Anda di halaman 1dari 4

BAB 9

Gail W. Stuart
Penerjemah: Novy Helena Catharina Daulima

MERAWAT SECARA KOMPETEN

Contoh Klinis Perawat Kesehatan Jiwa

Penelope Chase, MSN, MEd, RN, CS

Saya sedang mengganti pesawat dalam perjalanan saya menuju Boston untuk menghadiri

acara reuni sekolah keperawatan saya. Saya bepergian sendiri dan tidak sedang ingin dikenal

dan butuh waktu untuk refleksi dan istirahat.

Ketika saya sampai di konter check-in di bandara, saya melihat seorang wanita muda duduk

didekat area tunggu. Tempat duduk dikedua sisinya kosong kecuali sebuah tas punggung yang

tergeletak di sebelah kirinya. Dia terlihat seperti habis menangis hebat atau mengubah

pikirannya tentang berada di tempat ini dan terburu-buru ingin menuju pintu keluar. Saya

menghentikan langkah saya untuk mengobservasi dia tanpa terlihat.

“Distres, butuh pertolongan, kerapuhan emosional” melintas dalam pikiran profesional saya,

sementara “jangan terlibat” melintas dalam pikiran pribadi saya, bersamaan dengan, “Kamu

sedang berlibur. Jangan menjadi terganggu. Rileks, kamu bukanlah satu-satunya orang yang

dapat menolongnya.” Jadi saya terus berjalan dan melakukan checked in. Saya memilih untuk

menunggu di sebuah tempat duduk di baris yang terletak di belakang wanita muda tersebut.

Dia membandingkan tiketnya dengan pengumuman keberangkatan dan duduk kembali di

kursinya. Sejenak kemudian, dia mengubah posisi duduknya dan meletakkan tangan

menutupi wajahnya.
Saya membaca sedikit novel saya, sambil tetap menjaga pandangan dan pendengaran saya

sesuai dengan arah duduknya. Saya mengalami kesulitan untuk konsentrasi pada bacaan saya

karena saya secara konstan terganggu dengan pikiran yang berlawanan, impresif “Lakukan

sesuatu ” dan “Biarkan saja.”

Saya masih memperhitungkan ketika panggilan naik pesawat saya terdengar. Wanita muda

tersebut melihat tiketnya, berdiri, dan bergabung dalam antrian. Saya duduk dan menunggu

sampai nomor barisan saya dipanggil. Ketika pramugari memeriksa boarding pass wanita

tersebut, dia melihat dengan sungguh-sungguh wajah penuh penderitaan tersebut dan

bertanya, “Apakah anda baik-baik saja?” Gadis tersebut mengangguk. “Apakah anda yakin?”

Anggukan lainnya, tetapi pramugari menghentikan proses pemeriksaan dan berbalik sekilas

untuk melihat gadis tersebut mulai berjalan menuju area boarding. Ini adalah saat dimana

kemudian saya memutuskan untuk menyelesaikan dilema penolong profesional saya. Saya

memperkenalkan diri saya kepada pramugari sebagai seorang perawat kesehatan jiwa dan

berkata jika ada kondisi darurat, mereka dapat memanggil saya. “Oh, anda memperhatikan dia

juga,” wanita tersebut tersenyum. “Terima kasih.”

Saya baru saja duduk nyaman ketika pramugari menghampiri saya. “Saya mencari dia di

komputer. Ini adalah pesawat darurat— kematian dalam keluarga.” “Oh,” saya berkata,

“kehilangan dan berduka merupakan spesialisasi saya. Saya akan senang untuk duduk

bersamanya jika ia menyukainya, tetapi hanya bila dia berkata bahwa ia suka bila seseorang

ada bersamanya.” Saya tiba-tiba teringat ketika bepergian sejauh 450 mil, nyaris sendirian, ke

upacara pemakaman adik laki-laki saya.

Dalam beberapa menit pranugari tersebut kembali dan berkata, “Dia berkata bahwa ia

menyukai ide tersebut.” Jadi saya mengambil tas saya dan pindah ke bagian belakang

pesawat. Ketika saya menghampiri tempat duduknya, wanita muda tersebut memandang

kepada saya. Saya tersenyum, memperkenalkan diri saya dan berkata saya merupakan
seseorang yang akan duduk disampingnya jika ia tidak keberatan. Dia mengangguk, mengatur

sebuah senyum yang pucat, dan berkata, “Terima kasih.”

Saya sedang mencoba memutuskan peran apa yang akan saya ambil. Saya tahu, sebagai

perawat kesehatan jiwa saya ingin mendukung dia dan representasi dari profesi saya, dan

saya juga menyadari bahwa dalam beberapa jam hubungan kami akan berakhir. Keterbatasan

waktu membantu saya fokus pada tujuan saya yang pada dasarnya menyediakan diri saya

sebagai pendukungnya.

Menyadari bahwa teman sebangku saya mungkin sedang pada tahap awal syok dalam

proses berdukanya dan kekurangan kemampuan koping yang biasa digunakan, saya

memutuskan untuk membuat sedikit kerangka untuknya. “Pramugari berkata kepada saya,

anda sedang mengalami kehilangan seseorang dalam keluarga anda. Turut berduka cita.,” Kata

saya. “Saya adalah seorang perawat yang bekerja dengan orang-orang yang akan mengalami

kehilangan. Anda dapat berbicara tentang hal tersebut jika anda menginginkannya, atau hanya

sekedar duduk disini dan membaca buku tersebut. Terserah anda.” Saya menawarkan dua

pilihan sederhana.

Dia duduk dengan tenangnya tetapi dengan sedikit perubahan ekspresi wajah, dan saya

berpikir dia siap untuk berbicara. Saya fokuskan perhatian saya secara lembut kepadanya dan

menunggu. “Dia tidak seharusnya meninggal. Dia sedang pergi untuk mendapatkan

kemoterapi,” katanya. Ketika kisahnya dibuka, saya mendengarkan, mengklarifikasi pertanyaan

sekali-kali dan mengenali kata-kata dan penderitaannya. Diantara sedikit konten, saya belajar

bahwa perempuan yang menjadi sahabat keluarga dan adiknya menemui dia di bandara.

Terhadap satu poin dia berkata dengan sedih,” Sekarang dia tidak akan pernah melihat

cucunya lagi”dan membenamkan kepalanya di pundak saya dan terisak sebentar. Setelah

sejenak dia berkata, “Saya pikir Saya butuh tidur.” Kedengarannya seperti sebuah ide yang

bagus untuk saya. Ketika dia tidur, saya mengevaluasi apa yang telah dibuka dan pemikiran
tentang kemana akan pergi dari sini. Saya membutuhkan sebuah rencana untuk menutup,

untuk terminasi tindakan saya.

Saya berpikir seberapa lama dia harus berdiri di lorong menunggu untuk dapat keluar dari

pesawat besar ini. Saya bertanya kepada pramugari jika terjadi sesuatu maka wanita muda

tersebut menjadi penumpang pertama yang keluar pesawat. Kami dipindahkan ke area kelas

utama dekat pintu setelah dia bangun. Kami berbicara singkat tentang bagaimana dia ingin

berangkat. Saya membiarkan dia tahu saya bersedia untuk meninggalkan pesawat bersamanya

jika dia menginginkannya dan saya pikir dia dapat mengelola “baik-baik saja” tanpa saya duga

seperti biasa. “Saya akan baik-baik saja,” katanya, memberikan kepada saya sebuah pelukan

karena kita telah berdiri menuju suatu area.

“Anda tidak mengetahui betapa kami mengapresiasi hal ini,” pramugari berkata kepada saya

dengan kontak mata yang tulus. Saya menerima ungkapan terima kasihnya. Saya

menyampaikan kepada teman sebangku saya untuk maju mendahului saya. Ketika kami

sampai di area tunggu, saya melihat sambil bertanya-tanya tentang dia untuk melihat

bagaimana ia mengelolanya. “Saya telah mendapatkannya,” dia berkata dan memberikan

kepada saya tanda jempol. Saya tersenyum dan berjalan. Saya telah bertemu dengan dua

teman sekelas dan merasa jelas, reflektif dan sangat gembira. Saya merasa bahwa

kemampuan klinis saya telah memengaruhi hasil secara positif. Saya merasa telah melakukan

tanggung jawab professional dan sikap caring. Saya merasa nyaman menjadi seorang perawat

kesehatan jiwa.

Anda mungkin juga menyukai