4.1 Metodologi
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dan mengidentifikasi tingkat kerentanan
suatu tempat tertentu untuk mengalami kejadian longsoran, dengan mengklasifikasikannya
berdasarkan faktor-faktor penyebab longsoran. Klasifikasi yang digunakan untuk
pengkelasan masing-masing faktor penyebab longsoran, menggunakan klasifikasi Anbalagan
(1992). Metode yang digunakan adalah metode proses hirarki analitik atau Analytic
Hierarchy Process (AHP) untuk pembobotan dan pengujian rasio konsistensi, dan sistem
informasi geografis atau Geographic Information system (GIS) untuk pengolahan data
(Gambar 4.1).
53
4.2 Klasifikasi Anbalagan
Klasifikasi Anbalagan adalah klasifikasi untuk menentukan zonasi longsoran dengan
cara pengkelasan (rating) pada masing-masing faktor penyebab longsoran. Fakor-faktor yang
digunakan sebagai acuan pengkelasan adalah kemiringan lereng, litologi, relief relatif,
kebasahan lahan, dan tutupan lahan.
Klasifikasi ini cukup sistematis, sederhana, dan efektif sehingga sangat mudah
digunakan. Klasifikasi ini dapat berfungsi sebagai investigasi awal untuk mengetahui tingkat
kerentanan longsoran. Pendekatan yang dikembangkan untuk mengetahui tingkat kerentanan
longsoran pada metode ini adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi
bahaya longsoran atau Landslide Hazard Evaluation Factor (LHEF).
54
(35–45 derajat), sedang (25–35 derajat), landai (15–25 derajat) dan sangat
landai (< 15 derajat).
b. Litologi
Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi yang telah dipetakan langsung di
lapangan oleh peneliti. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap kemungkinan
suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit,
batugamping, dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan
tahan terhadap erosi sehingga kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah
dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan sedimen campuran lunak dan sangat
mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk longsor.
c. Relief Relatif
Relief relatif adalah besaran yang menunjukkan kekasaran morfologi
permukaan suatu daerah. Pada metode ini relief relatif ditunjukkan dengan
selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada
satu individu faset. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas,
yaitu rendah (<100 m), sedang (101-300 m) dan tinggi (> 300 m).
d. Kebasahan Lahan
Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur
diskontinuitas, sehingga air tanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran
yang seragam. Analisis perilaku air tanah pada daerah yang sangat luas dan
pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu untuk
melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang lebih
kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis
kondisi keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi
air tanahnya. Kondisi keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi
lima yaitu kering, lembab, basah, jenuh dan merembes.
e. Tutupan Lahan
Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng.
Lahan gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga
menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami
banyak tumbuhan akan lebih resisten terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih
stabil. Hutan secara umum dapat mengurangi akibat dari pengaruh iklim
terhadap lereng, dan melindunginya terhadap erosi. Akar yang tertanam kuat
55
dapat membuat permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian
secara umum dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng yang rendah
walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang sedikit terjal.
Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang
yang diperkirakan stabil.
Tabel 4.1. Matriks perbandingan pengaruh faktor kerentanan longsoran, yang diambil dari
pendapat tujuh ahli longsoran setelah dirata-ratakan.
56
Keterangan:
A = Kemiringan Lereng
B = Litologi
C = Relief Relatif
D = Kebasahan Lahan
E = Tutupan Lahan
Tabel 4.2. Normalisasi dari matriks perbandingan dan penentuan bobot prioritas.
Keterangan:
A = Kemiringan Lereng
B = Litologi
C = Relief Relatif
D = Kebasahan Lahan
E = Tutupan Lahan
57
Konsistensi pebandingan ditinjau per matriks perbandingan untuk memastikan bahwa
urutan prioritas yang dihasilkan dari suatu rangkaian perbandingan masih berada dalam
preferensi yang logis. Setelah melakukan perhitungan bobot prioritas langkah selanjutnya
adalah pengujian konsistensi matriks perbandingan. Dalam perkembangan akan dilakukan
pengujian rasio konsistensi.
Pengujian rasio konsistensi dimulai dengan mengetahui principal eigen value
maksimum. Untuk mendapatkan nilai tersebut harus didapatkan nilai eigen dengan prinsip
perkalian matriks yaitu baris dikali kolom. Matriks perbandingan dikali dengan matriks bobot
priroritas yang akan menghasilkan matriks nilai eigen. Nilai eigen ini merepresentasikan
kisaran angka dari masing-masing elemen principal eigen dan frekuensi maksimum. Setelah
didapatkan nilai eigen, akan ditentukan nilai principal eigen yang didapat dari pembagian
tiap elemen matriks nilai eigen dengan tiap elemen matriks bobot prioritas pada baris yang
sama. Matriks principal eigen yang telah didapat berupa matriks n baris dan 1 kolom,
selanjutnya matriks tersebut dirata-ratakan berdasarkan jumlah baris. Nilai rata-rata ini
merupakan principal eigen value maksimum (λmaks). Perhitungan principal eigen value
maksimum (λmaks) adalah sebagai berikut.
58
perhitungan ini diperlukan bantuan tabel Random Index (RI) yang nilainya untuk setiap n
matriks dapat dilihat pada tabel berikut.
59
4.4 Sistem Informasi Geografis/Geographic Information System (GIS)
Metode ini merupakan bagian dari pengolahan data yang telah diperoleh dari klasifikasi
Anbalagan (1992) dan metode AHP. Data-data yang telah didapat dari dua metode
sebelumnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak GIS seperti ArcGIS 9.3, Er
Mapper 7.0, dan Global Mapper 10.
60
1. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi.
2. Litologi, yang diolah dari peta geologi.
3. Relief relatif, yang diolah dari peta topografi.
4. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit.
5. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit.
Proses yang dilakukan setelah mendapat peta-peta faktor penyebab longsoran adalah
memasukkan nilai-nilai hasil pembobotan dari AHP pada dengan metode weighted overlay
pada spatial analyst tools yang ada pada perangkat lunak ArcGIS. Setelah itu, akan
didapatkan peta kerentanan longsoran di daerah penelitian, seperti yang ditunjukkan pada
diagram alir (lihat Gambar 4.1).
61
107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
PETA KEMIRINGAN LERENG
6°46’00” LS
6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT
Desa Kanangasari
6°46’30”
6°46’30”
6°47’00”
6°47’00”
KETERANGAN:
= <15°
= 16°-25°
6°47’30”
6°47’30”
= 26°-35°
Desa Sumur Bandung
D
= 36°-45°
= >45°
Desa Nyalindung
= Jalan Raya
6°48’00”
6°48’00”
= Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
6°48’30”
6°48’30”
= Sungai
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” = Garis Kontur
= Titik Ketinggian
4.4.1.2 Litologi
Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerentanan longsoran.
Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu.
Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan masif seperti batuan beku akan memilki faktor
kerentanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak, tidak
solid dan mudah terkikis seperu batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor
kerentanan yang tinggi.
Data yang digunakan untuk faktor litologi adalah peta geologi yang dipetakan langsung
di lapangan (Gambar 4.3). Informasi yang didapat dari peta geologi untuk faktor litologi
adalah satuan batuan di daerah penelitian. Dalam pengolahan data faktor litologi, peneliti
mengolah peta geologi ke dalam bentuk peta digital yang terdiri dari batas area, koordinat
dan informasi daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan
pengkelasan yang disesuaikan dengan pengkelasan LHEF pada klasifikasi Anbalagan
(1992). Pada pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti
batulempung, batulanau, serpih, dan tuf diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan
daerah tersebut memiliki kerentanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut
pandang litologi. Sebaliknya, batuan-batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki
nilai pengkelasan yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari
sudut pandang litologinya memiliki kerentanan yang rendah terhadap longsoran.
62
107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
6°46’00” LS PETA PENYEBARAN LITOLOGI
6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT
Desa Kanangasari
6°46’30”
6°46’30”
6°47’00”
6°47’00”
KETERANGAN:
= Tuf
= Lava Andesit
6°47’30”
6°47’30”
= Breksi Piroklastik
Desa Sumur Bandung
D
= Batulempung II
= Batupasir
Desa Nyalindung
6°48’00”
6°48’00”
= Breksi
= Batulempung I
= Jalan Raya
6°48’30”
6°48’30”
= Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
= Jalan Perkebunan
= Sungai
= Titik Ketinggian
6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT
Desa Kanangasari
6°46’30”
6°46’30”
6°47’00”
6°47’00”
KETERANGAN:
= <100 m
= >100 m
6°47’30”
6°47’30”
= Jalan Raya
Desa Sumur Bandung
D = Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
Desa Nyalindung = Jalan Perkebunan
6°48’00”
6°48’00”
= Sungai
= Garis Kontur
= Titik Ketinggian
6°48’30”
6°48’30”
64
Citra satelit yang telah diklasifikasi dan diidentifikasi menghasilkan peta kebasahan
lahan yang selanjutnya dikelaskan menurut pengkelasan LHEF dari klasifikasi Anbalagan
(1992). Terdapat lima kelas yaitu merembes, jenuh, basah, lembab dan kering (Gambar 4.5).
6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT
Desa Kanangasari
6°46’30”
6°46’30”
6°47’00”
6°47’00”
KETERANGAN:
= Merembes
= Jenuh
6°47’30”
6°47’30”
= Basah
Desa Sumur Bandung
D
= Lembab
= Kering
Desa Nyalindung
= Jalan Raya
6°48’00”
6°48’00”
= Jalan Tol
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
6°48’30”
6°48’30”
= Sungai
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” = Garis Kontur (interval 50 m)
= Titik Ketinggian
65
Terdapat empat kelas yaitu vegetasi rapat, vegetasi sedang, vegetasi jarang, dan lahan gundul
(gambar 4.6).
107°24’15 BT” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” PETA TUTUPAN LAHAN
6°46’00” LS
6°46’00”
DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
Desa Mandalasari KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT
Desa Kanangasari
6°46’30”
6°46’30”
6°47’00”
6°47’00”
KETERANGAN:
= Vegetasi Rapat
= Vegetasi Sedang
6°47’30”
6°47’30”
= Vegetasi Jarang
Desa Sumur Bandung
D
= Lahan Gundul
= Jalan Raya
Desa Nyalindung
= Jalan Tol
6°48’00”
6°48’00”
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
6°48’30”LS
= Sungai
6°48’30”
= Garis Kontur (interval 50 m)
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30” = Titik Ketinggian
66
perpaduan klasifikasi Anbalagan (1992) untuk pengkelasan dan metode proses hirarki analitik
untuk pembobotan yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan sistem informasi
geografis.
6°46’00”
Desa Mandalasari DAERAH SASAKSAAT DAN SEKITARNYA
KABUPATEN BANDUNG BARAT, JAWA BARAT
Desa Kanangasari
6°46’30”
6°46’30”
6°47’00”
6°47’00”
KETERANGAN:
= Kerentanan Sangat Tinggi
= Kerentanan Tinggi
6°47’30”
6°47’30”
= Kerentanan Sedang
Desa Sumur Bandung
D
= Kerentanan Rendah
= Jalan Raya
Desa Nyalindung
= Jalan Tol
6°48’00”
6°48’00”
= Jalan Kereta Api
= Jalan Perkebunan
= Sungai
6°48’30”
6°48’30”
= Garis Kontur (interval 12,5 m)
= Titik Ketinggian
107°24’15” 107°24’30” 107°25’00” 107°25’30” 107°26’00” 107°26’30” 107°27’00” 107°27’30”
Gambar 4.8. Longsoran pada zonasi tingkat kerentanan tinggi di Kampung Tapos Girang
yang berada di timur laut daerah penelitian. Longsoran yang terjadi sering mengakibatkan
rusaknya area persawahan masyarakat.
69
Gambar 4.9. Lereng yang menggantung dan rentan untuk terjadi longsoran pada zonasi
tingkat kerentanan tinggi di kampung Cihuni (gambar kiri) yang berada di baratlaut daerah
penelitian, dan lereng kritis yang berada di Perkebunan Maswati yang berada di utara daerah
penelitian.
Gambar 4.10. Lereng kritis pada zonasi tingkat kerentanan sedang yang berada di Kampung
Ciasri (gambar kiri) dan di Perkebunan Maswati (gambar kanan).
70
Gambar 4.11. Contoh lereng yang stabil pada bagian persawahan yang berada
pada zona tingkat kerentanan rendah di Kampung Cinangsi. Lereng yang tidak
terjal menjadi salah satu faktor area ini jarang mengalami longsoran.
71