Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala didefinisikan sebagai suatu ruda paksa tumpul/ tajam pada
kepala atau wajah yang berakibat pada disfungsi cerebral sementara. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.1

Di Indonesia, diperkirakan kasus cedera kepala mencapai 500.000


kejadian pertahunnya, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala
ringan, 10% termasuk cedera kepala sedang, dan 10% termasuk cedera kepala
berat. Cedera kepala dibagi menjadi simple head injury, commutio cerebri,
contusio cerebri, laceratio cerebri dan basis cranii fracture.2

Cedera kepala dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis berupa


perdarahan intrakranial seperti subdural hematoma, epidural hematoma,
inracerebral hematoma dan atau intraventrikular hematoma. Cedera kepala
merupakan keadaan yang serius, prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik
jika penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S
Umur : 80 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : RT 03 Kec. Bathin VIII Kab.Sarolangun
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : IRT
MRS tanggal : 29 Mei 2018
Tanggal Pemeriksaan : 25 Mei 2018

2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak ± 1 hari SMRS.
b. Riwayat Perjalan Penyakit :
Pasien datang ke IGD RSUD Raden Mattaher diantar keluarganya dengan
penurunan kesadaran sejak ± 1 hari SMRS. Menurut keluarga, pasien hilang
kesadaran setelah ditabrak oleh motor saat sedang menyebrang jalan ± 1
hari SMRS. Pasien terjatuh dan kepalanya terbentur ke aspal dan langsung
tidak sadar. Setelah 1 malam berada dirumah, pasien dibawa ke RSUD Prof.
DR. H. M. Chatib Quzwain. Terdapat memar berbentuk lingkaran pada
mata. Pasien muntah 4 kali, muntah menyemprot berwarna kuning dan
berisi makanan yang dimakan sebelumnya. Keluar darah dari hidung, mulut
dan telinga disangkal. Nyeri dada disangkal. Terdapat luka lecet pada kedua
lutut. Pasien telah mendapat tindakan nasal kanul O2 4L/menit, inj.
Piracetam 1gr, inj. Ceftriakson 1gr, Inj.Citicolin 500mg dan IVFD
Paracetamol 1000mg. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher.

2
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Stroke (-)
Riwayat Trauma (-)
Riwayat DM (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Stroke (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


Primary Survey
a. Airway :
Snoring (-), Gargling (-), tidak terdapat sumbatan jalan napas baik berupa
cairan maupun benda asing. C-Spine control tidak dipasang.
Airway clear
Dipasangkan NGT

b. Breathing :
Look : Pernapasan cuping hidung (-), deviasi trakea (-), retraksi dinding
dada (-), pergerakan dinding dada simetris, tidak ada dinding dada
yang tertinggal
RR : 26 kali/menit
Listen : Pernapasan Spontan
Feel : Pernapasan Spontan
Auskultasi : Vesikuler +/+
Breathing clear
Tindakan :
 Pasang Pulse Oksimetri (saturasi O2 96%),
 O2 nasal kanul 4L/menit.

3
c. Circulation :
TD : 110/70 mmHg,
Nadi : 110 x/menit
Kulit : Pucat pada wajah dan ekstremitas (-)
Tindakan :
 Pasang IV line dengan cairan RL 20 gtt/menit
 Pasang kateter

d. Disability :
GCS : 8 (E2M5V1)
Pupil : isokor, RC +/+

e. Exposure :
Seluruh pakaian os dibuka, lalu os diselimuti.

Reevaluasi ABCDE :

Tanggal/Pukul RR TD HR T SpO2 Keterangan


(x/menit) (mmHg) (x/menit) (◦C) (%)
29-5-2018 A : Clear 26 110/70 110 36,9 97 GCS : 8
20.00 B : Clear
20.30 A : Clear 25 115/75 112 36,6 96 GCS : 8
B : Clear
21.00 A : Clear 25 115/73 108 36,6 96 GCS : 8
B : Clear
21.30 A : Clear 26 100/70 110 36,6 98 GCS : 8
B : Clear
22.00 A : Clear 24 100/70 112 36,6 98 GCS : 8
B : Clear
22.30 A : Clear 25 110/70 100 36,5 98 GCS : 8
B : Clear

4
23.00 A : Clear 26 100/70 96 36.5 99 GCS : 8
B : Clear
23.30 A : Clear 26 100/70 116 36,5 99 GCS : 8
B : Clear
30-5-2018 A : Clear 25 110//70 103 36,6 100 GCS : 8
00.00 B : Clear
00.30 A : Clear 24 100/70 113 36,6 100 GCS : 8
B : Clear
01.00 A : Clear 24 110/70 109 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
01.30 A : Clear 22 100/60 100 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
02.00 A : Clear 22 100/60 100 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
02.30 A : Clear 22 100/60 101 36,6 100 GCS : 8
B : Clear
03.00 A : Clear 24 110/70 106 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
03.30 A : Clear 26 110/70 101 36,6 100 GCS : 8
B : Clear
04.00 A : Clear 24 100/70 100 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
04.30 A : Clear 24 100/70 100 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
05.00 A : Clear 20 100/60 100 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
05.30 A : Clear 22 100/60 102 36,5 100 GCS : 8
B : Clear
06.00 A : Clear 22 110/60 100 36,5 100 GCS : 8
B : Clear

5
Secondary survey
Anamnesis :
A : Alergi  tidak ada
M : Medikasi  tidak ada
P : Past Illness  tidak ada
L : Last meal  sebelum penurunan kesadaran, pasien terakhir makan nasi
dan lauk.
E : Event/environment : pasien mengalami penurunan kesadaran setelah
kecelakaan lalulintas.

Pemeriksaan Fisik :
Kesadaran : Somnolen (GCS 8) E2M5V1
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Tanda vital :
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 110x/menit
- RR : 26 x/menit
- Suhu : 36,9 ˚C
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-/-)
Hidung : Septum nasi ditengah, secret (-/-)
Mulut : Bibir Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-), Peningkatan JVP (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-/-)
Palpasi : nyeri tekan (-/-), vocal fremitus (tidak dilakukan)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

6
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea axillaris anterior
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea axillaris anterior
Perkusi : Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan : ICS IV parasternalis dextra
Batas Kiri : ICS V linea axillaris anterior
Auskultasi : BJ I dan II normal regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Supel, hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Ekstremitas
Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem (-/-)
Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem (-/-), luka (+/+)

Pemeriksaan Neurologis
Kepala
Nyeri tekan : (-)
Simetri : (+)
Leher
Sikap : Normal
Pergerakan : Normal
Kaku kuduk : (-)
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Brudzinski : (-)
Kernig Sign : (-)
Laseque : (-)

7
Fungsi nervus kranial
NERVUS I Meatus Nasi Meatus Nasi
Dextra Sinistra
Normosmia Sulit dinilai Sulit dinilai
Anosmia Sulit dinilai Sulit dinilai
Parosmia Sulit dinilai Sulit dinilai
Hiposmia Sulit dinilai Sulit dinilai
NERVUS II Oculi Dextra Oculi Sinistra
Visus Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Lapang pandang Sulit dinilai Sulit dinilai
Hemianopsia Tidak diperiksa Tidak diperiksa
Fundus okuli Tidak diperiksa Tidak diperiksa
NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra Oculi Sinistra
Gerakan bola mata Sulit dinilai Sulit dinilai
Nistagmus Sulit dinilai Sulit dinilai
Pupil (bentuk & ukuran) Bulat uk.Ø 3mm Bulat uk.Ø 3mm
Reflek cahaya direct + +
Reflek cahaya indirect + +
Fenomena Doll’s eye - -
Strabismus - -
NERVUS V Dextra Sinistra
Motorik
 Membuka dan menutup Sulit dinilai Sulit dinilai
mulut
 Palpasi otot masseter dan + +
temporalis
 Kekuatan gigitan Sulit dinilai Sulit dinilai

Sensorik
 Kulit Sulit dinilai Sulit dinilai

8
 Selaput Lendir Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Refleks Kornea
 Langsung + +
 Tidak Langsung + +

NERVUS VII Dextra Sinistra


Motorik
 Mimik Sulit dinilai Sulit dinilai
 Kerut kening Sulit dinilai Sulit dinilai
 Menutup mata Sulit dinilai Sulit dinilai

 Bersiul Sulit dinilai Sulit dinilai

 Memperlihatkan Gigi Sulit dinilai Sulit dinilai

 Menggembungkan pipi Sulit dinilai Sulit dinilai

Sensorik
Tidak diperiksa Tidak diperiksa
 Pengecapan 2/3 depan lidah
NERVUS VIII Dextra Sinistra
Auditorius
 Pendengaran Sulit dinilai Sulit dinilai
 Test Rinne Tidak diperiksa Tidak diperiksa
 Test Weber Tidak diperiksa Tidak diperiksa

 Test schwabach Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Vestibularis
 Nistagmus
 Reaksi Kalori - -
Tidak diperiksa Tidak diperiksa
 Vertigo
- -
 Tinnitus
- -
NERVUS IX, X

9
Pallatum Mole Sulit dinilai
Uvula Sulit dinilai
Disfagia Sulit dinilai
Disatria Sulit dinilai
Disfonia Sulit dinilai
Refleks Muntah Tidak diperiksa
Pengecapan 1/3 Belakang Lidah Tidak diperiksa
NERVUS XI Dextra Sinistra
Mengangkat bahu Sulit dinilai Sulit dinilai
Fungsi otot Sulit dinilai Sulit dinilai
sternocleidomastoideus
NERVUS XII
Lidah
 Tremor Sulit dinilai
 Atrofi Sulit dinilai
 Fasikulasi Sulit dinilai

Ujung Lidah Sewaktu Istirahat Sulit dinilai


Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan Sulit dinilai

Anggota Gerak Kanan Kiri


Anggota Gerak Atas
Motorik
Pergerakan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Kekuatan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas
Taktil Sulit dinilai Sulit dinilai
Nyeri Sulit dinilai Sulit dinilai

10
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek
Bisep + +
Trisep + +
Anggota Gerak Bawah
Motorik
Pergerakan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Kekuatan Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas
Taktil Sulit dinilai Sulit dinilai
Nyeri Sulit dinilai Sulit dinilai
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflek Fisiologis
Patella + +
Archiles + +
Reflek Patologis
Hoffmann-Tromner - -
Babinski - -
Chaddok - -
Oppenheim - -
Gordon - -

11
2.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah rutin
WBC : 13.17 RBC : 2.63
HGB : 9.1 MCV : 83.5
HCT : 23.6 MCH : 32.2
PLT : 143 GDS : 127 mg/dl

b. Radiologi
Keluarga pasien menolak melakukan CT Scan

2.5 Diagnosa
Diagnosis kerja : Penurunan kesadaran et causa cedera kepala berat dengan
susp. Fraktur basis cranii

2.6 Terapi/Tindakan
 O2 nasal kanul 4 L/menit
 IVFD RL + Ketorolac 1 ampul, 20 tetes/menit
 Kateter dan NGT terpasang
Terapi definitif
 IVFD Manitol 200ml, dilanjutkan 4 x 125 cc
 Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
 Inj. Ondansentron 2 x 2 mg
 Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr

2.7 Follow Up
30 Mei 2018
S : Penurunan kesadaran
O : TD : 110/60 mmHg HR : 100 x/menit GCS: 8
RR : 22 x/menit T : 36,5 ◦C

12
A : Penurunan kesadaran et causa cedera kepala berat dengan susp. Fraktur
basis cranii
P:
 O2 nasal kanul 4L/ menit
 IVFD RL 20 tetes/menit
 IVFD Manitol 4 x 125 cc
 Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
 Inj. Ondansentron 2 x 2 mg
 Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Cedera kepala didefinisikan sebagai suatu ruda paksa tumpul/ tajam pada
kepala atau wajah yang berakibat pada disfungsi cerebral sementara.1 Cedera
kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.3

3.2 Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya
kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita
cedera kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000
penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu
lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya
adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi
96% trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari
padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala,
sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja
penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.4
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau
menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud
dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa
ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas
sebelum kepala membentur lantai.2,4
3.3 Etiologi
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang

14
ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya
ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun
tajam (misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja,
kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak dan lain-lain.5

3.4 Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer.
Lesi primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di
sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur
tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah temporal
dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan
cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan
aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat hidung
atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak,
hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara
langsung menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya
akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang
hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di daerah
frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra
serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang
otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan
ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah
dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan
tekanan intrakranial.

15
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina
kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.
Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang
mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak
otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak.
Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah
beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V
biasanya hanya pada cabang supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya
berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan. Saraf VII dapat
segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan
lewat lubang telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma
kepala, misalnya gangguan pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga
merupakan salah satu penyebab gangguan. Gangguan pada saraf IX, X dan XI
jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya meninggal bila
trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat
dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung
terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri.
Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma.6

16
Gambar 1: Patofisiologi cedera kepala.

3.5 Klasifikasi dan Diagnosis


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.

a. Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan

17
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang
cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer,
2009)

18
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya
selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera.
Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai
cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.

2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal

19
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis.

1. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk
bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif
tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma
cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan
ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena
penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama.
Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Gejala yang
sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi
cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :


•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung

20
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai
hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran
pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih
positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan
reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi
yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal
batang otak.
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya
menjadi kabur.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat
pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda
space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater
biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas.

21
2. Hematoma subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra
duramater dan aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging vein antara kortek cerebral
dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak.

Gambar 2. Hematoma Subdural

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta


biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut, subakut, dan kronis:

22
a.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangansubdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-
tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan

23
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan
kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

3. Kontusi dan hematoma intraserebral


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

24
Gambar 3.Hematoma Intraserebral

4. Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari
komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma
ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia
antegrad.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam
beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu.
Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia,
dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.

25
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan
cedeera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang dua
keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah
ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan
menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.

3.6 Pemeriksaan Penunjang8


3.6.1 Laboratorium

- Darah tepi lengkap


- Gula darah sewaktu
- Ureum kreatinin
- Albumin serum
- Analisa gas darah
- Elektrolit darah (bila perlu)
- Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis

3.6.2 Pemeriksaan Radiologi

- Foto kepala AP/ Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal)
- Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
- CT Scan otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema,
kontusio, hematoma)

26
3.6.3 Neurobehavior
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri.

3.7 Penatalaksanaan9,10
3.7.1 Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
Kira-kira 80 % penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala
akan termasuk dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita tersebut sadar
namun dapat mengalami amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan
cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat
namun sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai minum alkohol atau di bawah
pengaruh obat-obatan.
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna,
walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3%
mengalami perburukan yang tidak terduga, dengan akibat disfungsi neurologis
yang berat, yang seharusnya dapat dicegah dengan penemuan perubahan
kesadaran yang lebih awal.
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna,
amnesia atau sakit kepala hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat
dilakukan segera dan kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh
maka penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam di rumah sakit. Dalam suatu
penelitian terhadap 658 penderita dengan cedera kepala ringan yang mengalami
kehilangan kesadaran sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18% terdapat
abnormalitas pada pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT
scan yang abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu
GCS 13 diklasifikasi sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542
penderita dengan CT scan Kepala normal pada saat masuk rumah sakit
menunjukan perburukan neurologis ataupun memerlukan tindakan operatif.
Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus dengan CT scan awal
yang normal timbul lesi masa beberapa jam kemudian.

27
Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada
cedera kepala tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto
ronsen dilakukan maka dokter harus menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur
liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila
terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur
tulang wajah, (6) benda asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur
tengkorak pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%.
Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur
dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya
gejala klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau
Battle's sign merupakan indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita
harus dirawat dengan observasi khusus.
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau
rasa pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik
seperti Kepala acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein pada
keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada
setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu
dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik
dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan
medikolegal. Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat
yang perlu bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama
sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa
kembali ke rumah sakit. Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk
observasi penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita sebaiknya
tidak dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan dilakukan
evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang
bila tidak terdapat gejala perburukan.
Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka penderita harus
dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama

28
beberapa hari sesuai dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah
saraf tidak ada di rumah sakit semula maka, penderita harus segera dirujuk ke
rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf. Pemeriksaan CT scan ulang
perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau segera dilakukan bila keadaan
memburuk.

Gambar 4.Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala ringan

29
3.7.2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera
kepala sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah
sederhana, namun biasanya mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat
disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari
penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma.
Karena itu, penderita-penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagai
'penderita cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi.
Namun demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya.

Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera


dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis
dilaksanakan. CT scan kepala selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala
sedang (dalam penelitian terhadap 341 penderita dengan GCS 9-12, ternyata 40%
kasus menunjukan gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8%
diantaranya memerlukan tindakan pembrdahan).
Penderita harus dirawat untuk observasi ketat dan pemeriksaan
neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam walaupun gambaran CT scan-nya
normal. Bila status neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak
menunjukan adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan maka
penderita dapat dipulangkan beberapa hari kemudian. Tetapi bila penderita jatuh
dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi sama dengan
penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat.

30
Gambar 5. Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala sedang

3.7.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS: 3-8)


Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah-perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah
distabilisasi. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi
mengidentifikasikan penderita-penderita yang mempunyai resiko besar menderita
morbiditas dan mortalitas yang berat. Pendekatan "Tunggu dulu" pada penderita-
penderita cedera kepala berat sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang
cepat sangatlah penting.

31
Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala Berat

3.7.4 Terapi Medikamentosa


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya
cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya
adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya bila sel saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai mengalami
kematian3.
A. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar
tetap normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu dianggap sebagai konsep
terapi bagi cedera kepala, kini ternyata justru merupakan tindakan yang
membahayakan bagi penderita3. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak

32
memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita
cedera kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate3.
Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas
normal. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak
yang, harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi3.

B. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini akan
menurunkan TIK. Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang
pada akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02 turun sampai di
bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) 3.
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan
jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut sementara pengobatan
lainnya baru mau dimulai3.

C. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS
dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor
utama yang berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu
pertama, (2) perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi3.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan antikonvulsan
profilaktik tidak bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi
dalam penelitian uji buta ganda ternyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi
insidens terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu3.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk
dewasa dosis awalnya adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan

33
kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan
biasanya 100 mg/8jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum.
Pada pasien dengan kejang berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang
yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa
kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30
sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak3.

D. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg
BB diberikan secara bolus intra vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan
pada penderita hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang
jelas penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa
hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan
secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi3.
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi
bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi
pemberian manitol untuk penderita-penderita cedera kepala tanpa defisit
neurologis fokal atau tanpa perburukan neurologis tidaklah jelas3.

E. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obat atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh
diberikan pada fase akut resusitasi) 3.

34
3.7.5 Pembedahan
Manajemen operatif kadang diperlukan pada luka kulit kepala, lesi
massa intracranial, dan cedera tajam pada otak3.

A. Luka Kulit Kepala


Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan
debridement yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan
kehilangan darah yang cukup ekstensif terutama pada anak-anak3.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang
menyebabkan syok. Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat
dihentikan dengan penekanan lokal langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh
besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal penting yang harus dilakukan
adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya fraktur tengkorak atau
benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya robekan
duramater3.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi.
Dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan.
Luka kulit kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus
venosus lainnya harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar operasi3.

B. Fraktur depresi Tengkorak


Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif
adalah bila tebalnya depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya.
Pemeriksaan CT Scan dapat menggambarkan secara jelas beratnya depresi tulang
dan yang lebih penting menentukan ada tidaknya perdarahan intra kranial atau
adanya suatu kontusio3.

C. Lesi-lesi Masa Intrakranial


Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf.
Prosedur pembedahan ini khususnya untuk pasien dengan status neurologi yang
memburuk dengan cepat dan tidak membaik dengan terapi non-bedah3.

35
Tabel 1. Ringkasan Penatalaksanaan cedera kepala

3.8 Komplikasi

- Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.

36
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk
terjadinya kejang pasca CKB, yaitu:
 GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
 Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam
kurun waktu <24 jam pasca cedera

Pengobatan
 Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v,
dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya
diberikan 3-4 x 100 mg/hari
 Profilaksis:
 Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200
mg/hari selama 7-10 hari.1,4,9

- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan
dosis meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x
1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan
selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal negatif. 1,4,9

- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain
itu dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala,
ketiak, dan lipat paha. Dan ditambahkan obat antipiretik. 1,4,9

- Gastrointestinal

37
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal
lain, dengan 19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala
akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan
gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.
Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau
bersama H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin
yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor
seperti omeprazole. 1,4,9

- Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang
mengakibatkan penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian
hiperosmotika dan pemberian diuretika serta oksigen. 1,4,9

Neurorestorasi /neurorehabilitasi
- Pasien dengan penurunan kesadaran, program neurorestorasi
/neurorehabilitasi dilakukan untuk mencegah ulkus dekubitus dengan
perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, pneumonia ortostatik dengan
perubahan posisi berbaring tiap 8 jam, dan ekstermitas digerakkan secara
pasif.
- Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologis ulang termasuk
pemeriksaan kortikal luhur, karena banyak gejala sisa berupa gangguan
kortikal luhur yang menurunkan kualitas hidup pasca cedera kranio
serebral. 1,4,9

Indikasi operasi penderita trauma kapitis


1. EDH (epidural hematoma):
a. > 40cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal denagn
fungsi batang otak masih baik.

38
b. >30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak
atau hidrosefalus denagn fungsi batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi
batang otak masih baik
c. EDH progresif
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi
2. SDH (subdural hematoma)
a. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi
batang otak masih baik

3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma


Indikasi operasi ICH pasca trauma:
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing refleks)
c. Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan
operasi dekompensasi.3

3.9 Prognosis1
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma
kapitis.3

Diffuse Injury CT appearance Mortality


Grade
I Normal CT Scan 9.6%
II Cisterns present. Midline shift 13,5%

39
<5 mm
III Cisterns compressed/ absent. 34%
Midline shift <5 mm
IV Midline shift >5 mm 56,2%

3.10 Pencegahan dan Edukasi

- Penggunaan helm penyelamat dan memadai


- Penggunaan sabuk keamanan
- Penggunaan kantong udara 550.000 jiwa terselamatkan, 40.000 pengemudi
terhindar dari kerusakan yang serius
- Perilaku pengemudi
- Kecepatan kendaraan.4

40
BAB IV
PEMBAHASAN

ANAMNESIS TEORI
Pasien mengalami penurunan kesadaran Cedera kepala adalah trauma mekanik
sejak ± 1 hari SMRS setelah ditabrak terhadap kepala baik secara langsung
motor saat menyebrang jalan. Pasien ataupun tidak langsung yang
terjatuh dan kepala pasien terbentur ke menyebabkan gangguan fungsi neurologis
aspal. Terdapat memar berbentuk yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
lingkaran pada mata. Pasien muntah 4 psikososial baik temporer maupun
kali, muntah menyemprot berwarna permanen.3 Berdasarkan mekanismenya
kuning dan berisi makanan yang dimakan cedera kepala dibagi atas cedera kepala
sebelumnya. tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera
kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau
terkena pukulan benda tumpul.
Berdasarkan beratnya cedera, cedera
kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai
Glasgow Coma Scale. Cedera kepala berat
memiliki skor GCS ≤ 8. Secara
morfologis cedera kepala dapat dibagi atas
fraktur cranium dan lesi intrakranial.
Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk
memperjelas garis frakturnya. Tanda
klinis fraktur dasar tengkorak antara lain
ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign),

41
kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis. Berbagai proses
patologis yang mengenai otak dapat
menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (TIK). Tanda klinis
peningkatan TIK adalah sakit kepala,
muntah proyektil, kejang, perubahan
tingkat kesadaran, cushing’s triad, papil
edema dan gangguan fungsi motorik.
Diagnosis cedera kepala dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat dan
keluhan pasien. Gejala dan tanda yang
mengarah pada diagnosis cedera kepala
berat adalah pasien tidak sadar setelah
kepala pasien terbentur ke aspal karena
ditabrak motor. Pasien muntah 4 kali,
muntah menyemprot berwarna kuning
dan berisi makanan yang dimakan
sebelumnya merupakan salah satu tanda
peningkatan TIK.
Primary Survey Airway pada pasien dikatakan clear setelah
Airway dilakukan pemeriksaan dengan metode look,
 Dipasangkan NGT listen, and feel. Tidak terlihat adanya sianosis,
retraksi dinding dada, dan penggunaan otot
Breathing
napas tambahan. Tidak terdengar adanya
 Pasang Pulse Oksimetri
suara napas tambahan seperti snoring,
 O2 nasal kanul 4L/menit.
gurgling, crowing sound, dan stridor. Tidak
teraba adanya deviasi trakea. Jika pasien sadar
dan dapat berbicara, airway pasien dapat
Circulation
dinilai dengan kemampuan pasien berbicara.
 Pasang IV line dengan cairan RL 20
Apabila pasien dapat berbicara dan tidak

42
gtt/menit tersengal-sengal, airway dianggap clear.
 Pasang kateter Breathing pada pasien dinilai dengan
melakukan inspeksi dan palpasi pada leher
Disability dan thoraks. Ekspansi dinding dada terlihat
 GCS : 8 (E2M5V1) simetris, tidak ada tanda-tanda cedera lainnya
 Pupil : isokor, RC +/+ , ekimosis dan penggunaan otot tambahan. Palpasi
periorbital (+/+) dinding dada tidak didapatkan tanda-tanda
krepitasi. Perkusi pada dinding dada
Secondary Survey didapatkan sonor. Pada auskultasi terdengar
Kesadaran : Somnolen (GCS 8) E2M5V1
suara napas vesikuler, tanpa adanya wheezing
Keadaan umum : Tampak sakit berat
maupun rhonki.
Circulation dinilai untuk menentukan
Tanda vital :
keadaan sirkulasi pasien dan mengontrol
- Tekanan darah : 110/70 mmHg perdarahan. Tidak ada tanda-tanda anemis
- Nadi : 110x/menit
pada kulit maupun konjungtiva, akral hangat,
- RR : 26 x/menit
CRT < 2 detik. Denyu nadi teraba.
- Suhu : 36,9 ˚C
Pada pemeriksaan disability,
- SpO2 : 96%
ditemukan Pasien dapat membuka mata
ketika dirangsang nyeri (E 2), pasien tidak
Motorik :
mengeluarkan suara dengan rangsangan
Superior : Tidak dapat dinilai
apapun (V1) dan dapat melokalisir nyeri (M
Inferior : Tidak dapat dinilai
5), digolongkan pada cedera kepala berat.
Rangsang meningeal : (-)
Pupil isokor (kanan 3mm, kiri 3mm).
R. Fisiologis : BTR +/+, KPR +/+
Hal ini menandakan tidak adanya penekanan
R. Patologis : Babinski -/-
pada nervus III yang menyebabkan dilatasi
pupil ipsilateral, sehingga tidak terdapat
gejala herniasi serebral pada pasien ini.
Terdapat ekimosis periorbital yang
mengindikasikan adanya fraktur basis cranii.

43
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk


EKG mendukung diagnosis cedera kepala berat dan
CT Scan fraktur basis cranii. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dilakukan diantaranya adalah
hitung darah lengkap.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan
dalam diagnosis. Pencitraan otak membantu
dalam diagnosis adanya perdarahan, serta
dapat menidentifikasi komplikasi seperti
perdarahan intraventrikular dan edem otak.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
elektrokardiogram (EKG) untuk memulai
memonitor aktivitas jantung.
Skor GCS pasien ≤ 13 dan adanya kecurigaan
fraktur merupakan indikasi pemeriksaan CT
Scan pada pasien. Tetapi keluarga pasien
menolak melakukan CT Scan.
Tatalaksana
Pasien mendapatkan terapi infus RL + Untuk menjaga sirkulasi pasien dipasang
ketorolac, infus manitol, injeksi ranitidin, infus RL + ketorolac 1 ampul 20 tetes/menit.
injeksi ondansetron serta injeksi Pasien dipasang kateter urin untuk monitoring
ceftriakson. output cairan. Pasien diberikan ketorolac,
karena rangsangan nyeri pada kepala dapat
memicu peningkatan TIK. Infus manitol
membantu menurunkan TIK pada pasien
Cedera kepala berat dengan cara menarik
cairan ke dalam ruangan intra vaskular.
Injeksi ranitidin dan ondansetron untuk
mencegah mual dan muntah. Injeksi

44
ceftriakson 2x 1gr diberikan karena leukosit
pasien 13,17.
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini sudah
sesuai dengan teori.

45
BAB V

KESIMPULAN

Cedera kepala dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang
merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa dan cedera sekunder yang
terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahapan lanjutan dari
kerusakan otak primer.
Berdasarkan ATLS cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi. Fraktur kranium dan lesi intrakranial merupakan
beberapa contoh dari kasus trauma kepala. Yang merupakan contoh dari kasus lesi
intrakranial adalah epidural hematoma, subdural hematoma, perdarahan
subarachnoid, kontusio dan hematoma intraserebral, serta cedera difus pada
otak.Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut
adalah foto polos kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Tatalaksana dapat diberikan berdasarkan GCS pasien, pada kasus ringan
dilakukan pemeriksaan umum dan neurologis, perawatan luka, dan observasi
adanya perburukan. Pada kasus CKR dapat diberikan tatalaksana simptomatis,
observasi perburukan, dan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk
menyingkirkan adanya hematom, sedangkan untuk kasus CKS dan CKB tindakan
awal yang dilakukan adalah sesusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A),
Breathing (B), dan Circulation (C), pemeriksaan kesadaran, tanda vital, pupil,
defisit fokal serebral, cedera ekstrakranial, pemeriksaan penunjang lengkap
meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap dan radiologi, tatalaksana TIK yang
meninggi, Keseimbangan cairan dan elektrolit, nutrisi, neuroproteksi, dan terapi
komplikasi (epilepsi, infeksi, demam, gangguan gastrointestinal, edema
pulmonum, dan neurorestorasi /neurorehabilitasi. Indikasi terapi operatif
berdasarkan hasil CT Scan, sedangkan prognosis bergantung pada skor

46
GCS.Pencegahan dan edukasi yang sangat efektif adalah pendidikan masyarakat
berupa penggunaan helm penyelamat dan memadai, penggunaan sabuk keamanan,
perilaku pengemudi, dan kecepatan kendaraan.

47
Daftar Pustaka

1. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .


SumatraUtara: USU Press.
2. Zamzami, N., Fuadi, I. and Nawawi, A. (2017). 89 Angka Kejadian d an
Outcome Cedera Otak di RS . Hasan Sadikin Bandung Tahun 2008 - 2010.
(online) INASNACC. Available at:
http://inasnacc.org/images/Artikel/vol2no22013juni/2MoyaPen.pdf
(Accessed 29 Mei 2018).
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma
Kapitis. In: Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. P1-18.
4. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A,
Dian S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. P61-74.
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. P114-117
6. Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In : Pendit BU,
Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi : Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Jakarta : EGC ; 2005
7. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC.
8. Trauma.org. (2017). TRAUMA.ORG : Neurotrauma : Cerebral Perfusion
Pressure. (online) Available at:
http://www.trauma.org/archive/neuro/cpp.html (Accessed 29 Mei. 2018).
9. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Edisi 2. Surabaya: Tim neurotrauma RSU
Dr.Soetomo-FK Universitas Airlangga;2014.
10. Advanced Trauma Life Support (2008). Head Trauma. In Advanced Trauma
Life Support for Doctors. ATLS Student Course Manual 10th Edition. USA:
American College of Surgeon, 102-127

48

Anda mungkin juga menyukai