Anda di halaman 1dari 4

Kasus Bidang Kebumian : Tanah Longsor

Terdapat banyak sekali kasus di bidang kebumian dapat yang berhubungan dengan lingkungan manusia
tinggal, daerah perminyakan dan di bidang pertambangan. Pada kesempatan kali ini akan dibahas tentang tanah longsor
atau nama lainnya adalah gerakan massa.

Gerakan tanah atau sering disebut dengan tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang
sering terjadi pada daerah perbukitan terutama di daerah tropis basah. Kondisi tanah di sebagian wilayah Indonesia
memang tergolong rawan longsor. Berdasarkan peta zona kerentanan bencana longsor menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2013, setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia [1].
Kondisi geografis yang umumnya merupakan daerah pegunungan dan memiliki lerenglereng menjadikan tanah tidak
stabil. Akibatnya, ketika terjadi pergerakan pun tanah mudah longsor. Pergeseran tanah dan kadar air yang berlebih
merupakan penyebab utama dari bencana longsor.

Gerakan massa atau tanah longsor merupakan pergerakan massa tanah dan batuan dari tempat asal ke tempat
yang lebih rendah yang disebabkan oleh gangguan keseimbangan lereng. Gerakan massa itu sendiri terjadi pada lereng-
lereng dengan tanah/batuan yang mempunyai hambat geser lebih kecil dari berat massa tanah/batuan itu sendiri.
terdapat litologi lereng yang rentan untuk terjadi longsor, yaitu :

- Lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah gembur dialasi oleh batuan atau tanah yang lebih kompak.
- Lereng yang tersusun oleh perlapisan batuan miring searah lereng.
- Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.

Fenomena ini terjadi dengan cepat baik secara vertikal maupun sub-vertikal. Jatuhan batuan paling sering
terjadi di area yang berbukit dan bergunung, terutama pada area yang mengalami pemotongan lereng untuk transportasi
berupa jaringan jalan. Walaupun ada jatuhan batuan merupakan salah satu bahaya yang paling potensial terjadi
disepanjang ruas jalan yang mengalami pemotongan lereng, tidak semua ruas jalan tersebut memiliki potensi bahaya
yang sama. Bencana ini cenderung dipengaruhi oleh faktor alami seperti batuan penyusun lereng, kemiringan lereng,
kondisi geologi, tinggi muka air tanah, curah hujan serta kegempaan di lokasi lereng tersebut. Selain faktor alami yang
menyebabkan kejadian bencana tanah longsor, faktor buatan manusia juga berperan disini seperti pemotongan kaki
lereng untuk kawasan pemukiman maupun infrastruktur manusia seperti jalan raya, ladang, penimbunan pada puncak
lereng, pemukiman di puncak lereng yang menambah beban lereng, maupun pembukaan hutan untuk lahan pemukiman
dan perkebunan baru.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut dapat berupa kerusakan secara langsung seperti
rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian dan adanya korban jiwa serta kerusakan tidak langsung yang melumpuhkan
kegiatan pembangunan dan aktivitas perekonomian di lokasi kejadian bencana. Peningkatan aktiviatas manusia juga
menjadi salah satu pemicu semakin banyaknya kejadian bencana tanah longsor. Sedangkan faktor pemicu terjadinya
tanah longsor antara lain adanya infiltrasi hujan, terdapat getaran dan aktivitas manusia. Untuk Faktor pengontrol
gerakan massa sebagai berikut :

- Kondisi geomorfologi,
Kondisi geomorfologi disini maksudnya adalah besarnya kemiringan lereng. Lereng pada lahan yang
miring akan beresiko untuk mengalami gerakan tanah. Semakin terjal atau curam kemiringan lereng pada lahan,
maka semakin tinggi resiko terjadinya gerakan tanah.
- Kondisi geologi
Kondisi geologi Indonesia merupakan kondisi geologi yang dinamis. Hal ini disebabkan oleh adanya
gerakan Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik yang menumbuk di bawah Lempeng Benua Eurasia sehingga
terjadinya zona penunjaman yang disebut sebagai zona subduksi. Zona penunjaman tersebut berdampak pada
kondisi geologi Indonesia, diantaranya adalah terjadinya aktivitas gempa dan gunungapi yang menyebar di
seluruh Indonesia. Getaran gempabumi yang terjadi dapat menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah
pegunungan, karena getaran gempa dapat memperbesar gaya atau tegangan penggerak massa tanah / batuan pada
lereng.
- Kondisi tanah
Kondisi tanah/batuan penyusun sangat mepengaruhi tingkat resiko terjadinya gerakan tanah. Gerakan
tanah tidak akan terjadi pada lahan yang kemiringan lerengnya sangat curam apabilan tanah/batuan penyusun
lereng tersebut bersifat kompak dan masif. Kondisi tanah yang berpotensi terjadinya gerakan tanah yaitu tanah-
tanah yang bersifat lepas-lepas atau rapuh, seperti tanah residual hasil pelapukan batuan, tanah kolovial, serta
lapisan batulempung seperti jenis smektit dan montmorilonit, lapisan batu napal dan serpih.
- Kondisi iklim
Kondisi iklim di Indonesia sangat mempengaruhi aktivitas pergerakan tanah. Indonesia memiliki
temperatur dan curah hujan yang sangat tinggi, sehingga sangat mendukung terjadinya proses pelapukan batuan.
Tidak jarang terlihat tanah dengan ketebalan yang sangat tebal yang menompang di atas batuan induknya. Hal
ini sangat beresiko terjadinya gerakan tanah. Apabila terjadi hujan dengan curah hujan yang tinggi atau menengah
secara terus menerus (beberapa jam hingga hitungan hari), maka air hujan yang meresap ke dalam lereng dapat
meningkatkan kejenuhan tanah dan akhirnya tanah terangkut oleh aliran air dalam lereng sehingga terjadi gerakan
tanah.
- Kondisi hidrologi lereng
Kondisi lereng yang memiliki akuifer menggantung atau air tanahnya dangkal, akan sensitif mengalami
kenaikan tekanan hidrostatis apabila air permukaan meresap ke dalam lereng. Apalagi bila tanah/batuan
penyusun lereng memiliki retakan atau kekar yang banyak, sehingga intensitas air permukaan yang masuk
akan semakin banyak. Ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan air di lereng, sehingga
lereng sangat beresiko mengalami gerakan.

Untuk mengurangi dampak akibat dari tanah longsor maka dapat dibuat system peringatan dini. Sistem ini
Berbasis Fuzzy C Means Wireless Sensor Network (FCM-WSN) . Metode pembuatan dari system ini sebagai berikut

Pada tahap implementasi, diawali dengan melakukan perangkaian dan setting perangkat kemudian dilanjutkan
dengan pengukuran setiap unit perangkat yang digunakan.

Kemudian dilakukan pengkodean, untuk mengontrol dan menghubungkan antara perangkat yang satu dengan
perangkat yang lain. Sistem catu daya diambilkan dari USB yang dikoneksikan dengan komputer sebesar 5V DC.
Sedangkan sistem komunikasi serialnya menggunakan kabel dari ke-2 perangkat, yaitu kabel USB mini dan kabel
FTDI, yang dikontrol menggunakan modul arduino.
Data diambil dari hyperterminal yang kemudian disimpan dalam fotmat *.txt. Data dengan format *.txt,
kemudian di-importkan ke excel untuk diolah lebih lanjut. Pengambilan data dilakukan sesuai dengan table 12, serta
masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali percobaan, dengan jarak jangkau masing-masing 50 cm. Salah satu contoh
tegangan keluaran dari sensor accelerometer diperlihatkan pada gambar 18. Keluaran sensor, diperlihatkan pada
gambar 3.

Untuk melihat pola keluaran sensor, apakah keluaran sensor sudah reliable atau repeatable, dapat dilihat dari
grafik spider, yang diperlihatkan pada gambar 4. Pada grafik pengujian, dapat bagian legenda, set 1 adalah pembacaan
sumbu x pada sensor accelerometer, set 2 adalah pembacaan sumbu y pada sensor accelerometer sedangkan set 3
adalah pembacaan sumbu z pada sensor accelerometer. Pada grafik terlihat bahwa, untuk pembacaan arah T 30 dan
45, sumbu y dan z yang paling berpengaruh, sedangkan pada pembacaan arah U 30 dan 45, sumbu x dan z yang paling
berpengaruh.Untuk pembacaan arah B 30 dan 45, sumbu x dan y yang paling berpengaruh, sedangkan pada pembacaan
arah S 30 dan 45, sumbu z yang paling berpengaruh, namun pada arah S sudut 30, sumbu y yang paling berpengaruh.
Dari pembacaan grafik tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa sensor sudah stabil, walaupun ada perbedaan nilai
yang mencolok pada arah S 30 derajad. Pada grafik terlihat bahwa, untuk pembacaan arah T 30 dan 45, sumbu y dan
z yang paling berpengaruh, sedangkan pada pembacaan arah U 30 dan 45, sumbu x dan z yang paling
berpengaruh.Untuk pembacaan arah B 30 dan 45, sumbu x dan y yang paling berpengaruh, sedangkan pada pembacaan
arah S 30 dan 45, sumbu z yang paling berpengaruh, namun pada arah S sudut 30, sumbu y yang paling berpengaruh.
Dari pembacaan grafik tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa sensor sudah stabil, walaupun ada perbedaan nilai
yang mencolok pada arah S 30 derajad.
Pada grafik terlihat bahwa, untuk pembacaan arah T 30 dan 45, sumbu y dan z yang paling berpengaruh,
sedangkan pada pembacaan arah U 30 dan 45, sumbu x dan z yang paling berpengaruh.Untuk pembacaan arah B 30
dan 45, sumbu x dan y yang paling berpengaruh, sedangkan pada pembacaan arah S 30 dan 45, sumbu z yang paling
berpengaruh, namun pada arah S sudut 30, sumbu y yang paling berpengaruh. Dari pembacaan grafik tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa sensor sudah stabil, walaupun ada perbedaan nilai yang mencolok pada arah S 30 derajad.
Dari data yang dihasilkan, kemudian dicari nilai standart deviasinya untuk mendapatkan cirri dari nilai x, y dan z untuk
setiap pengukuran. Setelah semua data terkumpul, kemudian data dimasukan ke program matlab untuk dilakukan
perhitungan ekstraksi cirri. Ekstraksi cirri yang digunakan adalah PCA 2 dimensi. Vektor cirri yang dihasilkan dari
PCA, ditampilkan pada table 3. Program ekstraksi cirri PCA digunakan untuk meringkas data menjadi 2 kolom,
sehingga dapat digambarkan dalam grafik 2 dimensi. Untuk melihat klasifikasi arah, apakah sudah sesuai dengan yang
diinginkan, dapat dilihat dari grafik PCA, yang diperlihatkan pada gambar 20.

Grafik hasil PCA, selanjutnya dimasukan dalam program pengolahan FCM untuk menentukan pusat cluster
dan untuk menentukan batas cluster. Gambar 21 menggambarkan tentang hasil dari clustering FCM yang terdiri dari
4 cluster, namun pada cluster S dan T, ternyata jaraknya masih berdekatan. Agar tidak saling berhimpit antara cluster
S dan T, maka bagian cluster S tidak menggunakan batas lingkaran, namun menggunakan batas elips. Hasil dari
clustering FCM yang baru dengan batas cluster S berbentuk elips. Hasil pengenalan yang didapat dari data
pembelajaran arah longsor (T, B, U dan S), sudah mencapai 100%. Namun begitu, masih belum dikerjakan tentang
penanganan sudut longsor 30 dan 45 derajad. Hal ini kemungkinan karena sudut yang akan dicluster terlalu dekat,
sehingga masih masuk kedalam 1 cluster dan sulit untuk dibedakan.

Daftar Pustaka

Karnawati, D., 2005, Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulannya, Yogyakarta:
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, p 7 – 35.
Wulandari, S.A, Swakarma, I.K, 2013, Rancang Bangun Sistem Deteksi Dini Longsor Berbasis Fuzzy C Means
Wireless Sensor Network (FCM-WSN) . Semarang : Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi
Terapan 2013

Anda mungkin juga menyukai