Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

PETA KERENTANAN LONGSORAN

4.1 Metodologi
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi tingkat kerentanan
suatu tempat tertentu untuk mengalami kejadian longsoran, dengan mengklasifikasikannya
berdasarkan faktor-faktor penyebab longsoran. Klasifikasi yang digunakan untuk
pengkelasan masing-masing faktor penyebab longsoran, menggunakan klasifikasi Anbalagan
(1992). Metode yang digunakan adalah metode proses hirarki analitik atau Analytic
Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan dan pengujian rasio konsistensi, dan sistem
informasi geografis atau Geographic Information system (GIS) untuk pengolahan data
(Gambar 4.1).

PETA TOPOGRAFI DIGITAL PETA CITRA SATELIT


BAKOSURTANAL GEOLOGI LANDSAT 7 ETM+

SKEMA PENGKELASAN ANBALAGAN (1992)


(LANDSLIDE HAZARD EVALUATION FACTOR)

PETA PETA PETA


PETA RELIEF PETA
KEMIRINGAN KEBASAHAN TUTUPAN
RELATIF GEOLOGI
LERENG LAHAN LAHAN

PROSES HIRARKI ANALITIK

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PETA KERENTANAN LONGSORAN

Gambar 4.1. Diagram alir pengolahan data peta kerentanan longsoran.

53
4.2 Klasifikasi Anbalagan
Klasifikasi Anbalagan adalah klasifikasi untuk menentukan zonasi longsoran dengan
cara pengkelasan (rating) pada masing-masing faktor penyebab longsoran. Fakor-faktor yang
digunakan sebagai acuan pengkelasan adalah kemiringan lereng, litologi, relief relatif,
kebasahan lahan, dan tutupan lahan.
Klasifikasi ini cukup sistematis, sederhana, dan efektif sehingga sangat mudah
digunakan. Klasifikasi ini dapat berfungsi sebagai investigasi awal untuk mengetahui tingkat
kerentanan longsoran. Pendekatan yang dikembangkan untuk mengetahui tingkat kerentanan
longsoran pada metode ini adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi
bahaya longsoran atau Landslide Hazard Evaluation Factor (LHEF).

4.2.1 Skema Pengkelasan Faktor Evaluasi Bahaya Longsor/Landslide Hazard Evaluation


Factor (LHEF)
LHEF adalah sistem pengkelasan numerikal pada faktor-faktor penyebab longsoran
yang utama. Faktor-faktor tersebut meliputi kemiringan lereng, litologi, relief relatif,
kebasahan lahan, dan tutupan lahan. Faktor-faktor pemicu seperti curah hujan dan seismik
tidak termasuk faktor yang digunakan dalam metode ini. Nilai maksimum untuk masing
faktor berbeda, tergantung seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi suatu lereng
untuk mengalami longsoran. Nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktor (total bobot)
adalah 1 atau 100 % yang diperoleh dari hasil proses hirarki analitik atau Analytic Hierarchy
Process (AHP). Nilai 1 atau 100% menunjukkan kondisi yang memiliki tingkat kerentanan
longsoran sangat tinggi.
Berikut ini adalah uraian mengenai rincian faktor-faktor yang digunakan dalam skala
pengkelasan LHEF:
a. Kemiringan Lereng
Sudut kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk antara bidang permukaan
tanah dengan bidang normal. Besar kecilnya kemiringan lereng di suatu area
dipengaruhi oleh sejarah proses geomorfologi. Setiap unit kemiringan lereng
menunjukkan proses dan kontrol yang terjadi di daerah tersebut. Peta
kemiringan lereng dibuat dari peta topografi yang dibagi berdasarkan
banyaknya garis kontur yang melewati satu lereng. Kemiringan lereng pada
metode ini dikelaskan menjadi lima kelas yaitu sangat terjal (> 45 derajat), terjal

54
(35–45 derajat), sedang (25–35 derajat), landai (15–25 derajat) dan sangat
landai (< 15 derajat).
b. Litologi
Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi yang telah dipetakan langsung di
lapangan oleh peneliti. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap kemungkinan
suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit,
batugamping, dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan
tahan terhadap erosi sehingga kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah
dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan sedimen campuran lunak dan sangat
mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk longsor.
c. Relief Relatif
Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi
permukaan suatu daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan
selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada
satu individu faset. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas,
yaitu rendah (<100 m), sedang (101-300 m) dan tinggi (> 300 m).
d. Kebasahan Lahan
Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur
diskontinuitas, sehingga air tanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran
yang seragam. Analisis perilaku air tanah pada daerah yang sangat luas dan
pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu untuk
melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang lebih
kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis
kondisi keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi
air tanahnya. Kondisi keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi
lima yaitu kering, lembab, basah, jenuh dan merembes.
e. Tutupan Lahan
Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng.
Lahan gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga
menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami
banyak tumbuhan akan lebih resisten terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih
stabil. Hutan secara umum dapat mengurangi akibat dari pengaruh iklim
terhadap lereng, dan melindunginya terhadap erosi. Akar yang tertanam kuat
55
dapat membuat permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian
secara umum dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng yang rendah
walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang sedikit terjal.
Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang
yang diperkirakan stabil.

4.3 Metode Proses Hirarki Analitik/Analytical Hierarchy Process (AHP)


Metode AHP dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan bobot dan nilai
maksimum untuk jumlah semua faktor yang diperoleh dari penilaian perbandingan antara
satu faktor dengan faktor lainnya dalam sebuah matriks perbandingan atau matriks pairwise
comparison. Penilaian matriks perbandingan dilakukan oleh para ahli geologi teknik yang
telah berpengalaman meneliti longsoran di berbagai tempat. Dalam penelitian ini peneliti
memakai pendapat Ercanoglu et al. (2005), yang telah memakai metode AHP dalam
penentuan tingkat kerentanan longsoran di kawasan Laut Hitam, Turki. Ercanoglu et al.
(2005) melakukan penelitian tingkat kerentanan longsoran dengan memberikan penilaian ke
dalam tujuh buah matriks perbandingan yang diambil dari tujuh pendapat para ahli longsoran.
Masing-masing dari tujuh ahli longsoran tersebut, memberikan penilaian tingkat kerentanan
longsoran dalam sebuah matriks perbadingan. Untuk proses yang dilakukan pada daerah
penelitian dengan metode AHP ini, dilakukan perhitungan rata-rata dari tujuh pendapat para
ahli, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah matriks perbandingan (Tabel 4.1). Dalam
perhitungan metode AHP ini digunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

Tabel 4.1. Matriks perbandingan pengaruh faktor kerentanan longsoran, yang diambil dari
pendapat tujuh ahli longsoran setelah dirata-ratakan.

56
Keterangan:
A = Kemiringan Lereng
B = Litologi
C = Relief Relatif
D = Kebasahan Lahan
E = Tutupan Lahan

Matriks perbandingan dibuat untuk menentukan bobot prioritas masing-masing faktor


yang merupakan inti dari AHP. Dalam penentuan bobot prioritas dilakukan lagi pengolahan
data dari suatu matriks baru hasil normalisasi. Matriks normalisasi didapat dari individu
elemen dibagi total kolom pada matriks perbandingan. Penentuan bobot prioritas didapat dari
penjumlahan tiap baris matriks dibagi dengan jumlah n matriks. Total bobot prioritas yang
didapat adalah 1 atau 100% yang merupakan nilai maksimum untuk jumlah seluruh faktor-
faktor penyebab longsoran(Tabel 4.2). Bobot prioritas yang telah didapatkan akan diolah
didalam metode berikutnya yaitu Sistem Informasi Geografis yang berfungsi sebagai alat
pengolahan data.

Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas.

Keterangan:
A = Kemiringan Lereng
B = Litologi
C = Relief Relatif
D = Kebasahan Lahan
E = Tutupan Lahan
57
Konsistensi pebandingan ditinjau per matriks perbandingan untuk memastikan bahwa
urutan prioritas yang dihasilkan dari suatu rangkaian perbandingan masih berada dalam
preferensi yang logis. Setelah melakukan perhitungan bobot prioritas langkah selanjutnya
adalah pengujian konsistensi matriks perbandingan. Dalam perkembangan akan dilakukan
pengujian rasio konsistensi.
Pengujian rasio konsistensi dimulai dengan mengetahui principal eigen value
maksimum. Untuk mendapatkan nilai tersebut harus didapatkan nilai eigen dengan prinsip
perkalian matriks yaitu baris dikali kolom. Matriks perbandingan dikali dengan matriks bobot
priroritas yang akan menghasilkan matriks nilai eigen. Nilai eigen ini merepresentasikan
kisaran angka dari masing-masing elemen principal eigen dan frekuensi maksimum. Setelah
didapatkan nilai eigen, akan ditentukan nilai principal eigen yang didapat dari pembagian
tiap elemen matriks nilai eigen dengan tiap elemen matriks bobot prioritas pada baris yang
sama. Matriks principal eigen yang telah didapat berupa matriks n baris dan 1 kolom,
selanjutnya matriks tersebut dirata-ratakan berdasarkan jumlah baris. Nilai rata-rata ini
merupakan principal eigen value maksimum (λmaks). Perhitungan principal eigen value
maksimum (λmaks) adalah sebagai berikut.

2,047460449 : 0,384973553 = 5,31844443


1,52450594 : 0,280260884 = 5,439595841
0,296484847 : 0,057901652 = 5,120490269
1,215620088 : 0,226657063 = 5,363257047
0,257535974 : 0,050206848 = 5,12949894
∑ = 26,7129
λmaks = 26,7129/5 = 5,274257306

Tahapan berikutnya setelah mendapatkan principal eigen value maksimum adalah


menentukan indeks konsistensi yang didapat dari rumus λmaks – n/n – 1. Setelah didapat
indeks konsistensi, maka peneliti dapat menentukan rasio konsistensi. Rasio konsistensi
merupakan pembagian indeks konsistensi dengan Random Index. Untuk melakukan

58
perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index (RI) yang nilainya untuk setiap n
matriks dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3 Random Index untuk tiap n matriks

Indeks Konsistensi = λmaks – n/n – 1


= 5,274257306 – 5/5 – 1
= 0,068564326
Rasio Konsistensi = Indeks Konsistensi/Random Index
= 0,068564326/1,12 untuk matriks n = 5 maka RI = 1,12
= 0,061218149 hasil cukup konsisten

Hasil pengujian rasio konsitensi didapat nilai 0,061218149 yang merepresentasikan


nilai yang konsisten dari suatu matriks perbandingan. Hal ini didasarkan pada matriks
perbandingan yang memiliki faktor-faktor kerentanan longsoran dengan intensitas pengaruh
suatu faktor terhadap faktor lainnya masih logis. Hal ini akan berbeda hasilnya jika intensitas
pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya memiliki intensitas yang sama atau dalam
matriks perbandingan semua elemen akan bernilai 1, maka rasio konsistensi yang didapat
akan bernilai 0 yang merepresentasikan tidaknya suatu pengaruh terhadap pengaruh lainnya.
Selain itu, jika intensitas pengaruh suatu faktor terhadap faktor lainnya memiliki intensitas
yang mutlak lebih berpengaruh daripada faktor lainnya atau dalam matriks perbandingan
akan membentuk sebuh diagonal bernilai 1 sementara elemen lain memiliki nilai tinggi yang
relatif sama, maka akan didapat nilai rasio konsistensi lebih dari 0,1 yang merepresentasikan
suatu faktor mutlak lebih berpengaruh daripada faktor lainnya, artinya faktor yang lain tidak
memiliki pengaruh apapun atau tidak dapat dibandingkan dengan faktor lainnya sehingga
terdapat sebuah inkonsistensi (Saaty, 1988).

59
4.4 Sistem Informasi Geografis/Geographic Information System (GIS)
Metode ini merupakan bagian dari pengolahan data yang telah diperoleh dari klasifikasi
Anbalagan (1992) dan metode AHP. Data-data yang telah didapat dari dua metode
sebelumnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak GIS seperti ArcGIS 9.3, Er
Mapper 7.0, dan Global Mapper 10.

4.4.1 Pengolahan Data


Data yang digunakan dan diolah dalam penelitan ini adalah data-data spasial. Data
spasial tersebut berupa peta-peta tematik dan citra satelit. Peta-peta tematik yang digunakan
sebagai data adalah peta kemiringan lereng, peta geologi, peta relief relatif. Peta-peta tematik
ini tdak didapatkan murni sebagai data sekunder, tetapi sebagai data mentah yang harus
diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta-peta tematik data yang dibutuhkan dalam
zonasi kerentanan longsoran dengan klasifikasi Anbalagan (1992). Sedangkan citra satelit
digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan melalui proses
remote sensing. Proses-proses remote sensing tersebut meliputi metode NDVI (Normalized
Difference Vegetation index) dan Tasseled Cap. Keseluruhan data-data mentah ini diperoleh
dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi, USGS dan
sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data
ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan. Data citra satelit didapat dari USGS dan
Pusat Survei Geologi. Data yang didapatkan dari pemetaan langsung di lapangan adalah data
geologi.
Peta-peta tematik yang telah diproses, disamakan terlebih dahulu menjadi skala 1 :
50.000 agar tidak terjadi kesalahan data pada saat tumpang tindih, dan juga dilakukan
penyamaan sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat Universal Tranverse Mercator
(UTM), Zona 48S, WGS 1984. Data diolah dengan menggunakan metode GIS, sehingga data
yang akan diolah sebelumnya harus dikalibrasi, disamakan, dan disesuaikan ke dalam format
digital yang sama, yaitu ke dalam format ESRI Shape (.shp) pada perangkat lunak ArcGIS.
Pengolahan data yang dilakukan adalah pengolahan data menjadi faktor-faktor yang
mengontrol terjadinya longsoran dengan menggunakan klasifkasi pengkelasan LHEF
(Landslide Hazard Evaluaton Factor). Data-data yang digunakan, dijumlahkan nilai bobot
penyebab longsoran, sehingga memiliki satu nilai dari kelima faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah :

60
1. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi.
2. Litologi, yang diolah dari peta geologi.
3. Relief relatif, yang diolah dari peta topografi.
4. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit.
5. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit.
Proses yang dilakukan setelah mendapat peta-peta faktor penyebab longsoran adalah
memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan dari AHP pada dengan metode weighted overlay
pada spatial analyst tools yang ada pada perangkat lunak ArcGIS. Setelah itu, akan
didapatkan peta kerentanan longsoran di daerah penelitian, seperti yang ditunjukkan pada
diagram alir (lihat Gambar 4.1).

4.4.1.1 Kemiringan Lereng


Kemiringan Lereng pada klasifikasi Anbalagan (1992) didefinisikan dengan derajat
lereng. Derajat lereng adalah rasio antara tinggi lereng (vertikal) dan panjang lereng
(horizontal). Data yang digunakan dalam pembuatan peta kemiringan lereng ini adalah peta
topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal tahun 2002.
Perangkat lunak yang digunakan untuk menghasilkan peta kemiringan lereng adalah
ArcGIS. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital
topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Triangulated Irregular Network
(TIN). TIN adalah metode penentuan besar dan arah kemiringan lereng dengan menggunakan
tiga titik data. Dari tiga titik tersebut dihitung arah dari lereng beserta kemiringannya. Hasil
akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng.
Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai-nilai kemiringan sesuai dengan skema
pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas kemiringan
lereng yaitu di bawah 15 derajat, 16 sampai 25 derajat, 26 sampai 35 derajat, 36 sampai 45
derajat, dan lebih besar dari 45 derajat (Gambar 4.2).

61
107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
PETA KEMIRINGAN LERENG
6°46’00” LS

6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Desa Kanangasari
6°46’30”

6°46’30”
6°47’00”

6°47’00”
KETERANGAN:

= <15°

= 16°-25°
6°47’30”

6°47’30”
= 26°-35°
Desa Sumur Bandung
D
= 36°-45°

= >45°
Desa Nyalindung
= Jalan Raya
6°48’00”

6°48’00”
= Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
6°48’30”

6°48’30”
= Sungai

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” = Garis Kontur

= Titik Ketinggian

Gambar 4.2. Peta faktor kemiringan lereng

4.4.1.2 Litologi
Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerentanan longsoran.
Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu.
Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan masif seperti batuan beku akan memilki faktor
kerentanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak, tidak
solid dan mudah terkikis seperu batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor
kerentanan yang tinggi.
Data yang digunakan untuk faktor litologi adalah peta geologi yang dipetakan langsung
di lapangan (Gambar 4.3). Informasi yang didapat dari peta geologi untuk faktor litologi
adalah satuan batuan di daerah penelitian. Dalam pengolahan data faktor litologi, peneliti
mengolah peta geologi ke dalam bentuk peta digital yang terdiri dari batas area, koordinat
dan informasi daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan
pengkelasan yang disesuaikan dengan pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan
(1992). Pada pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti
batulempung, batulanau, serpih, dan tuf diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan
daerah tersebut memiliki kerentanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut
pandang litologi. Sebaliknya, batuan-batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki
nilai pengkelasan yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari
sudut pandang litologinya memiliki kerentanan yang rendah terhadap longsoran.

62
107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
6°46’00” LS PETA PENYEBARAN LITOLOGI

6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Desa Kanangasari
6°46’30”

6°46’30”
6°47’00”

6°47’00”
KETERANGAN:

= Tuf

= Lava Andesit
6°47’30”

6°47’30”
= Breksi Piroklastik
Desa Sumur Bandung
D
= Batulempung II

= Batupasir
Desa Nyalindung
6°48’00”

6°48’00”
= Breksi

= Batulempung I

= Jalan Raya
6°48’30”

6°48’30”
= Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
= Jalan Perkebunan

= Sungai

= Garis Kontur (interval 50 m)

= Titik Ketinggian

Gambar 4.3. Peta Faktor Penyebaran Litologi

4.4.1.3 Relief Relatif


Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi permukaan suatu
daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan selisih ketinggian antara puncak
tertinggi dan lembah yang paling rendah dalam satu faset. Data yang digunakan untuk relief
relatif ini adalah peta topografi digital bakosurtanal tahun 2002. Dari data garis topografi
tersebut diambil nilai titik tingginya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak ArcGIS. Proses ini dilakukan dengan cara mengekstrak data-data vektor berupa point
dari peta topografi digital yang menunjukkan titik ketinggian daerah penelitian. Data vektor
berupa point yang telah diekstrak memiliki data tabulasi berupa koordinat x, koordinat y, dan
ketinggian titik tersebut.
Data titik ketinggian yang telah diekstrak selanjutnya dioverlay dengan data face slope
dan face elevation untuk mengetahui puncak punggungan dan lembah terendah serta
mendapatkan faset-faset kecil yang berupa data TIN. Setiap faset-faset kecil memiliki nilai
titik-titik ketinggian yang berbeda, oleh karena itu peneliti mengintegrasikan titik ketinggian
tersebut ke dalam atribut faset sehingga satu faset kecil hanya memiliki satu buah titik data.
Setelah didapat atribut faset, dilakukan penyelisihan nilai ketinggian antara puncak
63
punggungan dan lembah terendah dalam satu faset yang datanya diambil dari atribut faset-
faset kecil.
Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m),
sedang (100 - 300 m) dan tinggi (> 300 m), untuk di daerah penelitian hanya memiliki dua
kelas yaitu rendah dan sedang (Gambar 4.4). Dapat dilihat daerah baratlaut penelitian
memiliki relief yang kasar pada kelas sedang, karena memiliki punggungan yang
membentang dengan timurlaut barat daya dan di antara punggungan tersebut terdapat lembah
yang memiki nilai ketinggian yang cukup rendah.

107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”


6°46’00” LS

PETA RELIEF RELATIF

6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Desa Kanangasari
6°46’30”

6°46’30”
6°47’00”

6°47’00”
KETERANGAN:

= <100 m

= >100 m
6°47’30”

6°47’30”

= Jalan Raya
Desa Sumur Bandung
D = Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
Desa Nyalindung = Jalan Perkebunan
6°48’00”

6°48’00”

= Sungai
= Garis Kontur
= Titik Ketinggian
6°48’30”

6°48’30”

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”

Gambar 4.4. Peta faktor relief relatif.

4.4.1.4 Kebasahan Lahan


Kebasahan lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan
lahan. Untuk mendapatkan kebasahan, pendekatan dilakukan menggunakan citra satelit.
Pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan Metode Tasseled Cap.
Citra satelit yang sebelumnya memiliki delapan band panjang gelombang sebagai
atributnya, diproses untuk mendapatkan atribut Tasseled cap dengan perangkat lunak Er
Mapper. Atribut tersebut adalah greenes, wetness, dan brightness. Atribut yang diambil
adalah wetness diambil untuk mengetahui kebasahan lahan daerah penelitian. Atribut wetness
pada citra satelit yang telah diolah, diidentifikasi dengan metode klasifikasi unsupervised
classification dengan sebelumnya melakukan koreksi radiometrik citra untuk objek air.

64
Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta kebasahan
lahan yang selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan
(1992). Terdapat lima kelas yaitu merembes, jenuh, basah, lembab dan kering (Gambar 4.5).

107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”


6°46’00” LS

PETA KEBASAHAN LAHAN

6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Desa Kanangasari
6°46’30”

6°46’30”
6°47’00”

6°47’00”
KETERANGAN:

= Merembes

= Jenuh
6°47’30”

6°47’30”
= Basah
Desa Sumur Bandung
D
= Lembab

= Kering
Desa Nyalindung
= Jalan Raya
6°48’00”

6°48’00”
= Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
6°48’30”

6°48’30”
= Sungai

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” = Garis Kontur (interval 50 m)

= Titik Ketinggian

Gambar 4.5. Peta faktor kebasahan lahan.

4.4.1.5 Tutupan Lahan


Peta tutupan lahan ini menggunakan pengkelasan seberapa besar kerapatan tutupan
tumbuhan pada suatu area. Data yang digunakan pada pengolahan faktor tutupan lahan ini
adalah berupa data raster yaitu Citra Satelit Landsat ETM+ 8 band dari USGS (2003) dengan
band 3 dan 4 sebagai data olahan.
Citra yang beratribut 8 band diolah dengan menggunakan metode NDVI (Normalized
Difference Vegetation Index). Perangkat lunak yang digunakan untuk metode NDVI adalah
Er Mapper. Metode NDVI menggunakan data olahan band 4 yang memiliki kemampuan
aplikasi mengetahui survei biomassa dan delineasi tubuh air, sedangkan band 3 memiliki
kemampuan aplikasi membedakan tingkat absorbsi klorofil pada vegetasi.
Setelah itu dilakukan klasifikasi citra dengan metode identifikasi berupa supervised
classification menggunakan peta tata guna lahan digital Bakosurtanal (2002), Google Earth,
dan observasi vegetasi peneliti selama melakukan pemetaan geologi di lapangan.
Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta tutupan lahan,
selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan (1992).

65
Terdapat empat kelas yaitu vegetasi rapat, vegetasi sedang, vegetasi jarang, dan lahan gundul
(gambar 4.6).

107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” PETA TUTUPAN LAHAN
6°46’00” LS

6°46’00”
DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
Desa Mandalasari KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Desa Kanangasari
6°46’30”

6°46’30”
6°47’00”

6°47’00”
KETERANGAN:

= Vegetasi Rapat

= Vegetasi Sedang
6°47’30”

6°47’30”
= Vegetasi Jarang
Desa Sumur Bandung
D
= Lahan Gundul

= Jalan Raya
Desa Nyalindung
= Jalan Tol
6°48’00”

6°48’00”
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
6°48’30”LS

= Sungai

6°48’30”
= Garis Kontur (interval 50 m)

107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” = Titik Ketinggian

Gambar 4.6 Peta faktor tutupan lahan.

4.4.2 Peta Kerentanan Longsoran


Peta kerentanan longsoran merupakan hasil penjumlahan dari peta-peta faktor menurut
LHEF pada klasifikasi Anbalagan. Kelima faktor yang ada dilakukan pembobotan yang
didapat dari hasil proses hirarki analitik, kemudian dilakukan metode tumpang tindih pada
pengolahan data di GIS, sehingga membentuk satu peta kerentanan longsoran dengan empat
atribut.Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS dengan
fasilitas weighted overlay pada spatial analysis tools. Fasilitas yang tersedia pada perangkat
lunak dapat membuat satu penggabungan peta dari kelima faktor yang telah diproses.
Kemudian, kelima faktor tersebut dijumlahkan dan dipersentase untuk mendapat tingkat
kerentanan longsoran daerah penelitian.
Peta kerentanan longsoran kemudian diklasifikasikan berdasarkan nilai dan persentase.
Setiap daerah-daerah kecil pada daerah penelitian memiliki nilai dan persentase yang
berbeda. Nilai dan persentse yang tinggi menunjukkan tingkat kerentanan longsoran yang
sangat tinggi. Tingkat kerentanan longsoran diklasifikasikan ke dalam 4 tingkat kerentanan
yaitu kerentanan sangat tinggi, kerentanan tinggi, kerentanan sedang dan kerentanan rendah.
Hasil akhir dari keseluruhan pengolahan data adalah peta kerentanan longsoran dari

66
perpaduan klasifikasi Anbalagan (1992) untuk pengkelasan dan metode proses hirarki analitik
untuk pembobotan yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan sistem informasi
geografis.

107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”


6°46’00” LS

PETA KERENTANAN LONGSORAN

6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT

Desa Kanangasari
6°46’30”

6°46’30”
6°47’00”

6°47’00”
KETERANGAN:
= Kerentanan Sangat Tinggi

= Kerentanan Tinggi
6°47’30”

6°47’30”
= Kerentanan Sedang
Desa Sumur Bandung
D
= Kerentanan Rendah

= Jalan Raya
Desa Nyalindung
= Jalan Tol
6°48’00”

6°48’00”
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan

= Sungai
6°48’30”

6°48’30”
= Garis Kontur (interval 12,5 m)

= Titik Ketinggian
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”

Gambar 4.7. Peta kerentanan longsoran.

4.5 Tingkat Kerentanan Longsoran


Proses pengolahan data yang dimulai dari pengkelasan dengan klasifikasi Anbalagan
(1992), dilanjutkan dengan pembobotan dengan metode AHP, dan pengolahan data dengan
GIS telah sampai pada tahap zonasi tingkat kerentanan longsoran di daerah penelitian.
Terdapat empat tingkat kerentanan longsoran, yaitu kerentanan longsoran sangat tinggi,
kerentanan longsoran tinggi, kerentanan longsoran sedang, dan kerentanan longsoran rendah.
1. Tingkat Kerentanan Rendah
Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 9,15 km2 atau 28,15% daerah
penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh litologi breksi piroklastik dan
memiliki kemiringan lereng yang relatif landai (kurang dari 15° hingga 25°),
kondisi relief yang relatif halus, kondisi kebasahan yang agak lembab, serta
kerapatan vegetasi yang sedang hingga rapat.
2. Tingkat Kerentanan Sedang
Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 11,5 km2 atau 35,3% daerah
penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh berbagai litologi seperti breksi
67
piroklasik, andesit, batulempung, dan tuf. Kemiringan lereng pada daerah ini juga
bervariasi mulai dari 15° hingga lebih dari 45° dan relief yang bergelombang.
Kondisi kebasahan relatif lembab hingga basah, serta kerapatan vegetasi yang
sedang hingga rapat.
3. Tingkat Kerentanan Tinggi.
Tingkat kerentanan ini memiliki luas sekitar 10, 8 km2 atau 33,2% daerah
penelitian. Daerah ini secara umum dikontrol oleh berbagai litologi seperti tuf,
batulempung, andesit, dan batupasir. Kemirngan lereng di daerah ini umumnya di
atas 25° dan dominan daerah terjal, serta relief yang kasar. Kondisi kebasahan
relatif basah hingga jenuh, bahkan di bagian timur laut sudah mulai area
merembes. Kerapatan vegetasi sedang, tetapi di beberapa tempat terdapat lahan
gundul karena terjadinya pembukaan lahan.
4. Tingkat kerentanan tinggi
Tingkat kerentanan ini memliki luas sekitar 1,05 km2 atau 3,2% daerah penelitian.
Daerah ini secara umum dikontrol oleh litologi batupasir, breksi, dan breksi
piroklastik. Kemiringan lereng pada daerah ini umumnya di atas 35° dan sangat
didominasi daerah terjal, serta relief yang kasar. Kondisi kebasahan di daerah ini
merupakan daerah yang basah hingga jenuh. Kerapatan vegetasi umumnya jarang
hingga sedang.
Dari hasil tingkat kerentanan longsoran yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa
kemiringan lereng merupakan pengontrol utama terjadinya suatu longsoran dan menentukan
tingkat kerentanan longsoran di suatu daerah. Lereng yang terjal serta relief yang kasar akan
memudahkan batuan atau tanah mengalami gelinciran, aliran, ataupun jatuhan akibat adanya
gaya gravitasi.
Litologi juga merupakan salah satu pengontrol yang menyebabkan terjadinya suatu
longsoran. Litologi yang lunak, mudah lapuk, dan rentan hancur akan menyebabkan suatu
daerah rentan mengalami kejadian longsoran. Akan tetapi, tidak semua litologi yang lunak
rentan terhadap longsoran apabila kemiringan lereng landai, dan kondisi keairan cukup
kering.
Kebasahan lahan akan membuat pengaruh yang cukup kuat terhadap kerentanan suatu
daerah untuk longsor. Daerah yang jenuh dan memiliki rembesan air akan rentan terhadap
longsoran, dan hal ini akan sangat mendukung terjadinya longsoran apabila berada pada
lereng yang terjal atau litologi lunak, karena air apabila sudah jenuh dan merembes akan
68
mendesak tanah atau batuan untuk bergerak. Akan tetapi, kondisi keairan ini dapat dapat
diimbangi dengan rapatnya vegetasi. Vegetasi yang rapat dengan tumbuhan yang keras akan
membuat air diserap oleh akar tanaman. Meskipun demikian, rapatnya vegetasi tidak mutlak
dapat menahan terjadinya longsoran apabila litologi yang ada dominan lunak , lereng terjal
dan kondisi keairan mulai jenuh, karena banyak kasus kejadian longsoran juga terjadi pada
daerah hutan.

4.6 Verifikasi Lapangan


Verifikasi lapangan pada penelitian ini dilakukan untuk melihat dan memvalidasikan
peta tingkat kerentanan longsoran yang telah dibuat dengan kondisi-kondisi yang ada di
lapangan. Hal ini dilakukan dengan meninjau dan melihat langsung ke lapangan. Lokasi yang
memilki tingkat kerentanan longsoran yang sangat tinggi berada di timurlaut daerah
penelitian (Gambar 4.8). Lokasi tersebut merupakan area persawahan, perkebunan, hutan,
dan sebagian pemukiman penduduk. Longsoran yang ditemukan pada daerah timurlaut cukup
banyak, dan umumnya berada di area perkebunan dan persawahan.
Secara umum, peta kerentanan longsoran yang telah dibuat menunjukkan hasil yang
hampir sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, seperti yang ada di bagian barat laut
hingga utara daerah penelitian (Gambar 4.9). Daerah-daerah lain yang diidentifikasi memiliki
kerentanan tinggi dan sedang, terdapat lereng kritis dan tidak stabil yang memungkinkan
untuk longsor (Gambar 4.10). Sedangkan pada daerah yang diidentifikasi memilki kerentanan
rendah, umumnya memiliki lereng yang tidak terjal dan terlihat lereng yang stabil, serta
kejadian longsoran yang jarang terjadi (Gambar 4.11).

Gambar 4.8. Longsoran pada zonasi tingkat kerentanan tinggi di Kampung Tapos Girang
yang berada di timur laut daerah penelitian. Longsoran yang terjadi sering mengakibatkan
rusaknya area persawahan masyarakat.
69
Gambar 4.9. Lereng yang menggantung dan rentan untuk terjadi longsoran pada zonasi
tingkat kerentanan tinggi di kampung Cihuni (gambar kiri) yang berada di baratlaut daerah
penelitian, dan lereng kritis yang berada di Perkebunan Maswati yang berada di utara daerah
penelitian.

Gambar 4.10. Lereng kritis pada zonasi tingkat kerentanan sedang yang berada di Kampung
Ciasri (gambar kiri) dan di Perkebunan Maswati (gambar kanan).

70
Gambar 4.11. Contoh lereng yang stabil pada bagian persawahan yang berada
pada zona tingkat kerentanan rendah di Kampung Cinangsi. Lereng yang tidak
terjal menjadi salah satu faktor area ini jarang mengalami longsoran.

71

Anda mungkin juga menyukai