Anda di halaman 1dari 46

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
REFLEKSI KASUS
2018

PERITONITIS ET CAUSA APPENDISITIS PERFORASI + GRAVID 28


MINGGU

Disusun Oleh:

Harry Susanto
11 16 777 14 082

Pembimbing :
dr. Arief Husain, Sp.B

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN BEDAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Harry Susanto


No. Stambuk : 11 16 777 14 082
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Al-Khairaat Palu
Judul Referat : Peritonitis Et Causa Appendisitis Perforasi + Gravid 28
minggu
Bagian : Ilmu Bedah

Bagian Bedah
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

2 juli 2018
Pembimbing Mahasiswa

dr.Arief Husain, Sp.B Harry Susanto, S.Ked

BAB I
PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.


Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang
berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun sering kali
menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau

2
Appendisitis akut menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera
dilakukan tindakan bedah1.
Appendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak
umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendisitis
akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik,
appendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis Appendisitis akut pada
anak kadang-kadang sulit. Hanya 50-70% kasus yang bisa didiagnosis dengan
tepat pada saat penilaian awal. Angka appendictomy negatif pada pasien anak
berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis Appendisitis2.
Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari
Appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan
laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian
akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada
tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Appendisitis akut
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh dunia 3.
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendisitis akut yang
terjadi bila Appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus4.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara


Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan

3
Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi
dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena
itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2

Gambar 1. Appendix vermicularis

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul
limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

4
Gambar 2. Potongan transversa Appendix

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia
caealis pada dasar caecum, ujung appendix memiliki variasi lokasi seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi
lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2

5
Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir


ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT),
fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi
sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.2

2.2 INSIDENSI
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak
kurang dari satu tahun.2

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appedisitis akut. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendisitis juga meningkat pada
pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor
carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendisitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendisitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.3

6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendisitis akut sederhana, sekitar 65%
pada kasus Appendisitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus
Appendisitis acuta gangrenosa dengan perforasi. 3.4

Gambar 4. Appendisitis (dengan fecalith)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-
samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2.4
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat.
Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata.
Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap
kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan
arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami

7
kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan
vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark
di batas antemesenterik.,3.7
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala
gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendisitis, khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah
timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran

8
infeksi Appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abses lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas kearah
perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut.
Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48
jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi
tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak
yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abses. Abses
tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat
pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat
iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abses pelvis.6.7

2.4 MANIFESTASI KLINIS


2.4.1 Gejala Klinis
Gejala Appendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.3.7 Gejala utama Appendisitis akut
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-
12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi
di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan
nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.3,7,8

9
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendisitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendisitis diragukan. Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2.5
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul
pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix. 2,3

Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendisitis akut dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy,
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.5

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2


Gejala Klinik Value
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.2

10
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan
tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri
lokal di titik McBurney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal
menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan
Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal
toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien
dengan pelvis abses karena ruptur Appendix.6
Diagnosis Appendisitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat
sehingga Appendisitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan
penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia.
Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.7

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Anak-anak dengan Appendisitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan
gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendisitis, kecuali pada anak dengan Appendisitis
letak retrocaecal. Pada Appendisitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter
sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.6
Penderita Appendisitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha
kanan, karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang.
Hal tersebut akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut
berkurang. 8
Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa
letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360 o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendisitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri
di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendisitis letak pelvis
dapat menyebabkan nyeri rectal.6
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri
pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik
untuk Appendisitis. Jika tanda-tanda Appendisitis lain telah positif, maka
pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.8

11
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendisitis namun tidak spesifik.
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan
pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 6. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae
dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa
nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan

12
adanya perforasi Appendix, abses lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
Appendisitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 7. Cara melakukan Obturator sign

Gambar 8. Dasar anatomis Obturator sign

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign

13
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk.
 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abses di cavum
Douglasi atau Appendisitis letak pelvis.
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.5.1 Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan
pada keadaan akut, Appendisitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendisitis akut harus
dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada
Appendisitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa
abses.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai
meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥
11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari

14
iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi
Appendix, pada Appendisitis akut dalam sample urine catheter tidak akan
ditemukan bakteriuria.

2.5.2.Ultrasonografi
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendisitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus
yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif
bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih.
Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari
Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran
tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis
Appendisitis akut. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan
tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis
Appendisitis akut tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain
dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada
wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan
pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan
penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis
Appendisitis akut dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96%
dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan
wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.
Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendisitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang
dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak
tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu
banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendisitis terbatas hanya
pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan

15
dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena
tekanan.

Gambar 8 Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendisitis

2.5.3. Pemeriksaan radiologi


Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendisitis akut, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Appendisitis akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal
ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada
foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus
kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan
diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abses appendix untuk melakukan
percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.

16
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendisitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,
memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

Gambar 9. Gambaran CT Scan abdomen: Appendisitis perforata


dengan abses dan kumpulan cairan di pelvis

Tabel 3. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendisitis

USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%

Spesifitas 92% 95-97%

Penggunaan Evaluasi pasien pada Evaluasi pasien pada


pasien Appendisitis pasien Appendisitis
Keuntungan Aman Lebih akurat
Relatif murah Lebih baik dalam
Dapat menyingkirkan mengidentifikasi
penyakit pelvis pada Appendix normal,
wanita phlegmon dan abses
Lebih baik pada anak-
anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Secara teknik tidak Radiasi ionisasi
adekuat dalam menilai Kontras
gas
Nyeri
2.6 DIAGNOSIS BANDING

17
Diagnosis banding dari Appendisitis akut pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses
akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan
yang sama seperti Appendisitis akut. 2,6
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendisitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan. Diagnosis banding Appendisitis
tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan
dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin
pasien. 2,6
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada orang dewasa tapi biasanya mudah
dibedakan dengan Appendisitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah
satu infeksi akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan
adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului
terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendisitis
akut. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendisitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Appendisitis akut karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendisitis sangat jarang dibawah
umur 2 tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di
bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan
berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih

18
pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium
enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendisitis
akut sangat berbahaya.
4. Infeksi saluran kencing
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat
menyerupai Appendisitis akut letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo
vertebra kanan, dan terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk
membedakan keduanya.

2.7 KOMPLIKASI
2.7.1. Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro atau
makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa Appendix terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena
daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.9
Patofisiologi
Bila semua proses patofisiologi Appendisitis berjalan lambat, omentum dan
usus yang berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa
lokal yang disebut Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.9
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa
sehingga terbentuk massa periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
Appendisitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

19
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang,
dinding Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti Vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).8
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut. 8

Manifestasi Klinis
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian
disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik Appendisitis akut biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan
dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan
menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,
malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi
tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya
penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam
nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.7

Pemeriksaan Fisik

20
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu axillar dan
rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis
infiltrat atau adanya Appendicular abses terlihat dengan adanya penonjolan di
perut kanan bawah.8
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defence muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan
bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada Appendisitis retrosekal atau retroileal
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. 10
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan
cepat membendung daerah Appendix maka selain ada nyeri pada fossa iliaka
kanan selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga
pada palpasi akan teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa
dapat diraba. Jika Appendix intrapelvinal maka massa dapat diraba pada
RT(Rectal Toucher) sebagai massa yang hangat.7
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat Appendisitis perforata. Pemeriksaan colok
dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk,
misalnya pada Appendisitis pelvika. 8
Pada Appendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada
anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak Appendix.8.10

Diagnosis
Massa Appendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih
tinggi;

21
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas
terdapat tanda-tanda peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.
Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai
dengan:
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak
tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis
dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.6

Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi
oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang
terbentuk tersusun atas campuran bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi
dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada Appendix
tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami
peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit,
tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.7
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi
untuk membuang Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan
ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan karena massa ini telah menjadi
lebih terfiksasi, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu
pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.7
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat
terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti
peritonitis purulenta generalisata. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam

22
waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang
terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan Appendectomy elektif dapat
dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan
sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses Appendix. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih
kontroversial. Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-
anak, kebanyakan adalah konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik,
dengan cairan intravena, dan pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif
berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit, lalu direncanakan untuk dilakukan
Appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk mencegah
kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian
komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif terlebih dahulu lebih
sedikit bila dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti cedera pada
ileum (Ileal injury), abses intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi.
Sehingga terapi non-operatif pada appendicular infiltrat yang diikuti dengan
Appendectomy elektif merupakan metode yang aman dan efektif. Terapi tersebut
sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan konservatif terlebih dahulu yang
diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini dikarenakan untuk mencegah
komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang besar
(extensive).2
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abses, dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa,
appendectomy direncanakan pada Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8
minggu kemudian dilakukan Appendectomy.2

23
Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD
(Primary Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic
Appendectomy). PLD ini rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit,
makanan oral dapat diberikan 2-3 hari setelah PLD, penurunan panas badan
pasien menjadi afebril pada 4-7 hari setelah PLD, antibiotik intravena dapat
dilepas 4-5 hari setelahnya, perawatan di rumah sakit antara 7-15 hari. PLD ini
tidak terbukti terdapat komplikasi selama intra maupun post operasi, sedangkan
bila dilanjutkan dengan LA, komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi obstruksi
usus.2
Bila sudah terjadi abses, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan
atau gejala apapun, dan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan
tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.2

2.7.1. Perforasi
Appendisitis perforata terjadi lebih sering pada orang tua dan anak kecil.
Kejadian perforasi meningkat secara langsung dengan umur ; pada umur 70 tahun,
70% sampai 90% pasien akan muncul dengan perforasi. Walaupun perubahan
pada struktur dan aliran darah appendix telah berimplikasi pada tingginya insidens
perforasi, data yang mendukung sedikit. Teori bahwa appendisitis berkembang
secara lebih cepat di kelompok umur ini juga tidak pasti. Lamanya durasi
timbulnya gejala, kesalahan dari diagnosis, dan penundaan lama operasi
dilakukan adalah yang paling berpengaruh. Adanya fekalit di dalam lumen juga
juga berperan dalam terjadinya Appendisitis perforata
Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orangtua adalah
 Gejalanya yang samar,
 Keterlambatan berobat
 Adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen,
 Arteriosklerosis

Insidens tinggi pada anak terjadi karena :

24
 Dinding apendiks yang masih tipis
 Anak kurang komunikatif sehingga memperlambat waktu diagnosis
 Proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung
cepat dan omentum anak belum berkembang

Angka kematian dari Appendisitis Perforasi juga meningkat seiring


pertambahan umur, dari 0% pada pasien di bawah 50 tahun ke 11% pada umur 50
sampai 70 tahun dan sampai 32% untuk umur lebih tua dari 70 tahun.

Etiologi & Patogenesis


Appendisitis Perforata diawali oleh Appendistis Akut. Obstruksi dari lumen
adalah factor penyebab utama dari Appendisitis Akut. Fekalit adalah kausa yang
biasanya menyebabkan obstruksi appendiks. Penyebab yang kurang sering adalah
hipertrofi dari jaringan limfoid Frekuensi obstruksi meningkat dengan keparahan
dari proses Inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari Appendisitis akut
sederhana, sekitar 65% dari kasus Appendisitis gangrenosa tanpa rupture, dan
sekitar 90% dari Appendisitis gangrenosa dengan ruptur.
Mukosa dari Traktus Gastrointestinal, termasuk appendiks, sangat mudah
terpengaruh oleh kekurangan suplai darah. Karena itu terjadi kelemahan pada
awal dari proses, mengakibatkan invasi bakteri pada lapisan-lapisan yang lebih
dalam. Seiring distensi progresif mempengaruhi tekanan arteriol, area dengan
suplai darah terkecil memperoleh akibat paling buruk : infark-infark kecil terjadi
dalam batas bagian usus yang berseberangan dengan tempat perlekatan
mesenterium (batas ‘antimesenterik). Dengan adanya distensi, invasi bakteri,
menurunnya suplai darah, dan berlanjutnya infark, timbullah perforasi, biasanya
melalui satu dari area-area infark pada batas antimesenterik.
Peristiwa berkelanjutan ini tidak konstan/pasti terjadi. Beberapa kasus dari
Appendisitis akut rupanya secara spontan mereda Banyak pasien yang pada
operasi ditemukan menderita Appendisitis akut sebelumnya memiliki riwayat
serangan-serangan sama tapi lebih ringan dari nyeri kuadran kanan bawah.
Pemeriksaan patologik dari bagian jaringan appendiks yang diambil dari pasien-

25
pasien ini memperlihatkan penebalan dan jaringan parut, mengindikasikan adanya
peradangan akut lama yang telah tersembuhkan.

Tanda Dan Gejala


Appendektomi segera telah lama menjadi pengobatan yang dianjurkan untuk
appendisitis akut karena dikhawatirkan perkembangannya menuju
rupture/perforasi. Terlambatnya waktu pengobatan medis menjadi sebab utama
terjadinya perforasi ; penyakit ini berkembang menurut patogenesisnya. Perforasi
ditandai dengan makin hebatnya nyeri dan lebih tingginya demam (rata-rata, 38.3
°C) daripada di appendisitis. Tidak biasa terjadi untuk appendiks yang meradang
untuk perforasi dalam 12 jam pertama. Appendisitis telah berkembang menuju
perforasi pada saat appendictomy di kira-kira 50% dari pasien-pasien di bawah
umur 10 tahun atau lebih dari umur 50 tahun. Hampir seluruh kematian terjadi
pada kelompok kedua.
Konsekuensi akut dari perforasi beragam dari peritonitis luas ke pembentukan
dari sebuah abses kecil yang mungkin tidak secara bernilai mengubah keluhan-
keluhan dan gejala-gejala/tanda-tanda dari appendisitis. Perforasi pada wanita
muda meningkatkan resiko infertilitas tuba 4 kali lipat..
Appendectomy segera telah lama menjadi pengobatan yang dianjurkan untuk
appendisitis akut karena dikhawatirkan perkembangannya menuju
rupture/perforasi.. Sebuah penelitian patogenesis dari appendisitis angka 14%
normal, 70% meradang, dan 16% perforasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
keterlambatan mendiagnosis bertanggung-jawab untuk mayoritas appendiks
terperforasi. Tidak ada cara akurat untuk menentukan kapan dan bilamana sebuah
appendiks akan rupture pada awal terjadi proses inflamasi. Walaupun dianjurkan
bahwa observasi dan terapi antibiotic bisa menjadi penanganan sesuai untuk
appendisitis akut, penanganan nonoperatif beresiko pada morbiditas dan
mortalitas berhubungan dengan Appendiks Perforata.
Ruptur Appendiks terjadi paling sering pada distal dari titik obstruksi lumen
sepanjang batas antimesenterik dari appendiks. Ruptur harus dicurigai bila
terdapat demam yang lebih dari 39°C (102°F) dan hitung leukosit lebih dari

26
18,000/mm3. Pada mayoritas kasus terdapat ruptur dan pasien memperlihatkan
kembali (rebound) nyeri tekan terlokalisir Peritonitis luas akan terjadi bila proses
pembungkusan tidak efektif meliputi ruptur.
Bila appendiks ruptur, nyeri abdomen menjadi intens dan lebih difus, spasme
muscular meningkat, terdapat peningkatan simultan dari denyut jantung, dengan
peningkatan temperatur sampai 39°-40°C. Pada waktu ini, pasien terlihat cukup
sakit, dan menjadi jelas bahwa situasi klinik telah memburuk.

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien Appendisitis akut yaitu :
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala
klinis dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur
dan didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika
profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

27
28
Teknik operasi Appendectomy
a. Open Appendectomy

b. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendisitis akut. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian
bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit
akut ginekologi dari Appendisitis akut.4.8

29
2.9 KOMPLIKASI POST OPERASI
1. Fistel berfaeces Appendisitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces;
karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah
Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena
emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

2.10 PROGNOSIS
Mortalitas dari Appendisitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000
pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendisitis adalah sarana
diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan
darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi
tepat sebelum terjadi perforasi.

30
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. T.A
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 25-10-2012
MRS : 12 -06-2018
Ruangan : Garuda Atas
Rekam Medis :

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan
Anamnesis Terpimpin :
Pasien masuk keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu.
Nyeri perut pertama dirasakan bagian kanan bawah dan menjalar ke seluruh
bagian perut sampai ke paha kanan. Demam (+) di rasakan saat berada di sejak
2 hari yang lalu,Muntah (+) >2 kali sejak 2 hari yang lalu, mual (+) nafsu
makan menurun. Belum BAB sejak 3 hari yang lalu, BAK lancar.
Riwayat trauma tidak ada.
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya, setahun lalu.pasien awalnya di
rencanakan untuk di lakukan operasi di karenkan keluarga yang tidak setuju
operasi tidak di lakukan

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis
Status Vitalis
Nadi : 90 x / menit
Pernafasan : 28 x / menit
Suhu : 37,4oC

31
Kepala
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Bibir : tidak ada sianosis
Gusi : perdarahan (-)
Mata
pupil bulat, isokor, θ 2,5mm/2,5mm, RC +/+
Leher
Kelenjar getah bening :tidak terdapat pembesaran
Deviasi trakea : tidak ada
Massa tumor : tidak ada
Nyeri tekan. : tidak ada
Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-), fremitus kiri=kanan
Perkusi : sonor kri = kanan
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler Kiri = Kanan
Bunyi tambahan: ronkhi - / -, Wheezing - / -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis (S)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 / S2 reguler,murmur (-)
Abdomen (Status Lokalis) :
Inspeksi : Tampak cembung (gravid) ikut gerak napas, warna kulit
sama dengan sekitar. Darm Contour (-), Darm Steifung (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat
Palpasi : Defans muscular (+) Massa Tumor (-), Nyeri Tekan pada
titik Mc Burney (+), Rovsing Sign (+), Blumberg Sign (+),
Psoas sign (+) Obturator Sign (+) Hepar / Lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+).
Rectal Toucher :
Tidak dilakukan

32
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 11/06/2018

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


WBC 16,7 4,00-10,0
RBC 4,65 4,00-6,00

HGB 13,6 12,0-16,0

HCT 41,3 37,0-48,0

PLT 283 150-400

GOT 10 < 38
GPT 8 < 41
GDS 196 80-199

LED 1 100 0-10


LED 2 125
PT 12,6 11-18
APTT 26,1 27,0-42,0
NEUT% 88,6 40-74
NEUT# 14,81 2.00 – 7.5
LYM# 0,95 1.00-4.00
Anti HbsAG Reaktif
AntiHCV NonReaktif

Pemeriksaan USG (11/06/2018)


GB : dinding tidak menebal dan tidak tampak echo batu
Hepar : bentuk, ukuran dan echo parenkim normal , tidak tampak
dilatasi vasculer maupun bile duct intra dan extrahepatik
Pankrease : ukuran dalam batas normal
Spleen : Ukuran dan echo parenkim dalam batas normal
Kedua ginjal : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal

33
VU : Mukosa reguler dan tidak menebal, tidak tampak echo
batu
Tampak dilatasi loop usus dan echo cairan bebas dalam cavum peritonium
Pada area McBurney, gravid tunggal intrauterine, DJJ (+) estimasi UK 27
Minggu
KESAN : Gravid tunggal intrauterine dengan suspek appencitis disertai cairan
bebas cavum peritoneum

Skor Alvarado

Gejala Klinik Value


Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Leukositosis 2
Shift to the left o
JUMLAH 9

E. RESUME
Pasien perempuan umur 30 tahun MRS dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 3 hari yang lalu. Nyeri perut pertama dirasakan bagian kanan
bawah dan menjalar ke seluruh bagian perut sampai ke paha kanan. Demam
(+) Muntah (+) >2 kali sejak 2 hari yang lalu, mual (+) nafsu makan menurun.
Belum BAB sejak 3 hari yang lalu, BAK lancar.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, nyeri tekan pada titik Mc Burney, Rovsing
Sign dan Blumberg Sign (+), Psoas sign dan Obturator sign (+).

34
Pemeriksaan lab, leukositosis. Hasil pemeriksaan USG, menunjukkan
gambaran appendisitis disertai cairan bebas cavum peritonium. Berdasarkan
skor Alvarado, diindikasikan pasien ini untuk dilakukan tindakan operasi.

F. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Perforasi
G. RENCANA TINDAKAN
Pro laparatomy
H. TERAPI
- Pasang kateter urin
- IVFD RL 20 tpm
- Ceftriaxone 1g/12jam/iv
- Paracetamol drips / 8 jam/iv
Laporan operasi 12/06/2018
Diagnostik post operatif:
- Peritonitis ec. Appendisitis perforasi + gravid 28 minggu
Nama/macam operasi :
- Laparatomy + appendictomy
Laporan :
- Pasien dibaringkan posisi supine dengan pengaruh general anesthesia
- Dilakukan disinfeksi menggunakan alcohol dan betadine
- Dilakukan drapping procedure
- Dilakukan incise midline, diperdalam sampai cavum peritoneum, cavum
peritoneum dibuka (laparatomy)
- Tampak uterus membesar, uterus disisikan ke arah kiri
- Diidentifikasi caecum dan apeendix vermiformis, kesan appendix perforasi
mulai dari korpus hingga pangkal, dilakukan pengambilan pus 30cc
fecolith (+)
- Cuci area perforasi menggunakan Nacl 0,9% dan betadine
- Pangkal appendix sulit di identifikasi
- Mesoappendix diligasi dan di potong, kontrol pendarahan

35
- Dilakukan appendectomy, yang di duga stump appendix diligasi dan di
lakukan Z-suture
- Control pendarahan dan bersihkan daerah operasi
- pasang drain non vacum
- jahit peritoneum parietalis-otot abdomen-fascia-adiposa-subcutis-kulit
lapis demi lapis
- tutup luka operasi dengan verban
- operasi selesai

Instruksi post op
- futrolit : Dextrose 5% : Kaen Mg3 1:1:1 20Tpm
- Ceftriaxone 1 gram/12 jam iv
- Ketorolac 30 mg/8 jam iv
- Ranitidine 50 mg/8 jam iv
- Puasa total
- Rawat ruang perawatan ICU

36
FOLLOW UP
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER
13 – 06 – 2018 PH 2 / POH 1 R/
S: nyeri luka op (+) demam (-) - futroilit : Dextrose 5% :
T : 110/70mmHg Mual (-) muntah (-) sesak (-) Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
N : 104 x/menit BAB(-) Flatus(-). - Ceftriaxone 750mg/12 jam
S : 36,9 0C O: Kompos mentis, anemis -/-, iv
R : 24 x/menit Abd : Peristaltik (+) 3x/menit, - Ketorolac 15mg/8 jam iv
nyeri tekan luka op (+) - Ranitidine 25mg/8 jam iv

37
Eks : akral hangat (+) edema (-) - Konsul interna dan Obgyn
Drain :kanan 35cc
Urin : 600 cc
A: Post Laparatomy +
Appendictomy +peritonitis ec.
Appendisitis perforasi + Gravid
28 minggu + HbsAg

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER


14 – 06 – 2018 PH 3 / POH 2 R/
S: nyeri luka op (+) demam (-) - futroilit : Dextrose 5% :
T:120/70 mmhg Mual (-) muntah (-) sesak (-) Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
N : 86 x/menit BAB(-) Flatus(-). - Ceftriaxone 1 gram /12 jam
S : 36,8 0C O: Kompos mentis, anemis -/-, iv
R : 20 x/menit Abd : Peristaltik (+) 4x/menit, - Ketorolac 30 mg/8 jam iv
nyeri tekan luka op (+) - Ranitidine 50 mg/8 jam iv
Eks : akral hangat (+) edema (-) - Utrogeston 2 x 200 mg /
Drain : kanan 60cc rectal
Urin : 400 cc - Pronalges supp/ 8j / kalau
A: Post Laparatomy + perlu
Appendictomy +peritonitis ec.
Appendisitis perforasi + Gravid
28 minggu + HbsAg + Diabetes
melitus tipe 2

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER


15 – 06 – 2018 PH 4 / POH 3 R/
07.00 S: nyeri luka op (+) demam (-) - futroilit : Dextrose 5% :
T: 120/70 mmhg Mual (-) muntah (-) nyeri ulu Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
N : 78 x/menit hati (+) sesak (-) BAB (-) Flatus - Ceftriaxone 1 gram /12 jam
S : 36,8 0C (+) 2x . iv
R : 20 x/menit O: Compos mentis, anemis -/-, - Ketorolac 30 mg/8 jam iv

38
Abd : Peristaltik (+) 6x/menit, stop ganti paracetamol
nyeri tekan luka op (+) botol/ 8jam /iv
Eks : akral hangat (+) edema (-) - Ranitidine 50 mg/8 jam iv
Drain : 15cc - Utrogeston 2 x 200 mg /
Urin : 600cc rectal
A: Post Laparatomy + - Pronalges supp/ 8jam /
Appendictomy +peritonitis ec. kalau perlu
Appendisitis perforasi + Gravid - Hari ini boleh minum
28 minggu + HbsAg + Diabetes bebas, besok diet bubur
melitus tipe 2 saring

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER


16 – 06 – 2018 PH 5 / POH 4 R/
S: nyeri luka op (+) demam (-) - futroilit : Dextrose 5% :
T: 110/80 mmhg nyeri ulu hati (-) Mual (-) Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
N : 88 x/menit muntah (-) sesak (+) BAB(+) - Ceftriaxone 1 gram /12 jam
S : 37,1 0C padat , Flatus(+) banyak kali . iv
R : 20 x/menit O: Kompos mentis, anemis -/-, - paracetamol drips / 8jam/iv
Abd : Peristaltik (+) 4x/menit, - Ranitidine 50 mg/8 jam iv
nyeri tekan luka op - Utrogeston 2 x 200 mg /
Eks : akral hangat (+) edema (-) rectal
Drain : 8cc, - Pronalges supp/ 8jam /
Urin : 500 cc kalau perlu
A: Post Laparatomy + - diet bubur saring
Appendictomy +peritonitis ec. - mobilisasi duduk
Appendisitis perforasi + Gravid - Aff kateter
28 minggu + HbsAg + Diabetes - boleh pindah rawat ruangan
melitus tipe 2 garuda atas

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER

39
17 – 06 – 2018 PH 6 / POH 5 R/
S: nyeri luka op (+) demam (-) - futroilit : Dextrose 5% :
T: 120/80 mmhg nyeri ulu hati (-) Mual (-) Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
N : 86 x/menit muntah (-) sesak (-) BAB(+) - Ceftriaxone 750mg/12 jam
S : 36,7 0C baik, BAK (+) lancar iv
R : 18 x/menit O: Kompos mentis, anemis -/-, - paracetamol drips / 8j/iv
Abd : Peristaltik (+) 4x/menit, - Ranitidine 25mg/8 jam iv
nyeri tekan luka op (+) - Utrogeston 2 x 200 mg /
Eks : akral hangat (+) edema (-) rectal
Drain : 5 cc - diet bubur saring
A: Post Laparatomy + - mobilisasi duduk
Appendictomy +peritonitis ec.
Appendisitis perforasi + Gravid
28 minggu + HbsAg + Diabetes
melitus tipe 2

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER


18 – 06 – 2018 PH 7 / POH 6 R/
T:120/70 mmhg S: nyeri luka op (+) berkurang - futroilit : Dextrose 5% :
N : 100 x/menit demam (-) Mual (-) muntah (-) Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
S : 37,5 0C sesak (-) BAB(+) baik, BAK (+) - Ceftriaxone 1 gram/12 jam
R : 28 x/menit lancar iv
O: Kompos mentis, anemis -/-, - paracetamol drips / 8jam/iv
Abd : Peristaltik (+) 6x/menit, - Ranitidine 50 mg/8 jam iv
nyeri tekan luka op (+) - Utrogeston 2 x 200 mg /
Eks : akral hangat (+) edema (-) rectal
Drain : 5 cc - diet lunak
A: Post Laparatomy + - aff drain
Appendictomy +peritonitis ec.
Appendisitis perforasi + Gravid

40
28 minggu + HbsAg + Diabetes
melitus tipe 2

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER


19 – 06 – 2018 PH 8 / POH 7 R/
T: 110/80 mmhg S: nyeri luka op (+) berkurang - futroilit : Dextrose 5% :
N : 86 x/menit demam (-) Mual (-) muntah (-) Kaen Mg3 1:1:1 20 Tpm
S : 36,7 0C sesak (-) BAB(+) baik, BAK (+) - Ceftriaxone 1 gram/12 jam
R : 20x/menit lancar iv
O: Kompos mentis, anemis -/-, - paracetamol drips / 8jam/iv
Abd : Peristaltik (+) 6x/menit, - Ranitidine 50 mg/8 jam iv
nyeri tekan luka op (+) - Utrogeston 2 x 200 mg /
Eks : akral hangat (+) edema (-) rectal
A: Post Laparatomy + - diet lunak
Appendictomy +peritonitis ec. - Aff infus
Appendisitis perforasi + Gravid - Obat ganti oral
28 minggu + HbsAg + Diabetes
melitus tipe 2

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER


20 – 06 – 2018 PH 9 / POH 8 R/
S: nyeri luka op (+) berkurang - Inbumin 3 x1
T: 120/80 mmhg demam (-) Mual (-) muntah (-) - Paracetamol 500 mg 3x1
N : 82 x/menit sesak (-) BAB(+) baik, BAK (+) - Cefadroxil 500 mg 3x1
S : 36,6 0C lancar - Boleh pulang
R : 19 x/menit O: Kompos mentis, anemis -/-,
Abd : Peristaltik (+) 6x/menit,
nyeri tekan luka op (+)
Eks : akral hangat (+) edema (-)
A: Post Laparatomy +
Appendictomy +peritonitis ec.

41
Appendisitis perforasi + Gravid
28 minggu + HbsAg + Diabetes
melitus tipe 2

BAB IV
PEMBAHASAN

Komplikasi dari appendisitis yang paling berbahaya adalah perforasi. Adanya


fekalit di dalam lumen, usia, keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang
berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Pasien pada kasus ini berusia 31
tahun dan mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari yang lalu. Nyeri perut
pertama dirasakan bagian kanan bawah dan menjalar ke seluruh bagian perut
sampai ke paha kanan. Demam (+) Muntah (+) >2 kali sejak 2 hari yang lalu,
mual (+) nafsu makan menurun. Belum BAB sejak 3 hari yang lalu
Berdasarkan teori, perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri perut yang semakin hebat bahkan meliputi seluruh
perut, bahkan mungkin disertai pungtum maksimum di region iliaca dextra.
Apendiks umumnya terletak disekitar titik McBurney, namun perlu diingat
bahwa letak anatomis apendiks dapat pada semua titik, 3600 mengelilingi pangkal
caecum. Pada pemeriksaan fisik, yang ditemukan pada pasien adalah nyeri tekan

42
pada perut pada titik McBurney, adanya rovsing sign, psoas sign, obturator sign.
Rovsing sign yaitu jika LLQ ditekan, maka pasien akan merasa nyeri pada RLQ,
hal ini menggambarkan iritasi peritoneum. Obturator sign yaitu pasien merasa
nyeri di hipogastrium saat dilakukan eksorotasi pada tungkai kanan. Maneuver ini
menunjukkan adanya perforasi apendiks atau adanya abses lokal pada letak
retrocaecal. Pada pemeiksaan palpasi abdomen perut pasien teraba seperti
mengeras .
Pada pemeriksaan laboratorium, leukositosis berkisar antara 10.000-
18.000/mm3 biasanya didapatkan pada keadaan apendisitis akut tanpa komplikasi.
Jarang leukositosis > 18.000mm3 tanpa komplikasi dan dapat dipertimbangkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks. Pada pasien ini, ditemukan hasil
leukositosis dengan hasil 27.000mm3+ dan neutrofil 85,2%.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) cukup bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis apendisitis dapat membantu mendeteksi adanya kantomg nanah.
Gambaran apendiks normal dengan tekanan ringan merupakan struktur yang
kabur berukuran 5mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis apendisitis
akut. Pemeriksaan USG yang dilakukan pada pasien ini ditemukan cairan pada
area McBurney, tampak dilatasi loop usus dan juga echo cairan bebas dalam
cavum peritoneum dengan kesan appendisitis dan cairan bebas cavum peritoneum.
Hal ini sesuai dengan penegakan diagnosis pada kasus ini, yaitu apendisitis
perforasi.
Perbaikan keadaan umum dengan pemasangan infuse, pemberian antibiotic
untuk kuman gram positif, gram negatif dan bakteri anaerob perlu dilakukan
sebelum pembedahan. Pada pasien ini, diberikan terapi pemasangan kateter
sewaktu masuk di IGD rumah sakit. Resusitasi cairan dan pemberian antibiotik
ceftriaxon juga telah diberikan, namun tidak diberikan antibiotik sentisiv bakteri
anaerob. Pemberian analgesik (santagesik) pada pasien ini tidak terdapat dalam
teori.
Tindakan operasi dengan laparatomi dilakukan pada pasien ini sehari setelah
ditegakkan diagnosis. Menurut teori, pasien dengan apendisitis perforasi perlu
dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang, agar dapat dilakukan pencucian

43
rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat. Namun
akhir akhir ini menurut penelitian banyak dilakukan laparaskopi apendektomi.
Hasilnya tidak berbeda jauh dengan laparatomi terbuka, tetapi keuntungannya
adalah lama perawatan lebih pendek dam secara kosmetik lebih baik.
Setelah dilakukan operasi laparatomi, pasien pada kasus ini dilakukan
pemasangan drain non-vacum intraabdominal. Pada dasarnya, penggunaan drain
intraabdominal adalah profilaksis setelah operasi untuk mengalirkan sisa bekuan
darah maupun pus yang berasal dari intraabdominal. Menurut teori, sampai saat
ini masih kontroversi penggunaan drain intraabdominal pada pasien pasca operasi
appendisitis perforasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sub Bagian Bedah
Digestif Fakultas Kedokteran Universital Sebelas Maret di RSUD dr. Moewardi
Surakarta pada tahun 2017 menemukan bahwa penyembuhan luka pasca operasi
apendisitis perforasi baik yang menggunakan drain maupun yang tidak
menggunkan drain semuanya mengalami penyembuhan luka yang baik.
Pada kasus ini juga pasien dalam keaadaan hamil , tidak ada penelitian
yang mengaitkan adanya hubungan antara appendicitis dengan kehamilan .
kondisi pasien dan bayinya stabil sebelum dan sesudah operasi.
Hubungan apenicitis perforasi dan peritonitis sangatlah erat.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Volker S, Bernard D, Kerstin O. APPENDIX AND CECUM, Embryology,


Anatomy and Surgical Applications. Surgycal Clinics of North America.
Departmet of Surgery, Anatomy, Universuty of Technology at Germany. Volume
80, 2000
2. Bhagu A and Sareide K. Acute Appendicitis : Modern Understanding of
Pathogenesis, Diagnosis and Management. Emergency Surgery 1. Academid
Departmet of Surgery, Queen Elizabeth Hospital, UK. Lancett 2015
3. Ashok Dr, Sanjay Dr. Perforated Appendicitis in Children, Journal of Dental and
Medical Sciences (IOSR-JDMS) Volume 11, 2013
4. Ishikawa H, The Journal of the Japan Medical Association. Diagnosis and
treatment of Acut Appendicitis. Department of Surgery, Sasebo Municipal
Hospital, 2003.
5. Andy P, Averida A. Pathophysiology of Acute Appendicitis. JSM
Gastroenterology and Hepatology. Departmet of Surgery Federal University
Brazil. SciMedCentral. 2016.

45
6. Henna S. Diagnostic Scoring and Significance of Preoperative Delay, Acute
Appendicitis. Department of Gastrointestial Surgery, Helsinki University Central
Hospital, Finland. April 2017.
7. David J and John S. Imaging of Acute Appendicitis in Adults and Children,
Diagnostic Imaging. Clinical Scores, Alvarado Score and Derivate Score.
Department of Surgery, NHR Nottingham Digestive Disease Center. 2011.
8. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
9. Caesare R and Alain F. Acute Appendicitis : What is the Gold Standard of
Treatment?. World Journal of Gastroenterology. Departmet of Surgery Regional
Hospital Italy. 2013
10. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc. 2010: 647-62
11. Luis A, Castillo V and Ana K. Acute Appendicitis : Evidence Based Management.
Contributions on Surgery Research. General Departmet of Surgery, Mexico City.
First Published January 15 2018
12. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2013: 1191-222

46

Anda mungkin juga menyukai