isusun oleh
Adichita
Rahmei Sofia
Pembimbing
RSUP FATMAWATI
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan izinNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Pendekatan
Diagnosis dan Penatalaksanaan Asites”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas
kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawti,
Jakarta.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. akhir kata,
penulis mengharapkan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.
Penulis
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit hati menahun dan sirosis dapat menimbulkan sekitar 35.000 kematian per
tahun di Amerika Serikat. Sirosis merupakan penyebab kematian utama kesembilan di
AS, dan bertanggung jawab terhadap 1.2% seluruh kematian di AS. Banyak pasien
yang meninggal pada dekade keempat atau kelima. Setiap tahun ada tambahan 2000
kematian yang disebabkan karena gagal hati fulminant (fulminant hepatic failure). 2,3,4
Pada pasien sirosis hepar, sekitar 50% pasien dengan sirosis terkompensasi, akan
berkembang menjadi asites setelah 10 tahun kemudian. Setelah berkembang menjadi
asites dan hospitalilsasi, risiko mortalitas meningkat sampai 15% pada 1 tahun
pertama, dan mendekati 50% pada tahun kelima.5
Dari data Nasional sendiri, belum ada data yang cukup memadai tentang hal
ini. namun beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, berdasarkan
diagnosis klinis saja dapat dilihat bahwa prevalensi sirosis hati yang dirawat dibangsal
penyakit dalam umumnya berkisar antara 3.6%-8.4% di Jawa dan Sumatera, sedang di
Sulawesi dan Kalimantan dibawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis
adalah 3.5% seluruh pasien yang dirawat dibangsal penyakit dalam, atau rata-rata
47,5% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.6
3
Pada keganasan karsinoma peritoneal sendiri, prognosis dari penyakit ini
kurang begitu bagus. Survival rate pada populasi pasien ini sangatlakh jelek, rata-rata
20 minggu setelah jatuhnya diagnosis terjadi perburukan, namun quality of life semakin
membaik dengan bantuan terapi paliatif.7
Dengan data seperti ini dapat disimpulkan bahwa asites merupakan gejala yang
cukup serius, dan dokter sebagai gardu depan baiknya memiliki skill diagnosis yang
lebih tajam dalam pendekatan diagnosis asites. Dengan dibuatnya referat ini semoga
dapat membantu penulis, dan pembaca sekalian perihal referat tentang pendekatan
diagnosis asites, karena semakin cepat diagnosis ditegakkan klinis pasien semakin
membaik.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
ASITES
A. Definisi
1. Mild ascites – grade 1 yaitu asites yang hanya dapat diketahui melalui USG
2. Moderate ascites – grade 2 yaitu asites dengan distensi simetris moderat atau
asites dengan hasil shifting dullness positif
3. Large ascites – grade 3 yaitu asites dengan distensi abdomen yang cukup besar.
5
Gambar 1. Diagnosis Banding asites. “The Diagnostic work-up in patient with ascites: current
guideliens and future prospects”.2016
6
B. ETIOLOGI & PATOGENESIS
Berdasarkan etiologi dari asites dibagi menjadi dua yaitu asites yang
berhubungan dengan hipertensi porta dan asites yang tidak berhubungan
dengan hipertensi porta.
Etiologi
Hipertensi porta ( SAAG > 1.1) Non Hipertensi porta (SAAG < 1.1)
Transudatif Eksudatif
Obstruksi presinusoid Malignancy: peritoneal karsinomatosa,
Porta atau splaknik, thrombosis vena, chylous ascites dari keganasan limfoma,
Skistosomiasis, sarcoidosis sindrom Meig’s
Infection : TB, clamidia/gonorrhea
Obstruksi sinusoid Inflamasi: pankreatitis, rupture pankreas,
Sirosis (81%), keganasan HCC etc bowel obstruction
Hipoalbuminemia: sindrom nefrotik
Obstruksi post sinusoid
CHF, Budd-Chari syndrome.
7
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, asites disebabkan oleh
banyak penyebab. Namun kasus terbanyak yang ditemui asites banyak
berasal dari kelainan hepar.
a) Penyakit Hepar
Hipertensi portal menyebabkan asites pada pasien dengan kelainan
hepar. Pada umumnya asites adalah komplikasi dari penyakit hepar kronik (e.g
sirosis) namun beberapa juga dapat disebabkan oleh penyakit akut (e.g hepatitis
alkoholik ataupun gagal hepar fulminant) dapat menyebabkan asites. Ada tiga
teori yang menjelaskan tentang asites yaitu, underfilling, overfilling dan
peripheral vasodilatation. Menurut teori underfilling asites dimulai dari
volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbumin.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah
hypoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan
intravascular menurun. Akibat volume cairan intravascular menurun, ginjal
akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme
neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intravascular
sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang
menunjukan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer,
splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravascular dan curah jantung.
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma
akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan
aktivitas hormone anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormone
natriuretic karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak menjelaskan
kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal
menerangkan gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dana sites.
Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini,
faktor pathogenesis pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi
porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan ganggan fungsi ginjal yang
sering disebut faktor sistemik.
8
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan
resistensi system porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena
porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen.
Peningkatan resistensi system porta yang diikuti pleh peningkatan aliran darah
akibat vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menetap.
Hipertensi porta alan meningkatkan tekanan transudasi terutama sinusoid dan
selanjutnya kapiler usus. Transudate akan terkumpul dirongga peritoneum.
Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain: glucagon, nitric oxide
(NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretic
atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,
enkefalin dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilator endogen oada saatnya akan memengaruhi sirkulasi
arterial sistemik, terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi
proses underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan
aktivitas system saraf simpatik, renin-angiotensin-aldosteron dan arginine
vasopressin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam
oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.
b) Keganasan
Keganasan berhubungan dengan asites yang berkembang advance
pada beberapa kasus dan berhubungan dengan prognosis dismal. Patofisiologi
asites pada keganasan merupakan kejadian multifaktorial.
Mekanisme pembentukan asites bergantung pada lokasi tumor.
Pada peritoneal carcinomatosis dapat terjadi peningkatan produksi cairan oleh
sel-sel tumor. Selain itu, terjadi perubahan pada permeabilitas vaskuler
sehingga molekul-molekul yang lebih besar dapat terakumulasi pada rongga
peritoneum yang tidak mampu diimbangi oleh kapasitas drainase oleh
membran peritoneum sehingga terjadi penumpukan cairan pada rongga
peritoneum. Pelepasan sitokin pro inflamasi juga dapat memicu inflamasi pada
rongga peritoneum sehingga menyebabkan eksudasi cairan ekstrasel kedalam
rongga peritoneum. Pada tumor hepar yang besar dapat terjadi mekanisme yang
9
berbeda, tumor tersebut dapat menekan vena porta sehingga terjadi hipertensi
vena porta.
c) Asites Pankreatik
Asites pankreatik merupakan asites yang disebabkan oleh
komplikasi dari pankreatitis. Hal ini dapat terjadi pada pankreatitis akut namun
umumnya terjadi pada pankreatitis kronik. Asites pankreatik dapat
dikategorikan dengan akumulasi cairan yang tinggi akan kadar amilae dan
protein. Hal ini diakibatkan oleh terganggunya duktus pankreatikus atau
rupturnya pseudokista sehingga terjadi kebocoran sekresi pankreas ke rongga
peritoneal. Kebocoran ini terjadi pada 3,5% pasien pankreatitis kronis dan 6-
14% pasien pseudokista pankreas.
Patogenesis efusi cairan pada peritoneum berbeda antara
pankreatitis akut dan kronik. Pada pankreatitis akut, terjadi reaksi inflamasi di
pankreas dan struktur disekitarnya yang menghasilkan pseudokista.
Pseudokista ini dapat ruptur ke rongga peritoneum dan menghasilkan asites.
Gangguan pada duktus pankreas dapat juga terjadi pada setting akut pada
trauma tumpul abdomen, pankreatitis bilier, atau paska bedah
Pada pankreatitis kronik, 80% kebocoran cairan disebabkan oleh
pseudokista yang berhubungan akibat striktur pada duktus dan 20% disebabkan
oleh gangguan pada duktus itu sendiri. Ketika cairan amilase memasuki rongga
peritoneum akan menciptakan iritasi yang menyebabkan tercurahnya albumin
sehingga terbentuk asiites yang tinggi albumin. Amilase pada cairan asites
dapat terabsorbsi ke darah sehingga meningkatkan kadar serum amilase.
d) Peritonitis Tuberkulosis
Peritoneal tuberkulosis biasanya dikaitkan dengan fokus utama
tuberkulosis ditempat lain. Fokus utama ini biasanya adalah paru, namun hanya
sepertiga dari kasus yang bersifat klinis ataupun radiologis yang terbukti
adanya tuberkulosis paru. Sama halnya seperti TB ekstra paru lainnya,
kandungan basilus pada peritoneal tuberkulosis lebih sedikit dibandingangkan
10
dengan Tb paru dan hal itulah yang bertanggung jawab untuk terjadinya
kerusakan yang cukup besar. Selain itu, kurangnya jumlah basil juga
mengakibatkan akses untuk diagnosis ataupun untuk konfirmasi laboratorium
terbilang sulit. Mekanisme yang menyebutkan bahwa tuberkel dari basilus yang
bisa masuk ke rongga peritoneum, yaitu: melalui transmural dari usus
terinfeksi, baik melalui saluran getah bening dari kelenjar getah bening yang
terinfeksi, dari tuberkulosis salpingitis, atau lebih umum lagi dengan
penyebaran hematogen dari fokus paru.
Manifestasi klinis umumnya terjadi tiba-tiba, lebih dari 70% pasiein meiliki
gejala leboh dari 4 bulan sebelum definitif diagnosisnya jatuh. Hal yang paling
umum terjadi adalah gejala konstitusional seperti demam, anoreksia, lemas dan
penurunan berat badan. Distensi abdomen yang disebabkan karena asites atau
karena obstruksi parsial dapat ada. Pada pemeriksaan biasanya terdapat nyeri
tekan abdomen. Peritoneal tuberkulosis risiko tinggi terjadi pada pasien
immunokompromaise dengan asites, demam, gejala generalisata yang tidak
dapat dijelaskan dan nyeri abdomen diffuse.
11
4000/mikroliter.a ratio asites serum glukosa <0.96 dan serum asites albumin
gradien < 1.1 g/dl.
C. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien dengan asites sebaiknya ditanyakan tentang berat badan
pasien, perubahan bentuk abdomen dan edema tungkai.1 Di Amerika,
sekitar 85% pasien dengan asites disebabkan oleh sirosis, 15% nya
disebabkan oleh non-hepatik. 5% golongan lain, disebabkan oleh dua atau
lebih, umumnya sirosis dengan penyebab lain (gambar 2). Adanya perut
membesar (bulging flanks) sugestif adanya asites (gambar 3). Adanya flank
dullness minimal terdapat 1500 ml cairan asites.5 Shifting dullness memiliki
ensitifitas yang cukup baik dalam pemeriksaan asites, yaitu sensitifitas
sekitar 8% dan spesifisitas 56% dalam mendeteksi adanya asites (gambar
4). Informasi tentang riwayat pengobatan, penggunaan obat, gaya hidup,
faktor risiko penyakit hepar, dan risiko infeksi (e.g migrasi) yang
berhubungan dengan penyebab asites.1
12
Gambar 2. Differential diagnosis ascites. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis
C online. 2017
Gambar 3 Bulging flanks. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C online. 2017
13
Gambar 4. Shifting dullness. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C online.
2017
Pemeriksaan Fisik1
a. Cara pemeriksaan pada pasien dengan asites yang cukup banyak dan perut yang
agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan tangan pemeriksan
diletakkanpada satu sisi sangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding
perut pada sisi lainnya. Sementara itu untuk mencegah gerakan yang
diteruskanmelalui dinding abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya
(dapat pula dengan pertolongan tangan sendiri) diletakkan ditengah-tengah
perut dengan sedikit tekanan.
b. Pemeriksa menentukan adanya redup yang berpindah (shifng dullness)
14
c. Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
dengan posisi pasien tengkurap dan menungging (knee chest position). Setelah
beberapa sa, perkusi daerah perut yang terendah, jika terdapat cairan akan
didengar bunyi redup.
d. Pemeriksaan puddle sign
Seperti pada posisi knee chest dan dengan menggunakan stetoskop yang
diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang
ditimbulkan karena ketukan ri-jari pada sisi perut sedangn stetoskop digeserkan
melalui perut tersebut ke sisi lainnya.
e. Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar dibagian bawah.
Pemeriksaan Penunjang1
- Pemeriksaan darah.1
- USG Abdomen.1
- Parasentesis Abdomen.1
Parasentesis abdomen adalah hal yang paling penting dalam penegakan diagnosis. Hal
ini di indikasikan pada setiap pasien dengan onset asites kali pertama, pasien dengan
asites yang diketahui dan gangguan klinis, atau masuk dalam keadaan emergensi.
Parasentesis biasanya dilakukan di quadran kiri bawah, 3 cm dari kranial dan 3 cm dari
medial anterior superios iliaka. Parasentesis harus dilakukan pada keadaan steril.
15
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu haematoma (1%), haemoperitoneum (<0.1 %),
perforasi usus (<0.1%) dan infeksi (<0.1%).1
16
Gambar 6. Arteri epigastrik inferior. Diagnosis and Management of Ascites.
Hepatitis C online. 2017
- Inspeksi visual.1
Inspeksi visual dari cairan asites dapat telihat milky, keruh, merah, straw. Milky
ascites dapat ditemukan pada kilomikron, umumnya mengandung banyak
trigliserida, dan chylous ascites. Chylous ascites dapat dihasilkan dari
keganasan, trauma, sirosis, infeksi, pankreatitis, kelainan kongenital dan
penyebab penyebab lain yang tidak umum. Asites keruh cloudy ascites atau
bahasa lainnya disebut dengan pseudochylous ascites, dapat dihasilkan dari
peritonitis, pankreatitis, ataupun perforasi usus. Bloody ascites sering
ditemukan pada keganasan atau dihasilkan dari parasentesis pasien trauma,
straw ascites umumnya ditemukan pada pasien sirosis. Inspeksi visual asites
memang tidak spesigik namun dapat menuntun arah diagnosis.1
17
Gambar 2. Visual asites. A. Straw asites pada pasien sirosis hepar
mikronodular. B Chylous Ascites pada pasien obstruksi pembuluh limfe
disebabkan karena tumor usus halus. Oey, R.C., Buuren H.R. Van, de Man R.A. The
Diagnostic Work-Up in Patients with Ascites: Current Guidelines and Future
Prospects. The Netherlands Journal of Medicine. 2016
Test Biokimia1
Serum-ascites albumin gradient.1
Serum-ascites albumin gradient (SAAG) adalah marker sensitive untuk
penegakan asites yang lebih mengarah ke hipertensi porta/kongesti hepar
ataupun penyebab lain, dengan akurasi hingga 97%. SAAG didapatkan dari
hasil substratsi level albumin dalam cairan asites dibandingkan dengan kadar
dalam serum, pada waktu yang sama. Jika hasil menunjukan angka > 1.1 g/dl
mengindikasikan bahwa penyebab dasar dari asites tersebut adalah hipertensi
porta atau kongesti hepar. Jika nilai < 1.1 g/dl mengindikasikan etiologi yang
lain seperti keganasan, pankreatitis ataupun infeksi.1
Protein total.1
18
Pedoman internasional masih merekomendasikan dilakukannya penghitungan
konsentrasi total protein pada asites. Konsentrasi total protein menunjukan
prognosis, nilai konsentrasi dibawah 15g/dl berhubungan dengan peningkatan
risiko untuk terjadinya spontaneous bacterial peritonitis (SBP) pada pasien
sirosis.1
Amylase.1
Konsentrasi amilase pada cairan asites dapat dipikirkan pada penyakit
pankreatitis. Cairan asites pankreas dapat disebabkan karena pseudokista
pankreas yang bocor ataupun rupture duktus pankreatikus. Rasio perbandingan
amilase asites dibanding dengan amilase serum lebih dari 6.0 mengindikasikan
adanya penyakit pankreas dibandingkan dengan rasio 0.4 normal pada asites
non-pankreas. Tingginya level amilase juga dapat ditemukan pada pasien
keganasan. Hal ini masih dapatt signifikan pada apsien dengan komorbid sirosis
alkoholik dan pankreatitis.1
Trigliserida.1
Konsentrasi trigliserida pada cairan asites dibandinggan kadar serum darah (2.2
mmol/l) mengindikasikan adanya chylous ascites. Riwayat operasi abdomen,
pankreatitis, trauma dan retroperitoneal limfoma sering menjadi penyebab hal
ini. keganasan didiagnossa pada 80% pasien dengan chylous ascites, namun
harus diingat chylous ascites juga ditemukan pada 6% pasien sirosis hepar.1
19
Glucose dan lactate dehydrogenase.1
Penilaian terhadap kadar glukosa dan laktat dehydrogenase pada asites
membantu dalam penegakan diagnosis. Rendahnya kadar konsentrasi glukosa
pada cairan asites dibandingkan dengan kadar serum darah dapat
mengindikasikan adanya bakteri, sel darah putih ataupun sel kanker.
Rendahnya kadar laktat dehydrogenase berhubungan dengan asites non
keganasan, sedangkan sebaliknya jika kadarnya cukup tinggi sugestif mengarah
ke keganasan.1
Non-biochemical testing1
Polimorphonuclear leukocyte count
Jumlah PMN > 250 sel/mm3 terkonfirmasi diagnosis SBP pada keadaan
dimana tidak ditemukan kemungkinan sumber lain infeksi dari intraabdomen.
Jumlah PMN dihitung kambali setelah 48 jam pemberian antibiotic dapat
membedakan antara SBP dan peritonitis bakterial sekunder. Pengulangan
penghitungan bakteri pada 48 jam pemberian antibiotic baik untuk menilai
efektifitas dari terapi antibiotik yang diberikan. Walaupun SBP adalah
komplikasi dari asites pada hipertensi porta, hal ini dapat juga berkembang pada
psien dengan asites dengan etiologi yang lain.1
Bacterial cultures1
Cairan asites harus dikultur jika secara klinis sugestif SBP. Kultur cairan asites
harus dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotik.1
20
DNA bakteri Mycobacterium tuberculosis pada cairan asites dapat di deteksi
dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan dilakukan ketika
disangka merupakan asites tuberkulosis. Metode ini memiliki sensitifitas yang
cukup tinggi yaitu sekitar 94% dibansingkan dengan kultur mycobacterial yang
hanya sebanyak 50%. Namun sayannya PCR tidak selalu ada pada semua
center. Sehingga kultur bakteri dan biopsy peritoneal masih menjadi gold
standar yang digunakan pada panduan nasional maupun internasional.1
Sitologi1
Sitologi cairan asites dilakukan pada kasus yang mengarah ke keganasan atau
ketika etiologinya masih meragukan (seperti tidak ada penurunan jumlah PMN
setelah 48 jam pemberian anti biotik). Hasil sitologi positif indikatif tinggi
adanya karsinoma peritoneal. Sensitifitas sitologi cairan asites mencapai 83%
namun dapat sampai 97% jika 3 sampel dari beda parasentesis di analisa.
Sensitifitas pemeriksaan sitologi pada hepatocellular carcinoma rendah hanya
sekitar 27%.1
Laparoscopy1
Penegakan diagnosis penyebab asites secara konvensional adalah dengan
dilakukan laparoscopy. Laparoscopy bermanfaat untuk melihat inspeksi visual
dari kavitas peritoneum dan melakukan biopsihistologi dan studi mikrobiologi.
Prosedur ini dapat membantu diagnosis dalam karsinoma peritoneal,
tuberculosis peritonitis dan penyakit peritoneum dan omentum yang lain seperti
mesothelioma dan sclerosis peritonitis.1
21
Gambar 3. Diagnostic approach to the patient with ascites. Oey, R.C., Buuren H.R.
Van, de Man R.A. The Diagnostic Work-Up in Patients with Ascites: Current Guidelines
and Future Prospects. The Netherlands Journal of Medicine. 2016
22
Tabel 2. Etiologi Asites
Suspek Etiologi Pemeriksaan Temuan SAAG Gambaran cairan
asites
Tuberkulosis ADA positif meningkat > 36-40 <1,1 Milky
DNA PCR IU/L
Positif M. Tb (sensitifitas
94% dan spesifisitas 88%)
Malignansi Sitologi Keganasan <1,1 haemmorage
Pancreatitis Amylase dapat tinggi mencapai <1,1 chylous
100x lebih banyak
dibanding dengan amilase
serum
23
B. Penatalaksanaan Asites.9
Pasien dengan sirosis dan asites memiliki risiko tinggi untuk terjadi
komplikasi lain dari penyakir hepar seperti asites refrakter, spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), hyponatremia, hepatorenal syndrome (HRS).
Jika tidak ada salah satu hal diatas maka masuk dalam asites tanpa
komplikasi.9
24
Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis. European Association for Study of the Liver. Journal
of Hepatology. 2010
25
Goal jangka panjang dari terapi ini adalah untuk menjaga agar pasien
tidak kembali asites dengan dosis diuretic yang minimal. Ketika asites
sudah mulai remisi sampai jumlah yang minimal, dosis diuretic baiknya
diturunkan dan berhenti selanjutnya, jika memungkinkan. (level B1)9
Perhatian saat memulai terapi diuretik pada pasien dengan gangguan
ginjal, hyponatremia, atau gangguan konsentrasi kalium serum dan pasien
harus dimonitor kadar Na dan K dengan baik. Tidak ada sumber yang cukup
memadai yang menjelaskan sampai sejauh apa kelainan ginjaldan
hyponatremia yang sudah tidak boleh diberikan terapi diuretik. Level K
serum harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum diberikan terapi diuretic.
Diuretic secara umum kontraindikasi diberikan pada pasien dengan hepatic
ensefalopati. (level B1).9
Semua diuretic harus dihentikan ketika terdapat hyponatremia berat
(konsetrasi Na serum <120mmol/L), gagal ginjal progresif, ataupun
perburukan ensefalopati hepatik. (level B1).9
Furosemide harus di sp ketika terjadi hypokalemia berat (<3mmol/L).
antagonis aldosterone segera di stop jika pasien berkembang menjadi
hiperkemia berat (K serum > 6mmol/L). (level B1).9
b. Komplikasi terapi diuretik
26
digunakan untuk patokan dalam menentukan langkah lebih lanjut dalam
tatalaksana asites apabila terdapat hiponatremia.
Setelah kombinasi terapi diet, tirah baring, dan diuretik, maka perlu
dilakukan pemantauan hasil terapi dengan target peningkatan diuresis sehingga
berat badan dapat turun hingga 400-800 g/ hari. Pada pasien yang juga
mengalami edema perifer dapat ditargetkan pengurangan berat badan hingga
27
1500 g/hari. Kombinasi terapi ini berhasil menangani asites pada mayoritas
pasien.
28
Rekomendasi9
- LVP adalah first line therapy pada pasien dengan asites masif (asites grade 3).
(Level A1).
- LVP harus tuntas dalam sekali sesi (Level A1).
- LVP harus dilakukan berbarengan dengan pemberian albumin 8g/L dari cairan
asites yang dikeluarkan untuk menghindari terjadinya disgungsi sirkulasi
setelah tindakan LVP (Level A1).
- Pada pasien yang akan melakukan LVP lebih dari 5L asites,
- Pasca LVP, pasien harus mendapat dosis minimum dari diuretic untuk
mencegah terjadinya reakumulasi cairan asites. (Level A1).
a. Macam obat kontraindikasi pada pasien dengan asites9
Pemberian obat steroid atau anti inflamasi non steroid
dikontraindikasikan pada pasien dengan asites karena risiko tinggi untuk
berkembang menjadi retensi Na, hyponatremia, dan gagal ginjal (Level A1).9
Pemberian obat penurun tekanan arteria tau aliran darah ginjal seperti
ACE-inhibitor, angiotensin II antagonist, atau penghambat reseptor alfa 1
baiknya tidak diberikan pada pasien dengan asites karena akan meningkatkan
risiko terjadinya gangguan ginjal. (Level A1).9
3. Tatalaksana Asites Refrakter.9
a. evaluasi pasien dengan asites refrakter9
menurut dari kriteria International Ascites Club, refractory ascites is defined
as “ascites that cannot be mobilized or the early recurrence of which (i.e. after
LVP) cannot be satisfactory prevented by medical therapy. Kriteria diagnosis
dari asites refrakter adalah seperti ditunjukkan pada table berikut:9
29
Gambar 4. Definisi dan kriteria diagnosis untuk asites refrakter pada sirosis.
EASL Clinical Practice Guidelines on the Management of Ascites, Spontaneous bacterial
peritonitis, and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis. European Association for Study of the
Liver. Journal of Hepatology. 2010
30
atrium kanan, tekanan arteri pulmonalis. Manfaat pada ginjal sendiri, TIPS
dapat meningkatkan eksresi Na dan GFR.9
Komplikasi dari insersi TIPS adalah ensefalopati hepatic yang terjadi pada
30-50% pasien. Komplikasi yang lain termasuk thrombosis shunt dan
stenosis.9
4. Komplikasi Asites
4.1 Spontaneous bacterial peritonitis
1) Nyeri lokalis dan atau tanda peritonitis: seperti nyeri abdomen, nyeri tekan
abdomen, muntah, diare dan ileus.
2) Tanda inflamasi sistemik; hiper ataupun hipotermia, teraba panas,
peningkatan jumlah sel darah putih, takikardi, takipnea
3) Perburukan fungsi hepar
4) Ensefalopati hepatic
5) Shock
6) Gagal ginjal
7) Perdarahan gastrointestinal
31
Infeksi peritoneum disebabkan karena reaksi inflamasi yang menghasilkan
peningkatan angka neutrophil dalam cairan asites. Dengan menggunakan
metodesensitif, kultur cairan asites dapat negaif pada 60% pasien dengan
manifestasi klinis sugestif SBP. Diagnosis SBP dapat ditegakkan dengan
jumlah neutrophil . 250/mm3 dengan spesifitas semakin meningkat bilai
neutrophil mencpai 500 neutrofil/mm3.
Ketika kultur cairan asites positif (terjadi 40% pada beberapa kasus) pathogen
yang paling umum disebabkan oleh bakteri gram negative, biasanya
Escherichia coli dan bakteri gram positif kokkus (streptococcus atauoun
enterococcus). Beberapa studi menunjukan bahwa 30% bakteri gram negative
resisten terhadap quinolone dan 30%nya resisten terhadap trimethoprim-
sulfametoksazol.
Beberapa pasien dengan asites bakterialis dengan kultur positif namun terdapat
jumlah neutrophil asites normal (<250/mm3).
Rekomendasi
32
yang secara potensial menyebabkan nefrotoksik (i.e. aminoglikosida) tidak
harus digunakan untuk terapi empiris. Sefotaksim, sefalosporin generasi ketiga
seperti sefalosporin.
33
telah disingkirkan, antibiotik harus diganti berdasarkan hasil isolasi dari
mikroorganisme atau dimodifikasi dengan antibiotik alternative empiric yang
spectrum luas. (Level A1).
Rekomendasi
HRS terjadi pada 30% pasien dengan SBP I treatmen dengan antibiotik,
berhubungan dengan survival rate yang kurang baik. Pemberian albumin
(.5g/kg saat diagnosis dan 1g/kgBB pada hari ke 3) menurunkan frekuensi
terjadinya HRS dan meningkatkan survival rate. Semua pasien yang dapat
berkembang menjadi SBP baiknya di treatment dengan antibiotik spectrum luas
dan pemberian albumin IV (level A2).
34
2) Pasien dengan kandungan total protein cairan asites (primary
prophylaxis)
3) Pasien dengan riwayat SBP (secondary prophylaxis)
4.2 Hiponatremia
35
Terdapat 2 tipe dari HRS, yaitu HRS tipe 1 dan tipe 2. HRS tipe 1, terjadi
progresivitas secara cepat terjadinya gagal ginjal akut. Umumnya terjadi pada
severe hepatitis alkoholik atau pada pasien dengan sirosis stage akhir. Secara
konvensional HRS tipe 1 hanya di diagnose ketika serum kreatinin meningkat
sampai lebih dari 100% dari level baseline atau kenaikan > 2.5 mg/dl selama
kurang dari 2 minggu. HRS tipe 2 di karakteristik kan dengan stabil atau
cenderung menurun lambat dari gangguan fungsi ginjal. (level A1).
36
4.3.3 Managemen sindrom hepatorenal
Monitoring pasien dengan HRS tipe 1 harus dimonitor dengan baik. Parameter
yang harus dimonitor secara hati-hati adalah urin output, fluid balance, tekanan
arteri, dan tanda vital. Idealnya tekanan vena sentral harus dimonitor untuk
membantu managemen balans cairan dan mencegah volume overload. Pasien
umumnya baiknya dirawat di ruang intensive ataupun semi intensive care.
Penggunaan diuretic. semua diuretic harus di stop pada pasien dengan initial
evaluasi dan diagnosis dari HRS. tidak ada data yang mensupport dalam
penggunaan furosemide pada pasien yang akan berkembang menjadi HRS tipe
1. Furosemide dapat bermanfaat dalam menjaga urin output dan treatment
overload volume. Spironolakton dikontraindikasikan karena tingginya risiko
mengancam nyawa seperti hiperkalemia. (level A1).
Asites Malignan
37
debulking, kemoterapi, dan radioterapi merupakan terapi yang relevan.
Penggunaan diuretik tidak terlalu signifikan dalam menangani asites jenis
ini. Untuk mengurangi nyeri perut dan ketidaknyamanan pernapasan dapat
dilakukan LVP dengan penggantian albumin terutama pada malignansi yang
sudah mencapai stadium non surgical stage.
Asites Cardiac
Asites jenis ini dapat dijumpai pada eksaserbasi akut daru insufisiensi
jantung dan pada end stage gagal jantung kanan kongestif. Penanganan pada
kasus ini sesuai dengan penanganangagal jantung dan penggunaan TIPS dan
peritoneal-venous shunt dikontraindikasikan.
Asites Infeksi
Pada diagnosis perlu dicari juga adanya abses, kebocoran, fistula, dan
inflamasi lokal. Terapi antibiotik dilakukan sesuai mikroorganisme
penyebab. Oleh karena itu penting untuk melakukan kultur cairan asites.
Asites lainnya
38
BAB 3
KESIMPULAN
39
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Oey, R.C., Buuren H.R. Van, de Man R.A. The Diagnostic Work-Up in Patients
with Ascites: Current Guidelines and Future Prospects. The Netherlands
Journal of Medicine. 2016 October; 74(8): 330-335
2. Garcia-tsao D and Wongcharatrawee S. Treatment of Patients with Cirrhosis
and Portal Hypertension Literature Review and Summary of Recommended
Interventions. VA Hepatitis c resource center program. 2003 October
3. Wolf DC. Cirrhosis eMedicine Specialties. 2013 July
4. Lee D. Cirrhosis of the Liver. MedicineNet.com. 2013 July
5. Diagnosis and Management of Ascites. Hepatitis C online. 2017 August; 1-32
6. Hermono K. Pengelolaan Perdarahan Massif Varises Esofagus pada Sirosis
Hati. Thesis. Airlangga University Press, Surabaya.2005
7. Sanggisetty, S.L., Minner Thomas J., Malignant Ascites: A Review of
Prognostic Factors, Pathophysiology and Therapeutic Measures. World Journal
of Gastrointestinal Surgery. 2012 April;4(4):87-95
8. Siti setiati, dkk ed. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Komprehensif. Interna
Publishing. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2015
9. EASL Clinical Practice Guidelines on the Management of Ascites,
Spontaneous bacterial peritonitis, and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis.
European Association for Study of the Liver. Journal of Hepatology. 2010; 53
(397-417)
10. KP Moore, GP Aithal. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis.
2006: 55(1-12)
11. Rita sood. Ascites: Diagnosis and Management. Journal of Indian Academy of
Clinical Medicine. 5 (81-89)
40
12. Henriksen, J.H. and Sorren Moller. 2013. Ascites. Journal of Missisipi Medical
Center.
41