Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
2
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi,
yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11
2.4. KLASIFIKASI
3
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum
4
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal
convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
5
2.5. PATOFISIOLOGI
6
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
2.6 GEJALA
7
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.14
8
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan
penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
9
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis.
Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
10
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.
11
2.9 TERAPI
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:
12
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
13
Clonazepam + (C) - - - -
14
15
16
PENGHENTIAN OAE5,6,18
Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-
5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60%
pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.
-Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangkat waktu 3-6 bulan
17
-Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
-Epilepsi simtomatis
STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak
terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif
harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit.
SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan
terapi segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit). Dikenal
18
dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak
terdapat bangkitan motorik).
19
Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.
Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif8
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik
termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”.
SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu bangkitan tonik
klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.
Klasifikasi Status Epileptikus
Berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general
Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)
- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )
- SE-NK fokal
20
Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama
selama diperjalanan menuju rumah sakit.
Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:8
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital
lain.
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang
digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau
Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien
sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma
adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.8
21
Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap
Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit)
Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium,
magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila
diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak
jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi kemungkinan aspirasi.
Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan otak dan
dan pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah,
pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh
dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli neurologi. Monitor EEG perlu
pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan status
epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan
utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder
adalah munculnya pola burst suppression.
22
Stadium premonitory (sebelum ke rumah sakit)
SE Dini
Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit kemudian bila kejang
masih berlanjut, atau midazolam 10 mg diberikan intrabuccal( belum tersedia
di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut.
SE Menetap
Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus, diulang
satu kali setelah 10-20 menit). Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien
sudah pernah mendapat terapi OAE .
SE Refrakter a
Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10-15
mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
-Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
-Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5mg/kg/jam dititrasi naik
sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkankarena saturasi pada
lemak. Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau ektrografis terakhir, kemudian dosis diturunkan perlahan
Anastesi umum dilakukan 60/90 menit setelah terapi awal gagal
23
penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar
Lamotrigine, topiramate,
methylphenidate, steroid
oral
thiopentone, Phenobarbital,
BAB 3
LAPORAN KASUS
24
3.1. Identitas Pasien
Nama : WM
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Hindu
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Penggangguran
Alamat : dsn corot ds cempaga
Tanggal MRS : 30 mei 2016
Tanggal Pemeriksaan : 30 mei 2016
25
Ps juga mengaku 5 taun lalu pernah berobat ke dr. spesialis saraf di RSU
Sanglah dan dikatakan ada cacing dalam otaknya.
Darah tinggi (+) tapi tidak minum obat. Kencing manis, stroke dan jantung
disangkal. Riwayat opname sebelumnya disangkal.
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien.
Pemeriksaan Fisik
Status present
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Apatis
GCS : E4V4M6
Tekanan darah : 136/82
Nadi : 63 x/menit, regular, isi cukup
Pernapasan : 18 x/menit, reguler
Suhu aksila : 36,9°C
Status generalis
Mata : anemis (-), ikterus (-), refleks pupil (+/+) isokor,
cowong (-)
26
THT : kesan tenang
JVP : PR + 0 cmH2O
Thoraks :
Perkusi : timpani
+/+ −/−
Kesan neurologis
Brudzinki 1 (-)
27
Brudzinki 2 (-)
N VI ( abducen)
N V (trigeminus) Belum dapat dinilai
N VII (fasialis) Raut muka tampak simetris
NVIII Belum dapat dinilai
(vestibulokoklearis)
N IX (Glossopharingeus) Belum dapat dinilai
, N X (Vagus)
N XII (accesorius) Belum dapat dinilai
XII (hipoglossus) Belum dapat dinilai
Pemeriksaan motorik
Motorik Dx Sin
Pergerakan normal Normal
Kekuatan 5 5
Tonus normotonus Normotonus
Trofi eutrofi Eutrofi
Klonus Baik baik
28
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi 30/05
Parameter Hasil
Hematologi rutin
WBC 12.5 x 103/uL ↑
RBC 4.98 x 106/uL
HB 14.1 g/dL
HCT 43.3 %
MCV 86.9 fL
MCH 28.3 pg
MCHC 32.6 g/dL
RDW 13.0%
PLT 341 x 103/L
MPV 9.2 fL
Glukosa
Glukosa Darah 82mg/dl
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 142.4
Clorida 101.9
Kalium 3.09 ↓
Kimia Klinik
BUN 20
Cr 0.63
SGPT 14
SGOT 9
EKG 30/05
29
Urinalisa 31/05
Urine lengka
p
Berat jenis 1.015
pH 7
Chemical Analysis
Leukosit Negatif Nitrit Negatif
Albumin Negatif Glukosa Normal
Keton Negatif Urobilinogen Normal
Bilirubin Negatif Eritrosit Negatif
Mikroskop Analysis
Lekosit 0-1 Eritrosit neg
Silinder Neg Epitel Squamos 0-1
Bakteri negative Kristal negatif
Warna Kuning Kejernihan Jernih
30
Hasil bacaan
-tampak lesi hiperdens multiple betuk bulat-bulat dengan ukuran bervariasi.
-tidak tampak midline shifting
-ventrikel normaml
-parenkim cerebellum normal
-sulcus, girus,sisterna normal
-dengan pemberian kontras tampak ring engancemect
-tampak perselebungan sinus maxillariskiri
-dekstruksi tulang tidak ada
31
Kesan : susp. Toxoplasmosis multiple
Sinusitis maxilaris sinistra
3.5. Diagnosis
Status Epilepsi ec susp sisterserkosis serebri
3.6. Penatalaksanaan
Terapi dr. Lina Sp.S =
32
DAFTAR PUSTAKA
7. NICE. The Epilepsies: The diagnosis and management of the Epilepsies in adult
and children in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline. 2012. pp 76-
79.
10. Khalil BA, Misulis KE. Pattern of EEG Activity in Certain Forms of Epilepsi in
Atlas of EEG and Sezure Semiology, Philadelphia, 2006, pp: 153-154
33
34