Case SSJ
Case SSJ
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari
semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit
lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).
4
Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat
darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan kesempatan
pemeriksaan untuk membantu diagnosis selain untuk membantu pasien yang
memiliki resiko.
5
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan
sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat
merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap
infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.
Pada SSJ akan terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan
selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.
1. Kelainan pada kulit
a. Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang
menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.
b. Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
c. Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi
dan ekskoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi
sekunder.
d. Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
e. Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan
morbiditas.
f. Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan,
dorsal dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat
yang paling umum.
g. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang
paling umum di batang tubuh.
6
7
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
a. Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada
lubang alat genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus
(masing-masing 8% dan 4%).
b. Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula
yang gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta
kehitaman, terutama pada bibir. Juga dapat timbul
pseudomembran. Lesi terdapat pada traktus respiratorius bagian
atas, faring dan esofagus.
c. Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan.
d. Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
e. Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ
tanpa lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi
mukosa saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa
ahli menyebut kasus yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau
inkomplit.
8
3. Kelainan Mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, iridosiklitis.
konjungtivitis
simblefaron
9
II.7. Diagnosa SSJ
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM
dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi
adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.
Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar,
2004; Adithan, 2006).
10
11
II.9. Pemeriksaan Penunjang SSJ
a. Pemeriksaan Laboratorium :
Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan
diagnosis SSJ.
1) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang
normal atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi.
2) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi
bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas.
3) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven
Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
4) Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika
dicurigai adanya infeksi.
b. Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai
secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
c. Pemeriksaan Histopatologi:
Gambaran histopatologik sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyuluruh.
Kelainan berupa :
1) Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis
superficial.
2) Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler.
3) Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
4) Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5) Spongiosis dan edema intrasel epidermis.
12
II.10. Penatalaksanaan SSJ
Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu
dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak
menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan
umunya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan
pasien harus dirawat-inap. Pengggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan
life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam
beberapa hari. Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien
SSJ yang berat, harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg
iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami
involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg,
setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,
sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut
dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis
setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit
dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang,
sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih
mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian
kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering
off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen
(alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemfigus.
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin
antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul
lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain
kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur
darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah kulit
tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan kasa steril selama ½
jam untuk menghindari kontaminasi.
13
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria
kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid
dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan
berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik
yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan
antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang.
Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv.
Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas sering digunakan karena juga
efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat
digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya
diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin
karena keduanya termasuk antibiotik beta laktam. Untuk mengurangi efek
samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein,
karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar
elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg
per os.
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit
dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi
di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat ringer berbanding 1 :
1 :1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.
Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka
dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek
transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat
leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat
menjadi normal.
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi
meninggikan daya tahan.
Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan TEN yang dilakukan
ialah :
14
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2
hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg
deksametason sehari dan TEN 40 mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan
karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik
sedikit, namun cepat turun.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg sehari iv.
Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan
ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat
diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya
kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.
15
Semarang 14,6%, RS Dr. Soetomo Surabaya 5,1%, RS Dr. Sardjito Yogyakarta
7,0%, RS Wangaya Denpasar 9%, dan RS Denpasar 20%, sedangkan di RS Cipto
Mangunkusumo 4%.
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. X
Umur : 27 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Bukittinggi
1.2. Anamnesa
16
Keluhan utama
Bibir, Perut, dan kaki melepuh sejak ± 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit
Bibir, Perut, dan kaki melepuh sejak ± 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit
Awalnya pasien mengkonsumsi obat Nevirapine, Paracetamol, Vitamin B
Complex, Chlorpromazine, Timbul bintik kemerahan kecil di dada,
punggung, wajah, kelamin dan telapak kaki. Keesokan harinya bibir
mengelupas dan perih, mata sukar dibuka, kerongkongan terasa sakit dan
susah menelan
Status Generalis
• Kepala : Normocephal
Status Dermatologis
17
Lokasi : Bibir, Perut, dan kaki
Distribusi : Generalisata
Batas : tegas
Gambar 1.
18
Gambar 2.
Gambar 3.
Status Venereologikus
19
Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Kuku dan jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan
3.5.Diagnosa Kerja:
3.7. Penatalaksanaan
Umum
Hentikan obat tersangka penyebab
Khusus
Dokter: dr. Y
20
Bukit Tinggi, 29 September 2016
S4dd Tab 1
• Pro : Tn. X
• Umur :27 th
Prognosis
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. Kelima. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI. Hal 163-165.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC. Hal
141-142.
23