Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua duanya1. Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit dengan
gejala konsentrasi glukosa dalam darah yang meningkat (hiperglikemia) dan lama
kelamaan dapat menimbulkan terjadinya komplikasi kronis pada mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah2. Dikalangan masyarakat luas,penyakit ini
lebih dikenal sebagai penyakit gula atau kencing manis. Dari berbagaipenelitian,
terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi DM baik di dunia maupun di
Indonesia3.
Diabetes Mellitus telah menjadi penyebab kematian terbesar keempat di
dunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh diabetes.
Terdapat 1 orang per 10 detik atau 6 orang per menit yang meninggal akibat
penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Penderita DM di Indonesia sebanyak 4,5
juta pada tahun 1995, terbanyak ketujuh di dunia. Sekarang (tahun 2000) angka
ini meningkat menjadi 8,4 juta dan diperkirakan akan menjadi 12,4 juta pada
tahun 2025 atau urutan kelima di dunia4.
Penyakit DM merupakan suatu penyakit kronis yang mempunyai dampak
negatif terhadap fisik maupun psikologis klien, gangguan fisik yang terjadi seperti
poliuria, polidipsia, polifagia, mengeluh lelah dan mengantuk5. Disamping itu,
Diabetes Mellitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi, misalnya neuropati,
hipertensi, jantung koroner, retinopati, nefropati, dan gangren6. Oleh karena itu,
deiperlukan diagnosa dan tatalaksana yang tepat agar gula darah padasien diabetes
mellitus dapat terkontrol dengan benar.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana diagnosa dan tatalaksana pada diabetes mellitus?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui diagnosa dan tatalaksana yang tepat pada diabetes mellitus

1.4 Manfaat
2

 Memberikan informasi tentang penyakit diabetes mellitus.


 Bagi mahasiswa dapat sebagai acuan pembelajaran dan melatih
pengambilan diagnosis dan tatalaksana pada penyakit diabetes mellitus.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua duanya1. Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan
metabolik menahun akibat insulin yang dihasilkan oleh pankreas kurang atau
tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif sehingga menyebabkan
peningkatan kadar gula darah7. Insulin merupakan hormon yang bertugas untuk
menguraikan gula darah di dalam tubuh menjadi glukosa dan glikogen. Glukosa
dan glikogen inilah yang kemudian oleh tubuh melalui proses metabolisme atau
pembakaran diubah menjadi energi. Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi,
kadar gula darah akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu
2 jam. Kadar gula darah normal pada pagi hari sebelum makan atau berpuasa
adala 70-140 mg/dL darah. Sedangkan kadar gula darah normal biasanya 120-140
mg/dL pada 2 jam setelah makan8.
American Diabetes Association (2016) menyatakan bahwa diabetes
mellitus adalah penyakit kronik yang kompleks yang memerlukan pengobatan
terus menerus dengan menurunkan berbagai faktor resiko untuk mengkontrol gula
darah penderita diabetes mellitus9. Kadar gula darah yang tinggi atau yang
dikenal dengan hiperglikemia merupakan efek diabetes yang tidak terkontrol dan
dalam waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem
tubuh, khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata
(dapat terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal), syaraf (dapat terjadi
stroke)10.
2.2 Klasifikasi Diabetes
2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
DiabeteMellitus (IDDM), terjadi karena . Sel β pankreas merupakan satu-satunya
sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar
glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90% maka
gejala DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
4

daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 disebabkan oleh proses


autoimun dan sebagian kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui
penyebabnya juga disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan
insulinopenia tanpa adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami
ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun
dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang
ada11.
2.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai
yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi
insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya, pankreas tidak
mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.
Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya terjadi
pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh
reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita
tidak tergantung pada pemberian insulin11.
2.2.3 Diabetes Gestasional
DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah
kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia). Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan
trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,
kegemukan dan glikosuria. Wanita dengan diabetes gestational memiliki
peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat melahirkan, serta
memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan12.
2.2.4 Diabetes Mellitus Tipe Lain
 Diabetes Mellitus akibat defek genetik fungsi kerja sel beta
 Diabetes Mellitus akibat penyakit eksokrin pankreas (misalnya: sistik
fibrosis)
5

 Diabetes Mellitus karena obat (Misalnya: akibat terapi HIV dan AIDS atau
sesudah transplantasi ginjal, dll), zat kimia, infeksi
 Diabetes Mellitus akibat kelainan imunologi
 Diabetes Mellitus akibat sindroma genetik lain yang berkaitan dengan
DM13.
2.3 Etiologi
Penyebab DM adalah kurangnya produksi dan ketersediaan insulin dalam
tubuh. Kekurangan Insulin disebabkan karena terjadinya kerusakan sebagian kecil
atau sebagian besar dari sel-sel beta pulau langerhans dalam kelenjar penkreas
yang berfungsi menghasilkan insulin. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
DM sebagai berikut :
a.Genetik atau Faktor Keturunan
Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan.
Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang
penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM.
Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut
kromosom seks. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan
kepada anak-anaknya14.
b.Virus dan Bakteri
Virus yang menyebabkan DM adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belum bisa dideteksi.
Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM14.
c.Bahan Toksin atau Beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung,
yakni allixan, pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari sejenis jamur)
14
.
d.Asupan Makanan
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan
asupan makanan, baik sebagai factor penyebab maupun pengobatan. Asupan
makanan yang berlebihan merupakan factor risiko pertama yang diketahui
menyebabkan DM. Salah satu asupan makanan tersebut yaitu asupan karbohidrat.
6

Semakin berlebihan asupan makanan semakin besar kemungkinan terjangkitnya


DM14.
e.Obesitas
Retensi insulin paling sering dihubungkan dengan kegemukan atau
obesitas. Pada kegemukan atau obesitas, sel-sel lemak juga ikut gemuk dan sel
seperti ini akan menghasilkan beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin
yang jumlahnya lebih banyak dari keadaan pada waktu tidak gemuk. Zat-zat itulah
yang menyebabkan resistensi terhadap insulin8.
2.4 Faktor Resiko
2.4.1 Umur
Trisnawati dan Setyorogo (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
kelompok umur < 45 tahun memiliki resiko lebih rendah mengalami diabetes
mellitus dibandingkan dengan kelompok umur >45 tahun 15. Menurut Riset
Kesehatan dasar (2013) penderita diabetes mellitus yang berusia 45-54 tahun di
Indonesia sebanyak 9,70 % dan meningkat menjadi 11,20 % pada usia >55 tahun.
Sunjaya (2009) dalam Garnita (2012) menyatakan bahwa peningkatan resiko
diabetes mellitus pada umur >40 tahun disebabkan karena pada usia 40 tahun
mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa sehingga menyebabkan menurunnya
kemampuan sel beta pankreas untuk memproduksi hormon insulin16.
2.4.2 Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Resiko diabetes mellitus akan diturunkan 15% pada anak yang memiliki
riwayat salah satu orang tua menderita diabetes mellitus dan akan meningkat
menjadi 75 % pada anak yang memiliki riwayat kedua orang tua menderita
diabetes mellitus. Resiko menderita diabetes mellitus dari ibu 10-30% lebih
beresiko dibanding dengan ayah yang menderita diabetes mellitus karena
penurunan gen dalam kandungan lebih besar. Apabila saudara kandung menderita
diabetes mellitus maka akan beresiko 10% mengalami diabetes mellitus
sedangkan jika saudara kembar identik menderita diabetes mellitus maka akan
beresiko 90% menderita diabetes mellitus17.

2.4.3 Aktifitas Fisik


7

Menurut Riset Kesehatan Dasar (2013), persentase penduduk Indonesia


dengan faktor resiko diabetes mellitus berdasarkan aktifitas fisik yang kurang
sebanyak 26,1% pada populasi 10 tahun keatas7. Hasdianah (2012) orang yang
malas untuk melakukan olahraga akan meningkatkan resiko terjadinya diabetes
mellitus karena meningkatnya kalori yang tertimbun dalam tubuh akan
menyebabkan disfungsi pankreas18. Benett, dkk. (2005) dalam Rajasa, Afriwardi
& Zein (2016) menyatakan bahwa olahraga atau aktifitas fisik akan menurunkan
resiko diabetes mellitus. Aktifitas olahraga harus dilakukan denganfrekuensi
kurang lebih 3 kali seminggu dengan durasi 30-45 menit setiap berolahraga 19.
Menurut Rahayu, Hudha & Umah (2015) olahraga ringan sampai sedang selama
30 menit dapat meningkatkan sensitifitas hormon insulin17.
2.4.4 Obesitas
Trisnawati dan Setyorogo (2013) individu yang mengalami obesitas
memiliki resiko 7,14 kali lebih besar terkena diabetes mellitus dari pada individu
dengan Indeks Massa Tubuh normal15. Hasdianah (2012) menyatakan bahwa
individu dengan berat badan lebih dari 90 kg memiliki resiko lebih besar untuk
menderita diabetes mellitus18. Resiko yang lebih tinggi pada individu obesitas ini
berhubungan dengan resistensi insulin sehingga dapat mengganggu toleransi
glukosa20.
2.4.5 Kadar Kolesterol Tinggi
Hasil penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013) kadar kolesterol tinggi
akan meningkatkan kadar lemak bebas dalam tubuh yang nantinya akan
meningkatkan resiko terjadinya diabetes mellitus15. Menurut American Diabetes
Association (2016) faktor resiko terjadinya diabetes mellitus saat kadar HDL
kolesterol <35 mg/dL (0.90 mmol/L) dan kadar trigliserid >250 mg/dL (2,82
mmolL)9. Peningkatan kadar lemak akan menurunkan translokasi pengangkutan
glukosa kemembran plasma dan akan menyebabkan resistensi insulin pada
jaringan otot dan adiposa16.
2.4.6 Pola makan
Betteng, Pangemanan & Mayulu (2014) menyatakan bahwa individu yang
sering mengkonsumsi makanan atau minuman manis dapat meningkatkan resiko
mengalami diabetes mellitus karena dengan mengkonsumsi makanan manis dapat
8

meningkatkan kadar glukosa dalam darah21. Menurut Rahayu, Hudha & Umah
(2015) pola konsumsi yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan cepat saji
dan mengkonsumsi makanan yang tidak seimbang akan menyebabkan berbagai
penyakit salah satunya diabetes mellitus 17. Garnita (2012) menyatakan bahwa
mengkonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat, konsumsi protein dan lemak
yang berlebih serta kurang mengkonsumsi buah dan sayur juga dapat
meningkatkan kejadian diabetes mellitus16.
2.4.7 Hipertensi
American Diabetes Association (2016) menyatakan bahwa faktor resiko
terjadinya diabetes mellitus saat tekanan darah > 140/90 mmHg atau pada
penderita hipertensi yang sedang melakukan terapi hipertensi9. Menurut Zieve
(2012) dalam Trisnawati dan Setyorogo (2013) hipertensi akan menyebabkan
penebalan pembuluh darah arteri sehingga pembuluh darah akan menyempit dan
nantinya akan mengganggu pengangkutan glukosa dari dalam darah15.
2.4.8 Merokok
Khotimah, Pranowowati &.Afandi (2013) menyatakan bahwa asap rokok
dapat meningkatkan kadar gula darah sedangkan nikotin dapat merangsang
kelenjar adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid yang dapat meningkatkan
kadar gula darah serta merokok juga dapat menurunkan kerja insulin sehingga
menyebabkan resistensi insulin20. Cindy (2013) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa merokok dapat mempengaruhi kadar HbA1c pada penderita diabetes
mellitus, dimana HbA1c pada penderita diabetes mellitus yang merokok lebih
tinggi dibanding dengan kadar HbA1c pada penderita diabetes mellitus yang tidak
merokok22.
2.4.9 Stres
Stres menyebabkan peningkatan produksi hormon kortisol sehingga akan
membuat penderita diabetes mellitus sulit tidur, depresi, tekanan darah turun dan
nantinya akan membuat individu tersebut lemas dan memperbanyak makan serta
akan menyebabkan obesitas15. Menurut Baradero, dkk. dan Syarifudin dalam
Darmaja (2015) stres akan meningkatkan aktifitas saraf simpatis sehingga
hipotalamus akan mengeluarkan katekolamin yang berlebihan yang akan
9

menyebabkan meningkatnya glikogenesis dan meningkatnya kadar glukosa dalam


darah23.
2.5 Patofisiologi

Gambar 2.1: Hiperglikemi dan Peningkatan Free Fatty Acid pada Diabetes
Tipe 2)
Gambar diatas menjelaskan bahwa mekanisme yang mendasari DMT-2
adalah dua hal yaitu penurunan kemampuan sel β pancreas untuk mensekresikan
insulin sebagai respons terhadap glukosa yang meningkat (sekresi insulin
menurun) dan penurunan respons jaringan perifer terhadap insulin (resistensi
insulin)24. Hal tersebut diakibatkan karena adanya faktor genetik pada diabetes,
adipokine, inflamasi, hiperglikemia, free fatty acid (FFA), dan karena faktor
lainnya.
2.5.1 Resistensi Insulin
Resistensi insulin berarti ketidaksanggupan insulin memberi efek biologik
yang normal pada kadar gula darah tertentu. Dikatakan resistensi insulin bila
dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak untuk mencapai kadar glukosa darah
yang normal25. Resistensi insulin adalah keadaan sensitivitas insulin berkurang.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan konsentrasi glukosa
darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot, lemak, dan
menekan produksi glukosa oleh hati26.
Resistensi insulin dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Gangguan pada pre-reseptor
10

Gangguan ini disebabkan oleh antibodi anti-insulin dan gangguan pada insulin
2. Gangguan Reseptor
Gangguan ini disebabkan oleh jumlah insulin yang kurang, atau kepekaan
reseptor yang menurun
3. Gangguan Post Reseptor
Kerusakan post reseptor ini akan menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi
insulin pada sel β-pankreas, sehingga hiperinsulinemia pada keadaan puasa mapun
post prandial26.
Selain itu resistensi insulin juga disebabkan oleh desensitisasi reseptor insulin
pada tahap post reseptor yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi
glucose transporter, dan aktivasi glikogen sintase. Pada DMT-2 terjadi
peningkatan glukosa darah, namun masih diiringi dengan sekresi insulin, hal ini
mengindikasikan adanya defek pada reseptor insulin maupun post-reseptor. Pada
kondisi resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi gula darah dan penurunan
penggunaan glukosa darah, hal ini akan menyebabkan sel β-pankreas melakukan
adaptasi berupa penurunan sensitifitas untuk mensekresi insulin. Kondisi seperti
ini biasanya terjadi pada DMT-2 stadium lanjut
2.1.3.2 Defek Sekresi Insulin
Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta dapat diterangkan oleh gambar berikut

Gambar 2.2 Sekresi Insulin oleh Rangsangan Glukosa26.


Gambar diatas menjelaskan bahwa sekresi insulin oleh sel beta tergantung oleh
3 faktor utama antara lain kadar glukosa darah, ATP-sensitive K channels dan
11

Voltage-sensitive Calcium Channels sel beta pankreas. Mekanisme kerja ketiga


faktor ini adalah pada keadaan puasa saat kadar glukosa darah turun, ATP
sensitive K channels di membran sel beta akan terbuka sehingga ion kalium akan
meninggalkan sel beta (K-efflux),dengan demikian mempertahankan potensial
membran dalam keadaan hiperpolar sehingga Ca-channels tertutup, akibatnya
kalsium tidak dapat masuk ke dalam sel beta sehingga perangsangan sel beta
untuk mensekresi insulin menurun26.
Sebaliknya pada keadaan setelah makan, kadar glukosa darah yang
meningkat akan ditangkap oleh sel beta melalui glucose transporter 2 (GLUT2)
dan dibawa ke dalam sel. Di dalam sel, glukosa akan mengalami proses
fosforilase menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dengan bantuan enzim glukokinase.
Glukosa 6 fosfat kemudian akan mengalami glikolisis dan akhirnya menjadi asam
piruvat27.
Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu26.
1. Fase dini atau (fase 1) atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama
setelah makan. Insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan
dalam sel beta (siap pakai).
2. Fase lanjut atau (fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah
stimulasi glukosa. Pada fase 1, pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi
insulin untuk mencegah kenaikan kadar glukosa darah, dan kenaikan glukosa
darah selanjutnya akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan produksi insulin.
Makin tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin banyak pula insulin
yang diperlukan, akan tetapi kemampuan ini hanya terbatas pada kadar glukosa
darah dalam batas normal.
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak,
tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin yang terjadi pada orang
normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1
tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh
hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara perlahan
kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian
perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan
12

hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi


hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta26.
Diabetes menyebabkan ginjal menyerap kembali glukosa yang dihasilkan di
glomerulus ginjal, akibatnya terjadi diuresis osmotik sehingga menyebabkan
poliuria, dehidrasi dan kenaikan osmolaritas cair intrasel dan ekstrasel yang
berfungsi merangsang pusat haus di otak untuk minum air lebih dari keadaan
normal untuk menggantikan air yang hilang dari tubuh sehingga pada pasien
diabetes akan timbul gejala polidipsi28.
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis DM yang klasik : mula-mula polifagi, poliuri, dan polidipsi.
Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala Dekompensasi
Pankreas, yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria,polidipsi, dan polifagi.
Ketiga gejala klasik tersebut diatas disebut pula “TRIAS SINDROM DIABETES
AKUT” bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusul dengan mual-muntah
dan ketoasidosis diabetik. Gejala kronis DM yang sering muncul adalah lemah
badan, kesemutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan
penglihatan yang sering berubah, sakit sendi dan lain-lain29.
2.7 Diagnosis
Menurut PERKENI (2011), Diagnosis DM ditegakkan atas dasar
pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes.
Keluhan klasik DM ada seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain pula berupa lemah
badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
13

Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
(Tabel 2.1 Kriteria Diagnosa DM30)
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

(Gambar 2.3 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.)

(Gambar 2.4 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)
14

(Gambar 2.5 Alur Diagnostik DM 2)

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Farmakologi
2.8.1.1 Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
a. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
1.Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output”
dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat
menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh
pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan
gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan
metformin dapat digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada
prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak
menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan
15

sedikit. Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagaljantung [NYHA FC III-IV])30.

2. Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap
insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan
A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah
penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan
peningkatan kejadian gagal jantung kongestif31.
b. Pemacu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pancreas.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak
berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak
diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam
hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko
hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan
dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan
penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki
kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan dosis
yang lebih tinggi sebaiknya dihindari30.

2. Glinide
Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan
tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari
pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaituRepaglinid (derivat asam benzoat)
dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Golongan glinide dapat merunkan A1C
sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai
sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil30.
16

c.Penghambat Absorbsi Glukosa di Saluran Pencernaan


1. Penghambat-glukosidase
Penghambat -glukosidase bekerja menghambatpemecahan
olisakharida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi
berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat.
Monoterapi dengan penghambat -glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia.
Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar
glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di
colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal.
Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini
karena efek samping tersebut30.

2. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin30.
3. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,
Ipragliflozin30.
17

(Gambar 2.6 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di


Indonesia)
18
19

(Gambar2.7 Obat antihiperglikemia oral)


2.8.1.2. Obat Antihiperglikemik Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan


kombinasi insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
20

 Penurunan berat badan yang cepat


 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosisoptimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasibesar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai denganindikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediateactinginsulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longactingi nsulin)
 insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin) 30.
21

(Gambar 2.8 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja


(Time Course of Action)
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untukpengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
22

peningkatan pelepasan insulinE, mempunyai efek menurunkan berat badan,


menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk
golongan ini adalah:Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide30.
Salah satu obat golongan agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di
Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg
perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2 mg setelah satu minggu untuk mendapatkan
efek glikemik yangdiharapkan. Dosis bisa dinaikkan sampai dengan 1.8 mg. Dosis
harian lebih dari 1.8 mg tidak direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama
24 jam dan diberikan sekali sehari secara subkutan30.
23

(Gambar 2.9 Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2)


2.8.2 Non-Farmakoterapi
Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011)
yaitu:
1) Edukasi
Edukasi bertujuan untuk promosi keseh atan supaya hidup menjadi sehat.
Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa digunakan sebagai
pengelolaan DM secara holistic.
24

2) Terapi nutrisi medis (TNM)


Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwalmakan yang
teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama pada pasien
yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin.
3) Latihan jasmani atau olahraga
Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari dalam
seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dan
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang
dianjurkan bersifat aerobic dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut
jantung maksimal seperti: Denyut jantung maksimaldihitung dengan cara: 220 –
usia pasien.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari diabetes sendiri ada bermacam macam. Komplikasi dari
DM sendiri dapat di golongkan menjadi komplikasi akut dan komlikasi kronik.
Beberapa contoh dari komplikasi akut adalah :
a. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol
dan hormon pertumbuhan32.
b. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari
600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.
Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin
dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD,
sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk
mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga
tidak timbul hiperketonemia32.
c. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan :
lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala
25

adrenergik yaitu keringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-
debar32.
Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah,
penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.
Komplikasi kronik dari diabetes melitus sendiri dapat dibagi menjadi 2 :
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komlplikasi mikrovaskuler terdiri
dari:
a. Retinopati diabetik
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif
yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein
serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke
bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka
bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak.
Hal tersebut pada penderita DM bisa menyebabkan kebutaan32.
b. Neuropati diabetik
Neuropati diabetik perifer merupakan penyakit neuropati yang paling
sering terjadi. Gejala dapat berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari32.
c. Nefropati diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200
ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product
yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear
serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang
reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan
berkembang menjadi chronic kidney disease32.
Komplikasi makrovaskular yang sering terjadi biasanya merupakan
makroangiopati. Penyakit yang termasuk dalam komplikasi makrovaskular
adalah:
26

1. Penyakit pembuluh darah jantung atau otak


2. Penyakit pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya
terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul32.
2.10 Pencegahan
2.10.1 Tingkat Pertama
Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan
mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara
memberikan pedoman:
1. Mempertahankan perilaku makan sehari-hari yang sehat dan seimbang
dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan
tinggi lemak dan karbohidrat sederhana.
2. Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan.
3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan
kemampuan33.
2.10.2 Tingkat Kedua
Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai
dengan mendeteksi dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada
setiap kesempatan, terutama untuk mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan
pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan demikian, mereka yang
memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang
dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka
mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes
kemudian dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut
(Hasnah) 33.
2.10.3 Tingkat Ketiga
Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan
dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha
mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta
program rehabilitasi. Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut,
seperti perawatan dan pengobatan khusus pada penderita diabetes mellitus,
27

tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun
kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas33.
Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau
penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes
ada beberapa macam, yaitu:
1. Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.
2. Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
3. Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci
darah.
4. Pembuluh darah tungkai bawah,dilakukan amputasi tungkai bawah.
28

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan metabolik menahun akibat
insulin yang dihasilkan oleh pankreas kurang atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin secara efektif sehingga menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu DM Tipe 1, DM tipe
2, DMM Gestasional, dan DM tipe lain. Diabetes Mellitus dapat disebabkan oleh
faktor genetik atauketurunan, bakteri atau virus, bahan toksisk, asupan makanan,
dan obesitas. Beberapa fakto resiko diabetes mellitus antara lain umur, riwayat
keluarga dengan DM, aktivitas fisik, obesitas, kadar kolesterol tinggi, pola makan,
hipertensi, merokok dan stres.
Manifestasi klinis diabetes dikenal dengan TRIAS SYNDROME Diabetes
Akut berupa polidipsi, polifagi, dan poliuri. Diagnosa dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klasik dan pemeriksaan gula darah. Terapi diabetes mellitus
dapat berupa obat anti hiperglikemik oral atau sutik, atau kombinasi keduanya.
Diabetes mellitus dapat dicegah dengaan pencegahan tingkat pertama, kedua, dan
ketiga. Komplikasi diabetes mellitus berupa komplikasi akut dan kronik.

3.2 Saran
 Dalam penegakan diagnosis diabetes mellitus diperlukan anamnesa serta
pemeriksaan fisik yang tepat, dan sarana pemeriksaan penunjang yang
memadai.
 Perlunya KIE pada pasien dan keluarganya terkait kepatuhan terapi untuk
penyembuhan penyakit dan pencegahan komplikasi.
29

DAFTAR PUSTAKA
1. ADA, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Diabetes Care
USA. 27: 55
2. Soegondo S., Buku Ajar Penyakit Dalam:Insulin : Farmakoterapi pada
Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2, Jilid III, Edisi 4, Jakarta: FK
UI. 2009. pp. 1884
3. Rachmawati, A.M., Bahrun, U., Rusli, B., Hardjoeno. Tes Diabetes Melitus.
Dalam Hardjono dkk. Interpretasi Hasil Diagnostik Tes Laboratorium
Diagnostik. Cetakan 3. Lembaga Pendidikan Universitas Hasanudin.
Makasar. 2007. p. 167-82.
4. Tandra, Hans, Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes,
71-113, 2008, PT. Gramedia Pustaka Tama, Jakarta .
5. Priceand Wilson.2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Vol.2.Jakarta: EGC.
6. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia
7. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.
8. Hartini, S., 2009, Diabetes Siapa Takut, Panduan Lengkap untuk Diabetes,
Keluarganya dan Profesional Medis, Penerbit Qanita, Jakarta, hal 90-93.
9. ADA. (2016). Standart of Medical Care in Diabetes . American Diabetes
Association
10. WHO, 2011. Diabetes Melitus. Diakses pada 15 September 2013.
http://www.who.int/topics/diabetes_melitus/en/
11. John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40.
12. IDF, 2014, IDF Diabetes Atlas, http://www.idf.org/atlasmap/atlasmap, 03Jni
2018.
13. Tokroprawiro, A,, Murtiwi, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya.
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 2015
14. Maulana, M (2008). Mengenal Diabetes Melitus. Yogyakarta: Kata Hati.
15. Trisnawati, S.K dan Setyorogo.S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun
2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1): pp. 6-11
16. Garnita, D. 2012. Faktor Risiko Diabetes Melitus di Indonesia Analisa Data
Sukerti 2007. Skripsi. Depok : FKM UI.
17. Rahayu, T.H.,Hudha, A.M, & Umah, U.S.(2015).Perbandingan Self
Awareness Pola Konsumsi Makanan dan Olahraga dengan Riwayat Keluarga
Memiliki dan Tidak Memiliki Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Mahasiswa
UMM. Jurnal Keperawatan Bolume 6 Nomor 1.
18. Hasdianah. 2012. Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak
– Anak Dengan Solusi Herbal. Yogyakarta : Nuha Medika
19. Rajasa, R.E, Afriwardi & Zein, S.B.(2016).Hubungan Tingkat Keteraturan
Berolahraga Terhadap Komplikasi Penyakit Pada Pasien DM Tipe 2 Di
Politeknik Endokrin RSUP Dr.M.Djamil Padang.Jurnal Kesehatan Andalas,
2016.
30

20. Khotimah,K,Pranowowai, P & Afandi, A.(2013).Gambaran Faktor Resiko


Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Klinik Dr. Martha Ungaran.Artikel Keperawatan.
21. Betteng,R., Pangemanan,D.,& Mayulu,N.(2014).Analisis Faktor Resiko
Penyebab Terjadinya Diabetes Mellitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif
Di Puskesmas Wononasa. Jurnal e- Biomedik (eBM) Volume 2 Nomor 2.
22. Cindy.(2013). Perbandingan Kadar HbA1c Pada Penderita Diabetes Mellitus
Tidak Terkontrol yang Merokok dengan yang Tidak
Merokok.Skripsi.Fakultas Kesehatan Universitas Sumatera Utara, Medan.
23. Darmaja, K.(2015). Fakor-Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Kadar
Gula Darah Pada Lansia dengan Diabetes Mellitus Di Persatuan Werdattama
Republik Indonesia Cabang Kota Denpasar. Jurnal Dunia Kesehatan, Volume
4, Nomor 2.
24. Ozougwu, et all. 2013. The pathogenesis and pathophysiology of type 1 and
type 2 diabetes mellitus. Academic journals
25. American Diabetes Association: Report of the Expert Committee on the
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Clinical Practice
Recommendations 2004. Diabetes Care 2004; 27 : S5-10.
26. Merentek, E. 2006. Resistensi Insulin pada Diabetes Melitus Type II. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150.
27. Basciano H, Frederico L and Adeli K. Fructose, insulin resistence, and
metabolic dyslipidemia. Nurt & Metab. 2005;2(5):1-14
28. Catherine S, Snively M. Chronic Kidney disease. Prevention and treatment of
common complications. American Academy of Family Physicians. 2005;1-5.
29. Tjokroprawiro, Askandar. 2007. ILMU PENYAKIT DALAM. Surabaya :
Airlangga University Press.
30. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia;
20015.
31. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consebsus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus
statement of the American Diabetes Association and the European
Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care2008; 31:1-11.
32. Price SA. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi
: Konsep klinis proses-proses. Jakarta 2005
33. Hasnah. Pencegahan Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2. Media Gizi Pangan.
Vol. VII. Ed. 1. Universitas Islam Negeri. Makassar. 2009

Anda mungkin juga menyukai