Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Tn.

I
DENGAN DIAGNOSA MEDIS POST CRANIOTOMY H-3
DI RUANG ICU RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

DISUSUN OLEH:
FEBRY WULANDARI
2013.C.05A.0484

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2018
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA Tn. I
DENGAN DIAGNOSA MEDIS POST CRANIOTOMY H-3
DI RUANG ICU RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Pada Pendidikan Profesi Ners


Stase Keperawatan Gawat Darurat

DISUSUN OLEH:
FEBRY WULANDARI
2013.C.05A.0484

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2018
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Febry wulandari
NIM : 2013.C.05A.0484
Program Studi : Profesi Ners
Judul asuhan keperawatan : Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Tn. I
dengan Diagnosa Medis Post Craniotomy H-3 di
Ruang ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Asuhan Keperawatan ini


merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan plagiat. Begitu pula hal yang terkait
di dalamnya baik mengenai isinya, sumber yang dikutip atau dirujuk, maupun
teknik di dalam pembuatan dan penyusunan laporan ini.
Pernyataan ini akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya, apabila di
kemudian hari terbukti bahwa asuhan keperawatan ini bukan hasil karya saya atau
plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi atau perbuatan tersebut berdasarkan
peraturan yang berlaku.

Dibuat di : Palangka Raya


Pada tanggal : 23 Mei 2018

Yang Menyatakan,

Febry Wulandari
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan keperawatan ini disusun oleh:


Nama : Febry wulandari
NIM : 2013.C.05A.0484
Program studi : Profesi Ners
Judul asuhan keperawatan : Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Tn. I
dengan Diagnosa Medis Post Craniotomy H-3 di
Ruang ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.
Hari/tanggal : 23 Mei 2018

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Program Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat pada
Program Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya

PEMBIMBING PRAKTIK

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Meilitha Carolina, Ners.,M.Kep Rosaniah, S.Kep.,Ners

Mengetahui
Ketua Program Studi Profesi Ners

Meilitha Carolina, Ners.,M.Kep


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2011), cedera kepala biasanya
diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala
klien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan
keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama
dalam pencegahan komplikasi.
Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala
berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat
menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan
fungsi (Tarwoto, 2010).
Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2012), kualifikasi cedera kepala
berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk
menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada klien-klien cedera
kepala menggunakan metode skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale)
(Wahjoepramono, 2013).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia
kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari
jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih
dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala
tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di
bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka dirumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimana Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
pada Tn. I dengan diagnosa medis Post Craniotomy H-3 di ruangan ICU RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memperoleh pengetahuan atau mendapatkan kemampuan dalam
menyusun dan melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat pada klien
dengan diagnosa medis Post Craniotomy dengan menggunakan proses
keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penulisan ini agar dapat:
1) Mampu melakukan pengkajian status kesehatan pada klien dengan diagnosa
medis diagnosa medis Post Craniotomy di ruangan ICU RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
2) Mampu menegakkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien
dengan diagnosa medis diagnosa medis Post Craniotomy di ruangan ICU
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
3) Mampu membuat intervensi keperawatan sesuai dengan diagnosa yang muncul
pada klien dengan diagnosa medis diagnosa medis Post Craniotomy di ruangan
ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
4) Mampu membuat implementasi keperawatan sesuai dengan intervensi yang
dibuat pada klien dengan diagnosa medis diagnosa medis Post Craniotomy di
ruangan ICU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
5) Mampu membuat evaluasi asuhan keperawatan pada pada klien dengan
diagnosa medis diagnosa medis Post Craniotomy di ruangan ICU RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Teoritis
Dapat menambah pengetahuan dan keterampilan bagi mahasiswa dalam
memberikan asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan diagnosa medis
Post Craniotomy.
1.4.2 Praktis
1) Mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi semua mahasiswa tentang
asuhan kepearawatan pada klien dengan diagnosa medis Post Craniotomy, dan
bagi perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan khususnya
pada klien diagnosa medis Post Craniotomy.
2) Bagi Rumah Sakit
Memberikan informasi tentang penyakit diagnosa medis Post Craniotomy dari
penyebab, tanda dan gejala, serta perencanaan dan penatalaksanaan asuhan
keperawatan. Serta menjadi informasi sebagai bahan untuk meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan gawat darurat pada klien dengan diagnosa medis Post
Craniotomy.
3) Bagi Institusi Pendidikan
Laporan asuhan keperawatan ini dapat dijadikan sebagai salah satu
literatur/referensi oleh mahasiswa dalam membuat asuhan keperawatan pada
klien dengan diagnosa medis Post Craniotomy dan sebagai bahan belajar di
perpustakaan STIKes Eka Harap Palangka Raya. Sedangkan bagi dosen
laporan studi kasus ini dapat dijadikan bahan evaluasi. Bagi pembimbing
akademik pembuatan studi kasus ini dapat menjadi perbandingan sejauh mana
mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar


2.1.1 Definisi
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (Smeltzer, 2000 : 2210).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Rita Juliani, 2001).
Cedera Kepala sedang adalah suatu trauma yang menyebabkan Kehilangan
kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dapat
mengalami fraktur tengkorak dengan GCS 9-13.
2.1.2 Etiologi
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Jatuh
3) Trauma akibat persalinan: sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vakum
4) Pukulan
5) Cidera olah raga
6) Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya (Mansjoer, 2000)
2.1.3 Manifestasi Klinis
1) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak.
a. Trauma kepala tertutup
b. Trauma kepala terbuk
2) Trauma pada jaringan otak
a. Konkosio: ditandai adanya kehilangan kesadaran sementara tanpa adanya
kerusakan jaringan otak, terjadi edema serebral.
b. Kontosio: ditandai oleh adanya perlukaan pada permukaan jaringan otak
yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka, perlukaan pada
permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi yang terkena (coup)
atau pada permukaan sisi yang berlawanan (contra coup).
c. Laserasi: ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang subaraknoid, ruang
epidural atau subdural. Perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan
lambatnya pembentukan hematoma, karena rendahnya tekanan. Laserasi
arterial ditandai oleh pembentukan hematoma yang cepat karena tingginya
tekanan.
3) Hematom epidural
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater. Lokasi tersering
temporal dan frontal. Bersumber dari pecahnya pembuluh darah meningen
dan sinus venosus. Gejala yang timbul adalah penurunan kesadaran ringan
saat kejadian sampai penurunan kesadaran hebat atau koma, deserebrasi,
dekortisasi, pupil anisokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.
4) Hematom subdural.
a. Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
b. Biasanya pecah vena akut, sub akut, kronis.
a) Akut
 Gejala 24 – 48 jam.
 Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
 PTIK meningkat.
 Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.
b) Sub Akut
Berkembang 7-10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK
meningkat ssampai kesadaran menurun.
c) Kronis
 Ringan , 2 minggu – 3 – 4 bulan.
 Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
 Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.
5) Hematom intrakranial
Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih, selalu diikuti oleh kontosio.
Penyebabnya adalah fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi-
deselerasi mendadak. Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan
darah, edema lokal. Pengaruh trauma kepala dapat mempengaruhi beberapa
sistem seperti sistem pernapasan, sistem kardiovaskuler, dan sistem
metabolisme.
2.1.4 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-
60 ml/ menit/ 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
1) CT-Scan (dengan/ tanpa kontras)
Mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran jaringan otak.
2) Aniografi Cerebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma
3) X-Ray
Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan/edema)
4) AGD (Analisa Gas Darah)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan intrakranial
5) Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan
tekanan intrakranial
2.1.6 Penatalaksanaan Medis
1) Konservatif:
a. Bedrest total
b. Pemberian obat-obatan
c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
2) Obat-obatan
a. Dexamethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringanya trauma. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat),
untuk mengurangi vasodilatasi.
b. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
c. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
d. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel
(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
e. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 %
8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500-3000 TKTP).
3) Pembedahan
2.1.7 Komplikasi
1) Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi.
2) Edema Cerebral : Terutama besarnya massa jaringan di otak di dalam rongga
tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup.
3) Peningkatan tekanan intrakranial: terdapat perdarahan di selaput otak.
4) Infeksi.
5) Hidrosefalus.
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1) Pengkajian Primer
a. Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
b. Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama
pernapasan, tarikan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan,
pernapasan cuping hidung.
c. Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
d. Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
e. Exposure
Suhu, lokasi luka.
2) Pengkajian Sekunder
a. Identitas klien
Nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan. Terdapat identitas lengkap penderita
CKR.
b. Keluhan utama
Sering terjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung
seberapa jauh dampak dari trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala yang akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang
didapat, meliputi tingkat kesadaran menurun, konfulse, muntah, sakit kepala,
lemah, liquor dari hidung dan telinga serta kejang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cidera sebelumnya, DM, dan penggunaan obat-obatan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM.
3) Pengkajian Fisik
(1) B 1: Breathing (Pernafasan/Respirasi)
 Pola napas : Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.
 Bunyi napas: Bunyi napas normal; Vesikuler, bronchovesikuler.
 Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya
atelektasis, pnemotorak atau fibrosis pada pleura.
 Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema) merupakan
bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui sekresi di dalam
trakeobronkial dan alveoli.
 Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas dan
peningkatan usaha napas)
 Bentuk dada : Perubahan diameter anterior – posterior (AP)
menunjukan adanya COPD
 Ekspansi dada : Dinilai penuh / tidak penuh, dan kesimetrisannya.
 Sputum : Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan
konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik
dan astma bronkiale; sputum yang purulen (kuning hijau) biasa terjadi
pada pnemonia, brokhiektasis, brokhitis akut; sputum yang
mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC, dan
kanker paru.
(2) B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)
 Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler
 Distensi Vena Jugularis
 Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan
ventilator
 Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
 S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup mitral dan trikuspid.
 S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan
katup pulmonal dan katup aorta.
 S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi
ventrikel.
(3) B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
 Tingkat kesadaran
 Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala
pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon klien terhadap
lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka
mata, respon motorik, dan respon verbal.
 Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan
menjadi :
 Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya..
 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
 Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,
mampu memberi jawaban verbal.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
(4) B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
 Kateter urin
 Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine.
 Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi
akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
 Distesi kandung kemih
(5) B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)
 Rongga mulut
 Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau
perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.
 Bising usus
 Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum
melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik
ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit.
 Distensi abdomen
 Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui
dengan memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi
abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena
penggunaan IPPV.
 Nyeri
 Dapat menunjukan adanya perdarahan gastrointestinal.
(6) B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
 Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
 Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran
mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok.
 Integritas kulit
 Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema
serebi
2) Intake nutrisi tidak adekuat berhubungan dengan mual muntah
3) Gangguan pola nafas berhubungan dengan difusi oksigen terhambat
4) Resiko gangguan intregitas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
5) Gangguan rasa nyaman nyeri kepala berhubungan dengan peningkatan TIK
6) Gangguan pola eliminasi urine berhubungan dengan Spasme bladder
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1) Diagnosa 1
Tujuan : perfusi jaringan serebral kembali normal
Kriteria hasil :
a. Vital sign membaik
b. Fungsi motorik dan sensorik membaik
Intervensi:
(1) Monitor vital sign
R/ mengetahui adanya resiko peningkatan TIK
(2) Monitor status neurologi dan haemodinamik
R/ memantau perkembangan keadaan
(3) Posisikan kepala klien head up 30 derajat
R/ mengurangi edema cerebri
(4) Kolaborasi pemberian Manitol sesuai advice dokter
R/ menutrisi otak
2) Diagnosa 2
Tujuan : intake nutrisi adekuat
Kriteria hasil :
a. Makan sesuai porsi yang disediakan
b. Mual muntah (-)
Intervensi:
(1) Kaji makanan kesukaan klien
R/ meningkatkan nafsu makan klien
(2) Anjurkan makan dengan porsi sedikit namun sering
R/ menghindari mual muntah
(3) Kolaborasi pemberian antiemetik
R/ menghilangkan mual dan muntah
3) Diagnosa 3
Tujuan : tidak terjadi gangguan pola napas
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan pola nafas efektif
b. Tidak menggunakan otot bantu pernafasan
Intervensi:
(1) Monitor vital sign
R/ memantau keadaan klien
(2) Berikan posisi semi foler
R/ memudahkan ekspansi paru
(3) Ajarkan teknik nafas dalam
R/ mencegah atau menurunkan atelektasis
(4) Kolaborasi pemberian oksigen
R/ mencegah hipoksia
4) Diagnosa 4
Tujuan : klien mampu mempertahankan keutuhan
Kriteria hasil :
 Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka, mengetahui penyebab
dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda kemerahan atau luka, kulit
kering.
Intervensi :
(1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM
R/ meningkatkan aliran darah ke semua tubuh
(2) Ubah posisi setiap 2 jam
R/ menghindar tekanan dan meningkatkan aliran darah
(3) Bersihkan dan keringkan kulit.jaga linen tetap kering
R/ meningkatkan integritas kulit.
5) Diagnosa 5
Tujuan : nyeri teratasi
Kriteria Hasil :
a. Klien tidak mengeluh nyeri
b. TTV normal
Intervensi:
(1) Observasi TTV
R/ mengetahui perkembangan keadaan klien
(2) Observasi nyeri
R/ mengetahui jenis nyeri yang dirasakan
(3) Berikan suasana lingkungan yang nyaman
R/ mempercepat penyembuhan
(4) Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi
R/ mengurangi nyeri secara non farmakologis
(5) Kolaborasi pemberian analgetik
R/ mengurangi nyeri secara farmakologis
6) Diagnosa 6
Tujuan : klien dapat mengontrol pengeluaran urine
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine.
b. Klien berkemih dalam keadaan rileks
Intervensi:
(1) Monitor keadaan bladder setiap 2 jam
R : membantu mencegah distensi atau komplikasi
(2) Tingkatkan aktivitas dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
R : meningkatkan kekuatan otot ginjal dan fungsi bladder
(3) Kolaborasi dalam bladder training
R : menguatkan otot dasar pelvis
(4) Hindari faktor pencetus inkontinensia urine seperti cemas
R : mengurangi / menghindari inkontinensia
(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan dan kateterisasi
R : mengatasi faktor penyebab
2.2.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi. 2012). Implementasi
merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat memberikan intervensi
keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien (Potter & Perry. 2009).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien. (Potter & Perry. 2009).
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses kepweawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak (Hidayat A. Aziz Alimul. 2007).
2.3 Intra Cerebral Hemorargic (ICH)
2.3.1 Definisi Intra Cerebral Hemorargic (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah
evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang
menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural. (Paula, 2010)
Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri.
Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala
terbuka. Intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik
akibat melebarnya pembuluh nadi. (Corwin, 2011).

2.3.2 Etiologi
Menurut Salman dalam American Heart Association (2014); Zuccarello
(2013) dan Chakrabarty & Shivane (2008) :
a. Penyakit pembuluh darah kecil: aterosklerosis, amiloid angiopati, genetik
b. Malformasi pembuluh darah: malformasi arteriovenous, malfomasi
cavernous
c. Aneurisma intracranial
d. Penakit vena : sinus serebral/ trombosis vena, dural arteriovenous fistula
e. Reversible cerebral
f. Sindrom vasokontriksi
g. Serangan jantung karena perdarahan
h. Trauma kepala : fraktur tengkorak dan luka penetrasi (luka tembak) dapat
merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
i. Hipertensi : peningkatan tekanan darah menyebabkan penyempitan arteri
yang kemudian pecahnya arteri di otak
j. Kehamilan: eklamsia, trombosis vena
k. Merokok
l. Tidak diketahui

2.3.3 Manifestasi Klinik


Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intracerebral Hematoma
yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan
tekanan intra cranium.

2.3.4 Patofisiologi
Perdarahan intracerebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria
serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari
pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau
didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan.
Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga
mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat
menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-
aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada
arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadang-
kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak.
Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan
menjadi penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik,
sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak
sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2
dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat.
Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih
lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi (ireversibel) dan
kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial dan
menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat
berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal.
Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa
menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009).

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang


Menurut American Heart Association (2014); Zuccarello (2013) dan
Chakrabarty & Shivane (2008) pemeriksaan penunjang untuk ICH adalah:
a. Angiografi
Angiografi berfungsi untuk menyelidiki keadaan normal dan patologis
dari sistem kapal penyempitan dan obstruksi lumen terutama atau
pelebaran aneurismal. Selain kondisi tumor, malformasi arteriovenosa
(AVM) dan fistula arteriovenosa (aVF) atau sumber perdarahan diselidiki
dengan angiografi.
b. Lumbal pungsi
c. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) atau pencitraan resonansi magnetik
adalah alat pemindai yang memanfaatkan medan magnet dan energi
gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam
tubuh. MRI dapat memberikan informasi struktur tubuh yang tidak dapat
ditemukan pada tes lain, seperti X-ray,ultrasound, atau CT scan.
Beberapa penyakit pada otak dan saraf tulang belakang yang dapat
didiagnosis dengan MRI, antara lain stroke, tumor, aneurisma, multiple
sclerosis, cedera saraf tulang belakang, serta gangguan mata dan telinga
bagian dalam.
d. Thorax photo
e. Laboratorium
f. EKG
g. CT Scan
Pemindai CT-scan atau CT-scanner (computerized tomography scanner)
adalah mesin sinar-x khusus yang mengirimkan berbagai berkas
pencintraan secara bersamaan dari sudut yang berbeda. Berkas-berkas
sinar-X melewati tubuh dan kekuatannya diukur dengan algoritma
khusus untuk pencitraan. Berkas yang telah melewati jaringan kurang
padat seperti paru-paru akan menjadi lebih kuat, sedangkan berkas yang
telah melewati jaringan padat seperti tulang akan lemah.

2.3.6 Terapi Farmakologi


1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk mengurangi
vasodilatasi.
3) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
5) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel
(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
6) Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu banyak cairan. Dextrosa 5% 8
jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadran rendah maka makanan diberikan.
2.4 Craniotomy
2.4.1 Definisi Craniotomy
Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala)
dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. (Brown,
2011).
Craniotomy ialah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan
untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Prosedur ini dilakukan untuk
menghilangkan tumor, mengurangi TIK, mengevakuasi bekuan darah dan
mengontrol hemoragi. (Brunner and Suddarth, 2015).

2.4.2 Tujuan
Craniotomy adalah jenis operasi otak. Ini adalah operasi yang paling umum
dilakukan untuk otak pengangkatan tumor. Operasi ini juga dilakukan untuk
menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari
pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki
malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk
menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk
melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.

2.4.3 Indikasi
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai
berikut:
a. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial.
c. Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah,
e. Pembenahan organ-organ intrakranial,
f. Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage),
h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)
i. Peradangan dalam otak
j. Trauma pada tengkorak.
2.4.4 Penatalaksanaan Medis
1. Pra operasi
Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan
medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang
pascaoperasi. Sebelum pembedahan, steroid (deksametason) dapat diberikan
untuk mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens
hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara
intravena segera sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien
cenderung menahan air, yang terjadi pada individu yang mengalami
disfungsi intrakranial. Kateter urinarius menetap di pasang sebelum pasien
dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan kandung kemih selama
pemberian diuretik dan untuk memungkinkan haluaran urinarius dipantau.
Pasien dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau
deazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit kepala di
cukur segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga
adanya abrasi superfisial tidak semua mengalami infeksi.
2. Pasca operasi
Jalur arteri dan jalur tekanan vena sentral (CVP) dapat dipasang untuk
memantau tekanan darah dan mengukur CVP. Pasien mungkin atau tidak
diintubasi dan mendapat terapi oksigen tambahan.
Mengurangi Edema Serebral : Terapi medikasi untuk mengurangi edema
serebral meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum
dan menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-otak utuh).
Cairan ini kemudian dieksresikan malalui diuresis osmotik. Deksametason
dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ;
selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap.
Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang : Asetaminofen biasanya
diberikan selama suhu di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien
akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat
syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein,
diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit
kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, deazepam) diresepkan untuk
pasien yang telah menjalani kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi
epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau
untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik.
Memantau Tekanan Intrakranial : Kateter ventrikel, atau beberapa tipe
drainase, sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk
tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke sistem drainase eksternal.
Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK
dapat di kaji dengan menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke selang
bertekanan dan tranduser. TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok.
Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada
semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk
menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan
kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat
ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu
kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau ventrikel kadang dilakuakan
sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial,
terutama pada pasien tumor fossa posterior.

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Arterigrafi atau Ventricolugram ; untuk mendeteksi kondisi patologi
pada sistem ventrikel dan cisterna.
b. CT – SCAN ; Dasar dalam menentukan diagnosa.
c. Radiogram ; Memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
struktur, penebalan dan klasifikasi; posisi kelenjar pinelal yang
mengapur; dan posisi selatursika.
d. Elektroensefalogram (EEG) : Memberi informasi mengenai perubahan
kepekaan neuron.
e. Ekoensefalogram : Memberi informasi mengenai pergeseran kandungan
intra serebral.
f. Sidik otak radioaktif : Memperlihatkan daerah-daerah akumulasi
abnormal dari zat radioaktif. Tumor otak mengakibatkan kerusakan
sawar darah otak yang menyebabkan akumulasi abnormal zat
radioaktif.

2.4.6 Perawatan Post Operasi


1. Tindakan keperawatan post operasi
a. Monitor kesadaran, tanda – tanda vital, CVP, intake dan out put
b. Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati –
hati jangan sampai drain tercabut.
d. Perawatan luka operasi secara steril
2. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan
menelan makanan sesudah pembedahan, makanan yang dianjurkan
pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan
vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan
luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan
membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan
infeksi.
Pembatasan diet yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral) Biasanya
makanan baru diberikan jika:
a. Perut tidak kembung.
b. Peristaltik usus normal
c. Flatus positif
d. Bowel movement positif
3. Mobilisasi
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya
stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap
dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang
menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini
4. P e m e n u h a n k e b u t u h a n e l i m i n a s i
Sistem Perkemihan
 Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post
anesthesia inhalasi, IV, spinal
Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi → retensio urine.
 Pencegahan : inpeksi, palpasi, perkusi → abdomen bawah (distensi buli
– buli)
 Dower catheter → kaji warna, jumlah urine, out put urine <30 ml/jam
→ komplikasi ginjal
System Gastrointestinal
 Mual muntah → 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat
menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK
pada bedah kepala dan leher serta TIO mneingkat
 Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus
 Kaji paralitik ileus → suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus
 Jumlah warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam
 Insersi NGT intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan
decompresi dan drainase lambung
 Meningkatkan istirahat.
 Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
 Memonitor perdarahan.
 Mencegah obstruksi usus.
 Irigasi atau pemberian obat.
DAFTAR PUSTAKA

Neal, M.J. 2015. At a Glance: Farmakologi Medis.


Pearce, E.C. 2016. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.

Rubenstein, D., et al. 2017. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta:


Erlangga.

Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.


Zuccarello, M. 2013. “Intracerebral Hemorrhage (ICH)” University of
Cincinnati Department of Neurosurgery. Ohio: Mayfield Clinic.
Abdul Hafid. 2010. Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu
Bedah XI -Traumatologi: Surabaya.

Doenges M.E. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Klien Edisi 3. EGC:
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai