Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS BEDAH

INTUSUSEPSI

DOKTER MUDA:
ANNISA SORAYA PUTRI
1407101030094
AFFRA CAHYO W
1407101030055

PEMBIMBING :
dr. Dian Adi Syahputra, Sp.BA

RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN


BANDA ACEH
PERIODE 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN

Invaginasi (intussusception) adalah suatu keadaan masuknya suatu segmen usus bagian
proksimal (intussusceptum) ke segmen bagian distalnya (intususcipiens) yang umumnya akan
berakhir dengan obstruksi usus strangulasi.1,2,3

Invaginasi atau intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang sering terjadi pada
anak-anak. Invaginasi dapat terjadi pada setiap umur. Insidens terbesar terjadi pada penderita
usia 5 hingga 9 bulan. Lebih dari separuh dari seluruh kasus terjadi pada usia dibawah 1 tahun
dan hanya 10-25% terjadi pada usia lebih dari 2 tahun. Mayoritas dari pasien dengan invaginasi
adalah bayi yang sehat, pria lebih sering daripada wanita dengan perbandingan 2:1.

Manifestasi klinik dan temuan klinis sangat bergantung pada berapa lama invaginasi telah
berlangsung. Umumnya bayi dalam keadaan sehat, gizi baik. Mungkin beberapa hari sebelumnya
terdapat peradangan saluran nafas bagian atas atau diare.

Hal tersebut yang membuat invaginasi penting untuk dibahas. Invaginasi yang umumnya
dialami oleh bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik sering sulit untuk dikenali. Padahal, apabila
tanda invaginasi dapat sdikenali secara dini dan cepat diberi penanganan akan memberikan
prognosis yang baik.
BAB II
LAPORAN KASUS

Nama : Muhammad Baitul Akbar


Usia : 4 bulan 1 hari
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Peunaron Baru, Aceh Timur
No. Rekam Medik : 1-02-06-02
Tanggal MRS : 28 September 2014
Ruang Rawat : Jeumpa 1

Anamnesis

Keluhan Utama
Perut kembung

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dikonsulkan dari RSUD Graha Bunda dengan keluhan perut
kembung sejak 7 hari yang lalu. Pasien juga mengalami BAB berdarah bercampur lendir sejak 7
hari yang lalu, muntah setiap setelah diberi makan, serta pasien rewel berkali-kali. Lalu pasien
dirawat 1 malam di puskesmas lalu mengalami perbaikan ditandai dengan BAB yang tidak
berdarah lagi dan tidak ada lagi muntah serta rewel berkurang. Lalu 4 hari yang lalu kembali
mengalami BAB berdarah lagi dan berlendir, diikuti muntah kembali dan dirawat di RSUD
Graha Bunda.
Ibu pasien menceritakan pasien belum pernah mengalami keluhan seperti yang dirasakan
sekarang. Pasien juga dilahirkan secara normal dan riwayat imunisasi lengkap. Pasien biasanya
terlihat sehat dan tidak ada riwayat kurang gizi.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami perut kembung seperti ini namun tidak sampai BAB keluar
darah dan muntah-muntah.
Riwayat Kehamilan, Kelahiran, dan Tumbuh kembang
 Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
 Riwayat tumbuh kembang kesan baik

Follow Up

(IGD, 27 September 2014, 21.40)


A. Status Generalis
Keadaan umum : Lemah, menangis kuat
Tanda vital : Frekuensi nadi : 112 x/menit
Suhu : 36,7 ºC
Frekuensi napas : 32 x/menit
Kepala : Lingkar kepala dalam batas normal
Mata : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Leher : Dalam batas normal
Paru : Dalam batas normal
Jantung : Dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : Distensi (+), darm steifung (-), darm contour (-)
Auskultasi : Bising usus (+) melemah
Palpasi : Defans muskular (-)
Perkusi : Tympani
Ekstremitas : Dalam batas normal
Kulit : Dalam batas normal
Colok Dubur : tonus sphincter ani : ketat
Ampulla recti : kolaps
Mukosa recti : licin
Glove discharge : Darah (-)

B. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium ( 27 September 2014 )
Darah rutin
Haemoglobin : 9,5 gr/dl
Hematokrit : 30 %
Eritrosit : 4,1
Leukosit : 14,0
Trombosit : 506
Hitung Jenis
Eosinofil :0%
Basofil :0%
N. Segmen : 35 %
Limfosit : 46 %
Monosit : 19 %
Faal Hemostasis
CT :2
BT :7
Kimia Klinik
Natrium (Na) : 134 mmol/L
Kalium (K) : 2,7 mmol/L
KGDS : 100 mg/dL

C. Diagnosa Sementara : Susp. Intusussepsi + anemia + hipokalemia

D. Penatalaksanaan
- Stop oral intake
- OGT decompression
- Urinary Catheter : initial 10 cc, maintenance 15 cc/jam
- IVFD RL
Holiday-Segar formula
BB x 100 cc = 7 kg x 100 cc = 700cc/24 jam
- Inj Ceftriaxone 250 mg/12 jam
- KCL 3,64 meq
E. Planning
- USG Abdomen
- Foto rontgen babygram

Follow Up
(PICU, 28 September 2014 )
Subjektif : perut kembung (+)
Rewel (+)
Objektif :

Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Tanda vital : N : 134 x/menit
RR : 32 x/menit
T : 36º C
Kulit : dalam batas normal
Kepala : lingkar kepala dalam batas normal
Mata : pupil isokor 2mm/2mm; RCL (+/+), RCTL (+/+)
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-)
Jantung : dalam batas normal
Paru : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-); retraksi SC (-), retraksi IC (-)
Abdomen : I : distensi (+)
A : Bising usus (+)
P : Defans muskular (-)
P : tympani
Lain-lain : NGT : jernih, 3 cc/10 jam
Popok : kesan urin cukup
Colok Dubur : tidak dilakukan
Ekstremitas : akral hangat
Assesment : Intususepsi + anemia + hipokalemia
Treatment : IVFD RL 700 cc/ 24 jam + KCL 3,64 meq
Inj. Ceftriaxone 250 mg/12 jam
Inj. Novalgin 100 mg/8jam

Pemeriksaan Penunjang
a. Foto babygram
b. USG abdomen
Follow Up
(PICU, 29 September 2014 )
Subjektif : perut kembung (+)
BAB berdarah dan berlendir (-)
Muntah (-)

Objektif :

Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Tanda vital : N : 126 x/menit
RR : 43 x/menit
T : 36º C
Kulit : dalam batas normal
Kepala : lingkar kepala dalam batas normal
Mata : pupil isokor 2mm/2mm; RCL (+/+), RCTL (+/+)
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-)
Jantung : dalam batas normal
Paru : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-); retraksi SC (-), retraksi IC (-)
Abdomen : I : distensi (+)
A : Bising usung (+)
P : Defans muskular (-)
P : tympani
Lain-lain : NGT : jernih, 3 cc/10 jam
Popok : kesan urin cukup
Colok Dubur : tidak dilakukan
Ekstrimitas : akral hangat

Assesment : IVFD RL 700 cc/ 24 jam + KCL 3,64 meq dalam NaCl
Inj. Ceftriaxone 250 mg/12 jam
Inj. Novalgin 100 mg/8jam
Follow Up
(Jeumpa 1, 30 September 2014 )
Subjektif : perut kembung (-)
BAB berdarah dan berlendir (-)
Muntah (-)

Objektif :

Status Generalis
Keadaan Umum : lemah
Tanda vital : N : 119 x/menit
RR : 43 x/menit
T : 36º C
Kulit : dalam batas normal
Kepala : lingkar kepala dalam batas normal
Mata : pupil isokor 2mm/2mm; RCL (+/+), RCTL (+/+)
THT : dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (-)
Jantung : dalam batas normal
Paru : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-); retraksi SC (-), retraksi IC (-)
Abdomen : I : distensi (-)
A : Bising usung (+)
P : Defans muskular (-)
P : tympani
Lain-lain : Popok : kesan urin cukup
Colok Dubur : tidak dilakukan
Ekstrimitas : akral hangat

Assesment : IVFD RL 700 cc/ 24 jam + KCL 3,64 meq dalam NaCl
Inj. Ceftriaxone 250 mg/12 jam
Inj. Novalgin 100 mg/8jam
Resume
Seorang anak laki-laki, berusia 4 bulan datang dibawa oleh orang tua nya ke Rumah Sakit
Zainal Abidin Banda Aceh. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Graha Bunda dengan keluhan
perut kembung sejak 7 hari yang lalu. Pasien juga mengalami BAB berdarah bercampur lendir
sejak 7 hari yang lalu, muntah setiap setelah diberi makan, serta pasien rewel berkali-kali. Lalu
pasien dirawat 1 malam di puskesmas lalu mengalami perbaikan ditandai dengan BAB yang
tidak berdarah lagi dan tidak ada lagi muntah serta rewel berkurang. Lalu 4 hari yang lalu
kembali mengalami BAB berdarah lagi dan berlendir, diikuti muntah kembali dan dirawat di
RSUD Graha Bunda.
Ibu pasien menceritakan pasien belum pernah mengalami keluhan seperti yang dirasakan
sekarang. Pasien juga dilahirkan secara normal dan riwayat imunisasi lengkap. Pasien biasanya
terlihat sehat dan tidak ada riwayat kurang gizi.

Pada pemeriksaan fisik khususnya pada abdomen dari inspeksi didapatkan adanya perut
distensi dan pada auskultasi didapatkan suara bising usus yang melemah. Pada pemeriksaan
colok dubur didapatkan ampula recti kollaps, tonus spingter ani ketat, mukosa licin, dan blood
discharge (-). Pada kasus tersebut dapat didiagnosis banding dengan suspect Invaginasi.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan nilai hemoglobin, hematokrit,


adanya penurunan eritrosit, adanya peningkatan trombosit, dan didapatkan hipokalemia. Pada
pemeriksaan foto rontgen babygram didapatkan masa hipolusen di kuadran kanan bawah dan
terlihat hiperlusen pada hampir seluruh lapangan abdome. Pada pemeriksaan USG didapatkan
gambaran “pseudo-kidney sign” pada potongan longitudinal dan didapatkan juga gambaran
“doughnout sign” pada potongan transverse.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Invaginasi (intussusception) adalah suatu keadaan masuknya suatu segmen usus bagian
proksimal (intussusceptum) ke segmen bagian distalnya (intususcipiens) yang umumnya akan
berakhir dengan obstruksi usus strangulasi.1,2,3

B. INSIDENS
Invaginasi atau intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang sering terjadi pada
anak-anak. Invaginasi dapat terjadi pada setiap umur. Insidens terbesar terjadi pada penderita
usia 5 hingga 9 bulan. Lebih dari separuh dari seluruh kasus terjadi pada usia dibawah 1 tahun
dan hanya 10-25% terjadi pada usia lebih dari 2 tahun. Mayoritas dari pasien dengan invaginasi
adalah bayi yang sehat, pria lebih sering daripada wanita dengan perbandingan 2:1.3

C. PATOGENESIS
Lebih dari 80% kasus invaginasi berupa ileokolika. Meskipun jarang, Invaginasi bisa
juga terjadi secara ileoileal, sekokolika, kolokolika, dan yeyunoyeyunal.3,4

Invaginasi terjadi ketika suatu segmen usus berikut mesenterium masuk ke dalam lumen
usus bagian distalnya oleh suatu kausa. 90% kausa tersebut masih belum diketahui secara pasti,
tetapi diduga oleh penebalan dinding usus, khususnya ileum.2,5 Pada hampir setiap pemeriksaan
usus saat operasi, ditemukan hipertropi jaringan limfoid pada dinding ileal intususeptum.
Invaginasi seringkali terjadi pada saat penderita mengalami infeksi pernapasan atau suatu
episode gastroenteritis yang kemudian menyebabkan hipertropi plak Peyer, menginisiasi
terjadinya invaginasi. Adenovirus dan rotavirus diketahui berimplikasi pada 50% kasus.3

Dugaan kedua dari kausa invaginasi adalah adanya ketidakseimbangan dari gerakan
longitudinal dinding perut. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya massa usus atau memang
terdapat disorganisasi pola peristaltis (misal, ileus pada kondisi pascaoperasi). Akibatnya,
sebagian dinding usus dapat mengalami invaginasi ke dalam lumen berikut dengan bagian usus
disekitarnya. Jika proses ini terus berlanjut, maka usus bagian proksimal (intususeptum) akan
terus mengalami invaginasi ke dalam intususipiens.5,6

Kausa lain yang dapat dijumpai adalah adanya kelainan anatomis, seperti divertikulum
Meckel, polip, perdarahan submukosa pada penyakit Henoch-Schonlein purpura, limfoma non-
Hodgkin, pankreas atau mukosa gaster yang ektopik, neoplasma seperti leiomioma dan
leiomiosarkoma.2,3

Mesenterium dari intususeptum yang tertarik ke bagian distal usus dan terjepit pada
awalnya akan menganggu aliran balik pembuluh limfe dan menimbulkan edema. Hal ini
meninggikan tekanan pada dinding intususeptum hingga kemudian aliran vena ikut terganggu
dan usus akan semakin edema. Jika hal ini terus berlanjut, maka pembuluh arteri akan terjepit
hingga terjadi insufisiensi arteri dan selanjutnya nekrosis dinding usus. Mukosa sangat rentan
mengalami iskemia karena lokasinya berada paling jauh dari suplai arteri. Mukosa yang iskemik
kemudian akan luruh dan bercampur dengan darah segar dan mukus, memberikan gambaran
currant jelly stool.5,6 Proses ini dinamakan proses strangulasi, tersirat oleh adanya perdarahan per
rektal dan rasa sakit. Serangan rasa sakit mula-mula hilang-timbul kemudian menetap dan sering
disertai serangan muntah. Jika strangulasi tidak dapat diatasi, selanjutnya dapat terjadi gangren
dan perforasi.

Selain proses strangulasi, pada invaginasi didapatkan juga proses obstruksi yang sudah
dimulai sejak invaginasi terjadi, tetapi penampilan klinik obstruksi memerlukan waktu.
Umumnya setelah 10-12 jam hingga menjelang 24 jam gejala dan tanda-tanda obstruksi seperti
perut kembung dan muntah hijau atau fekal baru terjadi.2
D. DIAGNOSIS: MANIFESTASI KLINIK DAN PEMERIKSAAN FISIK
Manifestasi klinik dan temuan klinis sangat bergantung pada berapa lama invaginasi telah
berlangsung. Umumnya bayi dalam keadaan sehat, gizi baik. Mungkin beberapa hari sebelumnya
terdapat peradangan saluran nafas bagian atas atau diare.

Awalnya, bayi dapat tiba-tiba menangis karena merasa sakit pada perut, menarik kaki ke
perut, dan muntah berisi makanan atau minuman yang masuk. Beberapa menit kemudian jika
serangan telah berlalu, bayi akan tampak normal, bermain-main atau tertidur kembali. Hal ini
seringkali disalahartikan oleh dokter umum sebagai gastroenteritis, hingga kemudian timbul
gejala lebih lanjut. Beberapa jam kemudian, serangan akan timbul semakin sering dan bayi
menjadi letargik. Bayi defekasi berupa feses disertai darah segar dan lendir, selanjutnya hanya
darah dan lendir (currant-jelly stools). Muntah yang pada awalnya berisi makanan yang belum
dicerna, berlanjut menjadi muntah hijau (bilious emesis) jika obstruksi telah lanjut.4,5

Pada pemeriksaan fisik, sementara gejala dan tanda-tanda obstruksi belum tampak, pada
pemeriksaan abdomen mungkin teraba massa di perut kanan atau kiri atas sementara perabaan
pada abdomen bawah terus kosong (Dance’s sign).2,7 Pada pemeriksaan colok dubur terdapat
darah segar serta lendir dan mungkin masih terdapat feses pada sarung tangan.

Menjelang 24 jam sesudah invaginasi terjadi, dapat ditemukan tanda-tanda obstruksi


usus, seperti abdomen yang kembung dan terlihat kontur dan peristalsis usus. Muntah sudah
berwarna hijau atau bahkan berupa fekal. Massa intraabdomen sulit teraba lagi. Pada
pemeriksaan colok dubur dapat ditemukan ampula yang kolaps dan pada sarung tangan hanya
terdapat darah dan lendir. Penderita sudah terdapat tanda-tanda dehidrasi yang berakibat
takikardi dan mungkin juga kenaikan suhu tubuh sehingga terkadang gambaran pertama pada
pasien demikian adalah seperti syok septik atau hipovolemik.1,2 Demam beserta leukositosis
mengindikasikan adanya gangren dan infark usus3 yang dapat menyebabkan sepsis enterik.8

Pada suatu kondisi yang jarang, ujung invaginasi dapat juga teraba saat pemeriksaan
colok dubur. Ujung invaginasi tersebut teraba seperti perabaan pada portio, yang disebut sebagai
pseudoporsio.2 Kadang, ujung invaginasi tersebut dapat mengalami prolaps hingga ke dalam
anus. Hal ini merupakan keadaan gawat, khususnya jika warna dari intususeptum adalah biru-
kehitaman. Prolaps ileum ke dalam rektum atau anus megindikasikan adanya suplai darah yang
sangat kompromais serta kerusakan usus yang parah. Pada pasien yang demikian tanda-tanda
sistemik pasti sudah terjadi. Sayangnya, prolaps invaginasi ke anus ini dapat dikira sebagai
prolaps rektum biasa. Untuk membedakannya, spaltel tongue yang sudah dilubrikasi dimasukkan
ke dalam anus menyusuri bagian tepi antara massa prolaps dan rektum. Jika ujung dari spaltel
tongue dapat dimasukkan lebih dari satu atau dua sentimeter, diartikan sebagai invaginasi. Selain
itu, prolaps rektum tidak disertai muntah ataupun tanda-tanda sepsis.3

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat menunjang diagnosis invaginasi. Leukositosis
dapat merupakan indikasi gangren pada proses lanjut. Pemeriksaan elektrolit diperlukan
untuk melihat ketidakseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi.4,6,9

2. Foto Polos Abdomen


Pada lebih dari separuh kasus, diagnosis invaginasi dapat ditunjang melalui foto
polos abdomen. Meskipun demikian, foto polos abdomen ini hanya dapat menunjukkan
adanya obstruksi usus (adanya massa abdominalis, distribusi udara dan feses yang abnormal,
udara di dalam usus yang melebar, gambaran Herring bone, dan air-fluid level) atau perforasi
(gambaran udara bebas). 3,4,5,6

Gambar 1. Foto polos abdomen menunjukkan dilatasi usus kecil dan gambaran udara di
kuadran atas dan kanan bawah.
3. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan gambaran karakteristik invaginasi berupa
lesi target dan gambaran pseudokidney. Lesi target terlihat pada potongan transversal, terdiri
atas dua cincin hipoekoik di antara sebuah cincin hiperekoik. Gambaran pseudokidney
terlihat pada potongan longitudinal dan terlihat sebagai lapisan-lapisan hipoekoik dan
hiperekoik yang saling tumpang-tindih, menandakan adanya edema pada dinding usus.
Pemeriksaan USG ini cukup akurat, sayangnya sangat bergantung pada operator sehingga
gambaran yang diberikan tergantung dari kemampuan operator melakukan pemeriksaan
USG. Pemeriksaan USG juga tidak memerlukan kontras enema serta tidak ada paparan
radiasi.3

Gambar 2. USG perut memberikan gambaran lesi target yang klasik dari intuseptum
yang berada di dalam intususipien.

4. Computed Tomography
Invaginasi pada pemeriksaan CT scan tampak sebagai massa intraluminal dengan lapisan
yang karakteristik. Mesipun demikian, pemeriksaan CT scan ini memiliki risiko terkait
dengan pemberian kontras, paparan radiasi, dan sedasi. 3,6
Gambar 3. CT scan menunjukkan gambaran klasik ying-yang dari sebuah
intususeptum di dalam intususipiens.

5. Pemeriksaan dengan kontras enema ( kontras berupa Barium atau Udara)


Pemeriksaan radiologik dengan kontras dapat digunakan untuk diagnostik sekaligus terapi
pada pasien yang stabil. Untuk tujuan diagnostik hanya dikerjakan jika terdapat keraguan
diagnosa. Pada foto terlihat gambaran cupping dan coil spring.2 Pemeriksaan maupun terapi
dengan enema merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gejala perforasi atau
peritonitis.8

Gambar 4. Kontras enema udara menunjukkan adanya intususepsi/invaginasi


di dalam sekum.

Gambar 5. Barium enema menunjukkan adanya invaginasi di kolon desendens.


F. TATALAKSANA
Prinsip tatalaksana: tindakan perbaikan keadaan umum mutlak perlu dikerjakan sebelum
melakukan tindakan apapun.
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi
2. Rehidrasi melalui cairan intravena. Perlu diperhatikan bahwa kadang-kadang tanda
dehidrasi tidak begitu jelas tampak pada bayi dengan gizi baik dan gemuk. Jika akan
dilakukan tindakan operatif, sebaiknya bayi sudah terehidrasi dalam empat atau enam
jam, ditandai dengan keluaran urin 1-2 cc/kgBB/jam.
3. Pemasangan kateter urin untuk memonitor produksi urin ditandai dengan keluaran urin
normal anak 1-2 cc/kg/bb/jam.
4. Pemberian antibiotik ”broad spectrum” sebagai profilaksis terjadinya infeksi nosokomial
5. Obat-obat penenang untuk penahan sakit, misal phenobarbital dan valium.
6. Lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap dan elektrolit.4,5

Setelah keadaan umum baik, dilakukan tindakan pembedahan, bila jelas terdapat tanda-
tanda obstruksi usus. Indikasi dilakukannya tindakan reduksi operatif adalah:
 Tanda awal dari peritonitis atau perforasi
 Terjadi perforasi saat dilakukan reduksi radiologis
 Kegagalan dari reduksi radiologis
 Tiga kali mengalami gejala klinis yang sama seperti intususepsi.5

Tindakan Non-Operatif
1. Reposisi Dengan Enema Barium (Reduksi Hidrostatik)
Reposisi dengan enema Barium dikerjakan dengan tekanan hidrostatik untuk mendorong
bagian usus yang masuk (intususeptum) ke arah proksimal. Tindakan ini dikerjakan jika belum
terdapat tanda-tanda obstruksi usus yang jelas seperti buncit abdomen dan muntah hijau atau
fekal. Peritonitis merupakan kontraindikasi melakukan reposisi dengan enema Barium.2

Reposisi dengan enema barium dilakukan dengan cara memasukkan kontras melalui
kateter Foley yang sudah dilubrikasi dan dimasukkan ke dalam rektum. Agar tidak mengalir lagi
keluar, barium ditahan dengan cara merapatkan kedua bokong, tidak dengan balon kateter.
Materi kontras mengalir ke rektum dari ketinggian tiga kaki (100 cm) dari bokong. Pengisian
kontras ke dalam usus diawasi secara fluroskopik. Tekanan hidrostatik yang konstan dilanjutkan
hingga terjadi reduksi, yang ditandai dengan terdorongnya invaginasi secara retrograd melewati
valvula ileosekal dan kontras mengalir bebas mengisi ileum terminalis. Jika reposisi dengan
enema barium mengalami kegagalan, dapat diulangi lagi hingga dua-tiga kali.3

Reposisi dengan enema barium memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan


tindakan bedah antara lain mengurangi morbiditas, biaya, dan lama perawatan di rumah sakit.
Prosedur dengan enema barium ini merupakan metode standar hingga pertengahan 1980-an,
hingga ditemukannya kontras isotonik larut air untuk reduksi hidrostatik. Risiko perforasi dan

ekstravasasi barium dilaporkan sebesar 0,5-2,4 % kasus, terutama terjadi pada pasien usia di
bawah 6 bulan, invaginasi terjadi lebih 72 jam, dan telah terjadi obstruksi total.9

2. Reposisi Dengan Udara (Reduksi Pneumatik)


Reposisi dengan enema udara mulai dikenal pada tahun 1980 dilaporkan memiliki angka
keberhasilan lebih tinggi. Prosedur dilakukan dengan cara udara ditiupkan ke dalam rektum
seraya dimonitor secara fluroskopik. Tekanan udara maksimum yang diberikan adalah 110-120
mmHg. Prosedur ini dipercaya lebih cepat, lebih aman, dan menurunkan lamanya paparan
radiasi. Risiko dilakukannya reposisi dengan enema udara adalah tension pneumoperitonium,
lapang pandang invaginasi dan proses reduksi kurang baik, dan reduksi false-positif.
Baik reduksi hidrostatik maupun reduksi pneumatik tetap dilanjutkan sepanjang
ditemukan perbaikan pada pasien, meskipun terjadi kegagalan refluks kontras ke dalam ileum
terminalis. Prosedur kedua dapat dilakukan beberapa jam sesudah yang pertama jika pasien tidak
menunjukkan tanda abdomen akut dan gejala-gejala berkurang.

Setelah tindakan reposisi dengan kontras berhasil, pasien diobservasi selama beberapa
jam dan tidak boleh makan lewat mulut, melainkan melalui cairan intravena. Orang tua juga
perlu diberitahu mengenai kemungkinan terjadinya rekurensi.3 Angka rekurensi dilaporkan
sebesar 10-21% dan paling sering terjadi dalam 72 jam pertama.6

Tindakan Operatif
Tindakan bedah berupa laparotomi dilakukan pada pasien dengan gejala syok atau
peritonitis, kegagalan tindakan reduksi hidrostatik atau pneumatik,3 atau pasien dengan gejala-
gejala obstruksi yang jelas.2 Persiapan preoperatif antara lain adalah dekompresi dengan NGT,
resusitasi intravena, dan pemberian antibiotik profilaksis. Insisi transversal dilakukan pada
kuadaran kanan bawah. Reduksi secara manual dilakukan dengan lembut, yaitu secara milking
menggunakan jari-jari tangan ke arah proksimal. Seringkali suplai darah ke apendiks berkurang,
sehingga dilakukan apendiktomi setelah proses reduksi berhasil. Meskipun proses reduksi
berhasil, adakalanya viabilitas usus masih meragukan. Hal ini bisa dikurangi dengan cara
pengaplikasian normal saline hangat sehingga meningkatkan sirkulasi dan mengurangi keraguan
apakah perlu dilakukan reseksi.3

Jika usus sudah mengalami gangren dan mengalami gangguan vaskuler yang parah, atau
invaginasi tidak dapat direduksi secara komplit, dilakukan reseksi dengan anostomosis primer
end-to-end atau pembuatan stoma double-barrel sementara6. Pilihan bergantung dari status
hemodinamik pasien, ekstensi usus, dan preferensi dokter bedah. Jika dilakukan enterostomi,
stoma ditutup saat kondisi pasien membaik (10-94 hari). Komplikasi pascaoperasi antaralain
demam, prolonged ileus, infeksi luka, dan abses intra-abdomen (pada kasus perforasi kolon).
Insiden rekurensi invaginasi setelah pembedahan sangat rendah, antara 0-3%.9

Baru-baru ini mulai dikembangkan teknik laparoskopi sebagai tatalaksana invaginasi


dengan menggunakan laparoskop 5 mm yang diletakkan melalui umbilikus dan dua laparoskop
tambahan di kuadran kanan dan kiri bawah. Usus kemudian diinspeksi, dan jika tampak viabel,
maka dilakukan milking dengan menggunakan traksi.7

Diet
Setelah beberapa jam reduksi non-operatif, bayi mulai diberi makanan sesuai dengan
usianya. Jika reduksi dilakukan secara operatif, pemberian makanan dimulai sama seperti pada
pasien pascaoperasi secara umum.9
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien An.M.B.A, laki-laki, usia 4 bulan, dengan diagnosis invaginasi berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis, didapatkan riwayat perut kembung sejak dua hari sebelum masuk rumah
sakit. Selain itu pasien juga memiliki riwayat buang air besar berupa darah dan lendir sejak dua
hari yang lalu saat perut sudah kembung. Pasien juga mengalami mual dan muntah yang berisi
makanan. Pasien sudah mulai diberi makan bubur sum sejak 6 hari yang lalu. Menurut ibu
pasien, pasien awalnya rewel terus-menerus sejak 4 hari yang lalu, tetapi lama kelamaan semakin
melemah. Ketika datang ke rumah sakit, pasien tampak lemah, malas makan dan minum, dan
buang air kecil berkurang. Dari anamnesis dipikirkan kemungkinan diagnosis non-infeksi berupa
invaginasi dengan diagnosis banding infeksi berupa gastroenteritis, disentri.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, takipneu, apatis, tampak
dehidrasi. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan abdomen membuncit, teraba tegang, bising
usus menurun. Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan ampula rekti kolaps, tonus spingter ani
ketat, mukosa licin, dan tidak ditemukan blood discharge.

Dari hasil pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik, penyebab infeksi masih belum
dapat disingkirkan, walaupun dari hasil pemeriksaan ditemukan trias obstruksi berupa muntah,
distensi abdomen, dan ampula kolaps. Sehingga dari anamnesis usia, perjalanan penyakit, dan
pemeriksaan fisik, penulis memikirkan diagnosis ke arah obstruksi usus mekanik dengan
penyebab tersering pada usia ini adalah invaginasi.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai leukosit yang normal sehingga dugaan
ke arah infeksi dapat disingkirkan.

Diagnosis kerja invaginasi ini dapat dipertajam dengan pemeriksaan penunjang berupa
ultrasonografi untuk melihat adanya gambaran khas invaginasi berupa lesi target. Dari data
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang di atas, dapat disimpulkan bahwa
diagnosis pada pasien ini adalah invaginasi.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa perbaikan keadaan umum (dehidrasi),
dekompresi, dan pembebasan invaginasi. Perbaikan keadaan umum dilakukan dengan cara
pemberian cairan rehidrasi berupa Ringer Laktat dan diikuti dengan pemberian cairan rumatan
berupa RL + KCl 3,64 meq/kolf. Setelah itu dilakukan dekompresi dengan cara pemasangan
OGT. Kateter dipasang untuk memonitor produksi urin dan pencapaian target rehidrasi. Akan
tetapi pada pasien ini terjadi pembebasan invaginasi secara spontan yang ditandai dengan
keluhan pasien yang tidak muncul lagi seperti muntah, BAB berdarah dan berlendir, serta tidak
rewel lagi.

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam didasarkan pada tidak ditemukannya
komplikasi berupa peritonitis atau sepsis yang dapat mengancam nyawa. Prognosis quo ad
fungsionam bonam karena tidak dilakukan tindakan perioperatif dan invaginasi lepas secara
spontan. Prognosis quo ad sanactionam adalah bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kuppermann N, O’Dea T, Pinckney L, Hoecker C. Predictors of intussusception in young


children. Arch Pediatr Adolesc Med 2000;154;250-5.
2. Kartono D. Invaginasi. Dalam: Reksoprodjo S, dkk, penyunting. Kumpulan kuliah ilmu
bedah. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara, 1995. h.119-21.
3. Fallat ME. Intussusception. In: Ashcraft KW, Holcomb GW, Murphy JP, editors. Pediatric
surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005. p. 533-42.
4. Grosfeld JL, Coran AG, O’neill JA. Pediatric Surgery. 6th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.
2006. p. 1316-1318.
5. Holcomb GW, Murphy JP, Oslie DJ. Ashcraft’s Pediatric Surgery. 6th ed. USA: Sauders
Elsevier. 2014. p. 531-538
6. Chahine A. Intussusception. Emedicine 2006 Apr (cited 2007 Okt 6). Available from: URL:
http://www.emedicine.com.
7. Spitz L, Coran AG. Operative Pediatric Surgery. 7th ed. London: CRC Press. 2013. p. 469-
477.
8. Hackam DJ, Newman K, Ford HR. Pediatric surgery. In: Brunicardi FC, et.al, editors.
Schwartz’s principles of surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill, 2005. p. 1493-4.
9. King L. Pediatrics, intussusception. Emedicine 2007 Okt (cited 2007 Okt 6). Available from:
URL: http://www.emedicine.com.
10. West KW, Grosfeld JL. Intussusception. In: Wyllie R, Hyams JS, editors. Pediatric
gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis, management. Philadelphia: W.B.
Saunders Company, 1993. p. 633-40.

Anda mungkin juga menyukai