Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Palpebra


Palpebra adalah modifikasi lipatan kulit yang tipis dan dapat
bergerak. Pada saat mata ditutup, palpebra dapat melindungi bola mata
bagian depan dari trauma dan cahaya. Pada saat berkedip, palpebra dapat
melindungi kornea dan konjungtiva dari dehidrasi. Pada saat mata dibuka,
palpebra superior menutupi seperenam bagian kornea dan palpebra inferior
menyentuh limbus.4
Palpebra (kelopak mata) mempunyai fungsi melindungi bola mata
dan mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata.
Palpebra merupakan alat penutup mata yang melindungi bola mata
terhadap trauma, sinar, dan pengeringan bola mata. Palpebra ditutupi
lapisan kulit yang tipis pada bagian depan dan ditutupi selaput lendir tarsus
yang disebut konjungtiva tarsal pada bagian belakang.5
Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah bergerak dibanding
palpebra inferior. Palpebra superior dan inferior saling bertemu di sudut
medial dan lateral. Terdapat celah berbentuk elips di antara kedua
palpebra yang disebut fissure palpebrae yang merupakan tempat masuk ke
saccus conjunctivae. Pada saat mata dibuka, palpebra superior hanya
menutupi pinggir atas kornea dan palpebra inferior berada tepat di bawah
kornea (Gambar 1). Pada saat mata ditutup, palpebra superior menutup
kornea dengan sempurna dan palpebra inferior hanya naik sedikit.6
Palpebra terdiri dari lima bidang jaringan utama, dari luar ke dalam
terdapat lapisan kulit, lapisan otot rangka, jaringan areolar, jaringan fibrosa
(tarsus), dan lapisan membran mukosa yang disebut konjungtiva pelpebra.4
Permukaan luar palpebra ditutupi oleh kulit dan permukaan
dalamnya ditutupi oleh membrane mukosa yang disebut konjungtiva. Pada
tepi palpebra terdapat bulu mata yang pendek, melengkung, dan tersusun

2
4

dalam dua atau tiga baris pada batas mucocutaneus. Glandula sebasea
(glandula Zeis) bermuara langsung ke folikel bulu mata. Glandula siliaris
(glandula Moll) yang merupakan modifikasi dari kelenjar keringat,
bermuara secara terpisah di antara bulu mata yang berdekatan. Glandula
tarsalis yang merupakan modifikasi dari glandula sebasea yang panjang,
mengalirkan sekret berminyaknya ke pinggir palpebra, muaranya berada di
belakang bulu mata.6

Gambar 1. Palpebra (a) saat tertutup dan (b) saat terbuka7


Sumber: Sobotta Edisi ke-23 jilid 3 (2012)

Pada palpebra terdapat otot-otot tertentu, antara lain m. orbikularis


okuli yang posisinya melingkar di dalam kelopak mata atas dan bawah,
letaknya tepat di bawah kulit kelopak, otot ini berfungsi menutup bola
mata yang dipersarafi oleh n. fasialis (Gambar 2). Pada tepi palpebra
terdapat otot orbicularis okuli yang disebut m. Rioland. Selain itu terdapat
m. levator palpebra yang berorigo pada annulus foramen orbita dan
berinsersio pada tarsus bagian atas, sebagian dari m. levator palpebra
menembus m. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah.
Bagian kulit tempat insersio m. levator palpebra tampak sebagai lipatan
5

pada kelopak mata. Otot ini dipersarafi oleh n. okulomotorius yang


berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.5
Pada saat istirahat posisi palpebra bergantung pada tonus m.
orbikularis okuli dan m. levator palpebra, serta posisi bola mata. Palpebra
menutup oleh kontraksi m. orbikularis okuli dan relaksasi m. levator
palpebra superior. Mata membuka oleh kontraksi m. levator palpebra
superior yang mengangkat palpebra superior. Pada saat melihat ke atas, m.
levator palpebra superior berkontraksi sehingga palpebra superior bergerak
bersama bola mata. Pada saat melihat ke bawah, palpebra superior dan
inferior bergerak, palpebra superior menutupi kornea bagian atas dan
palpebra inferior agak tertarik ke bawah oleh konjungtiva yang melekat di
sklera dan palpebra inferior.6

Gambar 2. Otot Intrinsik Palpebra dan Sekitarnya7


Sumber: Sobotta Edisi ke-23 jilid 3 (2012)

Kerangka fibrosa palpebra disusun oleh lembaran membranosa yang


disebut septum orbitale. Septum orbitale melekat pada pinggir orbita dan
menyatu dengan periosteum. Septum ini menebal pada pinggir kelopak
mata, struktur ini disebut sebagai tarsus. Tarsus merupakan lamina
6

jaringan ikat padat yang berbentuk bulan sabit (Gambar 3). Ujung lateral
tarsus melekat pada sebuah pita yang disebut ligamentum palpebrae
lateral, pada tuberkulum tepat di sebelah dalam pinggir orbita. Ujung
medial tarsus melekat di ligamentum palpebrae medial ke crista os
lacrimalis. Terdapat sebuah kelenjar yang tertanam di dalam permukaan
posterior tarsus.6
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis yang melapisi palpebra,
melipat pada forniks superior dan inferior untuk melapisi permukaan
anterior bola mata (Gambar 4). Epitel konjungtiva melanjutkan diri
dengan epitel kornea. Bagian lateral atas forniks superior ditembus oleh
duktus glandula lakrimalis dan membentuk saccus conjunctivalis yang
terbuka pada fissure palpebrae.6

Gambar 3. Tarsus, Septum Palpebra, dan Jaringan Sekitarnya7


Sumber: Sobotta Edisi ke-23 jilid 3 (2012)

Konjungtiva mengandung sel goblet yang menghasilkan musin untuk


membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri dari
konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus dan sulit digerakkan dari tarsus,
konjungtiva bulbi yang menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
di bawahnya, dan konjungtiva forniks yang merupakan peralihan
konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan
konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah digerakkan.5
7

Gambar 4. Konjungtiva dan Jaringan Sekitarnya7


Sumber: Sobotta Edisi ke-23 jilid 3 (2012)

2.2 Ptosis Kongenital


2.2.1 Definisi
Blefaroptosis atau lebih dikenal sebagai ptosis merupakan
kondisi dimana terjadinya penyempitan secara vertikal dari fissura
palpebra dikarenakan penutupan abnormal kelopak mata yang lebih
rendah dari normalnya. Ptosis Kongenital merupakan ptosis yang
muncul segera setelah lahir atau dalam umur 1 tahun. Kondisi ini
dapat terjadi baik secara unilateral maupun bilateral. Secara umum,
ptosis kongenital bersifat nonprogresif, namun terdapat hubungan
dengan abnormalitas perkembangan dan fungsi visual, termasuk
ambliopia. Komplikasi tersebut dapat diminimalisir atau dicegah
dengan tindakan operasi segera.8

2.2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi tentang ptosis kongenital tidak terdapat
secara luas. Salah satu laporan terbesar datang dari Cina,
dipublikasikan oleh Hu pada tahun 1987. Sebuah studi populasi lebih
dari tujuh juta dari provinsi-provinsi di Cina, laporan Hu
menyediakan informasi tentang bermacam-macam penyakit mata
8

genetik, termasuk kongenital ptosis. Dalam studi tersebut, prevalensi


ptosis kongenital sebesar 0,18%. Analisis silsilah memperlihatkan
bahwa mayoritas kasus terjadi secara sporadic, walau 18,4%
diturunkan secara autosomal dominan dan 14,5% diturunkan secara
autosomal resesif. Penemuan-penemuan ini tidak dapat diperkirakan
pada grup etnik lain. Dalam studi terbaru dari rumah sakit di Mesir,
sebuah pembahasan lebih dari 9 tahun periode menemukan 336 anak
dengan ptosis, 69% merupakan kongenital. Ptosis unilateral pada
65% kasus dan sisi kiri merupakan sisi yang sering terkena (74%).
Griepentrog et al. membahas semua kasus ptosis pada masa kanak-
kanak lebih dari 40 tahun periode di negara Olmsted, Minesota.
Mereka mengidentifikasi 107 kasus ptosis, dengan insiden 7,9 per
100,000. Dari pasien pasien ini, 89,7% mengalami ptosis kongenital,
walau hanya 12% yang memiliki riwayat keluarga. Angka kejadian
ptosis kongenital sebanyak 1 dari 842 kelahiran. Hanya 3% yang
bilateral, dan terdapat sedikit predominasi dari ptosis kiri (55%).8

2.2.3 Etiologi
Pada sebagian besar kasus biasanya penyebabnya tidak
diketahui. Tetapi secara histologi, ditemukan distrofi muskulus
levator palpebra pada pasien dengan ptosis kongenital. Muskulus
levator palpebra dan jaringan aponeurosis tampak terinfiltrasi dan
digantikan oleh jaringan lemak dan ikat. Hal ini menunjukkan bahwa
ptosis kongenital terjadi akibat defek perkembangan lokal pada
struktur otot. Ptosis kongenital juga dapat diturunkan secara
autosomal dominan. Ptosis pada anak biasanya disebabkan oleh
miogenik dan maldevelopment otot levator, sedangkan pada
acquired ptosis umumnya disebabkan oleh aponeurosis.1,3
Ptosis dapat dikategorikan menurut onset yaitu ptosis
kongenital dan ptosis yang didapat (Tabel 1.). Ptosis kongenital
biasanya tampak segera setelah lahir maupun pada tahun pertama
9

kelahiran sedangkan ptosis yang didapat dapat terjadi pada setiap


kelompok usia tetapi biasanya ditemukan pada usia dewasa tua.1,2

Tabel 1. Etiologi Blefaroptosis9


Kongenital Didapat
Myopathic ptosis Third nerve palsy
Blepharophimosis syndrome Horner’s syndrome
Marcus Gunn jaw-winking syndrome Myasthenia gravis
Chronic progressive external
ophthalmoplegia
Aponeurotic ptosis
Mechanical ptosis
Sumber: Custer (2016)

Ptosis palpebra adalah turunnya kelopak mata atas di bawah


kedudukan normal dan dapat menutupi aksis visual atau tidak yang
terjadi secara unilateral maupun bilateral. Posisi kelopak mata atas
yang normal adalah 2 mm di bawah limbus atas, atau terletak antara
limbus dan pusat pupil. Ptosis yang menghalang pupil akan
mempengaruhi perkembangan penglihatan yang berakibat ambliopia
pada anak-anak. Beberapa diagnosis banding perlu dipikirkan pada
anak dengan ptosis kongenital (Tabel 2.).1,2

2.2.4 Patogenesis
Banyak teori yang telah diajukan mengenani patogenesis dari
ptosis kongenital. Menurut sejarah, ptosis kongenital telah diduga
sebagai kelainan perkembangan otot, tetapi teori terbaru telah
berfokus pada kelainan persarafan otot. Studi histopatologi telah
mendemonstrasikan defek primer pada otot levator palpebral
superior dengan fibrosis dan penurunan jumlah serat otot skeletal.
Mekanisme pasti dari disgenesis levator tidak jelas diketahui dan
dapat bervariasi sesuai kondisi. Terdapat banyak kemungkinan
tentang penyebab ptosis kongenital, termasuk disinsersi levator
sekunder oleh trauma lahir.8
10

Tabel 2. Etiologi Ptosis Kongenital10


Penyebab umum Penyebab yang jarang
Myogenic (levator maldevelopment) Fetal alcohol syndrome
Blepharophimosis syndrome Plexiform neurofibromatosis
Horner syndrome Hemangiomas
Aponeurotic defect (congenital or Duane syndrome
traumatic)
Congenital oculomotor palsy Double elevator palsy
Marcus Gunn jaw-winking phenomenon Enophthalmos (pseudoptosis)
Sumber: Tuli, Kelly, dan Giordano (2012)

Pada tahun 1990, Vestal et al. melakukan pembahasan literatur


mengenai terjadinya ptosis kongenital pada kembar monozigot dan
menemukan indeks herediteritas sebesar 0,75, mengindikasikan
bahwa 75% dari fenotipe ini disebabkan oleh faktor genetik. Data ini
mendukung bahwa defek genetik yang diturunkan berkontribusi
terhadap kelainan ini. Terdapat berbagai variasi gen yang terlibat
dalam proses ini dengan lokus yang baru sedang diinvestigasi dan
diidentifikasi setiap tahunnya.8
Gen pertama yang terdidentifikasi sebagai lokus untuk ptosis
kongenital murni adalah gen PTOS1. Engle et al. mempelajari DNA
dari 42 anggota keluarga yang dimanan 20 anggotanya memiliki
ptosis kongenital murni pada paling sedikit satu mata. Hibiridisasi
in-situ fluoresen telah dilakukan dan mengidentifikasi sebuah regio 3
centiMorgan (cM) dari kromosom pertama sebagai penyebab ptosis.
Untuk gen ini, diturunkan secara autosomal dominan dengan
penetrasi yang tidak lengkap.8
Pada tahun 2002, McMullan et al. menjelaskan sebuah bentuk
X-linked dominan dari ptosis murni bilateral. Keluarga diketahui
memiliki pola keturunan dominan tanpa transmisi pria ke pria. Studi
hubungan genetic mengeidentifikasi lokus Xq24-q27.1. Gen ZFH-4
diidentifikasi pada tahun 2002 setelah analisis DNA seorang anak
dengan ptosis kongenital bilateral yang diketahui memiliki
translokasi seimbang dari kromosom 8 dan 10. Mutasi kromosom 8
11

menyebabkan gangguan gene ZFH-4 yang berlokasi di 8q21.12. Gen


ini mengkode protein dengan zinc-finger homeodomain yang
berperan sebagai faktor transkripsi. Protein ini diekspresikan dengan
jumlah yang banyak pada otot dan saraf yang berkembang. Produk
dari gen yang sama juga diekspresikan pada otak tengah yang sedang
berkembang dan dapat mempengaruhi struktur dan fungsi dari
nukleus okulomotorius dari saraf kranial.8

2.2.5 Gambaran Klinis


Ptosis kongenital telah diduga sebagai kelainan perkembangan
otot, tetapi teori terbaru telah berfokus pada kelainan persarafan otot.
Fungsi otot ekstraokular normal bergantung pada inervasi normal,
yang dimana memerlukan perkembangan saraf kranial yang normal.
Banyak sindrom kongenital yang khas menunjukkan inervasi
muskulus ekstraokular abnormal. Secara keseluruhan, sindrom ini
dikenal sebagai congenital cranial dysinnervation disorders
(CCDDs), kelainan kongenital disebabkan oleh inervasi aberan dari
otot okular dan fasial. Banyak dari sindrom-sindrom ini berkaitan
dengan ptosis. Ptosis juga dapat terlihat berkaitan dengan disfungsi
dari sistem saraf simpatis, seperti pada sindrom Horner, atau dengan
bentuk lain dari strabismus termasuk esotropia atau eksotropia
kongenital.8
2.2.5.1 Sindrom Retraksi Duane
Sindrom retraksi Duane (SRD) merupakan CCDDs yang
paling umum. SRD tipe 1 memperlihatkan abduksi terbatas
pada mata yang sakit bersama dengan kontraksi dari kedua otot
rektus medial dan lateral pada saat adduksi, walaupun adduksi
intak atau sedikit terbatas. Pada SRD tipe 2, abduksi biasanya
intak tetapi adduksi terganggu pada mata yang sakit. SRD tipe
3 memperlihatkan adanya keterbatasan pada abduksi dan
adduksi. Kontraksi rekti horizontal pada saat adduksi
12

menyebabkan bola mata retraksi, yang menghasilkan


enftalmos dan ptosis. Perkembangan abnormal saraf motorik
dari saraf kranialis VI menyebabkan inervasi abnormal dari
otot rektus lateral. Walaupun sekuens dan penyebabnya tidak
diketahui pasti, saraf kranialis lain dapat secara normal
menginervasi rektus lateralis. Kondisi ini biasanya sporadik
dan tidak ada satupun gen yang dapat diidentifikasi pada DSR.
Akan tetapi, beberapa gen kandidat telah diketahui terletak
pada kromosom 2q31 dan 8q13.8

2.2.5.2 Blepharophimosis ptosis epicanthus inversus syndrome


Blepharophimosis ptosis epicanthus inversus syndrome
(BPES) adalah kelainan autosomal dominan yang
dikaraterisasikan oleh adanya blefarofimosis, blefaroptosis,
epikantus inversus dan telekantus (Gambar 5.). Kadang dapat
terlihat adanya ektropion sikatrisial dari kelopak mata bawah.
Kelainan ini bilateral dan dibagi menjadi 2 subtipe. Tipe 1
BPES berhubungan dengan kegagalan ovarium dini pada
pasien perempuan. BPES disebabkan oleh mutasi faktor
transkripsi FOXL2, menyebabkan produksi truncated protein
di struktur mesenkim kelopak mata yang sedang berkembang
dan folikel ovarium yang akan matang. BPES tipe 2 memiliki
fitur wajah yang sama tanpa adanya keterkaitan dengan
kegagalan ovarium dini.8
13

Gambar 5. Blepharophimosis ptosis epicanthus inversus syndrome9


Sumber: Custer(2016)

2.2.5.3 Fibrosis kongenital dari otot-otot ektraokular


Fibrosis kongenital otot-otot ekstraokular (CFEOM)
adalah kumpulan kondisi yang dikarakterisasikan oleh
strabismus paralitik kongenital sekunder terhadap
oftalmoplegia restriktif, sering disertai dengen ptosis.
CFEOM2, bilateral, ptosis non-progresif diturunkan secara
autosomal dominan, berlokasi pada kromosom 12p11.2-q12,
yang mengkode kinesin KIF21, sebuah protein yang
diekspresikan tingg di saraf. Saraf-saraf menggunankan
kinesin dan transport mikrotubulus dinein untuk memindahkan
komponen esensial seluler disepanjang akson dan dendrit.
Kekurangan protein ini berhubungan dengan tidak adanya
divisi superior nervus oculomotorius dan sesuai neuron
motorik otak tengah, menyebabkan atrofi mendalam dari
levator palpebral superior dan rektus superior. Kehilangan
persarafan ini menyebabkan tatapan ke bawah tetap dengan
kepala klasik dengan posisi naik. Selain itu, strabismus
horizontal sangat sering seperti seperti pada tatapan konvergen
divergen atau tatapan dengan usaha tatapan naik. CFEOM2
adalah resesif autosomal dan individu yang terkena mengalami
ptosis bilateral dan oftalmoplegi restriktif disertai eksotropia.
CFEOM2 telah diketahui berlokasi pada gen ARIX/PHOX2A
14

di kromosom 11q13.1. ARIX adalah sebuah faktor transkripsi


yang dibutuhkan pada perkembangan nuklei okulomotr dan
troklear pada tikus dan zebrafish. Terdapat hipotesis yang
mengatakan bahwa CFEOM2 merupakan hasil dari hypoplasia
inti saraf kranial pada manusia. CFEOM3 adalah kondisi
dominan autosomal dengan penetrasi yang tidak lengkap yang
dapat menyebabkan fenotipe heterogen. Secara umum ,
individu yang terkena memiliki gangguan gerakan mata yang
ditandai dengan ptosis variabel serta oftalmoplegia restriktif.
Mutasi penyebab telah dipetakan ke kromosom 16q24.2 -
q24.3 , dan mutasi pada KIF21A juga dapat mengakibatkan
CFEOM3.8

2.2.5.4 Marcus Gunn jaw-winking syndrome dan defisiensi elevasi


monocular
Marcus Gunn jaw-winking syndrome pertama kali
dijelaskan pada 1883. Secara klasik, fenomena ini muncul
sebagai ptosis yang meningkat dengan menggerakkan rahang
ke arah sisi yang terkena, sebaliknya retraksi terjadi pada
gerakan rahang ke sisi kontralateral (Gambar 6). Sinkinesis
adalah hasil dari koneksi menyimpang antara cabang motorik
dari saraf trigeminal yang mempersarafi otot pterygoideus
eksternal dan serat dari divisi superior saraf okulomotor yang
menginervasi otot levator palpebral superior . Teori saat ini
menunjukkan bahwa cedera pada saraf kranial yang terlibat in
utero mengarah ke degenerasi sekunder dari inti saraf kranial
yang terlibat dan munculnya kembali gerakan sinkinetik
filogenetis primitif.8
Defisiensi elevasi monokular, juga dikenal sebagai
double elevator palsy , mungkin berhubungan dengan ptosis
kongenital serta Marcus Gunn jaw-winking syndrome.
15

Seseorang harus berhati-hati untuk membedakan ptosis dari


pseudoptosis karena keterkaitan hipotropia. Dalam suatu
ulasan, 25 % pasien dengan Marcus Gunn jaw-winking
syndrome memiliki defisiensi elevasi monocular bersamaan.8

Gambar 6. Marcus Gunn jaw-winking syndrome: (a) terjadi ptosis kelopak mata kanan saat
mulut tertutup, (b) terjadi elevasi kelopak mata kanan saat rahang dibuka. 9
Sumber: Custer (2016)

2.2.5.5 Sindrom Horner


Sindrom Horner dihasilkan dari gangguan pada sistem
saraf simpatis, sehingga menyebabkan trias klasik yaitu ptosis
ipsilateral, miosis, dan anhidrosis. Ptosis pada sindrom Horner
adalah ptosis ringan, dan biasanya hanya 1-2 mm karenan
adanya disfungsi persarafan simpatis pada otot Muller.
Sindrom Horner kongenital dapat juga menyebabkan
heterokromia dengan warna iris yang lebih terang pada sisi
ipsilateral. Sindrom Horner kongenital sering sekali idiopatik
atau berhubungan dengan cedera pleksus brakial pada saat
kelahiran, tetapi hal ini harus disingkirkan dari penyebab lain
yang lebih serius seperti neuroblastoma primer.8
16

2.2.6 Diagnosis
Beberapa pemeriksaan oftalmologis diperlukan untuk menilai
etiologi dan derajat ptosis. Pemeriksaan tersebut antara lain sebagai
berikut.10
2.2.6.1 Tes Fungsi Kelopak
Tes fungsi palpebra dideskripsikan sesuai Tabel 3. dan
Gambar 7. Fungsi levator dinilai dengan mengukur perbedaan
antara posisi tepi kelopak atas saat menatap ke bawah dn atas.
Fungsi levator normal adalah 10mm. Ukuran fisura palpebra
dinilai dengan mengukur jarak antara tepi kelopak atas dan tepi
kelopak bawah yang sejajar dengan pupil. Jarak ini dapat
bervariasi, tapi biasanya sekitar 8mm. Margin to reflex
distance (MRD1) diukur dari tepi kelopak atas ke refleks
cahaya pada pupil saat pengelihatan primer. Normalnya adalah
>2,5mm.10

Gambar 7. Tes Fungsi Kelopak10


Sumber: Tuli, Kelly, dan Giordano (2012)
17

Tabel 3. Tes Fungsi Kelopak10


Tes Normal Kondisi dengan tes abnormal
Fungsi palpebra >10mm Miogenik dan paralitik: menurun signifikan
Sindrom Horner: menurun minimal
Fisura palpebral >8mm Miogenik dan paralitik: menurun signifikan
Sindrom Horner: menurun 2mm
Margin to reflex >2,5mm Miogenik dan paralitik: menurun signifikan
distance Sindrom Horner: menurun 2mm
Sumber: Tuli, Kelly, dan Giordano (2012)

2.2.6.2 Pemeriksaan Pupil


Pemeriksaan ukuran pupil pada kondisi terang dan gelap
dapat membantu membedakan antara sindrom Horner dan
parese saraf kranial III. Pada pasien dengan sindrom Horner,
mata yang ptosis memiliki ukuran pupil yang simetris pada
kondisi terang, namun ukurannya lebih kecil pada kondisi
gelap. Sedangkan pada parese saraf kranial III, mata yang
ptosis memiliki ukuran pupil yang simetris pada kondisi gelap,
namun ukurannya lebih besar pada kondisi terang. Ukuran
pupil yang asimetris mungkin dapat terjadi pada orang normal
(anisokoria fisiologis), tetapi pasien normal memiliki
perbedaan ukuran baik pada kondisi terang maupun gelap.10

2.2.6.3 Pemeriksaan Otot Ekstraokular


Pemeriksaan gerakan mata dengan sembilan posisi
cardinal penting untuk membedakan adanya ketelibatan otot
ekstraokular dengan otot levator yang menandakan adanya
keterlibatan saraf okulomotor. Anak memiliki gerakan normal
pada semua posisi.10

2.2.7 Tatalaksana
Penanganan operatif pada ptosis kongenital diindkasikan
ketika kelopak mata atas menganggu sumbu visual yang
menyebabkan gangguan stimulus atau menginduksi astigmatisme
18

ambliogenik. Ambliopia dapat juga merupakan hasil dari strabismus


terkait. Ptosis dapat menimbulkan stres secara psikologi, dan operasi
dapat menguntungkan secara kosmetik dalam kasus ini. Jenis operasi
yang dilakukan tergantung pada besarnya ptosis dan fungsi levator,
dan waktu yang optimal bervariasi dalam berbagai kasus. Beberapa
Studi menyebutkan tindakan operasi dapat ditunda sampai pasien
berusia 3-4 tahun. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat lebih
kooperatif pada pemeriksaan fisik, yang akan meningkatkan hasil
akhir operasi Ketika terdapat ambliopia, maka operasi dini
disarankan.8

2.2.7.1 Frontalis Sling


Teknik operasi umum yang digunakan untuk
memperbaiki ptosis kongenital dengan fungsi levator yang
buruk (elevasi kelopak <3mm). Prosedur ini bertujuan untuk
membentuk suatu hubungan antara otot frontalis dan tarsus
kelopak mata atas. Setelah pemasangan sling, kontraksi dari
otot frontalis akan mengelevasi kelopak mata atas, melewati
levator palpebral superior yang berfungsi buruk. Secara umum,
prosedur ini dianggap aman dan efektif. Terdapat kerugian
pada prosedur ini terutama lagoftalmos. Harus
dipertimbangkan hasil akhir secara kosmetik, karena dapat
menyebabkan scarring, kehilangan lipat mata, dan posisi
kelopak mata terhadap bola mata yang berubah. Ketika
melakukan prosedur frontalis sling, dapat digunakan single
loop atau double pentagon sling. Tidak terdapat perbedaan
pada rekurensi, fungsi, atau hasil kosmetik antara kedua teknik
ini. Insisi dapat dibuat melalui lipatan superior kelopak mata
atau melalui insisi suprasiliaris. Insisi lipatan kelopak
menghasilkan kontur kelopak mata yang lebih dan simetris.11
19

Beberapa modifikasi frontalis sling telah dianjurkan.


Sebuah modifikasi menggunakan area yang lebih luas dari
fiksasi fasia. Teori ini dengan meningkatkan luas daerah
penghubung akan meningkatkan perlekatan. Prosedur ini,
dijelaskan oleh DeMartelaere et al, membutuhkan
pengambilan empat fasia, yang masing-masing berukuran lebar
3-4 mm dan panjang 10-12 cm. Pengambilan fasia ini
selanjutnya akan diletakkan antara levator dan insisi dibawah
alis mata. Teknik ini dikatakan memiliki hasil pemeliharaan
lipatan kelopak mata yang lebih baik dan kontur kelopak mata
yang uniform. Modifikasi lain termasuk menjahit sling pada
pelat tarsal. Menurut Buttanri et al. dari 80 prosedur operasi,
ditemukan perbedaan statistik bermakna pada keberhasil
operasi (didefinisikan sebagai posisi kelopak mata
dipertahankan dalam 1 mm dari posisi kelopak mata yang
normal) ketika menjahit batang silikon pada pelat tarsal.
Walaupun tidak terdapat perbedaan secara statistik pada jenis
jahitan yang digunakan, mereka menemukan bahwa jahitan
dengan bahan polyester sedikit lebih efektif daripada dengan
polipropilen menofilamen.12
Beberapa material yang telah digunakan untuk membuat
sling antara otot frontalis dan tarsus, termasuk fascia lata
autogenous atau material alloplastic (chromic, collagen,
polypropylene, silicone, stainless steel, silk, nylon
monofilament, polyester dan polytetrafluoroethylene).
Beberapa menyarankan fascia lata autogenous merupakan
materi pilihan pada frontalis sling. Teknik Crawford, pada
mulanya dijelaskan pada tahun 1956, dan masih terkenal
hingga sekarang, menggunakan fasia lata sebagai bahan sling.
Sling fascia lata autogenous memiliki insiden paling rendah
terhadap infeksi dan ekstrusi, walau kesuksesan penyerapan
20

transplantasi mungkin jangka panjang. Seorang anak paling


tidak harus berusia 3 tahun untuk memilki panjang kaki yang
adekuat untuk memperoleh fasia lata yang sesuai. Ketika
fascia lata autogenous tidak tersedia, donor fasia lata
merupakan suatu pilihan, walau tidak begitu efektif. Batang
silikon dan sling telah sering digunakan sebagai materi
suspensi karena kombinasi kekuatan keduanya (menyebabkan
elevasi kelopak mata) dan elastisitasnya (menyebabkan
penutupan kelopak mata sempurna). Pelepasan implan
mungkin dibutuhkan karena ekstrusi atau infeksi oleh bahan
sling yang digunakan.8,11
Jahitan dengan bahan Mersilene merupakan jahitan serat
poliester yang non-absorbable yang fleksible dan berpori,
sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan jaringan. Sebuah
studi dari 32 pasien, menunjukkan angka operasi ulang yang
signifikan yaitu 12,5% dan komplikasi jaringan lunak sebesar
20%. PTFE yang berpori adalah fluoropolymer sintetik berpori
yang paling dikenal untuk penggunaannya dalam pembuatan
pakaian luar tahan air. Bahan ini juga digunakan pada beberapa
spesialisasi medis, termasuk penggunaannya sebagai bahan
pada prosedur frontalis sling. Nylon monofilament sangat
mudah digunakan, tetapi memiliki angka rekuren yang
tinggi.8,11
Dinamika flap otot frontalis, sebuah prosedur yang
dimodifikasi berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sama
seperti sling frontalis tradisional, memerlukan penciptaan dan
elevasi flap otot frontalis, yang kemudian menutupi katrol
dibuat dekat penyisipan septum orbital di superior rim orbital
dan melekat pada tarsus dengan jahitan permanen. Hal ini
menghubungkan otot frontalis dan tarsus, sehingga
menyebabkan peningkatan elevasi kelopak mata dengan
21

kontraksi otot frontalis dan mengeliminasi kebutuhan


alloplastic atau bahan autologous yang digunakan pada
frontalis sling tradisional. Hal ini menyebabkan ptosis yang
berkurang saat melirik ke atas dan mengurangi jatuhnya
kelopak mata saat melirik ke bawah, menghilangkan sayatan
alis, dan mempertahankan kontur kelopak mata. Komplikasi
prosedur ini termasuk anestesi dahi transien, koreksi
berlebihan dan lagoftalmos.8,13
Modifikasi tambahan untuk prosedur frontalis penutup
diperkenalkan dalam upaya untuk menurunkan kejadian
lagoftalmos paskaoperasi awal, yaitu the forked frontalis
muscle aponeurosis (FFMA). Modifikasi dengan membuat
insisi vertikal dengan panjang 5-8 mm pada aponeurosis otot
frontalis untuk membentuk flap dari aponeurosis. Kemudian,
daerah sentral tepi atas tarsus dijahit ke kedua ujung bercabang
dari aponeurosis tersebut. Teknik ini diperkirakan
menyediakan setidaknya tiga keuntungan utama bila
dibandingkan dengan prosedur asli frontalis flap, eliminasi
sayatan kulit di tepi bawah alis, eliminasi sayatan di otot
frontalis, dan eliminasi diseksi bawah otot frontalis.8

2.2.7.2 Levator Resection and Advancement


Levator Resection and Advancement dari aponeurosis
levator melalui sayatan eksternal, atau external levator
advancement (ELA), dapat digunakan untuk koreksi ptosis
dengan fungsi levator baik (>5 mm). Paparan diperoleh
melalui insisi lipatan kelopak mata superior dan pemotongan
yang dilakukan pada aponeurosis levator. Levator aponeurosis
kemudian dilipat atau dipotong dan disambungkan ke
permukaan anterior tarsus dengan jahitan non-absorbable.
Prosedur ini memiliki banyak keuntungan, termasuk
22

kemampuan untuk menyesuaikan jumlah elevasi kelopak mata


intraoperatif. Penggunaan sayatan kulit kecil dan karena itu
kurang anestesi lokal dapat menyebabkan hasil kosmetik yang
baik dengan waktu bedah yang singkat dan waktu
penyembuhan yang lebih cepat. Reseksi levator juga dapat
mengurangi kebutuhan untuk operasi tambahan. Skaat et al.
melaporkan 162 pasien yang menjalani operasi untuk koreksi
ptosis kongenital. Prosedur yang dlilakukan berupa levator
resection (47%), suspensi frontalis (46%), dan prosedur
Fasanella-Servat (7%). Jumlah operasi ulang masing-masing
sebesar 10,4%, 29,3%, dan 20%.8
Ketika melakukan reseksi levator untuk ptosis
kongenital, ada beberapa metode yang ahli bedah dapat
gunakan untuk menentukan jumlah levator yang akan
direseksi. Yang pertama melibatkan menempatkan kelopak
mata pada posisi yang diinginkan, kemudian mengangkat
jaringan yang berlebihan. Meskipun sederhana, hasilnya
mungkin tak terduga sebagai akibat dari efek anestesi pada
tonus otot dan posisi tatapan. Teknik lain melibatkan
penentuan pra operasi berdasarkan pada tingkat keparahan
ptosis dan jumlah fungsi levator. Algoritma kompleks telah
dipublikasikan oleh Beard dan Finsterer, tetapi formula
sederhana juga telah dijelaskan, seperti rekomendasi reseksi 4
mm dari levator untuk setiap 1 mm dari ptosis. Bahkan dalam
pengaturan fungsi levator yang buruk dan ptosis unilateral
parah, beberapa ahli bedah akan melakukan reseksi levator
maksimum daripada melakukan prosedur suspensi frontalis.
Epstein dan Putterman telah menjelaskan prosedur untuk
pasien dengan ptosis kongenital unilateral, yang melibatkan
menghapus 30 mm atau lebih dari levator dengan atau tanpa
tarsektomi. Mereka menemukan hasil kosmetik yang dapat
23

diterima pada 75% kasus, dibandingkan dengan 50% yang


menggunakan tehnik suspensi frontalis.8,14

2.2.7.3 Whitnall Sling


Prosedur whitnall sling adalah sebuah teKnik yang dapat
digunakan untuk koreksi ptosis sedang hingga berat (fungsi
levator 3–5 mm). Ligamen Whitnall mengubah kerja levator
palpebral superior dari horizontal ke bidang vertikal dan
menyediakan support untuk kelopak mata atas. Prosedur
Whitnall sling memerlukan reseksi aponeurosis levator sampai
ke titik ligamentum Whitnall. Ligamentum Whitnall dan otot
levator dijahit ke bagian superior dari tarsal plate
menggunakan jahitan absorbable atau non-absorbable.
Prosedur ini dapat dikombinasi dengan tarsektomi superior
untuk menghasilkan elevasi kelopak mata tambahan.
Perawatan harus dilakukan untuk mencegah kesalahan lower-
positioned transverse ligament (LPTL) pada ligamentum
Whitnall. Fiksasi LPTL pada tarsus secara tidak sengaja,
menyebabkan insufisiensi elevasi kelopak mata.8
Harus dipastikan ligamentum Whitnall terlalu jauh di
bawah tarsal plate dan menyebabkan inversi kelopak mata.
Kurang koreksi merupakan komplikasi paling umum yang
meningkat frekuensinya lama setelah operasi dilakukan.
Sebuah laporan mengatakan 69 kasus Whitnall Sling menjalani
operasi ulang karena ptosis rekuren sebesar 30,7%. Insiden
yang tinggi dari koreksi kurang terlambat ditemukan pada
kasus-kasus dengan koreksi Whitnall sling, sehingga
disarankan prosedur ini dikombinasikan dengan tarsektomi.
Tarsektomi superior 5mm dapat menghasilkan elevasi kelopak
mata tambahan sebesar 1–1,5mm.8,15
24

2.2.7.4 Prosedur Fasanella-Servat


Fasanella dan Servat pertama kali memperkenalakan
prosedur untuk penanganan ptosis ringan pada tahun 1961.
Teknik ini meliputi pengangkatan tarsus superior lebih dari
3mm, konjungtiva, otot Muller, dan levator. Selama bertahun-
tahun banyak variasi dalam teknik bedah telah dijelaskan,
tetapi secara umum setuju, bahwa harus dilakukan pada kasus
dengan fungsi levator baik dan ptosis kurang dari 3 mm.
Teknik Fasanella- Servat hanya dilakukan terbatas dalam
koreksi ptosis kongenital. Ada beberapa penjelasan untuk ini.
Pertama, ptosis kongenital sering mengakibatkan fungsi
levator buruk, yang membatasi peran untuk prosedur ini.
Kedua, banyak ahli bedah lebih memilih untuk menghindari
pengangkatan tarsus sehat mengingat peran fungsional dalam
stabilitas kelopak mata dan, bila perlu, nilainya dalam
rekonstruksi kelopak mata.8
Beberapa studi telah melihat keberhasilan prosedur
Fasanella-Servat pada ptosis kongenital. Berry-Brincat et al.
meninjau 155 kasus ptosis kongenital. Sepuluh persen dari
kasus tersebut ditangani dengan tehnik Fasanella-Servat.
Tingkat kesuksesan rata-rata pada seluruh tehnik operasi yaitu
71% dengan 20% dilakukan operasi ulang. Dalam grup
Fasanella-Servat secara spesifik, terdapat hasil yang kurang
memuaskan sebanyak 3 dari 15 kasus dan 20% operasi ulang.
Tidak ada anak-anak dari grup Fasanella-Servat yang
mengalami ambliopia. Pang et al. meninjau 169 kasus ptosis
yang ditangani dengan Fasanella-Servat. Dari kasus-kasus
tersebut, 18 kasus diklasifikasikan sebgai ptosis kongenital.
Tingkat kesuksesan rata-rata sebesar 89,5%, tetapi kasus ptosis
25

kongenital memiliki angka kesuksesan paling rendah dari


semua studi subgroup (76,4%). Komplikasi prosedur
Fasanella-Servat meliputi, dermatokalasis, lipatan kelopak
mata ganda, abnormalitas kontur kelopak mata, hematoma,
koreksi yang kurang, koreksi berlebih, terbukanya luka
operasi, granuloma piogenik dan perdarahan.8,16

2.2.7.5 Muller’s Muscle-conjunctival Resection


Otot-otot Muller merupakan otot-otot polos yang
involuter, dan dipersarafi oleh saraf simpatis, dan berasal dari
bawah aponeurosis levator disebelah distal ligamentum
Whitnall. Otot Muller melekat pada batas superior tarsal dan
berfungsi untuk elevasi 2-3 mm kelopak mata. Reseksi
konjungtival otot Muller (MMCR) direkomendasikan pada
pasien yang mengalami perbaikan setelah pemberian
phenylephrine topical, sebuah simpatomimetik yang
menstimulasi kontraksi otot Muller. Studi terbaru
menunjukkan bahwa pada pasien yang tidak menunjukkan
respon pada phenylephrine, prosedur MMCR dapat berhasil
dengan komplikasi yang rendah. Seperti yang telah dijelaskan,
MMCR melibatkan penangkatan konjungtiva dan otot Muller
disebelah superior dari tarsus menggunakan pendekatan
kelopak mata posterior. Keuntungan dari teknik ini
dibandingkan dengan pembedahan Fasanella-Servat adalah
tanpa pengangkatan tarsus. Biasanya, 6,5-9,5 mm dari
konjungtiva dan otot akan direseksi, bergantung pada respon
klinis terhadap phenylephrine. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah risiko abrasi dan ulserasi kornea dari paparan jahitan
pada konjungtiva palpebral. Ketebalan jahitan fiksasi tarsal
harus kecil untuk mencegah hal ini. Beberapa kritik
mengatakan bahwa pengangkatan dari struktur sekitar yang
26

normal seperti sel goblet, dan glandula lakrimal aksesorius


seperti Krause dan Wolfring dapat meningkatkan kekeringan
dari permukaan okular. Walaupun hal ini cukup
mengkhawatirkan hal ini belum pernah dibuktikan secara
objektif. Bahkan Dailey et al menunjukkan tidak terdapat
penurunan produksi air mata secara signifikan setelah
MMCR.8,17
Tidak seperti teknik lainnya, tinggi kelopak mata tidak
dapat disesuaikan dengan MMCR. Jumlah jaringan yang
direseksi ditentukan preoperative. Berbagai perbandingan
antara reseksi otot dengan elevasi kelopak mata telah
dijelaskan. Mercandetti melaporkan sebuah perbandingan
antara reseksi 1mm untuk setiap 0,32 mm elevasi kelopak mata
yang diinginkan. Karena keberhasilan prosedur ini bergantung
pada fungsi dari otot levator dan Muller, prosedur ini hanya
boleh dikerjakan pada pasien dengan ptosis ringan. Walaupun
mempunyai keuntungan tidak terdapat bekas luka eksternal,
prosedur ini hanya memberikan elevasi kelopak mata 1-2mm
sehingga jarang sekali sesuai untuk mengkoreksi ptosis
kongenital. Sebuah laporan dari 8 pasien yang menjalani
MMCR untuk ptosis kongenital menunjukkan hasil yang baik
walaupun semua pasien mempunyai fungsi levator minimal
12mm. Jarak reflek marginal kelopak mata atas membaik
sekitar 2,38mm, yang menghasilkan koreksi yang adekuat
untuk ptosis. MMCR adalah pertimbangan yang rasional pada
pasien dengan ptosis ringan, fungsi levator yang baik dan
pasien yang menunjukkan respon terhadap phenylephrine
topical pada evaluasi pra operasi.8
27

Anda mungkin juga menyukai