Anda di halaman 1dari 44

FARMAKOLOGI OBAT-OBATAN HIPNOTIK-SEDATIF

Obat-obatan hipnotik sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi
sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan
efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk
dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.
Secara klinis obat-obatan sedatif-hipnotik digunakan sebagai obat-obatan yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan
anestesia, penatalaksanaan kejang, serta insomnia. Obat-obatan sedatif hipnotik diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok, yakni:
1. Benzodiazepin
2. Barbiturat
3. Golongan obat nonbarbiturat – nonbenzodiazepin
1. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde.
Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari
barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin
dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.
Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi
dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperative,
midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki
antagonis khusus yaitu flumazenil.
A. Struktur Kimia Benzodiazepin
Benzodiazepine disusun sebuah ring benzene bergabung menjadi sebuah diazepine ring
yang berisi tujuh molekul.

1
Gambar 3. Struktur Kimia Benzodiazepin
B. Mekanisme Kerja
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid
(GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter
penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel
dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek
anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.
Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang merupakan 60%
dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara efek
ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).
Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan
potensi (affinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah otak
dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi, metabolisme dan
ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat dengan protein plasma.
Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan
meningkatkan efek obat ini.
Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi
nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen
jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi
arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung
C. Efek Samping

2
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama
benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknuya selama 2 minggu. Penggunaan
yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung
dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru
kronis.
Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi
ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid
dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga
meningkatkan efek analgesik opioid.
D. Contoh Preparat Benzodiazepin
a. Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole
yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam
selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor
GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding
efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan
yang terjadi selama beberapa jam.
Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap larut
dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin akan
menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur dengan
ringer laktat atau garam asam dari obat lain.
1) Farmakokinetik
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.
Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari
obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang
tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu
durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke
jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan

3
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih
pendek dibanding diazepam.
2) Efek pada Sistem Organ
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak
seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan
metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek
yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.
a) Pernapasan
Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam
0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar
terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi
sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu
sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga menekan
refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas.
b) Sistem kardiovaskuler
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan
thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer
dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung
berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.

3) Penggunaan Klinik
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi
dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat digunakan
untuk mengatasi kejang grand mal.
a) Sedasi intravena
Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80
menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam, midazolam
memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih

4
rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam
adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.
b) Induksi anestesi
Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik.
Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam.
Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS lain
seperti golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding pasien
muda.
b. Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang
lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen
glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-
6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
1. Farmakokinetik
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-
30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam besar
dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta
dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam
dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga
pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan
meningkatkan efek samping dari diazepam.
2. Waktu Paruh
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada
pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat enzim
sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih panjang
namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABAA lebih cepat terpisah.
Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam
dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari seminggu
untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.
3. Efek pada Sistem Organ

5
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan
bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan
meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.
Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak
menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga
dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan
perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti
dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan
penurunan tekanan darah sistemik.
Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi
plasmanya > 1000ng/ml.
4. Penggunaan Klinis
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.
Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang
didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah
kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di
sistem limbik, terutama di hippokampus.
c. Oxazepam
Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek
dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi
metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau
pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada
pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki
periopde tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.
d. Alprazolam
Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan atau
serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi pengganti midazolam
2. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah

6
banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang
memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.
Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-
trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam
malonat.
Susunan Saraf Pusat efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi
dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas
barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat
dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis,
tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan
tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya
diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.

A. Pengaruh Barbiturat
1. Pengaruh Pada Sistem Saraf Pusat
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya.
Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada
sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui
GABA sebagai mediator.
Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi
transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja
benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik,
sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.
2. Pengaruh pada Susunan Saraf Perifer
Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi
nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian
oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.
3. Pengaruh pada Pernapasan
Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian
barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik
menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh

7
langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan
batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat,
kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi
paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang,
sehingga terjadilah hipoksia.
4. Pengaruh pada Sistem Kardiovaskular
Barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular.
Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat.
Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah
turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar
disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat
menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
5. Pengaruh pada Saluran Cerna
Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya
sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak
memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh
dosis sedasi barbiturat.
6. Pengaruh pada Hati
Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati.
Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk
hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.
7. Pengaruh pada Ginjal
Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi
pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.
B. Farmakokinetik
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi
serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati
plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang
terbesar.

8
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan
kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya
aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi
di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi
obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu
(20-30 %) pada manusia.
Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh
berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang
mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir
pada semua obat golongan barbiturat.
C. Indikasi
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.
Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya
tiopental dan fenobarbital.
1. Tiopental
 Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
 Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
 Sedasi pada analgesik regional
 Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
2. Fenobarbital
 Untuk menghilangkan ansietas
 Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
 Untuk sedatif dan hipnotik
D. Kontra Indikasi
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal,
hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik
tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia
lanjut.
E. Efek Samping

9
1) Hangover, Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir.
Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin
berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia
dapat bertambah berat.
2) Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama
fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi.
idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
3) Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada
penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri,
dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.
4) Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk
hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis
eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai
demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.
F. Interaksi Obat
Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga
dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan
obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas
dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi,
fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.
3. Nonbarbiturat – Nonbenzodiazepin
A. Propofol
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan
secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak
kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia
berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan
propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5
mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam
waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat

10
anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain sepat mengembalikan kesadaran, propofol
memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila
obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan
peimilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.
Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut untuk
larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larut kacang kedele sebagai
pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai
panjang trigliserida. Komposisi seperti ini mendukung perkembangan bakteri dan
meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama.
Diprivan® menggunakan disodium edenate (0,005%) dan sodium hydroxide dan meningkatkan
pH 7-8,5. Kandungan generik propofol sodium metabisulfite (0,25mg/mnl) mengubah menjadi
pH 4,5-6,4. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen
chiral.
Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering
ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan propofol
dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga meningkatkan
risiko embolisasi pulmonal.
Emulsi propofol yang rendah lemak (Ampofol®) mengandung 5% minyak kedelai dan
0,6% egg lechitin dan tidak memerlukan bahan pengawet atau zat yang meretardasi pertumbuhan
mikroba.
Suatu alternatif dalam memecahkan masalah formulasi emulsi propofol dan masalah efek
samping obat (nyeri pada tempat suntikan, risiko infeksi, hipertrigliseridemia, emboli paru)
adalah dengan menggunakan bentuk prodrug dengan melepaskan suatu gugus sehingga
meningkatkan kelarutan pada air (phosphate monoester, hemisuccinates). Propofol dibebaskan
setelah dihidrolisa oleh alkaline phosphatase di permukaan sel endotel. Dibandingkan dengan
propofol, bentuk prodrug ini didistribusi lebih besar dan lebih poten.
Bentuk propofol yang tidak larut lemak menggunakan cyclodextrins sebagai zat pelarut.
Cyclodextrins adalah molekul cincin gula sehingga larut dalam air. Setelah disuntikan,
cyclodextrins dipisahkan dengan propofol di dalam darah.

1. Mekanisme Kerja

11
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap
memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah
satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida
transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan
menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate)
dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat.
Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melaui chloride channel
sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.
2. Farmakokinetik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P-
450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air
sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4-
hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide
menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari
0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang
lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah
kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus
karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari
tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang
memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui intravena.
Total body clearance dari propofol sebanding dengan aliran darah ke hati dan bersihan
ekstahepatik (pulmonary uptake dan eliminasi awal. Pulmonary uptake dari propofol dipengaruhi
avaibilitas propofol. Di paru propofol diubah ke dalam bentuk 2,6-diisoprpyl- 1,4 quiniol dan
kebanyakan kembali lagi ke dalam sirkulasi. Glukoronidasi adalah jalur metabolisme utama dari
propofol dan UDP-glukoronidase sehingga ginjal juga memegang peranan penting dalam
mengekresikan propofol.
Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang menunjukan adanya
gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.Konsentrasi propofol di plasma sama antara
pasien yang meminum alkohol dan yang tidak. Eliminasi ekstrahepatik propofol terjadi secara

12
ekstrahepatik selama fase anhepatik dari orhtopik transplantasi hati. Disfungsi ginjal tidak
mempengaruhi clearance propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme
propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama. Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
menunjukan penurunan bersihan plasma propofol dibandingkan pasien dewasa. Kecepatan
bersihaan propofol mengkonfirmasi bahwa obat ini dapat digunakan secara terus menerus
intravena tanpa efek kumulatif. Propofol mampu melewati sirkulasi plasenta namun secara cepat
dibersihkan dari sikulasi fetus.
3. Penggunaan Klinis
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan
kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain menjadi
metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesi
total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus. Sering digunakan di ruang
ICU.
4. Efek Pada Organ
 Sistem Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen (CRMO2), aliran
darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan
lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besaar propofol
mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran darah ke
otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan aliran darah ke otak
yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran darah ke otak
dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam. Propofol
menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang
mendapat thiopental. Cortical somatosensory evoked potentials yang digunakan sebagai alat
monitoring fungsi sum-sum tulang belakang menunjukan tidak terdapat perbedaan hasil
(penurunan amplitudo) antara pasien yang mendapat propofol saja dan yang mendapat propofol,
N2O, atau zat volatil lainnya. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip
seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thipental memiliki efek
yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.
 Sistem Kardivaskular

13
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan
tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah.
Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi.
Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat
penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi
trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon
hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane
mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas. Suatu laporan menunjukan
propofol sebanyak 2 mg/kgBB intravena meningkatkan konsentrasi epinefrin diikuti peningkatan
mendadak konsentrasi desfluran > 1 MAC tetapi tidak menyebabkan peningkatan respon
jantung. Berbeda dengan laporan lainnya, bahwa propofol dan zat penginduksi lainnya (selain
etomidate) menyebabkan peningkatan aktifitas saraf simpatis, hipertensi, dan peningkatan
konsentrasi inhalasi desfluran. Efek ini mungkin berlebihan bagi pasien hipovolemia, lansia, dan
pasin dengan gangguan ventrikel kiri yang terkompensasi yang disebabkan gangguan padar
pembuluh darah arteri koroner (PJK). Hidrasi yang cukup disarankan untuk meminimalisir
gangguan tekanan darah.
Sebagai tambahan, N2O tidak mengubah respon tekanan darah pada pasien yang
diberikan propofol. Suatu penekan respon misalnya ephedrin dapat dimanfaatkan pada pasien ini.
Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga
disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya
juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis
sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis.
Terdapat bukti yang menyatakan propofol menyababkan perubahan fungsi sinoatrial dan
ventrikular node pada pasien normal dan pasien dengan Wolff Parkinsonn White sehingga
penggunaan propofol dapat diterima. Namun terdapat suatu laporan yang menyatakan bahwa
timbulnya gelombang delta pada pasien dengan sindrom WPW pada EKG selama pemberian
infus propofol. Tidak seperti sevofluran, propofol tidak menimbulkan gelombang QT yang
memanjang. Kontrol barorefleks juga tertekan pada pasien yang mendapat propofol.
 Bradycardia- Related Death
Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa
sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama anestesia

14
propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU
ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi
lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian
antikolonergik.
Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang
mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol
menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah
dengan pemberian beta agonis contohnya insoproterenol.
 Paru
Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian
agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan
juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi
pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan
hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing
pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia
akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.
 Fungsi Hepar dan Ginjal
Propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin hati
dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat
asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propifol yang lama menyebabkan urin
yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak
mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat
propofol yang ditandai dengan urin yang kerug, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin
yang rendah. Efek ini menendai gangguan ginjal akibat propofol.
 Tekanan Intraokular
Pembedahaan laparoskopi dinilai berhubungan dengan peningkatak TIO dan posisi
pasien saat laparoskopi meingkatkan risiko hipertensi okular. Pada kasus ini propofol
menurunkan TIO segera setelah induksi dan selama tindakan intubasi trakea. Penurunan TIO ini
meningkat pada pasien yang juga mendapat isofluran.
 Koagulasi

15
Propofol tidak mengganggu koagulasi dan fungsi trombosit. Namun ada laporan yang
menunjukan bahwa emulsi propofol yang bersifat hidrofobil mempengaruhi koagulasi darah dan
menghambat agregasi trombosiy melalui pengaruh mediator inflamasi lipid termasuk
tromboksan A2 dan platelet-activating factor (PAF).
B. Ketamin
Ketamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan “disosiative anesthesia” yang
ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini
menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat.
Berbagai derajat hnipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan sering terjadi pada p[roses
pembedahan. Namun pasin tetap dalam keadaan amnesia dan analgesia. Ketamin memiliki
keuntungan dimana tidak seperti propofol dan etomidate, ketamine larut di dalam air dan dapat
menyebabkan analgesik pada dosis subsnaestetik. Namun ketamin sering hanya menyebabkan
delirium. Ketamin sering disalahgunakan.
1. Struktur Kimia Ketamin
Ketamin larut di dalam air karena memiliki struktur phenecyclidine. Terdapat karbon
asimetris menimbulkan dua isomer ketamine (S(+)-ketamine dan R(-)-ketamin). Kebanyakan
ketamin yang beredar dalam bentuk S(+)-Ketamine. Ketamine S(+) memiliki efek analgesia
yang lebih, lebih cepat dimetablisme, dan masa recovery lebih singkat, salivasi lebih sedikit, dan
menimbulkan efek emergensi lebih sedikit. Isomer ketamin menimbulkan rasa lelah dan
gangguan kognitif daripada ketamin. Baik isomer ketamin maupun ketamin menghambat
ambilan katekolamin ke ujung saraf bebas ganglion post-sinaps. Zat pengawetnya adalah
zethonium chloride.
2. Mekanisme Kerja Ketamin
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat
(NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor
muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak
seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi
inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi
netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator
radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang
menimbulkan efek analgesia.

16
Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang unik
dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin sebagai
coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat, menurunkan
pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gama
aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana
isomer S(+) memiliki afinitas terbesar.
Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa.
Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun
memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma,
walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya masih
lemah.
Aksi antinosiseptif ketamindihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur penghambat
nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat antikolinergik.
Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik (delirium emergensi,
bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap reseptor muskarinik lebih
tampak nyata daripada efek agonisnya.
3. Farmakokinetik
Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat,
memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pK ketamin adalah 7,5
pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin
secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat
dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana
konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma. Kelarutan yang tinggi di dalam lemak (5-
10 kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati sawar darah di otak.
Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang memfasilitasi distribusi obat ini ke
otak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati sawar darah otak. Ketamin diredistribusi
dari otak dan jaringan lain yang memiliki konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang
memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah. Ketamin memiliki hepatic clearance yang tinggi
(1 liter per menit), dan Vd yang besar (3 liter/kgBB) sehingga waktu paruhnya sekitar 2-3 jam.
Rasio ekstraksi yang tinggi di hati disebabkan perubahan aliran darah ke hati.
4. Metabolisme

17
Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting
dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk
norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin. Metabolit aktif ini
lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang diulang atau
administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih
larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus
ketamin <4% memungkinkan ketamin diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah.
Ekskresi lewat feses ditemukan <5%. Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang
memetabolismenya sehingga sering terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain
terjadi peningkatan toleransi ketamin terjadi pula efek ketergantungan ketamin.

5. Penggunaan Secara Klinis


Ketamin adalah obat yang memiliki efek analgesia pada pemberian dengan dosis
subanestesia dan menimbulkan induksi pada pemberian intravena dan dosis yang lebih besar.
Ketamin juga memiliki efek menurunkan refleks batuk, laringospasm yang disebabkan ketamine
induced salivary secretions. Glycopyrrolatr lebih disukai daripada atropin dan scopolamin
karena dapat melewati sawar darah otak dan meningkatkan insiden delirium emergensi.
a. Analgesia
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara intravena.
Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada pemakaian secara
oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin akibat metabolisme awal di
hati yang terjadi pada pemakaian secara oral. Efek analgesia ini lebih nyata pada nyeri somatik
dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan aktifitasnya pada talamus dan sistem
limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga
digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.
Sum-sum tulang belakang bertanggung jawab terhadap nyeri yang disebabkan sentuhan
dan perpindahan posisi saat proses operasi. Aktifasi reseptor NMDA di sum-sum tulang
belakang terjadi pada kornu dorasal. Reseptor NMDA merupakan reseptor dari asam amino
eksitatori yang penting terhadap proses nyeri dan modulasi nyeri. Penghambatan reeptor NMDA
oleh obat seperti obat ketamin, dextromethorpan, magnesium berguna untuk tatalaksana nyeri

18
termasuk penurunan konsumsi analgesia. S(+) memiliki afinitas 4 kali dari pada isomer R(-),
efek anagesi 2 kali lebih tinggi daripada recemik ketamin. Pada proses persalinan, ketamin
memiliki efek analgesi tanpa mendepresi janin. Perubahan neurobehavioral lebih rendah pada
bayi yang dilahirkan secara per vaginam dibandingkan bayi yang lahir dengan anestesia epidural,
namun lebih tinggi dari pada bayi yang dilahirkan dengan anestesia thiopental-N2O. Dosis sedasi
post operasi pada pasien jantung lansia adalah 2-4 mg/kgBB/jam. Penggunaan nya sebagai
tatalaksana nyeri kronik tergolong moderate-lemah sehingga tidak direkomendasikan.

b. Analgesia Neuraxis
Efek ekstradural analgesia masih dipertanyakan. Walaupun ketamin pernah dilaporkan
memiliki interaksi dengan reseptor opioid, namun afinitas terhadap reseptor nya 10.000 kali lebih
rendah dari pada morfin. Sehingga efek ekstradural baik efek spinal maupun efek sistemik saling
berinteraksi dengan anestesi lokal yang mempengaruhi kanal ion sodium. Sehingga efek epidural
ketamin lebih rendah namun pada pemakaian yang dikombinasikan dengan obat opiod memiliki
efek sinergis.
c. Induksi Anestesia
Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena dan
4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak menimbulkan nyeri
dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme katamin. Kesadaran
hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara intravena dan 2-4 menit pemakaian secara
intramuskular. Penurunan kesadaran sebading atau berbeda sedikit terhadap penurunan refleks
faring dan laring. Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit seletal dosis induksi ketamin,
namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit. Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90
setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak menimbulkan amnesia retrograde.
Karena aksi kerjanya cepat, ketamin pernah digunakan secara intramuskular pada anak
dan padaa pasien yang mengalami gangguan retardasi mental. Ketamin digunakan sebagai obat
pada pasien luka bakar, debridemen, skin-grafting. Keuntungan penggunaan ketamin adalah
mampu memberikan efek analgesia yang baik serta mampu mempertahankan ventilasi spontan.
Toleransi mungkin terjadi pada pasien luka bakar yang mendapat ulangan dosis ketamin,
anestesia interval cepat.

19
Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap stimulasi
kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan depresi
myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon saraf
simpatis berubah.
Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif yang
hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang memiliki riwayat
PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5 mg/kgBB diikuti infus
ketamin 15-30 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang memiliki riwayat PJK.
Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik yaang lebih stabil daripada
kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek emergensi yang disertai penggunaan
ketamin dengan dosis yang lebih.
Keuntungan ketamin pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang
disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan
penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada pasien
dengan peningkatan TIK. Nistagmus sering terjadi pada pemakaian ketamin.
d. Meningkatkan Depresi Mental
Reseptor NMDA terhadap glutamat mengganggu fisiologi tubuh terhadap mekanisme
antidepresan. Sebagai NMDA antagonis, ketamin pada dosis rendah meningkatkan depresi
pasien pasca operasi pada pasien depresi mental.
e. Restless Leg Syndrome
Suatu studi yang menggambarkan peningkatan kondisi pada pasien dengan restless leg
syndrome. Hal ini mungkin karena ketamin menghambat neuroinflamasi pada sum-sum tulang
dan pada sistem saraf yang lebih tinggi.
C. Dextromethorphan
Dextromethorphan (d-isomer dari levophanol) adalah NMDA antagonis dengan afinitas
ringan yang sering digunakan sebagai penghambat respon batuk di sentral. Obat ini memiliki
efek yang seimbang dengan kodein sebagai antitusif tetapi tidak memiliki efek analgesik Tidak
seperti kodein, obat ini tidak menimbulkan efek sedasi atau gangguan sistem gastrointestinal.
DMP memiliki efek euforia sehingga sering disalahgunakan. Tanda dan genjala penggunaan
berlebihan DMP adalah hipertensi sistemik, takikardia, somnolen, agitasi, ataxia, diaporesis,

20
kaku otot, kejang, koma, penurunan suhu tubuh. Hepatotoksisitas meningkat pada pasien yang
mendapat DMP dan asetamenofen.

DAFTAR PUSTAKA

Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi Ke-5. Jakarta :
Gramedia; 2002, 364-372

21
TERAPI CAIRAN

Definisi Cairan Tubuh


Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler seperti
manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu.

Komponen Cairan Tubuh

22
Cairan tubuh dapat dibagi menjadi komponen intraseluler dan komponen ekstraseluler.
Sedangkan komponen ekstrasesluler dapat dibagi menjadi intravaskuler dan interstisial.

Gambar Komponen Cairan Tubuh


 Komponen intraseluler merupakan cadangan cairan tubuh yang terbesat, dan
berhubunngan dengan cairan dalam sel. Komposisi ionnya berbeda dengan komponen
ekstraseluler karena ia mengandung ion kalium dalam konsentrasi tinggi (140 – 150
mmol/liter) dan ion natrium dalam konsentrasi rendah (8 -10 mmol/liter) dan ion klorida
(3 mmol/liter). Jadi jika air diberikan bersama natrium dan klorida, maka cenderung
untuk mengisi komponen ekstraseluler. Air yang diperlukan dalam bentuk larutasn
glgukosa akan didistribusiakan ke semua bagian tubuh dan glukosa akan dimetabolisme.
Air murni tdak pernah diberikan secata intravena, karena dapa menyebabkan hemolisis
masif.
 Komponen Ekstraseluler
o Komponen intravaskuler. Volume darah normal kira-kira 70 ml/KgBB pada
dewasa dan 85-90 ml/KgBB pada neonates. Selain darah, komponen intravaskuler
juga terdiri dari protein plasma dan ion, terutama natrium (138 – 145mmol/liter),

23
klorida (97 – 105 mmol/liter) dan ion bikarbonat. Hanya sebagian kecil kalium
tubuh berada di dalam plasma (3,5 – 4,5 mmol/liter), tetapi konsentrasi kalium ini
mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi jantung dan neuromuskuler.
o Komponen interstisial. Komponen interstisial lebih besar daripada komponen
intravaskuler, secara anatomi, berhubungan secara kasar dengan ruang interstisial
dari tubuh. Jumlah total cairan ekstraseluler (intravaskuler ditambah interstisial)
bervariasi antara 20 – 35% dari berat badan dewasa dan 40- 50% pada neonatus.
Air dan elektrolit dapat bergerak bebas diantara darah dan ruang interstisial, yang
mempunyai komposisi ion yang sama, tetapi protein plasma tidak dapat bergerak
bebas keluar dari ruang intravaskuler kecuali bila terdapat cedera misalnya pada
luka bakar atau syaok septik. Jika terdapat kekurangan cairan dalam darah atau
volume darah yang menurun dengan cepat, maka air dan elektrolit akan ditarik
dari komponen interstisial ke dalam darah untuk mengatasi kekurangan volume
intravaskuler, yang diprioritaskan secara fisiologis. Pemberian cairan intravena
yang terutama mengandung ion natrium dan klorida, seperti NaCl fisiologis (9
gr/liter atau 0,9%), atau larutan Hartmann (larutan ringer laktat), dapat bergerak
bebas ke dalam ruang interstisial, sehingga efektif untuk meningkatkan volume
intervaskuler dalam waktu singkat. Larutan yang mengandung molekul yang lebih
besar misalnya plasma, darah lengkap, dekstran, poligelin, hidroksietil, gelatin,
lebih efektif untuk mempertahankan sirkulasi jika diuberikan secara intravena
karena komponen ini lebih lama berada dalam komponen intravaskuler. Cairan ini
biasnya disebut sebagai plasma expanders.

24
Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat dibawah ini:

Jaringan Persentase Air

Otak 84

Ginjal 83

Otot lurik 76

Kulit 72

Hati 68

Tulang 22

25
Lemak 10

Komponen cairan tubuh


Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.

 Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik. Elektrolit
dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion
dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
 Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah Natrium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah Kalium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di
dinding sel tubuh yang memompa keluar Natrium dan Kalium ini.
 Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di
dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 138-145mEq/liter. Kadar
natrium dalam tubuh 58,5 mEq/kgBB dimana 70% atau 40,5 mEq/kgBB dapat berubah-
ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180 mEq/liter, faeces 35 mEq/liter dan keringat 58
mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100 mEq (6-15 gram NaCl).

26
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke
dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare)
sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan
natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari
cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam
sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan
sirkulasi.

 Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan
penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam
tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.
Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi
kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
 Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan
lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake,
besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-
kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, dan hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan
didalam gigi dan 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.
 Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan untuk pertumbuhan + 10
mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.

 Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).

27
Tabel 2.1 Kandungan Elektrolit dalam Cairan Tubuh 1
(mEg/l) Plasma Cairan Cairan
(mEq/L) Interstitial Intracellular
(mEq/L) (mEq/L)
Kation Na 142 145 15

K 4 4 150

Ca 5 2,5 2

Mg 3 1,5 27

Total 154 152 194

Anion Cl 103 114 1


HCO3 27 30 10
HPO4 2 2 100
SO4 1 1 20
Asam Orgaik 5 5 0
Protein 16 0 63
Total 154 152 194

 Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat
lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energy sedangkan
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor
pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan
ATP. 1,4
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:

28
a. Tekanan Osmotik
Tekanan osmotik adalah tekanan yang dibutuhkan untuk mencegah perembesan
(difusi) cairan melalui membran semipermiabel kedalam cairan lain yang konsentrasinya
lebih tinggi. Membran semipermeabel adalah membran yang dapat dilalui air (pelarut),
namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.
Tekanan osmotik plasma darah adalah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan
osmotik kira-kira sama disebut isotonk (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-Laktat) lebih
rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik. Cairan lain yang
konsentrasinya lebih tinggi. Membran semipermeabel adalah membran yang dapat dilalui
air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.
Konsentrasi molar (mol) adalah jumlah zat yang setara dengan berat atom atau
berat molekul zat dalam gram (1 mol zat mengandung jumlah partikel sama 6,02 x 10 23).
1 mol Na setara dengan berat atom Na yaitu 23 g. 1 mol Na Cl = Na (23 g) + Cl (35,5 g)
= NaCl (58,5 g). NaCl 0,9%  100 ml mengandung 0,9 gram atau 1 liter  9000 mg.

mMol = massa (mg) solute dalam 11 larutan berat molekul solute.


mMol =
Massa NaCl (mg) dalam 1 liter larutan = 9000 = 154 mMol
Berat molekul NaCl 58,5

Miliosmol (mOsm/kg H2O), unit untuk menyatakan tekanan osmotik bila solute
dilarutkn dalam 1 liter larutan.
Miliosmol (mOsm/kg H2O) miliosmol (mmol/kg H2O x jumlah partikel)

Zat-zat tak terionisasi (dekstrosa, dekstran, urea)


1 mM urea = 1 mOsm/L
Zat-zat terionisasi (NaCl, CaCl2)
1 mMol NaCl = 2 mOsm/L  1 mM CaCl2 = 3 mOsm/L

Miliekivalen (mEq/L) menyatakan konsentrasi elektrolit mEq/L = mmol x


jumlah muatan listrik.

29
b. Difusi
Difusi ialah gerakan molekul yang terus menerus diantara molekul yang satu
dengan yang lainnya dalam cairan, maupun dalam gas. Ion-ion berdifusi dengan cara
yang sama seperti semua molekul, bahkan partikel koloid tersuspensi berdifusi dengan
cara yang sama juga kecuali bahwa proses difusinya berlangsung sangat lambat
dibandingkan dengan zat-zat molekular akibat ukurannya yang sangat besar.
Difusi melalui membran sel terbagi atas difusi sederhana dan difusi yang
dipermudah. Difusi sederhana dapat terjadi melalui membran sel dengan dua cara yaitu:
1. Melalui celah pada lapisan lipid ganda, khususnya jika bahan yang
berdifusi terlarut-lipid
2. Melalui saluran licin pada beberapa protein transfor.

c. Transpor Aktif Primer


Pompa Natrium Kalium
Zat-zat yang ditranspor oleh transpor aktif primer antara lain adalah natrium,
kalium, kalsium, hidrogen, klorida dan beberapa ion lainya.
Pompa natrium-kalium adalah suatu proses transpor yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium dari
luar kedalam.

 Peran natrium
Ekskresi air hampir selalu disertai oleh ekskresi natrium air lewat urin, feces, atau
keringat, karena itu kekurangan air (dehidrasi) selalu diberi cairan infus yang
mengandung natrium. Natrium berperan memelihara tekanan osmotik dan volume
cairan ekstraseluler dan natrium sebagian besar (84%) berada dicairan ekstraseluler.
Kebutuhan natrium perhari sekitar 50-100 mEq atau 3-6 gram NaCl. Keseimbangan
Na diatur terutama oleh ginjal. Berat atom Na = 23 dengan muatan listrik 1.
1 gram NaCl = 17 mEq. Kekurangan Na biasanya disebabkan oleh pemberian
infus berlebihan tanpa Na, pada sindroma reseksi prostat atau pada menurunnya
sekresi ADH (hormon anti diuretik). 1

30
 Peran kalium
Sebagian besar K terdapat dalam sel (150 mEq/L). Pembedahan menyebabkan
katabolisme jaringan dan moilisasi kalium pada hari-hari pertama dan kedua.
Kebutuhan akan kalium cukup diatasi dengan kebutuhan rutin saja sekitar 0,5
mEq/kgBB/hari. Kemampuan ginjal menahan kalium sangat rendah. Kadar kalium
dalam plasma hanya 2% dari total K tubuh, sehingga kekurangan K jarang terdeteksi.
Funfsi K adalah merangsang saraf otot, menghantarkan impuls listrik, membantu
utilisasi O2, asam-amino, glikogen dan pembentukan sel.
Kadar K serum normalnya 3-5 mEq/L. Hipokalemia (<3 mEq/L), memyebabkan
keletihan otot, lemas, kembung, ileus paralitik, gangguan irama jantung. Konsentrasi
K dalam infus sebaiknya < 40 mEq/L atau kecepatan pemberian < 20 mEq/jam.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan


Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan
postoperatif.
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh
stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek
diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan
elektrolit.
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit
dari traktus gastrointestinal.

31
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan
sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita
demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif
karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal.
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan
cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi).
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi
yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)

C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi.
2. Peningkatan katabolisme jaringan.
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif.
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif.

Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena. Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang.

32
Tujuan Terapi Cairan
Terapi cairan berfungsi untuk tujuan:
1. Mengganti kekurangan air dan elektrolit.
2. Untuk mengatasi syok.
3. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Terapi
cairan preoperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah. Pada penderita yang menjalani operasi,
baik karena penyakitnya itu sendiri atau karena adanya trauma pembedahan,
terjadi perubahan-perubahan fisiologi.
Tatalaksana terapi cairan
 Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan.
Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan
dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat
(RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3
L dalam 10 menit.

 Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama
Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu:

Tablel. Rumus Holiday Segar

33
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan
karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang
juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's
dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah
dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang
antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena
seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu
mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan,
yaitu :
 6-8 ml/kg untuk bedah besar.
 4-6 ml/kg untuk bedah sedang.
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil.

 Terapi Cairan Intravena


Infus cairan intravena (intravenous fluids drip) adalah pemberian sejumlah cairan
ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk
menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus
adalah:
1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
2.
Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha)
(kehilangan cairan tubuh dan komponendarah).
4. Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi (karena Heat stroke, demam dan diare).

34
5. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah).

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous
Cannulation):
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah
terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada
operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk
persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat).
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah
kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah
Vena yaitu:
1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan
untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis
(cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran
darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus yaitu:
1. Hematoma
Hematom adalah darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya
pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang
tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi

35
Infiltrasi adalah masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan
pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
3. Tromboflebitis
Tromboflebitis atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena terjadi akibat infus
yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
4. Emboli udara
Emboli udara adalah masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat
masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
5. Selain itu komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus
rasa perih atau sakit dan reaksi alergi.

Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama
efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler.
Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan
untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai
cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami
metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat
plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila

36
seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.

a. Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi
ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan
sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai
akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi,
misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang
membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak)
pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

b. Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga
tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan
Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

c.Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema
(bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%,
NaCl 45% hipertonik, Dextrose5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk
darah (darah), dan albumin.

37
Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul
tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan
untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka
bakar).

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:


a. Koloid alami
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung
albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis
1. Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc
mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan
volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40
mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang
dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan
fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari
dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal
ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml

38
larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan
sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan
volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam.
Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang
rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk
resusitasi cairan pada penderita gawat.

3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata
35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
1. Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell).
2. Urea linked gelatin.
3. Oxypoly gelatin

Table Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid dan koloid2

Nama Kristaloid Koloid

Keuntungan  Tidak mahal  Mempertahankan cairan


 Aliran urin lancar intravaskular lebih baik (1/3
(meningkatkan volume cairan bertahan selama 24 jam)
intravaskular)  Meningkatkan tekanan onkotik
 Pilihan cairan pertama untuk plasma
resusitasi perdarahan dan  Membutuhkan volume yang lebih
trauma sedikit
 Mengurangi kejadian edema
perifer
 Dapat menurunkan tekanan

39
intracranial
Kerugian  Mengencerkan tekanan  Mahal
osmotik koloid  Menginduksi koagulopati
 Menginduksi edema perifer (dextran & helastarch)
 Insidensi terjadinya edema  Jika terdapat kerusakan kapiler,
pulmonal lebih tinggi dapat berpotensi terjadi
 Membutuhkan volume yg perpindahan cairan ke interstitial
lebih besar  Mengencerkan faktor pembekuan
 Efeknya sementara dan trombosit
 Berpotensi menghambat tubulus
renalis dan sel retikuloendotelial
di hepar
 Kemungkinan adanya reaksi
anafilaksis (dextran)

Terapi Cairan Preoperatif


Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian
cairan perioperatif, yaitu
 Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/har idan K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air
lebih banyak dibandingkan elektrolit).
 Defisit cairan dan elektrolit pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita
bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan
pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat

40
hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini
harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.

Table. Pengganti defisit prabedah


Usia Jumlah Kebutuhan
(ml/Kg/Jam)

Dewasa 1,5 – 2
Anak 2–4
Bayi 4–6
Neonatus 3

 Kehilangan cairan saat pembedahan


a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari:
1. Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction
pump).
2. Kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah
(ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10 ml darah, sedangkan tampon besar
(laparatomypads) dapat menyerap darah ± 10-100 ml.

Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bias ditentukan


berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita
yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih
menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan
penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi)
dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan cairan lainnya

41
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.
Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan
dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih
dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat
terjadi defisit cairan intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites)
atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler
meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi
cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler
dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.2S

Terapi Cairan Intraoperatif


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan
dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi
cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada
prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
a. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
b. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam
berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
c. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10
ml/kgBB/jam.

42
Terapi Cairan Postoperatif
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air
untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam.
Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya
pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi
darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang
cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan
trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein
sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian
cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan
makan.

b. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:


 Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C
suhu tubuh.
 Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
 Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.

c. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang


belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.2

d. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.


Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Dachlan M uswan, Suryadi A. Kartini, Latief Said A. Petunjuk praktis anestesiologi:


terapi cairan pada pembedahan. Edisi-Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif.
Jakarta: FKUI. 2002. Hal 133-140
2. Utama Yudha Herry, SP.B, MHKes. Terapi Cairan dan Elektrolit. 2008. Di unduh dari
http://wwwherryyudha.com/terapi-cairan-elektrolit.html (Diakses pada tanggal 30 Juni
2018)
3. Hall Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC. 1997. Hal 56-
69, 375-393

44

Anda mungkin juga menyukai