Anda di halaman 1dari 29

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBERCULOSIS


DI RUANG SAKURA RUMAH SAKIT DAERAH
dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Popi Dyah Putri Kartika, S. Kep
NIM 132311101035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JUNI, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Tuberculosis di Ruang Sakura


RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan di sahkan pada :

Hari, Tanggal : Rabu, 13 Juni 2018

Tempat: Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember

Jember, 13 Juni 2018

Mahasiswa

Popi Dyah Putri Kartika, S.Kep.


NIM 132311101035

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Medikal Ruang Sakura
Fkep Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember
LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS

A. Konsep Teori
1. Anatomi Paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada
di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi
menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga
lobus sedangkan paruparu kiri mempunyai dua lobus. Setiap paru-paru terbagi
lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang
disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh
ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2001).
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis disebut pleura. Pleura terbagi menjadi
pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung
membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada
rongga dada. Diantara 11 kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura
(Guyton, 2007).

Gb. 1 Anatomi Paru (Tortora, 2012)

Sitem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan
pernafasan bagian bawah. Sistem pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga
hidung, sinus paranasal, dan faring. Pernafasan bagian bawah meliputi, laring,
trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus paru (Guyton, 2007). Pergerakan dari
dalam ke luar paru terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi
adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah
pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan
lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan
paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu: 1) Otot inspirasi yang terdiri
atas, otot interkostalis eksterna, sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma
dan 2) Otot-otot ekspirasi meliputi rektus abdominis dan interkostalis internus
( Alsagaff dkk., 2005).

Gambar 2. Otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi (Tortora, 2012)

1. Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan
normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga
paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada. Tekanan pada ruangan
antara paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton,
2007). Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang,
tapi pernafasan harus tetap dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon
dioksida tersebut (West, 2004). Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa
pipa yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah
paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-
paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir.
Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia
surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis
(McArdle, 2006). Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi
menjadi empat mekanisme dasar, yaitu:
1. Ventilasi paru: masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan atmosfer
2. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah
3. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke
dan dari sel
Pada waktu menarik nafas dalam, maka otot berkontraksi, tetapi
pengeluaran pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup
dalam, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru
dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup ke posisi
semula. Aktivitas bernafas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk
sewaktu bernafas dalam dan volume udara bertambah (Syaifuddin, 2001).
Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Inspirasi menaikkan volume
intratoraks. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg
relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai
-6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam
dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam
paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi
dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan
pernafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari
paru-paru (Syaifuddin, 2001). Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan
gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot
interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik
ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang.
Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi
terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan
atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Price, 2005). Proses setelah
ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveol ke dalam pembuluh
darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari
daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang
berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan
faktor sirkulasi.
Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke
jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru adalah:
1. Usia: Kekuatan otot maksimal pada usia 20-40 tahun dan dapat berkurang
sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan terjadi penurunan
elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan kapasitas paru
2. Jenis kelamin: Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi 20-25% dari pada
wanita, karena ukuran anatomi paru laki-laki lebih besar 17 dibandingkan wanita.
Selain itu, aktivitas laki-laki lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru
sudah terlatih.
3. Tinggi badan dan berat badan: Seorang yang memiliki tubuh tinggi dan besar,
fungsi ventilasi parnya lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek
(Guyton, 2007).

2. Definisi

Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksius, yang terutama menyerang


parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis
(Mansjoer, 2011). Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini
dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
yang diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya limfosit
T) ini merupakan sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal dan
melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular (Fahreza,
dkk, 2012).

3. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama dinegara –


negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembangdalam hal ini
menduduki peringkat dua setelah India dari sepuluh negara dengan prevalensi TB
tertinggi. Diperkirakan pada tahun 2014 1,5 juta orang meninggal karena
tuberkulosis, dengan 1,1 juta orang meninggal dengan HIV negatif dan 390.000
orang meninggal dengan HIV positif (WHO,2015).
Sebelum mengalami peningkatan, angka kejadian tuberkulosis di Indonesia
dari tahun 2000 sampai 2010 menempati urutan kelima setelah Vietnam, Uganda,
Malawi ,dan Bangladesh (Kemenkes RI,2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menunjukkan 224 kasus / 100.000 penduduk. Provinsi Jawa Timur
menempati urutan ke 28 dari 32 total klien TB per-provinsi se-Indonesia dengan
jumlah 112 kasus / 100.000 penduduk (Infodatin tuberkulosis, 2015). Jember
menempati urutan ke dua setelah Kota Surabaya di Provinsi Jawa Timur (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2014) . Di Jember terdapat 89 kasus / 100.000
penduduk dengan terdeteksi BTA positif (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,
2016).
Perkembangan beberapa tahun terakhir, penanggulangan TB di Indonesia saat
ini sudah lebih baik, hal ini terlihat dari turunnya insidensi dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya, walaupun demikian Indonesia adalah negara high burden dan
sedang memperluas strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
dengan cepat. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi
dalam pengendalian TBsejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensikesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-
effective).Penggunaan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan
sehingga mampu memutus rantai penularan dan mencegah terjadinya tuberculosis
multidrug resistance (MDR) (Kemenkes RI,2010).
Hasil pengobatan TB di Indonesia,proporsi angka kesembuhan pada tahun
2008-2009 mengalami penurunan sebesar 2,8%, sedangkan angka drop out
mengalami peningkatan sebesar 0,1% (Kemenkes RI,2011). Angka kesembuhan
pengobatan TB menurun akibat kegagalan pengobatan, kegagalan pengobatan
paling tinggi disebabkan oleh putus obat (drop out) sebanyak 50% (Mardhiyyah &
Carolia,2016).
Angka drop-out pengobatan tuberkulosis paru secara nasional diperkirakan
tinggi, yaitu sebesar 4% pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 4,1% pada tahun
2009 (Depkes RI, 2009). Drop Out atau putus berobat atau default adalah klien
TB paru yang tidak mengambil OAT selama 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai (Kemenkes RI, 2011).

4. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Myobacterium tuberculosae, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. , tahan
terhadap pewarnaan yang asam, sehingga dikenal sebagai bakteri tahan asam
(BTA). Sebagian besar bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat
lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah bersifat
aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen. Secara khas bakteri berbentuk
granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun (Achmadi,
2008).
Sedangkan beberapa faktor yang mempengatuhi timbulnya TB antara lain:
1. Sosial Ekonomi
Keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan
sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC.
Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan
yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-
syarat kesehatan.
2. Status Gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-
lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan terhadap
penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia produktif
(15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi menyebabkan
usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
4. Jenis Kelamin
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru, dapat disimpulkan
bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh
TB-Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis
kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih
mudah terpapar dengan agent penyebab TB Paru.
5. Klasifikasi
Menurut Depkes (2006), Tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
golongan berdasarka jaringan yang terkena dan berdasarkan tipe pasien. Berdasarkan
jaringan yang terkena, Tuberkulosis diklasifikasikan menjadi dua macam diantaranya:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+), jika:
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-), jika:
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis
Sedangkan berdasarkan tipe pasien (riwayat pengobatan sebelumnya),
tuberculosis dapat dibagi sebagai berikut:

a. Kasus baru: pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps): pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh ataupengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran
radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)
2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out: pasien yang telah menjalani pengobatan > 1
bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai
d. Kasus gagal: pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
e. Kasus kronik: pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan
yang baik

f. Kasus Bekas TB, jika:


1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
2) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi.

2. Tuberkulosis ekstraparu

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh


lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,
saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif
atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat
dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstraparu aktif.

6. Patofisiologi
Perjalanan dan perluasan infeksi Tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, infeksi akan terjadi secara primer.
Kemungkinan kedua, infeksi akan terjadi secara sekunder (reinaktifasi). Infeksi
primer terjadi jika imun penderita lemah, sehingga saat menghirup udara
mengandung bakteri Mycobacteriun tuberculosis, bakteri langsung aktif dan
menyebabkan peradangan dalam paru yang disebut kompleks primer. Waktu yang
diperlukan dari masuknya bakteri dengan terbentuknya kompleks primer kira-kira
4-6 minggu. Sedangkan infeksi sekunder/ reinaktifasi adalah infeksi yang terjadi
karena kembali aktifnya bakteri dorman atau bertambahnya bakteri baru yang
masuk ke dalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan sakit lama/keras atau memakai
obat yang melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama. Infeksi ini dapat terjadi
bertahun-tahun setelah infeksi primer terjadi.

Infeksi primer diawali dengan terhirupnya udara yang mengandung droplet


bakteri TB. Hal tersebut menyebabkan bakteri masuk ke saluran pernapasan
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus. Bakteri terus berjalan sehingga
sampai di alveolus dan menetap disana. Selanjutya, bakteri TB berreplikasi
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru. Peradangan terjadi akibat adanya makrofag (sel efektor) dan limfosit
(biasanya sel T) sebagai sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya
lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas (lambat).

Peradangan yang terjadi kemudian menyebabkan nekrosis bagian sentral lesi


yang digambarkan berbentuk padat dan seperti keju, lesi nekrosis ini disebut
nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon
berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang
akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer
paru-paru dinamakan fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Gohn.

Kelanjutan dari infeksi primer adalah pelepasan bahan cair dari daerah nekrosis
kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan
dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses
ini dapat akan terulang kembali ke bagian lain dari paru-paru, atau basil dapat
terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat
menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut bila
peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan
parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga
kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang
tidak terlepas keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau
membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.


Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah
dalam jumlah kecil dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis
penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem
vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh (Corwin, EJ, 2009). Jika penyebaran
bakteri sudah mencapai beberapa tempat maka akan terjadi hal yang lebih buruk
(komplikasi). Adapun beberapa komplikasi yang meungkin terjadi adalah
Hemoptosis berat, Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial, Bronkiektasis,
Pneumotorak, Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal, dan
insufisiensi Kardio Pulmoner.

7. Manifestasi Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan (Depkes, 2006). Sedangkan menurut Bahar (2001) beberapa
gejala yang sering ditemukan pada penderita TB adalah:
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang dapat
mencapai 40-41°C. Keluhan ini sangat dipengaruhi berat atau ringannnya
infeksi kuman yang masuk. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari demam influenza ini.
2. Batuk/Batuk Darah
Terjadi karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Keterlibatan bronkus pada tiap penyakit
tidaklah sama, maka mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula. Keadaan yang berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus (Price dan Wilson, 2005).

3. Sesak Napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya
sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
5. Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat pada
malam hari tanpa aktivitas. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin dan Bahar, 2006).

8. Pemeriksaan penunjang
Periksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis TB
antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium tuberkulosis ada beberapa macam bahan
pemeriksaan yaitu:

a. Sputum(dahak), harus benar-benar dahak, bukan ingus juga bukan ludah.


Paling baik adalah sputum pagi hari pertama kali keluar. Kalau sukar dapat
sputum yang dikumpulkan selama 24 jam (tidak lebih 10 ml). Tidak
dianjurkan sputum yang dikeluarkan ditempat pemeriksaan. Interpretasi
pemeriksaan sputum mikroskopik dibaca dengan skala International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) berdasarkan
rekomendasi WHO.
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+)
5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+)
Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan
penyakit dan tingkat penularan penderita (Departemen Kesehatan RI,
2001).
b. Air Kemih, Urin pagi hari, pertama kali keluar, merupakan urin pancaran
tengah. Sebaiknya urin kateter
c. Air kuras lambung, Umumnya anak-anak atau penderita yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Tujuan dari kuras lambung untuk mendapatkan
dahak yang tertelan. Dilakukan pagi hari sebelum makan dan harus cepat
dikerjakan
d. Bahan-bahan lain, misalnya nanah, cairan cerebrospinal, cairan pleura, dan
usapan tenggorokan.
Cara Pemeriksaan Laboratorium
a. Mikroskopik, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dapat dilakukan
identifikasi bakteri tahan asam, dimana bakteri akan terbagi menjadi dua
golongan:
1) Bakteri tahan asam, adalah bakteri yang pada pengecatan ZN tetap
mengikat warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol,
sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Dibawah mikroskop
tampak bakteri berwarna merah dengan warna dasar biru muda.
2) Bakteri tidak tahan asam, adalah bakteri yang pada pewarnaan ZN,
warna pertama, yang diberikan dilunturkan oleh asam dan alkohol,
sehingga bakteri akan mengikat warna kedua. Dibawah miskroskop
tampak bakteri berwarna biru tua dengan warna dasar biru yang
lebih muda.
b. Kultur (biakan), Media yang biasa dipakai adalah media padat Lowenstein
Jesen. Dapat pula Middlebrook JH11, juga sutu media padat. Untuk
perbenihan kaldu dapat dipakai Middlebrook JH9 dan JH 12.
c. Uji kepekaan kuman terhadap obat-obatan anti tuberkulosis, tujuan dari
pemeriksaan ini, mencari obat-obatan yang poten untuk terapi penyakit
tuberkulosis.
2. Foto Thorak
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu
lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan
fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu
kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus
bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat
sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi
yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering
diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih
jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil
pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri
tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari
klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini
adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini
tampak paling menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relatif di mana
prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang besar
3. Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering
digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1
tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun
92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase
tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin
semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun
sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan
uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72
jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi.
4. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik
ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan
kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema
perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa
kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang
negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat
diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
5. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB
milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada
ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat
tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul
kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-
nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada
saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung
banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.

9. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
b. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap intensif (awal)
1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

c. Jenis, sifat dan dosis OAT


a. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
b. Paket Kombipak: Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,
yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini
disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu
(1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

C. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
1) Data umum
1. Keluhan Utama: Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB
paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
a) Keluhan respiratoris, meliputi: Batuk, nonproduktif/ produktif atau
sputum bercampur darah, batuk darah, seberapa banyak darah yang
keluar atau hanya berupablood streak, berupa garis, atau bercak-
bercak darah, sesak napas, nyeri dada. Menurut Tabrani Rab (1998)
mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang
dikeluarkan:
Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24
jam.
Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.
Batuk darah ringan, darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24
jam.
b) Keluhan sistematis, meliputi:
Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza,
hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya,
sedangkan masa bebas serangan semakin pendek. Keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.
6. Riwayat penyakit saat ini
PQRST
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab
sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah
dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang
enak dalam melakukan pernapasan?
Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-
lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus
atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat
gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali
timbul (onset).
7. Riwayat Penyakit Dahulu: apakah sebelumnya klien pernah menderita
TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ
lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB
paru seperti diabetes mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa
diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi
obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai di masa
lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB)
dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya
anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
8. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga
lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.

9. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data
hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat
ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian
psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru
sering mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan keluhan yang
dialaminya.
10. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
a. Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital: biasanya Compos mentis.
TTV biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan,
frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi
biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan
adanya penyulit seperti hipertensi.
b. B1 (Breathing)
Inspeksi: Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya tampak
kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk
dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila
ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif,
maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai
atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang
membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals space
(ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan
tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami
perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang
melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan
terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum: Saat melakukan pengkajian batuk pada klien
dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai
adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai
adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami
peningkatan produksi sputum yang sangat banyak. Perawat perlu
mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai penunjang
evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada
saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri.
Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan
pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan
didapatkan resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan
didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai
banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai
pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika
pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi)
pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk
mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan
adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien
berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang
disertai komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan
didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.

c. B2 (Blood)
Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan
kelemahan fisik.
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru
dengan efusi pleura masif mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung
tambahan biasanya tidak didapatkan.
d. B3 (Brain)
Kesadaran: biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis
perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian
objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata,
biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemispada TB paru dengan
gangguan fungsi hati.
e. B4 (Bladder)
Adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga
pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal
sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama rifampisin.
f. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
g. B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru.
Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola
hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.

b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan sesuai NANDA (2015)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan perokok; terpajan
asap; adanya jalan napas buatan; benda asing dalam jalan napas; eksudat dalam
alveoli; hiperplasia pada dinding bronkus, mucus berlebihan; penyakit paru
obstruksi kronis; sekresi yang tertahan; spasme jalan napas; asma; disfungsi
neuromuskular; infeksi; jalan napas alergik ditandai dengan batuk yang tidak
efektif; dispnea; gelisah; kesulitan verbalisasi; mata terbuka lebar; ortopnea;
penurunan bunyi napas; perubahan frekuensi napas; perubahan pola napas;
sianosis; sputum dalam jumlah yang berlebihan; suara napas tambahan; tidak ada
batuk.
2. Ketidakefektifan pola napas (00032)
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ansietas; cidera medula
spinalis; deformitas dinding dada; deformitas tulang; disfungsi neuromuskular;
gangguan muskuloskeletal; gangguan neurologis (misal EEG positif, trauma
kepala, gangguan kejang); hiperventilasi; imaturitas neurologis; keletihan;
keletihan otot pernapasan; nyeri; obesitas; posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru; sindrom hipoventilasi ditandai dengan bradipnea; dispnea; fase
ekspirasi memanjang; ortopnea; penggunaan otot bantu pernapasan; penggunaan
posisi tiga-titik; peningkatan diameter anterior-superior; penurunan kapasitas
vital; penurunan tekanan ekspirasi; penurunan tekanan inspirasi; penurunan
ventilasi semenit; pernapasan bibir; pernapasan cuping hidung; perubahan
ekskursi dada; pola napas abnormal (irama, frekuensi, kedalaman); takipnea
3. Gangguan pertukaran gas (00033)
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi; perubahan membrane alveolar-kapiler ditandai dengan diaforesis;
dispnea; gangguan penglihatan; gas darah arteri abnormal; gelisah; hiperkapnia;
hipoksemia; hipoksia; iritabilitas; konfusi; napas cuping hidung; penurunan
karbondioksida; pH arteri abnormal; pola pernapasan abnormal (kecepatan, irama,
kedalaman); sakit kepala saat bangun; sianosis; samnolen; takikardia; warna kulit
abnormal (pucat, kehitaman)
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002)
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis; faktor ekonomi; gangguan psikososial; ketidakmampuan makan;
ketidakmampuan mencerna makanan; ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien;
kurang asupan makanan ditandai dengan BB 20% atau lebih dibawah rentang
ideal; bising usus hiperaktif; cepat kenyang setelah makan; diare; kelemahan
menelan; kesalahan informasi dan persepsi; kram abdomen; nyeri abdomen;
penurunan berat badan dengan asupan makan adekuat; sariawan; tonus otot
menurun.
5. Hipertermi (00007)
Hipertermi berhubungan dengan agen farmaseutikal; aktivitas berlebih;
dehidrasi; iskemia; peningkatan laju metabolisme; penyakit; sepsis; suhu
lingkungan ; trauma ditandai dengan apnea, gelisah, hipotensi; kejang; kulit
kemerahan; kulit hangat; letargi; takikardi; takipnea.
6. Nyeri akut (00132)
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera biologis, fisik, kimia ditandai
dengan bukti nyeri; diaforesis; dilatasi pupil; ekspresi wajah nyeri; fokus
menyempit; fokus pada diri sendiri; keluhan nyeri; laporan perilaku nyeri;
perilaku distraksi; perubahan parameter biologis; perubahan posisi untuk
menghindari nyeri; perubahan selera makan; putus asa; sikap melindungi nyeri.
7. Keletihan (00093)
Keletihan berhubungan dengan ansietas; depresi; gangguan tidur; gaya hidup
tanpa stimulasi; hambatan lingkungan; kelesuan fisiologis (anemia, kehamilan,
penyakit); malnutrisi; peningkatan kelelahan fisik ditandai dengan apatis;
gangguan konsentrasi; kelelahan; kurang energi dan minat; letargi; mengantuk;
peningkatan keluhan fisik; penurunan performa; tidak mampu mempertahankan
rutinitas seperti biasanya.

d. Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
Keperawatan hasil
1. Ketidakefektifan Outcome untuk 1. Monitor status oksigenasi pasien (misalnya
bersihan jalan nafas mengukur frekuensi, irama, kedalaman, auskultasi)
penyelesaian dari 2. Monitor dan catat warna, jumlah dan
diagnosis konsistensi sekret.
a. Status pernapasan: 3. Catat kebutuhan penghisapan sekret (suction)
jalan napas paten 4. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
dengan kriteria : tindakan suction
RR = 16- 5. Fisioterapi dada
20x/menit, irama 6. Monitor status neurologis (misalnya, status
reguler, tidak ada mental, tekanan intrakranial, tekanan perfusi
suara nafas serebral)
tambahan 7. Terapi oksigen
b. Mampu 8. Jelaskan semua prosedur yang akan
mengeluarkan dilakukan dan efek sampingnya
sekret dengan 9. Pengaturan posisi
efektif 10. Pantau tanda-tanda vital
11. Berikan cairan dan nutrisi adekuat

2. Ketidakefektifan Outcome untuk 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan


pola nafas mengukur ventilasi.
penyelesaian dari 2. Auskultasi suara nafas, catat area
diagnosis ventilasinya menurun atau tidak ada dan
a. Status adanya suara tambahan
pernapasan : 3. Bantuan ventilasi
ventilasi dengan 4. Monitor status neurologi
kriteria : RR = 16- 5. Berikan dukungan emosional
20x/menit, irama 6. Pengaturan posisi
reguler, volume 7. Ajarkan manajemen batuk
tidal 500 cc, 8. Berikan terapi oksigen
gambaran x-ray 9. Pemberian 26analgesic
tidak ada patologi 10. Pantau tanda-tanda vital
b. Tidak ada tanda- 11. Berikan cairan dan nutrisi adekuat
tanda penggunaan
otot bantu nafas
(retraksi dada,
cuping hidung)
3. Gangguan Outcome untuk 1. Pantau saturasi oksigen dan pH arteri
pertukaran gas mengukur 2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
penyelesaian dari 3. Monitor pola nafas
diagnosis 4. Monitor tingkat kesadaran
a. Status 5. Monitor ketidakseimbangan elektrolit
pernapasan : 6. Tingkatkan istirahat untuk mengurangi
Pertukaran gas penggunaan oksigen
dengan kriteria 7. Berikan terapi oksigen
PaO2 = 80-100 8. berikan cairan dan nutrisi sesuai kebutuhan
mmHg 9. Pantau tanda-tanda vital
PaCO2 = 35-45
mmHg
pH = 7,35-7,45,
SaO2 = 95-100%
b. Tidak ada sianosis
c. Gambaran x-ray
tidak ada patologi
4. Ketidakseimbangan Outcome untuk 1. Kaji status nutrisi klien (antropometri,
nutrisi kurang dari mengukur tekstur kulit, mukosa mulut)
kebutuhan tubuh penyelesaian dari 2. Tentukan kebutuhan kalori harian yang
diagnosis adekuat
a. Status nutrisi 3. Bantu klien mendapatkan posisi yang
dengan kriteria nyaman sebelum makan dan minum
intake adekuat 4. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan
(klien tenang (batasi pengunjung)
menghabiskan 5. Anjurkan memberikan makan dalam porsi
satu porsi kecil tapi sering
makannya) 6. Anjurkan menghidangkan makan dalam
b. Berat badan keadaan hangat
dalam rentang 7. Timbang berat badan setiap hari
ideal (IMT = 8. Monitor turgor kulit dan mobilitas
18,5-25) 9. Monitor intake dan output
c. Tidak ada mual 10.Pertahankan kebersihan mulut yang baik
dan muntah terutama sebelum dan sesudah makan
11.Beri penjelasan tentang pentingnya nutrisi
bagi tubuh
12.Berikan klien dan keluarga contoh menu diet
yang variatif dan baik untuk klien.

e. Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan menurut Smeltzer & Bare (2002) antara lain:
1. Mempertahankan jalan nafas
2. Menunjukkan tingkat pengetahua yang adekuat
3. Mematuhi regimen pengobatan
4. Ikut serta dalam tindakan preventif
5. Mempertahankan jadwal aktivitas
6. Melakukan langkah-langkah meminimalkan efek samping
7. Tidak menunjukkan komplikasi

B. Discharge Planning
a. Persiapan Home Care
Kebanyakan klien dengan TB dirawat di rumah. Namun, klien dengan TB
akan dirawat sementara di rumah sakit jika dicurigai pneumonia atau komplikasi
lain yang mungkin ada. Discharge mungkin tertunda jika situasi dianggap
menyebabkan risiko tinggi atau jika klien dicurigai tidak akan patuh terhadap
regimen pengobatan. Konsultasikan dengan pekerja pelayanan sosial di rumah
sakit atau lembaga kesehatan masyarakat. Perawat juga dapat memastikan
memulangkan klien ke lingkungan yang sesuai dengan pengawasan lanjutan.
b. Klien / Keluarga Pendidikan
Klien diinstruksikan untuk mengikuti regimen obat persis seperti yang
ditentukan dan untuk selalu memiliki persediaan obat di rumah. Mereka juga
diajarkan bagaimana cara meminimalkan efek samping. Perawat mengingatkan
klien dengan TB bahwa penyakit tidak menular 2 sampai 3 minggu setelah terapi
obat dimulai. Namun, klien harus melanjutkan dengan obat resep selama 9 sampai
12 bulan seperti yang diperintahkan.

Jika klien telah mengalami penurunan berat badan dan kelesuan yang parah, ia
secara bertahap harus melanjutkan kegiatan biasa. Nutrisi yang tepat dengan
makanan dari empat kelompok dasar makanan harus dijaga untuk mencegah
terulangnya.
c. Persiapan Psikososial
Perawat klien dengan TB bahwa masyarakat akan mengaitkan stigma
dengan penyakit dengan menghubungkannya dengan para pelanggar substansi dan
gelandangan. Tidak semua orang yang memiliki TB merupakan anggota dan
kelompok dukungan lain dalam masyarakat dapat menyajikan sebuah sikap positif
untuk membantu klien mengatasi kemungkinan reaksi negatif.
Sumberdaya Perawatan Kesehatan. Klien perlu mendapat tindak lanjut perawatan
oleh dokter selama minimal 1 tahun selama pengobatan aktif. Selain itu, ALA,
sebuah organisasi yang menggunakan relawan, dapat memberikan informasi gratis
kepada klien tentang penyakit dan pengobatannya. Alcoholics Anonymous dan
sumber daya perawatan kesehatan lainnya untuk klien dengan alkoholisme juga
tersedia jika diperlukan. Para perawat membantu klien yang penyalahgunaan obat-
obatan untuk mencari program obat pengobatan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 2006. [Serial Online] diakses pada tanggal 14 April 2018 melalui
www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/profil.../profil...2006...
InfoDATIN. 2015. Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan RI
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kementerian Kesehatan RI. 2010.Pedoman Manajerial Pelayanan
TuberkulosisDengan Strategi DOTS Di Rumah Sakit, Ditjen Bina
Pelayanan Medik, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011.Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Jakarta.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., dan Swanson, E. 2017. Nursing
Outcomes Classification (NOC), 5th edition.United Kingdom: Mosby.
Moorhead, S., Johnson, M., Meridean L. Maas., & Swanson, E. 2013. Nursing
Outcome Classification. Oxford: Elcevier.
Nanda International 2015. Diagnosis Keperawatan: definisi & Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-. Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC

Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Teja, D. 2015. TBC di Indonesia Raih Peringkat 3 Terbesar Dunia. [Serial


Online]. Diakses melalui
https://m.tempo.co/read/news/2015/12/30/060731729/tbc-di-indonesia-
raih-peringkat-3-terbesar-dunia. [14 April 2018].

WHO. 2015. Global Tuberculosis Report 20th Edition. World Health Organization

Anda mungkin juga menyukai