini
memunculkan pertanyaan terkait hubungan terapi statin dengan ICH: 1. Apakah terapi statin
meningkatkan risiko terjadinya ICH?; 2. Apakah inisiasi terapi statin pada ICH meningkatkan
luaran klinis?; 3. Apakah terapi statin tidak dilanjutkan pada pasien ICH yang sebelumnya sudah
mendapat terapi statin? Beberapa studi dan meta analisis telah dilakukan untuk menjawab
pertanyaan ini dengan hasil yang bervariasi.
Studi kasus-kontrol pada populasi jumlah besar di Swedia mengevaluasi hubungan antara terapi
statin jangka panjang dan ICH. Riwayat pengobatan pasien selama 6 bulan sebelum evaluasi.
Statin ditemukan sebagai agen protektif terhadap ICH untuk penggunaan obat bersamaan dan
penyakit komorbid. Analisis retrospektif lanjutan menunjukkan pasien dengan terapi statin
mengalami ICH dengan derajat lebih ringan. Beberapa studi meta analisis terkontrol melaporkan
tidak ada perbedaan kejadian ICH pada pasien dengan terapi statin dibandingkan tanpa statin.
Terapi statin pre-ICH berhubungan dengan peningkatan kemungkinan luaran positif, diukur
dengan skor modified Rankin Scale (mRS) dan Glasgow Outcome Scale. Studi meta analisis oleh
McKinney ( ) pada 31 studi kontrol acak, termasuk pasien dari studi SPARCL, menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan dari insiden ICH pada kelompok terapi statin. Meta analisis
ini menunjukkan tidak ada hubungan antara kadar LDL yang tercapai atau derajat penurunan
LDL dari baseline dan risiko ICH. Analisis ini juga menunjukkan penurunan yang signifikan
pada jumlah stroke total dan mortalitas pada kelompok dengan terapi statin. Panduan stroke
terkini tidak merekomendasikan menghindari terapi statin oleh karena risiko potensial ICH.
(Matre, 2016).

Saat ini belum ada studi prospektif acak yang secara adekuat mengevaluasi pengaruh pemberian
terapi statin pada luaran klinis mayor setelah kejadian ICH. Beberapa studi meta analisis
retrospektif menunjukkan peningkatan luaran mortalitas dan fugsional yang signifikan dengan
terapi statin setelah ICH, namun analisis ini tidak ada yang mendefinisikan rentang waktu inisiasi
terapi statin setelah ICH sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Dua studi tinjauan
database mengevaluasi pasien ICH tanpa terapi statin sebelumnya. Tinjauan pertama
menunjukkan pemberian statin pada awal onset tidak meningkatkan risiko ICH berulang.
Moralitas secara signifikan lebih rendah pada pasien yang mendapatkan terapi statin pada awal
onset. Tinjauan kedua mengevaluasi 3 dan 12 bulan luaran fungsional dan mortalitas. Luaran
fungsional meningkat dan angka mortalitas yang lebih rendah dalam 3 bulan dan 1 tahun pada
pasien yang mendapat terapi statin. Walaupun data ini belum pasti, namun hal ini menunjukkan
inisiasi terapi statin post-ICH dapat bermanfaat pada pasien dimana potensi manfaat lebih besar
daripada risiko yang dapat timbul.

Penghentian terapi statin setelah kejadian ICH pada pasien dengan terapi statin sebelumnya telah
dievaluasi pada beberapa studi retrospektif. Penghentian terapi statin setelah ICH berhubungan
secara bermakna dengan peningkatan mortalitas 30 hari. Selain itu, penghentian terapi statin
setelah ICH secara signifikan dikaitkan dengan penurunan keadaan pasien saat dipulangkan dan
status do not resuscitate (DNR). Hasil studi ini harus dilihat dengan hati-hati karena ada potensi
pembaur yang signifikan terkait dengan penghentian terapi statin, yaitu pengentian terapi secara
agresif dan transisi perawatan paliatif. Studi prospektif diperlukan untuk mengevaluasi secara
adekuat efek penghentian terapi statin pada keadaan ICH akut. Sampai bukti lanjut didapatkan,
melanjutkan terapi statin pada pasien ICH tetap disarankan selama tidak ada kontraindikasi dari
terapi.

Efek kadar lipid pada ICH


Kadar serum lipid rendah merupakan mekanisme yang diusulkan dapat meningkatkan risiko
terjadinya ICH. Beberapa studi klinis telah berusaha untuk mengevaluasi hubungan antara kadar
lipid plasma dan kejadian ICH. Sebuah analisis multivariat retrospektif pada 252 pasien dengan
stroke iskemik yang mendapat terapi tissue plasminogen acivator tidak menunjukkan korelasi
dengan kejadian ICH spontan pada pasien dengan terapi statin sebelumnya meskipun pasien
memiliki kadar LDL serum dan kolesterol total lebih rendah secara signifikan. Studi ini
menemukan hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar trigliserida serum dan
peningkatan kejadian ICH spontan. Keterbatasan dari penelitian ini adalah bahwa kadar lipid
hanya diambil 30 menit sebelum diberikan tissue plasminogen acivator dan kadar lipid puasa
tidak diukur. Analisis retrospektif berikutnya pada 381 pasien dengan ICH nontraumatik,
mengevaluasi faktor risiko, termasuk penggunaan statin dan konsentrasi lipid serum. Kadar LDL
dan kolesterol total berkorelasi terbalik dengan volume perdarahan pada pasien dengan dan tanpa
statin.

Anda mungkin juga menyukai