Pengertian Deposito
Salah satu produk yang diterbitkan oleh bank adalah deposito. Deposito adalah tabungan berjangka
yang tidak boleh diambil sampai habis jangka waktu yang disepakati dengan mendapatkan
prosentasi keuntungan dari uang yang didepositokan. Apabila mengambil uang yang telah
didepositokan, maka akan terkena denda yang telah ditetapkan oleh bank.
Joko ingin memanfaatkan produk deposito. Dia mendepositokan uangnya sebesar Rp 50 juta dalam
jangka waktu 3 bulan. Bunga deposito selama setahun adalah 5 %. Jadi dalam sebulan dia
mendapatkan = Rp 50 juta x 5 % : 12 bulan = Rp 208.333,33/bulan. Kemudian penghasilan tersebut
dipotong pajak penghasilan 20 %. Dengan demikian Joko dalam tiga bulan mendapatkan Rp
208.333,33 x 3 bulan = Rp 625.000,00 , sebelum dipotong pajak.
Joko tidak perlu khawatir dengan uang yang didepositokannya. Uang tersebut pasti mendapatkan
keuntungan walaupun tidak begitu besar. Meskipun bank sedang pailit atau merugi, bank tetap
harus membayarkan keuntungan/bunga dari uang yang didepositokan Joko.
Di lain sisi ada juga produk serupa yang diterbitkan oleh beberapa Lembaga Keuangan Syariah.
Mereka menamakannya dengan mudharabah atau bagi hasil. Mereka menyatakan bahwa uang
modal yang di-mudharabah-kan akan digunakan untuk usaha yang halal, sehingga menghasilkan
keuntungan yang dapat dibagi setiap bulannya. Mereka menetapkan keuntungan yang besarnya
diprosentasekan dari modal. Meskipun mereka menyatakan bahwa prosentasenya bisa berubah-
ubah tergantung keadaan bank, tetapi keuntungan masih didapatkan meskipun bank dalam keadaan
merugi atau usahanya merugi.
Bagaimana sebenarnya memahami kasus seperti ini? Apakah hal ini termasuk keuntungan yang halal
ataukah hal ini mengandung unsur riba? Jika ini riba, bagaimana seharusnya solusi terbaik yang
diberikan?
Memahami Riba
Sebelum kita membahas permasalahan ini, penulis perlu tekankan bahwa kita jangan terpengaruh
dengan istilah/penamaan yang digunakan oleh berbagai lembaga keuangan. Kita harus melihat
kepada hakikat transaksinya sehingga kita bisa menghukumi setiap permasalahan dengan tepat.
Kita juga harus paham bahwasanya yang dimaksud dengan riba atau lebih spesifik disebut riba
nasiah adalah mengambil keuntungan dari hutang yang dipinjamkan.
Riba diharamkan oleh Allah secara mutlak, baik tambahannya banyak maupun sedikit, baik berupa
uang lebih maupun manfaat atau jasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
“… Dan riba jahiliah dihapuskan. Riba pertama yang saya hapuskan dari riba-riba kita adalah riba
‘Abbas bin Abdil-Muththalib. Sesungguhnya riba tersebut dihapuskan semuanya.”[Muslim no. 1218.]
ََّان
َ ن َوك َّْ َ ن أ
َّْ ِّن ال َجا ِّهلِّي َِّّة ِّربَا م َِّّ علَى لِّلر هج
ََّ ل يَ هك ْو َ ل
َِّّ ْن الر هج َُّّ ِّْن فَيَح
َّل الدي ه َّب لَ َّهه فَيَقه ْو ه
َّ الدي ه، ل َّصاحِّ ه
َ ْن
َِّّ الدي: ي ِّ تربي أ َ َّْو ت َ ْق، ن
َّْ ض َّْ ِّ عليْه زَ ا ََّد أَخ ََّرَّهه فَإ
َ
َ
َوأخ َره
“Di antara bentuk riba jahiliah adalah seseorang memiliki hutang kepada orang lain, kemudian
hutang tersebut jatuh tempo, kemudian orang yang meminjamkan uang berkata, ‘Engkau bayar atau
engkau tambahkan (ribakan)?’ Jika dia ingin mengakhirkannya, maka dia menambahnya.”[Lihat:
Ma’rifatu As-Sunan Wal-Atsar lil-Baihaqi VIII/29 no. 3395]
ََّان
َ الربَا كِّ ن ْال َجا ِّهلِّي َِّّة فِّى َّْ َ ون أ َِّّ علَى لِّلر هج
ََّ ل يَ هك َ ل َُّّ ق َحلَّ فََّإِّذَا أَجْ لَّ إِّلَى ْال َح
َِّّ ق الر هج َُّّ ل ْال َح ِّ ن ت ه ْربِّى أ ََّْم أَت َ ْق
ََّ ضى قَا َ ََح ِّق َِّّه فِّى زَ ا َدَّهه َوإِّلَّ أ َ َخ َّذَ ق
َّْ ِّ ضاَّهه فَإ
َر َوزَ ا َدَّهه
َّل فِّى اآلخ ه َِّّ األ َ َج.
“Dulu riba di masa jahiliah, seseorang memiliki suatu hak kepada orang lain sampat tempo tertentu.
Apabila telah jatuh tempo, maka dia berkata, ‘Engkau mau membayarnya atau engkau tambahkan
(ribakan)?’ Apabila dia bayar, maka dia ambil haknya dan jika tidak, maka orang tersebut
menambahnya dan bertambah pula temponya.”[Muwaththa’Al- Imam Malik. Bab Maa Jaa-a fir-Riba
fid-Dain, II/672 no. 1353]
Para ulama juga telah membuatkan kaidah fiqhiyah untuk mengenal semua jenis riba, kaidah
tersebut berbunyi:
“Setiap perhutangan yang menghasilkan manfaat (untuk orang yang meminjamkannya), maka dia
adalah riba.”
Kaidah ini sangat penting untuk mengenal berbagai macam jenis riba saat ini.
Kalau kita perhatikan kasus di atas, maka kita bisa menghukumi bahwa deposito bank dan
mudharabah LKS di atas masih mengandung riba di dalamnya sehingga diharamkan. Karena
sebenarnya orang yang mendepositokan uangnya di bank, dia sedang meminjamkan uangnya
kepada bank, kemudian dia mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkan tersebut,
keuntungan tersebut pasti dia dapatkan dan tidak ada resiko untuk rugi apabila bank rugi.
Jika keuntungan yang didapat tidak lebih dari 10 %, boleh atau tidak?
Sebagian orang menyangka bahwa boleh mendepositokan uang dengan alasan hasil yang didapat
jika tidak besar, maka tidak mengapa. Sebagian orang mengatakan bahwa jika tidak lebih dari 10 %
maka tidak mengapa. Bagaimana menanggapi hal ini?
Memang ada yang berpendapat demikian. Mereka salah dalam memahami ayat ini:
Mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat keuntungannya,
sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa.
Mereka salah memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa larangan riba
dilakukan dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai berikut:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).” (QS Ar-Rum: 39)
ظ ْل َّم
ن فَبِّ ه ََّ علَ ْي ِّه َّْم َحر ْمنَا هَادهوا الذ
ََّ ِِّّين م َ َّطيِّبَات َ تَّْ ص ِّد ِّه َّْم لَ هه َّْم أهحِّ ل َّْ ع
َ ِّن َوب ََّ ل ً ( َكث160) الربَا َوأ َ ْخ ِّذ ِّه هَّم
َ َِِّّّيرا ّللا
َِّّ سبِّي َ ل َوأ َ ْك ِّل ِّه َّْم
ِّ ع ْن َّهه نه ههوا َوقَ َّْد ََّ أ َ ْم َوا
َّ ِّ ل الن
اس َِّّ ِّين َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِّب ْال َباط
ََّ عذَابًا مِّ ْن هه َّْم ل ِّْلكَاف ِِّّرَ ( أَلِّي ًما161)
“ (160) Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, (161) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (QS An-Nisa’: 160-161)
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka
masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah riba juga diharamkan pada kaum muslimin.
Tahap III: Firman Allah ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)
Pada ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah riba yang berlipat
ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa riba yang sedikit masih tidak mengapa.
َِّّين
َ ون الذ ََّ الربَا يَأ ْ هكله ِّ ل ََّ ون ََّ ان يَتَخَبطه َّهه الذِّي يَقهو هَّم َك َما إِّلَّ يَقهو هم َّط ه َ ن الش ْي ََّ ِّس م َّ ِّ ِّك ْال َم ََّ ل ْالبَ ْي هَّع إِّن َما قَالهوا بِّأَن هه َّْم ذَل َّالربَا مِّ ثْ ه
ِّ َّّللاه َوأ َ َحل َّ الربَا َو َحر ََّم ْالبَ ْي ََّع
ِّ
َّْ ظ َّةٌ َجا َءَّهه فَ َم
ن َ ن َم ْو ِّع َّْ ِّف َما فَلَ َّه ه فَا ْنت َ َهى َر ِّب َِّّه م ََّ َسل َّ
ه ر م
َ ِّ َ ْ ه ه َ أ و ى َ ل إ ِّ َّ
ّللا ْ
َّ
ن م و
َ َ َ َ ََّ
د ا ع َّ
ِّك ئ َ ل و ه أ َ ف َّ
اب ح ص
ِّ َ َ ْ ِّ ْ َ هَ أ َّ
ار الن َّ
م ه
ه ا ه ِّي ف َّ
هون دل َا
خ (275) ه
َّ
ق ح م ي َّ
ّللا
َ ْ َ ِّ َ ه اب الر
ت َوي ْهربِّي َِّّ ّللاه الص َدقَا َّ ل َو ََّ ب َُّّ ِّ( أَثِّيمَّ كَفارَّ كهلَّ يهح276) َِّّين ِّإن ََّ عمِّ لهوا آ َمنهوا الذ َ ت َو َِّّ لَ هه َّْم الزكَاَّة َ َوآت هَوا الص َلَّة َ َوأَقَا هموا الصا ِّل َحا
ل َربِّ ِّه َّْم ِّع ْن ََّد أَجْ هر هه َّْمََّ ف َو ٌَّ علَ ْي ِّه َّْم خ َْو َ ل ََّ ون هه َّْم َوََّ ( يَحْ زَ نه277) ِّين أَيُّ َها يَا ََّ ِّي َما َوذَ هروا ّللاََّ اتقهوا آ َمنهوا الذ ََّ ن بَق ََّ ِّالربَا م
ِّ ن َّْ ِِّّين هك ْنت هَّْم إ
ََّ ( همؤْ مِّ ن278)
َّْ ِّ ن ِّب َح ْربَّ فَأْذَنهوا ت َ ْف َعلهوا لَ َّْم فَإ
ن ََّ ِّسو ِّل َِّّه ّللاَِّّ م ر و ْ
َّ
ن
ْ ْ َ ِّ َ َ ه إو َّ
م ه تبْ ه ت َّ
م ه
َّ
ك َ ل َ ف َّ
وس ء ر
َْ ْ ه ه ه َّ
م ه
ك ل
ِّ او م َ أ َّ
ل َ َّ
ون
َ م
ه ل
ِّ ْ
َظ ت َّ
ل َ وَ َّ
ون
َ مه َ لظ ْ ه ت (279)
“ (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit. Keadaan mereka yang demikian itu
disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.
(276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhan-nya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.
(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kalian tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan
jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)
Dengan memahami tahap-tahap ini, seseorang akan paham bahwa pada akhirnya riba diharamkan
secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik banyak maupun sedikit.[Lihat: Fiqh sunnah 3/174
dan At-Tadarruj fi Tahriim Ar-Riba (www.hablullah.com)]
Dan dengan jelas juga diterangkan pada hadits di atas, bahwa riba dihapuskan seluruhnya dan riba
yang pertama kali dihapuskan adalah riba ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadits tersebut adalah
potongan dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah. Sehingga perharaman riba
secara mutlak adalah pengharaman terakhir sebelum beliau wafat.
Di dalam Islam, permasalahan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan sudah diatur.
Permasalahan ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil)[Mudharabah yang sebenarnya dan bukan
versi beberapa Lembaga Keuangan Syariat, penj]. Di dalam mudharabah terdapat: pemilik modal
(shahibul-mal), pengusaha (mudharib), modal yang dikeluarkan (ra’sul-mal) dan pembagian
keuntungan (ribh).
Pembagian keuntungan diprosentasekan dari keuntungan dan bukan dari modal, misal untuk pemilik
modal 40 % dan untuk pengusaha 60 % atau pemilik modal 55 % dan pengusaha 45 %, sesuai
kesepakatan antara mereka berdua di awal akad.
Apabila terjadi kerugian, maka pengusaha tidak mendapatkan apa-apa dan pemilik modal kehilangan
modalnya. Inilah yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan.
Apabila terjadi sengketa, maka bisa diselesaikan dengan melihat amanat dari pengusaha. Jika
pengusaha amanat dalam menjalankan usaha dan ternyata usaha merugi, maka pemilik modal tidak
boleh menuntutnya. Akan tetapi, seandainya pengusaha tidak amanat dalam menggunakan harta,
seperti: menggunakan untuk keperluan pribadinya, menggunakan modal tidak sesuai kesepakatan,
maka pemilik modal bisa menuntut untuk dikembalikan modalnya.
Inilah solusi yang tepat yang diberikan oleh syariat. Daripada menggunakan produk deposito bank,
maka solusi yang terbaik adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Bahkan kalau
dihitung-hitung, maka keuntungan yang diperoleh dari mudharabah lebih besar daripada deposito
bank.
Jika mereka mampu atau diizinkan menjadi perusahaan sendiri yang memiliki berbagai usaha halal
dan orang-orang yang memiliki uang bisa menanamkan sahamnya di sana dengan kesiapan
menanggung kerugian jika ternyata usahanya rugi dan mendapatkan keuntungan dari prosentase
keuntungan bukan dari modal, maka hal tersebut menjadi solusi untuk kasus seperti ini.
Daftar Pustaka:
Al-Asybah wa An-Nazhair ‘ala Madzhabi Abi Hanifah An-Nu’man. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
Al-Farqu Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Dar Al-Qasim.
Dukung kami dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR. 081 326 333 328 dan 087 882 888 727