Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau


penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum
terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi
medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun
keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi
masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 2
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
3
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. Oleh
karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi
epilepsi

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan


tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.5

2.2 . EPIDEMIOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto

2
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi,
yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10

2.3. ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11

• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari


penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan
biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil

• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf


pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklonik

2.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League


Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik

3
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan
kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)


A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :


I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik

4
 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
 Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik
o Lobus temporalis
o Lobus frontalis
o Lobus parietalis
o Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum

A. Idiopatik
 Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal
convulsions
 Benign myoclonic epilepsy in infancy
 Childhood absence epilepsy
 Juvenile absence epilepsy
 Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
 Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
 Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


 West’s syndrome (infantile spasms)
 Lennox gastaut syndrome
 Epilepsy with myoclonic astatic seizures
 Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik
 Etiologi non spesifik
 Early myoclonic encephalopathy
 Specific disease states presenting with seizures

5
2.5. PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau


mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.13

6
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

2.6 GEJALA

 Kejang parsial simplek


Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan

7
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
 Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
 Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.14

8
2.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik


dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15

1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan
penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

9
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis.
Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.

b. Rekaman video EEG

10
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.

2.8 DIAGNOSA BANDING


Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic, seperti
pingsan, reaksi konversi,panic dan gerakan movement disorder. Hal ini sering
membinggungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya.

11
2.9 TERAPI
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

 OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
 Terapi dimulai dengan monoterapi

12
 Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
 Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
 Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila


kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
 Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
 Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+,
Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan


OAE Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan
fokal umum tonik klonik lena Mioklonik
sekunder
Phenytoin + (A) + (A) + (C) - -
Carbamazep + (A) + (A) + (C) - -
ine
Valproic + (B) + (B) + (C) + (A) +(D)
acid
Phenobarbit + (C) + (C) + (C) 0 ?+
al
Gabapentin + (C) + (C) ?+ (D) 0 ?-
Lamotrigine + (C) + (C) + (C) + (A) +-
Topiramate + (C) + (C) + (C) ? ? + (D)
Zonisamide + (A) + (A) ?+ ?+ ?+
Levetiraceta + (A) + (A) ?+ (D) ?+ ?+
m
Oxcarbamaz + (C) + (C) + (C) - -
epine

13
Clonazepam + (C) - - - -

Level of confidence: A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai


monoterapi; C: mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk efektif
sebagi monoterapi

14
15
16
PENGHENTIAN OAE5,6,18
Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-
5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60%
pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:


-Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal

-Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.

-Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangkat waktu 3-6 bulan

17
-Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada


keadaan sebagai berikut:5,19,20
-Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi

-Epilepsi simtomatis

-Gambaran EEG yang abnormal

-Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE

-Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada


sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah
sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil,25-75%,
epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik
pada anak, dan JME.

-Penggunaan lebih dari satu OAE.

-Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan


lebih kecil pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun,
atau lebih dari lima tahun).20

STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit,
atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak
terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif
harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit.
SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan
terapi segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit). Dikenal

18
dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak
terdapat bangkitan motorik).

19
Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara
bangkitan.
Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif8
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik
termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”.
SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu bangkitan tonik
klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.
Klasifikasi Status Epileptikus
Berdasarkan klinis:
- SE fokal

- SE general

Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)

- SE menetap/ Established(>30 menit)

- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:


- SE-NK Umum

- SE-NK fokal

PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF


Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit

20
Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama
selama diperjalanan menuju rumah sakit.
Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:8
- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan

- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan


konvulsivus.

- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital
lain.

Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat
tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang
digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau
Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat
diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien
sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma
adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.8

Tabel 4.8 Protokol penanganan status epileptikus konvulsif8


Pemeriksaan Umum
Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infuse
Stadium 2 (0-30 menit)
Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptic
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)

21
Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada
kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap
Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium 4 (30-90 menit)
Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium,
magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila
diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak
jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi kemungkinan aspirasi.
Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan otak dan
dan pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah,
pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh
dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli neurologi. Monitor EEG perlu
pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan status
epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan
utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder
adalah munculnya pola burst suppression.

22
Stadium premonitory (sebelum ke rumah sakit)
SE Dini
Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit kemudian bila kejang
masih berlanjut, atau midazolam 10 mg diberikan intrabuccal( belum tersedia
di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut.
SE Menetap
Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus, diulang
satu kali setelah 10-20 menit). Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien
sudah pernah mendapat terapi OAE .

SE Refrakter a
Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10-15
mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit.
Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
-Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
-Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5mg/kg/jam dititrasi naik
sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkankarena saturasi pada
lemak. Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau ektrografis terakhir, kemudian dosis diturunkan perlahan
Anastesi umum dilakukan 60/90 menit setelah terapi awal gagal

STATUS EPILEPTIKUS NON KONVULSIF 27

Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE

Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE nonkonvulsivus pada

23
penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar

Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam macam

sesuai jenis bangkitan (tabel 10).

Tipe Terapi pilihan Terapi lain

SE Lena Benzodiazepine iv/ Valproate iv


oral

SE parsial komplek Clobazam oral Lorazepam/Phenytoin/,


Phenobarbital i.v.

SE lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine

Lamotrigine, topiramate,

methylphenidate, steroid

oral

SE Tonik Lamotrigine oral

SE non konvulsif pada Phenytoin i.v. atau methylphenidate, steroid


penyandang koma
Phenobarbital Anestesia dengan

thiopentone, Phenobarbital,

propofol atau midazolam

BAB 3
LAPORAN KASUS

24
3.1. Identitas Pasien
Nama : WM
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Hindu
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Penggangguran
Alamat : dsn corot ds cempaga
Tanggal MRS : 30 mei 2016
Tanggal Pemeriksaan : 30 mei 2016

3.2 Allo Anamnesis (istri pasien)

Keluhan utama : kejang

Riwayat Penyakit sekarang :

Pasien datang sadar diantar keluarganya dengan keluhan riwayat


kejang dirumah sejak kemarin pk 22.00 (-+19jam smrs), lama kejang 5
menit berulang setiap jam dan diantara kejang pasien tampak binggung.
Kejang terjadi pada sebagian tubuh pasien, menghentak-hentak dan
kepala menghadap ke satu sisi tubuh. Selama kejang pasien tidak sadar,
setelah kejang pasien tampak binggung dan lelah. Ketika serangan
pasien sedang duduk didepan tv Sebelum kejang pasien mengeluh sakit
kepala kepada istrinya.

Setengah jam sesampai di RS ps kembali kejang, bentuk kejang


yang dialami sama, berlangsung selama -+5menit dan setelah kejang ps
tampak binggung.

Ps juga tidak mau makan atau minum dari pagi.

BAB BAK baik

Riw pengobatan pasien ke bidan dan mendapat alinamin f, ps tidak


pernah control ke dokter untuk pengobatan kejangnya.

25
Ps juga mengaku 5 taun lalu pernah berobat ke dr. spesialis saraf di RSU
Sanglah dan dikatakan ada cacing dalam otaknya.

Riwayat trauma kepala , demam , minum alkohol disangkal.

Os mengalami kejang sejak 20 tahun lalu, Riwayat kejang terakhir 6 hari


lalu, serangan biasanya rutin 1 hari tiap bulannya 1-3kali dengan gejala
yang sama. Menurut istri pasien kejang bisa terjadi kapan saja. Sebelum
kejang pasien kadang merasa sakit kepala atau penglihatan gelap.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Darah tinggi (+) tapi tidak minum obat. Kencing manis, stroke dan jantung
disangkal. Riwayat opname sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien.

Riwayat Sosial dan Lingkungan :

Pasien sehari-hari tidak bekerja hanya kadang-kadang menggarap sawah


untuk mengisi waktu.

Pemeriksaan Fisik

Status present
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Apatis
GCS : E4V4M6
Tekanan darah : 136/82
Nadi : 63 x/menit, regular, isi cukup
Pernapasan : 18 x/menit, reguler
Suhu aksila : 36,9°C
Status generalis
Mata : anemis (-), ikterus (-), refleks pupil (+/+) isokor,
cowong (-)

26
THT : kesan tenang

JVP : PR + 0 cmH2O

Thoraks :

Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line


sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)

Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra,


batas kanan jantung parasternal line dekstra, batas
kiri jantung midclavicular line sinistra ICS V

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo: Inspeksi : simetris saat statis & dinamis, retraksi (-)

Palpasi : vokal fremitus N/N

Perkusi : sonor +/+

Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : nyeri tekan (+) regio epigastrial, hepar tidak


teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba

Perkusi : timpani

Ekstremitas : akral hangat +/+ edema −/− CRT < 2”

+/+ −/−

Kesan neurologis

Tanda rangsang meningeal

Kaku kuduk (-)

Brudzinki 1 (-)

27
Brudzinki 2 (-)

Lassegue >70/ >70

Kernig >135 / >135

Pemeriksaan saraf cranial

N I (olfaktorius) Belum dapat dinilai


N II (optikus) Belum dapat dinilai
N III (okulomotor) N IV Kedudukan bola mata sejajar. Pupil bulat, isokor ф
(troklearis ) 3mm, RCL +/+ , RCTL +/+ .ptosis (-), eksoftalmus (-)

N VI ( abducen)
N V (trigeminus) Belum dapat dinilai
N VII (fasialis) Raut muka tampak simetris
NVIII Belum dapat dinilai
(vestibulokoklearis)
N IX (Glossopharingeus) Belum dapat dinilai
, N X (Vagus)
N XII (accesorius) Belum dapat dinilai
XII (hipoglossus) Belum dapat dinilai

Anggota gerak atas

Pemeriksaan motorik

Motorik Dx Sin
Pergerakan normal Normal
Kekuatan 5 5
Tonus normotonus Normotonus
Trofi eutrofi Eutrofi
Klonus Baik baik

28
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Hematologi 30/05
Parameter Hasil
Hematologi rutin
WBC 12.5 x 103/uL ↑
RBC 4.98 x 106/uL
HB 14.1 g/dL
HCT 43.3 %
MCV 86.9 fL
MCH 28.3 pg
MCHC 32.6 g/dL
RDW 13.0%
PLT 341 x 103/L
MPV 9.2 fL
Glukosa
Glukosa Darah 82mg/dl
Sewaktu
Elektrolit
Natrium 142.4
Clorida 101.9
Kalium 3.09 ↓
Kimia Klinik
BUN 20
Cr 0.63
SGPT 14
SGOT 9

EKG 30/05

29
Urinalisa 31/05
Urine lengka
p
Berat jenis 1.015
pH 7
Chemical Analysis
Leukosit Negatif Nitrit Negatif
Albumin Negatif Glukosa Normal
Keton Negatif Urobilinogen Normal
Bilirubin Negatif Eritrosit Negatif
Mikroskop Analysis
Lekosit 0-1 Eritrosit neg
Silinder Neg Epitel Squamos 0-1
Bakteri negative Kristal negatif
Warna Kuning Kejernihan Jernih

CT Scan kepala +contras

30
Hasil bacaan
-tampak lesi hiperdens multiple betuk bulat-bulat dengan ukuran bervariasi.
-tidak tampak midline shifting
-ventrikel normaml
-parenkim cerebellum normal
-sulcus, girus,sisterna normal
-dengan pemberian kontras tampak ring engancemect
-tampak perselebungan sinus maxillariskiri
-dekstruksi tulang tidak ada

31
Kesan : susp. Toxoplasmosis multiple
Sinusitis maxilaris sinistra

3.5. Diagnosis
Status Epilepsi ec susp sisterserkosis serebri
3.6. Penatalaksanaan
Terapi dr. Lina Sp.S =

Infus D5 : Aminofluid = 1:1 20tpm


Drip 9 ampul fenitoin (900mg) dalam 100cc Nacl 0.9% habis dalam 30 menit selanjutnya
2x100mg dalam 100c nacl 0.9%
Alinamin F injeksi 1 ampul
Jika kejang diazepam 10mg IV pelan
Pantoprazol 1x40mg
Ct Kontras
Cek UL

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management.


Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26

2. Steinlein, OK. Genetic Mechanisms That Underlie Epilepsi. Neuroscience 2004;


400-408.

3. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J,


Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2 nd Ed. Voln one. Lippincott
Williams & Wilkins. USA; 2008; 767-772.

4. Molshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostik Evaluation In Epilepsi, A


comprehensive Texbook/ editors Jerome Engel JR. Tomothy A. Pedley, 2 nd ed, Vol I,
Lippincott Williams & Wilkins, 2008, pp: 783-784.

5. Leppik, IE. Laboratory Tests. In Epilepsi A Comprehensive Textbook/ editors


Jerome Engel JR. Tomothy A Pedley, 2 nd ed, Vol I. Lippicott Williams & Wilkins,
2008, pp: 791-796.

6. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Management of


Epilepsi in Adults A national Clinical Guideline. SIGN.2003.

7. NICE. The Epilepsies: The diagnosis and management of the Epilepsies in adult
and children in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline. 2012. pp 76-
79.

8. Harsono. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi dan Penjelasannya dalam Epilepsi. Edisi


Kedua. Gadjah Mada University Press. 2007. Hal: 26-35.

9. Wyllie E. Appendix Proposal for Revised classification of Epilepsies and Epileptic


Syndrome in the Treatment of Epilepsi; Principles and Practice, Philadelphia/Lodon,
1993, pp: 494-497.

10. Khalil BA, Misulis KE. Pattern of EEG Activity in Certain Forms of Epilepsi in
Atlas of EEG and Sezure Semiology, Philadelphia, 2006, pp: 153-154

33
34

Anda mungkin juga menyukai