Anda di halaman 1dari 32

Makalah

INTERAKSI OBAT DALAM DALAM PROSES


ABSORPSI
(Tugas Interaksi Obat)

Oleh :

RAUZATUL ULFA
17330721
Pembimbing : Dra. Refdanita, MSi, Apt.

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan rahmat ALLAH SWT yang telah mengilhamkan kepada kita jalan
kearifan dari kebesaran-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
“Interaksi Obat Dalam Dalam Proses Absorpsi”. Shalawat beriring salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad saw yang telah mengubah pemikiran ummatnya menjadi manusia yang
berpendidikan.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan. Namun berkat
dorongan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikannya.
Oleh karena itu sudah sepatutnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Refdanita, MSi, Apt. selaku dosen mata kuliah Interaksi Obat.
2. Ibunda tercinta Sitti Maryam yang telah banyak memberikan moril maupun materil dan
yang telah mendoakan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Seluruh teman-teman yang telah memberikan dorongan dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak terdapat kekurangan, baik materi maupun dalam penulisannya. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati serta i’tikad baik dalam
mengemban tanggung jawab, penulis berharap semoga makalah ini dapat digunakan
sebagaimana mestinya dan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi
dan makanan dan semoga diridhai oleh ALLAH SWT.

Jakarta, 09 Oktober 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah ................................................................................... 3
1.4 Manfaat Makalah ................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Interaksi Obat ...................................................................................... 4
2.1.1 Pengertian Interaksi Obat .......................................................... 4
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat .................. 4
2.1.3 Dampak Klinis Interaksi Obat ................................................... 5
2.1.4 Penatalaksanaan Interaksi Obat ................................................. 6
2.2 Obat yang Terlibat dalam Peristiwa Interaksi ..................................... 6
2.3 Sasaran Interaksi Obat ......................................................................... 7
2.3.1 Interaksi Obat-obat .................................................................... 7
2.3.2 Interaksi Obat – makanan .......................................................... 7
2.3.3 Interaksi Obat Penyakit ............................................................. 8
2.3.4 Interaksi Obat – Hasil lab .......................................................... 8
2.3.5 Interaksi Obat didalam proses absorpsi ..................................... 8
2.4 Macam-Macam Interaksi Obat ............................................................ 11
2.4.1 Inkompatibilitas atau Interaksi Farmasetik............................... 11
2.4.1.1Prinsip Interaksi Farmasetik ...................................................... 12
2.4.1.2Mekanisme Obat Tidak Tercampurkan ..................................... 13
2.4.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketercampuran dan Stabilitas
.............................................................................................................. 15
2.4.2 Interaksi Farmakokinetik ......................................................... 17
2.4.3 Interaksi Farmakodinamik ........................................................ 19

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Pembahasan ........................................................................................ 21

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan .......................................................................................... 27
4.2 Saran .................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan pencegahan
berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi.
Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang
cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak kalah penting, obat harus selalu
digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinik yang optimal. Terlalu banyaknya jenis
obat yang tersedia ternyata juga dapat memberikan masalah tersendiri dalam praktek, terutama
menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara benar dan aman. Para pemberi
pelayanan (provider) atau khususnya para dokter (prescriber) harus selalu mengetahui secara
rinci, obat yang dipakai dalam pelayanan. Di banyak sistem pelayanan kesehatan, terutama di
negara-negara berkembang, informasi mengenai obat maupun pengobatan yang sampai ke para
dokter seringkali lebih banyak berasal dari produsen obat. Informasi ini seringkali cenderung
mendorong penggunaan obat yang diproduksi oleh masing-masing produsennya dan kurang
objektif (Uswatun, 2012). Salah satu pengetahuan informasi obat yang sangat penting dan harus
dipahami oleh para pemberi layanan (provider) atau khususnya dokter (prescriber) adalah
interaksi obat dalam resep obat yang diberikan kepada pasien (Uswatun, 2012).
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain
(precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang
memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki
(Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping
obat atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya
menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal.
Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya
interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi (Retno, 2008).
Informasi mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena
interaksi obat, dan seberapa jauh risiko efek samping dapat dikurangi diperlukan jika akan
mengganti obat yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui bagaimana
mekanisme interaksi antar obat, dapat diperkirakan kemungkinan efek samping yang akan terjadi
dan melakukan antisipasi. Makalah ini bermaksud menguraikan beberapa mekanisme interaksi
antar obat dan implikasi klinik akibat efek samping yang terjadi karena interaksi tersebut (Retno,
2008).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka perumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1) Apa pengertian dari interaksi obat didalam proses absorpsi?
2) Bagaimana mekanisme interaksi obat didalam proses absorpsi?
3) Bagaimana prinsip interaksi obat didalam proses absorpsi?
4) Bagaimana efek, akibat dan penanganan dari interaksi obat didalam proses absorpsi?

1.3 Tujuan Makalah


Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui tentang interaksi obat didalam proses absorps.i
2) Untuk mengetahui mekanisme interaksi obat didalam proses absorpsi.
3) Untuk mengetahui prinsip interaksi obat didalam proses absorpsi.
4) Untuk mengetahui efek, akibat dan penanganan dari interaksi obat didalam proses
absorpsi.

1.4 Manfaat Makalah


Manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui tentang interaksi obat didalam proses absorpsi.
2) Memberi pemahaman tentang penanganan interaksi obat.
3) Memberi informasi kepada masyarakat tentang interaksi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat


2.1.1 Pengertian Interaksi Obat
Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada
awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih
berubah. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek
baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Interaksi obat tidak hanya terjadi antara obat dengan obat
lainnya, tetapi interaksi bisa saja terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat
dengan mikronutrien, dan obat injeksi dengan kandungan infus (Syamsudin, 2011).

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat


a. Faktor Usia
Usia juga mempengaruhi metabolisme dan klirens obat akibat perubahan yang terjadi
pada hati dan ginjal. Saatu tubuh semakin tua aliran darah melalui hati berkurang dan klirens
beberapa obat dapat terhambat sekitar 30-40%.keadaan ini terlihat jelas pada pasien yang
mengalami gagal jantung.

b. Faktor Polifarmasi
Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang
dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan.

c. Faktor Penyakit
Kadang-kadang obat-obatan yang bermanfaat untuk satu penyakit bisa berbahaya untuk
penyakit lain misalnya beta-bloker yang digunakan untuk penyakit jantung atau hipertensi dapat
memperburuk pasien asma dan mempersulit penderita diabetes untuk mengetahui ketika gula
darah mereka terlalu rendah
d. Faktor Generik
Perbedaan faktor genetik (turunan) di antara individu mempengaruhi apa yang dilakukan
tubuh terhadap suatu obat dan apa yang dilakukan obat terhadap tubuh. Karena faktor genetik
sebagian orang memproses (metabolisme) obat secara lambat akibatnya suatu obat bisa
berakumulasi di dalam tubuh sehingga menyebabkan toksisitas, begitu juga sebaliknya
(Syamsudin, 2011).

2.1.3 Penatalaksanaan Interaksi Obat


a) Mencegah kombinasi keseluruhan
b) Menyesuaikan dosis obat objek
c) Menjarakkan waktu pemberian obat untuk mencegah interaksi
d) Monitoring untuk deteksi dini
e) Berikan informasi tentang faktor pasien yang meningkatkan risiko outcome negative
f) Perbaiki system skrining terkomputerisasi
g) Jumlah interaksi yang berlebihan dalam system
h) Perbedaan kelas obat tidak diatasi dengan tepat

2.2 Obat yang Terlibat dalam Peristiwa Interaksi


1. Obat Objek
Obat Objek adalah obat yang aksinya atau efeknya dipengaruhi atau diubah oleh obat
lain. Obat yang kemungkinan besar menjadi objek interaksi atau efeknya dipengaruhi oleh obat
lain, umumnya adalah obat-obat yang memenuhi ciri :
a. Obat-obat dimana perubahan sedikit saja terhadap dosis (kadar obat) sudah akan
menyebabkan perubahan besar pada efek klinis yang timbul. Secara farmakologi obat-
obat seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan kurva dosis respons yang
tajam. Perubahan, misalnya dalam hal ini pengurangan kadar sedikit saja sudah dapat
mengurangi manfaat klinik dari obat.
b. Obat-obat dengan rasio terapik yang rendah artinya antara dosis toksik dan dosis terapetik
tersebut perbandingannya (perbedaannya) tidak besar. Kenaikan sedikit saja dosis (kadar)
obat sudah menyebabkan terjadinya efek toksis.
c. Kedua ciri obat objek di atas, yaitu apakah obat yang manfaat kliniknya mudah dikurangi
atau efek toksisnya mudah diperbesar oleh obat presipitan, akan saling berkaitan dan
tidak sendiri-sendiri. Obat-obat seperti ini juga sering dikenal dengan obat-obat dengan
lingkungan yang sempit.

2. Obat Presipitan
Obat Presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat lain. Ciri-ciri obat
presipitan tersebut adalah kalau kita melihat dari segi interaksi farmakokinetika, yakni terutama
pada proses distribusi (ikatan protein), metabolisme dan ekskresi renal. Masih banyak obat-obat
lain diluar ketiga ciri ini tadi yang dapt bertindak sebagai obat presipitan dengan mekanisme
yang berbeda-beda.

2.3 Sasaran Interaksi Obat


Ada 4 sasaran interaksi :
2.3.1 Interaksi Obat-obat
Tipe interaksi obat dengan obat merupakan interaksi yang paling penting dibandingkan
dengan ketiga interaksi lainnya (Walker dan Edward, 1999 dalam Alex, 2011).
Semua pengobatan termasuk pengobatan tanpa resep atau obat bebas harus diteliti
terhadap terjadinya interaksi obat, terutama bila berarti secara klinik karena dapat
membahayakan pasien.

2.3.2 Interaksi Obat – makanan


Tipe interaksi ini kemungkinan besar dapat mengubah parameter farmakokinetik dari
obat terutama pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi dari obat.
Contoh: MAO inhibitor dengan makanan yang mengandung tiramin (keju, daging,
anggur merah) akan menyebabkan krisis hipertensif karena tiramin memacu pelepasan
norepinefrin sehingga terjadi tekanan darah yang tidak normal (Grahame-Smith dan Arronson,
199 dalam Alex, 20112), makanan berlemak meningkatkan daya serap griseofulvin, (Shim dan
Mason, 1993 dalam Alex, 2011).
2.3.3 Interaksi Obat Penyakit
Acuan medis seringkali mengacu pada interaksi obat dan penyakit sebagai kontraindikasi
relatif terhadap pengobatan. Kontraindikasi mutlak merupakan resiko, pengobatan penyakit
tertentu kurang secara jelas mempertimbangkan manfaat terhadap pasiennya (Shimp dan Mason,
1993 dalam Alex, 2011). Pada tipe interaksi ini, ada obat-obat yang dikontraindikasikan pada
penyakit tertentu yang diderita oleh pasien. Misalnya pada kelainan fungsi hati dan ginjal, pada
wanita hamil ataupun ibu yang sedang menyusui.
Contohnya pada wanita hamil terutama pada trimester pertama jangan diberikan obat
golongan benzodiazepin dan barbiturat karena akan menyebabkan teratogenik yang berupa
phocomelia Juga p ada pemberian NSAID pada Px riwayat tukak lambung.

2.3.4 Interaksi Obat – Hasil lab


Interaksi obat dengan tes laboratorium dapat mengubah akurasi diagnostik tes sehingga
dapat terjadi positif palsu atau negatif palsu. Hal ini dapat terjadi karena interferensi kimiawi.
Misalnya pada pemakaian laksativ golongan antraquinon dapat menyebabkan tes urin pada
uribilinogen tidak akurat (Stockley, 1999 dalam Alex, 2011), atau dengan perubahan zat yang
dapat diukur contohnya perubahan tes tiroid yang disesuaikan dengan terapi estrogen (Shimp dan
Mason, 1993 dalam Alex, 2011)

2.3.5 Interaksi Obat Dalam Proses Absorpsi


Sebagian besar obat-obat yang diberikan secara oral melalui membrane mukosa saluran
pencernaan, dan sebagian besar interaksi yang terjadi lebih banyak mengakibatkan penurunan
daripada kenaikan absorpsi. Harus dibedakan antara penurunan kecepatan absorpsi dan
peningkatan jumlah total yang diabsorpsi. Untuk obat-obat yang diberikan dalam jangka
panjang, misalnya dalam dosis berulang (seperti antikoagulan oral) kecepatan absorpsi biasanya
tidak penting, karena jumlah total obat yang diabsorpsi tidak meningkat. Dalam hal lain obat-
obat yang diberikan dalam dosis tunggal, dikehendaki diabsorpsi secara cepat (misalnya hipnotik
atau analgesic), dimana obat-obat tsb dibutuhkan secara cepat dalam konsentrasi tinggi sehingga
penurunan kecepatan absorpsi menyebabkan kegagalan dalam mencapai efek yang diperlukan.
Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat
secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku)
untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan
sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi
farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin,
aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya.

2.4 Macam-Macam Interaksi Obat


2.4.1 Inkompatibilitas atau Interaksi Farmasetik
Inkompatibilias atau interaksi farmasetis merupakan interaksi obat yang terjadi diluar
tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibilitas).
Pencampuran obat demikian dapat menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau
kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sehingga pembentukan endapan, perubahan warna, atau
mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Ganiswarna, 1995
dalam Fajar, 2010). Contoh, pencampuran penisilin dan aminoglikosida akan menyebabkan
hilangnya efek farmakologik yang diharapkan (Fajar, 2010).

2.4.1.1 Prinsip Interaksi Farmasetik


Merupakan interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat
sebagai pembentukan presipitan/endapan, kekeruhan, perubahan warna, pengeluaran gas dan
lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat.
Inkompatibilitas dapat terjadi dengan dua cara, interaksi secara fisik dan interaksi secara
kimia :
a. Inkompatibilitas Fisik
Inkompatibilitas fisik atau ketidakcampuran fisik sering disebut dengan obat tidak
tercampurkan yang dibuktikan dengan tidak bisanya obat menyatu dengan baik. Hampir mustahil
kita bisa memberikan dosis obat yang seragam dalam bentuk larutan atau campuran. Bahan-
bahan seperti minyak dan air (yang tidak dapat becampur) dan zat-zat yang tidak laru di dalam
media tertentu adalah contoh dari inkompatibilitas fisik (Syamsudin, 2011).
b. Inkompatilibilitas Kimia
Inkompatibilitas kimia terjadi ketika agen yang diresepkan bereaksi secara kimia saat
dicampurkan sehingga mengubah komposisi satu atau lebih bahan yang dicampur (unsur pokok).
 Ketidaklarutan agen yang diresepkan dalam media (fisik)
 Ketidakcampuran dua cairan atau lebih (fisik)
 Pengendapan akibat perubahan menstrum, sehingga menimbulkan penurunan daya larut
(atau disebut salting out) (fisik)
 Pencairan bahan padat yang dicampur dalam keadaan kering (disebut euteksia fisik)
 Sendimentasi atau pengerasan bahan yang tidak larut dalam campuran cairan (fisik)
 Perubahan warna (kimia
 Reaksi reduksi atau oksidasi (kimia)
 Pengendapan akibat reaksi kimia (kimia)
 Inaktivasi obat-obatan sulfa oleh procaine HCl (terapis) (Syamsudin, 2011)

Meskipun hampir mustahil untuk menghilangkan seluruh agen-obat tidak tercampurkan


beberapa kombinasi dapat merespon terhadap langkah-langkah perbaikan berikut:

 Penambahan bahan yang tidak mengubah nilai terapis (seperti penambahan suatu bahan
untuk mengubah daya larut suatu agen)
 Penghilangkan agen yang tidak memiliki nilai terapi atau yang dapat diberikan secara
terpisah
 Perubahan bahan (misalnya penggantian bahan yang tidak dapat larut dengan bahan yang
dapat larut)
 Mengubah zat pelarut
 Penggunaan teknik-teknik khusus dalam pencampuran (Syamsudin, 2011).

2.4.1.2 Mekanisme Obat Tidak Tercampurkan


Masalah obat tidak tercampurkan lebih cendnerung terjadi ketika obat dalam volume
konsentrasi kecil dicampurkan di dalam sebuah alat suntik daripada di dalam kantung infus
dengan volume yang lebih besar. Hal ini terjadi karena konsentrasi obat yang lebih tinggi dan
perubahan PH yang lebih besar dalam konsentrasi yang kecil. Tidak terlihat suatu perubahan
terhadap larutan setelah pencampuran tidak serta merta berarti tidak ada degradasi salah satu atau
kedua komponen.

Obat-obatan yang Mengendap Saat Dilusi


Pengendapan suatu obat dari larutan injeksi dalam bentuk konsentrat saat dicampurkan
dengan air atau larutan garam bersifat kontra intuitif. Namun sejumlah larutan injeksi
diformulasikan dalam bahan pelarut tidak encer untuk mempermudah kelarutan zat yang tidak
begitu larut dalam air dalam volume kecil. Dengan formulasi ini pengenceran media injeksi tidak
encer dengan air atau larutan garam dapat mengendapkan obat.
Masalah ini sering terlibat ketika injeksi diazepam dicairkan. Diazepam tidak dapat larut
dengan baik dalam air sehingga diformulasi sebagai suatu larutan injeksi dalam sebuah media
yang terdiri dari propilen glikol 50% dan etanol 10%. Awalnya pengenceran menimbulkan
sedikit kekeruhan namun akan bersih kembali setelah pencampuran namun pengenceran lebih
dari empat kali dapat menimbulkan pengendapan berwarna putih keruh dan tidak akan jernih
hingga pengenceran dalam jumlah besar selanjutnya.

Presipitasi Obat Akibat Perubahan PH Setelah Pencampuran


Daya larut obat di dalam air meningkat dengan ionisasi molekul. Untuk suatu molekul
obat yang bertindak sebagai aseptor atau penerima proton (basa Lowry-Bronsted), ionisasi
diperoleh dengan formulasi di dalam suatu larutan pH rendah biasanya sebagai garam sulfat atau
hdroklorida (misalnya amiodaron HCl atau adrenalin, asam tartat). Sebaliknya untuk suatu
molekul obat yang bisa kehilangan proton atau hidrogen (asam Lowry-Bronsted- biasanya asam
organik lemah), ionisasi diperoleh dengan formulasi di dalam suatu larutan pH tinggi biasanya
sabagai natrium. Penurunan skala pH yang akan menurunkan proporsi obat yang dionisasi
dengan yang tidak dionisasi di dalam larutan sehingga akan menurunkan daya larut obat di dalam
air. Contoh yang paling menonjol adalah dari penurunan daya larut terkait pH adalah
pengenceran injeksi fenitoin natrium. Obat ini diformulasikan dengan pelarut tidak encer dan
larutan disesuaikan dengan pH 12. Pengenceran fenitoin dapat disuntikkan dengan
memasukkannya ke dalam sebuah kantong infus akan menurunkan pH sehingga menurunkan
daya larutnya dan akhirnya menimbulkan pengendapan obat. Larutan infus glukosa 5%, dengan
pH 4,3-4,5 dapat mengendapkan fenitoin secara cepat. Memang injeksi fenitoin sangat sulit
tercampur sehingga tidak begitu sering dicampur dengan larutan lain.

Reaksi Ion yang Membentuk Zat-Zat Tidak Larut


Garam kation tunggal seperti natrium dan kalium umunya lebih mudah larut daripada
garam kation divalen seperti kalsium dan magnesium. Pencampuran larutan yang mengandung
kalsium dan magnesium menimbulkan risiko pembentukan garam kalsium atau magnesium yang
tidak dapat larut. Pencampuran magnesium sulfat 50% dan kalsium klorida 10% menimbulkan
pengendapan kalsium sulfat yang tidak dapat larut. Pencampuran garam kalsium dalam obat dan
magnesium, dengan fosfat, karbonat, bikarbonat, tartarat atau sulfat harus dihindari. Sebuah
peringatan baru-baru ini dikeluarkan tentang pencampuran larutan yang mengandung kalsium,
termasuk larutan Hartmann’s, dengan seftriakson karena menyebabkan pembentukan garam
kalsium seftrikaon yang tidak dapat larut.

Denaturasi Molekul-Molekul Biologi


Zat-zat termasuk produk-produk darah dan insulin rentan terhadap denaturasi ketika
bercampur larutan dengan variasi pH dan osmolatilitas. Meskipun data-data tentang
ketercampuran obat sudah ada yang dipublikasikan untuk insulin dan beberapa produk darah
sebagian besar obat-obatan biologi yang ada di pasaran saat ini seperti infliximab, interferon dan
faktor koagulasi rekombinan belum memiliki data sementara pencampuran dengan obat-obatan
lain tidak direkomendasikan.

Pembentukan Gas
Penambahan larutan obat yang bersifat asam ke suatu larutan yang mengandung karbonat
atau bikarbonat bisa menimbulkan produksi gas karbondioksida. Namun pembentukan gas
merupakan bagian normal dari penyusunan kembali beberapa jenis obat terutama setazidim
(Syamsudin, 2011).

2.4.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketercampuran dan Stabilitas


1) PH, jika pH suatu campuran obat tidak cocok dengan obat yang lain, maka obat ini akan
turun atau mengendap.
2) Reaksi Pembentukan Senyawa Kompleks, contohnya kombinasi tetrasiklin dengan obat
yang mengandung kalsium. Kompleks kimia yang terbentuk antara tetrasklin dengan
kalsium menurunkan aktivitas anti-bakteri tetrasiklin.
3) Cahaya, paparan sebagian obat dengan cahaya bisa merusak atau menurunkan efek
farmakologi obat.
4) Dilusi, pencampuran elektrolit dalam pembuatan larutan nutrisi parenteral dapat dihindari
dengan memastikan bahwa elektrolit tersebut telah dicairkan dengan tepat sebelum
dikombinasikan.
5) Waktu pencampuran, sebagian obat turun dalam waktu yang singkat setelah dimasukkan,
dan pada banyak obat, ketercampuran obat tidak terjadi secara instan, namun terjadi
perlahan.
6) Larutan I.V, sebagian obat memerlukan larutan khusus (diluents) untuk rekonstitusi dan
pengenceran lebih lanjut misalnya amfoterisin B harus direkonstitusi dengan air steril
untuk injeksi tanpa agen bakteristatis dan dilarutkan kembali hanya dengan injeksi
dekstrosa 5%.
7) Suhu, degradasi suatu obat dalam larutan bisa dianggap sebagai suatu reaksi kimia.
Karena panas meningkatkan kecepatan reaksi kimia, maka larutan lebih stabil di bawah
suhu dingin daripada suhu ruangan.
8) Kapasitas Larutan Dapar, adalah kemampuan larutan tersebut untuk menolak terjadinya
perubahan pH ketika ditambahkan dengan zat yang bersifat asam atau basa.
9) Komposisi Pnecampuran, obat-obat dalam bentuk larutan konsentrat bisa bereaksi
sehingga membentuk endapan, sementara dalam bentuk larutan encer, kedua obat bisa
dicampurkan dengan baik.
10) Plastik, obat bisa melepaskan bahan pembuat plastik dari kantong atau alat
penatalaksanaan atau obat bisa melekat pada kantong sehingga efek terapi yang
diinginkan tidak dapat diperoleh.
11) Saringan (Filter), filter akhir menimbulkan masalah dalam penyaluran obat kepada
pasien meskipun secara teknis masalahnya bukanlah ketercampuran atau masalah
stabilitas.
 Sumber informasi yang paling sering digunakan tentang obat tidak tercampurkan adalah
sisipan kemasan dari pabrik, diagram obat tidak tercampurkan, artikel publikasi, dan
buku referensi (Syamsudin, 2011).
2.4.2 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi Farmakokinetik adalah mekanisme yang terjadi apabila satu obat mengubah
absorbsi, distribusi, metabolisme/transformasi dan eliminasi obat lain, sehingga interaksi ini
meningkatkan atau mengurangi jumalah obat yang tersedia.
1) Interaksi dalam absorbsi di saluran cerna
Interaksi obat dalam saluran cerna meliputi :

a) Perubahan pH Saluran Cerna


Dalam kondisi kosong, pH lambung rendah (1-3) karena lambung memproduksi asam.
Dengan adanya peningkatan atau penurunan PH lambung dapat menyebabkan perubahan
kelarutan obat yang akhirnya berpengaruh terhadap absorbsi obat.

b) Interaksi langsung
Interaksi secara fisik atau kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum
absorbsi dapat menggangu proses absorbsi. Sehingga pengurangan jumlah total obat yang
diabsorbsi dapat berakibat pada pengobatan yang efektif.

c) Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus (Motilitas Saluran
Cerna)
Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan jumlah obat
yang diabsorbsi. Ini berarti kecepatan pengosongan lambung hanya mengubah tinggi kadar
puncak dan waktu untuk mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavailabilitas obat.

d) Waktu transit dalam usus


Biasanya hanya mempengaruhi absorbsi obat yang sukar larut dalam cairan saluran cerna
atau sukar diabsorbsi sehingga memerlukan waktu untuk melarutkan dan diabsorbsi, serta obat
yang diabsorbsi secara aktif hanya di satu 20 segmen usus. Obat yang memperpendek waktu
transit dalam usu sehingga mempengaruhi jumlah absorbs obat tersebut.
e) Kompetisi untuk mekanisme absorbsi obat

f) Obat yang analog dengan makanan


Obat yang analog dengan makanan (levodopa, metildopa, dan G-merkaptopurin) akan
diabsorbsi melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme untuk zat makanan sehingga
absorbsi obat tersebut dapat dihambat secara kompetitif oleh zat makanan yang bersangkutan.

g) Perubahan flora usus


Pemberian anti bakteri berspektrum lebar akan mengubah atau mensupresi flora normal
usus sehingga dapat meningkatkan atau mengurangi efektifitas obat-obat tertentu.

h) Efek toksik pada Saluran Cerna


Terapi kronik dengan obat-obat tertentu (asam mefenamat, neomisin, kolkisin) dapat
menyebabkan absorbsi obat lain terganggu.

i) Mekanisme tidak diketahui.

2) Interaksi dalam distribusi


a) Interaksi dalam ikatan protein plasma
Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat beberapa obat, terdapat kemungkinan
persaingan terhadap tempat ikatan pada protein plasma. Persaingan terhadap ikatan protein hanya
relevan jika mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma dan volume ditribusi yang kuat,
indeks terapi yang sempit, juga jika efek toksik yang serius telah terjadi sebelum kompensasi
tersebut terjadi, serta jika obat tersebut eliminasinya mengalami kejenuhan sehingga
peningakatan kadar obat beba tidak disetai dengan kecepatan eliminasi.
b) Interaksi dalam ikatan jaringan
Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoksin dan kuinidin,
dengan akibat peningkatan kadar garam digoksin.
c) Interaksi dalam metabolisme
Metabolisme suatu obat dapat dipercepat oleh adanya induktor enzim metabolisme
(fenobarbital, fenitoin, rifampisin, karbamazepin, etanol, fenilbutazon, dan lain-lain). Selain itu
metabolisme juga dapat diperlambat oleh adanya inhibitor enzim (eritromisin, ketokonazol,
kloramfenikol, dikumarol, disulfiram, simetidin, dan propoksiten). Hal ini juga dapat
mengakibatkan penurunan atau peningkatan kadar obat yang berefek dalam plasma (Ganiswarna,
1995 dalam Fajar, 2010).

d) Interaksi dalam proses eliminasi


Interaksi pada eliminasi melalui ginjal dapat terjadi akibat perubahan pH dalam urine atau
karena persaingan tempat ikatan pada sistem transport yang befungsi untuk sekresi atau
reabsorbsi aktif. Jadi senyawa yang menurunkan pH dapat memperbesar eliminasi basa lemah
karena senyawa ini terdapat dalam keadaan terionisasi, sedangkan senyawa yang menaikkan pH
dapat memperkecil eliminasi basa lemah.

2.4.3 Interaksi Farmakodinamik


Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor
yang sama sehingga terjadi efek aditif, sinergistik atau antagonistic. Mekanisme interaksi yang
terjadi antara lain adalah sinergisme dan aditif, antogonisme, perubahan mekanisme transport
obat dan gangguan cairan dan elektrolit (Stockley, 1994 dalam Fajar 2010).

Interaksi farmakodinamik terjadi pada :


1) Interaksi pada reseptor
Interaksi pada sistem reseptor yang sama biasanya merupakan interaksi antagonisme
antara agonis dan antagonis atau pengeblok dari reseptor yang bersangkutan.

2) Interaksi fisiologik
Interaksi pada sistem fisiologik sama dapat meningkatkan atau menurunkan respon.

3) Perubahan dalam kesetimbangan cairan dan elektrolit


Perubahan kesetimbangan cairan dan elektrolit dapat mengubah efek obat yang bekerja
pada jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal.

4) Gangguan mekanisme pengambilan amin di ujung saraf adrenergik


Penghematan saraf adrenergik diambil oleh ujung saraf adrenegik dengan mekanisme
transport aktif untuk norepinefrine. Mekanisme pengambilan ini diperlukan agar obat yang
bekerja pada saraf tersebut dapat dihambat secara kompetitif oleh amin simpatomimetik, obat
yang dapat menekan nafsu makan, dan antidepresi trisiklik, sehingga obat-obat ini
mengantagonis efek hipotensif penghambat saraf adrenegik.

5) Interaksi dengan penghambat Monoamin oksidase (penghambat MAO)


Penghambat MAO menghasilkan akumulasi norepinefrin dalam jumlah besar di ujung
saraf adrenegik. Pemberian penghambat MAO bersama amin simpatomimetik kerja tidak
langsung menyebabkan pelepasan norepinefrin jumlah besar tersebut sehingga terjadi krisis
hipertensi (Ganiswarana, 1995 dalam Fajar 2010).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan
Interaksi obat yang terjadi dalam proses absorpsi menyebabkan terjadinya interaksi
langsung secara fisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sehingga pembentukan
endapan, perubahan warna, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat
inaktivasi obat. Contoh interaksi obat dalam proses absorpsi dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Contoh Obat Beinteraksi dalam proses absorpsi

Obat yang Dipengaruhi Obat yang mempengaruhi Efek interaksi

Digoksin Metoklopramida Absorpsi digoksin dikurangi


Propantelin Absorpsi digoksin ditingkatkan
(karena perubahan motilitas usus)

Digoksin Kolestiramin Absorpsi dikurangi karena ikatan


Tiroksin dengan
Warfarin Kolestiramin
Ketokonazol Antasida Absorpsi ketokonazol dikurangi
Penghambat H2 karena disolusi yang berkurang

Penisilamin Antasida yang mengandung Pembentukan khelat penisilamin


Al3+, Mg2+ , preparat besi, yang kurang larut menyebabkan
Makanan berkurangnya absorpsi penisilamin

Penisilin Neomisin Kondisi malabsorpsi yang


diinduksi neomisin
Antibiotik kuinolon Antasida yg mengandung Terbentuknya kompleks yang
Al3+,Mg2+ , Fe2+, Zn, susu sukar terabsorpsi
Tetrasiklin Antasida yang mengandung Terbentuknya kompleks yang
Al3+, Mg2+ , Fe2+, Zn, susu sukar terabsorpsi
1) Fenitoin dengan NaCl 0,9%
Fenitoin merupakan obat yang digunakan untuk mencegah serangan epilepsi (kejang) dan
NaCl 0,9% merupakan cairan infus. Analisa kompatibilitas pada contoh obat yang pertama
menunjukkan terjadi pengendapan fenitoin setelah pencampuran dengan NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat. Pelarut yang disarankan untuk pencampuran injeksi fenitoin natrium adalah NaCl 0,9%
(Trissel, 2009 dalam Henny, 2014). Pengendapan terjadi diduga disebabkan berkurangnya
kelarutan fenitoin natrium di dalam pelarut campur. Pengalaman farmasis di rumah sakit
menunjukkan bahwa pencampuran dengan larutan NaCl 0,9% dengan merek tertentu dapat
menghasilkan injeksi fenitoin natrium tanpa pengendapan. Disamping itu, inkompatibilitas
lainnya adalah berkurangnya kadar obat terlarut selama penyimpanan pada suhu kamar. Oleh
sebab itu sangat disarankan larutan injeksi antibiotika segera diberikan kepada pasien setelah
direkonstitusi. Bila harus disimpan, disarankan di dalam lemari pendingin (Henny, 2014).

2) Penicilin G dengan Vitamin C


Penisilin merupakan antibiotik yang digunakan dalam penyembuhan penyakit infeksi
karena bakteri dan vitamin merupakan vitamin golongan antioksidan yang mampu menangkal
radikal bebas. Pada kasus kedua pada pencampuran penisillin dengan vitamin C, disini penisillin
menyebabkan vitamin C teroksidasi sehingga dapat meniadakan efek dari vitamin C tersebut dan
menjadi inaktif. Oleh sebab itu, sebaiknya vitamin c ditempatkan dalam wadar berwarna gelap (
terlindung dari cahaya ) (Aminah Dalimunthe, 2009).

3) Amfoterisin dengan Larutan garam fisiologis/ larutan Ringer


Amfoterisin merupakan obat anti jamur golongan polyene. Amfoterisin jika dicampurkan
dengan larutan garam fisiologis maka akan terbentuk suatu senyawa kompleks antara amfoterisin
dengan larutan Ringer. Hal ini dapat menyebabkan proses pengendapan. Amfoterisin akan
mengendap dalam larutan garam fisiologis/ larutan ringer. Oleh karena itu Amfoterisin tidak
dicampur bersamaaan dengan larutan Ringer (Atika, 2016) .
4) Karbenesilin dengan Gentamisin
Karbenesilin merupakan antibiotik yang aktif melawan organisme tertentu seperti e coli
dan gentamisin juga merupakan antibiotik yang ampuh terhadap bakteri gram negatif.
Karbenisilin sebaiknya tidak dicampur dengan gentamisin, Karena jika diberikan bersama
karbenisilin akan dapat menghambat kerja gentamisin. Hal ini membua genamisin menjadi tidak
aktif selain itu karbenisilin akan rusak. Oleh karena itu sebaiknya kedua obat tersebut tidak
dicampur secara bersamaan (Atika, 2016).

5) Penisilin dengan Hidrocortison


Pencampuran penisillin dengan hidrokortison dapat membentuk senyawa kompleks,
sehingga akan menghambat proses absorpsi atau penyerapannya.

6) Penisilin dengan Larutan RL (Ringer Laktat)


Penisilin merupakan salah atu antibiotik yang apabila di campurkan dengan larutan RL
akan bereaksi membentuk suatu senyawa kompleks sehingga dapat terjadi proses pengendapan.
Hal ini membuat penisilin menjadi tidak aktif karena endapan yang dihasilkan. Untuk itu
penisilin sebaiknya tidak dicampur bersamaan dengan larutan RL (Atika, 2016).
7) Rifampisin dengan Isoniazid (INH)
Rifampisin dapat bereaksi dengan isoniazid (INH) pada proses pencampuran. Bila
digerus bersamaan, maka menurunkan aktifitas INH, hl ini dikarenakan sifat rifampisin yang
higroskopis. Efek yang ditimbulkan aalah INH mengalami penurunan aktifitas. Oleh karena itu,
pemberian obatnya harus dipisah, dan tidak digerus bersama pada saat pembuatan (Atika, 2016).

8) Aspirin dengan Natrium Bikarbonat


Pencampuran aspirin dengan natrium bikarbonat membuat aspirin tidak ada aktivitas
karena dalam udara terdapat H2O kemungkinan terjadinya hidrolisis aspirin. Oleh karena itu
pemakaian wadah ampul yang berwarna gelap diperlukan (menghindari terjadinya hidrolisis)
9) Digoxin dengan Dekstrosa 5% & NaCl 0.9%
Digoxin dengan dextrose 5% ataupun digoxin dengan NaCl 0,9% akan terbentuk
endapan yang dapat menyumbat pembuluh darah dan juga dan menyebabkan digoxin menjadi
tidak aktif. Maka sebaiknya digoxin dan dekstrosa 5% tidak diberikan secara bersamaan.

10) Sulbacef (Sefoperazon Natrium 500 mg dan Sulbaktam Natrium 500 mg) dengan
Aminoglikosida, larutan Ringer Laktat atau 2% larutan Lidokain HCl.

Sulbacef dengan aminoglikosida, larutan Ringer Laktat atau 2% larutan Lidokain HCl
terjadi inkompatibilitas diantara keduanya sehingga obat-obat ini dapat diberikan melalui infus
intravena berkala secara berurutan dan terpisah dimana saluran infus harus dibilas dengan pelarut
terlebih dahulu pada saat pergantian obat. Karena jika diberikan bersamaan akan terjadi
inkompatibilitas fisik diantara keduanya sehingga Sulbacef berkurang efektifitasnya.

Upaya Menimimalkan Ketidaktercampurkan


a. Gunakan larutan dengan cepat setelah preparasi untuk menjamin pemberian produk yang
paling stabil karena degradasi banyak obat dipengaruhi oleh waktu. Jika campuran obat
yang baru dibuat tidak bisa digunakan segera maka dimasukkan ke lemari pendingin.
b. Minimalkan jumlah obat yang ditambahkan ke satu larutan, semakin banyak jumlah
tambahan obat kemungkinan ketidak-tercampurkan naik secara geometris. Jika lebih dari
dua obat dicampurkan di dalam satu larutan, maka sulit untuk memperoleh informasi
tentang potensi tidak tercampurkan di dalam campuran yang dihasilkan.
c. Periksa referensi obat tidak tercampurkan secara dekat jika salah satu obat memiliki pH
yang sangat tinggi atau sangat rendah. Karena sebagian obat bersifat asam, maka
kombinasi dengan obat yang memiliki Ph sangat tinggi, seperti sodium bikarbonat atau
aminofilin, berpeluang lebih besar menimbulkan ketidak tercampurkan
d. Periksa referensi obat tidak tercampurkan secara teliti jika salah satu obat tambahan
adalah obat yang mengandung kalsium, magnesium, atau fosfat karena zat-zat ini
menyebabkan pengendapan
e. Periksa referensi obat tidak tercampurkan secara teliti jika salah satu obat atau larutan I.V
mengandung asetat atau laktat (zat-zat yang memiliki kapasitas buffer) (Syamsudin,
2011).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1) Prinsip interaksi farmasetik yaitu interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, yang
hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan presipitan/endapan, kekeruhan,
perubahan warna, pengeluaran gas dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat.
2) Inkompatibilitas dapat terjadi dengan dua cara, interaksi secara fisik dan interaksi secara
kimia : a) inkompatibilitas fisik, b) inkompatilibilitas kimia
3) Mekanisme obat tidak tercampurkan, obat-obatan yang mengendap saat dilusi,
presipitasi obat akibat perubahan ph setelah pencampuran, denaturasi molekul-molekul
biologi, pembentukan gas
4) Meskipun hampir mustahil untuk menghilangkan seluruh agen-obat tidak tercampurkan
beberapa kombinasi dapat merespon terhadap langkah-langkah perbaikan berikut:
a) Penambahan bahan yang tidak mengubah nilai terapis (seperti penambahan suatu bahan
untuk mengubah daya larut suatu agen)
b) Penghilangkan agen yang tidak memiliki nilai terapi atau yang dapat diberikan secara
terpisah
c) Perubahan bahan (misalnya penggantian bahan yang tidak dapat larut dengan bahan yang
dapat larut)
d) Mengubah zat pelarut
e) Penggunaan teknik-teknik khusus dalam pencampuran
4.2 Saran
Karena kebanyakan interaksi obat memiliki efek yang tak dikehendaki, sebaiknya dalam
penggunaan obat yang akan dikombinasikan, dokter harus lebih memahami reaksi kimia atau
inkompatibilitas dari pada obat yang akan diberikan, terutama untuk obat injeksi dan infus.
DAFTAR PUSTAKA

Bonajaya Alex. 2011. Interaksi Obat diluar Tubuh.


file:///C:/Users/ASUS/Documents/JURNAL/alx_%20interaksi%20obat%20di%20luar%20
tubuh.html. Diakses tanggal 4 Oktober 2016

Dalimunthe Aminah. 2009. Interaksi Pada Obat Antimikroba. Jurnal. Universitas Sumatera
Utara.

Efmaralda Verona S. 2016. Pengaruh Drug Related Problems Terhadap Outcomes Klinik Pasien
Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan Periode Juli 2014-
2015. Skripsi.Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Gitawati Retno. 2008. Interaksi Obat Dan Beberapa Implikasinya. Artikel. Media Litbang
Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008.
.
Linnisaa, Hasanah Uswatun dan Wati Endra Susi. 2014. Rasionalitas Peresepan Obat Batuk
Ekspektoran Dan Antitusif Di Apotek Jati Medika Periode Oktober-Desember 2012.
Indonsian Journal on Medical Science – Volume 1 No 1.

Lucida Henny dkk. 2014. Kajian Kompatibilitas Sediaan Rekonstitusi Parenteral Dan
Pencampuran Sediaan Intravena Pada Tiga Rumah Sakit Pemerintah Di Sumatera Barat.
Jurnal. Universitas Andalas Padang.

Rani Atika J. 2016. Interaksi Obat diluar Tubuh Manusia.


https://www.scribd.com/doc/302200811/Interaksi-Obat-Diluar-Tubuh-Manusia. Diakses
tanggal 5 Oktober 2016

Silalahi David. 2015. Interaksi Obat diluar Tubuh.


https://www.scribd.com/doc/285209045/Interaksi-Obat-Diluar-Tubuh. Diakses tanggal 6
Oktober 2016

Susilo Fajar A.T. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Instalasi
Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Syamsudin. 2011. Interaksi Obat : Konsep Dasar dan Klinis. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-
Press).

Anda mungkin juga menyukai