Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kolelitiasis atau batu saluran empedu merupakan penyakit yang umumnya lebih sering
ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Namun, dengan
membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta perbaikan sarana
diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit kolelitiasis di negara berkembang
cenderung mengalami peningkatan.1
Kolelitiasis merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang paling sering
menyebabkan dilakukannya intervensi bedah. Tiap tahun, dilakukan sekitar 500.000 prosedur
kolesistektomi di Amerika Serikat. Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di
Amerika Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan
30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain.2 Angka
kejadian batu saluran empedu ini nampak semakin meningkat seiring bertambahnya usia.
Penelitian menggunakan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien dengan
batu saluran empedu umumnya nampak asimtomatik.3
Faktor risiko untuk pembentukan batu empedu meliputi obesitas, diabetes melitus,
estrogen dan kehamilan, penyakit hemolitik, dan sirosis. Manifestasi klinik dari batu empedu
dapat berupa nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut)
atau inflamasi di saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi- komplikasi akibat migrasi batu
empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang dapat
mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.3
Kolesistitis adalah inflamasi kandung empedu yang terjadi paling sering karena obstruksi
duktus sistikus oleh batu empedu. Kurang lebih 90% kasus kolesistitis melibatkan batu pada
duktus sitikus (kolesistitis kalkulus) dan sebanyak 10% termasuk kolesistitis akalkulus.4
Kira-kira 10-20% penduduk Amerika memiliki batu empedu, dan sepertiganya
berkembang menjadi kolesistitis akut. Kolesistektomi untuk kolik bilier rekuren atau kolesistitis
akut adalah prosedur penatalaksanaan bedah utama yang dilakukan oleh ahli bedah umum, dan
kurang lebih 500.000 operasi dilakukan per tahunnya.5

1
Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring pertambahan usia. Penjelasan secara
fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada. Peningkatan insidensi pada laki-laki
usia lanjut dikaitkan dengan perubahan rasio androgen-estrogen.5,6
Perempuan penderita kolelitiasis 2-3 kali lebih banyak daripada laki-laki, sehingga lebih
banyak perempuan yang menderita kolesistitis. Peningkatan kadar progesteron selama kehamilan
dapat menyebabkan stasis cairan empedu, sehingga penyakit kandung empedu meningkat
kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan, kolesistitis akalkulus lebih sering terjadi pada laki-
laki usia lanjut.5,6
Faktor resiko utama kolesistitis yakni kolelitiasis meningkat prevalensinya pada orang
Skandinavia, Indian Pima, dan Hispanik, namun menurun dan jarang pada individu yang berasal
dari sub-sahara Afrika dan Asia. Di Amerika Serikat, penduduk kulit putih lebih sering terkena
kolesistitis daripada penduduk kulit hitam.5,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantung berbentuk buah pir, panjang sekitar 7
sampai 10 cm, dengan kapasitas rata-rata 30 sampai 50 ml. Ketika obstruksi, kandung empedu
dapat distensi dan berisi hingga 300 ml.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan
biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan
dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan
permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai
duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena
cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan
vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatic hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatic coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung
empedu berasal dari plexus coeliacus.7

Gambar 1. Anatomi Hepar 9

3
Gambar 2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu 8

Gambar 2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu 8

Empedu di sekresi oleh sel hepar ke dalam ductus biliaris yang bersatu menjadi ductus
biliaris interlobularis yang bergabung untuk membentuk ductus hepaticus dextra dan ductus
hepaticus sinistra. Ductus hepaticus dextre menyalurkan empedu dari lobus hepatis dextra, dan
ductus hepaticus sinistra menyalurkan empedu dari lobus hepatis sinistra, termasuk lobus
caudatus dan hampir seluruh lobus quadratus. Setelah melewati porta hepatis, kedua ductus
hepaticus bersatu untuk membentuk ductus hepaticus communis. Dari sebelah kanan ductus
cysticus bersatu dengan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledochus
(biliaris) yang membawa empedu ke dalam duodenum. 8
Ductus choledochus berawal di sisi bebas omentum minus dari persatuan ductus
cysticus dan ductus hepaticus communis. Ductus choledochus melintas ke kaudal di sebelah
dorsal pars superior duodenum dan menempati alur pada permukaan dorsal caput pancreatic.
Disebelah kiri bagian duodenum yang menurun, ductus choledochus bersentuhan dengan ductus
pancreaticus. Kedua ductus ini melintas miring melalui dinding bagian kedua duodenum, lalu
bersatu membentuk ampulla hepatopancreatica. Ujung distal ampulla hepatopancreatica
bermuara ke dalam duodenum melalui papilla duodeni major. Otot yang terdapat pada ujung
distal ductus choledochus menebal untuk membentuk musculus sphinter ductus choledochi. Jika

4
musculus sphincter ductus choledochi mengkerut, empedu tidak dapat memasuki ampula
hepatopancreatica dan atau duodenum, maka empedu terbendung dan memasuki ductus cysticus
ke dalam vesica biliaris untuk dipekatkan dan disimpan. 8

Gambar 3. Anatomi Kandung Empedu, Vesica biliaris (fellea), saluran empedu. 9

2.2. Fisiologi

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-1200
ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu makan,
empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan
sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi
air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung
dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.10

Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu pertama
empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam
empedu yang melakukan dua hal antara lain asam empedu membantu mengemulsikan partikel-
partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang

5
disekresikan dalam getah pancreas serta asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal. Yang kedua Empedu
bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari
darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan
kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.10

2.2.1 Pengosongan Cairan Empedu

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi
ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang
menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas
pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu
keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga
dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan
enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum
terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam
makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak
yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu
adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya
dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal
kalau diperlukan.10

2.2.2 Komposisi Cairan Empedu

Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol
merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan
garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari
kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.11

6
Ada dua macam garam empedu dari hati, yaitu : Asam deoksikolat dan Asam kolat.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi
deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan
diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam
bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga
bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
garam empedu akan terganggu.11
Fungsi garam empedu adalah menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-
partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut serta membantu absorbsi asam lemak,
monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak.11
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah
menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin
bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel
darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.11,10

Komponen Dari hepar Dari kandung empedu


Air 97,5 gr% 95 gr%
Garam empedu 1,1 gr% 6 gr%
Bilirubin 0,04 gr% 0,3 gr%
Kolesterol 0,1 gr% 0,3 – 0,9 gr%
Asam lemak 0,12 gr% 0,3 – 1,2 gr%
Lesitin 0,04 gr% 0,3 gr%
Elektrolit – –

Tabel 1. Komposisi cairan empedu10

7
2.3 Definisi

Kolelitiasis disebut juga dengan batu empedu, gallstones atau biliarycalculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada keduanya. Sebagian besar batu empedu,
terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.9

Gambar 4. Batu di dalam kandung empedu dan saluran biliaris.9

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi
Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada di
duktus sistikus. Dan kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.4
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik.
Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih
nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik
merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat
hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.4

8
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko

Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya pembentukan batu empedu yaitu. 11,12
a. Usia dan Jenis Kelamin
Data klinis dan epidemiologi menemukan bahwa batu kolesterol terjadi pada semua usia
sedangkan wanita memiliki risiko dua kali lebih besar daripada pria. Perbedaan antara wanita
dan pria terjadi pada saat masa pubertas dan berlanjut hingga usia memiliki anak akibat efek
hormonal dan perbedaan metabolisme kolesterol di hepar sebagai respon terhadap hormon
estrogen.

b. Diet
Data epidemiologi menunjukkan bahwa batu kolesterol memiliki prevalensi yang tinggi
pada populasi yang mengkonsumsi makanan Barat dengan jumlah kalori total sangat tinggi,
kolesterol, asam lemak jenuh, karbohidrat olahan, protein, dan garam, serta rendah serat.
Kejadian batu kolesterol lebih tinggi pada Amerika Utara dan Ameriksa Selatan begitu juga di
Eropa daripada populasi Asia dan Afrika.

c. Overweight dan Obesitas


Kondisi overweight maupan obesitas dapat meningkatkan sintesis dan eksresi kolesterol ke
empedu. Reseptor beta 3 adrenergek (ADRB3) merupakan reseptor transmembran yang
diekspresikan pada jaringan adiposa dan juga terlibat dalam regulasi lipolisis. ADRB3 juga
diekspresikan dalam jumlah yang banyak pada kandung empedu dimana berperan dalam
kontraksi kandung empedu.

d. Kehamilan dan Kelahiran


Kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu. Selama kehamilan, kandung
empedu menjadi lebih litogenik karena peningkatan kadar estrogen yang mengakibatkan
peningkatan sekresi kolesterol hepatik dan empedu jenuh. Motilitas kandung empedu menjadi
terganggu akibat peningkatan volume dan empedu yang stasis. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya batu empedu.
e. Penurunan Berat Badan

9
Penurunan berat badan yang cepat merupakan faktor risiko yang sering menyebabkan batu
kolesterol. Mekanisme penurunan berat badan yang cepat hingga dapat menyebabkan
terbentuknya batu empedu adalah meningkatnya sekresi kolesterol empedu akibat pembatasan
kalori, peningkatan produksi mukus pada kandung empedu, dan gangguan motilitas kandung
empedu.

f. Nutrisi Parenteral Total


Pemberian nutrisi parenteral total berhubungan dengan terbentuk kolelithiasis maupun
kolesistitis. Paling cepat 3 minggu setelah inisiasi pemberian nutrisi parenteral total, endapan
empedu akan segera terbentuk akibat puasa yang lama. Hal ini mengakibatkan sfingter Oddi
gagal berelaksasi sehingga aliran empedu dari kandung empedu menjadi terganggu.

g. Lumpur Empedu
Lumpur empedu merupakan tahapan penting yang berperan dalam patogenesis batu jenis
kolesterol maupun pigmen akibat proses kristalisasi dan penumpukan kristal monohidrat
kolesterol begitu juga pengendepan kalsium bilirubinat yang dapat berubah menjadi batu ukuran
makroskopik. Meskipun bersifat reversibel pada beberapa kasus, getah empedu dapat bertahan
atau menghilang ataupun muncul kembali pada 12% hingga 20% kasus.

h. Obat-obatan
Menurut berbagai studi klinis yang relevan, penggunaan kontrasepsi steroid oral dan
estrogen terkonjugasi pada wanita premenopause meningkatkan prevalensi batu kolesterol dua
kali lipat. Reseptor α estrogen hepar yang diaktivasi oleh hormon estrogen juga dipengaruhi oleh
umpan balik negatif biosintesis kolesterol dengan cara menstimulasi jalur sterol-regulatory
element binding protein-2 (SREBP-2). Hal ini akan mengaktivasi gen SREBP-2 yang responsif
terhadap biosintesis kolesterol. Perubahan ini dapat meningkatkan sekresi kolesterol hepar dan
supersaturasi empedu yang mencetuskan terbentuknya kristal kolesterol solid monohidrat dan
batu empedu. Estrogen mencetuskan penurunan kadar low-density lipoprotein (LDL) pada
plasma dan peningkatan high-density lipoprotein (HDL). Penurunan LDL dalam plasma
diakibatkan oleh peningkatan ekspresi reseptor LDL hepar sehingga meningkatkan pengeluaran
LDL plasma. Peningkatan pengambilan LDL oleh hepar juga mengakibatkan peningkatan

10
sekresi koleseterol ke empedu. Kadar estrogen yang tinggi dapat mengakibatkan hipomotilitas
pada kandung empedu dan stasis empedu.11,12
Sedangkan pada kolesistitis berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi kolesistitis
kalkulus yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada di duktus sistikus
dan Kolesistitis akalkulus yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.4

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Patogenesis Kolelitiasis

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor
terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati
penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan
kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.1,4
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam
kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat
demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu
lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk
kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan
hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan
puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu

11
pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.5
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam
menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara
ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons
kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.2,5
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu
masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan
supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.1
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai
kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam- garam empedu dan lesitin dari empedu, dan terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan
oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi
lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.11 Batu
kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam
perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu
secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap
berada disana sebagai batu duktus sistikus.1,10

12
2.5.2 Patofisiologi Kolesistitis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut
adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu
empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu
yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik
menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang
berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang
merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.4,5
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan empedu, stasis
empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor
terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati
penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan
kimia dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.14
Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa teori telah
diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab utama penyakit ini
dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas empedu. Pasien-pasien dalam
kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena meningkatnya viskositas empedu akibat
demam dan dehidrasi dan akibat tidak adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu
lama sehingga menghasilkan penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk
kontraksi kandung empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan
hasil dari tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan

13
puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu, sehingga empedu
pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu yang terjadi akibat
lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal jantung juga berperan dalam
patogenesis kolesistitis akalkulus.15
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan endotoksin dalam
menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas, dan hilangnya mukosa secara
ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai. Endotoksin juga menghilangkan respons
kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK) sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.15

Gambar 5. Patofisiologi kolesistitis akut.16

2.6 Manifestasi Klinis


2.6.1 Manifestasi Klinis Kolelitiasis

Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari
semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5

14
tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan
batu empedu asimtomatik.2

Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris.
Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.17

Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan
manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau
dalam infundibulum. Massa yang dapat dipalpasi hanya ditemukan pada 20% kasus. Kebanyakan
pasien akhirnya akan memerlukan terapi berupa kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.2,18

2.6.2 Manifestasi Klinis Kolesistitis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut
dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula
kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau
perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.19
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif
sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan
ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila
dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang

15
dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya
menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).19
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri
secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi
abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum
generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus
dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi
bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien –
pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu
spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.19
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi
kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik
kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda –
tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.20

2.7 Diagnosis

2.7.1 Diagnosis Kolelitiasis


Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.1
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.21

16
Pemeriksaan Fisik
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis
akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung
empedu, atau pangkreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut dapat terjadi leukositosis, biasanya
akan diikuti kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin kadar amylase serum biasanya meningkat
sedang setiap kali terjadi serangan akut.10

b. Pemeriksaan Radiologis

 Foto polos abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung empedu berkalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos abdomen. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak dikuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, flexura hepatica.10

17
Gambar 6. Foto Rongent pada kolelitiasis10

 Ultrasonografi

Pemeriksaan ini merupakan metode noninvasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan nilai sensitifitas dan spesifisitas
lebih dari 95%. Ultrasonografi dapat memberikan informasi yang cukup lengkap
mengenai10,22 :
 Memastikan adanya batu empedu
 Menunjukkan berapa batu empedu yang ada dan juga ukurannya.
 Melihat lokasi dari batu empedu tesebut. Apakah di dalam kandung empedu atau
di dalam duktus.
Ada 2 jenis pemeriksaan menggunakan ultrasonografi, yaitu :
 Ultrasonografi transabdominal
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan tidak membahayakan
pasien. Hampir sekitar 97% batu empedu dapat didiagnosis dengan ultrasonografi
transabdominal, namun kurang baik dalam mengidentifikasi batu empedu yang berlokasi
di dalam duktus dan hanya dapat mengidentifikasi batu empedu dengan ukuran lebih
besar dari 45 mm.
 Ultrasonografi endoskopi
Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang lebih baik daripada
ultrasonografi transabdominal. Karena sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat

18
mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus biliaris lebih baik. Kekurangannya
adalah mahal dari segi biaya dan banyak menimbulkan risiko bagi pasien.22
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis
atau udem karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara didalam usus. Dengan
ultrasonografi punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren
lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.10,22

Gambar 7. Hasil USG menunjukan adanya batu pada kandung empedu10

 Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, obstruksi pylorus, dan hepatitis karena pada keaadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Penilaian kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.

19
Gambar 8. Hasil Kolesistografi10

 CT scan

Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.

Gambar 9. CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple10

 ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini
memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus
koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk
membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan
ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki

20
gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat. ERCP
ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.10,22

Gambar 10. ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di
duktus intrahepatik (panah panjang)10

 Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)


Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari
Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati duktus biliaris
dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga
bila terdapat obstruksi duktus.22

Gambar 11. Hasil MRCP10

21
2.7.2 Diagnosis Kolesistitis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas yang
bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat
lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien
melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa
pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio
epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal
dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus
kolesistitis. Pada kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas.
Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak
bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.23,24

Gambar 12. Algoritma diagnosis kolesistitis25

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas abdomen,
dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat inspirasi
seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan pasien berhenti
menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis
lokal dan demam.23,24
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis
dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan

22
ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali
fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris.5,23,24
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi (USG),
computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. Pada USG, dapat
ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, adanya cairan di perikolesistik, dan
tanda Murphy positif saat kontak antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai
kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.4,24

Gambar 13. Pemeriksaan USG pada kolesistitis26

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan
USG. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG dan
juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.4,6

23
Gambar 14. Koleskintigram normal26

Gambar 15 Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak adanya pengisian kandung
empedu akibat obstruksi duktus sitikus26

24
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah27 :
 Gejala dan tanda lokal
o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
 Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau skintigrafi
yang mendukung.27

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Penatalaksanaan Kolelitiasis


Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan pemeriksaan
pasien, maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi profilaktik karena adanya
beberapa faktor. Hanya sekitar 30% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik yang memerlukan
operasi selama masa hidup mereka, dan ini menunjukkan bahwa pada beberapa pasien,
kolelitiasis merupakan suatu kelainan yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada beberapa
pasien ini dapat dilakukan penanganan konservatif.3,9Namun, terdapat beberapa faktor yang
menunjukkan kemungkinan terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada pasien dengan
batu empedu asimptomatik sehingga perlu dilakukan kolesistektomi profilaksis. Beberapa faktor
ini antara lain adalah pasien dengan batu empedu yang berukuran besar (>2,5 cm), pasien dengan
anemia hemolitik kongenital atau kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang
menjalani operasi kolektomi.3
Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk melakukan
intervensi bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat
dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi medikamentosa. Pada kolelitiasis
25
non-komplikata dengan kolik biliaris, penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk
beberapa pasien tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.6

Penatalaksanaan konservatif
Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan sintesis dan
sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus. Ursodiol merupakan jenis obat
yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu
radiolusens yang berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani
kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi asam empedu
endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke
dalam cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai kondisi seimbang
setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam
2-3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu
berukuran kecil dan murni merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar
50 % dalam 5 tahun.1,6
Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL).
Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu, namun saat ini hanya digunakna pada
pasien yang benar-benar dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal.
Supaya efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.6

Penatalaksanaan Operatif
Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko pada
penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan mengalami
gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani
pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau
komplikasi.Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu
asimpomatik, antara lain adalah pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2
cm, pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami kalsifikasi
(porcelaingallbladder)pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien yang berisiko tinggi
mengalami karsinoma kandung empedu, pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati

26
sensorik yang mempengaruhi abdomen, serta pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan
sulit membedakan antara krisis yang menyebabkan nyeri dengan kolesistitis.1,6
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu yang dapat
menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektifpada pasien, meskipun masih
asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah1,6 sirosis, hipertensi porta, anak-anak,
kandidat transplantasi, diabetes dengan gejala minor, juga pada pasien dengan kalsifikasi
kandung empedu
Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif, terdapat beberapa
teknik pembedahan yang dapat digunakan1,6 :
 Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien
yang mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu, kecuali usia atau kondisi
umum pasien tidak memungkinkan dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus empiema
kandung empedu, dapat dilakukan drainase pus sementara dari kandung empedu
(kolesistostomi) sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan
dengan terapi kolesistektomi elektif.
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di saluran empedu,
dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada saat operasi kolesistektomi.
Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan
adanya batu duktus biliaris komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif.
Alternatif lain yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi), sehingga batu
dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an. Pendekatan operasi
terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih menjadi teknik standar sampai akhir
tahun 1980an, dimana mulai diperkenalkan teknik baru berupa kolesistektomi
laparoskopik.28,29
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif, yang telah
mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini, kolesistektomi terbuka hanya
dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan kolesistektomi terbuka dilakukan
menggunakan sebuah insisi subkostal kanan yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi

27
laparoskopik menggunakan 4 insisi yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri
paskaoperasi nampak jauh lebih rendah pada pendekatan laparoskopik.28
Saat ini, kolesistektomi laparoskopikbiasanya dilakukan di klinik rawat jalan. Dengan
mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama pasien tidak dapat bekerja,
pendekatan laparoskopikjuga dapat mengurangi biaya kolesistektomi.
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang
dipublikasikan tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons
(SAGES) menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis simptomatik dianggap memenuhi
syarat untuk operasi laparoskopik. Pasien kolelitiasis dengan kolesistektomi
laparoskopiktanpa komplikasi dapat dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual
paskaoperasi sudah terkendali dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat
menunjukkan risiko yang lebih besar untuk kembali dirawat di rumah sakit.6
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah harus mengambil
semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada kandung empedu. Pada beberapa
kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien
dengan batu empedu yang masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka waktu ini.29
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada duktus
biliaris komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin meningkat sejak
dikembangkannya teknik kolesistektomi laparoskopik, namun kejadian dari komplikasi ini
sudah mulai berkurang seiring bertambahnya pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh
para dokter bedah dalam bidang operasi minimal invasif.18
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah terjadinya cedera
duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa teknik ini dapat membantu
mendeteksi cedera semacam ini pada masa intraoperasi.
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik
dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber
intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu,

28
bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi
dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi.20
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang
menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen
pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya
gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum,
sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian
kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan
gejala persisten.20
 Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema kandung empedu
dan sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada kondisi ini, dokter bedah dapat
memilih untuk melakukan kolesistostomi, suatu prosedur minimal invasif yang dilakukan
dengan memasang pipa drainase di kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki
kondisi klinis pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomidefinitif secara
elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomijuga dapat dilakukan oleh spesialis radiologi invasif
menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak memerlukan anestesi dan nampak
bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis yang tidak stabil.6,28,29
 Spincterotomi endoskopik
Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus biliaris komunis,
maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik. Pada prosedur ini, dokter akan
melakukan kanulasi duktus biliaris melalui papilla Vater. Menggunakan spincterotome
elektrokauter, dokter akan membuat insisi dengan ukuran sekitar 1 cm melalui sphincter Oddi
dan bagian intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga menghasilkan suatu lubang
yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.
Spincterotomi retrograde endoskopik terutama bermanfaat pada pasien dengan kondisi
sakit berat yang mengalami kolangitis ascenderen akibat tersumbatnya ampulla Vater oleh
batu empedu.
Indikasi lain untuk melakukan prosedur ini yaitu mengambil batu duktus biliaris komunis
yang tertinggal selama dilakukannya prosedur kolesistektomi sebelumnya, melakukan

29
pembersihan batu preoperatif dari duktus biliaris komunis untuk mengeliminasi kebutuhan
akan eksplorasi duktus biliaris intraoperatif, terutama pada kondisi dimana keahlian seorang
dokter bedah dalam bidang eksplorasi laparoskopikduktus biliaris masih terbatas atau pasien
menunjukkan risiko tinggi untuk menggunakan anestesia serta mencegah rekurensi
pankreatitis akut akibat batu empedu atau komplikasi lain dari koledokolitiasis pada pasien
dengan keadaan umum yang terlalu buruk untuk menjalani kolesistektomielektif atua pada
pasien dengan prognosis jangka panjang yang buruk.
Spincterotomi endoskopikintraoperatif (IOES) selama dilakukannya kolesistektomi
laparoskopikdapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi endoskopikpreoperatif
(POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik; hal ini disebabkan karena IOES
memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang sama dengan POES serta dapat mengurangi
lamanya perawatan di rumah sakit.6

2.8.2. Penatalaksanaan Kolesistitis


Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi.
Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan
antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol
cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut
seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.18,20
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3
gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu
diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem
500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang
nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan
kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam

30
dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil
laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500
mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.18,20

Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya
dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan
keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah.
Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi
konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan
biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien
yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30
% pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini
dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya
dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila
dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.30
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien
kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi
darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini
mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat
seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi
jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap
kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.3

31
BAB III
KESIMPULAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu saluran empedu. Etiologi, faktor risiko dan patogenesis
untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan
batu pigmen). Faktor yang berhubungan dengan kejadian kolelitiasis adalah jenis kelamin, suku
bangsa, usia, obesitas, kehamilan, stasis cairan empedu, obat-obatan dan faktor keturunan.
Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling sering
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Faktor risiko kolesistitis umumnya
serupa dengan kolelitiasis.
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Sementara keluhan yang agak khas untuk
serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan,
takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif.
Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun secara operatif. Pada batu
empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk melakukan intervensi bedah definitif
menggunakan kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk
meluruhkan batu menggunakan terapi medikamentosa. Untuk kolesistitis, dapat diberikan terapi
simptomatik, terapi untuk kelainan yang mendasari serta antibiotik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th edition. 2007.
US : McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J Long Term Eff
Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Prida dy. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
5. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. [Diakses pada: 28 Maret 2018]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
6. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 28 Maret 2018]. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
7. Brunicardi, CF. Andersen, D.K, Billiar RT, Dunn LD, dkk. Schwartz’s Principles of

Surgery. Tenth Edition. Book 2. New York: McGraw-Hill; 2015. Page 1309 – 1334.

8. Moore KL, Anne MR. Anatomi klinis dasar. Jakarta : Hipokrates. 2002 ; Hal 122 -123.

9. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Batang Badan. Panggul dan
Ekstremitas Bawah Jilid I. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta; 2000. Hal 142-150.
10. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
12. Wilkison, Judit M, buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC,2006
13. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery. Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1. Edisi
keempat. Jakarta: EGC, 1994.

33
15. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada: 29 maret
2018]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
16. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder
motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. 2009;232(2):202-7.
17. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
18. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
19. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009.
20. Poupon R, Rosmorduc O, Boëlle PY, Chrétien Y, Corpechot C, Chazouillères O, et al.
Genotype- phenotype relationships in the low-phospholipid associated cholelithiasis
syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology. Mar 26 2013
21. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts, dari
Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-1736, Editor Fauci
dkk. Mc Graw Hill, 1998
22. Cholelithiasis.Availablefrom:http:/www.7.com/healthmanagement/ManagingYourHealth/
HealthReference/Disease/InDepth.htm.
23. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis.
J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
24. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland Clinic
Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
25. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for the
diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex. J
Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
26. Khan AN, Karani J, Patankar TA. Acute Cholecystitis Imaging. [Diakses pada: 1 Juni
2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview.
27. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.

34
28. Binenbaum SJ, Teixeira JA, Forrester GJ, Harvey EJ, Afthinos J, Kim GJ, et al. Single-
incision laparoscopic cholecystectomy using a flexible endoscope. Arch Surg.
2009;144(8):734-8.
29. Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step treatment of gall
bladder and bile duct stones: a combined endoscopic-laparoscopic technique. Int J Surg.
Aug 2009;7(4):338-46.
30. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information
analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. Br
J Surg. 2010;97(2):210-9.
31. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. 2009;41(6):539-46.

35

Anda mungkin juga menyukai