Anda di halaman 1dari 6

Fakultas kedokteran merupakan salah satu fakultas yang paling bergengsi di

Indonesia, bahkan di dunia. Sejak kecil, banyak anak yang bercita-cita ingin menjadi dokter
karena dokter merupakan profesi mulia yang bisa menyembuhkan orang sakit. Biasanya,
impian anak-anak tersebut datang dari orang tua mereka yang menginginkan anaknya
menjadi dokter. Para orang tua sering menceritakan kelebihan dan keuntungan yang didapat
sang anak, jika anaknya menjadi dokter. Hal ini dilakukan agar sang anak termotivasi untuk
belajar dengan gigih supaya bisa menjadi dokter.

Mengambil sekolah tinggi kedokteran memang membutuhkan biaya yang tidak


sedikit. Namun, biaya itu nggak sebanding dengan hal-hal mulia yang akan kamu lakukan
saat berhasil menjadi dokter. Yang terpenting, tetap giat belajar dan jangan mudah menyerah
dan mulai rencanakan keuangan dengan matang. Mengingat biaya pendidikan di Indonesia
bisa dikatakan masih jauh dari kata murah. Terlebih lagi untuk jurusan-jurusan profesi
khususnya untuk jurusan kesehatan terutama kedokteran.

Tapi kita tahu kuliah kedokteran dikenal dengan biayanya yang tidak sedikit.
Sehingga untuk bisa menempuh jurusan yang satu ini perlu persiapan yang matang. Tentu
kita semua setuju bahwa biaya kuliah kedokteran yang sangat tinggi adalah tantangan
tersendiri bagi diri sendiri terutama bagi orang tua yang memenuhi biayanya. Tidak
tanggung-tanggung, untuk meraih gelar dokter, seorang mahasiswa/i akan membutuhkan
biaya hingga ratusan juta rupiah, tergantung pada pilihan kampusnya. Beberapa Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) selalu menjadi pilihan utama, karena biayanya relatif lebih lebih murah
ketimbang Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Lalu berapa besar sebenarnya biaya kuliah kedokteran yang dibutuhkan saat ini?
Pastinya besarnya biaya kuliah kedokteran ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Meski sama-
sama jurusan kedokteran, biaya yang dibutuhkan bisa berbeda. Apa saja hal-hal yang
mempengaruhi biaya kuliah kedokteran ini?

Antara PTN dan PTS memiliki sistem dan kebijakan berbeda yang dijalankan masing-
masing kampus. Terkadang perbedaan biaya tersebut terbilang sangat besar, bahkan bisa
mencapai berkali lipat.

Sejak tahun ajaran 2013/2014, pemerintah melalui Kemendikbud telah menyalurkan


dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Bantuan ini disalurkan
melalui DIKTI kepada seluruh PTN yang ada di Indonesia. Dengan adanya BOPTN, maka
PTN bisa menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswanya. BOPTN
merupakan bantuan dana operasional yang diberikan kepada seluruh PTN, sehingga
memungkinkan kampus untuk menyelenggarakan kuliah tanpa harus memungut sejumlah
biaya Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) dari mahasiswanya. Sehingga
adanya program ini memungkinkan kampus tetap bisa memberikan pendidikan yang bermutu
tanpa harus menerapkan biaya mahal.

Dengan program UKT, maka SPMA dan juga uang SKS (sistem kredit semester) sudah tidak
diberlakukan lagi di PTN. Maka penerapan UKT di PTN ini jelas memberikan perbedaan
yang sangat jauh antara biaya kuliah di PTN dan PTS lainnya.

Dengan alasan utama inilah mengapa banyak orangtua yang menginginkan anaknya
masuk dan menempuh pendidikan kedokteran di PTN. Bukan hanya itu saja, sejumlah biaya
tambahan lainnya tentu akan terbilang berat, terutama jika pilihan kampus itu berada di kota
besar dengan biaya hidup yang terbilang tinggi. Jika semua itu tidak diantisipasi dan
dipersiapkan dengan baik sejak awal, maka biaya yang tinggi ini akan menjadi kendala utama
untuk menempuh pendidikan kedokteran ini.

Pentingnya Asuransi Pendidikan

Dengan semakin mahalnya biaya pendidikan khususnya untuk jurusan ilmu kedokteran ini,
maka mempersiapkan sejak dini melalui asuransi pendidikan sangat diperlukan. Dengan
asuransi pendidikan, maka perlu juga bisa memperhitungkan dari awal kebutuhan biaya
pendidikan di jurusan kedokteran ini.

Ada banyak jenis asuransi pendidikan yang ada, kita tinggal memilih sesuai dengan
kebutuhan untuk memenuhi biaya studinya kelak. Tidak hanya berupa asuransi pendidikan,
Anda juga bisa mempersiapkan dananya melalui tabungan pendidikan.

Hitung dan Persiapkan Dana Pendidikan Sejak Dini

Tingginya biaya kuliah kedokteran menjadi salah satu alasan mengapa jurusan yang satu ini
terbilang sulit diraih. Namun hal ini tentu bukan harga mati, terutama bagi orangtua yang
mau berupaya keras untuk mempersiapkannya dengan baik.

Hitung dan mulailah menata investasi pendidikan untuk anak sejak dini, agar persiapan biaya
kuliah kedokteran yang tinggi ini bisa diatasi dengan baik dan tepat di masa yang akan
datang. Persiapkan keuangan dengan baik dan bantu buah hati untuk mewujudkan mimpinya.
Mahalnya Swasta dan Negeri

Apa yang dialami Suharsih juga dialami banyak anak Indonesia lainnya. Banyak anak-anak
yang mumpuni secara akademik dari keluarga miskin akhirnya mengubur dalam-dalam
mimpinya karena tak punya biaya. Biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter tidak
murah, bahkan bisa mencapai angka ratusan juta rupiah. Baik swasta maupun negeri, semua
membutuhkan biaya yang tidak kecil.

Universitas Indonesia misalnya, uang pangkal masuk Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas
Kedokteran Gigi (FKG) untuk tahun ajaran 2016 sebesar Rp25 juta. Sementara besaran biaya
per semester yang harus dibayarkan Rp7,5 juta.

Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, biaya pendidikan FK dan FKG


sebesar Rp 21juta per semester. Sejak tahun ajaran 2013, Unsoed telah menerapkan sistem
pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Unsoed juga masuk dalam universitas favorit
jurusan kedokteran nomor dua selain Universitas Indonesia. Pada tahun 2012, Unsoed
meluluskan sebanyak 87 persen dokter, hanya terpaut 3 persen dari FK UI.

Sementara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, biaya pendidikan di FK bagi mahasiswa


jalur SMPTN dibagi menjadi enam kategori, yakni Uang Kuliah Tunggal I Rp500 ribu, UKT
II Rp1 juta, UKT III Rp7,5 juta, UKT IV Rp15 juta, UKT V Rp20 juta, sedangkan UKT VI
diperuntukan buat peserta bidik misi Rp2,4 juta.

Sementara untuk jurusan FKG, uang kuliah tunggal yang harus dibayarkan sebagai berikut:
UKT I Rp500 ribu, UKT II Rp1 juta, UKT III Rp6 juta, UKT IV Rp12,5 juta, UKT V Rp17,5
juta dan UKT VI untuk perserta bidik misi Rp2,4 juta.

Di universitas swasta, biayanya lebih mahal lagi. Misalnya Universitas Trisakti Jakarta.
Untuk FK berkisar Rp548,5 juta sampai Rp598 juta, sedangkan FKG sekitar Rp448,5 sampai
Rp513,5 juta. Biaya FK dan FKG ini paling mahal dibandingkan jurusan lainnya.

Contoh lainnya Universitas YARSI (Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia) . Seorang calon
mahasiswa kedokteran harus mengeluarkan uang Rp450 juta. Itu belum termasuk iuran per
semester Rp14 juta. Mahalnya biaya di Universitas YARSI bukan tanpa sebab. Akreditasi
menjadi salah satu alasan mahalnya biaya pendidikan kedokteran di kampus tersebut.

Jika di Universitas Trisakti dan YARSI biaya kuliah kedokteran mencapai setengah miliar
rupiah, di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, untuk tahun ajaran 2016/2017, angkanya
hanya setengahnya. Biaya kuliah di FK Atma Jaya dibagi dalam tiga kelompok, kelompok A
dengan SPP Rp215 juta, kelompok B dengan SPP Rp236 juta dan kelompok C dengan SPP
Rp252 juta. Biaya tersebut belum termasuk uang kuliah paket dan uang kuliah per semester
sebesar Rp21 juta. Ujung-ujungnya, biaya kuliah pun sama menghabiskan hampir setengah
miliar rupiah.
Revisi UU Pendidikan Kedokteran

Mahalnya biaya pendidikan kedokteran memang bukan tanpa alasan. Salah satu penyebab,
tak lain aturan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran (UUPK), yakni pada pasal pembiayaan pendidikan. Pada UUPK tersirat
mahalnya biaya pendidikan, sebab tidak ada batasan besaran biaya pendidikan.

Oleh sebab itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Agustus lalu membuat petisi kepada
Presiden Joko Widodo dan Badan Legislasi DPR. IDI meminta Presiden Jokowi melakukan
amandemen UUPK yang dituding menjadi sumber mahalnya kuliah kedokteran.

Kepala Badan Data dan Informasi PB IDI, Andi Khomeini Takdir Haruni mengatakan,
masyarakat mulai mengeluhkan pendidikan kedokteran yang semakin mahal. Wajar jika
kuliah kedokteran kemudian sering dibilang hanya diperuntukan bagi kalangan orang-orang
berduit. “Kuliah di FK memiliki image makin mahal,” katanya kepada tirto.id, pada Senin
(10/10) .

Diapun mengatakan, wajar jika masyarakat makin merasa berjarak dengan profesi dokter.
Padahal menurutnya, profesi dokter seharusnya bisa dekat dengan berbagai kalangan. “Yang
masyarakat alami sekarang seperti itu, pendidikan kedokteran hanya untuk kaum elite,”
ujarnya.

Sebenarnya, polemik mahalnya biaya pendidikan kedokteran dan masalah lulusan kedokteran
pernah mencuat pada 2010. Saat itu, Komisi IX DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat
(RDP) dengan pihak terkait untuk membahas masalah pendidikan kedokteran.

Rapat diikuti Dirjen Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional,
Kepala Badan PPSDM Kementerian Kesehatan, Ketua Umum Kolegium Kedokteran
Indonesia, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran UI dan Majelis
Pertimbangan Kedokteran Swasta Seluruh Indonesia.

Pada RDP itu, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menyinggung soal mahalnya biaya
pendidikan kedokteran. KKI menyarankan p emerintah dan kolegium kedokteran serta
institusi terkait dengan pendidikan kedokteran, dapat mengupayakan penurunan biaya
pendidikan pada fakultas kedokteran. KKI juga mendorong Dirjen Dikti dan institusi
kedokteran agar membuka kesempatan bagi para siswa dan siswi yang mampu secara
akademik, namun memiliki keterbatasan biaya menempuh pendidikan kedokteran.

“Membuka seluas-luasnya bagi putra-putri daerah yang mempunyai minat dan kemampuan,
namun mempunyai keterbatasan ekonomi untuk dapat mengikuti program –program
pendidikan di Fakultas Kedokteran,” begitu kutipan pendapat Konsil Kedokteran.

Menurut data yang dimiliki KKI, per 9 Mei 2016, jumlah dokter di Indonesia mencapai
110.720 orang. Artinya, satu dokter melayani 2.270 penduduk. Pemerintah sendiri telah
menetapkan beban kerja ideal dokter, yakni satu dokter untuk melayani 2.500 penduduk.
Rasio tersebut dihitung berdasarkan jumlah penduduk dengan asumsi sebanyak 20 persen
sakit, luas wilayah, beban kerja dan waktu layanan

Sementara Kemristek dan Dikti menargetkan rasio dokter Indonesia naik menjadi satu dokter
untuk 1.100 warga. Maklum, sesuai data WHO, pada tahun 2010, rasio dokter di Malaysia
mencapai satu dokter untuk 835 penduduk, sementara Singapura (2013), satu dokter untuk
513 penduduk.

Nah, jika Indonesia berniat mengejar ketinggalan di banding negara-negara tetangga,


tentunya biaya pendidikan menjadi seorang dokter haruslah bisa dijangkau oleh banyak
keluarga di negeri ini. Peluang harus dibuka seluas-luasnya, tidak hanya kepada si kaya,
tetapi juga si miskin.

Anda mungkin juga menyukai