Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi terkuat
untuk terjadinya osteoartritis (OA), terutama pada sendi lutut. Setengah dari berat
badan seseorang bertumpu pada sendi lutut selama berjalan. Berat badan yang
meningkat akan memperberat beban sendi lutut. Obesitas adalah jumlah Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30 kg per m2. Prevalensi obesitas di seluruh dunia selalu
meningkat dari tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) pada tahun 2003
mencatat bahwa 300 juta orang menderita obesitas secara klinis, WHO juga
memprediksikan bahwa pada tahun 2015 orang dewasa akan mengalami obesitas 700
juta. Pada tahun 2010 Riskesdas mendapatkan obesitas pada penduduk usia di atas 18
tahun tercatat sebanyak 27,1%. Prevalensi obesitas pun lebih tinggi didaerah
perkotaan dibanding dengan pedesaan, berdasarkan jenis kelamin prevalensi obesitas
pada perempuan lebih tinggi (32,9%) dibanding laki-laki (19,7%) dan pada tahun
2013 Riskesdas mendapatkan 14,8 % diantaranya obesitas dengan prevalensi gemuk
tertinggi adalah provinsi Sulawesi Utara dan terendah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
(1)

Penelitian di Chingford menyimpulkan risiko meningkatnya osteoartritis


Genu disebabkan oleh peningkatan berat badan. Penurunan 5 kg berat badan
mengurangi risiko osteoartritis lutut pada wanita sebesar 50% secara simtomatik.
Demikian juga peningkatan risiko osteoartritis progresif tampaknya akan terlihat pada
seseorang yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh tertentu (
Murphy. E, 2003 ).(2)

Di Indonesia prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30%


pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun. Untuk osteoarthritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita ( Isbagio H,
2006 ). Dianggarkan 25 % orang yang berumur 55 tahun atau lebih sering mengalami
sakit lutut setiap hari dalam sebulan dalam setahun, dan setengah daripadanya
menderita radiographic osteoarthritis pada lutut. Dalam sekumpulan dipertimbangkan
mengalami osteoartritis yang simtomatik ( David T. Felson 2006 ). Prevalensi
osteoartritis lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada
pria, dan 12.7% pada wanita. (3)

Dari Penelitian yang dilakukan oleh Niken dan Lucia (2014) tentang
Hubungan Obesitas dan Faktor-Faktor Pada Individu dengan Kejadian Osteoarthritis
Genu di Rumah Sakit Islam Surabaya pada bulan Maret 2013 sampai bulan Juli 2013,
didapatkan bahwa osteoarthritis akibat obesitas merupakan penyakit nomor tiga
terbanyak dan prevalensi osteoarthritis genu di Rumah Sakit Islam Surabaya sekitar
10,3 % pada tahun 2012 dilihat dari jumlah pasien yang melakukan pemeriksaan foto
rontgen. Dilihat dari pengamatan dan data catatan medis, pasien yang datang untuk
melakukan foto rontgen dengan klinis osteoarthritis genu sebagian besar mempunyai
berat badan berlebih. Dari 32 pasien yang terkena osteoarthritis didapatkan 25 pasien
yang tergolong obesitas dengan IMT lebih dari 30 kg per m2.(4)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan


masalah penelitian adalah apakah terdapat pengaruh obesitas terhadap osteoarthritis
genu ?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh obesitas terhadap osteoarthritis genu.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi obesitas.

2. Untuk mengidentifikasi osteoarthritis genu.

3. Untuk menganalisa pengaruh obesitas terhadap osteoarthritis genu.


1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Dalam Bidang Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan ilmu


pendidikan dan mendukung teori-teori yang sudah ada dan dapat pula sebagai
acuan untuk pelaksanaan penelitian yang lebih lanjut mengenai hubungan
obesitas dengan osteoarthritis genu.

1.5.2 Manfaat Dalam Bidang Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pelayanan


kesehatan untuk mencegah dan penatalaksanaan lebih lanjut terhadap
osteoarthritis genu yang disebabkan oleh obesitas.

.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obesitas

2.1.1. Definisi

Obesitas adalah peningkatan berat badan yang melebihi batas kebutuhan

skeletal dan fisik akibat akumulasi lemak secara berlebihan di dalam tubuh. (5)

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan

metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.

Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi

lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adipose sehingga dapat

mengganggu kesehatan.(6) Prinsipnya, pada obesitasditemukan ketidakseimbangan

antara masukan energi (intake) dan energi yang dikeluarkan, dimana masukan

energi lebih besar daripada pengeluarannya.(7)

2.1.2. Epidemiologi

Saat ini diperkirakan jumlah orang di seluruh dunia dengan IMT 30 kg/m2

melebihi 250 juta orang, yaitu sekitar 7% dari populasi orang dewasa di dunia.

Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang terjadi di Negara-negara yang

sedang berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi pada populasi di


Negara-negara ini, termasuk di Indonesia. Penelitian epidemiologi yang dilakukan

di daerah sub urban, yaitu di Koja dan Jakarta Utara, pada tahun 1982, didapatkan

prevalensi obesitas sebesar 4,2%; di daerah Kayu putih, Jakarta Pusat, yaitu pada

tahun 1992, prevalensi obesitas sudah mencapai 17,1%, dimana ditemukan

prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan masing-masing10,9% dan 24,1%.

Pada populasi obesitas tersebut, didapatkan kasus dyslipidemia pada 19% laki-laki

dan 10,8%perempuan, sedangkan hipertrigliseridemia didapatkan pada 16,6%laki-

laki. Pada penelitian epidemiologi di daerah Abadijaya, Depok, pada tahun 2001

didapatkan 48,6%, pada tahun 2002 didapatkan 45%, dan pada tahun 2003

didapatkan 44% orang dengan berat badan lebih dan obesitas; sedangkan IMT pada

tahun 2001 yaitu 25,1 kg/m2, tahun 2002; 24,8 kg/m2 dan pada tahun 2003; 24,3

kg/m2. (6)

WHO (2004) menyatakan bahwa obesitas telah menjadi masalah dunia. Di

Indonesia sendiri ditemukan peningkatan angka penderita obesitas yang signifikan

dari tahun ke tahun (WHO, 2004). Prevalensi nasional obesitas pada penduduk

dewasa berusia ≥ 15 tahun di 10 provinsi di Indonesia tahun 2007 yaitu Sulawesi

Utara (33,3%), Jakarta (26,9%), Gorontalo (26,3%), Maluku Utara (24,4%),

Kalimantan Timur (23,5%), Papua Barat (23,0%), Kepulauan Riau (22,8%), Papua

(22,4%), Bangka Belitung (22,2%), dan Sumatera Utara (20,9%) (Riskesdas,

2007).

2.1.3. Etiologi
a.Faktor genetik

Obesitas jelas menurun dalam keluarga. Namun peran genetik yang pasti

untuk menimbulkan obesitas masih sulit dijelaskan, karena anggota keluarga

umumnya memiliki kebiasaan makan dan pola aktivitas fisik yang sama. Akan

tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa 20 sampai 25 persen kasus obesitas

dapat disebabkan oleh faktor genetic. (7)

b. Kelainan neurogenik

Orang dengan tumor hipofisis yang menginvasi hipotalamus seringkali

mengalami obesitas yang progresif, yang memperlihatkan bahwa obesitas pada

manusia, juga dapat timbul akibat kerusakan pada hipotalamus walaupun

kerusakan hipotalamus hampir tidak pernah dijumpai pada orang obese.

Abnormalitas neurotransmiter atau mekanisme reseptor lain juga dapat dijumpai

di jaras saraf hipotalamus yang mengatur perilaku makan. (7)

c. Nutrisi berlebih pada masa kanak-kanak

Kecepatan pembentukan sel-sel lemak yang baru terbentuk meningkat

pada tahun-tahun pertama kehidupan, dan makin besar kecepatan penyimpanan

lemak, makin besar pula jumlah sel lemak. Oleh karena itu, dianggap bahwa

nutrisi yang berlebih pada anak, terutama pada bayi dapat menimbulkan obesitas

di kemudian hari. (7)

d. Perilaku makan yang tidak baik

Walaupun beberapa mekanisme fisiologis dapat mengatur asupan

makanan, faktor lingkungan dan psikologis juga dapat menimbulkan perilaku

makan yang tidak normal, masukan energi yang berlebih, dan obesitas.
Pengaruh faktor lingkungan terhadap perilaku makan yang tidak baik sangat

nyata, yaitu dengan ditemukan adanya peningkatan prevalensi obesitas yang

cepat di sebagian besar negara maju, yang dibarengi dengan berlimpahnya

makanan berenergi tinggi (terutama makanan berlemak) dan gaya hidup tidak

aktif. (7)

2.1.4. Faktor risiko

Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya obesitas diantaranya sebagai

berikut :

a. Faktor psikologis

Faktor psikologis juga dapat menyebabkan obesitas pada beberapa

individu. Misalnya berat badan orang seringkali meningkat selama atau setelah

orang tersebut mengalami stres, seperti kematian orang tua, penyakit yang parah

atau bahkan depresi. Perilaku makan nampaknya dapat menjadi sarana

penyaluran stres . (7)

b. Aktivitas fisik

Berkurangnya aktivitas fisik telah dihubungkan dengan terjadinya

peningkatan berat badan.Sebagian besar energi yang masuk melalui makanan

pada remaja dan dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya

aktivitas fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan sebagai lemak,

sehingga cenderung pada orang-orang yang kurang melakukan aktivitas atau

berolahraga akan menjadi gemuk. Hal ini disebabkan oleh jumlah kalori yang

dibakar lebih sedikit dibandingkan kalori yang diperoleh dari makanan yang
dikonsumsi sehingga berpotensi menimbulkan penimbunan lemak berlebih di

dalam tubuh.(8)

c. Faktor lingkungan yang tidak sehat

Banyak faktor lingkungan yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

kelebihan berat badan dan obesitas, seperti faktor sosial yang tidak baik, akses

yang mudah untuk makanan tidak sehat atau makanan cepat saji, fasilitas

rekreasi yang kurang, dan paparan bahan kimia yang disebut sebagai obesogens

yang dapat mengubah hormon dan meningkatkan jaringan lemak dalam tubuh.

(9)

2.1.5. Bentuk-bentuk obesitas

Masalah kesehatan yang diperburuk oleh kelebihan lemak tergantung dari

distribusi lemak yang tersebar dalam tubuh. Penumpukan lemak di tubuh bagian

atas seperti abdomen, dada, lengan, leher, dan muka lebih berbahaya daripada

penumpukan lemak di tubuh bagian bawah seperti pinggul, paha, bokong, dan

perut.

2.1.6. Patofisiologi

Secara umum obesitas dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan kalori,

yang diakibatkan asupan energi yang jauh melebihi kebutuhan tubuh. Pada bayi

(infant), penumpukan lemak terjadi akibat pemberian makanan pendamping ASI

yang terlalu dini, terutama apabila makanan tersebut memiliki kandungan

karbohidrat, lemak dan protein yang tinggi. Obesitas terjadi karena adanya

kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan

keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer)

sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat
adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%). Pengaturan

keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis,

yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran

energi, dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi

ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah

mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus, dan lambung).

Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan

pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia atau menurunkan

rasa lapar dan meningkatkan pengeluaran energi). Pengaturan jumlah asupan

makanan dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pengaturan jangka pendek dan

pengaturan jangka panjang. Pengaturan jangka pendek mempengaruhi porsi makan

atau mencegah makan yang berlebihan di setiap waktu makan, yang berhubungan

dengan faktor distensi lambung dan faktor hormonal saluran cerna yang

menghambat perilaku makan (Peptida YY dan kolesistokinin atau CCK) sebagai

stimulator ke pusat makan untukmenurunkan rasa lapar. Pengaturan jangka

panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur

penyimpanan dan keseimbangan energi dalam jumlah normal. Apabila asupan

energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai

dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian

merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro

Peptide –Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula

sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan

adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus

yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita


obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak

menyebabkan penurunan nafsu makan (Robins, 2009 dan Guyton & Hall, 2007).

2.1.7. Pengukuran Antopometri Sebagai Skreening Obesitas

Obesitas dapat dinilai dengan berbagai cara, metode yang lazim digunakan

saat ini antara lain pengukuran indeks massa tubuh (IMT), Lingkar Pinggang

(Waist Circumference), serta perbandingan lingkar pinggang dan panggul (Waist-

Hip Ratio). Berikut ini penjelasan masing-masing metode pengukuran antopometri

tubuh :

1. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Body Mass Indexatau Indeks Massa Tubuh adalah ukuran tinggi dan

berat individu, yang dihitung dengan membagi berat badan seseorang dalam

kilogram dengan tinggi badan yang dikuadrat dalam meter.Menggunakan BMI

memungkinkan untuk menentukan berat badan seseorang yang sesuai dengan

tinggi badan mereka, sehingga memungkinkan membandingkan individu

dengan ketinggian yang berbeda.Indeks massa tubuh dipergunakan untuk

pengukuran gizi pada orangdewasa (usia 18 tahun keatas). IMT tidak dapat

diterapkan pada bayi usia kurang dari 2 tahun, anak, remaja, ibu hamil,

olahragawan serta keadaan khusus (penyakit) seperti adanya edema, asites dan

hepatomegali.Hal ini disebabkanIMT tidak bisa membedakan antara massa

lemak dengan massa otot ataupun cairan. (10)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO,

yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang

laki-laki adalah 20,15-25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8 . (10)


Berat Badan (kg)
BMI =
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)²

Selengkapnya bisa melihat tabel berikut ini :

Tabel2.3. Klasifikasi Berat Badan Rendah, Berat Badan Berlebih dan Obesitas

berdasarkan BMI

Klasifikasi BMI (kg/m2) Risiko menderita

penyakit kronik

Underweight < 18,5 Low (tetapi mortalitas

dan morbiditas akan

meningkat karena

penyebab lain)

Severe thinness < 16,0

Moderate thinness 16,0 – 16,9

Mild thinness 17,0 – 18,5

Normal range 18,5 – 24,9 Average

Overweight ≥25,0

Pre-obese 25,0 – 29,9 Increased

Obese ≥30,0

Obese class I 30,0 – 34,9 Moderate

Obese class II 35,0 – 39,9 Severe

Obese class III ≥40,0 Very severe


Cuts offs may not be approptiate for > 65 year old

Sumber : WHO, 2006

2. Lingkar Pinggang (Waist Circumference)

Antropometri (dari bahasa Yunani, antropo yang berarti manusia dan

metri yang yang berarti mengukur, secara literal berarti “pengukuran

manusia”), dalam antropologi fisik merujuk pada pengukuran individu manusia

untuk mengetahui variasi fisik manusia. (11)

Distribusi lemak dalam tubuh dapat diketahui dengan menggunakan

pengukuran lingkar lengan atas (LILA), pengukuran lingkar pinggang dan

melihat ciri fisik bentuk tubuh. Ukuran lingkar pinggang sebetulnya sudah

cukup bisa jadi parameter. Ukuran pinggang yang lebih dari normal

menggambarkan banyak lemak yang tertimbun di daerah perut. Lemak perut ini

cukup berbahaya, karena ia berada di dekat organ-organ internal, seperti ginjal,

hati, jantung, dan usus yang dapat mempengaruhi organ tersebut. Itulah

sebabnya, orang yang memiliki ukuran lingkar pinggang lebih dari normal

berisiko menderitaberbagai jenis penyakit. Hormon yang dikeluarkan oleh sel-

sel lemak dapat mempengaruhi berbagai hal antara lain orang menjadi resistan

insulin. Sel-sel tubuhnya tidak bereaksi dengan insulin yang dikeluarkannya

sendiri. Akibatnya, gula darah jadi tinggi, kadang-kadang turun mendadak.

Penumpukan kolesterol dapat menjadi sumber penyebab munculnya berbagai

macam penyakit berbahaya seperti penyakit jantung, ginjal maupun hipertensi.

(12)
Tabel.2.5. Ukuran lingkar pinggang berdasarkan jenis kelamin

Lingkar pinggang

Jenis kelamin Normal Berlebih

Berisiko Sangat

berisiko

Laki-laki < 90 cm 90-98 cm >98 cm

Wanita < 80 cm 80-88 cm >88 cm

Sumber : WHO, 2008

3. Lingkar pinggang panggul (Waist-Hip Ratio)

Rasio lingkar pinggang terhadap panggul (Waist-Hip Ratio), ialah cara

sederhana dalam penentuan distribusi lemakpada jaringan intraabdominal. (11)

Untuk menilai waist-hip ratio, hasil ukur yang didapat dimasukkan ke dalam

rumus berikut ini :

lingkar pinggang tersempit (cm)


𝑊𝑎𝑖𝑠𝑡 − 𝐻𝑖𝑝 𝑅𝑎𝑡𝑖𝑜 =
lingkar panggul terlebar (cm)

Hasil yang didapat selanjutnya akan disesuaikan dengan kategori pada tabel

klasifikasi waist-hip ratioberikut:

Tabel.2.6.Klasifikasi Waist-Hip Ratio Orang Dewasa

Waist-Hip Ratio
Nilai (cm) Klasifikasi

0,74 atau lebih rendah Non Obese

0,75 hingga 0,85 Obese

>0,85 Obesitas sentral

Sumber : WHO, 2008

2.1.8. Penatalaksanaan

Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya,

diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi

diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri

terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control,

pemecahan masalah, contingency management, cognitive restruction, dan

dukungan sosial. (6)

Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting dalam program

manajemen berat badan. Sibutramine dan Orlistat merupakan obat-obatan penurun

berat badan yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di

Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka panjang. Pada pasien dengan indikasi

obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna. Sibutramine ditambah diet

rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti dapat menurunkan berat badan. Namun,

dengan pemberian sibutramine dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut

jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat

hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau riwayat

stroke.Orlistat dapat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30%. Pengawasan

secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan

keamanan. (6)
Selain farmakoterapi, dapat juga dilakukan prosedur pembedahan untuk

menangani obesitas. Walaupun prosedur-prosedur pembedahan pada umumnya

menghasilkan penurunan berat badan yang berarti pada orang obese, pembedahan

tersebut merupakan operasi besar, dan efek jangka panjangnya terhadap kesehatan

secara keseluruhan dan mortalitasnya masih belum pasti. (7)

2.2. Osteoartritis

2.2.1. Definisi

Osteoartritis (OA) adalah gangguan sendi yangbersifat kronis, yang ditandai

dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi pada tepi tulang, dan

perubahan pada membran sinovial. Gangguan ini disertai dengan nyeri, biasanya

setelah aktivitas berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada pagi hari atau

setelah inaktivitas. (5)

OA merupakan penyakit gangguan homeostasis metabolisme kartilago

dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas

diketahui. (6)

2.2.2. Etiologi

Berdasarkan etiopatogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu

osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer disebut juga

osteoartritis idiopatik yaitu osteoartritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada

sendi. Sedangkan osteoartritis sekunder adalah osteoartritis yang didasari oleh

adanya kelainan endokrin (seperti acromegaly, hyperparathyroidisme

danhyperuricemia), inflamasi, post-traumatik, metabolik(seperti

rickets,hemochromatis, chondrocalcinosis, danochronosis), kelainan pertumbuhan,

herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. (6)

Defek primer pada osteoartritis idiopatik maupun osteoartritis sekunder

adalah hilangnya kartilago sendi akibat perubahan fungsional kondrosit (sel-sel

yang bertanggung jawab atas pembentukan proteoglikan, yaitu glikoprotein yang

bekerja sebagai bahan seperti semen dalam tulang rawan dan kolagen). (13)

2.2.3. Epidemiologi

Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif dengan etiologi dan

patogenesis yang belum jelas. Pada umumnya penderita osteoartritis berusia di atas

40 tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. (14)

Osteoartritis merupakan golongan penyakit sendi yang paling sering

menimbulkan gangguan sendi, dan menduduki urutan pertama baik yang pernah

dilaporkan di Indonesia maupun di luar negeri. Dari sekian banyak sendi yang

dapat terserang OA, lutut merupakan sendi yang paling sering

terserang.Osteoartritis lutut merupakan penyebab utama rasa sakit dan

ketidakmampuan beraktivitas dibandingkan dengan OA pada sendi lainnya. (15)

Penelitian epidemiologi dari Joern et al (2010) menemukan bahwa orang

dengan kelompok umur 60-64 tahun yang menderita OA sebanyak 22%. Pada pria

dengan kelompok umur yang sama, dijumpai 23% menderita osteoartritis pada
lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita osteoartritis pada lutut

kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden

osteoartritis pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7%.

(16)

2.2.4. Gejala klinis

Pasien OA biasanya berusia lebih dari 40 tahun dan osteoartritis lutut lebih

banyak terjadi pada penderita dengan kelebihan berat badan.Pada umumnya, pasien

osteoartritis mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang dirasakannya telah

berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan. Berikut adalah keluhan yang

dapat dijumpai pada pasien osteoartritis :


1. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah

dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Perubahan ini dapat

ditemukan meski osteoartritis masih tergolong dini (secara radiologis).

Umumnya rasa nyeri tersebut akan semakin bertambah berat sampai sendi

hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur, hambatan gerak dapat

konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan

saja).(6 & 17)

Berdasarkan hasilMagnetic Resonance Imaging (MRI), didapat bahwa

sumber dari nyeri yang timbul didugaberasal dari peradangan sendi (sinovitis),

efusi sendi, dan edema sumsum tulang.Osteofit merupakan salah satu penyebab

timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi

bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang

berkembang. Hal ini akan menimbulkan nyeri. (14)

2. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan

dengan pertambahan rasa nyeri (Sudoyo, A.W, 2006). Gangguan pergerakan

pada sendi disebabkan oleh adanya fibrosis pada kapsul, osteofit atau

iregularitas permukaan sendi. (6)


3. Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak

melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu

yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari. (17)

4. Krepitasi

Krepitasi atau rasa gemeretak dapat timbul pada sendi yang sakit. Gejala

ini umum dijumpai pada pasien osteoartritis lutut. Pada awalnyahanya berupa

perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk.(6)

5. Perubahan bentuk sendi (Deformitas)

Perubahan bentuk sendi ditemukan akibat kontraktur kapsul serta

instabilitas sendi karena kerusakan pada tulang rawan sendi. (6)

6. Pembengkakan sendi yang asimetris

Pembengkakan sendi yang dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada

sendi yang biasanya tidak banyak (<100 cc) atau karena adanya osteofit,

sehingga bentuk permukaan sendi berubah. (6)

7. Tanda-tanda peradangan

Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan

gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) karena adanya sinovitis.

Biasanya tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit

yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada osteoartritis lutut. (6)

8. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini dapat mengganggu kemandirian pasien osteoartritis, terlebih

pada pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri,

karenamenjadi tumpuan berat badan. Perubahan gaya berjalan terutama terjadi

pada osteoartritis lutut. (6)


2.2.5. Faktor risiko

Harus diingat bahwa masing-masing sendi mempunyai beban biomekanik,

dan persentase gangguan yang berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut

untuk masing-masing OA tertentu berbeda. Kegemukan, faktor genetik dan jenis

kelamin adalah faktor risiko umum yang penting. (6)

Umur

Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor usia adalah yang

terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya

umur. OA hampir tidak pernah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40

tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa OA

bukan akibat menua saja. Perubahan tulang rawan sendi pada usia lanjut berbeda

dengan perubahan pada OA.(6)

Jenis kelamin

Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA sendi lainnya, dan lelaki lebih

sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di

bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi

di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada wanita

daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.

(6)

Suku bangsa

Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya terdapat

perbedaan diantara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha lebih jarang

diantara orang-orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia, OA lebih sering
dijumpai pada orang-orang Amerika asli (Indian) daripada orang-orang kulit putih.

Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada

frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan. (6)

Genetik

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA, misalnyapada seorang

wanita dengan ibu yang mengalami OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus

Herbenden)akan mengalami3 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut,

dibandingkan denganseorang wanita dengan ibu tanpa OAtersebut. Adanya mutasi

dalam genprokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang

rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan

dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu. (6)

Kegemukan dan penyakit metabolik

Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya risiko

untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata

tidak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga

pada OA sendi lain.Di samping faktor mekanis (karena meningkatnya beban

mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya

OA. Pasien-pasien OA ternyata mempunyai risiko penyakit jantung koroner dan

hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa osteoartritis. (6)

Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga

Pekerjaan berat yang menggunakan seluruh sendi ataupun dengan

pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas)

berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan
olahraga berkaitan dengan risiko terjadinya OA yang lebih tinggi(misalnya

robeknya meniscus, ketidakstabilan ligament). (6)

Kelainan pertumbuhan

Kelainan kongenital dan pertumbuhan (misalnya penyakit Perthes dan

dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnyaosteoartritis paha pada

usia muda. Mekanisme ini juga diduga berperan pada lebih banyaknya OA pada

laki-laki dan ras tertentu.

Faktor-faktor lain

Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya

OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu

mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya

tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek(Sudoyo, A.W, 2006).

2.2.6. Patofisiologi

Osteoartritis selama ini dipandang sebagai akibat dari suatu proses

degeneratif yang tidak dapat dihindari. Namun, hasil penelitian terbaru para pakar

menyatakan bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari

metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang

penyebabnya belum diketahui. (6)

Lutut adalah sendi besar yang paling sering terkena osteoartritis.Secara

fisiologis, sendi lutut mendapat beban pada saat melakukan mobilisasi. Pada

beberapa keadaan, pasien dengan cedera permukaan sendi, robekan meniscus,

ketidakstabilan ligamen atau deformitas pinggul atau lutut, mengalami peningkatan

risiko gangguan homeostasis metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur


proteoglikan kartilago (jejas mekanis dan kimiawi).Tanda-tanda fibrilasi kartilago

yang khas, sklerosis tulang subkondral, dan pembentukan osteofit perifer, hal

tersebut biasanya timbul pada kasus yang parah, permukaan sendi dapat kehilangan

kartilago sama sekali dan tulang yang mendasari akhirnya dapat remuk. Kerusakan

struktur kartilago menyebabkan kompresi saraf di sekitar lutut, penurunan fungsi

lutut dalam melakukan mobilisasi fisik, sehingga dapat menimbulkan dampak

psikologis. Osteoartritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan

sendi, remodeling tulang, dan inflamasi cairan sendi. (6)

Osteoartritis terbentuk pada dua keadaan, yaitu (1) Sifat biometrial

kartilago sendi dan tulang subkondral normal, tetapi terjadi beban berlebihan

terhadap sendi sehingga jaringan rusak,atau(2) Beban yang ada secara fisiologis

normal, tetapi sifat bahan kartilago atau tulang kurang baik. (18)

Beberapa penelitian membuktikan bahwa tulang rawan (kartilago) sendi

ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami

replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh

faktor pertumbuhan seperti insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormone,

transforming growth factor ß (TGF-ß) dan coloni stimulating factor (CSFs). Faktor

pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan

tulang rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap

efek IGF-1. (6)

Faktor pertumbuhan TGF-ß mempunyai efek multipel pada matriks

kartilago, yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan

stromelisin, yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi

prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE2. Hormon lain
yang mempengaruhi sintesis komponen kartilago adalah testosterone, ß estradiol,

platelet derivate growth factor (PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin.

(6)

Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan

metabolismetulang rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan

sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi

serta mengawali suatu respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi. (6)

Pada rawan sendi pasien osteoartritis juga terjadi proses peningkatan

aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan

terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah

subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan

subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti

prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat

subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat

menghantarkan rasa sakit. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit

yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta

kenaikan tekanan intramedular akibat statis venaintramedular karena proses

remodeling pada trabekula dan subkondrial. (6)

Peran makrofag di dalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila

dirangsang oleh jejas mekanik, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs,

akan memproduksi sitokin activator plasminogen (PA) yang disebut katabolin.

Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF-α dan ß, dan Interferon (IFN) αdan τ.

Sitokin-sitokin ini merangsang kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik

untuk memproduksi CSFs (Colony Stimulating Factors), yang sebaliknya akan


mempengaruhi monosit dan plasminogenactivator (PA) untuk mendegradasi tulang

rawan sendi secara langsung. Pasien osteoartritis mempunyai kadar PA yang tinggi

pada cairan sendinya. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.

(6)

Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu

meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi tulang rawan sendi yaitu

stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal

kondrosit. Kondrosit pasien osteoartritis mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat

lebih banyak dibanding individu normal dan kondrosit sendiri dapat memproduksi

IL-1 secara lokal. (6)

Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang

berlawanan selama perkembangan osteoartritis. Sitokin cenderung merangsang

degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan

merangsang terjadinya sintesis. (6)

2.2.7. Diagnosis

Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan

radiografi. Pada penderita osteoartritis, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada

sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik.

Gambaran radiografi sendi yang mendukung diagnosis OA adalah :

 Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian

yang menanggung beban)

 Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral

 Osteofit pada pinggir sendi


 Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi OA

dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence).

Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi seringkali masih normal.

Menurut Kellgren dan Lawrence (1963) secara radiologis Oseoartritis

diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Grade 0 :

Normal, tidak terdapat gambaran osteoartritis

2. Grade 1 :

Ragu-ragu, tanpa osteofit, penyempitan persendian meragukan

3. Grade 2 :

Minimal, osteofit sedikit pada tibia dan patella dan permukaan sendi

menyempit asimetris.

4. Grade 3 :

Moderate, adanya osteofit moderate pada beberapa tempat, permukaan

sendi menyempit, dan tampak sklerosis subkondral.

5. Grade 4 :

Berat, adanya osteofit yang besar, permukaan sendi menyempit secara

komplit, sklerosis subkondral berat, dan kerusakan permukaan sendi.

Hasil pemeriksaan laboratorium pada osteoartritis biasanya tidak banyak

berguna. Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) masih

dalam batas-batas normal. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rheumatoid, dan

komplemen) masih dalam batas-batas normal. (6)


Kriteria diagnosis osteoartritis lutut menggunakan kriteria klasifikasi

American College of rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut :

Tabel2.7.Kriteria klasifikasi Osteoartritis menurut American College of

Rheumatology

Klinikdan laboratorik Klinik dan Klinik

Radiografik

Nyeri lutut + minimal 5 Nyeri lutut + minimal 1 Nyeri lutut + minimal

dari 9 kriteria berikut : dari 3 kriteria berikut : 3 dari 6 kriteria

- Umur > 50 tahun - Umur >50 tahun berikut:

- Kaku pagi < 30 - Kaku pagi < 30 - Umur>50

menit menit tahun

- Krepitus - Krepitus - Kaku pagi < 30

- Nyeri tekan menit

- Pembesaran - Krepitus

tulang + - Nyeri tekan

- Tidak panas pada - Pembesaran

perabaan tulang

- LED < 40 - Tidak panas

mm/jam pada perabaan

- RF < 1 : 40
OSTEOFIT
- Analisis cairan

sendi normal

Sumber : Maharani, 2007


2.2.8. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pasien yang mengalami osteoartritis adalah untuk

edukasi pasien, pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang

dan menghambat penyakit supaya tidak menjadi lebih parah. Pengelolaan

osteoartritis berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya osteoartritis

yang diderita. (6)

Penatalaksanaan osteoartritis terbagi atas 3 hal, yaitu :

1. Terapi non-farmakologis

a. Edukasi

Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien

dapat mengetahui serta memahami tetang penyakit yang dideritanya,

bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar

persediannya tetap terpakai. (6)

b. Terapi fisik atau rehabilitasi

Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap

dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. (6)

c. Penurunan berat badan

Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat

osteoartritis. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak

berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila

berat badan berlebih. (6)

2. Terapi farmakologis

a. Analgesik oral non opiat


Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri

penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit

dengan membeli obat-obatan yang dijual bebas. (6)

b. Analgesik topikal

Analgesik topikal dengan mudah kita dapatkan dipasaran dan banyak

sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan

cara ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya. (6)

c. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Inhibitor COX-2

(Siklooksigenase-2), dan Asetaminofen

Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada osteoartritis,

penggunaan OAINS dan inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada

penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas OAINS lebih tinggi

daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama

dalam penanganan rasa nyeri pada osteoartritis. Cara lain untuk mengurangi

dampak toksisitas dari OAINS adalah dengan cara mengkombinasikannya

dengan menggunakan inhibitor COX-2. (6)

d. Chondroprotective Agent

Chondroprotective Agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau

merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien osteoartritis, sebagaimana

penelitian menggolongkan obat-obatan ini dalam Slow Acting Osteoarthritis

Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying Anti Drugs (DMOADs). Obat-

obatan yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam

hialuronat, konroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superoxide

dismutase dan sebagainya. (6)

3. Terapi bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk

mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi

deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari. (6)

2.3. Hubungan Obesitas dengan Osteoartritis

Obesitas merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya osteoartritis.

Bagaimana obesitas dapat menyebabkan terjadinya osteoartritis hinggasaat ini masih

diperdebatkan. Namun, ada dua teori besar yang diduga menjelaskan hubungan ini, yaitu

teori biomekanikal dan teori mekanisme sistemik metabolik. Teori biomekanikal

menyimpulkan bahwa obesitas yang lama meningkatkan beban aksial pada sendi lutut

dengan konsekuensi degenerasi kartilago sendi dan sklerosis tulang subkondral.

Penjelasan lain mengatakan bahwa peningkatan lemak kemungkinan berefek langsung

pada metabolik kartilago secara berlebih dan meningkatkan efek stress pada persendian

panggul, pinggang dan terutama lutut. Obesitas akan meningkatkan stress pada sendi

penopang tubuh sehingga akan memberikan rasa nyeri.(19)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang gemuk cenderung lebih sering

mengeluh tentang besarnya rasa nyeri yang dialami pada lutut mereka dibandingkan

dengan orangyang kurang gemuk. Osteoartritis sering ditemukan pada penderita obesitas

dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Wanita yang mengalami obesitas

mempunyai kemungkinan terjadinya osteoartritis sebesar 2 sampai 7 kali lebih awal

dibandingkan wanita yang massa tubuhnya lebih kecil. Biasanya, gejala klinis

osteoartritis mulai muncul pada usia pertengahan, ditandai dengan nyeri sendi yang

berlangsung perlahan-lahan, kaku sendi, keterbatasan gerak dan dapat disertai dengan

pembengkakan sendi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Thumboo (2012)


didapatkan bahwa pasien osteoartritis lutut dengan obesitas mengalami peningkatan rasa

nyeri pada daerah persendian lutut dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas.

Berdasarkan dua hal tersebut dapat dikatakan bahwa obesitas merupakan salah satu

faktor yang meningkatkan intensitas rasa nyeri yang dirasakan pada lutut pasien

osteoartritis. Untuk itu, mereka yang memiliki badan gemuk disarankan untuk sering

berolahraga agar mengurangi risiko terjadinya osteoartritis. (19)

Obesitas dapat mempengaruhi nyeri osteoartritis lutut dengan mekanisme berupa

produksi adipocytokines, faktor metabolik, dan beban mekanis. Untuk

adipocytokinesseperti leptin, resitin dan juga produk sitokin : IL-6 dan TNF-α dapat

memicu respon inflamasi dan peradangan. Sedangkan faktor metabolik seperti resistensi

insulin dapat menyebabkan glukosa darah meningkat sehingga molekul gula akan

menempel pada protein atau lipid dalam tubuh dan memproduksi produk akhir glikasi

lanjut (AGEs), yang merusak struktur biomolekuler dan termasuk merusak jaringan

lunak intraarticular. Dan beban mekanis dapat menyebabkan kerusakan atau ausnya

tulang rawan karena bergesernya titik tumpu badan sehingga merangsang terbentuknya

molekul abnormal dan produk degradasi kartilago dalam cairan sinovial sendi yang

mengakibatkan inflamasi sendi, dan kerusakan kondrosit. (20)

Awalnya osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama lutut, yang timbul saat akan

memulai suatu pekerjaan sehari-hari, dan menghilang setelah beristirahat. Biasanya nyeri

atau kaku timbul pada saat akan berdiri dari posisi duduk. Pada stadium lebih lanjut,

nyeri terasa sepanjang hari, berjalan menjadi sulit, dan selanjutnya dapat terjadi

perubahan bentuk tungkai (19)


2.4. Kerangka teori

Indeks Massa
Tubuh (IMT)

Underweight Berat Badan Overweight


Normal

Beban sendi
bertambah

Menekan Degenerasi
radix saraf kartilago sendi Homeostasis
sendi lutut dan pembentukan biokimiawi dan
osteofit biomekanis
sendi lutut
terganggu

Nyeri dan
disabilitas

Osteoartritis

Faktor risiko lain :

1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Suku bangsa
4. Genetik
5. Cedera sendi,
pekerjaan dan
olahraga
6. Kelainan
pertumbuhan
7. Faktor lainnya
Yang diteliti :

Yang tidak diteliti :

Gambar 2.1. Kerangka Teori

2.5. Kerangka konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel bebas Variabel terikat

Obesitas Osteoartritis

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

2.6. Hipotesis

“Ada pengaruh obesitas terhadap osteoarthritis genu”.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan

pendekatan case control. Penelitian analitik observasional atau survei analitik adalah

penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu

terjadi. Kemudian melakukan analisis bagaimana korelasi antara faktor resiko dengan

faktor efek. (20)

Penelitian case control adalah suatu penelitian (survei) analitik yang

menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan

retrospective. Dengan kata lain, efek (penyakit atau status kesehatan) diidentifikasi

pada saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko

diidentifikasi ada atau terjadinya pada waktu yang lalu. (20)

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Tempat penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Provinsi Mataram, pada

bulan April 2017 hingga Mei 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek dalam penelitian yang akan

diteliti.(20) Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di

RSUP Mataram pada bulan Januari 2016 sampai Desember 2016.

3.3.2 Sampel penelitian


Sampel adalah sebagian dari populasi yang diharapkan dapat
(20)
menggambarkan semua cirri seluruh populasi dalam batas-batas tertentu.

Dalam penelitian ini tekhnik pengambilan sampel menggunakan tekhnik

simple random sampling (pengambilan sampel secara acak), dimana simple

random sampling adalah pengambilan sampel dimana setiap unsur yang

membentuk populasi diberi kesempatan untuk diseleksi menjadi sampel.

Pengambilan sampel secara acak dengan sistem mengundi nama dari semua

populasi dan setiap nama yang keluar saat diundi dijadikan sampel.

3.4 Pemilihan subjek penelitian

Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

1. pasien yang menderita osteoarthritis genu, yang memenuhi kriteria diagnostik

osteoarthritis genu dan berdasarkan data rekam medis.

2. Pasien dewasa yang berusia lebih dari 18 tahun.

b. Kriteria eksklusi

1. Pasien yang menderita kelainan muskuluskletal lain seperti rheumatoid

arthritis.

2. Pasien osteoarthritis karena cedera atau trauma.

3. Asites

4. Ibu hamil

Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus

Lemeshow , yaitu sebagai berikut :


RumusLemeshow :

α
Z1− 𝑃(1−𝑃)
2
n=
d

1,96.0,50(1−0,50)
n=
0,01

0,49
n=
0,01

= 49 sampel

Keterangan :

N = BesarSampel

Z1-a/2 = Nilai Z padaderajatkemaknaan (biasanya 95% = 1,96)

P =Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui

proporsinya, ditetapkan 50% (0,50).

d = Derajatpenyimpanganterhadappopulasi yang diinginkan: 10%

(0,10), 5% (0,05) atau 1% (0,01)

Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas maka diperoleh besar sampel

sebanyak 49 responden..

3.5 Variabel dan Definisi Operasional


3.5.1 Variabel yang diteliti

3.5.1.1 Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas atau independent variabel adalah variabel yang

fungsinya menerangkan atau mempengaruhi terhadap variabel lain. Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah status obesitas.

3.5.1.2 Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat atau dependent variabel adalah variabel yang dikenai

pengaruh atau diterangkan oleh variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian

ini adalah Osteoarthritis Genu di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Mataram

pada Januari 2016 hingga Desember 2016.

3.5.2 Definisi operasional

Untuk membagi ruang lingkung variabel-variabel yang diteliti, maka

variabel tersebut diberi batasan atau definisi operasional. Definisi operasional

ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan

terhadap variabel-variabel atau pengembangan instrument.

3.5.2.1 Obesitas

Obesitas adalah peningkatan berat badan yang melebihi batas

kebutuhan skeletal dan fisik akibat akumulasi lemak secara berlebihan di

dalam tubuh.

Pada penelitian ini, obesitas merupakan responden yang memiliki IMT

>30 dan responden dikelompokkan menjadi obesitas dan tidak obesitas

berdasarkan perhitungan IMT pada responden.


3.5.2.2 Osteoarthritis

Osteoarthritis (OA) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis, yang

ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi pada tepi

tulang, dan perubahan pada membran sinovial.

Pada penelitian ini, osteoarthritis merupakan responden yang

didiagnosa menderita osteoarthritis berdasarkan data rekam medis di

Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Provinsi Mataram pada

Januari 2016 hingga Desember 2016, dan dikelompokkan menjadi

osteoarthritis genu dan tidak osteoarthritis genu.

3.6 Instrumen dan Bahan Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk pengumpulan

data. Instrument dalam penelitian ini adalah:

1. Rekam Medik

3.7 Cara Kerja Penelitian

Cara pengambilan data pada penelitian ini adalah:

1. Memilih rekan medis setiap pasien yang menderita Osteoarthritis Genu yang

berobat ke Poliklinik Penyakit Dalam sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

yang telah ditentukan.

2. Mencatat hasil riwayat dahulu (berat badan dan tinggi badan)

3. Mengumpulkan dan menganalisis data yang sudah diperoleh.

3.8 Pengolahan dan Analisis data

3.8.1 Pengolahan data


Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan angka

ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu :

1. Editing (edit data)

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.

Apabila data belum lengkap atau ada kesalahan data diklengkapi dengan

mewawancarai atau memeriksa ulang responden.

2. Coding (Pemberian kode)

Data yang telah terkumpul dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya

kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan

komputer.

3. Entry (memasukkan data)

Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program

komputer (program Product and Service Solution (SPSS) for Windows

versi 17).

4. Cleaning (Pengecekan data)

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer

guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

3.8.2 Analisis data

Analisis data merupakan bagian penting dari suatu penelitian. Dimana tujuan

dari analisis data ini adalah agar diperoleh suatu kesimpulan dari masalah yang

diteliti. Data yang telah terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan

menggunakan program komputer. Adapun langkah-langkah pengolahan data

meliputi :

1. Analisis univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik

masing-masing variabel, baik variabel bebas dan variabel terikat. Pada

penelitian ini analisis univariat digunakan untuk mengetahui gambaran status

obesitas serta osteoarthtritis di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum

Provinsi Mataram pada JAnuari 2016 sampai Desember 2016, dengan

menggunakan rumus :
𝐹
P = 𝑁 100 %

Keterangan :

P = presentase

F = frekuensi tiap kategori

N = Jumlah sampel

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan yang signifikan

antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yaitu untuk

mengetahui pengaruh obesitas terhadap osteoarthritis genu. Untuk

menganalisis pengaruh obesitas terhadap osteoarthritis genu maka digunakan

uji statistik chi-square.

Adapun rumus chi-square adalah sebagai berikut:

(0−E)2
X2 = ∑ 𝐸

Keterangan :

X2 = koefisien chi square

O = frekuensi yang diamati

E = frekuensi yang diharapkan


Kriteria berdasarkan p value (probabilitas) yang dihasilkan dengan

kemaknaan yang dipilih dengan kriteria sebagai berikut :

a. Jika nila p value < 0,05 maka H0 di tolak

b. Jika nilai p value > 0,05 maka H0 diterima

3.9 Masalah etika penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan maslah etika penelitian. Etika

penelitian meliputi:

a. Anonymity (tanpa nama )

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka tidak

dicantumkan nama pada lembar penelitian, cukup dengan diberi nomor kode pada

masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti.

b. Confidentiality (kerahasiaan)

Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpulkan

disimpan, dijamin kerahasiaannya dan hanya menjadi koleksi peneliti. Peneliti

menjamin semua kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dan akan

dijaga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nugraha, AS dkk. (2015). Hubungan obesitas dengan terjadinya osteoarthritis


lutut pada lansia kecamatan lawenan Surakarta.
http://journals.ums.ac.id/index.php/biomedika/article/download/1587/1124 diakses
pada tanggal 31 maret 2017
2. Nursyarifah, RS dkk. (2013). Hubungan antara obesitas dengan osteoarthritis lutut
di RSUP Dr. kariadi Semarang periode Oktober-Desember 2011.
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/kedokteran/article/download/1352/1407 diakses
pada tanggal 31 maret 2017
3. Koentjoro, SL. (2010). Hubungan antara indeks masa tubuh (IMT) dengan derajat
osteoarthritis lutut menurut kellgren dan Lawrence. Semarang:
http://eprints.undip.ac.id/23723/1/Sara_Listyani.pdf diakses pada tanggal 31 maret
2017
4. Anggraini, NK dkk. (2014). Hubungan obesitas dan factor-faktor pada individu
dengan kejadian osteoarthritis genu. Surabaya :
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=306831&val=1122&title=The%20
Relation%20of%20 diakses pada tanggal 31 maret 2017
5. …
6. Sudoyo, A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi ke-4. Jakarta

: EGC.

7. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta :

EGC.

8.
9. Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodelogi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka
Cipta. Jakarta. (Hal.41-42, 127, 174-178, 182-183 )
10.

Anda mungkin juga menyukai