Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

MATA KULIAH
TRANSPORTASI MASSAL

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD BILAL A 01.2016.1.90667

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI ADHI TAMA SURABAYA
2018

Ability to Pay (ATP)/ Willingness to Pay (WTP)

Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan
yang diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Pendekatan yang
digunakan dalam analisis ATP didasarkan pada alokasi biaya untuk transportasi dari
pendapatan rutin yang diterimanya. Dengan kata lain ability to pay adalah kemampuan
masyarakat dalam membayar ongkos perjalanan yang dilakukannya. Dalam studi ini,
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi ability to pay diantaranya:
1. Besar penghasilan;
2. Kebutuhan transportasi;
3. Total biaya transportasi (harga tiket yang ditawarkan);
4. Prosentase penghasilan yang digunakan untuk biaya transportasi;

Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan


atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis WTP didasarkan
pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan angkutan umum tersebut.
Dalam permasalahan transportasi WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah:
1. Produk yang ditawarkan/disediakan oleh operator jasa pelayanan transportasi;
2. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan;
3. Utilitas pengguna terhadap angkutan tersebut;
4. Perilaku pengguna;

Dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering terjadi benturan antara besarnya
WTP dan ATP, kondisi tersebut selanjutnya disajikan secara ilustratif yang terdapat pada
Gambar 2.1.

Biaya per
satuan jarak ATP
(Rp)

WTP

Prosentase responden yang mempunyai ATP dan WTP tertentu

Gambar 2.1 Kurva ATP dan WTP


1. ATP lebih besar dari WTP
Kondisi ini menunjukan bahwa kemampuan membayar lebih besar dari pada
keinginan membayar jasa tersebut. Ini terjadi bila pengguna mempunyai
penghasilan yang relatif tinggi tetapi utilitas terhadap jasa tersebut relatif
rendah, pengguna pada kondisi ini disebut choiced riders.
2. ATP lebih kecil dari WTP
Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas, dimana keinginan pengguna
untuk membayar jasa tersebut lebih besar dari pada kemampuan
membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna yang mempunyai
penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat
tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut cenderung
lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna disebut captive riders.
3. ATP sama dengan WTP
Kondisi ini menunjukan bahwa antara kemampuan dan keinginan membayar
jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi ini terjadi
keseimbangan utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar
jasa tersebut.

Pada prinsipnya penentuan tarif dapat ditinjau dari beberapa aspek utama dalam
sistem angkutan umum. Aspek-aspek tersebut adalah:
1. Pengguna (User);
2. Operator;
3. Pemerintah (Regulator).
Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam hal ini dijadikan
subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan prinsip sebagai berikut:
1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang
diberlakukan, sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat
sasaran. Intervensi/campur tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung
atau silang dibutuhkan pada kondisi, dimana nilai tarif berlaku lebih besar dari
ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya sama dengan nilai ATP (sesuai
Gambar 2.2).
2. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga bila
nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan melakukan
peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan (sesuai Gambar 2.2).
Bila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat keleluasaan
dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru.

Zone Subsidi agar Tarif yang berlaku Maksimal =


ATP

ATP
Zone
Keleluasaan
Penentuan Tarif
dengan
Perbaikan Tingkat Pelayanan
WTP
Zone Keleluasaan Penentuan
Tarif Ideal tanpa
Perbaikan Kinerja Pelayanan sampai batas nilai
WTP

Nilai Tarif

Gambar 2.2 Kondisi ATP Lebih Rendah dari Tarif Berlaku

Secara kuantitatif dapat disampaikan sebagai


berikut:
Pada Nilai ATP = Rp. 10.000, maka tarif maksimal yang berlaku adalah maksimal Rp.
10.000,-. Pada kondisi dimana nilai tarif terpaksa lebih dari Rp. 10.000, misalnya Rp.
15.000, maka kelebihan Rp. 5.000,- harus disubsidi, dalam hal ini dapat ditanggungkan
ke pihak regulator (sesuai Gambar 2.3).

Keadaan terpaksa dapat terjadi karena dari sisi lain, tarif juga ditentukan oleh
kondisi operasinya, yang tercakup di dalamnya biaya operasi kendaraan sebagai cost dan
okupansi penumpang, rit/hari, jarak dan lain-lain. sebagai beneft.

Rp.

Rp 15.000,-
Perhitungan Operasi

Subsidi Minimal = Rp. 5.000,-

Rp 10.000,-

Gambar 2.3 Kondisi ATP Lebih Rendah dari Tarif Berlaku


Pada kondisi lain, dimana Nilai ATP tetap = Rp. 10.000,- dan WTP = Rp. 5.000, dengan nilai
tarif, berdasarkan perhitungan operasi, yang kurang dari Rp. 10.000 (ATP), misalnya
Rp. 7.500, terdapat pilihan untuk memperbaiki tingkat pelayanan hingga WTP-nya naik
sampai Rp. 7.500,- atau menurunkan tarif (tanpa perbaikan tingkat pelayanan) sampai
Rp. 5.000,- (sesuai Gambar 2.3). Selanjutnya kelebihan Rp. 2.500,- harus disubsidi.

Rp.

Rp 10.000

Rp 7.500
Tarif yang berlaku

Penyesuaian Tingkat Pelayanan/Tarif

Rp 5.000 WTP

Gambar 2.3 Tarif Diatas WTP namun Dibawah ATP

Pada kondisi selanjutnya, dimana Nilai ATP tetap = Rp. 10.000 dan WTP = Rp. 5.000,
dengan nilai tarif, berdasarkan perhitungan operasi, yang kurang dari Rp. 10.000 (ATP),
misalnya Rp. 5.000, terdapat keluasaan Rp. 5.000 untuk menaikkan nilai tarif sampai
dengan Rp. 10.000 (sesuai Gambar 2.4). Namun demikian perlu dilakukan perbaikan
tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga WTP-nya juga meningkat hingga minimal
sama dengan tarif yang berlaku.

Rp.

Rp 10.000

Keleluasaan peningkatan tarif =


Rp. 5.000, dengan syarat
perbaikan tingkat pelayanan

Rp 5.000

Gambar 2.4 Tarif Sama Dengan WTP

Ilustrasi terakhir adalah kondisi ideal, dimana Nilai ATP tetap = Rp. 10.000 dan WTP = Rp.
5.000, dengan nilai tarif, berdasarkan perhitungan operasi, yang kurang dari Rp.
5.000 (WTP), misalnya Rp. 2.500. Pada kondisi ini terdapat keluasaan Rp. 2.500 untuk
menaikkan nilai tarif sampai dengan Rp. 5.000, tanpa perbaikan tingkat pelayanan (sesuai
Gambar 2.5).
Sebagai pelengkap atas ilustrasi di atas, dapat disampaikan beberapa hal tambahan
sebagai berikut:
1. Nilai tarif berdasarkan pertimbangan operasi kendaraan sudah
memperhitungkan faktor keuntungan disamping faktor ekonomis lain
(depresiasi, bunga bank dll.), sehingga pada kondisi tarif operasional saja,
pihak operator sudah mendapatkan keuntungan.
2. Dalam konteks operasi kereta api, subsidi harus dilakukan dengan cara
langsung, oleh pemerintah. Hal yang harus diperhatikan adalah bila tidak terdapat
kondisi ideal, dimana tarif dibawah WTP (Gambar 2.5), maka regulator harus
memberikan subsidi langsung pada kendaraan yang tarifnya diatas ATP.

Rp.

10.000

5.000
WTP

Keleluasaan peningkatan tarif =


Rp. 2.500, tanpa perbaikan
tingkat pelayanan

2.500

Gambar 2.5 Tarif Dibawah WTP


Daftar Pustaka
https://www.scribd.com/doc/168465638/Ability-to-Pay
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=97342&obyek
_id=4
http://konteks.id/p/01-004.pdf

Anda mungkin juga menyukai