Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN REFLEKSI KASUS KOMPREHENSIF

Nama : Rahmi Sofya


NIM : 20120310203
RSUD : RS PKU Muhammadiyah Temanggung

I. Rangkuman pengalaman
Seorang wanita 45 tahun datang untuk kontrol DM rutin tiap bulan. Saat
datang pasien tidak merasakan adanya keluhan. Pasien pertama kali didiagnosis
DM dua tahun yang lalu pada tanggal September 2015. Pada saat itu pasien ingin
cabut gigi, namun dokter gigi menyarankan untuk cek gula darah terlebih dahulu.
Saat dicek, ternyata gula darah tinggi yaitu 327 mg/dl. Pada tahun 2015 tersebut
pasien tidak mengeluh apa-apa pada tubuhnya. Pasien tidak mengeluh adanya
buang air kecil yang sering, mudah haus, banyak makan, mudah lelah maupun
berat badan yang turun secara drastis. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi,
jantung, maupun stroke. Pasien tidak pernah mondok maupun melakukan operasi.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
Sebelum didiagnosis DM, pasien sering mengkonsumsi minuman manis
instan setiap hari. Namun setelah didiagnosis DM, pasien sudah tidak minum
manis lagi bahkan air dingin juga dihindari. Saat ini pasien rutin berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan penunjang
pada bulan lalu GD2PP 252 mg/dl, Kolesterol 220 mg/dl. Pada bulan ini sudah
lebih baik GD2PP 156 mg/dl, dan Kolesterol 167. Menurut pasien kadar gula
beberapa bulan belakangan ini tinggi karena terlalu memikirkan anak pertamanya
yang tidak pernah menuruti kata orang tua.

II. Perasaan terhadap pengalaman


Pasien memiliki stress emosional dari dalam keluarganya dan hal ini
mempengaruhi dari kadar gula darah ibu yang tidak terkontrol walaupun sudah
minum obat rutin
III. Evaluasi
Apakah ada hubungan antara stress emosional dengan kadar gula darah?

IV. Analisis/pembahasan
Diabetes merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia dan dikenal
dengan kencing manis. Nama lengkapnya adalah diabetes mellitus, berasal dari
kata yunani. Diabetes berarti pancuran, mellitus berarti madu atau gula. Diabetes
Mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
mengalami peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan hormon insulin
secara absolut atau relatif dan berlangsung menahun, bahkan seumur hidup. Hal
ini yang menjadikan masyarakat pada umumnya melihat DM sebagai suatu
penyakit yang sangat menakutkan dimana penderita akan menyandang gelar
sebagai penderita selama hidupnya ( Almatsier, 2005 ).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sedikitnya 171.000.000
penduduk dunia saat ini menderita penyakit Diabetes Mellitus. Khususnya di
negara berkembang, jumlah penderita DM meningkat 150 % pada 25 tahun yang
akan datang. Dinegara berkembang usia penderita DM berkisar antara 35 - 64
tahun. International Diabetes Federation ( IDF ) mendata untuk kawasan Asia
Timur Selatan ada 49 juta penderita DM, dengan perincian, total populasi 1,2
miliar jiwa, populasi dewasa (20 - 79 tahun ) 658 juta, jumlah penderita DM 49
juta, perkiraan insidensi DM 7,5 % (Pauline, 2004).
Melihat komplikasi pada DM dapat mengenai berbagai organ, maka
penting sekali untuk melakukan pencegahan, agar tidak terjadi komplikasi. Salah
satu untuk mencegah komplikasi terebut, Tingkat stress harus selalu di kendalikan
(Rasmun, 2004).
Stress adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan
tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang mengalaminya, Stress dapat
member dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis,
intelektual, sosial, dan spiritual, stress dapat mengancam keseimbagan fisiologis.
Stress emosi dapat menimbulkan perasaan negatif atau destruktif terhadap diri
sendiri dan orang lain. Stress intelektual akan mengganggu persepsi dan
kemampuan seseorang dalam menyelesaikan 3 masalah, Stress social akan
mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Rasmun, 2004)
Stress dan Diabetes Mellitus memiliki hubungan yang sangat erat terutama
pada penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan dan gaya hidup tidak sehat sangat
berpengaruh, ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan
berbagai penyakit yang sedang di derita menyebabkan penurunan kondisi
seseorang sehingga memicu terjadinya stress.
Vranic et al. (2000) menyebutkan stress pada penderita Diabetes Mellitus
dapat berakibat gangguan pada pengontrolan kadar gula darah. Pada keadaan
stress akan terjadi peningkatan ekskresi hormon katekolamin, gkukagon,
glukokortikoid, β-endorfin dan hormon pertumbuhan. Stress menyebabkan
produksi berlebih pada kortisol, kortisol adalah suatu hormon yang melawan efek
insulin dan menyebabkan kadar gula darah tinggi, jika seseorang mengalami
stress berat yang dihasilkan dalam tubuhnya, maka kortisol yang dihasilkan akan
semakin banyak, ini akan mengurangi sensivitas tubuh terhadap insulin. Kortisol
merupakan musuh dari insulin sehingga membuat glukosa lebih sulit untuk
memasuki sel dan meningkatkan gula darah (Watkins, 2010)
Dari sebuah penelitian dari Septian Adi Nugroho (2010) didapatkan hasil
pengujian hubungan tingkat stres dengan kadar gula darah mengunakan uji Product
Moment diperoleh nilai r hitung sebesar 0,438 dengan p-value = 0,002. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai p-value lebih kecil dari 0,05 (0,002 > 0,050). Berdasarkan hasil
kriteria uji tersebut maka disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
stres dengan kadar gula darah pada pasien Diabetes Mellitus.
Daftar Pustaka

Almatsier, S (2005). Penuntun Diet Edisi Baru, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Umum.
American Diabetes Association, 2006. Standards of Medical Care in Diabetes, Diabetes
Care, 2006: 48, S4-42.
Rasmun (2004). Stress, Koping dan adaptasi. Jakarta, Sagung Seto.
Tjokroprawiro, A. (2001). Diabetes Melitus Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi, Edisi
ketiga, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Vranic, M.: Lickley, H.L.A. & Davidson, J.K (2000). Exercise and Stress in Diabetes
Mellitus dalam J.K. Davidson (ed.) Clinikal Diabetes Mellitus: A Problem
Oriented Approach. New York, Thieme Verlag Inc. pp.

Anda mungkin juga menyukai