Anda di halaman 1dari 27

Kasus Ujian

SEORANG PEREMPUAN 53 TAHUN


DENGAN FRAKTUR MAXILOFACIAL

Oleh :
VAMMY BEVERLY V G99171044

Periode : 11- 13 Juni 2018

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar Sp.B, Sp.BP-RE(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Buruh masak
Agama : Islam
Alamat : Krajan, Grobogan, Jawa Tengah
Tanggal masuk : 9 Juni 2018
Tanggal pemeriksaan : 11 Juni 2018
No. RM : 01421xxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri pada kepala dan wajah setelah KLL

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Dr Moewardi Surakarta rujukan dari
RSUD Dr Raden Soedjati Purwodadi dengan keterangan multiple fraktur
post KLL. Sebelumnya 2 hari SMRS saat pasien menyebrang jalan tiba
tiba pasien ditabrak oleh sepeda motor dari arah kanan pasien dan pasien
jatuh dengan posisi yang tidak diketahui. Setelah peristiwa tersebut
pasien pingsan (+), kejang (-). Oleh keluarga pasien dibawa ke IGD
RSUD Dr Raden Soedjati Purwodadi. Saat di RS pasien sempat muntah
(+) beberapa kali tapi tidak menyemprot dan mengeluh nyeri di kepala
dan wajah serta pusing. Di RS tersebut pasien melakukan serangkaian
pemeriksaan radiologis dan dirawat selama 2 hari. Oleh karena
keterbatasan sarana pasien dirujuk ke RSDM.

2
Saat ini pasien mengeluh masih pusing (+), mual muntah disangkal
dan nyeri di kepala dan wajah masih dirasakan. Pasien menyangkal
adanya darah atau cairan yang keluar dari lubang hidung dan telinga.
BAB dan BAK tidak ada keluhan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes melitus : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
Riwayat Trauma :disangkal
Riwayat Operasi :disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berusia 53 tahun yang merupakan buruh masak, berobat dengan
menggunakan fasilitas BPJS.

F. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal.
Minum alcohol : disangkal
Riwayat makan : pasien makan 3 kali sehari dengan porsi dewasa
dengan nasi, sayur dan lauk pauk. Setelah
kecelakaan pasien masih bisa makan seperti biasa

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri, RR: 20 x/menit
Palpasi : fremitus raba kanan=kiri, krepitasi -/-
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (normal/normal), RBH (-/-), RBK (-/-)
3. Circulation: Tekanan darah=170/80 mmHg, Nadi = 77 x / menit,
tegangan dan isi cukup
4. Disability : GCS E4V5M6, reflex cahaya (+/+),
pupil isokor (3mm/3mm)
5. Exposure : suhu 36,7 oC, jejas (+) lihat status lokalis

B. Secondary Survey
Keadaan Umum
1.Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2.Derajat kesadaran : Compos mentis
Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-), luka (-)
2. Mata : hematom periorbita(+/+), mata kemerahan (-/+), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva
pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), diplopia (-/-), visus (N/N), gerak bola
mata (N/N)
3. Telinga : normotia, sekret (-/-), nyeri tekan mastoid (-),
nyeri tragus (-)
4. Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), secret (-/-), darah kering
(+/+)
5. Mulut : cross bite (+), gusi berdarah (-), gigi tanggal (-) lidah
kotor (-), jejas (+), mukosa basah (+), maxilla goyang (+), mandibula
goyang (-), pelo (-), trismus (+)
6. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), JVP tidak meningkat
7. Thorak : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris
8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising(-)

4
9. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
10. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)

11. Ekstremitas :
akral dingin oedem
- - - -
- - - -

IV. STATUS LOKALIS


A. REGIO MIDFACIAL
1. Inspeksi
Pendataran molar imminens (-/+), vulnus eskoriatum (+) periorbital
sinistra 2x3 cm

2. Palpasi
Hipoesthesi infraorbital (+),
B. REGIO MANDIBULA
1. Inspeksi
vulnus (-), oedem (-)
2. Palpasi
Hipoestesi (-/-), nyeri tekan (-)

5
V. KLINIS

6
VI. ASSEESSMENT I
1. Suspek fraktur regio maxilofacial
2. Vulnus ekskoriasi regio periorbital lateral sinistra

VII. PLAN I
Diagnosis
1. Cek Darah lengkap
2. Foto rontgen thorax
3. Msct Brain + 3D
Terapi
1. Head up 30
2. Oksigenasi 3 lpm
3. Infus Nacl 0,9 % 20 tpm
4. Inj Ranitidine 50mg/12jam
5. Inj metamizole 1 gr/ 8 jam
Monitoring
1. Keadaan umum dan vital sign
Edukasi
1. Oral hygiene

7
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah (9/6/2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 9.0 g/dL 13,5 – 17.5
Hematokrit 27 % 33 – 45
Leukosit 6.6 ribu/µl 4.5 – 11
Trombosit 130 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 2.98 juta/µl 4.50 – 5.90
Hemostasis
PT 14.3 Detik 10.0-15.0
APTT 22.6 Detik 20-40
INR 1.130
Kimia Klinik
GDS 86 mg/dl 60-140
Serologi Hepatitis
HbsAg Nonreaktif Nonreaktif

8
Pemeriksaan Radiologi (Thorak PA) 16/12/2017

Kesimpulan :
1. Mengesankan pembesaran jantung
2. Tak tampak fraktur maupun dislokasi

Foto Waters

Kesimpulan:
1. Hematosinus ethmoidalis dan maksilaris bilateral
2. Fraktur os maksilaris, os nasalis, os zygomaticum dan rima orbita
inferior bilateral

MSCT Brain dan 3D

10
Kesimpulan:
1. SDH Regio parietalis kanan
2. Oedem cerebri
3. Hematosinus frontalis, maksilaris, ethmoidalis, dan sphenoidalis
bilateral, serta sinus frontalis kiri
4. Fraktur os nasalis, os maksilaris, os zygomaticum kiri, rima orbita
inferior bilateral, rima orbita lateralis kiri, dinding anterior posterior
lateral dan medial sinus maksilaris bilateral, dinding superior
sphenoidalis bilateral, dinding lateral sinus ethmoidalis bilateral,
dinding anterior posterior sinus frontalis kiri

IX. ASSESMENT II
1. Cedera Otak Ringan GCS E4V5M6
2. Fraktur Lefort II:
a. Fraktur Maxilla Dextra et Sinistra

11
b. Fraktur Nasoorbitoethmoid
3. Fraktur Tripod
a. Fraktur Maxilla Sinistra
b. Fraktur Archzygoma Sinistra
c. Fraktur Rima Orbital Lateral Sinistra
4. Vulnus Eksoriasi Regio Periorbital Lateral Sinistra

X. PLANNING II
1. Diet cair
2. Oral hygiene ( betadine kumur 3x1)
3. Infus NaCl 0,9% 1500 cc/24jam
4. Injeksi metamizole 1g/8jam
5. Injeksi ranitidine 50mb/12 jam
6. Pro ORIF elektif

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
wajah yaitu tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal,
maksila, dan juga mandibula (Morrow, 2014; dan Heike, 2015).Trauma
maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya.Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak
dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang
dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri
dari :Tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi , tulang alveolus.

Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang


tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan
terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah
maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti
penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-
fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat kepada kualitas hidup
yang buruk (Guruprasad et al, 2014). Cedera maksilofasial mencakup jaringan
lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur maksilofasial.

13
B. Epidemiologi
Cedera meliputi 9% dari kematian di dunia dan 12% dari beban
penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat
cedera terjadi di negara berkembang (Vlavonou et al, 2018).
Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering
yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di
Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria.
Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial
(Buffano, 2015: dan Dell, 2017. Di Indonesia, pasien fraktur maksilofasial
dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% (Kanno, 2013).

C. Etiologi
Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus
meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan
kekerasan. Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan
peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur
maksilofasial (Sakamoto, 2017). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1% fraktur maksilofasial
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lain yaitu terjatuh
dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Engin, 2014). Penelitian
lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas (Max, 2015; dan Haworth, 2017).

D. Klasifikasi Fraktur Maksilofasial


1. Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE)
Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur
NOE merupakan fraktur yang palingsulit untuk direkonstruksi. Kompleks
NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa,
orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Wei et al, 2015). Medial canthal
tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari
maksila.sulit untuk direkonstruksi.

14
Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior
cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Lin, 2007). Medial
canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari
maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal.
Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior,
tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang frontal di kranial,
maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral
(Buchanan, 2013).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz-Manson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu
(Hontscharuk, 2012):
a. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
b. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun
dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
c. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat
diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya
osteosynthesis atau telah terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada
orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe
III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh
kasus fraktur NOE (Lee, 2013).

15
2. Fraktur Zygomatikomaksila
Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting
pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC
memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa
temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter,
dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses mengunyah (Kocchar,
2013; Akhiwu, 2016).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding
penopang yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic (FZ),
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan
fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah fraktur nasal
(Troedhan, 2015).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah
klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang
penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi
enam yaitu (Haworth, 2017)
a. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan
secara klinis dan radiologi

b. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan


oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam

c. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi

d. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial

e. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral

f. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan


sepanjang fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan
5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur
kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat
(Sakamoto, 2017).

16
3. Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan
lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah
meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan
trauma dan kecelakaan lalu lintas (Singh, 2013). Fraktur tulang nasal
mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial (Wei, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Singh,
2013):
a. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis
tengah

b. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah

c. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok
dengan penopang septal yang utuh

d. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau
rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat
atau dislokasi septum

e. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak,
saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan

17
4. Fraktur Maksila dan LeFort
Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan
lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga
mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di
dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting
baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini
memiliki potensi yang mengancam nyawa (Garg, 2012).
Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene
Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi
tiga yaitu (Vijay, 2014):
a. Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari
maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior
dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah.
Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma
pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
b. Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang
melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura
zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita.
Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary
melalui lempeng pterygoid.
c. Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal
tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur
berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura
orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian 11 memanjang melalui sutura
zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan
pterygomaxillary.

18
Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang
pertama adalah trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang
menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah
palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding
anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang
umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari submental yang
diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur
vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar
ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches.
5. Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang
kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah
dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua
buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Natu, 2013).
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian
temporomandibular (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan
gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan
berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri
TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah,
gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan

19
sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle, ramus,
kondilar, dan subkondilar (Morrow, 2014).

E. Diagnosis
Diagnosis fraktur fasial ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pendekatan awal terhadap pasien fraktur
maksilofasial sedikit berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera
diarahkan terhadapat saluran pernapasan, adekuatnya ventilasi, dan kontrol
perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksan vital signs, gangguan
saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus
ditangani terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan pemeriksaan vital signs
dan status neurologis pasien setidaknya mengenai tingkat kesadaran, yaitu
orientasi terhadap waktu dan tempat (Shirani, 2014).
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan setelah pasien stabil, dapat dilakukan
autoanamnesia bila pasien sadar dan tidak terdapat gangguan berbicara
atau alloanamnesis kepada keluarga/orang yang mengantarkan pasien.
Selain menanyakan keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, dahulu,
keluarga dan alergi, juga ditanyakan etiologi dan mekanisme terjadinya
trauma agar dapat diperkirakan jenis fraktur dan keparahannya. Aspek
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut : Bagaimana
mekanisme cedera? Apakah pasien kehilangan kesadaran atau mengalami
perubahan status mental? Jika demikian berapa lama?Apakah pasien

20
memiliki kesulitan bernafas melalui hidung ? Apakah pasien memiliki
manifestasi berdarah seperti keluar darah dari hidung atau telinga? Apakah
pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah
pasien ada merasakan seperti kedudukan gigi tidak normal ?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya cukup sulit dievaluasi akibat adanya
pembengkakan pada bagian wajah yang menutupi temuan dari
pemeriksaan fisik. Poin-poin pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
antara lain:
a. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
b. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi.
c. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran
supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic,
dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan
rahang atas.
d. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
enophthalmos, ketajaman visual, kelainan gerakan okular dan ukuran
pupil, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan
konsensual
e. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
f. Periksa hidung meraba fraktur dan krepitasi, periksa septum hidung
untuk hematoma, laserasi, fraktur, atau dislokasi
g. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.
Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda
krepitasi atau mobilitas.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling berguna bagi kasus fraktur
maksilofacial adalah pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan dengan foto

21
polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan kecurigaan adanya fraktur
pada kasus trauma fasial (proses skrining). Apabila ditemukan fraktur
maka disarankan dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan untuk
membantu memberi infomasi mengenai letak fraktur dan tatalaksana apa
yang harus dilakukan, serta menyingkirkan adanya perdarahan
intrakranial.
Untuk cedera pada mandibula dapat dilakukan pemeriksaan dengan
pantogram/ panorex. Pantogram memberikan gambaran secara
menyeluruh dari condylus ke simfisis mandibula serta gigi yang ada
sehinga dapat memberikan informasi yang cukup mengenai cedera yang
terjadi pada mandibular. Dapat ditambahkan pemeriksaan foto polos secara
PA view. CT scan tetap merupakan pilihan pemeriksaan yang paling
sensitif untuk mengetahui fraktur mandibular, namun CT scan kurang
dapat memberikan informasi mengenai susunan dari gigi apabila
dibandingkan dengan pantogram.

F. Tatalaksana
Fraktur pada maksilofasial mempunyai cara penanganan pertama
dengan primary survey, resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi
definitif. Medikamentosa bertujuan untuk mengurangi morbiditas pada pasien,
dengan pemberian analgetik, antibiotik, ATS, dan antiemetik. Prinsip
penanganan fraktur maksila sama dengan penanganan fraktur yang lain yaitu
reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi.Tindakan penanganan fraktur
secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur, fiksasi fragmen fraktur
dan imobilisasi sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak
bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai. Pada
teknik tertutup, fiksasi fraktur dan imobilisasi fraktur dilakukan dengan jalan
menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular misalnya dengan arch bar
atau interdental wiring. Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka
dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung

22
dengan menggunakan kawat (wiring) atau mini plat dan skrup (mini plate)
(Heike et al, 2015).
Reposisi terbuka pada fraktur maxilla bertujuan untuk melakukan koreksi
deformitas dan maloklusi yang dapat dilakukan dengan:
1. Suspensi zygomatico circumferential wiring adalah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang patah dengan jalan menggantungkan ke
arkus zigomatikus dengan menggunakan kawat. Suspensi ini digunakan
untuk fraktur maxilla Le Fort I atau Le Fort II.
2. Suspensi fronto circumferential wiring ialah tindakan operasi untuk
stabilisasi tulang maxilla yang terlepas dari dasar tengkorak dengan jalan
menggantungkan ke prosesus zigomatikus tulang frontalis, bisa dilakukan
untuk fraktur maxilla Le Fort I, II, dan III.
3. Interoseus wiring adalah tindakan operasi untuk fiksasi antara dua fragmen
tulang yang patah dengan cara mengikat kedua fragmen menggunakan
kawat kecil.
Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang
bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat
baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi
sempurna.
Pada kebanyakan fraktur zigoma, intervensi tidak selalu diperlukan
karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau hanya
mengalami pergeseran minimal. Indikasi operasi pada patah tulang zigoma
adalah fraktur dengan deformitas disertai diplopia, menyebabkan hiperaestesi,
atau juga menyebabkan trismus. Reduksi fraktur zigoma dilakukan melalui
insisi kombinasi, sebagai prinsip umum kesegarisan (aligment) os zigoma
harus ditetapkan pada setidaknya 3 area dan difiksasi di setidaknya 2 area
dengan miniplate dan sekrup.
Penanggulangan fraktur mandibula dilakukan dengan menggunakan
mini atau mikroplate yang dipasang dengan skrup. Pada fraktur tulang hidung
yang mengakibatkan terjadinya deviasi septum akibat dislokasi tulang hidung,
digunakan cunam Asch dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade)
ke dalam kedua rongga sambil menekan septum dengan kedua sisi. Sesudah

23
fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan
tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah
dengan antibiotika (Akhiwu et al, 2016; Natu et al, 2012).

G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi baik sebelum dilakukan penanganan maupun
setelah dilakukan penanganan/ operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah aspirasi; gangguan jalan nafas; sikatrik/bekas luka; deformitas fasial
permanen sekunder akibat tatalaksana yang tidak tepat; kerusakan saraf yang
berakibat hilangnya sensasi, pergerakan wajah, penghidu, perasa dan
penglihatan; sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan berat badan;
fraktur mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan pendarahan
(Morris et al, 2013).

24
DAFTAR PUSTAKA
Arslan, E.D. et al., 2014. Assessment of maxillofacial trauma in emergency
department. World Journal of Emergency Surgery, 9(1), pp.1–7. Available at:
World Journal of Emergency Surgery.

Benjamin, A., Sara, K.E. & Olushola, A.I., 2014. Analysis of complication of
mandibular fracture. African Journal of Trauma |, 3(1), pp.1–6.

Boffano, P. et al., 2015. European Maxillofacial Trauma ( EURMAT ) project : A


multicentre and prospective study. Journal of Cranio-Maxillo-Facial
Surgery, 43, pp.62–70.

Buchanan, E.P. & Hyman, C.H., 2013. LeFort I Osteotomy. Thieme Medical
Publishers, 27, pp.149–154.

Dell, G. et al., 2017. The epidemiological analysis of maxillofacial fractures in


Italy : The experience of a single tertiary center with 1720 patients. Journal
of Cranio-Maxillo-Facial Surgery, 45.

Ebenezer, V., Balakrishnan, R. & Padmanabhan, A., 2014. Management of Lefort


Fractures. Biomedical & Pharmacology Journal, 7(1), pp.179–182.

Garg, S. & Kaur, S., 2012. Evaluation of Post-operative Complication Rate of Le


Fort I Osteotomy : A Retrospective and Prospective Study. J. Maxillofac.
Oral Surg., (301).

Guruprasad, Y., Giraddi, G. & Shetty, J.N., 2014. An assessment of etiological


spectrum and injury characteristics among maxillofacial trauma. Journal of
Natural Science, Biology and Medicine |, 5(1), pp.47–51.

Haworth, S. et al., 2017. A clinical decision rule to predict zygomatico-maxillary


fractures *. Journal of Cranio-Maxillofacial Surgery, 45(8), pp.1333–1337.

Hontscharuk, R. et al., 2012. Primary Orbital Fracture Repair : Development and


Validation of Tools for Morphologic and Functional Analysis. The Journal of
Craniofacial Surgery, 23(4), pp.1044–1049.

Huempfner-hierl, H., Schaller, A. & Hierl, T., 2015. Maxillofacial fractures and
craniocerebral injuries – stress propagation from face to neurocranium in a
finite element analysis. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and
Emergency Medicine, (23:35), pp.1–9.

Kanno, T. et al., 2013. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery , Medicine , and
Pathology Orbital floor reconstruction in zygomatic-orbital-maxillary
fracture with a fractured maxillary sinus wall segment as useful bone graft

25
material ଝ. Asian Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, 25(1), pp.28–
31.

Kochhar, A. & Byrne, P.J., 2013. Surgical Management of Complex M i d f a c i a


l Fr a c t u re s. Otolaryngologic Clinics of NA, 46(5), pp.759–778.

Lee, K. & Oms, F., 2012. Global Trends in Maxillofacial Fractures.


Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 5, pp.213–222.

Lin, S. et al., 2007. Dento-alveolar and maxillofacial injuries – a retrospective


study from a level 1 trauma center in Israel. Dental Traumatology, 23,
pp.155–157.

Morris, L.M. & Kellman, R.M., 2013. C o mp li c a ti o n s i n F a c ia l Tr a u ma.


Facial Plastic Surgery Clinics of NA, 21(4), pp.605–617.

Morrow, B.T., Samson, T.D. & Schubert, W., 2014. MOC-CME Evidence-Based
Medicine : Mandible Fractures. American Society of Plastic Surgeons, 1,
pp.1381–1390.

Natu, S.S. et al., 2012. An Epidemiological Study on Pattern and Incidence of


Mandibular Fractures. Plastic Surgery International, 2012, pp.1–7.

Sakamoto, Y. et al., 2017. Short Communication A retrospective analysis of


zygomatic fracture etiologies. JPRAS Open, 14, pp.23–26.

Scheyerer, M.J. et al., 2015. Maxillofacial injuries in severely injured patients.


Journal of Trauma Management & Outcomes, 9(4), pp.1–9.

Shirani, G., Haghighat, A. & Jamalpour, M.R., 2014. Pattern of maxillofacial


fractures: A 5-year analysis of 8,818 patients. Trauma Acute Care Surgical,
77(4), pp.630–634.

Singh, E., 2013. An analysis of 45 patients with pure nasal fractures. Turkish
Journal of Trauma & Emergency Surgery, 19(2), pp.152–156.

Troedhan, A., 2015. Treatment-assessment of Zygoma- tripod , -quadripod , – arch


and Orbital floor Fractures in the Elderly Patient : Results of a Longitudinal
Clinical Study of 20 years ( 1995- 2015 ) with 1318 Patients in a General
Traumatology-department and Evidence-base. International Journal of Oral
and Craniofacial Science, 1, pp.6–16.

Vlavonou, S., Nguyen, T.M. & Touré, G., 2018. Epidemiology of facial fractures
in the elderly. JPRAS Open, 16, pp.84–92.

26
Wei, J. et al., 2015. The management of naso-orbital-ethmoid ( NOE ) fractures.
Chinese Journal of Traumatology, 18(5), pp.296–301.

27

Anda mungkin juga menyukai