Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

PENDEKATAN DIAGNOSIS ASITES dan


PENATALAKSANAANNYA

isusun oleh

Adichita

Rahmei Sofia

Pembimbing

dr Annela Manurung Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP FATMAWATI

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN dan PROFESI DOKTER

UIN SYARIF HIDAYATULLAH TAHUN 2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan izinNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Pendekatan
Diagnosis dan Penatalaksanaan Asites”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas
kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawti,
Jakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Annela


Manurung, Sp.PD yang telah membimbing penulis dalam menyusun referat ini, serta
kepada seluruh dokter yang telah membimbing penulis selama di kepaniteraan klinik
Ilmu penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Ucapan terimakasih juga
ditujukan kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. akhir kata,
penulis mengharapkan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, September 2017

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Asites merupakan keadaan patologi dimana terjadi akumulasi cairan didalam


kavitas peritoneum. Gejala ini menunjukan keadaan medis yang bermacam dan
diagnosis banding yang sangat luas. Meskipun paling sering dikarenakan sirosis dan
penyakit hati berat, namun kemungkinan penyebab lain juga harus selalu dipikirkan.
Asites dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme patofisiologi nya dibagi menjadi
4 yaitu: hipertensi portal, penyakit peritoneal, hypoalbuminemia dan kelainan
miselanous. Di negara barat, kejadian asites 75% nya disebabkan oleh sirosis hepar,
pada dewasa muda, diikuti oleh keganasan sebanyak 10%, gagal jantung sebanyak 3%,
tuberkulosis sebanyak 2% dan pankreatitis sebanyak 1%.1

Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama kesembilan di
AS, dan bertanggung jawab terhadap 1.2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien
yang meninggal pada dekade keempat atau kelima. Setiap tahun ada tambahan 2000
kematian yang disebabkan karena gagal hati fulminant (fulminant hepatic failure). 2,3,4
Pada pasien sirosis hepar, sekitar 50% pasien dengan sirosis terkompensasi, akan
berkembang menjadi asites setelah 10 tahun kemudian. Setelah berkembang menjadi
asites dan hospitalilsasi, risiko mortalitas meningkat sampai 15% pada 1 tahun
pertama, dan mendekati 50% pada tahun kelima.5

Dari data Nasional sendiri, belum ada data yang cukup memadai tentang hal
ini. namun beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, berdasarkan
diagnosis klinis saja dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat dibangsal
penyakit dalam umumnya berkisar antara 3.6%-8.4% di Jawa dan Sumatera, sedang di
Sulawesi dan Kalimantan dibawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis
adalah 3.5% seluruh pasien yang dirawat dibangsal penyakit dalam, atau rata-rata
47,5% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.6

3
Pada keganasan karsinoma peritoneal sendiri, prognosis dari penyakit ini
kurang begitu bagus. Survival rate pada populasi pasien ini sangatlakh jelek, rata-rata
20 minggu setelah jatuhnya diagnosis terjadi perburukan, namun quality of life semakin
membaik dengan bantuan terapi paliatif.7

Dengan data seperti ini dapat disimpulkan bahwa asites merupakan gejala yang
cukup serius, dan dokter sebagai gardu depan baiknya memiliki skill diagnosis yang
lebih tajam dalam pendekatan diagnosis asites. Dengan dibuatnya referat ini semoga
dapat membantu penulis, dan pembaca sekalian perihal referat tentang pendekatan
diagnosis asites, karena semakin cepat diagnosis ditegakkan klinis pasien semakin
membaik.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

ASITES

A. Definisi

Asites adalah keadaan patologi dimana terjadi akumulasi cairan didalam


cavitas peritoneal. Gejala ini sering datang pada praktik kedokteran dan memiliki
diagnosis banding yang sangat beragam. Asites dapat berasal dari hepar,
keganasan, jantung, ginjal ataupun infeksi pada bagian peritoneum. Patofisiologi
asites dapat dibagi menjadi 4 yaitu, hipertensi portal, penyakit peritoneal,
hypoalbuminemia dan kelainan miselanosa. Sirosis hepar menjadi kasus yang
sering terjadi pada dewasa muda yaitu sekitar 75% kejadian asites di negara bagian
barat, diikuti dengan keganasan sebanyak 10%, gagal jantung dengan prevalensi
3%, tuberkulosis sebanyak 2% dan pankratitis sebanyak 1%.1 Asites merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien sirosis, 50% pasien sirosis
kompensasi akan berkembang menjadi asites setelah 10 tahun kemudian. Setelah
berkembang menjadi asites, risiko mortalitas meningkat 15% 1 tahun pertama dan
mendekati angka 50% setelah 5 tahun selanjutnya.2 Asites dibagi menjadi 3
grading, yaitu:1

1. Mild ascites – grade 1 yaitu asites yang hanya dapat diketahui melalui USG
2. Moderate ascites – grade 2 yaitu asites dengan distensi simetris moderat atau
asites dengan hasil shifting dullness positif
3. Large ascites – grade 3 yaitu asites dengan distensi abdomen yang cukup besar.

5
Gambar 1. Diagnosis Banding asites. “The Diagnostic work-up in patient with ascites: current
guideliens and future prospects”.2016

6
B. ETIOLOGI & PATOGENESIS
Berdasarkan etiologi dari asites dibagi menjadi dua yaitu asites yang
berhubungan dengan hipertensi porta dan asites yang tidak berhubungan
dengan hipertensi porta.

Tabel 1. Etiologi Asites8

Etiologi
Hipertensi porta ( SAAG > 1.1) Non Hipertensi porta (SAAG < 1.1)
Transudatif Eksudatif
Obstruksi presinusoid Malignancy: peritoneal karsinomatosa,
Porta atau splaknik, thrombosis vena, chylous ascites dari keganasan limfoma,
Skistosomiasis, sarcoidosis sindrom Meig’s
Infection : TB, clamidia/gonorrhea
Obstruksi sinusoid Inflamasi: pankreatitis, rupture pankreas,
Sirosis (81%), keganasan HCC etc bowel obstruction
Hipoalbuminemia: sindrom nefrotik
Obstruksi post sinusoid
CHF, Budd-Chari syndrome.

Berdasarkan klinis, asites dikelompokkan menjadi asites eksudat dan asites


transudat:
 Asites Eksudat : Memiliki kandungan protein tinggi dan terjadi
akibat proses inflamasi atau keganasan
 Asites Transudat : Terjadi pada hipertensi vena porta dan
gangguan clearence natrium oleh ginjal. Konstriksi perikardium dan
sindroma nefrotik juga dapat menyebabkan asites transudatif

7
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, asites disebabkan oleh
banyak penyebab. Namun kasus terbanyak yang ditemui asites banyak
berasal dari kelainan hepar.

a) Penyakit Hepar
Hipertensi portal menyebabkan asites pada pasien dengan kelainan
hepar. Pada umumnya asites adalah komplikasi dari penyakit hepar kronik (e.g
sirosis) namun beberapa juga dapat disebabkan oleh penyakit akut (e.g hepatitis
alkoholik ataupun gagal hepar fulminant) dapat menyebabkan asites. Ada tiga
teori yang menjelaskan tentang asites yaitu, underfilling, overfilling dan
peripheral vasodilatation. Menurut teori underfilling asites dimulai dari
volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbumin.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah
hypoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan
intravascular menurun. Akibat volume cairan intravascular menurun, ginjal
akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme
neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intravascular
sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang
menunjukan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer,
splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravascular dan curah jantung.
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma
akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan
aktivitas hormone anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormone
natriuretic karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak menjelaskan
kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal
menerangkan gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dana sites.
Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini,
faktor pathogenesis pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi
porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan ganggan fungsi ginjal yang
sering disebut faktor sistemik.

8
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan
resistensi system porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena
porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen.
Peningkatan resistensi system porta yang diikuti pleh peningkatan aliran darah
akibat vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menetap.
Hipertensi porta alan meningkatkan tekanan transudasi terutama sinusoid dan
selanjutnya kapiler usus. Transudate akan terkumpul dirongga peritoneum.
Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain: glucagon, nitric oxide
(NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretic
atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,
enkefalin dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilator endogen oada saatnya akan memengaruhi sirkulasi
arterial sistemik, terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi
proses underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan
aktivitas system saraf simpatik, renin-angiotensin-aldosteron dan arginine
vasopressin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam
oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.
b) Keganasan
Keganasan berhubungan dengan asites yang berkembang advance
pada beberapa kasus dan berhubungan dengan prognosis dismal. Patofisiologi
asites pada keganasan merupakan kejadian multifaktorial.
Mekanisme pembentukan asites bergantung pada lokasi tumor.
Pada peritoneal carcinomatosis dapat terjadi peningkatan produksi cairan oleh
sel-sel tumor. Selain itu, terjadi perubahan pada permeabilitas vaskuler
sehingga molekul-molekul yang lebih besar dapat terakumulasi pada rongga
peritoneum yang tidak mampu diimbangi oleh kapasitas drainase oleh
membran peritoneum sehingga terjadi penumpukan cairan pada rongga
peritoneum. Pelepasan sitokin pro inflamasi juga dapat memicu inflamasi pada
rongga peritoneum sehingga menyebabkan eksudasi cairan ekstrasel kedalam
rongga peritoneum. Pada tumor hepar yang besar dapat terjadi mekanisme yang

9
berbeda, tumor tersebut dapat menekan vena porta sehingga terjadi hipertensi
vena porta.
c) Asites Pankreatik
Asites pankreatik merupakan asites yang disebabkan oleh
komplikasi dari pankreatitis. Hal ini dapat terjadi pada pankreatitis akut namun
umumnya terjadi pada pankreatitis kronik. Asites pankreatik dapat
dikategorikan dengan akumulasi cairan yang tinggi akan kadar amilae dan
protein. Hal ini diakibatkan oleh terganggunya duktus pankreatikus atau
rupturnya pseudokista sehingga terjadi kebocoran sekresi pankreas ke rongga
peritoneal. Kebocoran ini terjadi pada 3,5% pasien pankreatitis kronis dan 6-
14% pasien pseudokista pankreas.
Patogenesis efusi cairan pada peritoneum berbeda antara
pankreatitis akut dan kronik. Pada pankreatitis akut, terjadi reaksi inflamasi di
pankreas dan struktur disekitarnya yang menghasilkan pseudokista.
Pseudokista ini dapat ruptur ke rongga peritoneum dan menghasilkan asites.
Gangguan pada duktus pankreas dapat juga terjadi pada setting akut pada
trauma tumpul abdomen, pankreatitis bilier, atau paska bedah
Pada pankreatitis kronik, 80% kebocoran cairan disebabkan oleh
pseudokista yang berhubungan akibat striktur pada duktus dan 20% disebabkan
oleh gangguan pada duktus itu sendiri. Ketika cairan amilase memasuki rongga
peritoneum akan menciptakan iritasi yang menyebabkan tercurahnya albumin
sehingga terbentuk asiites yang tinggi albumin. Amilase pada cairan asites
dapat terabsorbsi ke darah sehingga meningkatkan kadar serum amilase.

d) Peritonitis Tuberkulosis
Peritoneal tuberkulosis biasanya dikaitkan dengan fokus utama
tuberkulosis ditempat lain. Fokus utama ini biasanya adalah paru, namun hanya
sepertiga dari kasus yang bersifat klinis ataupun radiologis yang terbukti
adanya tuberkulosis paru. Sama halnya seperti TB ekstra paru lainnya,
kandungan basilus pada peritoneal tuberkulosis lebih sedikit dibandingangkan

10
dengan Tb paru dan hal itulah yang bertanggung jawab untuk terjadinya
kerusakan yang cukup besar. Selain itu, kurangnya jumlah basil juga
mengakibatkan akses untuk diagnosis ataupun untuk konfirmasi laboratorium
terbilang sulit. Mekanisme yang menyebutkan bahwa tuberkel dari basilus yang
bisa masuk ke rongga peritoneum, yaitu: melalui transmural dari usus
terinfeksi, baik melalui saluran getah bening dari kelenjar getah bening yang
terinfeksi, dari tuberkulosis salpingitis, atau lebih umum lagi dengan
penyebaran hematogen dari fokus paru.

Peritoneal tuberkulosis dibagi menjadi 3 bentuk


1) Wet type yaitu tipe tuberkulosis dengan asites
2) Encysted yaitu tipe swelling abdomen
3) Fibrotic type yaitu tipe massa abdomen dan penebalan omentum

Manifestasi klinis umumnya terjadi tiba-tiba, lebih dari 70% pasiein meiliki
gejala leboh dari 4 bulan sebelum definitif diagnosisnya jatuh. Hal yang paling
umum terjadi adalah gejala konstitusional seperti demam, anoreksia, lemas dan
penurunan berat badan. Distensi abdomen yang disebabkan karena asites atau
karena obstruksi parsial dapat ada. Pada pemeriksaan biasanya terdapat nyeri
tekan abdomen. Peritoneal tuberkulosis risiko tinggi terjadi pada pasien
immunokompromaise dengan asites, demam, gejala generalisata yang tidak
dapat dijelaskan dan nyeri abdomen diffuse.

Jumlah leukosit terkadang ditemukan normal pada pasien tuberkulosis. Uji


tuberkulin kulit terkadang ditemukan positif pada pasien peritoneal
tuberkulosis namun hasil negatif tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu
merupakan peritoneal tuberkulosis. Rontgen abdomen terkadang bermanfaat,
namun hasil CT-scan lebih bagus dalam mengidentifikasi adanya penebalan
abdomen dan asites. Pada pasien peritonitis tuberkulosa biasanya berwarna
straw colour dengan jumlah protein> 3g/dl dan total jumal sel sebanyak 150-

11
4000/mikroliter.a ratio asites serum glukosa <0.96 dan serum asites albumin
gradien < 1.1 g/dl.

Adenosin deaminase (ADA) meningkat pada pasien dengan peritoneal


tuberkulosis dengan cutt off point 33 U/I, memiliki sensitivitas dan spesifisitas
dan akurasi diagnosis mencapai 100, 97 dan 98%. Pada koinfeksi HIV hasil
ADA test biasanya normal atau malah rendah.

C. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien dengan asites sebaiknya ditanyakan tentang berat badan
pasien, perubahan bentuk abdomen dan edema tungkai.1 Di Amerika,
sekitar 85% pasien dengan asites disebabkan oleh sirosis, 15% nya
disebabkan oleh non-hepatik. 5% golongan lain, disebabkan oleh dua atau
lebih, umumnya sirosis dengan penyebab lain (gambar 2). Adanya perut
membesar (bulging flanks) sugestif adanya asites (gambar 3). Adanya flank
dullness minimal terdapat 1500 ml cairan asites.5 Shifting dullness memiliki
ensitifitas yang cukup baik dalam pemeriksaan asites, yaitu sensitifitas
sekitar 8% dan spesifisitas 56% dalam mendeteksi adanya asites (gambar
4). Informasi tentang riwayat pengobatan, penggunaan obat, gaya hidup,
faktor risiko penyakit hepar, dan risiko infeksi (e.g migrasi) yang
berhubungan dengan penyebab asites.1

12
Gambar 2. Differential diagnosis ascites. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis
C online. 2017

Gambar 3 Bulging flanks. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C online. 2017

13
Gambar 4. Shifting dullness. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C online.
2017

Pemeriksaan Fisik1

Pemeriksaan fisik dapat membantu mengeluarkan diagnosis banding ataupun diagnosis


yang lain seperti, stigmata sirosis (e.g palmar eritema, spider navi, spenomegali), gagal
jantung (edema perifer, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung tiga, dan
bising paru) dan keganasan (limfadenopati).1

Cara pemeriksaan Asites:8

a. Cara pemeriksaan pada pasien dengan asites yang cukup banyak dan perut yang
agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan tangan pemeriksan
diletakkanpada satu sisi sangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding
perut pada sisi lainnya. Sementara itu untuk mencegah gerakan yang
diteruskanmelalui dinding abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya
(dapat pula dengan pertolongan tangan sendiri) diletakkan ditengah-tengah
perut dengan sedikit tekanan.
b. Pemeriksa menentukan adanya redup yang berpindah (shifng dullness)

14
c. Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
dengan posisi pasien tengkurap dan menungging (knee chest position). Setelah
beberapa sa, perkusi daerah perut yang terendah, jika terdapat cairan akan
didengar bunyi redup.
d. Pemeriksaan puddle sign
Seperti pada posisi knee chest dan dengan menggunakan stetoskop yang
diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang
ditimbulkan karena ketukan ri-jari pada sisi perut sedangn stetoskop digeserkan
melalui perut tersebut ke sisi lainnya.
e. Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar dibagian bawah.

Pemeriksaan Penunjang1

- Pemeriksaan darah.1

Direkomendasikan pada pemeriksaan level serum kreatinin, urea, elektrolit, protombin


time, tes fungsi hepar dan darah lengkap.1

- USG Abdomen.1

USG abdomen merupakan first-line pemilihan metode imaging untuk konfirmasi


adanya dan kuantitas asites. USG dapat memberikan informasi yang cukup penting
seperti adanya asites, mendeteksi adanya tanda hipertensi porta (splenomegaly,
kolateral portosistemik) dan membantu dalam melakukan parasentesis.1

- Parasentesis Abdomen.1

Parasentesis abdomen adalah hal yang paling penting dalam penegakan diagnosis. Hal
ini di indikasikan pada setiap pasien dengan onset asites kali pertama, pasien dengan
asites yang diketahui dan gangguan klinis, atau masuk dalam keadaan emergensi.
Parasentesis biasanya dilakukan di quadran kiri bawah, 3 cm dari kranial dan 3 cm dari
medial anterior superios iliaka. Parasentesis harus dilakukan pada keadaan steril.

15
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu haematoma (1%), haemoperitoneum (<0.1 %),
perforasi usus (<0.1%) dan infeksi (<0.1%).1

Persiapan Parasentesis Abdomen.5

- Posisi pasien dan lokasi untuk parasentesis.5


Prosedur ini dilakukan pada posisi supine. Seperti digambarkan pada beberapa
panduan dari Asosiasi Liver Amerika, parasentesis biasa dilakukan di kuadran
kiri bawah, dua jari dari sefalika dan 2 jari medial dari iliaca anterior-superior
(gambar 5). Kuadran kanan bawah bisa sulit karena ada pelebaran sekum, skar
apendektomi. Hal yang perlu diperhatikan adalah menghindar dari arteri
epigastric inferior (gambar 6).5

Gambar 5. Lokasi parasentesis. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C


online. 2017

16
Gambar 6. Arteri epigastrik inferior. Diagnosis and Management of Ascites.
Hepatitis C online. 2017

Analisa cairan Asites1

- Inspeksi visual.1
Inspeksi visual dari cairan asites dapat telihat milky, keruh, merah, straw. Milky
ascites dapat ditemukan pada kilomikron, umumnya mengandung banyak
trigliserida, dan chylous ascites. Chylous ascites dapat dihasilkan dari
keganasan, trauma, sirosis, infeksi, pankreatitis, kelainan kongenital dan
penyebab penyebab lain yang tidak umum. Asites keruh cloudy ascites atau
bahasa lainnya disebut dengan pseudochylous ascites, dapat dihasilkan dari
peritonitis, pankreatitis, ataupun perforasi usus. Bloody ascites sering
ditemukan pada keganasan atau dihasilkan dari parasentesis pasien trauma,
straw ascites umumnya ditemukan pada pasien sirosis. Inspeksi visual asites
memang tidak spesigik namun dapat menuntun arah diagnosis.1

17
Gambar 2. Visual asites. A. Straw asites pada pasien sirosis hepar
mikronodular. B Chylous Ascites pada pasien obstruksi pembuluh limfe
disebabkan karena tumor usus halus. Oey, R.C., Buuren H.R. Van, de Man R.A. The
Diagnostic Work-Up in Patients with Ascites: Current Guidelines and Future
Prospects. The Netherlands Journal of Medicine. 2016

Test Biokimia1
Serum-ascites albumin gradient.1
Serum-ascites albumin gradient (SAAG) adalah marker sensitive untuk
penegakan asites yang lebih mengarah ke hipertensi porta/kongesti hepar
ataupun penyebab lain, dengan akurasi hingga 97%. SAAG didapatkan dari
hasil substratsi level albumin dalam cairan asites dibandingkan dengan kadar
dalam serum, pada waktu yang sama. Jika hasil menunjukan angka > 1.1 g/dl
mengindikasikan bahwa penyebab dasar dari asites tersebut adalah hipertensi
porta atau kongesti hepar. Jika nilai < 1.1 g/dl mengindikasikan etiologi yang
lain seperti keganasan, pankreatitis ataupun infeksi.1

Protein total.1

18
Pedoman internasional masih merekomendasikan dilakukannya penghitungan
konsentrasi total protein pada asites. Konsentrasi total protein menunjukan
prognosis, nilai konsentrasi dibawah 15g/dl berhubungan dengan peningkatan
risiko untuk terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP) pada pasien
sirosis.1

Amylase.1
Konsentrasi amilase pada cairan asites dapat dipikirkan pada penyakit
pankreatitis. Cairan asites pankreas dapat disebabkan karena pseudokista
pankreas yang bocor ataupun rupture duktus pankreatikus. Rasio perbandingan
amilase asites dibanding dengan amilase serum lebih dari 6.0 mengindikasikan
adanya penyakit pankreas dibandingkan dengan rasio 0.4 normal pada asites
non-pankreas. Tingginya level amilase juga dapat ditemukan pada pasien
keganasan. Hal ini masih dapatt signifikan pada apsien dengan komorbid sirosis
alkoholik dan pankreatitis.1

Trigliserida.1
Konsentrasi trigliserida pada cairan asites dibandinggan kadar serum darah (2.2
mmol/l) mengindikasikan adanya chylous ascites. Riwayat operasi abdomen,
pankreatitis, trauma dan retroperitoneal limfoma sering menjadi penyebab hal
ini. keganasan didiagnossa pada 80% pasien dengan chylous ascites, namun
harus diingat chylous ascites juga ditemukan pada 6% pasien sirosis hepar.1

Adenosine Deaminase Activity (ADA).1


Aktifitas adenosine deaminase, sebuah enzim yang memetabolisme purin,
adalah marker yang berguna untuk membedakan antara cairan asites
tuberkulosa dan penyebab lain. Cut off point dari nilai ADA test adalah 36-40
IU/I dengan sensititas sampai 100% dan spesifisitas 97% untuk mendiagnosa
TB.1

19
Glucose dan lactate dehydrogenase.1
Penilaian terhadap kadar glukosa dan laktat dehydrogenase pada asites
membantu dalam penegakan diagnosis. Rendahnya kadar konsentrasi glukosa
pada cairan asites dibandingkan dengan kadar serum darah dapat
mengindikasikan adanya bakteri, sel darah putih ataupun sel kanker.
Rendahnya kadar laktat dehydrogenase berhubungan dengan asites non
keganasan, sedangkan sebaliknya jika kadarnya cukup tinggi sugestif mengarah
ke keganasan.1

Urea dan Kreatinin1


Hal yang sangat tidak umum diduga sebagai penyebab asites adalah bocornya
ruin ke kavitas peritoneoum.1

Non-biochemical testing1
Polimorphonuclear leukocyte count
Jumlah PMN > 250 sel/mm3 terkonfirmasi diagnosis SBP pada keadaan
dimana tidak ditemukan kemungkinan sumber lain infeksi dari intraabdomen.
Jumlah PMN dihitung kambali setelah 48 jam pemberian antibiotic dapat
membedakan antara SBP dan peritonitis bakterial sekunder. Pengulangan
penghitungan bakteri pada 48 jam pemberian antibiotic baik untuk menilai
efektifitas dari terapi antibiotik yang diberikan. Walaupun SBP adalah
komplikasi dari asites pada hipertensi porta, hal ini dapat juga berkembang pada
psien dengan asites dengan etiologi yang lain.1

Bacterial cultures1
Cairan asites harus dikultur jika secara klinis sugestif SBP. Kultur cairan asites
harus dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotik.1

PCR bacterial DNA mycobacterium tuberculosis1

20
DNA bakteri Mycobacterium tuberculosis pada cairan asites dapat di deteksi
dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan dilakukan ketika
disangka merupakan asites tuberkulosis. Metode ini memiliki sensitifitas yang
cukup tinggi yaitu sekitar 94% dibansingkan dengan kultur mycobacterial yang
hanya sebanyak 50%. Namun sayannya PCR tidak selalu ada pada semua
center. Sehingga kultur bakteri dan biopsy peritoneal masih menjadi gold
standar yang digunakan pada panduan nasional maupun internasional.1

Sitologi1
Sitologi cairan asites dilakukan pada kasus yang mengarah ke keganasan atau
ketika etiologinya masih meragukan (seperti tidak ada penurunan jumlah PMN
setelah 48 jam pemberian anti biotik). Hasil sitologi positif indikatif tinggi
adanya karsinoma peritoneal. Sensitifitas sitologi cairan asites mencapai 83%
namun dapat sampai 97% jika 3 sampel dari beda parasentesis di analisa.
Sensitifitas pemeriksaan sitologi pada hepatocellular carcinoma rendah hanya
sekitar 27%.1

Laparoscopy1
Penegakan diagnosis penyebab asites secara konvensional adalah dengan
dilakukan laparoscopy. Laparoscopy bermanfaat untuk melihat inspeksi visual
dari kavitas peritoneum dan melakukan biopsihistologi dan studi mikrobiologi.
Prosedur ini dapat membantu diagnosis dalam karsinoma peritoneal,
tuberculosis peritonitis dan penyakit peritoneum dan omentum yang lain seperti
mesothelioma dan sclerosis peritonitis.1

21
Gambar 3. Diagnostic approach to the patient with ascites. Oey, R.C., Buuren H.R.
Van, de Man R.A. The Diagnostic Work-Up in Patients with Ascites: Current Guidelines
and Future Prospects. The Netherlands Journal of Medicine. 2016

22
Tabel 2. Etiologi Asites
Suspek Etiologi Pemeriksaan Temuan SAAG Gambaran cairan
asites
Tuberkulosis ADA positif meningkat > 36-40 <1,1 Milky
DNA PCR IU/L
Positif M. Tb (sensitifitas
94% dan spesifisitas 88%)
Malignansi Sitologi Keganasan <1,1 haemmorage
Pancreatitis Amylase dapat tinggi mencapai <1,1 chylous
100x lebih banyak
dibanding dengan amilase
serum

Cirrhosis SGOT >1,1 Straw


SGPT
PT
Infeksi PMN Count >250 sel/mm3 <1,1 Cloudy
Kultur asites Positif
Protein total
Limphatic Trigliserida ratio serum asites <1,1 Chylous
leakage trigliserid > 2.2 mmol/l
menunjukan chylous
ascites
Urinary leakage Ureum
Kreatinin

23
B. Penatalaksanaan Asites.9

a. Tatalaksana asites hepatic

Mayoritas kejadian asites disebabkan oleh sirosis hepar yang


menyebabkan hipertensi pada vena porta. Pada kasus ini, utamanya
tatalaksana ini bertujuan untuk mengeluarkan cairan melalui urin yang
terdiri dari 3 langkah utama yaitu Restriksi Sodium, Tirah Baring, dan
Diuretik.

Restriksi sodium berhubungan dengan menurunnya kebutuh diuretik,


resolusi yang lebih cepat pada asites, dan durasi perawatan yang lebih
singkat. Selain itu, tirah baring dilakukan dengan tidur terlentang dan elevasi
kaki. Tirah baring bermanfaat untuk membantu efektifitas efek diuretik pada
pasien. Dengan tirah baring, dapat terjadi perbaikan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerulus. Tirah baring akan menurunkan aktivitas simpatis dan
juga sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Pasien dengan sirosis dan asites memiliki risiko tinggi untuk terjadi
komplikasi lain dari penyakir hepar seperti asites refrakter, spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), hyponatremia, hepatorenal syndrome (HRS).
Jika tidak ada salah satu hal diatas maka masuk dalam asites tanpa
komplikasi.9

Gambar 4. Grading asites dan perencanaan tatalaksanaanya. EASL Clinical


Practice Guidelines on the Management of Ascites, Spontaneous bacterial peritonitis, and

24
Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis. European Association for Study of the Liver. Journal
of Hepatology. 2010

1. Grade 1 atau mild ascites


Tidak ada data yang cukup signifikan grade 1 ascites dan bagaimana pasien
asites grade 1 dapat berkembang menjadi asites grade 2 dan 3.9
2. Grade 2 atau moderate ascites
a) Pasien dengan asites moderat dapat diterapi rawat jalan kecuali memiliki
komplikasi lain dari sirosis. Ekskresi Na tidak mengalami banyak gangguan
pada pasien sirosis.
Rekomendasi restriksi moderat intake garam pada penatalaksanaan asites
pasien sirosis cukup penting (intake NA sekitar 80-120 mmol/hari, atau garam
4.6-6.9 gram garam/hari).9
1. Tatalaksana Asites Grade 2
a. Diuretik
Pasien dengan episode pertama grade 2 asites baiknya diberi antagonis
aldosterone seperti spironolakton, mulai dengan dosis 100mg/hari dan
tingkatkan dosis setiap 7 hari (dalam 100 mg) sampai dosis maksimum 400
mg/hari jika tidak berespon dengan baik. Pasien yang tidak berespon baik
dengan pemberian antagonis aldosterone yaitu penurunan berat badan
kurang dari 2 kg/minggu, atau pasien yang berkembang menjadi
hyperkalemia, furosemide baiknya ditambahkan dengan terus
menambahkan dosisnya 40 mg/hari sampai maksimum dosis sebanyak 160
mg/hari. Pasien harus sering diliat respon klinis dan biokimianya pada
bulan pertama pengobatan.9
Pasien dengan asites berulang baiknya diberi kombinasi antagonis
aldosterone plus furosemide dengan dosis terus dinaikan sampai
menunjukan respon yang baik. (level A1). Maksimum penurunan berat
badan ketika terapi diuretik adalah 0.5 Kg/hari pada pasien anpa edema dan
1 kg/hari pada pasien dengan edema (level A1).9

25
Goal jangka panjang dari terapi ini adalah untuk menjaga agar pasien
tidak kembali asites dengan dosis diuretic yang minimal. Ketika asites
sudah mulai remisi sampai jumlah yang minimal, dosis diuretic baiknya
diturunkan dan berhenti selanjutnya, jika memungkinkan. (level B1)9
Perhatian saat memulai terapi diuretik pada pasien dengan gangguan
ginjal, hyponatremia, atau gangguan konsentrasi kalium serum dan pasien
harus dimonitor kadar Na dan K dengan baik. Tidak ada sumber yang cukup
memadai yang menjelaskan sampai sejauh apa kelainan ginjaldan
hyponatremia yang sudah tidak boleh diberikan terapi diuretik. Level K
serum harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum diberikan terapi diuretic.
Diuretic secara umum kontraindikasi diberikan pada pasien dengan hepatic
ensefalopati. (level B1).9
Semua diuretic harus dihentikan ketika terdapat hyponatremia berat
(konsetrasi Na serum <120mmol/L), gagal ginjal progresif, ataupun
perburukan ensefalopati hepatik. (level B1).9
Furosemide harus di sp ketika terjadi hypokalemia berat (<3mmol/L).
antagonis aldosterone segera di stop jika pasien berkembang menjadi
hiperkemia berat (K serum > 6mmol/L). (level B1).9
b. Komplikasi terapi diuretik

Penggunaan dari diuretic berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti


gagal ginjal, hepatic ensefalopati, gangguan elektrolit, ginekomastia, dan kram
otot. Diuretic induce renal failure terjadi karena deplesi cairan intravascular
atas hasil dari penggunaan terapi diuretik yang berlebihan. Terapi diuretik dapat
menjadi faktor presipitat terjadinya ensefalopati hepatic dengan mekanisme
yang belum diketahui dengan jelas. Hypokalemia terjadi pada pasien dengan
pemberian loop diuretic dan hyperkalemia terjadi pada pasien dengan
pemberian golongan antagonis aldosterone. Hiponaterima adalah komplikasi
lain dari pemberian diuretic. Na serum kurang dari 120-125 mmol/L terapi
diuretic harus di stop segera.9 Kadar natrium atau sodium serum dapat

26
digunakan untuk patokan dalam menentukan langkah lebih lanjut dalam
tatalaksana asites apabila terdapat hiponatremia.

 Serum sodium > 126 mmol/L


Pada pasien dengan kadar sodium serum 126-135 mmol/L dengan kadar
serum kreatinin yang normal dapat dilanjutkan terapi diuretik dan tidak
perlu dilakukan restriksi cairan namun tetap monitor kadar elektrolit
serum.
 Serum sodium 121-125 mmol/L
 Pada pasien dengan kadar sodium serum 121-125 mmol/L dengan
kadar serum kreatinin normal, terdapat beberapa perbedaan
pendapat. Sebagian besar menyarankan untuk tetap melanjutkan
terapi diuretik, namun menurut Moore (2006) sebaiknya obat
diuretik dihentikan.
 Pada pasien dengan kadar sodium tersebut namun dengan kadar
serum kreatinin yang meningkat signifikan atau kadar sodium
serumnya < 120 mmol/L maka diuretik harus dihentikan dan
diberikan cairan untuk ekspansi volume. Direkomendasikan
menggunakan koloid seperti Gelofusine, haemaccel, dan larutan
albumin 4,5% yang mengandung konsentrasi sodium yang
equivalen dengan konsentrasi sodium pada cairan saline normal.
Pemberian cairan ini dapat memperparah keadaan retensi garamnya
namun fungsi ginjal tetap terjaga normal. Perlu diperhatikan bahwa
peningkatan kadar sodium tidak boleh melebihi 12 mmol/L dalam
24 jam.

Setelah kombinasi terapi diet, tirah baring, dan diuretik, maka perlu
dilakukan pemantauan hasil terapi dengan target peningkatan diuresis sehingga
berat badan dapat turun hingga 400-800 g/ hari. Pada pasien yang juga
mengalami edema perifer dapat ditargetkan pengurangan berat badan hingga

27
1500 g/hari. Kombinasi terapi ini berhasil menangani asites pada mayoritas
pasien.

Komplikasi dari penggunaan diuretik pada pasien asites perlu diawasi.


Beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti gagal ginjal, gangguan
keseimbangan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan ensefalopati
hepatikum.

Ginekomastia juga sering terjadi pada penggunaan golongan obat


antagonis aldosterone, namun hal ini tidak perlu sampai menghentikan
pemberian obat.9

Kebanyakan pasien mulai berkembang menjadi diuretic-induce


complication ketika minggu pertama terapi. Sehingga baiknya pada waktu
tersebut dilihat evaluasi kreatinin, Na, K serum.9

2. Tatalaksana Asites Grade 3 atau large Asites 9


Large volume paracentesis adalah terapi pilihan untuk management pasien
dengan asites grade 3. Beberapa studi yang membandingkan antara terapi
diuretic dengan LVP di resum berdasarkan dibawah ini
1) LVP dikombinasi dengan pemberian albumin lebih efektif dibandingkan
dengan pemberian diuretic dan secara signifikan membuat angka lama
perawatan menurun.
2) LVP kombinasi dengan pemberian albumin lebih aman dibanding dengan
diuretik, frekuensi terjadinya hyponatremia, gangguan ginjal, ensefalopati
hepatik lebih rendah bila dibandingkan dengan pasien LVP yang diterapi
dengan diuretik.
3) LVP tehnik prosedurnya aman dan hanya terjadi risiko komplikasi yang
ringan seperti perdarahan, perforasi saluran cerna namun hal ini jarang
terjadi.

28
Rekomendasi9

- LVP adalah first line therapy pada pasien dengan asites masif (asites grade 3).
(Level A1).
- LVP harus tuntas dalam sekali sesi (Level A1).
- LVP harus dilakukan berbarengan dengan pemberian albumin 8g/L dari cairan
asites yang dikeluarkan untuk menghindari terjadinya disgungsi sirkulasi
setelah tindakan LVP (Level A1).
- Pada pasien yang akan melakukan LVP lebih dari 5L asites,
- Pasca LVP, pasien harus mendapat dosis minimum dari diuretic untuk
mencegah terjadinya reakumulasi cairan asites. (Level A1).
a. Macam obat kontraindikasi pada pasien dengan asites9
Pemberian obat steroid atau anti inflamasi non steroid
dikontraindikasikan pada pasien dengan asites karena risiko tinggi untuk
berkembang menjadi retensi Na, hyponatremia, dan gagal ginjal (Level A1).9
Pemberian obat penurun tekanan arteria tau aliran darah ginjal seperti
ACE-inhibitor, angiotensin II antagonist, atau penghambat reseptor alfa 1
baiknya tidak diberikan pada pasien dengan asites karena akan meningkatkan
risiko terjadinya gangguan ginjal. (Level A1).9
3. Tatalaksana Asites Refrakter.9
a. evaluasi pasien dengan asites refrakter9
menurut dari kriteria International Ascites Club, refractory ascites is defined
as “ascites that cannot be mobilized or the early recurrence of which (i.e. after
LVP) cannot be satisfactory prevented by medical therapy. Kriteria diagnosis
dari asites refrakter adalah seperti ditunjukkan pada table berikut:9

29
Gambar 4. Definisi dan kriteria diagnosis untuk asites refrakter pada sirosis.
EASL Clinical Practice Guidelines on the Management of Ascites, Spontaneous bacterial
peritonitis, and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis. European Association for Study of the
Liver. Journal of Hepatology. 2010

b. Management Asites Refrakter9


Tatalaksana asites refrakter termasuk LVP dengan penambahan transmisi
albumin, diikuti dengan terapi diuretic (jika efektif untuk meningkatkan
natriuresis), insersi transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS), dan
transplantasi hepar.9
i. Large Volume Paracentesis(LVP)9
LVP berulang merupakan terapi efektif dan cukup aman pada asites
refrakter. Pemberian albumin pada LVP mencegah terjadinya disfungsi
sirkulasi yang berhubungan dengan LVP.9
ii. Diuretik pada pasien dengan asites refrakter9
Hampir sebagian besar pasien (>90%), diuretic tidak efektif dalam
pencegahan atau menghambar terjadinya asites setelah LVP sejalan dengan
definisi pada table diagnosis diatas. Diuretic harus dihentikan secara
permanen pada pasien dengan diuretic induce komplikasi (ensefalopati
hepatic, gangguan ginjal, dan gangguan elektrolit).9
iii. Transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS)9
TIPS mendekompresi system porta like a side to side portocaval shunt
inserted between the high pressure portal venous area and the low pressure
hepatic venous area. Karena penurunan tekanan portal, TIPS cukup efektif
untuk mengontrol asites refrakter. Dalam jangka waktu dekat TIPS
menginduksi peningkatan kardiak output (cardiac output=CO), tekanan

30
atrium kanan, tekanan arteri pulmonalis. Manfaat pada ginjal sendiri, TIPS
dapat meningkatkan eksresi Na dan GFR.9
Komplikasi dari insersi TIPS adalah ensefalopati hepatic yang terjadi pada
30-50% pasien. Komplikasi yang lain termasuk thrombosis shunt dan
stenosis.9
4. Komplikasi Asites
4.1 Spontaneous bacterial peritonitis

SBP adalah penyebab paling umum infeksi yang disebabkan pada


pasien sirosis dengan asites. Ketika pertama kali ditemukan, angka
mortalitas pasien dengan SBP dapat mencapai 90% namun dapat menurun
sampai 20% jika diagnosis dapat cepat ditegakkan dan dilakukan
tatalaksana dengan cepat.

4.1.1Diagnosis spontaneous bacterial peritonitis

Diagnosis SBP dapat dilakukan dengan parasentesis. Semua pasien dengan


sirosis dan asites berisiko untuk terjadinya SBP. Prevalensi SBP pada pasien
rawat jalan sebanyak 1.5%-3.5%. dan 10% terdiagnosa pada pasien rawat inap.

Pasien dengan SBP dapat ditemukan gejala berupa:

1) Nyeri lokalis dan atau tanda peritonitis: seperti nyeri abdomen, nyeri tekan
abdomen, muntah, diare dan ileus.
2) Tanda inflamasi sistemik; hiper ataupun hipotermia, teraba panas,
peningkatan jumlah sel darah putih, takikardi, takipnea
3) Perburukan fungsi hepar
4) Ensefalopati hepatic
5) Shock
6) Gagal ginjal
7) Perdarahan gastrointestinal

4.1.1.1 Analisa Cairan Sel Asites

31
Infeksi peritoneum disebabkan karena reaksi inflamasi yang menghasilkan
peningkatan angka neutrophil dalam cairan asites. Dengan menggunakan
metodesensitif, kultur cairan asites dapat negaif pada 60% pasien dengan
manifestasi klinis sugestif SBP. Diagnosis SBP dapat ditegakkan dengan
jumlah neutrophil . 250/mm3 dengan spesifitas semakin meningkat bilai
neutrophil mencpai 500 neutrofil/mm3.

4.1.1.2 Kultur Cairan Asites

Ketika kultur cairan asites positif (terjadi 40% pada beberapa kasus) pathogen
yang paling umum disebabkan oleh bakteri gram negative, biasanya
Escherichia coli dan bakteri gram positif kokkus (streptococcus atauoun
enterococcus). Beberapa studi menunjukan bahwa 30% bakteri gram negative
resisten terhadap quinolone dan 30%nya resisten terhadap trimethoprim-
sulfametoksazol.

Beberapa pasien dengan asites bakterialis dengan kultur positif namun terdapat
jumlah neutrophil asites normal (<250/mm3).

Rekomendasi

Diagnosis parasentesis harus mengeluarkan pasien asites dengan kemungkinan


terjadinya SBP. Diagnosis dengan menggunakan parasentesis baiknya
dilakukan juga pada pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna, shock,
demam atau tanda lain dengan inflamasi sistemik, gejala gastrointestinal, dan
pada pasien dengan perburukan fungsi hepar ataupun ginjal, dan hepatic
ensefalopati. Diagnosis SBP berasal dari jumlah neutrophil pada cairan asites
> 250/mm3 yang ditegakkan dengan mikroskopik.

4.1.2 Management spontaneous bacterial peritonitis

4.1.2.1Terapi antibiotik empiris

Terapi antibiotik empiris harus di inisiasi secara langsung setelah diagnosis


SBP tegak, tanpa menunggu hasil kultur cairan asites. Ada beberapa antibiotik

32
yang secara potensial menyebabkan nefrotoksik (i.e. aminoglikosida) tidak
harus digunakan untuk terapi empiris. Sefotaksim, sefalosporin generasi ketiga
seperti sefalosporin.

Semenjak organisme penyebab dari SBP adalah bakteri aerobic gram-


negatif, seperti E coli, terapi antibiotik pertama adalah sefalosporin generasi
ketiga. Pilihan alternative termasuk amoksisilin/ asam klavulanat dan kuinolon
seperti siprofloksasin ataupun ofloksasin. Walau bagaimanapun, penggunaan
kuinolon tidak direkomendasikan pada pasien yang menggunakan obat ini
sebagai profilaksis untuk SBP, di wilayah dengan prevalensi bakteri resistensi
tinggi pada quinolone atau pada nasokomial SBP. SBP dapat sembuh dengan
terapi antibiotik sekitar 90% pasien. Penyembuhan SBP dapat dibuktikan
dengan penurunan hitung neutrophil < 250/ mm3 dan hasil kultur cairan
negative pada pasien yang pertama kali terdiagnosis dengan kultur posiif. (level
A1). Parasentesis kedua setelah 48 jam terapi, membantu mengarahkan
perbaikan terapi antibiotik.

Kegagalan terapi antibiotik harus dicurigai adanya perburukan gejala dan


tanda klinik dan atau tidak terjadi penurunan neutrophil bahkan peningkatan
hitung neutrophil. Kegagalan terapi antibiotik biasanya disebabkan oleh
resestensi terhadap bakteri. Jika penyebab karena bacterial sekunder peritonitis

33
telah disingkirkan, antibiotik harus diganti berdasarkan hasil isolasi dari
mikroorganisme atau dimodifikasi dengan antibiotik alternative empiric yang
spectrum luas. (Level A1).

4.1.2.2 albumin intravenous pada pasien dengan spontaneous bacterial


peritonitis tanpa shock sepsis

SBP tanpa shock sepsis dapat mempercepat perburukan fungsi sirkulasi


dengan insufisiensi hepar berat, ensefalopati hepatic, dan hepatorenal syndrome
tipe 1 dan menyebabkan kematian mencapai 20%. Pada suatu studi menunjukan
bahwa pasien SBP yang telah diberikan terapi cefotaksime dan albmin
menunjukan bahwa pemberian albumin 1.5g/kg bb saat diagnosis, diikuti
dengan 1g/kgBB pada hari ketika secara signifikan menurunkan insidensi HRS
tipe 1. Albumin memperbaiki fungsi sirkulasi pada pasien dengan SBP.

Rekomendasi

HRS terjadi pada 30% pasien dengan SBP I treatmen dengan antibiotik,
berhubungan dengan survival rate yang kurang baik. Pemberian albumin
(.5g/kg saat diagnosis dan 1g/kgBB pada hari ke 3) menurunkan frekuensi
terjadinya HRS dan meningkatkan survival rate. Semua pasien yang dapat
berkembang menjadi SBP baiknya di treatment dengan antibiotik spectrum luas
dan pemberian albumin IV (level A2).

4.1.2.3 Profilaksis spontaneous bacterial peritonitis

Terdapat 3 risiko tinggi pasien untuk berkembang menjadi SBP, yaitu:

1) Pasien dengan perdarahan saluran cerna akut


Infeksi bacterial, termasuk SBP, merupakan masalah yang cukup bear
pada pasien dengan sirosis dan perdarahan saluran cerna akut, terjadi
antara 25% dan 65% pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal.

34
2) Pasien dengan kandungan total protein cairan asites (primary
prophylaxis)
3) Pasien dengan riwayat SBP (secondary prophylaxis)

4.2 Hiponatremia

Hiponatremia umumnya terjadi pada pasien sirosis dekompensata dan


berhubungan dengan gangguan ekskresi air dan ganguan eksresi ais pada
hipersekresi dari vasopressin. Hiponatremia pada sirosis terganggu ketika
serum Na turun sampai <130mmol/L, namun penurunan <135mmol/L harus
dipikirkan terjadinya hiponatremia.

Pasien dengan sirosis berkembang menjadi 2 tipe hponatremia; yaitu


hipovolemik dan hipervolemik. Hipervolemic hiponatremia adalah
karakteristik yang umumnya terjadi digambarkan dengan level serum Na
diikuti dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler dengan asites dan edema.

Konsentrasi serum Na penting dalam marker prognosis sirosis dan adanya


hiponatremia dan berhubungan dengan gangguan survival rate.

4.2.1 Managemen Hiponatremia

Umumnya hiponatremia ditatalaksana ketika Na serum lebih rendah dari


130mmol/L, walaupun tidak terdapat evidence yang cukup kuat dengan level
Na serum dimana tatalaksana harus dimulai.

4.3. Hepatorenal syndrome

4.3.1 definisi dan diagnosis dari hepatorenal syndrome

Sindrom hepatorenal adalah terjadinya gagal ginjal pada pasien yang


berkembang dari penyakit hepar dan tidak ditemukan sebab lain selain dari
gagal ginjal. Diagnosis ini harus dilakukan pengeluaran penyebab lain dari
gagal ginjal. Tahun 1994 International Asctes Club membuat kriteria mayor
untuk diagnosis HRS dan membagi HRS menjadi 2 tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2.

35
Terdapat 2 tipe dari HRS, yaitu HRS tipe 1 dan tipe 2. HRS tipe 1, terjadi
progresivitas secara cepat terjadinya gagal ginjal akut. Umumnya terjadi pada
severe hepatitis alkoholik atau pada pasien dengan sirosis stage akhir. Secara
konvensional HRS tipe 1 hanya di diagnose ketika serum kreatinin meningkat
sampai lebih dari 100% dari level baseline atau kenaikan > 2.5 mg/dl selama
kurang dari 2 minggu. HRS tipe 2 di karakteristik kan dengan stabil atau
cenderung menurun lambat dari gangguan fungsi ginjal. (level A1).

4.3.2 Faktor Risiko dan Prognosis sindrom hepatorenal

Perkembangan infeksi bacterial, umunya SBP, merupakan faktor risiko


penting terjadinya HRS. Perkembangan HRS terjadi pada 30% pasien yang
berkembang menjadi SBP. Managemen SBP dengan infus albumin bersamaan
dengan antibiotik menurunkan risiko berkembanganya HRS dan memperbaiki
survival rate. Prognosis HRS akan semakin menurun, dengan rata-rata median
survival time pada semua pasien dengan HRS hanyalah 3 bulan. Tingginya
Skor MELD dan HRS tipe 1 berhubungan dengan prognosis yang buruk.
Median survival rate pasien dengan HRS tipe 1 yang tidak ditatalaksana
mencapai 1 bulan.

36
4.3.3 Managemen sindrom hepatorenal

Monitoring pasien dengan HRS tipe 1 harus dimonitor dengan baik. Parameter
yang harus dimonitor secara hati-hati adalah urin output, fluid balance, tekanan
arteri, dan tanda vital. Idealnya tekanan vena sentral harus dimonitor untuk
membantu managemen balans cairan dan mencegah volume overload. Pasien
umumnya baiknya dirawat di ruang intensive ataupun semi intensive care.

Screening untuk sepsis; infeksi bakteri harusnya di identifikasi secara cepat,


dengan darah, urin, kultur cairan asires dan treatmen antibiotik. Pasien yang
tidak menunjukan randa infeksi harus diberi antibiotik profilaksis.

Penggunaan diuretic. semua diuretic harus di stop pada pasien dengan initial
evaluasi dan diagnosis dari HRS. tidak ada data yang mensupport dalam
penggunaan furosemide pada pasien yang akan berkembang menjadi HRS tipe
1. Furosemide dapat bermanfaat dalam menjaga urin output dan treatment
overload volume. Spironolakton dikontraindikasikan karena tingginya risiko
mengancam nyawa seperti hiperkalemia. (level A1).

Terapi pencegahan sindrom hepatorenal

Pasien yang berkembang menjadi SBP baiknya diberikan albumin intravena


untuk menurunkan insidensi HRS dan memperbaiki survival rate.

Terdapat beberapa data yang menunjukan bahwa terapi dengan pentoxyvilin


menurunkan insidensi HRS pada pasien dengan hepatitis alkoholik berat dan
berkembang menjadi sirosis. (level B2).

b. Tatalaksana asites non hepatik

Asites Malignan

Terapi pada asites ini langung mengarah ke tumor primernya seperti


kanker ovarium, hepatoma, dan lain-lain. Tindakan pembedahan seperti

37
debulking, kemoterapi, dan radioterapi merupakan terapi yang relevan.
Penggunaan diuretik tidak terlalu signifikan dalam menangani asites jenis
ini. Untuk mengurangi nyeri perut dan ketidaknyamanan pernapasan dapat
dilakukan LVP dengan penggantian albumin terutama pada malignansi yang
sudah mencapai stadium non surgical stage.

Asites Cardiac

Asites jenis ini dapat dijumpai pada eksaserbasi akut daru insufisiensi
jantung dan pada end stage gagal jantung kanan kongestif. Penanganan pada
kasus ini sesuai dengan penanganangagal jantung dan penggunaan TIPS dan
peritoneal-venous shunt dikontraindikasikan.

Perikarditis konstriktif perlu diterapi dengan tindakan pembedahan


namun insufisiensi/ disfungsi diastolik dapat menetap.

Asites Infeksi

Pada diagnosis perlu dicari juga adanya abses, kebocoran, fistula, dan
inflamasi lokal. Terapi antibiotik dilakukan sesuai mikroorganisme
penyebab. Oleh karena itu penting untuk melakukan kultur cairan asites.

Pada tuberkulosis pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT)


terkadang perlu segera dilakukan sebelum hasil kultur menandakan positif
terdapat M. tuberculosis. Penggunaan OAT dengan regimen 2RHZE/7-
10RH diberikan pada pasien selama 9-12 bulan

Asites lainnya

Asites akibat hipoalbuminemia (seperti yang terjadi pada sindrom


nefrotik, malnutrisi, kwarshiorkor), asites pancreatogenik, dan nefrogenik
perlu ditangani sesuai etiologi masing-masing. Pada asites yang telah
menyebabkan ketidaknyamanan atau gangguan pada aktivitas pasien maka
dapat dilakukan terapi simptomatik seperti LVP untuk mengurangi cairan
asitesnya sehingga mengurangi tekanan dan distensi pada abdomen.

38
BAB 3

KESIMPULAN

Asites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga peritoneum.


Terbentuknya asites merupakan suatu proses patofisiologis yang kompleks dengan
melibatkan berbagai faktor dan mekanisme pembentukannya diterangkan dalam tiga
hipotesis berdasarkan temuan eksperimental dan klinis sebagai berikut: teori
underfilling, teori overflow, dan teori vasodilatasi arteri perifer. Selain ketiga teori
tersebut terdapat juga beberapa faktor yang turut terlibat dalam pathogenesis asites
dalam hal ini kasus sirosis hepatis, yaitu: hipertensi porta, hypoalbuminemia,
meningkatnya pembentukan dan aliran limfe, retensi natrium dan gangguan eksresi air.

Penatalaksanaan asites berupa terapi non farmakologis dan farmakologis serta


terapi intervensi. Terapi non farmakologis berupa tirah baring dan diawali dengan diet
rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5.2 gram atau 90 mmol perhari. Terapi
farmakologis berupa pemakaian spironolakton dengan dosis 100-200 mg/hari sebagai
dosis tunggal. Respon diuretic dapat dimonitor dengan penurunan berat badan 0.5
kg/hari tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari bila ada edema kaki. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat bisa diberikan furosemide 40-80 mg/hari terutama pada
pasien yang mengalami edema perifer.

Prosedur interfensi berupa parasentesis terapeutik diindikasikan pada asites


yang tidak memperlihatkan respon terhadap terapi obat diuretic, mempercepat
pengeluaran cairan pada keadaan asites masif mempermudah pemeriksaan
ultrasonografi atau tindakan lain seperti aspirasi hati dan radiofrequency ablation.
Prosedur parasentesis daoat dilakukan pada saat tertentu sesuai indikasi dapat pula
dilakukan 5-10 liter/hari dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6-8
g/l cairan asites yang dikeluarkan.

39
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

1. Oey, R.C., Buuren H.R. Van, de Man R.A. The Diagnostic Work-Up in Patients
with Ascites: Current Guidelines and Future Prospects. The Netherlands
Journal of Medicine. 2016 October; 74(8): 330-335
2. Garcia-tsao D and Wongcharatrawee S. Treatment of Patients with Cirrhosis
and Portal Hypertension Literature Review and Summary of Recommended
Interventions. VA Hepatitis c resource center program. 2003 October
3. Wolf DC. Cirrhosis eMedicine Specialties. 2013 July
4. Lee D. Cirrhosis of the Liver. MedicineNet.com. 2013 July
5. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C online. 2017 August; 1-32
6. Hermono K. Pengelolaan Perdarahan Massif Varises Esofagus pada Sirosis
Hati. Thesis. Airlangga University Press, Surabaya.2005
7. Sanggisetty, S.L., Minner Thomas J., Malignant Ascites: A Review of
Prognostic Factors, Pathophysiology and Therapeutic Measures. World Journal
of Gastrointestinal Surgery. 2012 April;4(4):87-95
8. Siti setiati, dkk ed. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Komprehensif. Interna
Publishing. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2015
9. EASL Clinical Practice Guidelines on the Management of Ascites,
Spontaneous bacterial peritonitis, and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis.
European Association for Study of the Liver. Journal of Hepatology. 2010; 53
(397-417)
10. KP Moore, GP Aithal. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis.
2006: 55(1-12)
11. Rita sood. Ascites: Diagnosis and Management. Journal of Indian Academy of
Clinical Medicine. 5 (81-89)

40
12. Henriksen, J.H. and Sorren Moller. 2013. Ascites. Journal of Missisipi Medical
Center.

41

Anda mungkin juga menyukai