Seminar Jurnal Igd
Seminar Jurnal Igd
OLEH:
GINA RAHMAWATI
PUTRI DAHLIA
EGA SILVIA ROZA
TINI SUMANTI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
total penderita stroke di Indonesia, sekitar 2,5% atau 250 ribu orang
Indonesia, usia rata-rata adalah 56,8 (standar Deviasi 13,3), tahun (kisaran
18–95 tahun), 12,9% kurang dari 45 tahun, dan 35,8% lebih dari 65
tahun.1
pasien yang dirawat di rumah sakit juga dapat dilaporkan angka kejadian
lain yang menjadi tantangan dalam penanganan stroke akut infark (acute
Indonesia sangat bervariasi dan belum secara spesifik standar yang baku
yang harus dilakukan di IGD, sehingga akan banyak celah yang akan
strategi dan sistem yang baik, intervensi yang cepat dan tepat terutama di
segera pada penderita stroke akut3. ROSIER merupakan bagian dari stroke
penderita stroke akut dengan meminimalkan gejala sisa atau kecacatan dan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
Djamil Padang
c. Diketahui isi atau konten dari jurnal “Metode ROSIER SAMURAI untuk
penanganan stroke akut di instalasi gawat darurat”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Jenis Suction
Suction trakea seringkali dilakukan pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik. Terdapat laporan yang menunjukkan pasien yang
terpasang ventilasi mekanik dilakukan suction 8-17 kali sehari. Sekret trakea
dibuang untuk memastikan patennta jalan napas dan menghindari obstruksi
lumen pernapasan yang mengakibatkan peningkatan kerja napas, infeksi paru,
atelektasis dan infeksi paru. Penggunaan suction terdapat beberapa resiko
efek samping seperti gangguan detak jantung, hipoksemia, dan pneumonia
terkait ventilator associated pneumonia (VAP). Selain itu juga dikarenakan
prosedur yang invasif dan tidak nyaman. Terdapat dua sistem suction yang
tersedia : Open Suction System (OSS) dan Closed Suction System (CSS).
Jenis OSS hanya digunakan sekali dan membutuhkan lepasnya ventilator
dari pasien. CSS diletakkan diantara tube trakheadan sirkuit ventilator
mekanik dan bisa berada didalam pasien lebih dari 24 jam. Penggunaan CSS
di Amerika Serikat telah populer selama dekade terakhir ini dan berdasarkan
statistika penggunaannya yang makin meningkat yaitu pada 58% dari kasus-
kasus, sementara OSS hanya dipergunakan pada 4% dari kasus yang ada.
Beberapa penelitian penggunaan OSS memiliki beberapa keuntungan seperti
insidensi pneumonia yang lebih rendah, kurangnya perubahan fisiologis
selama prosedur, dan kurangnya kontaminasi bakteria. Penggunaan CSS
memberikan sejumlah keuntungan antara lain penggunaannya yang multiple-
use, tanpa melepas ventilator dari pasien yang dapat berakibat pada
munculnya tekanan negatif sehingga terjadi kehilangan volume paru yang
intens sehingga berakibat pada hipoksemia (Debora, 2012).
3. Indikasi
Menurut Kozier dan Erb (2012) indikasi dilakukannya suction
Endotracheal Tube (ETT) pada pasien adalah bila terjadi gurgling (suara
nafas berisik seperti berkumur), cemas, susah/kurang tidur, snoring
(mengorok), penurunan tingkat kesadaran, perubahan warna kulit, penurunan
saturasi oksigen, penurunan pulse rate (nadi), irama nadi tidak teratur,
respiration rate menurun dan gangguan patensi jalan nafas.
Sedangkan menurut Smeltzer et al (2013), indikasi penghisapan lendir
lewat endotrakeal adalah untuk :
a. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance), apabila :
1) Pasien tidak mampu batuk efektif
2) Diduga aspirasi
b. Membersihkan jalan napas (bronkhial toilet), apabila ditemukan :
1) Pada auskultasi terdengar suara nafas yang kasar atau ada suara nafas
tambahan
2) Diduga ada sekresi mukus pada saluran pernapasan
3) Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja sistem
pernapasan
c. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium
d. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi
e. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal
Prosedur ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan yang
dapat menimbulkan spasme laring terutama sebagai akibat penghisapan
melalui trakea gangguan perdarahan, edema laring, varises esophagus,
perdarahan gaster, infark miokard (Elly, 2012).
4. Tujuan
Tujuan dilakukannya suction yaitu untuk menghilangkan sekret yang
menyumbat jalan nafas, untuk mempertahankan patensi jalan nafas,
mengambil sekret untuk pemeriksaan laboratorium, untuk mencegah infeksi
dari akumulasi cairan sekret (Kozier & Erb, 2012).
Elly (2012) juga menjelaskan tujuan dilakukan suction diantaranya untuk
membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang batuk,
mencegah terjadinya infeksi paru.
7. Komplikasi
Dalam melakukan tindakan hisap lensir (suction) perawat harus
memperhatikan komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain
yaitu (Kozier & Erb, 2012) :
a. Hipoksemia
b. Trauma jalan nafas
c. Infeksi nosokomial
d. Respiratory arrest
e. Bronkospasme
f. Perdarahan pulmonal
g. Disritmia jantung
h. Hipertensi/hipotensi
i. Nyeri
j. Kecemasan
3. Komplikasi
a. Pipa ETT masuk ke dalam esofagus dapat menyebabkan hipoksia
b. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi
c. Gigi patah
d. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa
e. Kerusakan pita suara
f. Perforasi pada faring dan esofagus
g. Muntah dan aspirasi
h. Pelepasan adrenalin dan nonadrenalin akibat rangsangan intubasi
sehingga terjadi hipertensi, takikardia, dan aritmia
i. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke bronkus kanan.
Untuk mengatasinya, tarik pipa 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan
dada dan auskultasi bilateral.
BAB III
TELAAH JURNAL
A. Judul
Judul: “Pengaruh Depth Suction dan Shallow Suction Terhadap Perubahan
Hemodinamik Pada Pasien Dengan Endotracheal Tube Di Ruang ICU RSUD
Ulin Banjarmasin”
C. Hasil
Pada hasil analisis penelitian untuk variabel pengaruh Depth
Suction dan Shallow Suction terhadap perubahan tekanan darah didapatkan
temuan bahwa tidak ada pengaruh intervensi suction yang dilakukan dengan
tehnik Depth Suction maupun Shallow Suction terhadap perubahan tekanan
darah responden, baik itu pada tekanan darah sistolik maupun tekanan darah
diastolik.
D. Kesimpulan
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa tidak ada perubahan
hemodinamik yang signifikan pada kedua tehnik kedalaman kateter
suction.Depth suctionbaik dilakukan, karena mengingat keefektifan jangkaun
kateter suction yang masuk, diharapkan lebih banyak sekret yang terhisap
sehingga tindakan suction tidak dilakukan berulang – ulang. Sedangkan untuk
tindakan shallowsuction dapat dilakukan apabila pasien memiliki resiko
trauma pada trakea akibat penyisipan yang cepat dan tekanan negative selama
prosedur suction yang tinggi.Namun,
perlupengawasanterkaitdengantandadangejalainfeksicederajaringankhususnya
karinadenganmelemahnyarefleksbatuk.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada kelompok depth suction, MAP lebih tinggi dibanding shallow suction,
hal ini terjadi karena stimulasi invasif dari prosedur suction dimana kateter
individu untuk memenuhi perfusi ke organ-organ vital seperti otak dan ginjal.
Penilaian MAP bergantung pada nilai tekanan darah pasien yaitu kemampuan
Oksigen.
B. Saran
Dengan kesimpulan telaah jurnal, ada beberapa hal yang dapat
1. Bagi Mahasiswa
sesuaidengankondisipasien.
2. Bagi perawat
suction sesuaidengankondisidanindikasipasien.
3. Bagi ruangan
DAFTAR PUSTAKA
AARC. (2010). Endotracheal Suctioning Of Mechanically Ventilated Patients
With Artificial Airways. Diakses pada tanggal 20 Maret 2018 dari :
http:Rchournal.com/cpgs/pdf/06.10.0758
Abbasania, et al. (2014). Comparison the Effects of Shallow and Deep
Endotracheal Tube Suctioning on Respiratory Rate, Arterial Blood
Oxygen Saturation and Number of Suctioning in Patients Hospitalized in
the Intensive Care Unit: A Randomized Controlled Trial . Journal of caring
science.
Debora, Yusnita, dkk. (2012). Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed
Suction dan Sistem Open Suction pada Penderita dengan Ventilator
Mekanik.
Kozier, B & Erb, G. (2012). Kozier and Erb’s Technique in Clinnical Nursing.
New Jersey : Pearson Education
Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Timby, B, K. (2011). Fundamental Nursing Skills and Concepts. Philadelphia :
Lippincot William & Wilkins
Handayanto, Anton Wuri. (2013). Perbedaan Tekanan Balon Pipa Endotrakeal
Setelah Perubahan Posisi Supine ke Lateral Decubitus Pada Pasien yang
Menjalani Anestesi Umum.
Potter, P. A., & Perry, A.G. (2013). Fundamental Of Nursing( 8th ed). St. Louis:
Mosby
Kozier & Erb. (2012). Buku Ajar Keperwatan Klinis. Jakarta : EGC
Smeltzer ,S.C., & Bare, B.G. (2013). Buku ajar keperawatan medikal bedah
brunner dan suddarth (Edisi 13).Jakarta : EGC.
Schumacher, L., & Chernecky, C. (2010). Saunders Nursing Survival Guide
Critical Care and Emergency Nursing 2nd ed. United states of america:
Saunders Elsevier.
Terry & Weafer. (2011). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC
Morton, P. G., & Fontaine, D. K. (2009). Critical Care Nursing A holistic
Approach ed.9. Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.
Ganong, W. F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed 22. Jakarta: EGC.