Anda di halaman 1dari 22

SEMINAR JURNAL

“METODE ROSIER SAMURAI UNTUK PENANGANAN STROKE AKUT


DI INSTALASI GAWAT DARURAT”

OLEH:

GINA RAHMAWATI
PUTRI DAHLIA
EGA SILVIA ROZA
TINI SUMANTI

PRAKTEK PROFESI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasar data riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2007 jumlah

total penderita stroke di Indonesia, sekitar 2,5% atau 250 ribu orang

meninggal dunia dan sisanya cacat ringat ataupun berat. Data

menyebutkan dari 2.065 pasien stroke akut dirawat di rumah sakit di

Indonesia, usia rata-rata adalah 56,8 (standar Deviasi 13,3), tahun (kisaran

18–95 tahun), 12,9% kurang dari 45 tahun, dan 35,8% lebih dari 65

tahun.1

Penyakit stroke merupakan salah satu kejadian epidemic di dunia

kesehatan terutama upaya preventif dan usaha penanggulangannya.

Tantangan yang dihadapi dalam penanganan dan pengelolaan pasien

dengan stroke datangdari berbagai hal, antara lain di negara-negara

berkembang kurangnya informasi data yang akurat tentang tinjauan

epidemiologinya. Berbeda dengan di negara maju stroke infark ini di teliti

dan di dokumentasikan dengan baik, tidak hanya berdasarkan laporan dari

pasien yang dirawat di rumah sakit juga dapat dilaporkan angka kejadian

stroke di luar rumah sakit, sehingga dapat memantau kejadian prevalensi

stroke sebagai upaya menurunkan morbiditas dan mortalitasnya. Faktor

lain yang menjadi tantangan dalam penanganan stroke akut infark (acute

skhemic) adalah rendahnya ketersediaan terapi trombolisis dan

infrastruktur pendukung terapi trombolisis pada Negara berkembang.2


Penanganan stroke akut di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di

Indonesia sangat bervariasi dan belum secara spesifik standar yang baku

yang harus dilakukan di IGD, sehingga akan banyak celah yang akan

merugikan pasien. Pengelolaan stroke akut pada tahap awal memerlukan

strategi dan sistem yang baik, intervensi yang cepat dan tepat terutama di

ruang emergensi akan membawa dampak signifikan untuk mengurangi

resiko kematian dan kecacatan penderita. Beberapa hal dapat dicegah

terjadi gejala menetap dari TIA (Transient Iscemic Attack) apabila

intervensi), penurunan kesadaran, kelumpuhan ektremitas, gangguan

bicara/aphasia, dan tanda-tanda gangguan neurologis yang lain. Salah satu

cara yang efektif dapat digunaan di ruang emergensi adalah metode

ROSIER(Recognition of Stroke in the Emergency Room) ini merupakan

skala asesmen yang digunakan untuk mendeteksi dan intervensi dengan

segera pada penderita stroke akut3. ROSIER merupakan bagian dari stroke

acut management with urgent risk-factor asesment and improvment

(SAMURAI), yang berisikan cara yang efektif dalam pengelolaan

penderita stroke akut dengan meminimalkan gejala sisa atau kecacatan dan

komplikasi stroke akut.


B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Memberikan pengetahuan dan informasi tentang metode ROSIER

SAMURAI untuk penanganan stroke akut di instalasi gawat darurat.

2. Tujuan Khusus

a. Agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Ruang IGD RSUP DR. M

Djamil Padang

b. Bahan tambahan dalam memberi asuhan keperawatan kepada pasien

stroke akut di ruang IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang

c. Diketahui isi atau konten dari jurnal “Metode ROSIER SAMURAI untuk
penanganan stroke akut di instalasi gawat darurat”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Metode ROSIER SAMURAI


1. Defenisi
ROSIER (Recognition Of Stroke In The Emergency Room)
Skala Rosier tampak seperti dibawah ini:
1) Apakah pasien mengalami penurunan kesadaran atau pingsan?
Apabila Ya, skor = -1, Tidak= 0
2) Apakah ada kejang ? Ya= -1, Tidak=0
3) Apakah ada kelemahan otot di sebelah wajah yang tiba-tiba? Atau
pasien bangun dari tidur dengan kelemahan otot disebelah wajah ? Ya
= +1, Tidak=0
4) Apakah ada kelemahan disalah satu lengan yang terjadi secara tiba-
tiba? Ya = +1, Tidak=0
5) Apakah ada kelemahan disalah satu kaki atau tungkai bawah yang
terjadi secara tiba-tiba? Ya = +1, Tidak=0
6) Apakah ada gangguan bicara seperti cadel yang terjadi secara tiba-
tiba? Ya= +1, Tidak=0
7) Apakah ada gangguan penglihatan seperti mata kabur atau penglihatan
ganda yang terjadi secara tiba-tiba? Ya = 1, Tidak=0

Kemudian jumlahkan skor pasien, skor akan berada diantara -2


sampai 5, apabila skor > 0 maka pasien kemungkinan besar
mengalami stroke dan skor < 0 kemungkinan bukan stroke.

Metode ROSIER ini terbukti akurat untuk mengenali gejala stroke di


ruang emergency dan sudah divalidasi secara internasional.
Gejala-gejala lain yang dapat menyertai stroke adalah gangguan
keseimbangan tubuh, sakit kepala, sulit menelan, dan perasaan kebas
diwajah, kaki atau kaki.
2. Jdjd
B. STROKE
1. Definisi
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan sekret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri (Timby, 2011).
Suction Endotracheal Tube (ETT) yaitu membersihkan sekret dari saluran
endotrakeal disamping membersihkan sekret, suction juga merangsang reflek
batuk. Prosedur ini memberikan patensi jalan nafas sehingga mengoptimalkan
kembali pertukaran oksigen dan karbondiaksida dan juga mencegah
pneumonia karena penumpukan sekret. Dilakukan berulang-ulang sesuai
dengan tanda-tanda penumpukan sekret di jalan nafas pasien, prosedur
suction menggunakan prinsip steril (Kozier & Erb, 2012).
Suction adalah suatu tindakan untuk membersihkan jalan nafas dengan
memakai kateter penghisap melalui nasotrakeal tube (NTT), orotrakeal tube
(OTT), trakeostomy tube (TT) pada saluran pernafasan bagian atas.

2. Jenis Suction
Suction trakea seringkali dilakukan pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik. Terdapat laporan yang menunjukkan pasien yang
terpasang ventilasi mekanik dilakukan suction 8-17 kali sehari. Sekret trakea
dibuang untuk memastikan patennta jalan napas dan menghindari obstruksi
lumen pernapasan yang mengakibatkan peningkatan kerja napas, infeksi paru,
atelektasis dan infeksi paru. Penggunaan suction terdapat beberapa resiko
efek samping seperti gangguan detak jantung, hipoksemia, dan pneumonia
terkait ventilator associated pneumonia (VAP). Selain itu juga dikarenakan
prosedur yang invasif dan tidak nyaman. Terdapat dua sistem suction yang
tersedia : Open Suction System (OSS) dan Closed Suction System (CSS).
Jenis OSS hanya digunakan sekali dan membutuhkan lepasnya ventilator
dari pasien. CSS diletakkan diantara tube trakheadan sirkuit ventilator
mekanik dan bisa berada didalam pasien lebih dari 24 jam. Penggunaan CSS
di Amerika Serikat telah populer selama dekade terakhir ini dan berdasarkan
statistika penggunaannya yang makin meningkat yaitu pada 58% dari kasus-
kasus, sementara OSS hanya dipergunakan pada 4% dari kasus yang ada.
Beberapa penelitian penggunaan OSS memiliki beberapa keuntungan seperti
insidensi pneumonia yang lebih rendah, kurangnya perubahan fisiologis
selama prosedur, dan kurangnya kontaminasi bakteria. Penggunaan CSS
memberikan sejumlah keuntungan antara lain penggunaannya yang multiple-
use, tanpa melepas ventilator dari pasien yang dapat berakibat pada
munculnya tekanan negatif sehingga terjadi kehilangan volume paru yang
intens sehingga berakibat pada hipoksemia (Debora, 2012).

3. Indikasi
Menurut Kozier dan Erb (2012) indikasi dilakukannya suction
Endotracheal Tube (ETT) pada pasien adalah bila terjadi gurgling (suara
nafas berisik seperti berkumur), cemas, susah/kurang tidur, snoring
(mengorok), penurunan tingkat kesadaran, perubahan warna kulit, penurunan
saturasi oksigen, penurunan pulse rate (nadi), irama nadi tidak teratur,
respiration rate menurun dan gangguan patensi jalan nafas.
Sedangkan menurut Smeltzer et al (2013), indikasi penghisapan lendir
lewat endotrakeal adalah untuk :
a. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance), apabila :
1) Pasien tidak mampu batuk efektif
2) Diduga aspirasi
b. Membersihkan jalan napas (bronkhial toilet), apabila ditemukan :
1) Pada auskultasi terdengar suara nafas yang kasar atau ada suara nafas
tambahan
2) Diduga ada sekresi mukus pada saluran pernapasan
3) Apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja sistem
pernapasan
c. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium
d. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi
e. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal
Prosedur ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan yang
dapat menimbulkan spasme laring terutama sebagai akibat penghisapan
melalui trakea gangguan perdarahan, edema laring, varises esophagus,
perdarahan gaster, infark miokard (Elly, 2012).

4. Tujuan
Tujuan dilakukannya suction yaitu untuk menghilangkan sekret yang
menyumbat jalan nafas, untuk mempertahankan patensi jalan nafas,
mengambil sekret untuk pemeriksaan laboratorium, untuk mencegah infeksi
dari akumulasi cairan sekret (Kozier & Erb, 2012).
Elly (2012) juga menjelaskan tujuan dilakukan suction diantaranya untuk
membebaskan jalan nafas, mengurangi retensi sputum, merangsang batuk,
mencegah terjadinya infeksi paru.

5. Jenis Kanul Suction


Jenis kanul suction yang ada di pasaran dapat dibedakan menjadi open
suction dan close suction. Open suction merupakan kanul konvensional,
dalam penggunaannya harus membuka sambungan antara ventilator dengan
ETT pada pasien, sedangkan close suction merupakan kanul dengan sistem
tertutup yang selalu terhubung dengan sirkuit ventilator dan penggunaannya
tidak perlu membuka konektor sehingga aliran udara yang masuk tidak
terinterupsi.
Berikut ini adalah ukuran suction catheter kit (Kozier & Erb, 2012) :
Dewasa 12-18 Fr
Anak usia sekolah 6-12 tahun 8-10 Fr
Anak usia balita 6-8 Fr

Tekanan yang direkomendasikan Timby (2011) dijelaskan dalam tabel


berikut :
Usia Suction dinding Suction portable
Dewasa 100-140 mmHg 10-15 mmHg
Anak-anak 95-100 mmHg 5-10 mmHg
Bayi 50-95 mmHg 2-5 mmHg

6. Endotracheal Depth Suction dan Shallow Suction


Endotracheal depth suction yaitu penghisapan sekret dilakukan melewati
batas ujung pipa endotrakeal dan shallow suctionyaitu penghisapan sekret
sampai pada batas ETT. American Assosiation For Respiratory Care (AARC,
2010) menyebutkan bahwa shallow suction lebih direkomendasikan untuk
meminimalkan resiko invasif pada pasien.
Depth Endotracheal Suction :
- Dilakukan pada pasien dengan sekret produktif dan riwayat penyakit paru
yang mengharuskan pasien dilakukan suction
- Pada pasien yang dilakukan depth suction, frekuensi tindakan suction
yang dilakukan lebih sedikit
- Dapat membersihkan lebih banyak sekret
- Terjadi peningkatan jumlah denyut jantung
- Terjadi peningkatan tekanan darah
- Terjadi peningkatan MAP
Shallow Endotracheal Suction :
- Dilakukan apabila pasien memiliki resiko trauma pada trakea
- Penurunan saturasi oksigen lebih sedikit dibanding depth suction
(Abbasinia et al, 2014)

7. Komplikasi
Dalam melakukan tindakan hisap lensir (suction) perawat harus
memperhatikan komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain
yaitu (Kozier & Erb, 2012) :

a. Hipoksemia
b. Trauma jalan nafas
c. Infeksi nosokomial
d. Respiratory arrest
e. Bronkospasme
f. Perdarahan pulmonal
g. Disritmia jantung
h. Hipertensi/hipotensi
i. Nyeri
j. Kecemasan

8. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pengisapan Endotracheal tube


a. Perangkat Alat
 Suction pump
 Kateter suction sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan
 Sarung tangan steril
 Pinset streril
 Pressure cuff atau spuit 10 cc
 Alas dada
 Kom berisi aqua steril
 Ambu bag dan selang oksigen
 Jelly
 Aqua steril untuk pembilas
 Botol berisi cairan desinfectan
b. Prosedur
 Pasien diberitahu tindakan yang akan dilakukan
 Atur posisi pasien sesuai dengan kebutuhan
 Pasang pengalas dada
 Beri oksigen 100%
 Perawat cuci tangan, pasang handscoon
 Sambungkan selang suction dengan kateter suction kemudian
lepaskan konektor ETT pada selang ventilator
- Teknik depth endotracheal suction : Masukkan kateter suction
dengan tidak menutup lobang kateter suction sampai melewati
panjang ETT sejauh 1 cm
- Teknik shallow endotracheal suction : Masukkan kateter suction
dengan tidak menutup lobang kateter suction sampai ujung ETT
pasien
 Tutup lobang kateter suction kemudian tarik kateter suction dengan
cara memutar pada dinding kateter suction (waktu satu kali lebih
kurang 10 detik)
 Sambungkan kembali konektor ETT dengan selang ventilator
 Bilas kateter suction dengan aqua steril
 Ulangi prosedur diatas bila masih perlu, pada akhir tindakan
kempeskan cuff ETT dengan spuit 10 cc dan lakukan suction lagi,
kemudian isi lagi cuff ETT sampai tidak terdengar suara kebocoran
 Bilas lagi kateter suction dengan aqua steril dan kemudian masukkan
ke dalaam kom yang berisi desinfektan
 Lepaskan handscoon, cuci tangan
 Evaluasi dengan auskultasi saluran nafas kemudian observasi dan
catat jam, tanggal dilakukan suction dan catat jumlah, bau, warna, dan
konsistensi lendir pada catatan keperawatan
C. Hemodinamik
1. Defenisi
Hemodinamik adalah ilmu mengenai kekuatan pergerakan darah yang
melewati kardiovaskuler dan sistem peredaran darah berupa hubungan timbal
balik antara tekanan, aliran, tahanan dalam sirkulasi darah (Morton &
Fontaine, 2009; Schumacher & Chernecky, 2010). Komponen dari
hemodinamik adalah tekanan darah/Blood Pressure (BP) atau cardiac output
(CO) X systemic vascular resistance (daya tahan sistemik pembuluh darah),
central venous pressure (CVP) dan tekanan jantung kanan dan kiri. Prinsip
fisiologi dari hemodinamik adalah faktor tentang pengaruh fungsi miokardial,
pengaturan tekanan darah dan menentukan daya guna dari jantung serta
cardiac output (Schumacher & Chernecky, 2010).
2. Komponen Hemodinamik
a. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan/gaya yang mendesak darah di dinding
arteri (pembuluh darah) (Schumacher & Chernecky, 2010; Stanfield,
2012). Periode pengisian jantung dengan darah yang diikuti oleh periode
kontraksi disebut sistole dan periode relaksasi disebut diastole. Rata - rata
tekanan sistolik (tekanan maksimum yang ditimbulkan sewaktu darah
disemprotkan masuk ke dalam arteri) adalah 100-139 mmHg sedangkan
tekanan rata-rata diastolik adalah 60-90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2012)
b. MAP (Mean Arterial Pressure)
Mean arterial pressureadalah tekanan arteri rata-rata selama satu
siklus denyutan jantung yang didapatkan dari pengukuran tekanan darah
systoledan tekanan darah dyastole. Nilai normal MAP adalah berkisar
antara 70-100 mmHg. Pada penghitungan MAP akan didapatkan
gambaran penting dalam tekanan darah yaitu : tekanan sistolik adalah
tekanan maksimal ketika darah dipompakan dari ventrikel kiri, batas
normal dari tekanan sistolik adalah 100-140 mmHg, tekanan diastolik
adalah tekanan darah pada saat relaksasi, batas normal dari tekanan
diastolik adalah 60-80 mmHg. Tekanan diastolik menggambarkan
tahanan pembuluh darah yang harus dicapai oleh jantung (Potter & Perry,
2013).
c. Nadi
Nadi adalah perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik berupa
gelombang darah yang dapat dirasakan karena dipompa ke dalam arteri
oleh kontraksi ventrikel kiri yang diatur oleh sistem saraf otonom.
Normalnya berkisar 60-100 x/menit (Ganong, 2008; Smeltzer & Bare,
2012).
d. Saturasi Oksigen
Saturasi oksigen yaitu presentase oksigen yang dibawa oleh
hemoglobin yang ditetapkan dengan simbol SpO2. Dapat diukur
menggunakan oksimeter nadi, oksimeter nadi adalah alat yang relatif
mudah dalam penggunaannya untuk mengukur saturasi oksigen dan
merupakan prosedur non invasif (Walkins & William L, 2014).
Saturasi oksigen adalah rasion antara jumlah oksigen yang terikat oleh
hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin dalam mengikat
oksien (Quarti, 2011). Saturasi oksigen dapat diukur dengan metode
invansif maupun non invansif. Pengukuran dengan metode invansif
menggunakan analisa gas darah. Adapun pengukuran dengan metode non
invansif menggunakan oksimeter nadi.
Nilai normal saturasi oksigen adalah 95%-100%. Apabila dibawahnya
dapat diindikasikan sebagai hipoksemia dan perlu penanganan lebih lanjut
misalnya dengan meningkatkan terapi oksigen. Apabila saturasi oksigen
menurun drastis secara tiba-tiba maka perlu dilakukan tindakan resusitasi
(Wilkins & William L, 2014).
Menurut Rohlwink (2010) nilai saturasi oksigen diinterpretasikan
sebagai berikut :
 SpO2 > 95%, berarti normal dan tidak membutuhkan tindakan
 SpO2 91%-94%, berarti masih dapat diterima tapi perlu pertimbangan,
kaji tempat pemeriksaan dan lakukan penyesuaian jika perlu dan
lanjutkan monitor pasien.
 SpO2 85%-90%, berarti pasien harus ditinggikan kepala dari tempat
tidur dan stimulasi pasien bernafas dengan kaji jalan nafas dan dorong
untuk batuk, berikan oksigen sampai dengan saturasi >90% dan
informasikan kepada dokter.
 SpO2 <85%, berarti memberikan oksigen 100%, posisi pasien
memfasilitasi untuk bernafas, suction jika dibutuhkan dan beritahu
doktersegera, cek catatan pengobatan yang dapat men-depresi
pernafasan dan siapkan manual ventilasi atau pertolongan intubasi jika
kondisi memburuk.
Apabila SpO2 dibawah 70% keselamatan pasien terancam. Karena
oksimetri nadi hanya mengukur oksigen yang tercampur dalam darah,
sehingga kemungkinan hemoglobin mengandung substansi lain seperti
karbon monoksida yang berbahaya bagi tubuh manusia (Kozier & Erb,
2012).
D. Endotracheal Tube
1. Defenisi
Endotracheal tube adalah alat yang digunakan untuk mengamankan jalan
napas atas. ETT digunakan atas indikasi kepentingan anestesi umum dan
pembedahan atau perawatan pasien sakit kritis di unit rawat intensif untuk
kepentingan pengelolaan jalan napas (airway management) (Handayanto,
2013).

2. Indikasi Pemasangan Endotracheal Tube


a. Hilangnya refleks pernapasan
b. Obstruksi jalan napas besar (epiglotis, corpus alienum, paralisis pita
suara) baik secara anatomis maupun fungsional
c. Perdaraahan faring (luka tususk, luka tembak pada leher)
d. Tindakan profilaksis (pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke
Rumah Sakit lain atau pada keadaan dimana potensial terjadi kegawatan
nafas dalam proses transportasi pasien (Catharina, 2015).

3. Komplikasi
a. Pipa ETT masuk ke dalam esofagus dapat menyebabkan hipoksia
b. Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi
c. Gigi patah
d. Laserasi pada faring dan trakea akibat stilet pada ujung pipa
e. Kerusakan pita suara
f. Perforasi pada faring dan esofagus
g. Muntah dan aspirasi
h. Pelepasan adrenalin dan nonadrenalin akibat rangsangan intubasi
sehingga terjadi hipertensi, takikardia, dan aritmia
i. Pipa masuk ke salah satu bronkus, umumnya masuk ke bronkus kanan.
Untuk mengatasinya, tarik pipa 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan
dada dan auskultasi bilateral.
BAB III
TELAAH JURNAL
A. Judul
Judul: “Pengaruh Depth Suction dan Shallow Suction Terhadap Perubahan
Hemodinamik Pada Pasien Dengan Endotracheal Tube Di Ruang ICU RSUD
Ulin Banjarmasin”

a. Penulis : Marta Tania Gabriel Ching Cing


b. Publikasi : STIKES YARSI Pontianak (KorespondenAutor:
martadenniach@gmail.com)
c. Tanggal Telaah : 18 Maret 2018

B. Telaah Konten / Isi

Pada jurnal “Pengaruh Depth Suction dan Shallow Suction Terhadap


Perubahan Hemodinamik Pada Pasien Dengan Endotracheal Tube Di Ruang
ICU RSUD Ulin Banjarmasin” dijelaskan bahwa pasien yang dirawat di
ruang intensif yang menggunakan ventilator mekanik mengakibatkan pasien
tidak mampu mengeluarkan sekret secara mandiri akibat dari pasien
mendapatkan sedatif, analgetik yang kuat dan relaksan otot. Endotracheal
Suction (ETS) merupakan suatu prosedur tindakan yang bertujuan untuk
menjaga jalan napas pasien tetap bersih yaitu dengan memasukkan kateter
suction ke pipa endotrakeal pasien kemudian sekret paru pasien dibuang
dengan menggunakan tekanan negatif (Restrepo et al., 2010). Tindakan
suction perlu mendapatkan perhatian sehingga prosedur dapat diberikan
dengan meminimalkan efek samping salah satunya dengan mengontrol
kedalaman kateter suction saat melakukan penghisapan sekret.

Endotrachealdepth suction, yaitu penghisapan sekret dilakukan


melewati batas ujung pipa endotrakeal dan shallow suction yaitu penghisapan
sekret sampai pada batas ETT. Akibat dari tindakan suctioniniterjadi
desaturasi oksigendan perubahan hemodinamikpada pasien. Hemodinamik
merupakan komponen utama pada perawatan intensif. Hemodinamik adalah
pemeriksaan aspek fisik sirkulasi darah, fungsi jantung dan karakteristik
fisiologis vascular perifer. Terdapat hasil penelitian yang berbeda-beda
terkait depth suction dan shallow suction. Irajpour et al. (2014) dalam
penelitiannya menyatakan terdapat peningkatan jumlah denyut jantung dan
nilai rata – rata tekanan darah pada pasien setelah dilakukan penghisapan
lendir dengan metode depthsuction daripada dengan menggunakaan metode
shallow suction. Penelitian yang dilakukan Van de Leur et al. (2003 dalam
Irajpour, 2014) dalam penelitiannya bahwa pada shallow suction secara
signifikan meningkatkan peningkatan tekanan darah sistolik pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Abbasinia et al (2014) tentang perbandingan
efek shallow dan depth endotracheal suction pada jumlah pernapasan,
saturasi oksigen darah arteri dan jumlah suction didapatkan hasil bahwa
kedua tehnik tersebut menghasilkan pengaruh yang sama pada RR dan SpO2.

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Sampel dalam


penelitian dalam penelitian ini ialah pasien yang terpasang endotrachealtube
dan dilakukan suction dengan sistem terbuka. Pemilihan sampel dilakukan
dengan consecutivesampling. Jumlah sampel sebesar 10 responden untuk tiap
kelompok dan total sampel adalah 20 responden. Data diolah dengan program
SPSSfor windows seri 20. Uji statistik menggunakan uji t dengan derajat
kemaknaan p < 0,05. Responden dilakukan pemeriksaan hemodinamik non
invasif (tekanan darah, frekwensi denyut nadi, MAP dan SpO2) 2 (dua) menit
sebelum melakukan tindakan suction. Kemudian diberikan preoksigenisasi
100% selama 2 (dua) menit sebelum dan 2 (dua) menit setelah dilakukan
intervensi. Intervensi dilakukan berupa depth endotracheal suction yaitu
dengan penyisipan kateter suction melewati panjang ETT sejauh 1 cm atau
memberikan intervensi berupa shallow endotracheal suction yaitu penyisipan
kateter suction sepanjang ukuran ETT pada responden yang telah ditentukan,
1 (satu) kali suction dilakukan selama kurang dari atau sama dengan 10 detik.
Setelah intervensi suction dilakukan, peneliti mendengarkan suara napas
pasien, jika sekresi jalan napas masih belum bersih, tindakan suction
dilakukan kembali hingga jalan napas bersih, maksimal 3 (tiga) kali.
Kemudian melakukan pengukuran hemodinamik non invasif (tekanan darah,
frekwensi denyut nadi, MAP dan SpO2) 2 menit setelah intervensi.

C. Hasil
Pada hasil analisis penelitian untuk variabel pengaruh Depth
Suction dan Shallow Suction terhadap perubahan tekanan darah didapatkan
temuan bahwa tidak ada pengaruh intervensi suction yang dilakukan dengan
tehnik Depth Suction maupun Shallow Suction terhadap perubahan tekanan
darah responden, baik itu pada tekanan darah sistolik maupun tekanan darah
diastolik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan


oleh Qioni, Z., etal (2009) dan Wei, XJ et al (2006) melakukan penilaian
tekanan darah 1 menit sebelun dan 5 menit setelah dilakukan DepthSuction
dan Shallow Suction didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan pada tekanan darah yang dilakukan sebelum dan sesudah
DepthSuction dan Shallow Suction. Penelitian ini didukung oleh hasil
penelitian yang dilakukan Irajpour (2014) yang menyatakan bahwa tidak
terdapat perbedaan signifikan antara tekanan darah yang dilakukan dengan
tehnik Depth Suction maupun Shallow Suction.

Perubahan frekwensi denyut jantung pada penelitian ini tidak


menunjukkan perubahan baik pada depth suction maupun shallow suction.
Pada kelompok depth suction, MAP lebih tinggi dibanding shallow suction,
hal ini terjadi karena stimulasi invasif dari prosedur suction dimana kateter
yang masuk ke endotracheal tube lebih dalam disbanding shallow suction.
Walaupun secara statistic tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
Depth Suction dan Shallow Suction. Pengukuran nilai MAP menjadi penting
karena menggambarkan kemampuan individu untuk memenuhi perfusi ke
organorgan vital seperti otak dan ginjal. Penilaian MAP bergantung pada nilai
tekanan darah pasien yaitu kemampuan jantung memompa darah.

Analisa penelitian pengaruh DepthSuction dan ShallowSuction


terhadap perubahan Saturasi Oksigen menunjukkan hasil bahwa tidak ada
pengaruh antara tindakan Depth Suction dan ShallowSuction terhadap
perubahan Saturasi Oksigen.Saturasi oksigen juga dipengaruhi oleh penyakit
penyerta pada pasien. Pasien yang sebelumnya sudah mengalami gangguan
pernapasan kronis distribusi oksigen ke jaringan perifer sudah terlebih dahulu
mengalami kepayahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen
adalah jumlah oksigen yang masuk ke paru, kecepatan difusi, kapasitas
hemoglobin dalam membawa oksigen.

Prosedur suction bukan tindakan yang rutin, prosedur ini dilakukan


jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukan suction, hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perubahan hemodinamik yang signifikan pada
kedua tehnik kedalaman kateter suction.

Kedua tehnik ini dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi


pasien. Pada pasien dengan sekret produktif dan riwayat penyakit paru yang
mengharuskan pasien dilakukan suction, prosedur depth suction dapat
dilakukan, karena mengingat keefektifan jangkaun kateter suction yang
masuk, diharapkan lebih banyak sekret yang terhisap sehingga tindakan
suction tidak dilakukan berulang – ulang. Sedangkan untuk tindakan
shallowsuction dapat dilakukan apabila pasien memiliki resiko trauma pada
trakea akibat penyisipan yang cepat dan tekanan negative selama prosedur
suction yang tinggi.

D. Kesimpulan
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa tidak ada perubahan
hemodinamik yang signifikan pada kedua tehnik kedalaman kateter
suction.Depth suctionbaik dilakukan, karena mengingat keefektifan jangkaun
kateter suction yang masuk, diharapkan lebih banyak sekret yang terhisap
sehingga tindakan suction tidak dilakukan berulang – ulang. Sedangkan untuk
tindakan shallowsuction dapat dilakukan apabila pasien memiliki resiko
trauma pada trakea akibat penyisipan yang cepat dan tekanan negative selama
prosedur suction yang tinggi.Namun,
perlupengawasanterkaitdengantandadangejalainfeksicederajaringankhususnya
karinadenganmelemahnyarefleksbatuk.

BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan

Jurnal ini telah menjelaskanPengaruh Depth Suction dan Shallow

Suction Terhadap Perubahan Hemodinamik Pada Pasien Dengan

Endotracheal Tube. Telah didapatkan hasil penelitian bahwa tidak ada

pengaruh intervensi suction yang dilakukan dengan tehnik Depth Suction

maupun Shallow Suction terhadap perubahan tekanan darah responden, baik

itu pada tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolic.

PadaPerubahan frekwensi denyut jantung pada penelitian ini tidak

menunjukkan perubahan baik pada depth suction maupun shallow suction.

Pada kelompok depth suction, MAP lebih tinggi dibanding shallow suction,

hal ini terjadi karena stimulasi invasif dari prosedur suction dimana kateter

yang masuk ke endotracheal tube lebih dalam dibanding shallow suction.

Walaupun secara statistic tidak menunjukkan perubahan yang signifikan,

Pengukuran nilai MAP menjadi penting karena menggambarkan kemampuan

individu untuk memenuhi perfusi ke organ-organ vital seperti otak dan ginjal.

Penilaian MAP bergantung pada nilai tekanan darah pasien yaitu kemampuan

jantung memompa darah.

Pengaruh DepthSuction dan ShallowSuction terhadap perubahan

Saturasi Oksigen menunjukkan hasil bahwa tidak ada pengaruh antara

tindakan Depth Suction dan ShallowSuction terhadap perubahan Saturasi

Oksigen.

B. Saran
Dengan kesimpulan telaah jurnal, ada beberapa hal yang dapat

disarankan demi keperluan pengembangan hasil telaah jurnal Pengaruh Depth

Suction dan Shallow Suction Terhadap Perubahan Hemodinamik Pada Pasien

Dengan Endotracheal Tube

1. Bagi Mahasiswa

Diharapkan dalam menghadapi pasien mahasiswa dapat melakukan

suction denganmetode depth suction dan shallow suction

sesuaidengankondisipasien.

2. Bagi perawat

Diharapkan dari perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

dapat dapat melakukan suction denganmetode depth suction dan shallow

suction sesuaidengankondisidanindikasipasien.

3. Bagi ruangan

Sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan pelayanan dan

asuhan kepada pasien untuk meningkatkan status hemodinamik pasien

sehingga dapat menurunkan angka kematian pada pasien kritis yang

berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA
AARC. (2010). Endotracheal Suctioning Of Mechanically Ventilated Patients
With Artificial Airways. Diakses pada tanggal 20 Maret 2018 dari :
http:Rchournal.com/cpgs/pdf/06.10.0758
Abbasania, et al. (2014). Comparison the Effects of Shallow and Deep
Endotracheal Tube Suctioning on Respiratory Rate, Arterial Blood
Oxygen Saturation and Number of Suctioning in Patients Hospitalized in
the Intensive Care Unit: A Randomized Controlled Trial . Journal of caring
science.
Debora, Yusnita, dkk. (2012). Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed
Suction dan Sistem Open Suction pada Penderita dengan Ventilator
Mekanik.
Kozier, B & Erb, G. (2012). Kozier and Erb’s Technique in Clinnical Nursing.
New Jersey : Pearson Education
Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Timby, B, K. (2011). Fundamental Nursing Skills and Concepts. Philadelphia :
Lippincot William & Wilkins
Handayanto, Anton Wuri. (2013). Perbedaan Tekanan Balon Pipa Endotrakeal
Setelah Perubahan Posisi Supine ke Lateral Decubitus Pada Pasien yang
Menjalani Anestesi Umum.
Potter, P. A., & Perry, A.G. (2013). Fundamental Of Nursing( 8th ed). St. Louis:
Mosby
Kozier & Erb. (2012). Buku Ajar Keperwatan Klinis. Jakarta : EGC
Smeltzer ,S.C., & Bare, B.G. (2013). Buku ajar keperawatan medikal bedah
brunner dan suddarth (Edisi 13).Jakarta : EGC.
Schumacher, L., & Chernecky, C. (2010). Saunders Nursing Survival Guide
Critical Care and Emergency Nursing 2nd ed. United states of america:
Saunders Elsevier.
Terry & Weafer. (2011). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC
Morton, P. G., & Fontaine, D. K. (2009). Critical Care Nursing A holistic
Approach ed.9. Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.
Ganong, W. F. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed 22. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai