BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus karena obat (Misalnya: akibat terapi HIV dan AIDS atau
sesudah transplantasi ginjal, dll), zat kimia, infeksi
Diabetes Mellitus akibat kelainan imunologi
Diabetes Mellitus akibat sindroma genetik lain yang berkaitan dengan
DM13.
2.3 Etiologi
Penyebab DM adalah kurangnya produksi dan ketersediaan insulin dalam
tubuh. Kekurangan Insulin disebabkan karena terjadinya kerusakan sebagian kecil
atau sebagian besar dari sel-sel beta pulau langerhans dalam kelenjar penkreas
yang berfungsi menghasilkan insulin. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
DM sebagai berikut :
a.Genetik atau Faktor Keturunan
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan.
Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang
penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM.
Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut
kromosom seks. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan
kepada anak-anaknya14.
b.Virus dan Bakteri
Virus yang menyebabkan DM adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi.
Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM14.
c.Bahan Toksin atau Beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung,
yakni allixan, pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari sejenis jamur)
14
.
d.Asupan Makanan
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan
asupan makanan, baik sebagai factor penyebab maupun pengobatan. Asupan
makanan yang berlebihan merupakan factor risiko pertama yang diketahui
menyebabkan DM. Salah satu asupan makanan tersebut yaitu asupan karbohidrat.
6
meningkatkan kadar glukosa dalam darah21. Menurut Rahayu, Hudha & Umah
(2015) pola konsumsi yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan cepat saji
dan mengkonsumsi makanan yang tidak seimbang akan menyebabkan berbagai
penyakit salah satunya diabetes mellitus 17. Garnita (2012) menyatakan bahwa
mengkonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat, konsumsi protein dan lemak
yang berlebih serta kurang mengkonsumsi buah dan sayur juga dapat
meningkatkan kejadian diabetes mellitus16.
2.4.7 Hipertensi
American Diabetes Association (2016) menyatakan bahwa faktor resiko
terjadinya diabetes mellitus saat tekanan darah > 140/90 mmHg atau pada
penderita hipertensi yang sedang melakukan terapi hipertensi9. Menurut Zieve
(2012) dalam Trisnawati dan Setyorogo (2013) hipertensi akan menyebabkan
penebalan pembuluh darah arteri sehingga pembuluh darah akan menyempit dan
nantinya akan mengganggu pengangkutan glukosa dari dalam darah15.
2.4.8 Merokok
Khotimah, Pranowowati &.Afandi (2013) menyatakan bahwa asap rokok
dapat meningkatkan kadar gula darah sedangkan nikotin dapat merangsang
kelenjar adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid yang dapat meningkatkan
kadar gula darah serta merokok juga dapat menurunkan kerja insulin sehingga
menyebabkan resistensi insulin20. Cindy (2013) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa merokok dapat mempengaruhi kadar HbA1c pada penderita diabetes
mellitus, dimana HbA1c pada penderita diabetes mellitus yang merokok lebih
tinggi dibanding dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes mellitus yang tidak
merokok22.
2.4.9 Stres
Stres menyebabkan peningkatan produksi hormon kortisol sehingga akan
membuat penderita diabetes mellitus sulit tidur, depresi, tekanan darah turun dan
nantinya akan membuat individu tersebut lemas dan memperbanyak makan serta
akan menyebabkan obesitas15. Menurut Baradero, dkk. dan Syarifudin dalam
Darmaja (2015) stres akan meningkatkan aktifitas saraf simpatis sehingga
hipotalamus akan mengeluarkan katekolamin yang berlebihan yang akan
9
Gambar 2.1: Hiperglikemi dan Peningkatan Free Fatty Acid pada Diabetes
Tipe 2)
Gambar diatas menjelaskan bahwa mekanisme yang mendasari DMT-2
adalah dua hal yaitu penurunan kemampuan sel β pancreas untuk mensekresikan
insulin sebagai respons terhadap glukosa yang meningkat (sekresi insulin
menurun) dan penurunan respons jaringan perifer terhadap insulin (resistensi
insulin)24. Hal tersebut diakibatkan karena adanya faktor genetik pada diabetes,
adipokine, inflamasi, hiperglikemia, free fatty acid (FFA), dan karena faktor
lainnya.
2.5.1 Resistensi Insulin
Resistensi insulin berarti ketidaksanggupan insulin memberi efek biologik
yang normal pada kadar gula darah tertentu. Dikatakan resistensi insulin bila
dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak untuk mencapai kadar glukosa darah
yang normal25. Resistensi insulin adalah keadaan sensitivitas insulin berkurang.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan konsentrasi glukosa
darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot, lemak, dan
menekan produksi glukosa oleh hati26.
Resistensi insulin dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Gangguan pada pre-reseptor
10
Gangguan ini disebabkan oleh antibodi anti-insulin dan gangguan pada insulin
2. Gangguan Reseptor
Gangguan ini disebabkan oleh jumlah insulin yang kurang, atau kepekaan
reseptor yang menurun
3. Gangguan Post Reseptor
Kerusakan post reseptor ini akan menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi
insulin pada sel β-pankreas, sehingga hiperinsulinemia pada keadaan puasa mapun
post prandial26.
Selain itu resistensi insulin juga disebabkan oleh desensitisasi reseptor insulin
pada tahap post reseptor yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi
glucose transporter, dan aktivasi glikogen sintase. Pada DMT-2 terjadi
peningkatan glukosa darah, namun masih diiringi dengan sekresi insulin, hal ini
mengindikasikan adanya defek pada reseptor insulin maupun post-reseptor. Pada
kondisi resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi gula darah dan penurunan
penggunaan glukosa darah, hal ini akan menyebabkan sel β-pankreas melakukan
adaptasi berupa penurunan sensitifitas untuk mensekresi insulin. Kondisi seperti
ini biasanya terjadi pada DMT-2 stadium lanjut
2.1.3.2 Defek Sekresi Insulin
Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta dapat diterangkan oleh gambar berikut
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
(Tabel 2.1 Kriteria Diagnosa DM30)
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
(Gambar 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.)
(Gambar 2.4 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)
14
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Farmakologi
2.8.1.1 Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
1.Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output”
dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat
menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh
pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan
gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan
metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada
prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak
menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan
15
sedikit. Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagaljantung [NYHA FC III-IV])30.
2. Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap
insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan
A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah
penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan
peningkatan kejadian gagal jantung kongestif31.
b. Pemacu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pancreas.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak
berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak
diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam
hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko
hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan
dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan
penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki
kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan dosis
yang lebih tinggi sebaiknya dihindari30.
2. Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan
tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari
pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaituRepaglinid (derivat asam benzoat)
dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Golongan glinide dapat merunkan A1C
sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai
sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil30.
16
adrenergik yaitu keringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-
debar32.
Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah,
penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.
Komplikasi kronik dari diabetes melitus sendiri dapat dibagi menjadi 2 :
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komlplikasi mikrovaskuler terdiri
dari:
a. Retinopati diabetik
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif
yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein
serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke
bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka
bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak.
Hal tersebut pada penderita DM bisa menyebabkan kebutaan32.
b. Neuropati diabetik
Neuropati diabetik perifer merupakan penyakit neuropati yang paling
sering terjadi. Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari32.
c. Nefropati diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200
ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product
yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear
serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang
reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
berkembang menjadi chronic kidney disease32.
Komplikasi makrovaskular yang sering terjadi biasanya merupakan
makroangiopati. Penyakit yang termasuk dalam komplikasi makrovaskular
adalah:
26
tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun
kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas33.
Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau
penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes
ada beberapa macam, yaitu:
1. Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.
2. Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
3. Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci
darah.
4. Pembuluh darah tungkai bawah,dilakukan amputasi tungkai bawah.
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan metabolik menahun akibat
insulin yang dihasilkan oleh pankreas kurang atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin secara efektif sehingga menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu DM Tipe 1, DM tipe
2, DMM Gestasional, dan DM tipe lain. Diabetes Mellitus dapat disebabkan oleh
faktor genetik atauketurunan, bakteri atau virus, bahan toksisk, asupan makanan,
dan obesitas. Beberapa fakto resiko diabetes mellitus antara lain umur, riwayat
keluarga dengan DM, aktivitas fisik, obesitas, kadar kolesterol tinggi, pola makan,
hipertensi, merokok dan stres.
Manifestasi klinis diabetes dikenal dengan TRIAS SYNDROME Diabetes
Akut berupa polidipsi, polifagi, dan poliuri. Diagnosa dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klasik dan pemeriksaan gula darah. Terapi diabetes mellitus
dapat berupa obat anti hiperglikemik oral atau sutik, atau kombinasi keduanya.
Diabetes mellitus dapat dicegah dengaan pencegahan tingkat pertama, kedua, dan
ketiga. Komplikasi diabetes mellitus berupa komplikasi akut dan kronik.
3.2 Saran
Dalam penegakan diagnosis diabetes mellitus diperlukan anamnesa serta
pemeriksaan fisik yang tepat, dan sarana pemeriksaan penunjang yang
memadai.
Perlunya KIE pada pasien dan keluarganya terkait kepatuhan terapi untuk
penyembuhan penyakit dan pencegahan komplikasi.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. ADA, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Diabetes Care
USA. 27: 55
2. Soegondo S., Buku Ajar Penyakit Dalam:Insulin : Farmakoterapi pada
Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2, Jilid III, Edisi 4, Jakarta: FK
UI. 2009. pp. 1884
3. Rachmawati, A.M., Bahrun, U., Rusli, B., Hardjoeno. Tes Diabetes Melitus.
Dalam Hardjono dkk. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium
Diagnostik. Cetakan 3. Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin.
Makasar. 2007. p. 167-82.
4. Tandra, Hans, Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes,
71-113, 2008, PT. Gramedia Pustaka Tama, Jakarta .
5. Priceand Wilson.2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Vol.2.Jakarta: EGC.
6. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia
7. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.
8. Hartini, S., 2009, Diabetes Siapa Takut, Panduan Lengkap untuk Diabetes,
Keluarganya dan Profesional Medis, Penerbit Qanita, Jakarta, hal 90-93.
9. ADA. (2016). Standart of Medical Care in Diabetes . American Diabetes
Association
10. WHO, 2011. Diabetes Melitus. Diakses pada 15 September 2013.
http://www.who.int/topics/diabetes_melitus/en/
11. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
12. IDF, 2014, IDF Diabetes Atlas, http://www.idf.org/atlasmap/atlasmap, 03Jni
2018.
13. Tokroprawiro, A,, Murtiwi, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya.
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 2015
14. Maulana, M (2008). Mengenal Diabetes Melitus. Yogyakarta: Kata Hati.
15. Trisnawati, S.K dan Setyorogo.S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun
2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1): pp. 6-11
16. Garnita, D. 2012. Faktor Risiko Diabetes Melitus di Indonesia Analisa Data
Sukerti 2007. Skripsi. Depok : FKM UI.
17. Rahayu, T.H.,Hudha, A.M, & Umah, U.S.(2015).Perbandingan Self
Awareness Pola Konsumsi Makanan dan Olahraga dengan Riwayat Keluarga
Memiliki dan Tidak Memiliki Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Mahasiswa
UMM. Jurnal Keperawatan Bolume 6 Nomor 1.
18. Hasdianah. 2012. Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak
– Anak Dengan Solusi Herbal. Yogyakarta : Nuha Medika
19. Rajasa, R.E, Afriwardi & Zein, S.B.(2016).Hubungan Tingkat Keteraturan
Berolahraga Terhadap Komplikasi Penyakit Pada Pasien DM Tipe 2 Di
Politeknik Endokrin RSUP Dr.M.Djamil Padang.Jurnal Kesehatan Andalas,
2016.
30