Anda di halaman 1dari 19

BAKTERI CLOSTRIDIUM PERFRINGENS

(MAKALAH TOKSIKOLOGI DAN KEAMANAN HASIL PERTANIAN)

OLEH

KELOMPOK 5

Indah Khoirunisa 1314051022


Intan Ramadhani 1314051023
Lintang Harwina 1314051027
Oke Puspa Ningrum 1314051037
Rani Anggraini 1314051038
Ryan Farkhan 1314051043
Venni Elsa 1314051049

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
A. DEFINISI BAKTERI CLOSTRIDIUM PERFRINGENS

Bakteri adalah suatu kelompok mikroorganisme prokariotik bersel tunggal yang


sangat beragam dan terdapat dimana-mana. Bakteri tersusun atas dinding sel dan isi
sel. Di sebelah luar dinding sel terdapat selubung atau kapsul. Di dalam sel bakteri
tidak terdapat membrane dalam (endomembran) dan organel bermembran sperti
kloroplas dan mitokondria.

Clostridium perfringens adalah spesies bakteri gram-positif yang dapat


membentuk spora dan menyebabkan keracunan makanan. Bakteri yang memiliki
gram positif, umunya tidak selalu diwarnai dengan pewarna gram positif.
Reproduksi umunya dengan pembelahan biner. Bakteri pada kategori ini
memproduksi spora sebagai bentuk dormannya (endorspora). Organism ini
umumnya khemosintetis heterotrof.

Klasifikasi dari bakteri Clostridium perfringens:

Kingdom :Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : perfringens
Binomial : Clostridium perfringens

Beberapa karakteristik dari bakteri ini adalah non-motil (tidak bergerak), sebagian
besar memiliki kapsul polisakarida, dan dapat memproduksi asam dari laktosa. C.
perfringens dapat ditemukan pada makanan mentah,
terutama daging dan ayam karena kontaminasi tanah atau tinja. Bakteri ini dapat
hidup pada suhu 15-55 °C, dengan suhu optimum antara 43-47 °C. Clostridium
perfringens dapat tumbuh pada pH 5-8,3 dan memiliki pH optimum pada kisaran
6-7. Sebagian C. perfringens dapat menghasilkan enterotoksin pada saat
terjadi sporulasi dalam usus manusia. Spesies bakteri ini dibagi menjadi 6 tipe
berdasarkan eksotoksin yang dihasilkan, yaitu A, B, C, D, E dan F. Sebagian besar
kasus keracunan makanan karena C. perfringens disebabkan oleh galur tipe A, dan
ada pula yang disebabkan oleh galur tipe C.

B. PRODUK PANGAN YANG POTENSI SEBAGAI PEMBAWA


PENYAKIT DARI CLOSTRIDIUM PERFRINGENS

Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan
flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat
tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin
yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Sayuran dan buah-buahan akan
terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan
olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari
lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Makanan-makanan kering
sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora lainnya. Ketahanan spora
bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain. Secara garis besar spora dapat
dibagi dalam dua kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90° Celsius selama 15
sampai 145 menit) dan spora yang tidak tahan panas (90° Celsius, 3 sampai 5
menit). Spora yang tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100
derajat Celsius selama 5 sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora
menjadi bentuk sel vegetatif

Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan dapat
bertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan yang secara
mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan
makanan yang kurang sempurna, memperlambat pergerakan usus, menproduksi
gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan
yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah
dan lembab juga terlihat diinginkan oleh bakteri ini.
Beberapa strain Clostridium menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang
membaik tanpa pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis berat,
yang sering berakibat fatal. Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh perebusan,
sedangkan yang lainnya dapat. Daging yang tercemar biasanya merupakan
penyebab terjadinya keracunan makanan karena Clostridium perfringens.

1. Clostridium perfringens dalam daging sapi

Clostridium perfringens tersebar luas di lingkungan dan merupakan bakteri yang


umum dijumpai pada isi gastrointestinal hewan maupun manusia, karena itu
kontaminasi pada bahan pangan mentah asal hewan sangat sering. Dalam suatu
penelitian, C. perfringens ditemukan 50% pada sampel daging sapi giling, 29%
pada karkas sapi, 66% pada karkas babi dan 85% pada karkas domba (ZAIKA,
2003). Daging sapi dan ayam adalah pembawa penyakit asal pangan dari C.
perfringens tipe A (TAORMINA et al., 2003).

Banyak faktor berkontribusi terhadap kontaminasi C. perfringens pada daging,


antara lain lewat kulit, rambut, tanah, isi traktus gastrointestinal, air, polusi udara,
dan peralatan yang digunakan pada saat pemotongan hewan. Selanjutnya
kontaminasi dapat disebarkan melalui pisau, sepatu, lap, tangan dan baju
(GRACEY, 1986). Ketersediaan alat pendingin di kios daging juga bermanfaat
untuk menghambat pertumbuhan C. perfringens, sebab bakteri tersebut
merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh optimum pada suhu 43 – 47o C, dimana
pada suhu 4oC sekitar 75% sel vegetatif mengalami kerusakan (CRAVEN, 2001).

Sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Hewan IPB
meneliti tentang kandungan Clostridium perfringens dalam karkas daging sapi di
beberapa kios di kota Bogor. Untuk pengujian C.perfringens, sebanyak 33 sampel
daging karkas dan daging giling diambil dari dua kios penjualan daging di pasar
tradisional dan tiga kios di pasar swalayan. Hasil pengujian menunjukkan semua
sampel presumptif positif C. perfringens dan 84,4% diantaranya merupakan C.
perfringens tipe A.
Bentuk C. perfringens yang mengkontaminasi sampel daging adalah sel vegetatif.
Keadaan ini menunjukkan nutrisi pada sampel daging pada saat pengujian masih
cukup untuk pertumbuhan C. perfringens, yang berarti fase stationer bakteri belum
tercapai.Tidak ditemukan spora C. perfringens pada sampel.

Kejadian C. perfringens pada daging karkas dan daging giling di pasar tradisional
lebih tinggi dibandingkan di pasar swalayan, sedangkan untuk daging giling
tingkat kontaminasinya lebih tinggi. Hal ini disebabkan daging giling
menyediakan lingkungan yang menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri,
permukaan yang luas dan selama proses penggilingan menyebabkan bakteri
terdistribusi secara merata ke seluruh produk.
Maka hasil penelitian pada daging sapi yang dijual di beberapa kios daging di
pasar tradisional dan pasar swalayan di kota Bogor, hanya satu sampel daging
yang memenuhi persyaratan SNI, yaitu sampel dari kios daging di pasar swalayan.

2. Clostridium perfringens dalam ayam pedaging

Clostridium perfringens diyakini sebagai penyebab dari adanya kejadian enteritis


nekrotika pada ayam pedaging. Clostridium perfringens adalah mikroflora normal
yang terdapat dalam saluran usus ayam. Pada keadaan sehat jumlah populasi C.
perfringens dalam usus ayam adalah kurang dari 102 colony forming unit (CFU)
per gram (SHANE et al., 1984; BABA et al., 1997). Karena adanya faktor-faktor
predisposisi seperti bahan baku pakan, jenis litter dan infeksi koksidia yang dapat
menyebabkan kerusakan usus (ELWINGER et al., 1992; SLUIS, 2000b;
CRAVEN, 2000; ANNETT et al., 2002), jumlah C. perfringens terutama tipe A
dan C dapat meningkat dari keadaan normal hingga mencapai 106 sampai 108
colony forming unit (CFU) per gram (HUTCHISON dan RIDDEL, 1990). C.
perfringens A dan C ini dapat menghasilkan toksin α dan β yang menyebabkan
kerusakan usus (enteritis nekrotika), kematian dan pengafkiran hati pada
pemotongan (HUTCHISON dan RIDDEL, 1990). Kasus clostridial necrotic
enteritis pada ayam pertama kali dilaporkan oleh PARISH (1961) yang ditandai
dengan adanya nekrosis yang hemorragis pada mukosa usus ayam.
Di Indonesia, kasus enteritis nekrotika yang disebabkan C. perfringens toksigenik
telah sering ditemukan (SETYONO, 1992; NATALIA, 1999; HADI, 1999).
Kejadian koksidiosis, diduga merupakan predisposisi bagi timbulnya penyakit ini
(SETYONO, 1992; SLUIS, 2000b; BABA et al., 1997). Perlukaan mukosa usus
akibat koksidiosis akan menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan C.
perfringens sehingga populasi C. perfringens akan meningkat dengan jelas
terutama pada usus bagian atas (jejunum dan ileum) dan kemudian terjadilah
enteritis nekrotika (BABA et al., 1997).

3. Clostridium perfringens dalam susu formula

Efuntoye dan Adetosoye (2004) melaporkan bahwa 3% kasus diare sporadik pada
balita Nigeria disebabkan oleh Clostridium sp., dimana 72% diantaranya adalah
Clostridium perfringens tipe A yang mengkontaminasi susu formula bayi.

Sebuah jurnal meneliti tentang pengaruh berbagai kondisi preparasi dan


penyimpanan susu formula pada pertumbuhan spora Bacillus cereus
dan Clostridium perfringens. Hasil analisis menyebutkan bahwa pertumbuhan
spora Clostridium perfringens yang berpengaruh nyata pada waktu penyimpanan
di suhu ruang. Suhu awal preparasi berhubungan sangat lemah terhadap
pertumbuhan spora Clostridium perfringens, sedangkan lama penyimpanan di
suhu ruang berhubungan sangat kuat pada pertumbuhan spora Clostridium
perfringens di dalam larutan susu formula. Penelitian Rowan et al., (1997) pada
100 merek susu bayi yang dipreparasi pada berbagai suhu juga menunjukkan hasil
yang serupa.

Spora Clostridium perfringens nampak lebih cepat melakukan germinasi pada susu
formula yang dipreparasi pada suhu 70o C. Suhu tersebut merupakan heat shock
untuk spora Clostridium perfringens, sehingga spora terangsang untuk berubah
menjadi sel vegetatif dan melakukan multiplikasi.
Dengan demikian preparasi susu dengan air matang yang didinginkan sampai suhu
25o C tetap aman dari segi risiko Clostridium perfringens, asal air yang digunakan
dididihkan dengan benar yaitu selama minimal 2 menit, melakukan cuci tangan
dengan sabun dan air bersih sebelum preparasi, dan mencuci tempat minum dengan
sabun dan air bersih serta merebusnya dalam air sampai mendidih (FAO/WHO,
2006). Setelah dipreparasi, susu sebaiknya tidak disimpan terlalu lama pada suhu
ruang karena akan menggandakan jumlah mikroba didalamnya. Untuk
meminimalkan risiko, disarankan untuk sesegera mungkin mengkonsumsi susu
formula yang telah dilarutkan dan memperpendek waktu konsumsi (feeding time)
menjadi hanya dua jam, dan susu yang tidak habis diminum harus dibuang (Codex
Alimentarius Commision, 2007).

Kelembapan udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan spora Clostridium


perfringens, dimana semakin terbuka bubuk susu formula disimpan semakin
meningkat potensi spora untuk bertahan dan melakukan germinasi. Berdasaarkan
hasil analisis di jurnal tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan spora Clostridium
perfringens berbeda secara signifikan mulai dari hari pertama penyimpanan, yaitu
tinggi pada hari pertama, menurun pada hari kedua, meningkat tajam pada hari
ketiga, dan menurun lagi pada hari keempat. Penurunan tersebut kemungkinan
karena Clostridium perfringens semakin kontak dengan oksigen yang ada di udara
(sebab bakteri Clostridium perfringens adalah jenis bakteri aerotoleran yang bisa
tumbuh dalam kondisi sedikit oksigen). Aktivitas air juga sangat mempengaruhi
pertumbuhan spora Clostridium perfringens, nilai aw 0.65 atau lebih perlu
diwaspadai. Decaudin dan Tholozan (1995) melihat bahwa kondisi dan strain yang
berbeda sangat mempengaruhi pola pertumbuhan dan sporulasi Clostridium
perfringens.

Batasan maksimum cemaran Clostridium perfringens dalam pangan menurut


standar SNI 7388:2009

No. Kategori Pangan Batas Maksimum


1. Sayuran kaleng negatif/gram
2. Buah kaleng negatif/gram
3. Daging olahan dan daging ayam olahan 1 x 102 koloni/gram
(bakso, sosis, nugget, burger)
4. Sosis masak (tidak dikalengkan, siap 10 koloni/gram
konsumsi)
5. Corned beef dalam kaleng, sosis dalam kaleng negatif/gram
6. Herba dan rempah-rempah 1 x 103 koloni/gram
7. Kondimen dan bumbu lainnya 1 x 102 koloni/gram
8. Sup instan bubuk (termasuk sup krim instan 1 x 102 koloni/gram
bubuk)
9. Minuman kopi dalam kemasan negatif/100 ml

C. TOKSIN-TOKSIN YANG DIHASILKAN OLEH CLOSTRIDIUM


PERFRINGENS

Clostridium perfringens merupakan bakteri gram positif yang berbentuk spora.


Bakteri ini merupakan bakteri patogen bagi manusia dan hewan. Spora-spora
Clostridium perfringens ini akan membentuk suatu strain atau barisan spora. Ada
lima (5) strain Clostridium perfringens yang saat ini dikenal oleh dunia dan kelima
strain ini sama-sama memberikan efek toksin yang mematikan. Sebenarnya,
Clostridium perfringens dapat menghasilkan 15 macam toksin yang berbeda,
namun ada toksin-toksin terkenal yang paling banyak ditemui, yaitu adalah toksin
Alfa, Beta, Epsilon, dan Iota. Berikut ini adalah toksin-toksin yang dihasilkan oleh
kelima strain Clostridium perfringens:

Strain Clostridium perfringens Toksin yang dihasilkan


Tipe A Alfa
Tipe B Alfa, beta, epsilon
Tipe C Alfa, beta
Tipe D Alfa, epsilon
Tipe E Alfa, iota
Toksin alfa yang diekspresikan dari gen cpa (alpha toxin) adalah fosfolipase
C dan toksin ini dihasilkan oleh semua strain Clostridium perfringens, baik tipe A,
B, C, D, maupun E. Toksin alfa memiliki sifat letal yang sebanding dengan laju
pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida.
Toksin beta, yang di ekspresikan oleh gen cpb (beta toxin) dihasilkan oleh
Clostridium perfringens tipe B dan C. Toksin ini mempunya efek hemolitik dan
nekrotik yang serupa, tetapi bukan suatu lesitinase. Selain itu, dihasilkan pula enzim
DNAse dan hialuronidase, suatu kolagense yang mencerna kolagen jaringan
subkutan dan otot.

Toksin epsilon yang diekspresikan oleh gen etx (epsilon toxin) hanya diproduksi
oleh Clostridium perfringens tipe B, D, dan E. Toksin ini adalah protein prmbentuk
pori-pori dan menyebabkan keluarnya kalium dan cairan dari sel.

Toksin iota, aktif secara biologis dan terdiri dari komponen kompleks dua (2)
protein dan hanya diproduksi oleh Clostridium tipe E. Toksin iota juga
menghasilkan aktivititas ADP-ribosyltransferase. Enterotoksin E yang
diekspresikan oleh cpe (enterotoxin) adalah satu-satunya toksin yang tidak
disekresikan dari sel vegetatif, tetapi dihasilkan selama sporulasi. Saat sporulasi
telah selesai, sel akan pecah dan elepaskan enterotoksin. Gen cpe telah ditemukan
di dalam kromosom dan plasmid Clostridium perfringens yang diisolasi dari
manusia dan hewan ternak.

D. PROSES INFEKSI CLOSTRIDIUM PERFINGENS

Secara umum infeksi merupakan kemampuan mikroorganisme masuk dan


berkembang biak dalam tubuh inang. Bakteri mempunyai cara untuk dapat masuk
tubuh inang dan bertahan dalam tubuh inang setelah dapat melewati (Jawest
et.al.,1986):
1. Menembus barrier tubuh inang bagian luar dan mampu masuk ke dalam sel inang,

2. Mampu bertahan dan berkembang biak di dalam sel inang

Clostridium perfringens terdapat dimana-mana: strain tipe A biasa ditemukan


dalam saluran intestinal manusia dan hewan dan terdapat banyak dalam
tanah dalam bentuk vegetatif dan bentuk spora. Infeksi dapat terjadi oleh
endogenus dan eksogenus clostridia. Pada luka traumatik, kecelakaan atau luka
perang, sumber clostridia biasanya
adalah tanah yang terbawa ke dalam jaringan, kejadian kontaminasi dan infe
ksi bergantung pada konsentrasi C. perfringens dalam tanah, yang berbeda-
beda menurut letak geografis. Infeksi endogenus berasal dari flora fekal yang
terdapat pada kulit luka atau dari clostridia yang keluar dari usus besar ketika terjadi
luka karena penyakit, luka traumatik, atau pembedahan. Clostridium
perfringens biasa ditemukan pada infeksi sebagai komponen dari flora normal.
Infeksi yang di sebabkan oleh C. perfringens menunjukkan nekrosis jaringan,
bakteremia, kolesistitis emphysematous, dan gangren gas, yang juga dikenal
sebagai myonecrosis clostridial ( Arisma,2009).

Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan


melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah,feses) atau dari saluran
usus. Spora berkembangbiak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah, sel-
sel vegetative berkembangbiak, meragikan karbohidrat yang terdapat dalam
jaringan dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah
terjadi , bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim
hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan bertambah luas,
memberi kesempaan untuk peninkatan pertumbyhan bakateri, anemia hemolitik,
dan akhirnya toksemia berat dan kematian ( Arisma,2009).

Keracunan perfringens didiagnosis dari gejala-gejalanya dan waktu dimulainya


gejala yang agak lama setelah infeksi. Lamanya waktu antara infeksi dan timbulnya
gejala merupakan ciri khas penyakit ini. Keracunan perfringens secara umum
dicirikan dengan kram perut dan diare. Masa inkubasi infeksi yang mulai terjadi 8-
12 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak C. Perfringens.
(Jawest et.al.,1986)

E. EPIDEMIOLOGI KEJADIAN PENYAKIT YANG DISEBABKAN


CLOSTRIDIUM PERFINGENS

Keracunan makanan ´perfringens´ merupakan istilah yang digunakan untuk


keracunan makanan yang disebabkan oleh C. perfringens . Penyakit yang lebih
serius, tetapi sangat jarang, juga disebabkan oleh konsumsi makanan yang
terkontaminasi strain Type C. Penyakit yang ditimbulkan strain type C ini dikenal
sebagai enteritis necroticans atau penyakit pig-bel .

Keracunan perfringens secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang
mulai terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung
banyak C. perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan. Penyakit ini
biasanya sembuh dalam waktu 24 jam, namun pada beberapa individu, gejala ringan
dapat berlanjut sampai 1 hingga 2 minggu. Beberapa kasus kematian dilaporkan
akibat terjadi dehidrasi dan komplikasi-komplikasi lain.

Necrotic enteritis (penyakit pig-bel ) yang disebabkan oleh C. perfringens sering


berakibat fatal. Penyakit ini juga disebabkan karena korban menelan banyak bakteri
penyebab penyakit dalam makanan yang terkontaminasi. Kematian karena necrotic
enteritis ( pig-bel syndrome ) disebabkan oleh infeksi dan kematian sel-sel usus
dansepticemia (infeksi bakteri di dalam aliran darah) yang diakibatkannya.
Penyakit ini sangat jarang terjadi.

Dosis infektif – Gejala muncul akibat menelan sejumlah besar (lebih dari 10 8 ) sel
vegetatif. Produksi racun di dalam saluran pencernaan (atau di dalam tabung reaksi)
berhubungan dengan proses pembentukan spora. Penyakit ini merupakan infeksi
pada makanan; hanya satu sajian memungkinkan terjadinya keracunan (penyakit
timbul karena racun yang terbentuk sebelum makanan dikonsumsi)
F. PENGARUH TOKSIN CLOSTRIDIUM PERFRINGENS TERHADAP
KESEHATAN

Clostridium perfringens tercatat menjadi penyebab penyakit enterositis yang


paling sering ditemui. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Clostridium
perfringens terdapat di pencernaan manusia maupun hewan, lebih tepatnya
didaerah usus. Pada prosesnya menjadi bakteri patogen, Clostridium perfringens
melalui beberapa tahap, yaitu: hipersekresi nyata dalam jejunum dan ileum,
disertai dengan kehilangan cairan dan elektrolit dengan jalan diare. Bila ada lebih
dai 108 sel vegetatif Clostridium perfringens termakan dan bersporulasi dalam
usus, akan terbentuk enterotoksin. Enterotoksin yang bentuknya identik dengan
protein pembungkus spora. Namun, berbeda dengan toksin klostridia lainnya,
enterotoksin menyebabkan diare parah dalam kurun waktu 6-18 jam. Keracunan
makanan yang terjadi karena Clostridium perfringens biasanya terjadi setelah
memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh pada daing yang dihangatkan.

Seperti dijelaskan sebelumnya, spora Clostridium perfringens tahan panas,


sehingga keracunan akibat Clostridium biasanya sulit dihindari. Selain itu, tidak
mudah juga untuk mengetahui seseorang telah terjangkiti Clostridium perfringens
strain tertentu. Oleh karena itu, tidak ada vaksin yang dapat secara efektif
mencegah pertumbuhan Clostridium perfringens. Karena efeknya yang
mematikan, bebebrapa toksin Clostridium perfringens digunakan sebagai senjata
bilogis yang potensial.

Toksin alfa adalah toksin nekrotis yang diproduksi oleh semua strain dari A sampai
E. Pada manusia, toksin yang telah dimurnikan dapat menyebabkan penyakit
pulmoner akut, pelebaran vaskuler, hemolisis, thrombocyopeni, dan kerusakan
hepar. Sedankan toksin beta adalah toksin yang lebih mematikan yang ditemukan
pada strain B dan C.

Sedangkan toksin beta adalah toksin sitolisin yang labil terhadap oksigen. Toksin
ini dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mengakibatkan
leukostasisi, thormbosis, penurunan perfusi dan hipoksi jaringan. Toksin beta juga
menstimulasi pelepasan sitokin dan dapat menyebabkan syok.

Dua toksin Clostridium perfringens yaitu enterotoksin dan toksin beta, tidak
tergantung pada strain tertentu. Enterotoksin adalah toksin utama yang
bertanggung jawab atas terjadinya keracunan makanan. Toksin beta telah
dikaitkan dnegan kasus entritis yang terjadi pada babi.

Clostridium perfringens strain B dan D, yang memproduksi toksin epsilon, jarang


ditemukan pada manusia. Pada manusia, penyakit yang lebih sering ditimbulkan
basanya berasal dari strain A, biasnaya dihubungkan dengan keracunan makanan.
Sedangkan untuk strain C, biasanya dihubungkan dengan enteritis nekrotis/ pig-
bel disease. Hal ini dapat dikenali dari adanya infeksi dan nekrosis di usus, dengan
tambahanan septicemia. Pada kasus fatal, dapat terjadi pengeringan mukosa dan
perforasi usus. Semua strain bisa diisolasi dari infeksi luka, Clostridium
perfringens dapat menghasilkan sindrom berikut ini pada manusia:

Keracunan makanan dan enteritis nekrotis;


Gejala yang terjadi akibat keracunan makanan oleh Clostiridium perfringens
biasanya tampak 8-22 jam setelah pencernaan makanan yang terkontaminasi.
Gejala klinis yang terjadi dapat berupa diare, mual, dan kram perut. Muntah dan
demam tidak terlalu terlihat. Pasien biasanya pulih dalam satu atau dua hari, tapi
pada lansia, geja-gejala tadi akan terjadi kembali dalam kurun waktu 1-2 minggu,
demikian juga pada mereka yang memiliki penyakit lain. Jarang terjadi
komplikasi dan kematian,namun tidak ada vaksin. yang bisa digunakan untuk
mencegah.

Infeksi luka;
Kontaminasi terhadap luka dapat menyebabkan terjadinya gangrene gas, selulit
clostridial atau kontaminasi superfisial. Gangrene gas/ myonecrosis dihasilkan dari
pertumbuhan Clostridium perfringens dan toksin dihasilkan pada luka. Lebih jauh
lagi, akan terjadi nekrosis pada jaringan lokal dengan penyebaran bakteri yang lebih
luas. Gejala yang sering terjadi adalah demam dan rasa sakit pada daerah yang
terinfeksi. Ketika nekrosis yang terjadi semakin parah, jaringan otot akan berbercak
ungu dan menjadi edema dengan exudate yang bergelembung dan berbau busuk.
Toxemia akan menghasilkan hemolisis dalam jumlah besar, syok, dan gagal ginjal.
Gangrene gas dapat berakibat fatal dalam waktu singkat apabila tidak ada tindakan
yang sesuai yang dapat dilakukan.

Gastroenteritis adalah salah satu penyakit yang disebakan oleh Clostridium


perfringens. Gastroenteritis ini disebabkan karena memakan makanan yang
tercemar oleh toksin (racun) yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium perfringens.
Cara penularannya dengan menelan makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan
tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang
memungkinkan kuman berkembangbiak. Hampir semua KLB yang terjadi
dikaitkan dengan proses pemasakan makanan dari daging (pemanasan dan
pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya kaldu daging, daging cincang,
saus yang dibuat dari daging sapi, kalkun dan ayam. Spora dapat bertahan hidup
pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang biak pada saat
proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar dan
atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna. KLB biasanya dapat dilacak
berkaitan dengan usaha katering, restoran, kafetaria dan sekolah-sekolah yang tidak
mempunyai fasilitas pendingin yang memadai untuk pelayanan berskala besar.
Diperlukan adanya Kontaminasi bakteri yang cukup berat yaitu lebih dari 105
organisme per gram makanan) untuk dapat menimbulkan gejala klinis.

G. PROSES PERTAHANAN TUBUH

A. MEKANISME PERTAHANAN EKSTERNAL

Mekanisme pertahanan eksternal merupakan faktor lain dalam resistensi inang


nonspesifik. Di sini bukan hanya faktor mekanik, tapi melibatkan barrier senyawa
kimia. Barrier mekanik dihasilkan oleh kulit dan membran mukosa bersama dengan
sekresi inang, biasanya dianggap sebagai “barisan depan” pertahanan tubuh yang
melawan serbuan mikroorganisme.
1. Kulit dan Membran Mukosa

Kulit yang tidak pecah dan membran mukosa merupakan barrier mekanik yang
efektif untuk kuman penyebab infeksi. Permukaan kulit juga merupakan
penghambat untuk pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme karena rendahnya
kelembaban, rendahnya pH, dan adanya senyawa penghambat yang disekresikan.
Akan tetapi, dalam hal ini beberapa mikroorganisme mungkin dapat memasuki kulit
melewati folikel rambut, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan luka lecet. Serupa
dengan kulit, membran mukosa terdiri dari lapisan epitel dan lapisan jaringan
penghubung yang mendasarinya. Lapisan tersebut merupakan jalur untuk
memasuki saluran pencernaan, pernapasan, urin, dan reproduksi. Lapisan epitel dari
membran mukosa mengeluarkan mukus, suatu cairan kental yang mencegah
kekeringan saluran dan 203 membantu mengeluarkan atau membersihkan beberapa
mikroorganisme yang ada. Sekresi mukosa terkumpul dan menahan beberapa
mikroorganisme sampai mereka dibersihkan atau kehilangan infektivitasnya.

2. Sekresi Senyawa Kimia

Untuk membantu barrier mekanik seperti kulit dan membran mukosa, senyawa
kimia yang dikeluarkan dan bertindak sebagai antimikroba merupakan suatu
komponen penting dari pertahanan eksternal. Sebagai contoh, sekresi beberapa
senyawa dari membran mukosa, termasuk enzim, yang dapat merusak efektivitas
mikroba. Lebih khusus, lisozime merupakan suatu enzim yang ditemukan dalam
sejumlah cairan tubuh dan sekresi seperti air mata; yang dapat memecah dinding
sel dengan menghidrolisis peptidoglikan bakteri Gram-positif dan sebagian kecil
bakteri Gram-negatif. Suatu senyawa berminyak yang disebut sebum dihasilkan
oleh kelenjar sebasea kulit; yang mencegah kekeringan rambut dan menjadi rapuh
serta membentuk suatu pelindung permukaan kulit. Sebum mengandung asam
lemak takjenuh, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Getah
lambung dihasilkan oleh kelenjar lambung. Merupakan suatu campuran HCl,
enzim,dan mukus. Keasaman yang tinggi pada getah lambung (pH 1,2 sampai 3)
cukup untuk membunuh sebagian besar mikroorganisme.
Keasaman dan kebasaan yang ekstrim pada cairan tubuh memiliki efek merusak
pada beberapa mikroorganisme dan mencegah patogen potensial yang dapat
memasuki cairan tubuh. Sebagai contoh, keasaman yang tinggi pada vagina orang
dewasa selama bertahun-tahun melindungi aktivitas permukaan membran ovarium
dari serangan kolonisasi berbagai tipe mikroorganisme patogen. Protein lain yang
diketahui memiliki aktivitas antimikroba adalah laktoferin, suatu protein yang
mengandung besi, oranye-merah ditemukan dalam susu juga pada sebagian besar
sekresi permukaan mukosa manusia (termasuk mukus bronchial, saliva, kotoran
hidung, air mata, empedu hati, getah pankreas, cairan semen dan urin). Juga suatu
komponen penting dari granula sel fagosit. Serum transferin, juga berwarna
oranyemerah jika jenuh dengan besi. Protein ini mengikat atau menambatkan, besi
yang tersedia di lingkungan, maka akan membatasi tersedianya nutrien mineral
esensial ini untuk serbuan mikroorganisme.

B. MEKANISME PERTAHANAN INTERNAL (RESISTENSI INANG


NONSPESIFIK)

Ketika mikroorganisme menembus mekanisme pertahanan eksternal inang, mereka


akan mendapat perlawanan dari mekanisme pertahanan internal. Komponen
mekanisme pertahanan internal yang ada merupakan barrier yang kuat untuk
infeksi. Hal ini termasuk mediator seluler dari sistem immun (sel killer natural, dan
sel fagosit) dan suatu faktor terlarut yang sangat beragam, yang bertindak sebagai
perantara. Hal ini juga termasuk respon fisiologis kompleks yang mengawali
inflamasi dan demam.

1. Inflamasi

Respon inflamasi atau peradangan merupakan reaksi vaskuler dan seluler terhadap
adanya serbuan mikroorganisme, kerusakan, atau bahan iritan, seperti serpihan.
Peradangan merupakan satu dari sebagian besar mekanisme pertahanan yang efektif
pada hewan. Bukti dari respon peradangan dapat diamati selama reaksi tubuh
terhadap suatu bahan sederhana seperti duri dalam daging. Sesudah beberapa jam
daerah tersebut menjadi merah, selanjutnya membengkak dan menyakitkan. Daerah
tersebut nampaknya lebih hangat dibandingkan jaringan di sekelilingnya. Memerah
dan panas disebabkan oleh peningkatan aliran darah, pembuluh darah yang
membawa darah ke daerah yang membesar (pembesarannya disebut vasodilatasi),
saat darah mengalir dari daerah yang menyempit. Permeabilitas kapiler meningkat,
menyebabkan pengaliran cairan dan sel darah ke dalam tempat tersebut; hal ini
menyebabkan pembengkakan dan rasa sakit (disebabkan peningkatan tekanan).
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dipicu oleh senyawa kimia berracun
(histamin) yang dilepas dari sel yang rusak pada tempat terjadinya kerusakan.

2. Demam

Pada manusia, suhu tubuh harian adalah 37°C. Suhu tubuh yang tetap ini
dikendalikan oleh suatu “termostat tubuh” pada bagian otak yang disebut
hypotalamus; termostat ini secara normal menentukan suhu tubuh pada 37°C.
Selama infeksi, senyawa tertentu mempengaruhi hypotalamus, merubah termostat
pada suhu yang lebih tinggi. Di antara senyawa penyebab demam tersebut adalah
endotoxin dari bakteri Gram-negatif; sebagai contoh, seberat 2 ng per kilogram
berat tubuh endotoxin dari Salmonella typhi (kuman penyebab demam tifoid) dapat
menghasilkan suatu demam 43°C. Senyawa lain penyebab-demam adalah pyrogen
endogen, dihasilkan oleh sel fagosit tubuh dan terdapat dalam eksudat peradangan
dan plasma selama adanya penyakit. (Suatu pyrogen merupakan beberapa senyawa
penyebab demam). Demam terjadi sampai endotoxin atau pyrogen endogen
dihilangkan; pada saat tersebut termostat kembali ke 37°C. Respon imun tubuh
terhadap suatu infeksi juga dapat menyebabkan demam. Sebagai tanda meredanya
infeksi, mulai bekerja mekanisme penurunan panas seperti vasodilatasi dan
pengeluaran keringat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khadi, S., et al. 2003. Identification and characterization of Clostridium


perfringens using single target DNA microarray chip. Elsevier
International Journal of Food Microbiology. Maryland, USA.

Arisma,Dr.MB. M.kes. 2009. Keracunan makanan: buku ajar ilmu gizi. penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.

Fardiaz, Srikandi.1992.Mikrobiologi pangan I.PT Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta

Jawest, Ernest, L. Metnisk, Joseph, A. Adelberg, Edward. 1986, Mikrobiologi


untuk profesi Kedokteran, Jilid 6. 201-202, EGC, Jakarta

Kusnadi, dkk. 2010. BAB XII Mikro Kesehatan. UPI. Bandung.

Natalia, Lily dan A. Priadi. 2003. Clostridial Necrotic Enteritis: Peranan Vaksinasi
Koksidiosis terhadap Kejadian Penyakit pada Ayam Pedaging. JITV

Purwanti, Maya et al. Pengaruh Berbagai Kondisi Preparasi dan


Penyimpanan Susu Formula pada Pertumbuhan Spora Bacillus cereus
DAN Clostridium perfringens. Hasil Penelitian Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan, Vol. XX No. 1 Th. 2009

Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber


Pencemarannya. USU digital library

SNI 7388:2009. Batas Cemaran Mikroba dalam Pangan. Badan Standardisasi


Nasional
Wisconsin Department of Health Service. Clostridium perfringens. 2011. Local
Public Helath Department. Media Informasi Obat-Penyakit. Detail
Penyakit. 2008. Medicastore. Epsilon Toxin of Clostridium perfringens.
2004. The Center of Public Health, Iowa State University. Iowa.

Windiana, Dwi et al. Isolasi C. Perfringens Tipe A dari Daging Sapi yang Dijual
di Beberapa Kios Daging di Kota Bogor dan Resistensinya Terhadap
Antimikroba. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan

Anda mungkin juga menyukai