Anda di halaman 1dari 20

Asal istilah

Pada akhir Perang Dunia II, penulis dan jurnalis Inggris George Orwell menggunakan
istilah perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya yang berjudul "You and the Atomic
Bomb" (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris, Tribune, pada
tanggal 19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah
ancaman perang nuklir. Orwell menulis:

"Selama empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells dan yang lainnya telah
memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam bahaya, menghancurkan dirinya
dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau beberapa kelompok spesies lainnya untuk
mengambil alih. Barangsiapa yang telah melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan
berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal. Namun, jika melihat dunia secara
keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun
ke arah pemberlakuan kembali perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan
umum, tapi ke zaman perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak
dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi. Jenis
pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin akan menguasai
negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam "perang dingin" permanen dengan
tetangganya.

Dalam The Observer edisi 10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi
Moskow Desember lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin'
terhadap Britania dan Imperium Britania.

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni


Soviet dan negara satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-
Perang Dunia II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang ahli keuangan
Amerika dan penasihat presiden. Dalam sebuah pidato di South Carolina pada tanggal 16
April 1947, Baruch menyatakan bahwa: "Janganlah kita tertipu: hari ini kita ada di tengah-
tengah perang dingin." Seorang reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter
Lippmann menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya
yang berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber istilah
"perang dingin", ia menyebutkan bahwa istilah tersebut merujuk pada istilah Perancis dari
tahun 1930-an, la guerre froide.
Latar belakang

Pasukan Amerika di Vladivostok, Agustus 1918, selama intervensi Sekutu dalam Perang
Saudara Rusia.

Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian
besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II
berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang
akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa
lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19

Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya
dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.
Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang
bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari
musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan
revolusioner di luar Soviet.

Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan
sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus
digantikan oleh dominasi sosialis." Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang
politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-
negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-
negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi
sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.

Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling


ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi
umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme. Ada dukungan dari
Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia, pemberian dana
oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926
menyebabkan Britania Rayamemutuskan hubungan dengan Uni Soviet, deklarasi Stalin tahun
1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis
diurungkan, tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang
direncanakan oleh Britania dan Perancis memicu kudeta, penolakan Amerika untuk mengakui
Uni Soviet hingga tahun 1933, dan Stalinisme Peradilan Moskow untuk kasus Pembersihan
Besar-Besaran, serta tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman
Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.[17]

Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil
keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania
menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal
dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat
program Lend-Lease nya.[18]

Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa
Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan
menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut
pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman
kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian
damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus
ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu.[19]

Akhir Perang Dunia II (1945–1947)

Konferensi pascaperang di Eropa

"Tiga Besar" di Konferensi Yalta: Winston Churchill, Franklin D. Roosevelt dan Joseph
Stalin, 1945.

Setelah perang, Sekutu tidak menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan
perbatasan di Eropa. Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai
pembentukan dan pemeliharaan keamanan dunia pascaperang. Sekutu Barat menginginkan
sistem keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang
memungkinkan negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi
internasional.

Mengingat sejarah invasi yang sering dilakukan terhadap Rusia, serta besarnya jumlah korban
tewas (diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama Perang
Dunia II, Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan mendominasi urusan
dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.
Sekutu Barat sendiri juga memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia
pascaperang. Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi
ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania, dan menciptakan sebuah
organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global dibandingkan dengan Churcill, yang
visinya berfokus untuk mengamankan kontrol atas Laut Tengah, memastikan
keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur untuk
menjadikannya sebagai penyangga antara Soviet dan Britania Raya.

Dalam pandangan Amerika, Stalin dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk
mencapai tujuan mereka, sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai
ancaman terbesar dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar
negara-negara Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua
pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi antara
Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan negosiasi secara
terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churcill melakukan perjalanan
ke Moskow dan sepakat untuk membagi Balkan berdasarkan pengaruh masing-masing, dan
tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga menandatangani kesepakatan terpisah dengan
Stalin mengenai masalah Asia dan menolak untuk mendukung Churcill dalam isu dan
Reparasi Polandia.

Zona pendudukan Sekutu di Jerman pascaperang.

Negosiasi lebih lanjut antara Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia
pascaperang berlangsung dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, meskipun
konferensi ini juga gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja pascaperang di
Eropa. Pada bulan April 1945, Churcill dan Presiden Amerika Serikat yang baru, Harry S.
Truman, sepakat untuk menentang keputusan Soviet yang memberi bantuan
kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan yang dikontrol
oleh Soviet.

Setelah kemenangan Sekutu pada bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki
Eropa Timur, sedangkan pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa
Barat. Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania Raya
dan Perancis mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja untuk membagi
wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.
Konferensi Sekutu pada tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai
pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia, namun
kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan
anggotanya untuk menggunakan hak veto. Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah
menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara
eksklusif sebagai tribun propaganda.

Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang

Winston Churchill, Harry S. Trumandan Joseph Stalin di Konferensi Potsdam, 1945.

Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir Juli setelah menyerahnya Jerman,
perbedaan serius muncul terkait dengan perkembangan masa depan Jerman dan Eropa
Timur. Selain itu, jumlah partisipan perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh
satu sama lainnya untuk mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan
mempertahankan kubu mereka masing-masing. Dalam konferensi ini, Truman memberitahu
Stalin bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.[33]

Stalin menyadari bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat
bahwa sasaran Amerika Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin
menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita tersebut dan
menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Jepang. Satu
minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika Serikat membom Hiroshima dan
Nagasaki. Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat
karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu yang ditawarkan oleh Presiden Truman
kepada Soviet.

Awal Blok Timur


Perubahan wilayah pasca-perang di Eropa Timur dan pembentukan Blok Timur, yang
dijuluki "Tirai Besi".

Pada awal Perang Dunia II, Uni Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok
Timur dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis Soviet, yang
awalnya diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi dalam Pakta Molotov-Ribbentrop.
Wilayah ini termasuk Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara
Soviet yang berbeda), Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia), Latvia (menjadi RSS
Latvia), Lithuania(menjadi RSS Lithuania),[35][36] bagian timur Finlandia (menjadi RSS
Karelo-Finlandia), dan Rumania timur (yang menjadi RSS Moldavia).

Wilayah Eropa Timur yang dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet
selanjutnya juga ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara
satelit,[40] negara-negara ini di antaranya Jerman Timur,] Republik Rakyat Polandia, Republik
Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat Hongaria,[42] Republik Sosialis Cekoslowakia,[43] Republik
Rakyat Romania, dan Republik Rakyat Albania.[44]

Rezim Soviet yang muncul di negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi
sistem ekonomi komando Soviet, tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan
oleh Joseph Stalin dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan
potensial.[45] Di Asia, Tentara Merah telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir
perang, dan melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.[46]

Sebagai bagian dari konsolidasi kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD, yang dipimpin
oleh Lavrentiy Beria, mengawasi pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di
Blok Timur untuk membasmi perlawanan anti-komunis.[47]Jika muncul sedikit saja semangat
kemerdekaan di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari
kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.[48]

Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar pasukan
Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa pemimpin Soviet
Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman bagi Eropa Barat.[49] Pada
bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang Britania Raya mengembangkan sebuah rencana
operasi untuk "memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada
Rusia".[50] Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena ketidaklayakan sumber
daya militer.[49]

Persiapan untuk "perang baru"

Pada bulan Februari 1946, laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari Moskow
membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin intensif dalam
melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet
selama Perang Dingin.[51] Pada bulan September, pihak Soviet merilis telegram Novikov,
yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman telegram ini
ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan bahwa AS
"berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan kemampuan militer
dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan supremasi dunia dalam sebuah
perang baru".[52]

Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes menyampaikan pidato di Jerman yang
menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi
di Jerman pasca-perang). Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk
mempertahankan keberadaan militernya tanpa batas di Eropa.[53] Sebulan kemudian, Byrnes
mengakui bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk
memenangkan hati warga Jerman [...] itu adalah pertempuran pikiran antara kami dan
Rusia [...]"[54]

Beberapa minggu setelah dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania
Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi", dalam sebuah pidato
di Fulton, Missouri.[55] Dalam pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika
bersekutu untuk melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai besi"
dari "Stettin di Baltik hingga ke Trieste di Adriatik".[40][56]

Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana untuk menyatukan Jerman Timur
dan Jerman Barat di bawah satu pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum
yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang baru ini terlepas dari aliansi
militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh kekuatan Barat. Beberapa sumber
mempersengketakan kesungguhan usulan ini.[57]

Permulaan Perang Dingin (1947–1953)

Kominform dan perpecahan Tito–Stalin

Pada bulan September 1947, Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk
menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat kontrol politik
atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak komunis di Blok
Timur.[58] Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya
setelah perpecahan Tito–Stalin, yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia.
Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.

Kontainmen dan Doktrin Truman[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kontainmen dan Doktrin Truman
Aliansi militer Eropa.

Pada tahun 1947, penasihat Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk
mengambil langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya
Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan Amerika
Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar memicu perang
lain.[59] Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa mereka tidak
sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk
melawan pemberontak komunis.

Tanggapan pemerintah Amerika terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka
akan mengadopsi kebijakan kontainmen,[60] yaitu kebijakan yang bertujuan untuk
menghentikan penyebaran komunisme. Truman menyampaikan pidato yang menyerukan
alokasi dana sebesar $ 400 untuk memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang
Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman, yang menyatakan bahwa konflik tersebut
merupakan kontes antara masyarakat bebas dan rezim totaliter.[60] Meskipun kenyataannya
para pemberontak komunis mendapat bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz
Tito,[16] AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk
melawan royalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.[61]

Doktrin Truman menandai awal dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus
kebijakan luar negeri antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar berfokus pada
kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama dan setelah Perang
Vietnam.[62][63] Partai moderat dan konservatif lainnya di Eropa, serta demokratik sosial,
mulai memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada Sekutu Barat,[64] sedangkan
Komunis Amerika dan Eropa, dengan dibiayai oleh KGB, telibat dalam operasi
intelijen,[65] operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow, meskipun perbedaan pendapat di
kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun 1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin
Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.[66]

Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia[sunting | sunting sumber]


Peta era Perang Dingin di Eropa dan Timur Dekat, menunjukkan negara-negara yang
menerima bantuan Rencana Marshall. Kolum merah menunjukkan jumlah relatif bantuan
yang diterima per negara.

Aliansi perekonomian Eropa.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rencana Marshall dan Kudeta Cekoslowakia 1948

Pada awal 1947, Britania, Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan
dengan Uni Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk
jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang telah
dihancurkan oleh Sekutu selama perang.[67] Bulan Juni 1947, sesuai dengan Doktrin Truman,
Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall, yaitu suatu program bantuan
ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk berpartisipasi, termasuk Uni
Soviet.[67]

Tujuan dari rencana ini adalah untuk membangun kembali sistem demokrasi dan
perekonomian Eropa dan untuk membatasi pengaruh komunis di Eropa.[68] Rencana ini juga
menyatakan bahwa kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman.[69] Satu
bulan kemudian, Truman mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional 1947,
membentuk Departemen Pertahanan terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC).
Hal ini selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.[70]
Stalin percaya bahwa integrasi ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara
Blok Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS
berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS.[58] Oleh sebab itu, Stalin
melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall.[58] Alternatif Uni Soviet
dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon menghabiskan subsidi Soviet dan
perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan membentuk Rencana Molotov (kemudian
dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon).[16] Stalin juga
mengkhawatirkan upaya AS untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap
Jerman tidak mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau
dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap Uni
Soviet.[71]

Pada awal 1948, menyusul laporan yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia,
Soviet melaksanakan kudeta di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok
Timur yang diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya.[72][73] Kebrutalan
publik dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres
Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya Soviet
untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.[74]

Kebijakan kembar Doktrin Truman dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan
ekonomi dan militer mengalir untuk Eropa Barat, Yunani, dan Turki. Dengan bantuan AS,
militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara.[70]Partai Demokrasi Kristen Italia juga
sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan umum tahun 1948.[75] Pada
saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas intelijen dan spionase, pembelotan Blok
Timur, dan pengusiran diplomatik.[76]

Blokade Berlin[sunting | sunting sumber]

C-47s melakukan pembongkaran di Bandar Udara Tempelhof di Berlin selama


berlangsungnya Blokade Berlin.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Blokade Berlin

Amerika Serikat dan Britania menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi
“Bizonia” (1 Januari 1947, kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Perancis
juga digabungkan pada bulan April 1949).[77] Sebagai bagian dari upaya pembangunan
kembali perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat
dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah
pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal.[78] Selain itu, sesuai dengan
Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata kembali
perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche
Mark untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan oleh
Soviet.[79]

Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan Blokade Berlin (24 Juni 1948 - 12 Mei 1949),
salah satu krisis besar pertama yang terjadi selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk
memutus akses dan mencegah makanan, bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin
Barat.[80] Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan
beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok Berlin
Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.[81]

Soviet melancarkan kampanye hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman


Barat. Para Komunis di Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum
munisipal di Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946),[77] yang
diselenggarakan pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus
kemenangan besar bagi partai non-Komunis.[82] Hasil ini secara efektif membagi Berlin
menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga Berlin berunjukrasa
dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin tetap dilanjutkan,[83] dan pilot
US Air Force Gail Halvorsen kemudian menanggapinya dengan membentuk “Operasi
Permen” untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman.[84] Pada bulan Mei 1949, Stalin
mundur dan mencabut blokade terhadap Berlin.[47][85]

Awal NATO dan Radio Free Europe[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: NATO, Radio Free Europe/Radio Liberty,
dan Penyebaran informasi Blok Timur

Presiden Truman menandatangani Amendemen Undang-Undang Keamanan Nasional


1949 dengan para tamu di Oval Office.

Britania, Perancis, Amerika Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat
menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada bulan April 1949 untuk
mendirikan North Atlantic Treaty Organization (NATO).[47] Pada bulan Agustus, perangkat
atom Soviet pertama diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan.[16] Setelah Soviet
menolak untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang telah
ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948,[78][86] AS, Britania, dan Perancis
mempelopori pembentukan Jerman Barat di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan
pada bulan April 1949.[31][87] Soviet kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan
pendirian Republik Demokratik Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan
Oktober.[31]

Media massa di Blok Timur merupakan organ negara, operasionalnya benar-benar


bergantung dan tunduk pada peraturan partai komunis, media televisi dan radio ditetapkan
sebagai badan usaha milik negara, sedangkan media cetakbiasanya dimiliki oleh organisasi
politik, sebagian besarnya dimiliki oleh partai komunis lokal.[88] Propaganda Soviet
menggunakan filosofi Marxis untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga
kerja, dan perang terhadap imperialisme.[89]

Seiring dengan diperluasnya siaran British Broadcasting Corporation dan Voice of


America ke Eropa Timur,[90] upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949
dengan dibentuknya Radio Free Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk
memberitakan mengenai era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur.[91] Radio Free
Europe berusaha untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio
pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan didominasi
oleh partai.[91] Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa arsitek yang paling
menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama mereka yang percaya bahwa
Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat jalur politik ketimbang militer,
seperti George F. Kennan.[92]

Pembuat kebijakan Amerika, termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa
Perang Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan.[92] Amerika Serikat,
dibantu oleh CIA, mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik
komunis bagi kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata
lain, mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya.[93] CIA diam-diam
juga mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk
Kebebasan.[94]

Pada awal 1950-an, AS berupaya untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun
1955, AS menjamin keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO.[31]Sebelumnya, bulan Mei
1953, Soviet gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.[95]

Perang Saudara Cina dan SEATO


Mao Zedong dan Joseph Stalin di Moskow, Desember 1949

Pada tahun 1949, Tentara Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan
Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika
Serikat di Tiongkok, dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat
Tiongkok yang baru terbentuk.[96] Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke
kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan pada revolusi komunis di Tiongkok dan akhir dari
monopoli atom Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas
dan meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di Tiongkok.[16] Dalam NSC-68, sebuah
dokumen rahasia pada tahun 1950,[97] disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional
mengusulkan untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran
pertahanan.[16]

Amerika Serikat selanjutnya juga mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia,
Afrika, dan Amerika Latinuntuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya
dipimpin oleh partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam
menentang dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya.[98] Pada awal
1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Pactomania”), AS membentuk serangkaian
aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand,
dan Filipina(terutama ANZUS pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954). Aliansi ini
membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di negara-negara
tersebut.[31]

Perang Korea[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Korea

Jenderal Douglas MacArthur, Komandan CiC PBB (duduk), mengamati penembakan


laut Incheondari USS Mt. McKinley, 15 September 1950.
Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah
pecahnya Perang Korea. Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara di bawah arahan
dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan.[99] Joseph Stalin “merencanakan,
mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,[100] menyusun “rencana [perang] dengan
rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea Utara.[101][102][103][104] Untuk mengejutkan
Stalin,[16] Dewan Keamanan PBBmendukung dan memfasilitasi pertahanan di Korea Selatan,
meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai protes karena Taiwan yang diberi
kursi tetap di dewan, bukannya Komunis Cina.[105] Personel militer gabungan PBB yang
terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia, Perancis, Afrika
Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya bersatu untuk
menghentikan invasi ini.[106]

Efek lain dari Perang Korea adalah mendorong NATO untuk mengembangkan struktur
militer.[107] Opini publik di negara-negara yang terlibat, seperti Britania, sebagian besar
menentang perang ini. Banyak yang ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi
perang besar dengan Komunis Cina, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang
berbeda mengenai perang ini seringkali menimbulkan ketegangan dalam hubungan Britania–
Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah cepat untuk meredakan konflik
dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan Korea di bawah naungan PBB dan
penarikan semua pasukan asing.[108]

Meskipun Cina dan Korea Utara sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk
mengakhirinya pada tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang,
dan gencatan senjata baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin.[31] Pemimpin
Korea Utara Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal
di Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah kultus
kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya.[109][110] Di Korea Selatan,
pemimpin korup Syngman Rhee yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem
pemerintahan totaliter.[111] Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di
bawah masa pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem
multi-partai pada tahun 1987

erang Dingin Kedua" (1979-1985)[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Dingin (1979–1985)

Istilah "Perang Dingin Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan
Perang Dingin dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Ketegangan sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan masing-masingnya
menjadi lebih ter-militeristik.[12] Diggins mengungkapkan: "Reagan mengerahkan segalanya
untuk berjuang dalam 'Perang Dingin Kedua' dengan mendukung kontra-pemberontakan di
Dunia Ketiga."[217] Sementara Cox menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat
durasinya yang singkat."[218]

Perang Soviet-Afganistan[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Saudara Afganistan dan Perang Soviet-
Afganistan

Presiden Reagan menunjukkan dukungannya dalam pertemuan dengan para


pemimpin Mujahidin Afganistan di Gedung Putih, 1983.

Tentara Soviet di Afganistan.

Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan (PDPA) yang berhaluan
komunis merebut kekuasaan atas Afganistan melalui Revolusi Saur. Dalam hitungan bulan,
penentang pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di Afganistan timur, yang
dengan cepat berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin melawan
tentara pemerintah. Pemerintah Pakistan memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat
pelatihan rahasia, sedangkan Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung
pemerintahan PDPA.[219] Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang
bersaing di PDPA – faksi Khalq yang dominan dan Parcham yang lebih moderat –
menyebabkan pemberhentian anggota kabinet dan penangkapan perwira militer Parchami
dengan dalih kudeta terhadap Parchami. Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai
sebuah program rahasia untuk membantu mujahidin.[220]

Bulan September 1979, Presiden Khalqist Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah
kudeta PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin,
yang kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada bulan
Desember 1979. Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir oleh Soviet, di
bawah pimpinan Babrak Karmal, mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan
untuk menstabilkan Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka
Soviet. Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang
domestik di Afganistan.[221]
Carter menanggapi intervensi Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian
SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman gandum dan barang-barang
teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan pengeluaran militer. Amerika Serikat juga
melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa
tindakan Soviet merupakan "ancaman yang paling serius terhadap perdamaian selama Perang
Dingin Kedua".[222]

Reagan dan Thatcher[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Doktrin Reagan

Kabinet Thatcher bertemu dengan Kabinet Reagan di Gedung Putih, 1981.

Pada bulan Januari 1977, empat tahun sebelum menjadi presiden, Ronald
Reagan mengungkapkan dalam percakapannya dengan Richard V. Allen, mengenai harapan
dasarnya terkait dengan Perang Dingin: "Ide saya mengenai kebijakan Amerika terhadap Uni
Soviet sederhana, dan beberapa orang akan menyebutnya sangat sederhana, yaitu: Kita
menang dan mereka kalah. Bagaimana menurut Anda?".[223] Tahun 1980, Ronald Reagan
mengalahkan Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1980. Setelah kemenangannya, ia
bersumpah akan meningkatkan anggaran militer dan menghadapi Soviet di
manapun.[224] Baik Reagan maupun Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Margaret
Thatcher, sama-sama mengecam Uni Soviet dan ideologinya. Reagan menyebut Uni Soviet
sebagai sebuah "kekaisaran jahat" dan meramalkan bahwa komunisme akan hancur menjadi
"tumpukan abu sejarah".[225]

Meskipun sentimen anti-Amerika di Iran setelah Revolusi Iran meningkat, pemerintahan


Reagan tetap mengulurkan tangan kepada pemerintah anti-komunis Ayatollah
Khomeini dalam upayanya untuk merekrut teokrasi bagi Amerika pada tahun 1980-an.
Direktur CIA William Casey menggambarkan pemerintahan Khomeini sebagai pemerintahan
yang "goyah dan [mungkin] dalam pergerakan ke arah kebenaran... AS hampir tidak memiliki
kartu untuk dimainkan; sementara Uni Soviet memiliki banyak kartu."[226] Salah satu metode
yang dilakukan Amerika untuk mendukung Iran adalah dengan penjualan senjata secara
rahasia. Pada tahun 1983, CIA merilis daftar panjang komunis Iran dan aktivis sayap kiri
lainnya yang dicurigai bekerja dalam pemerintahan Khomeini.[227] Sebuah komisi khusus
kemudian melaporkan bahwa daftar itu disusun untuk mengambil "langkah-langkah,
termasuk eksekusi massal, untuk mengeliminasi semua infrastruktur pro-Soviet di Iran."[227]
Pada awal 1985, prinsip anti-komunis Reagan telah berkembang menjadi sikap yang dikenal
sebagai Doktrin Reagan — yang mana, selain penahanan, juga dirumuskan hak tambahan
untuk menumbangkan pemerintahan komunis yang ada.[228] Selain melanjutkan kebijakan
Carter yang mendukung penentang Islam dalam melawan Soviet dan PDPA di Afganistan,
CIA juga berusaha melemahkan Uni Soviet dengan cara mempromosikan politik Islam di
mayoritas Islam Soviet Asia Tengah.[229] Di samping itu, CIA mendorong anti-komunis ISI di
Pakistan agar bersedia melatih Muslim dari seluruh dunia untuk berpartisipasi
dalam jihadmelawan Uni Soviet.[229] A

Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia[sunting | sunting sumber]

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Solidarność dan Darurat militer di Polandia

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia, pada tahun 1979 telah
mendorong kebangkitan spiritual dan nasionalis yang memicu lahirnya gerakan solidaritas
dan semangat anti-komunisme. Hal ini diperkirakan merupakan penyebab
dilakukannya upaya pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.[230]

Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di Polandia dengan
memberlakukan masa darurat militer. Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi
ekonomi terhadap Polandia.[231] Mikhail Suslov, ideolog top di Kremlin, menyarankan agar
pemimpin Soviet tidak campur tangan jika Polandia jatuh di bawah kendali gerakan
Solidaritas, karena takut hal itu akan menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi,
yang berarti akan menjadi malapetaka bagi perekonomian Soviet.[231]

Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS[sunting | sunting sumber]

Informasi lebih lanjut: Era stagnasi, Strategi Inisiatif Pertahanan, RSD-10


Pioneer, MGM-31 Pershing, Kematian Leonid Brezhnev, Yuri Andropov, dan Konstantin
Chernenko

Perbandingan stok senjata nuklir AS dan Soviet/Rusia, 1945–2006


Delta 183 diluncurkan, membawa sensor eksperimen Strategi Inisiatif Pertahanan"Delta
Star".

Moskow telah membangun sumber daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk
nasional bruto Uni Soviet, dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di
sektor sipil.[232] Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan kompetisi Perang Dingin
lainnya semakin diperparah oleh masalah struktural dalam sistem perekonomian
Soviet,[233] yang mengalami stagnasi ekonomi selama satu dekade dalam tahun-tahun terakhir
pemerintahan Brezhnev.

Pemboikotan Olimpiade Moskow 1980 (biru) dan Olimpiade Los Angeles 1984 (merah).

Investasi Soviet dalam sektor pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun
sebagian besar untuk mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang
bergantung pada sektor militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa
mereka.[234] Militer Uni Soviet merupakan militer terbesar di dunia dalam hal jumlah dan
jenis senjata, jumlah tentara, dan jumlah pangkalan militer yang mereka miliki.[235] Namun,
keuntungan kuantitatif yang dipegang oleh militer Soviet seringkali dirahasiakan
keberadaannya, sehingga Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat.[236]
Setelah seorang anak Amerika berusia sepuluh tahun bernama Samantha Smith mengirimkan
surat kepada Yuri Andropov, yang mengungkapkan ketakutannya atas perang nuklir,
Andropov mengundang Smith ke Uni Soviet.

Pada awal 1980-an, Uni Soviet telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang
melebihi Amerika Serikat. Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter
memulai pembangunan besar-besaran militer Amerika Serikat. Upaya ini semakin
diintensifkan oleh pemerintahan Reagan, yang meningkatkan pengeluaran militer dari 5,3
persen/total GNP pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada tahun 1986,[237] jumlah anggaran
militer terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.[238]

Ketegangan terus meningkat pada awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali
program B-1 Lancer yang sebelumnya dibatalkan oleh pemerintahan Carter,
memproduksi LGM-118 Peacekeeper,[239] menginstal rudal jelajah AS di Eropa, dan
mengumumkan program eksperimental Strategi Inisiatif Pertahanan, yang dijuluki "Star
Wars" oleh media, yaitu program pertahanan untuk menembak jatuh rudal musuh di tengah-
tengah penerbangannya.[240]

Dilatarbelakangi oleh meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta
dipasangnya rudal balistik RSD-10 Pioneer milik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat,
NATO memutuskan – di bawah dorongan dari Presiden Carter – untuk menginstal rudal
jelajah dan MGM-31 Pershing milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman
Barat.[241] Rudal-rudal ini ditempatkan dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit
dari Moskow.[242]

Setelah pembangunan militer Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan


mengembangkan sumber daya militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet
sudah sangat besar.[243] Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya
pembangunan dalam sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi beban berat
bagi perekonomian Soviet.[244] Di saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab
Saudi meningkat,[245] bahkan produksi minyak di negara-negara non-OPEC juga meningkat
pada periode tersebut, termasuk Soviet.[246] Perkembangan ini memberikan kontribusi
terhadap fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni Soviet. Minyak mulai
menjadi sumber utama pendapatan ekspor Soviet.[232][244] Namun,
permasalahan perekonomian komando,[247] turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer
yang tetap besar secara bertahap membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi.[244]

Pada tanggal 1 September 1983, Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007,
pesawat Boeing 747 yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry
McDonald. Pesawat itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati
pantai barat Pulau Sakhalin, di dekat Kepulauan Moneron —tindakan yang oleh Reagan
dianggap sebagai "pembantaian". Tindakan Soviet ini semakin meningkatkan dukungan bagi
AS supaya segera menerjukan militernya.[248]NATO mengadakan latihan militer Able Archer
83 pada bulan November 1983, yang merupakan simulasi peluncuran nuklir secara nyata.
Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya bagi dunia sejak Krisis Rudal
Kuba pada tahun 1962. Setelah pemimpin Soviet memahami maksud dari latihan militer
tersebut, maka diputuskan bahwa perang nuklir semakin dekat.[249]

Ketidaksetujuan publik AS mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah
berlangsung sejak akhir Perang Vietnam.[250] Pemerintahan Reagan menekankan
taktik kontra-pemberontakan dan penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik
asing.[250] Pada tahun 1983, pemerintahan Reagan ikut campur tangan dalam Perang Saudara
Lebanon, menginvasi Grenada, membom Libya, dan mendukung gerakan Contras di Amerika
Tengah – paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan pemerintahan pro-
Soviet Sandinista di Nikaragua.[98] Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya mendapat
dukungan dari publik AS, namun dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.[251]

Sementara itu, Soviet sendiri mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi
mereka terhadap asing. Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-
Afganistan akan berlangsung singkat, gerilyawan Muslim, yang dibantu oleh AS dan negara-
negara lainnya, mengobarkan perlawanan sengit terhadap invasi tersebut.[252] Kremlin
mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk mendukung rezim boneka di Afganistan, yang
dijuluki oleh para pengamat luar dengan "perang 'Vietnam'-nya Soviet".[252] Namun, dampak
perang Afganistan ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang Vietnam bagi
Amerika Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis
internal dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.[253]

Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS memprediksikan pada awal 1980-an,
ia menyatakan bahwa "invasi yang mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin
itu adalah hukum termodinamika entropi... yang terjebak dengan sistem Soviet, yang
sekarang tampaknya lebih banyak mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya
ketimbang untuk memperbaikinya. Kita bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat
mengalami keruntuhan internal

Anda mungkin juga menyukai