OLEH
KELOMPOK 5
Kingdom :Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : perfringens
Binomial : Clostridium perfringens
Beberapa karakteristik dari bakteri ini adalah non-motil (tidak bergerak), sebagian
besar memiliki kapsul polisakarida, dan dapat memproduksi asam dari laktosa. C.
perfringens dapat ditemukan pada makanan mentah,
terutama daging dan ayam karena kontaminasi tanah atau tinja. Bakteri ini dapat
hidup pada suhu 15-55 °C, dengan suhu optimum antara 43-47 °C. Clostridium
perfringens dapat tumbuh pada pH 5-8,3 dan memiliki pH optimum pada kisaran
6-7. Sebagian C. perfringens dapat menghasilkan enterotoksin pada saat
terjadi sporulasi dalam usus manusia. Spesies bakteri ini dibagi menjadi 6 tipe
berdasarkan eksotoksin yang dihasilkan, yaitu A, B, C, D, E dan F. Sebagian besar
kasus keracunan makanan karena C. perfringens disebabkan oleh galur tipe A, dan
ada pula yang disebabkan oleh galur tipe C.
Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan
flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat
tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin
yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Sayuran dan buah-buahan akan
terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan
olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari
lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Makanan-makanan kering
sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora lainnya. Ketahanan spora
bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain. Secara garis besar spora dapat
dibagi dalam dua kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90° Celsius selama 15
sampai 145 menit) dan spora yang tidak tahan panas (90° Celsius, 3 sampai 5
menit). Spora yang tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100
derajat Celsius selama 5 sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora
menjadi bentuk sel vegetatif
Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan dapat
bertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan yang secara
mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan
makanan yang kurang sempurna, memperlambat pergerakan usus, menproduksi
gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan
yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah
dan lembab juga terlihat diinginkan oleh bakteri ini.
Beberapa strain Clostridium menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang
membaik tanpa pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis berat,
yang sering berakibat fatal. Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh perebusan,
sedangkan yang lainnya dapat. Daging yang tercemar biasanya merupakan
penyebab terjadinya keracunan makanan karena Clostridium perfringens.
Sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Hewan IPB
meneliti tentang kandungan Clostridium perfringens dalam karkas daging sapi di
beberapa kios di kota Bogor. Untuk pengujian C.perfringens, sebanyak 33 sampel
daging karkas dan daging giling diambil dari dua kios penjualan daging di pasar
tradisional dan tiga kios di pasar swalayan. Hasil pengujian menunjukkan semua
sampel presumptif positif C. perfringens dan 84,4% diantaranya merupakan C.
perfringens tipe A.
Bentuk C. perfringens yang mengkontaminasi sampel daging adalah sel vegetatif.
Keadaan ini menunjukkan nutrisi pada sampel daging pada saat pengujian masih
cukup untuk pertumbuhan C. perfringens, yang berarti fase stationer bakteri belum
tercapai.Tidak ditemukan spora C. perfringens pada sampel.
Kejadian C. perfringens pada daging karkas dan daging giling di pasar tradisional
lebih tinggi dibandingkan di pasar swalayan, sedangkan untuk daging giling
tingkat kontaminasinya lebih tinggi. Hal ini disebabkan daging giling
menyediakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri,
permukaan yang luas dan selama proses penggilingan menyebabkan bakteri
terdistribusi secara merata ke seluruh produk.
Maka hasil penelitian pada daging sapi yang dijual di beberapa kios daging di
pasar tradisional dan pasar swalayan di kota Bogor, hanya satu sampel daging
yang memenuhi persyaratan SNI, yaitu sampel dari kios daging di pasar swalayan.
Efuntoye dan Adetosoye (2004) melaporkan bahwa 3% kasus diare sporadik pada
balita Nigeria disebabkan oleh Clostridium sp., dimana 72% diantaranya adalah
Clostridium perfringens tipe A yang mengkontaminasi susu formula bayi.
Spora Clostridium perfringens nampak lebih cepat melakukan germinasi pada susu
formula yang dipreparasi pada suhu 70o C. Suhu tersebut merupakan heat shock
untuk spora Clostridium perfringens, sehingga spora terangsang untuk berubah
menjadi sel vegetatif dan melakukan multiplikasi.
Dengan demikian preparasi susu dengan air matang yang didinginkan sampai suhu
25o C tetap aman dari segi risiko Clostridium perfringens, asal air yang digunakan
dididihkan dengan benar yaitu selama minimal 2 menit, melakukan cuci tangan
dengan sabun dan air bersih sebelum preparasi, dan mencuci tempat minum dengan
sabun dan air bersih serta merebusnya dalam air sampai mendidih (FAO/WHO,
2006). Setelah dipreparasi, susu sebaiknya tidak disimpan terlalu lama pada suhu
ruang karena akan menggandakan jumlah mikroba didalamnya. Untuk
meminimalkan risiko, disarankan untuk sesegera mungkin mengkonsumsi susu
formula yang telah dilarutkan dan memperpendek waktu konsumsi (feeding time)
menjadi hanya dua jam, dan susu yang tidak habis diminum harus dibuang (Codex
Alimentarius Commision, 2007).
Toksin epsilon yang diekspresikan oleh gen etx (epsilon toxin) hanya diproduksi
oleh Clostridium perfringens tipe B, D, dan E. Toksin ini adalah protein prmbentuk
pori-pori dan menyebabkan keluarnya kalium dan cairan dari sel.
Toksin iota, aktif secara biologis dan terdiri dari komponen kompleks dua (2)
protein dan hanya diproduksi oleh Clostridium tipe E. Toksin iota juga
menghasilkan aktivititas ADP-ribosyltransferase. Enterotoksin E yang
diekspresikan oleh cpe (enterotoxin) adalah satu-satunya toksin yang tidak
disekresikan dari sel vegetatif, tetapi dihasilkan selama sporulasi. Saat sporulasi
telah selesai, sel akan pecah dan elepaskan enterotoksin. Gen cpe telah ditemukan
di dalam kromosom dan plasmid Clostridium perfringens yang diisolasi dari
manusia dan hewan ternak.
Keracunan perfringens secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang
mulai terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung
banyak C. perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan. Penyakit ini
biasanya sembuh dalam waktu 24 jam, namun pada beberapa individu, gejala ringan
dapat berlanjut sampai 1 hingga 2 minggu. Beberapa kasus kematian dilaporkan
akibat terjadi dehidrasi dan komplikasi-komplikasi lain.
Dosis infektif – Gejala muncul akibat menelan sejumlah besar (lebih dari 10 8 ) sel
vegetatif. Produksi racun di dalam saluran pencernaan (atau di dalam tabung reaksi)
berhubungan dengan proses pembentukan spora. Penyakit ini merupakan infeksi
pada makanan; hanya satu sajian memungkinkan terjadinya keracunan (penyakit
timbul karena racun yang terbentuk sebelum makanan dikonsumsi)
F. PENGARUH TOKSIN CLOSTRIDIUM PERFRINGENS TERHADAP
KESEHATAN
Toksin alfa adalah toksin nekrotis yang diproduksi oleh semua strain dari A sampai
E. Pada manusia, toksin yang telah dimurnikan dapat menyebabkan penyakit
pulmoner akut, pelebaran vaskuler, hemolisis, thrombocyopeni, dan kerusakan
hepar. Sedankan toksin beta adalah toksin yang lebih mematikan yang ditemukan
pada strain B dan C.
Sedangkan toksin beta adalah toksin sitolisin yang labil terhadap oksigen. Toksin
ini dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan
leukostasisi, thormbosis, penurunan perfusi dan hipoksi jaringan. Toksin beta juga
menstimulasi pelepasan sitokin dan dapat menyebabkan syok.
Dua toksin Clostridium perfringens yaitu enterotoksin dan toksin beta, tidak
tergantung pada strain tertentu. Enterotoksin adalah toksin utama yang
bertanggung jawab atas terjadinya keracunan makanan. Toksin beta telah
dikaitkan dnegan kasus entritis yang terjadi pada babi.
Infeksi luka;
Kontaminasi terhadap luka dapat menyebabkan terjadinya gangrene gas, selulit
clostridial atau kontaminasi superfisial. Gangrene gas/ myonecrosis dihasilkan dari
pertumbuhan Clostridium perfringens dan toksin dihasilkan pada luka. Lebih jauh
lagi, akan terjadi nekrosis pada jaringan lokal dengan penyebaran bakteri yang lebih
luas. Gejala yang sering terjadi adalah demam dan rasa sakit pada daerah yang
terinfeksi. Ketika nekrosis yang terjadi semakin parah, jaringan otot akan berbercak
ungu dan menjadi edema dengan exudate yang bergelembung dan berbau busuk.
Toxemia akan menghasilkan hemolisis dalam jumlah besar, syok, dan gagal ginjal.
Gangrene gas dapat berakibat fatal dalam waktu singkat apabila tidak ada tindakan
yang sesuai yang dapat dilakukan.
Kulit yang tidak pecah dan membran mukosa merupakan barrier mekanik yang
efektif untuk kuman penyebab infeksi. Permukaan kulit juga merupakan
penghambat untuk pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme karena rendahnya
kelembaban, rendahnya pH, dan adanya senyawa penghambat yang disekresikan.
Akan tetapi, dalam hal ini beberapa mikroorganisme mungkin dapat memasuki kulit
melewati folikel rambut, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan luka lecet. Serupa
dengan kulit, membran mukosa terdiri dari lapisan epitel dan lapisan jaringan
penghubung yang mendasarinya. Lapisan tersebut merupakan jalur untuk
memasuki saluran pencernaan, pernapasan, urin, dan reproduksi. Lapisan epitel dari
membran mukosa mengeluarkan mukus, suatu cairan kental yang mencegah
kekeringan saluran dan 203 membantu mengeluarkan atau membersihkan beberapa
mikroorganisme yang ada. Sekresi mukosa terkumpul dan menahan beberapa
mikroorganisme sampai mereka dibersihkan atau kehilangan infektivitasnya.
Untuk membantu barrier mekanik seperti kulit dan membran mukosa, senyawa
kimia yang dikeluarkan dan bertindak sebagai antimikroba merupakan suatu
komponen penting dari pertahanan eksternal. Sebagai contoh, sekresi beberapa
senyawa dari membran mukosa, termasuk enzim, yang dapat merusak efektivitas
mikroba. Lebih khusus, lisozime merupakan suatu enzim yang ditemukan dalam
sejumlah cairan tubuh dan sekresi seperti air mata; yang dapat memecah dinding
sel dengan menghidrolisis peptidoglikan bakteri Gram-positif dan sebagian kecil
bakteri Gram-negatif. Suatu senyawa berminyak yang disebut sebum dihasilkan
oleh kelenjar sebasea kulit; yang mencegah kekeringan rambut dan menjadi rapuh
serta membentuk suatu pelindung permukaan kulit. Sebum mengandung asam
lemak takjenuh, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Getah
lambung dihasilkan oleh kelenjar lambung. Merupakan suatu campuran HCl,
enzim,dan mukus. Keasaman yang tinggi pada getah lambung (pH 1,2 sampai 3)
cukup untuk membunuh sebagian besar mikroorganisme.
Keasaman dan kebasaan yang ekstrim pada cairan tubuh memiliki efek merusak
pada beberapa mikroorganisme dan mencegah patogen potensial yang dapat
memasuki cairan tubuh. Sebagai contoh, keasaman yang tinggi pada vagina orang
dewasa selama bertahun-tahun melindungi aktivitas permukaan membran ovarium
dari serangan kolonisasi berbagai tipe mikroorganisme patogen. Protein lain yang
diketahui memiliki aktivitas antimikroba adalah laktoferin, suatu protein yang
mengandung besi, oranye-merah ditemukan dalam susu juga pada sebagian besar
sekresi permukaan mukosa manusia (termasuk mukus bronchial, saliva, kotoran
hidung, air mata, empedu hati, getah pankreas, cairan semen dan urin). Juga suatu
komponen penting dari granula sel fagosit. Serum transferin, juga berwarna
oranyemerah jika jenuh dengan besi. Protein ini mengikat atau menambatkan, besi
yang tersedia di lingkungan, maka akan membatasi tersedianya nutrien mineral
esensial ini untuk serbuan mikroorganisme.
1. Inflamasi
Respon inflamasi atau peradangan merupakan reaksi vaskuler dan seluler terhadap
adanya serbuan mikroorganisme, kerusakan, atau bahan iritan, seperti serpihan.
Peradangan merupakan satu dari sebagian besar mekanisme pertahanan yang efektif
pada hewan. Bukti dari respon peradangan dapat diamati selama reaksi tubuh
terhadap suatu bahan sederhana seperti duri dalam daging. Sesudah beberapa jam
daerah tersebut menjadi merah, selanjutnya membengkak dan menyakitkan. Daerah
tersebut nampaknya lebih hangat dibandingkan jaringan di sekelilingnya. Memerah
dan panas disebabkan oleh peningkatan aliran darah, pembuluh darah yang
membawa darah ke daerah yang membesar (pembesarannya disebut vasodilatasi),
saat darah mengalir dari daerah yang menyempit. Permeabilitas kapiler meningkat,
menyebabkan pengaliran cairan dan sel darah ke dalam tempat tersebut; hal ini
menyebabkan pembengkakan dan rasa sakit (disebabkan peningkatan tekanan).
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dipicu oleh senyawa kimia berracun
(histamin) yang dilepas dari sel yang rusak pada tempat terjadinya kerusakan.
2. Demam
Pada manusia, suhu tubuh harian adalah 37°C. Suhu tubuh yang tetap ini
dikendalikan oleh suatu “termostat tubuh” pada bagian otak yang disebut
hypotalamus; termostat ini secara normal menentukan suhu tubuh pada 37°C.
Selama infeksi, senyawa tertentu mempengaruhi hypotalamus, merubah termostat
pada suhu yang lebih tinggi. Di antara senyawa penyebab demam tersebut adalah
endotoxin dari bakteri Gram-negatif; sebagai contoh, seberat 2 ng per kilogram
berat tubuh endotoxin dari Salmonella typhi (kuman penyebab demam tifoid) dapat
menghasilkan suatu demam 43°C. Senyawa lain penyebab-demam adalah pyrogen
endogen, dihasilkan oleh sel fagosit tubuh dan terdapat dalam eksudat peradangan
dan plasma selama adanya penyakit. (Suatu pyrogen merupakan beberapa senyawa
penyebab demam). Demam terjadi sampai endotoxin atau pyrogen endogen
dihilangkan; pada saat tersebut termostat kembali ke 37°C. Respon imun tubuh
terhadap suatu infeksi juga dapat menyebabkan demam. Sebagai tanda meredanya
infeksi, mulai bekerja mekanisme penurunan panas seperti vasodilatasi dan
pengeluaran keringat.
DAFTAR PUSTAKA
Arisma,Dr.MB. M.kes. 2009. Keracunan makanan: buku ajar ilmu gizi. penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.
Natalia, Lily dan A. Priadi. 2003. Clostridial Necrotic Enteritis: Peranan Vaksinasi
Koksidiosis terhadap Kejadian Penyakit pada Ayam Pedaging. JITV
Windiana, Dwi et al. Isolasi C. Perfringens Tipe A dari Daging Sapi yang Dijual
di Beberapa Kios Daging di Kota Bogor dan Resistensinya Terhadap
Antimikroba. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan