Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ESSENTIALS OF PATHOPHYISIOLOGY

ADDISON DISEASE DAN CUSHING SYNDROM

DISUSUN OLEH:

1. AKREZEN SALEKY (011721001)


2. EMMI BR. GINTING (011721006)
3. HAFID (011721010)
4. MAMAH S (011721018)
5. PUNGI RIZKI K (011411021)
6. WARDAH IRFANIA (011721036)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINAWAN


PROGRAM B KEPERAWATAN 2017
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ yang fungsi utamanya adalah
menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah.
Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai
organ tubuh. Salah satu organ utama dari sistem endokrin adalah kelenjar adrenal.
Kelenjar adrenal merupakan bagian dari suatu sistem yang menghasilkan hormon yang
saling berkaitan. Hipotalamus menghasilkan CRH (Corticotropin-Releasing Hormone),
yang merangsang kelenjar hipofisa untuk melepaskan kortikotropin, yang mengatur
pembentukan kortikosteroid oleh kelenjar adrenal. Fungsi kelenjar adrenal bisa berhenti
jika hipofisa maupun hipotalamus gagal membentuk hormon yang dibutuhkan dalam
jumlah yang sesuai. Kekurangan atau kelebihan setiap hormon kelenjar adrenal bisa
menyebabkan penyakit yang serius. Salah satu penyakit yang ditimbulkan adalah
penyakit Addison dan Cushing Syndrom. (Sylvia, 2006)
Penyakit Addison adalah suatu kelainan hormonal yang disebabkan oleh kurangnya
produksi hormon kortisol oleh korteks kelenjar adrenalis dan hormon aldosteron pada
beberapa kasus. Keadaan tersebut mungkin disebabkan oleh gangguan di kelenjar itu
sendiri (insufisiensi adrenal primer) atau gangguan sekresi ACTH oleh kelenjar hipofisis
(insufisiensi adrenal sekunder). Penyakit Addison ini disebut juga chronic adrenal
insufficiency atau hypocortisolism.
Penyakit Addison pertama kali dipaparkan oleh Dr. Thomas Addison dari Inggris
pada tahun 1855 dan ditandai dengan berat badan yang turun, kelemahan otot, kelelahan,
kulit yang gelap/hiperpigmentasi kulit menjadi gelap di bagian yang tertutup pakaian
maupun terbuka. Lipatan tangan, bagian dalam mulut, siku, puting, aksila dilaporkan
mengalami hiperpigmentasi.
Penyakit Addison ini sangat jarang terutama pada anak-anak. Penyakit Addison
dapat terjadi baik pada pria maupun wanita di semua usia. Frekuensi penyakit Addison
pada populasi manusia diperkirakan 1 dari 100.000. Beberapa penelitian dan informasi
mendapatkan 40-60 kasus dalam 1 juta populasi, 5-6 kasus dalam 1 juta populasi pertahun
di US dan dilaporkan sekitar 8 dalam satu juta populasi di UK. (Dwipayana, 2017)
Sindrom Cushing merupakan keadaan klinis akibat peningkatan hormon
glukokortikoid (hiperkortisolisme) dalam darah jangka panjang baik karena
glukokortikoid endogen maupun glukortikoid eksogen. Hiperkortisolisme endogen
2
dibedakan menjadi terganting ACTH (ACTH-dependent) yang bisa disebabkan oleh
hipersekresi ACTH dari hipofisis maupun sumber lain (ACTH ektopik) dan tidak
tergantung ACTH (ACTH-independent) yang disebabkan oleh hipersekresi kortisol dari
adrenal misalnya karena tumor adrenal baik jinak maupun ganas. Kejadian Sindrom
Cushing cukup jarang.
Prevalensi sindrom Cushing 6,5/100.000 penduduk, dengan rata-rata usia antara 20-
30 tahun. Perbandingan perempuan dan laki-laki 3:1. Data penyakit Cushing ini di
Indonesia sendiri belum ada sehingga merupakan tantangan dalam bidang endokrinologi
karena untuk menegakkan diagnosisnya memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal
terutama bagi negara berkembang.
Sindrom Cushing iatrogenik atau sindrom Cushing eksogen (yang disebabkan oleh
pengobatan dengan kortikosteroid) adalah penyebab paling banyak dari sindrom Cushing.
Penderita Cushing biasanya mengalami moon face, facial pletora, supraclavicular fat
pads, buffalo hump, truncal obesity dan abdominal striae. (Dwipayana, 2017)
Berdasarkan data di atas dan sesuai dengan hasil penugasan dari pembimbing mata
ajar Essentials of Pathophyisiology maka kami akan membahas tentang Patofisiologi
Addison Disease dan Cushing Syndrome.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar Essentials of Pathophyisiology dan
untuk memahami patofisiologi tentang Addison Disease dan Cushing Syndrome.

1.2.2. Tujuan Khusus


Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu mengetahui
dan memahami:
1. Anatomi fisiologi kelenjar adrenal
2. Definisi penyakit Addison dan Sindrom Cushing
3. Etiologi penyakit Addison dan Sindrom Cushing
4. Manifestasi klinis penyakit Addison dan Sindrom Cushing
5. Patofisiologi penyakit Addison dan Sindrom Cushing
6. Pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan medis penyakit Addison dan
Sindrom Cushing
3
1.3. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini studi kepustakaan dari
berbagai buku, jurnal dan internet yang terkait dengan Addison Disease dan Cushing
Syndrome.

1.4. Sistematika Penulisan


Agar makalah ini lebih teratur dan sistematis, maka penyusunan pun disusun
dengan segala kemudahan sehingga memberikan pemahaman yang efisien, adapun
penyusunannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan : Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode
Penulisan dan Sitematika Penulisan
BAB II Tinjauan Teori : Anatomi Fisiologi Kelenjar Adrenal, Definisi
Penyakit Addison, Etiologi Penyakit Addison,
Manifestasi Klinis, Patofisiologi Penyakit Addison,
Pemeriksaan Penunjang, dan Penatalaksanaan
Penyakit Addison, Definisi Sindrom Cushing,
Etiologi Sindrom Cushing, Manifestasi Klinis,
Patofisiologi Sindrom Cushing, Pemeriksaan
Penunjang, dan Penatalaksanaan Sindrom Cushing.
BAB III Penutup : Kesimpulan
Daftar Pustaka
4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Anatomi Fisiologi Kelenjar Adrenal

Kedua kelenjar adrenal (glandula suprarenalis) merupakan organ retroperitoneal


yang berwarna kekuningan pada polus superior ren. Glandula suprarenalis ini dikelilingi
oleh fascia renalis (tetapi dipisahkan oleh capsula adiposa). Setiap glandula mempunyai
cortex dan medulla yang berwarna coklat tua. Arteri yang memperdarahi masing-masing
glandula suprarenalis ada tiga buah : (1) arteria phrenica inferior, (2) aorta, (3) arteri
renalis. Sebuah vena keluar dari hilum masing-masing glandula suprarenalis dan
mengalirkan darahnya ke vena cava inferior pada sisi kanan dan vena renalis pada sisi
kiri.
Tiap kelenjar terdiri atas dua bagian yang berbeda, yakni medulla adrenal, dan
korteks adrenal. Medulla adrenal, yang merupakan 20 persen bagian kelenjar terletak
dipusat kelenjar, dan secara fungsional berkaitan dengan system saraf simpatis;
menyekresi hormone epinefrin dan norepinefrine sebagai respon terhadap rangsangan
simpatis.
5
Korteks adrenal menyekresi kelompok hormon yang berbeda, yakni kortikosteroid.
Hormon ini seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid, dan semuanya mempunyai
rumus kimia yang sama. Akan tetapi, perbedaan yang sedikit dalam struktur molekulnya
memberikan beberapa fungsi penting yang berbeda.
Korteks adrenal memiliki tiga lapisan yang relative berbeda.
1. Zona glomerulosa, lapisan tipis sel-sel yang terletak tepat dibawah kapsul,
membentuk sekitar 15 persen korteks adrenal, pada kelenjar adrenal, sel-sel tersebut
merupakan satu-satunya yang mensekresi aldosteron dalam jumlah yang berarti
karena sel-sel tersebut mengandung enzim aldosteron sintase, yang dibutuhkan
untuk sintesis aldosteron. Sekresi sel-sel tersebut diatur terutama oleh konsentrasi
angiotensin II dan kalium cairan ekstrasel, yang keduanya merangsang sekresi
aldosteron.
2. Zona fasikulata. Yakni lapisan tengah dan terlebar; memebentuk sekitar 75 persen
korteks adrenal dan mnyekresi glukokortikoid kortisol dan koertikosteron, dan
dalam sejumlah kecil androgen dan esterogen adrenal. Sekresi sel-sel tersebut diatur
sebagian besar oleh sumbu hipotalamus-hipofisis lewat hormone
adenokortikotropik (ACTH).
3. Zona retikularis, yang merupakan lapisan terdalam dari korteks menyekresi
androgen adrenal dehirdroepiandosteron (DHEA) dan andostenedion, juga
sejumlah kecil estrogen dan beberapa glukokortikoid.
Kortikosteroid - Mineralkortikoid, Glukokortikoid, dan Androgen. Ada dua
jenis hormon adrenokortikal yang utama, yakni mineralkortikoid dan glukokortikoid,
yang disekresikan oleh korteks adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga
menyekresi hormon kelamin, terutama hormon androgen, yang efeknya pada tubuh
hampir mirip dengan hormon kelamin pria testosteron.
2.1.1. Mineralkortikoid – Aldosteron
Aldosteron meningkatkan reabsorbsi natriun dan sekresi kalium di tubulus
ginjal. Bahwa aldosteron mengangkatkan absorbs natrium dan secara bersamaan
meningkatkan sekresi ginjal, terutama sel mprinsipal di sel tubulus kolektifus dan
sedikit tubulus dan koligentes. Oleh karena itu, aldosteron menyebabkan natrium
disimpan cairan ektrasel sementara meningkatkan eksresi kalium di urin.
Aldosteron yang berlebihan meningkatkan volume cairan ektrasel dan
tekanan arteri tetapi hanya sedikit mempengaruhi konsentrasi natrium
plasma. Walaupun aldosteron mempunyai efek yang paten dalam menurunkan
kecepatan ekskresi ion natrium oleh ginjal, konsentrasi natrium di dalam cairan
6
ektrasel oleh ginjal, kosentrasi natrium di dalam cairan ektrasel sering kali hanya
meningkat beberapa milikuivalen.
Aldosteron berlebihan menyebabkan hipokalemia dan kelemahan otot, terlalu
sedikit aldosteron menyebabkan hiperkalemi dan keracunan jantung.
Aldosteron berlebihan tidak hanya menyebabkan hilangnya ion kalsium secara
berlebihan dari cairan ektrasel ke dalam urin namun juga merangsang pengkutan
cairan ektrasel ke dalam banyak sel tubuh.
Aldosteron berlebihan meningkatkan sekresi ion hydrogen tubulus, dan
menyebabkan alkalosis ringan. Aldosteron todak hanya menyebabkan sekresi
kalium ke dalam tubulus untuk di tukar dengam reabsorbsi natrium di dalam sel
principal tubulus kolektivus ginjal tetapi juga menyebabkan sekresi ion hydrogen
yang di tukar dengan natrium di dalam sel interkalasi tubulus kolektivus korteks.
Penurunan kosentrasi ion hydrogen dalam cairan ektrasel ini menimbulkan
alkalosis ringan.
Mekanisme selular kerja aldosteron. Walaupun selama bertahun-tahun kita telah
mengetahui seluruh efek mineralortikoid terhadap tubuh, namun dasar kerja
aldosteron terhadap sel-sel tubular untuk menigkatkan pengangkutan natrium tidak
sepenuhnya di pahami.
Pengaturan sekresi aldosteron. Pengaturan aldosteron sangat berkaitan dengan
pengaturan besarnya kosentrasi elektrolit dalam cairan ektrasel, volume cairan ektra
sel, volume darah, tekanan arteri, dan banyak aspek khusus dari fungsi ginjal
sehingga sulit untuk membicarakan pengaturan sekresi aldosteron tanpa mengait-
ngaitkan faktordi atas.
Pengaturan sekresi aldosteron oleh sel-sel zona glomerulosa hampir sama sekali
tidak berhubungan dengan hormon kortisol dan androgen oleh zona fesikulata dan
zona retikularis.
Di kenal empat faktor yang memainkan peranan penting dalam pengaturan
aldosteron. Menurut urutan manfaatnya, keempat faktor tersebut sebagai berikut :
1. Penigkatan kosentrasi ion kalsium di dalam cairan diektrasel yang sangat
mengingkatkan sekresi aldosteron
2. Peningkatan aktifitas sistem renin-angiotensinogen juga sangat menigkatkan
sekresi aldosteron
3. Penigkatan kosentrasi ion natrium di dalam cairan ektrasel sangat sedikit
menurukan sekresi aldosteron
7
4. ACTH dari kelenjar hipofisis anterior di perlukan untuk sekresi aldosteron
tetapi mempunyai efek yang kecil dalam mengatur kecepatan sekresi
Dari faktor-faktor tersebut, kosentrasi ion kalium dan sistem renin angiotensinogen
sejauh ini merupakan faktor yang paling kuat dalam mengatur sekresi aldosteron.
Sedikt pengkatan persentasi kosentrasi kalium dapat menyebakan beberapa kali
peningkatan sekresi aldosteron. Selain itu, aktifitas renin angiotensinoge, biasanya
sebagai respon terhadap berkurangnya aliran darah ke ginjal atau karena kehilangan
natrium, dapat menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron beberapa kali lipat.
Selanjutnya, aldosteron akan bekerja pada ginjal dengan membantu ginjal
mengeluarkan kelebihan ion kalium dan meningkatkan volume darah dan tekanan
areteri, jadi mengembalikkan sitem renin angiotensinogen ke kadar aktifitas
normal. Mekanisme pengaturan umpan balik ini penting untuk mempertahankan
kehidupan.
Efek terhadap kosentrasi aldosteron plasma yang di sebabkan oleh penghambatan
pembentukan angiotensinogen II oleh inhibator angiotensin coverting enzim setelah
diet rendah natrium setelah beberapa minggu yang meningkatkan kosentrasi
aldosteron plasma beberpa kali lipat. Penghambatan pembentukan angiotensinogen
II secara bermakna akan menurunkan kosentrasi aldosteron dalam plasma tanpa
mengubah kosentrasi kortisol secara nyata, hal ini menunjukkan bahwa
angiotensinogen II berperan penting dalam merangsang sekresi aldosteron ketika
asupan natrium dan volume cairan ektrasel di turunkan.

2.1.2. Glukokortikoid – Kortisol


Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat
Perangsangan glukoneogenesis. Sejauh ini efek metabolik yang paling terkenal
dari kortisol dan glukokortikoid lainnya terhadap metabolisme adalah kemampuan
kedua hormon ini untuk merangsang proses glukoneogenesis (pembentukan
karbohidrat dari protein beberapa zat lain) oleh hati, sering meningkatkan kecepatan
glukoneogenesis sebesar 6 sampai 10 kali lipat. Keadaan ini terutama disebabkan
oleh dua efek kortisol.
1. Kortisol meningkatkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk mengubah
asam-asam amino menjadi glukosa dalam sel-sel hati. Hal ini dihasilkan dari
efek glukokortikoid untuk mengaktifkan transkripsi DNA di dalam inti sel
hati dengan cara yang sama seperti fungsi aldosteron didalam sel-sel tubulus
ginjal, disertai dengan pembentukan RNA messenger yang selanjutnya dapat
8
dipakai untuk menyusun enzim-enzim yang dibutuhkan dalam proses
glukoneogenesis.
2. Kortisol menyebabkan pengangkutan asam-asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, terutama dari otot. Akibatnya, semakin banyak asam
aminotersedia dalam plasma untuk masuk dalam proses glukoneogenesis di
hati dan oleh karena itu akan meningkatkan pembentukan glukosa.
Salah satu efek peningkatan glukoneogenesis adalah sangat meningkatnya
jumlah penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati. Pengaruh kortisol tersebut
membuat hormon glikolitik lain, seperti epinefrin dan glukagon memobilisasi
glukosa pada saat diperlukan nanti, seperti pada keadaan di antara makan.
Penurunan pemakaian glukosa oleh sel. Kortisol juga menyebabkan penurunan
kecepatan pemakaian glukosa oleh kebanyakan sel tubuh. Walaupun penyebab
penurunan ini tidak diketahui, sebagian besar ahli fisiologi percaya bahwa pada
suatu tempat yang terletak diantara tempat masuknya glukosa ke dalam sel dan
tempat pecah nya yang terakhir, kortisol secara langsung memperlambat kecepatan
pemakaian glukosa. Dugaan mekanisme ini didasarkan pada pengamatan yang
menunjukkan bahwa glukokortikoid menekan proses oksidasi nikotinamid-adenin-
dinukloetida (NADH) untuk bentuk NAD+. Karena NADH harus dioksidasi agar
menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam mengurangi pemakaian
glukosa oleh sel.
Peningkatan konsentrasi gula darah kadangkala cukup besar (50 persen atau lebih
diatas normal) ayng merupakan suatu keadaan yang disebut diabetes adrenal. Pada
diabets adrenal, pemberian hanya sedikit menurunkan tingginya konsentrasi
glukosa darah- tidak sebanyak pada diabetes pankreatik-karena jaringan bersifat
resisten terhadap pengaruh insulin.
Efek Kortisol Terhadap Metabolisme Protein
Pengurangan Protein Sel. Salah satu efek utama kortisol terhadap sistem
metabolisme tubuh adalah kemampuannya untuk mengurangi penyimpanan protein
di seluruh sel tubuh kecuali protein dalam hati. Keadaan ini disebabkan oleh
berkurangnya sintesis protein dan meningkatnya katabolisme protein yang sudah
ada di dalam sel. Kedua efek ini mungkin sebagai akibat dari berkurangnya
pengangkutan asam amino ke dalam jaringan ekstra hepatik, seperti yang akan
dibicarakan nanti; keadaan ini mungkin bukan merupakan satu-satunya penyebab,
oleh karena kortisol juga menekan pembentukan RNA dan sintesis protein
selanjutnya di sebagian besar jaringan ekstra hepatik, terutama di otot dan jaringan
9
limfoid. Bila kelebihan kortisol sangat banyak, otot dapat menjadi begitu lemah
sehingga orang tersebut tidak dapat berdiri dari posisi jongkok dan fungsi imunitas
dari jaringan limfoid dapat diturunkan hingga sedikit kurang dari normal.
Kortisol Meningkatkan Protein Hati dan Protein Plasma. Bersamaan dengan
berkurangnya protein di seluruh tubuh, ternyata protein di dalam hati justru
meningkat. Selanjutnya, protein plasma (yang dihasilkan oleh hati dan kemudian
dilepaskan ke dalam darah)juga akan meningkat. Peningkatan ini merupakan
pengecualian untuk pengurangan protein yang terjadi di bagian tubuh yang lain.
Diyakini bahwa perbedaan ini dihasilkan oleh suatu efek kemungkinan dari kortisol
dalam meningkatkan pengangkutan asam amino ke dalam sel-sel hati (tetapi bukan
ke dalam sebagian besar sel-sel lain) dan dalam meningkatkan jumlah enzim-enzim
hati yang dibutuhkan untuk sintesis protein.
Efek Kortisol Terhadap Metabolisme Lemak
Mobilisasi Asam Lemak. Dengan pola yang sangat mirip dengan pola yang
dipakai oleh kortisol untuk meningkatkan mobilisasi asam amino dari otot, kortisol
juga meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan lemak. Peristiwa ini akan
meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas di dalam plasma, yang juga akan
meningkatkan pemakaiannya untuk energi. Kortisol tampaknya juga memiliki efek
langsung untuk meningkatkan oksidasi asam lemak di dalam sel.
Obesitas Akibat Kortisol Berlebihan. Walaupun kortisol dapat menyebabkan
timbulnya mobilisasi asam lemak secukupnya dari jaringan lemak, banyak pasien
yang kelebihan sekresi kortisol sering kali menderita kegemukan yang khas, dengan
penumpukan lemak yang berlebihan di daerah dada dan di daerah kepalanya,
sehingga badannya seperti sapi dan wajah bulat "moonface" Walaupun
penyebabnya tidak diketahui, ada pendapat yang mengatakan bahwa kegemukan ini
disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan, disertai
pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih cepat
daripada mobilisasi dan oksidasinya.
Mekanisme Selular dari Kerja Kortisol. Kortisol, sepeti hormon steroid lainnya
membawa pengaruhnya dengan pertama kali berinteraksi dengan reseptor intrasel
pada sel target. Karena kortisol larut lemak, kortisol dapat dengan mudah berdifusi
melalui membran sel. Setelah berada di dalam sel, kortisol berikatan dengan
reseptor protein di dalam sitoplasma, dan kompleks hormon-reseptor kemudian
berinteraksi dengan urutan DNA pengatur spesifik, yang disebut elemen respons
glukokortikoid, untuk membangkitkan atau menekan transkripsi gen. Protein lain
10
di dalam sel, disebut faktor transkripsi, juga diperlukan agar kompleks hormon-
reseptor dapat berinteraksi secara benar dengan elemen respons glukokortikoid.
(Sherwood, 2016)

2.2. Definisi Penyakit Addison


Menurut Gleadle (2007) penyakit Addison adalah defisiensi hormon
mineralokortikoid. Prevalensinya sebesar 10/100.000. Sedangkan menurut Elizabet J.
Corwin (2009) Penyakit addisson atau insufisiensi adrenal adalah penurunan kadar
glukokortikoid yang bersikulasi.
Penyakit Addison adalah gangguan yang melibatkan terganggunya fungsi dari
kelenjar korteks adrenal. Hal ini menyebabkan penurunan produksi dua bahan kimia
penting ( hormon ) biasanya dirilis oleh korteks adrenal: kortisol dan aldosteron (Liotta
EA et all 2010).
Penyakit addison adalah hipofungsi atau insufisiensi adrenal primer yang berasal
dari luar kelenjar adrenal dan ditandai oleh penurunan sekresi hormon-hormon
mineralokotikoid (aldesteron), glukokotikoid (kostisol) serta androgen (Kowalak et all,
2011). Sedangkan menurut Robbins (2013) Penyakit Addison atau insufisiensi
adrenokortikal kronis adalah gangguan yang tidak biasa akibat kehancuran progresif dari
korteks adrenal. Lebih dari 90% dari semua kasus adalah disebabkan oleh salah satu dari
empat gangguan: adrenalitis autoimun, TBC, acquired immune deficiency syndrome
(AIDS), atau kanker metastatik.

2.3. Etiologi Penyakit Addison


Ada beberapa keadaan yang diperkirakan sebagai penyebab dari penyakit Addison
menurut Robbins (2013), diantaranya :
1. Adrenalitis autoimun membentuk 60 % hingga 70 % kasus penyakit Addison di
Negara berkembang. Penyakit ini dapat bersifat sporadic atau familial. Pada
separuh pasien, penyakit autoimun tampaknya terbatas di kelenjar adrenal; pada
pasien lainnya, juga terdapat penyakit autoimun lain, seperti penyakit Hashimoto,
anemia pernisiosa, diabetes mellitus tipe 1, dan hipoparatiroidisme idiopatik. Istilah
sindrom poliglandular tipe 1 atau II pernah digunakan untuk menamai berbagai
kombinasi keterlibatan organ yang mingkin ditemukan. Sindrom poliglandular tipe
I adalah suatu penyakit resesif autosomal yang berkaitan dengan mutasi gen
regulator autoimun di kromosom 21q. sebaliknya, sindrom poliglandular tipe II dan
adrenalitis autoimun saja adalah penyakit multifactor, dengan keterkaitan kuat ke
11
antigen histokompatibilitas tertentu., terutama HLA-B8, HLA-DR3, dan HLA-
DQ5. Pada pasien dengan semua varian adrenalitis autoimun, ditemukan antibody
terhadap enzim steroid, seperti 21-hidroksilase dan 17α-hidroksilase.
2. Infeksi, terutama tuberkulosis dan yang disebabkan oleh jamur, juga dapat
menyebabkan adenokorteks kronis primer. Adrenalitis tuberkulosis, yang pernah
membentuk hingga 90 % kasus penyakit Addison, kini semakin jarang ditemukan
berkat ditemukannya terapi antituberkulosis. Pasien dengan sindrom
immunodefisieinsi (AIDS) dapat beresiko mengalami insufisiensi adrenal akibat
beberapa penyulit infeksi (sitomegalovirus, Mycrobacterium avium-intracellulare)
dan noninfeksi (sarcoma Kaposi) dari penyakit mereka.
3. Neoplasma metastatic yang mengenai adrenal adalah penyebab potensial lain
insufisiensi adrenal. Adrenal merupakan tempat yang cukup sering mengalami
metastasis pada pasien dengan karsinoma diseminata. Meskipun fungsi adrenal
dipertahankan pada sebagian besar pasien ini, pertumbuhan metastatic kadang-
kadang merusak cukup banyak korteks adrenal sehingga terjadi insufisiensi adrenal.

2.4. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis utama menurut Smeltzer (2018), adalah:
1. Kelemahan otot
2. Anoreksia
3. Gejala GI
4. Keletihan
5. Emasiasi (kurus dan lemah yang abnormal)
6. Pigmentasi gelap pada kulit dan membran mukosa
7. Hipotensi
8. Glukosa darah rendah
9. Natrium serum rendah
10. Kalium serum tinggi.
Gejala lainnya adalah, perubahan mental (depresi, emosional labil, apati, dan
konfusi) terdapat pada 60% sampai 80% pasien. Dalam kasus yang berat, gangguan
metabolisme natrium dan kalium mungkin ditandai oleh depresi natrium dan air, dan
dehidrasi berat hingga kronis.
12
2.5. Patofisiologi Penyakit Addison
Hipofungsi adrenokortikal menghasilkan penurunan level mineralokortikoid
(aldosteron), glukokortikoid (cortisol), dan androgen.
Penurunan aldosteron menyebabkan kebanyakan cairan dan ketidakseimbangan
elektrolit. Secara normal, aldosteron mendorong penyerapan Sodium (Na+) dan
mengeluarkan potassium (K+). Penurunan aldosteron menyebabkan peningkatan ekskresi
sodium, sehingga hasil dari rantai dari peristiwa tersebut antara lain: ekskresi air
meningkat, volume ekstraseluler menjadi habis (dehidrasi), hipotensi, penurunan kardiak
output, dan jantung menjadi mengecil sebagai hasil berkurangnya beban kerja. Akhirnya,
hipotensi menjadi memberat dan aktivitas kardiovaskular melemah, mengawali kolaps
sirkulasi, shock, dan kematian. Meskipun tubuh mengeluarkan sodium berlebih, dan
menyebabkan penurunan natrium, mempertahankan kelebihan potassium dan
menyebabkan peningkatan kalium. Level potassium lebih dari 7 mEq/L hasil pada
aritmia, memungkinkan terjadinya kardiak arrest.
Penurunan glukokortikoid menyebabkan meluasnya gangguan metabolic. Ingat
bahwa glukokortikoid memicu glukoneogenesis dan memiliki efek anti-insulin.Sehingga,
ketika glukokortikoid menurun, glukoneogenesis menurun, sehingga hasilnya
hipoglikemia dan penurunan glikogen hati. Klien menjadi lemah, lelah, anorexia,
penurunan BB, mual, dan muntah. Gangguan emosional dapat terjadi, mulai dari gejala
neurosis ringan hingga depresi berat. Di samping itu, penurunan glukokortikoid
mengurangi resistensi terhadap stress. Pembedahan, kehamilan, luka, infeksi, atau
kehilangan garam karena diaphoresis berlebih dapat menyebabkan krisis Addison
(insufisiensi adrenal akut).Akhirnya, penurunan kortisol menghasilkan kegagalan unruk
menghambat sekresi ACTH dari pituitary anterior.
MSH menstimulasi melanosit epidermal, yang menghasilkan melanin, pigmen
warna gelap.Penurunan sekresi ACTH menyebabkan peningkatan pigmentasi kulit dan
membrane mukosa.Sehingga klien dengan penyakit Addison memiliki peningkatan level
ACTH dan warna keperakan atau kecokelatan pun muncul. Defisiensi androgen gagal
untuk menghasilkan beberapa macam gejala pada laki-laki karena terus meningkatan
produksi jumlah hormone seksual. Namun, pada perempuan tergantung pada korteks
adrenal untuk mensekresi androgen secara adekuat. Hormone-hormon tersebut disekresi
oleh korteks adrenal yang penting bagi kehidupan. Orang dengan penyakit Addison yang
tidak diobati akan berakhir fatal.
Penyakit addison, atau insufisiensi adrenokortikal, terjadi bila fungsi korteks
adrenal tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormon-hormon korteks
13
adrenal. Atrofi otoimun atau idiopatik pada kelenjar adrenal merupakan penyebab pada
75% kasus penyakit Addison. Penyebab lainnya mencakup operasi pengangkatan kedua
kelenjar adrenal atau infeksi pada kedua kelenjar tersebut. Tuberkolosis (TB) dan
histoplamosis merupakan infeksi yang paling sering ditemukan dan menyebabkan
kerusakan pada kedua kelenjar adrenal. Meskipun kerusakan adrenal akibat proses
otoimun telah menggantikan tuberkolosis sebagai penyebab penyakit Addison, namun
peningkatan insidens tuberkolosis yang terjadi akhir-akhir ini harus mempertimbangkan
pencantuman penyakit infeksi ini ke dalam daftar diagnosis. Sekresi ACTH yang tidak
adekuat dari kelenjar hipopisis juga akan menimbulkan insufiensi adrenal akibat
penurunan stimulasi korteks adrenal.
Gejala Addison dapat pula terjadi akibat penghentian mendadak terapi hormon
adrenokortikal yang akan menekan respon normal tubuh terhadap keadaan stres dan
mengganggu mekanisme umpan balik normal. Terapi dengan pemberian kortikosteroid
setiap hari selama 2 hingga 4 minggu dapat menekan fungsi korteks adrenal, oleh sebab
itu kemungkinan penyakit Addison harus diantifasi pada pasien yang mendapat
pengobatan kostikosteroid. (Robbins, 2013)
14
Pathway of Addison Disease
15
2.6. Pemeriksaan Penunjang
2.6.1. Pemeriksaan laboratorium
1. Penurunan konsentrasi glukosa dan natrium (hipoglikemia dan hiponatrium)
2. Peningkatan konsentrasi kalium serum (hiperkalemia)
3. Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
4. Penurunan kadar kortisol serum (kurang dari 165 mmol/L)
(Smeltzer, 2018)

2.6.2. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukkan adanya klasifikasi di


adrenal
1. CT Scan
Detektor klasifikasi adrenal dan pembesaran yang sensitive hubungannya
dengan insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltrasi
malignan dan non malignan dan hemoragik adrenal
2. Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik
abnormal sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolik
3. Tes stimulating ACTH
Cortisol darah dan urin diukur sebelum dan setelah suatu bentuk sintetik dari
ACTH diberikan dengan suntikan. Pada tes ACTH yang disebut pendek
cepat. Pengukuran cortisol dalam darah di ulang 30 sampai 60 menit setelah
suatu suntikan ACTH adalah suatu kenaikan tingkatan – tingkatan cortisol
dalam darah dan urin. Peningkatan mencolok ACTH plasma (lebih dari 22,0
pmol/L).
4. Tes Stimulating CRH
Ketika respon pada tes pendek ACTH adalah abnormal, suatu tes stimulasi
CRH “Panjang” diperlukan untuk menentukan penyebab dari ketidak
cukupan adrenal. Pada tes ini, CRH sintetik di suntikkan secara intravena dan
cortisol darah diukur sebelum dan 30, 60 ,90 dan 120 menit setelah suntikan.
Pasien – pasien dengan ketidak cukupan adrenal seunder memp. Respon
kekurangan cortisol namun tidak hadir / penundaan respon – respon ACTH.
Ketidakhadiran respon – respon ACTH menunjuk pada pituitary sebagai
penyebab ; suatu penundaan respon ACTH menunjukan pada hypothalamus
sebagai penyebab.
(Smeltzer, 2018)
16
2.7. Penatalaksanaan Penyakit Addison
2.7.1. Penatalaksanaan secara medik
1. Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu
dosis 12,5 – 50 mg/hr
2. Hidrokortison (solu – cortef) disuntikan secara IV
3. Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti
kortisol
4. Pemberian infus dekstrose 5% dalam larutan saline
5. Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral
2.7.2. Penatalaksanaan secara keperawatan
1. Monitoring ketat TTV klien ketika penyakitnya telah terdiagnosa. Check
nadi, paling tidak setiap 4 jam. Laporkan penurunan tekanan darah dan
perubahan ortostatik.
2. Ketika terjadi rehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit terdeteksi, kaji
manifestasi dari meningkatnya vitalitas fisik dan emosionalnya. Kaji pada
lokasi di mana terdapat penekanan pada tulang, pada klien yang imobilisasi,
untuk mencegah dekubitus. Dengan berbagai macam terapi, maka kelesuan
dan kelemahan seharusnya berangsur-angsur berkurang dan akhirnya
menghilang.
3. Monitoring untuk pajanan suhu dingin dan infeksi. Segera laporkan pada
dokter jika manifestasi dari infeksi berkembang, misalnya sakit tenggorokan
atau rasa terbakar saat berkemih. Ingat, klien dengan penyakit Addison tidak
dapat mentolerir stress. Infeksi akan menambahi beban stress pada tubuh,
butuh lebih tinggi pada level kortisol selama infeksi terjadi.
4. Kaji manifestasi dari ketidakseimbangan sodium dan potassium. Berat badan
harian mengindikasikan pengukuran obyektif dari bertambahnya BB, atau
bahkan menurunnya BB. Jika terapi penggantian steroid tidak adekuat,
kehilangan sodium dan retensi potassium dikoreksi terus. Jika dosis steroid
terlalu tinggi, kelebihan jumlah sodium dan air dipertahankan, dan ekskresi
potassium yang tinggi.

2.8. Definisi Sindrom Cushing


Menurut Sylvia (2006) syndrome cushing adalah penyakit yang disebabkan oleh
pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologi atau oleh sekresi
kortisol yang berlebihan akibat gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.
17
Sedangkan menurut Corwin (2009) Sindrom cushing adalah keadaan meningkatnya kadar
glukokortikoid yag disebabkan oleh pemberian kortikosteroid yang berlebihan dan
malfungsi hipofisis anterior sehingga menimbulkan kelebihan ACTH.
Sindrom cushing adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis akibat meningkatnya
kadar glukokortikoid (kortisol) dalam darah. (Joyce dan Jane, 2012)
Sindrom Cushing disebabkan oleh kondisi apapun yang menghasilkan elevasi
dalam kadar glukokortikoid. Dalam praktek klinis, luas Sebagian besar kasus sindrom
Cushing adalah hasil dari pemberian glukokortikoid eksogen (iatrogenik) (Robbins,
2013).

2.9. Etiologi Sindrom Cushing


Menurut Chang Ester (2010) penyebab sindrom cushing, adalah:
1. Penyebab utama adalah iatrogenik akibat pemberian terapi preparat glukokortikoid
eksogen dosis tinggi, yang sering dilakukan dalam pengobatan penyakit inflamasi,
seperti asma atau artritis reumatoid. Penyebab lainnya adalah non-iatrogenik,
kendati semua mengakibatkan produksi glokokortikoid endogen yang berlebih.
2. Penyebab kedua terjadi karena tumor adrenal, yang bersifat benigna atau maligna
sehingga sekresi kortisol berlebih.
3. Penyebab ketiga adalah keadaan ektopik, akibat tumor non endokrin yang
mensekresi ACTH.
4. Penyebab keempat, yang dikenal dengan penyakit Cushing, disebabkan oleh tumor
hipofisis yang mengakibatkan kelenjar hipofisis memproduksi ACTH secara
berlebih.
Sindrom cusing dapat diakibatkan oleh pemberian glukortikoid jangka panjang
dalam dosis farmakologik (latrogen) atau oleh sekresi kortisol yang berlebihan pada
gangguan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (spontan) pada sindrom cusing spontan,
hiperfungsi korteks adrenal terjadi akibat ransangan belebihan oleh ACTH atau sebab
patologi adrenal yang mengakibatkan produksi kortisol abnormal. (Sylvia A, 2006)

2.10. Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala sindrom cushing bervariasi, akan tetapi kebanyakan orang dengan
gangguan tersebut memiliki obesitas tubuh bagian atas, wajah bulat, peningkatan lemak
di sekitar leher, dan lengan yang relatif ramping dan kaki. Anak-anak cenderung untuk
menjadi gemuk dengan tingkat pertumbuhan menjadi lambat.
18
Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita cushing syndrome antara
lain :
1. Rambut tipis
2. Moon face
3. Penyembuhan luka buruk
4. Mudah memar karena adanya penipisan kulit
5. Petekie
6. Kuku rusak
7. Kegemukan dibagian perut
8. Kurus pada ekstremitas
9. Striae
10. Osteoporosis
11. Diabetes Melitus
12. Hipertensi
13. Neuropati perifef
Tanda-tanda umum dan gejala lainnya termasuk
1. Kelelahan yang sangat parah
2. Otot-otot yang lemah
3. Tekanan darah tinggi
4. Glukosa darah tinggi
5. Rasa haus dan buang air kecil yang berlebihan
6. Mudah marah, cemas, bahkan depresi
7. Punuk lemak (fatty hump) antara dua bahu

(National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service, 2008)

2.11. Patofisiologi Sindrom Cushing


Penyebab cushing sindrom adalah peninggian kadar glukokortikoid dalam darah
yang menetap. Untuk lebih memahami manifestasi klinik sindrom chusing, kita perlu
membahas akibat-akibat metabolik dari kelebihan glikokorikoid. Korteks adrenal
mensintesis dan mensekresi empat jenis hormon:
1. Glukokortikoid. Glukokortikoid fisiologis yang disekresi oleh adrenal manusia
adalah kortisol
2. Mineralokortikoid. Mineralokortikoid yang fisiologis yang diproduksi adalah
aldosteron
19
3. Androgen
4. Estrogen
Kelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan keadan-keadaan seperti dibawah ini:
1. Metabolisme protein dan karbohidrat.
Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein,
menyebabkan menurunnya kemampuan sel-sel pembentk protein untuk mensistesis
protein, sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit,
otot, pembuluh darah, dan tulang. Secara klinis dapat ditemukan: Kulit mengalami
atropi dan mudah rusak, luka- luka sembuh dengan lambat. Ruptura serabut-serabut
elastis pada kulit menyebabkan tanda regang pada kulit berwarna ungu (striae).
Otot-otot mengalami atropi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pembuluh darah
dan melemahnya jaringan penyokong vaskule menyebabkan mudah timbul luka
memar. Matriks protein tulang menjadi rapuh dan menyebabkan osteoporosis,
sehingga dapat dengan mudah terjadi fraktur patologis. Metabolisme karbohidrat
dipengaruhi dengan merangsang glukoneogenesis dan menganggu kerja insulin
pada sel-sel perifer, sebagai akibatnya penderita dapat mengalami hiperglikemia.
Pada seseorang yang mempunyai kapasitas produksi insulin yang normal, maka
efek dari glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi insulin untuk
meningkatkan toleransi glukosa. Sebaliknya penderita dengan kemampuan sekresi
insulin yang menurun tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan tersebut, dan
menimbulkan manifestasi klinik DM.
2. Distribusi jaringan adiposa.
Distribusi jaringan adiposa terakumulasi didaerah sentral tubuh Obesitas Wajah
bulan (moon face). Memadatnya fossa supraklavikulare dan tonjolan servikodorsal
(punguk bison), Obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawah yang kurus
akibat atropi otot memberikan penampilan klasik perupa penampilan Chusingoid.
3. Elektrolit
Efek minimal pada elektrolit serum. Kalau diberikan dalam kadar yang terlalu besar
dapat menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium. Menyebabkan
edema, hipokalemia dan alkalosis metabolic
4. Sistem kekebalan
Ada dua respon utama sistem kekebalan; yang pertama adalah pembentukan
antibody humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat ransangan antigen yang
lainnya tergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T yang
tersensitasi.
20
Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibody humoral dan menghabat
pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limpoid pada respon primer terhadap anti
gen. Gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini:
Proses pengenalan antigen awal oleh sel-sel sistem monosit makrofag. Induksi dan
proleferasi limfosit imunokompeten. Produksi anti bodi. Reaksi peradangan.
Menekan reaksi hipersensitifitas lambat.
5. Sekresi lambung
Sekeresi asam lambung dapat ditingkatkan sekresi asam hidroklorida dan pepsin
dapat meningkat. Faktor-faktor protekitif mukosa dirubah oleh steroid dan faktor-
faktor ini dapat mempermudah terjadinya tukak.
6. Fungsi otak
Perubahan psikologik terjadi karena kelebihan kortikosteroid, hal ini ditandai
dengan oleh ketidak stabilan emosional, euforia, insomnia, dan episode depresi
singkat.
7. Eritropoesis
Involusi jaringan limfosit, rangsangan pelepasan neutrofil dan peningkatan
eritropoiesis. Namun secara klinis efek farmakologis yang bermanfaat dari
glukokortikoid adalah kemampuannya untuk menekan reaksi peradangan. Dalam
hal ini glukokortikoid dapat menghambat hiperemia, ekstra vasasi sel, migrasi sel,
dan permeabilitas kapiler, menghambat pelapasan kiniin yang bersifat pasoaktif dan
menekan fagositosis. Efeknya pada sel mast; menghambat sintesis histamin dan
menekan reaksi anafilaktik akut yang berlandaskan hipersensitivitas yang
dperantarai anti bodi. Penekanan peradangan sangat deperlukan, akan tetapi
terdapat efek anti inflamasi yang merugikan penderita. Pada infeksi akut tubuh
mungkin tidak mampu melindungi diri sebagai layaknya sementara menerima dosis
farmakologik. (Sylvia A, 2006).
21
Iatrogenik Stress Cyrcadian Rhythem

Aktivitas korteks yg
berlebih Gangguan CRH  Hipotalamus
di Korteks
Tumor korteks adrenal Adrenal
ACTH  Anterior Pituitary
(Adenoma & karsinoma)

Hiperplasia korteks Aldosteron  Kortisol  Androgen  Korteks Adrenal


adrenal
Aldoteronisme Jerawat, hirsutis,
Tumor di luar hipofisis amenore

Metabolisme Metabolisme Distribusi jar. Elektrolit Sistem Sekresi Fungsi Otak Eritopoiesis
Protein Karbohidrat adiposa Kekebalan lambung

Retensi Na, Ketidakstabil Involusi jar.


Efek Glukoneo- Menghambat
a. Terakumula pembuangan Sekresi as. an limfoid
katabolik genesis respon
si di sentral kalium Hidroklorida emosional,
tubuh kekebalan & Pepsin  euphoria, Rangsangan
b. Fossa insomnia, pelepasan
 sintesis Menggangg supraklavik episode neutrifil
protein u kerja ula Mengganggu depresi
Edema, Faktor
memadat hipokalemia, pembentukan protektif singkat
insulin pada dan alkalosis Ab. Humoral & mukosa  eritopoiesis
Kehilangan sel2 perifer tonjolan metabolik menhambat diubah oleh
protein pada servikodors ploriferasi steroid MK:
jaringan al pusat2
MK: PK Perubahan
(kulit, otot, germinal limpa
Hiper- proses pikir
pembuluh & jar. limfoid
glikemi
darah, tulang)
Pembentukan
22
a. Atropi kulit c. Obesitas MK: Menghambat:
& mudah trunkus dg Kerusakan a. Pengenalan tukak
rusak, luka pengurangan integritas antigen o/
sulit sembuh. ekstremitas kulit monosit
b. Ruptur atas & bwh MK: makrofag
serabut2 karna atropi Kelebihan b. Induksi &
elastis kulit volume cairan proliferasi
c. Protein MK: PK limfosit
matriks a. Moon face immunokom
tulang mjd. b. Punguk peten
rapuh bison c. Produksi
d. Penipisan c. Chusingoid antibody
dinding d. Reaksi
pembuluh& peradangan
melemahnya
MK: Gangguan
jar.
citra tubuh
Penyokong
perivaskuler

b. Striae
c. Osteoporosis 
nyeri punggung,
fraktur patologis, MK: Intoleransi aktivitas
pengurangan tinggi MK: Gangguan citra tubuh
badan MK: Resiko cedera
d. Luka memar  MK : Nyeri
petekiae/ ekimosis MK: Defisit perawatan
pada lengan atas
23

2.12. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan kadar kortisol plasma
Dalam keadaan norma kadar kortisol plsama sesuai dengan irama sirkardian atau
periode diulnar, yaitu pada apgi hari kadar kortisol plasma menjadi 5-25ug/dL. Dan
pada malam hari terun menjadi kurang dari 50%. Bila pada malam hari kadarnya
tidak mnurun atau tetapberartiirama sirkardian suda tidak ada, dengan deikian
sindrom Cushing dapat ditegakan. Namun pemeriksaan ini tidak dapat digunakan
pada anak yang berusia kurang dari 3 tahun karena irama sirkardian belum dapat
ditentukan pada usia kurang dari 3 tahun.
2. Tes laboratorium menunjukan hiperglikemi, peningkatan atau penurunan elektrolit
dan cairan, dan respon imuno supresif untuk kelebihan sekresi hormon
glukokortikoid.
3. Pemeriksaan kadar kortisol bebas atau 17-hidroksikortikosteroid urin 24 jam akan
meningkat.
4. Uji tantangan deksametason biasanya digunakan untuk mengevaluasi keadaan
kelebihan glukokortikoid. Pada individu yang sehat dosis deksametason yang
rendah akan menekan sekresi ACTH tetapi pada individu yang mengalami sindrom
chusing supresi ini tidak terjadi.
5. Pemeriksaan kadar ACTH plasma
Pemeriksaan ini menggunakan alat yang dikenal sebagai immunoradiometris assay
(IRMA). Pemeriksaan ini ditunjukan untuk membedakan sindrom Cushing yang
tergantung ACTH dengan yang tidka tergantung ACTH. Bila kadar ACTH plasma
kurang dari 5 pg/mL, maka penyebabnya adalah tipe tergantung ACTH. Bila kadar
ACTH plasma lebih 10pg/mL, amka penyebabnya adalah tipe tergantung.
Kesimpulan pemeriksaan langkah kedu ini dapat dilihat dibawah ini.
Tes supresi deksametason Immunoparadimetric assay Kemungkinan penyebab
Penekan <5pg/ml Kelainan adrenokortikal
Penekan >10pg/ml Sindrom ACTH ektopik
Penekan >10pg/ml Kelainan hipofisis

6. CT scan resolusi tinggi dan MRI pada daerah kelenjar hipofisis dapat menunjukan
daerah-daerah dengan penurunan atau peningkatan densitas yang konsisten dengan
mikro adenoma pada sekitar 30% dari penderita-penderita ini.
24
7. Pada sindrom ACTH eketopik dilakukan pemriksaan lanjutan berupa CT scan torak
dan abdomen untuk menemukan lokasi tumor nonendokrin yang menyebabkan
peningkatan kadar ACTH plsama.

2.13. Penatalaksanaan Sindrom Cushing


2.13.1 Penatalaksanaan secara medik
Pengobatan sindrom cushing tergantung ACTH tidak seragam, bergantung
apakah sumber ACTH adalah hipofisis / ektopik.
1. Jika dijumpai tumor hipofisis. Sebaiknya diusahakan reseksi tumor
tranfenoida.
2. Jika terdapat bukti hiperfungsi hipofisis namun tumor tidak dapat
ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada
kelenjar hipofisis.
3. Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total
dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologik.
4. Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma disusul kemoterapi
pada penderita dengan karsinoma/ terapi pembedahan.
5. Digunakan obat dengan jenis metyropone, amino gluthemide yang bisa
mensekresikan kortisol (Silvia A, 2006).
2.13.2 Penatalaksanaan secara keperawatan
Penanganan keperawatan pada pasien dengan sindrom Cushing adalah:
1. Memberikan penyuluhan kepada pasien tentang tanda dan gejala sindrom
Cushing, khususnya keharusan untuk melindungi diri sendiri terhadap
cedera atau infeksi
2. Mengkaji tanda-tanda vital secara teratur, terutama memantau hipertensi
3. Memeriksa kadar gula darah untuk mendeteksi hiperglikemia
4. Membantu memantau urine 24 jam untuk mengkaji kadar kortisol urin.
5. Mempertahankan pencatatan keseimbangan cairan
6. Memantau kadar kalium serum untuk mendeteksi hipokalemia dan kadar
natrium serum untuk mendeteksi hipernatremia
7. Melibatkan ahli gizi dalam menyusun perencanaan makan bersama pasien
8. Menenangkan pasien terkait dengan ketidakstabilan alam perasaan
9. Memastikan bahwa pasien sindrom Cushing iatrogenik memiliki
pemahaman yang baik tentang signifikansi menghentikan obat secara
bertahap untuk mencegah awitan krisis adrenal. (Chang, 2010)
25
BAB III
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Penyakit Addison adalah suatu kelainan endokrin atau hormon yang terjadi pada
semua kelompok umur yang menimpa pria dan wanita sama rata. Penyakit ini
dikarakteristikan oleh kehilangan berat badan, kelemahan otot, kelelahan, tekanan darah
rendah, dan adakalanya penggelapan kulit pada kedua bagian tubuh yang terbuka dan
tidak terbuka.Penyakit Addison terjadi bila fungsi korteks adrenal tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan pasien akan kebutuhan hormon-hormon korteks adrenal.
Penyakit adison di sebabkan akibat hipofungsi kelenjar adrenal yang mensekresikan
aldosteron yang jumlahnya sedikit. Akibat produksi aldosteron menurun dapat
mempengaruhi keseimbangan air, sodium, dan kalium di badan, serta kemampuan badan
untuk menguasai tekanan darah dan bereaksi terhadap tekanan. Selain itu, kehilangan
androgen, seperti dehydroepiandrosterone (DHEA), mungkin menyebabkan kehilangan
rambut di badan wanita. Pada laki-laki, testosterone dari testes dibuat lebih untuk
kehilangan ini. DHEA mungkin mempunyai efek tambahan yang tidak berhubungan
dengan androgen.
Sindrom Cushing adalah meningkatnya kadar glokokortikoroid yang di sebabkan
oleh malfungsi hipofisis anterior, sekresi kortisol berlebihan dan penggunaan obat dalam
dalam jangka panjang.
Sindrom cushing di tandai dengan Perubahan metabolisme lemak yang
menyebabkan peningkatan lapisan lemak dipunggung atau buffalo hump, wajah bulan
(moon face), abdomen menonjol dengan ekstremitas yang kurus, garis renggangan
(stretch mark) dipermukaan payudara, paha dan abdomen.
26
DAFTAR PUSTAKA

ADSHG. 2016. What is Addison's disease?. http://www.addisons.org.uk/articles.html/


addisons/what-is-addisons-disease-r10/ . last update 30 December 2017.

Bickley, Lynn S. dan Peter G. Szilaglli. 2012. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat
Kesehatan Bates, Ed. 8. Alih bahasa: dr. Andry Hartono. Jakarta: EGC

Black, Joyce M & Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8.
Singapore: Elsevier.

Chang E, Daly J, Elliott D. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Alih
Bahasa Andry Hartono. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisologi, Edisi 3. Jakarta: EGC

Dwipayana, I Made Pande, dkk. 2017. Bali Endocrinologi Update (BEU XIV) “Improving
Management of Endocrine Disorder in Clinical Practice”. Denpasar: PT. Percetakan
Bali

Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glace Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: EMS

Guyton, Arthur C. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 11. Jakarta: EGC.

Kumar, Vinay, Abul K. Abbas & Jon C. Aster. 2013. Robbins Basic Pathology, Ninth Edition.
Canada: Elsevier

Liotta EA, Elston DM et all. 2010. Addison Disease. Medscape reference drug, disease &
procedure. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1096911-
overview#showall last update 30 December 2017.

Mansjoer, Arif, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI

McCance, Kathryn L., RN, PhD & Sue E. Huether, RN, PhD. 2014. Pathophysiology: The
Biologic Basis for Disease in Adults and Children, Seventh Edition. Canada: Elsevier.

Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Edisi 6. Alihbahasa Brahm U Pendit. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Susan C. 2018. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa,
Devi Yulianti, Amelia Kimin. Jakarta: EGC

Tortora, Gerard J. & Bryan Derrickson. 2012. Principles Of Anatomy and Physiology, 13th
Edition. United States of America: Wiley
27

Anda mungkin juga menyukai