Konunitas Gerontik

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lansia merupakan proses penuaan dengan bertambahnya usia individu yang ditandai dengan penurunan fungsi organ

tubuh seperti otak, jantung, hati dan ginjal serta peningkatan kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot tubuh. Penurunan

fungsi organ tubuh pada lansia akibat dari berkurangnya jumlah dan kemampuan sel tubuh, sehingga kemampuan jaringan tubuh

untuk mempertahankan fungsi secara normal menghilang, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang diderita (Fatmah, 2010).

Populasi lansia berusia ≥ 60 tahun sebanyak 10% dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2050 di dunia. sedangkan

lansia berusia ≥ 85 tahun meningkat 0,25 % (Holdsworth, 2014).

Lansia adalah sekelompok orang yang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu.

Jumlah lansia di dunia, termasuk negara Indonesia bertambah tiap tahunnya. Pada tahun 2012persentase penduduk usia 60 tahun

keatas adalah 7,58%, sedangkan pada tahun 2013 meningkat menjadi 8 %, pada tahun 2014 meningkat menjadi 8,2% dan tahun

2015 meningkat menjadi 8,5% ( BPS 2015).


Peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH)/Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan rata-rata tahun hidup

yang dijalani seseorang yang telah mencapai usia tertentu dan pada tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di

lingkungan masyarakat. Peningkatan UHH mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang kesehatan yang

merupakan akibat dari peningkatan jumlah angka kesakitan penyakit degeneratif (Kemenkes RI, 2013).

Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyebab utama kematian di dunia, yang bertanggung jawab atas 68% dari 56

juta kematian yang terjadi pada tahun 2012 (WHO, 2014). Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius

saat ini yakni hipertensi (Triyanto, 2014).Menurut WHO (2013) hipertensi bertanggung jawab setidaknya 45% dari kematian

akibat penyakit jantung (total mortalitas penyakit jantung iskemik dan 51% kematian akibat stroke).

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular, penyakit degeneratif ini banyak terjadi dan mempunyai tingkat mortalitas

yang cukup tinggi serta mempengaruhi kualitas hidup dan produktifitas seseorang.

Berdasarkan data World Health Organisation (2013) dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang

mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik. Tiap tahunnya, 7 juta orang di seluruh dunia meninggal

akibat hipertensi.Masalah kesehatan global terkait hipertensi menyebabkan biaya kesehatan yang tinggi.Dua pertiga hipertensi

hidup di negara miskin dan berkembang.


Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi nasional hipertensi pada penduduk umur 18 tahun

ke atas di Indonesia yakni sebesar 25,8% (Kemenkes, 2014). Prevalensi kasus hipertensi esensial di Jawa Tengah tahun 2012

sebesar 554.771 kasus (67,57%) lebih rendah dibanding tahun 2011 sebesar 72,13% (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2012).

Pada tahun 2014, yang termasuk dalam 3 besar Penyakit Tidak Menular (PTM) di Kabupaten Semarang adalah Hipertensi

Esensial (25.541 kasus), Hipertensi Lain (9.330 kasus) dan Diabetes Mellitus Non-Insulin (8.843 kasus). Dalam 2 tahun terakhir,

penyakit Hipertensi menjadi urutan pertama kasus PTM terbesar di Kabupaten Semarang

Berdasarkan pengukuran tekanan darah penduduk ≥ 18 tahun menurut jenis kelamin, kecamatan dan puskesmas Kabupaten

Semarang khususnya Ungaran Barat menempati urutan pertama dengan jumlah penderita 220 orang (28,45%).

Banyak faktor yang berperan untuk terjadinya hipertensi meliputi faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan dan faktor

risiko yang dapat dikendalikan. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan seperti keturunan, jenis kelamin, ras dan usia.

Sedangkan faktor risiko yang dapat dikendalikan yaitu obesitas, kurang olahraga atau aktivitas fisik, merokok, minum kopi,

sensitivitas natrium, kadar kalium rendah, alkohol, stres, pekerjaan, pendidikan dan pola makan (Kurniadi dan Nurrahmani,

2014).

Salah satu penyebab hipertensi yakni kebiasaan merokok.Zat nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan

epinefrin yang dapat menyebabkan terjadinya penyempitan dinding arteri. Zat lain dalam rokok diantaranya yakni karbon
monoksida (CO) yang mengakibatkan jantung akan bekerja lebih berat untuk memberi cukup oksigen sel-sel tubuh. Rokok

menyebabkan kenaikan tekanan darah yang berperan membentuk arterosklerosis dengan meningkatkan penggumpalan sel-sel

darah (Wijaya dan Putri, 2013).

Aktivitas fisik atau olahraga secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan serta menguatkan sistem jantung dan

pembuluh darah.Dalam Riskesdas tahun 2012, kriteria aktivitas fisik aktif yakni individu yang melakukan aktivitas fisik berat,

sedang atau keduanya.Sedangkan kriteria kurang aktif yakni individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang ataupun berat.

Proporsi aktivitas fisik penduduk di Indonesia tergolong kurang aktif, secara umum yang melakukan aktivitas fisik aktif sebesar

26,1% saja. Pada kelompok umur ≥10 tahun, penduduk yang melakukan aktivitas fisik 3-6 jam sebanyak 42%, sedangkan yang

melakukan aktivitas fisik ≥ 6 jam per hari sebanyak 24,1%. Berdasarkan kelompok umur terdapat kecenderungan semakin

bertambah umur semakin menurun proporsi perilaku aktivitas fisik (Kemenkes RI, 2013).

Faktor risiko dari penyakit hipertensi lainnya yakni konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol di dunia menyebabkan kematian

lebih dari 3,3 juta orang setiap tahunnya atau 5,9% dari semua kematian (WHO, 2014). Menurut Hasil Riskesdas tahun 2007, di

Indonesia prevalensi konsumsi alkohol nasional sebesar 4,6%, pada laki-laki 8,8% dan perempuan 0,5%.

Pengkajian yang lakukan oleh Pelaksana praktik komunitas di Desa Langensari Kecamatan Ungaran di RT. 03 dan 04 RW.

03 didapatkan hasil bahwa terdapat 11 lansia yang menderita Hipertensi, rematik terdapat 10 lansia dan DM terdapat 2 lansia.
Oleh karena itu pelaksana praktik komunitas ingin membantu masyarakat untuk mengenali lebih dini tentang Hipertensi di

Kelurahan Langensari Ungaran Barat Wilayah Kerja Puskesmas Ungaran Kabupaten Semarang.

B. Rumusan Masalah

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hipertensi pada lansia di Kelurahan Langensari Ungaran Barat Kabupaten

Semarang?

C. Tujuan

1. Melakukan pengakajian hipertensi pada lansia di Kelurahan Langensari Ungaran Barat Kabupaten Semarang

2. Melakukan penyuluhan tentang hipertensi di Kelurahan Langensari Ungaran Barat Kabupaten Semarang

3. Memberikan alternative penyelesaian hipertensi di Kelurahan Langensari Ungaran Barat Kabupaten Semarang

D. Manfaat

1. Bagi Puskesmas Ungaran


Hasil implementasi ini dapat digunakan sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan di bidang

kesehatan khususnya pencegahan hipertensi.

2. Bagi Lansia

Hasil implementasi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan lansia maupun keluarga sehingga dapat melakukan

pencegahan khususnya penyakit hipertensi.

3. Bagi Universitas

Hasil implementasi ini dapat digunakan sebagai bahan kepustakaan untuk pembaca khususnya bagi mahasiswa program

studi keperawatan maupun kesehatan masyarakat.

4. Bagi Pelaksana Praktik

Hasil implementasi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa untuk memberikan informasi tentang

hipertensi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Lansia

1. Definisi

Lansia menurut WHO (World Health Organisation) adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun

keatas.Lanjut usiaadalah proses menua merupakan suatu yang fisiologis, yang akan dialami oleh setiap orang. Batasan orang

dikatakan lanjut usia berdasarkan UU No 13 tahun 1998 adalah 60 tahun.

Gerontik merupakan cabang ilmu kedokteran yang membahas fisiologi proses menua dan diagnosa serta pengobatan

penyakit yang dipengaruhi oleh usia, terfokus pada kondisi abnormal dan penatalaksanaan medik terhadap kondisi itu.

Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari semua aspek proses menua, termasuk psikologis, klinis, ekonomi, dan

sosiologis pada lansia dan konsekuensi masalah-masalah itu pada lansia dan masyarakat.
Gerontik atau keperawatan gerontik dinyatakan oleh Gunter dan Ester tahun 2009 untuk mendefinisikan asuhan

keperawatan dan pemberian pelayanan pada lansia.Tujuan keperawatan gerontik adalah menjaga dan meningkatkan kesehatan

sampai batas yang memungkinkan dan memberi kenyamanan dan asuhan sampai batas yang dibutuhkan (Wold, 2011).

2. Klasifikasi Lansia

Menurut WHO lansia meliputi:

a. Usia Pertengahan (Middle Age) adalah kelompok usia dari 45-59 tahun.

b. Lansia (Elderly) adalah kelompok usia dari 60-70 tahun.

c. Lansia tua (Old) adalah kelompok usia dari 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (Very Old) di atas 90 tahun.

3. Perubahan yang Terjadi Pada Lansia

a. Perubahan Fisik

1) Sel

a) Jumlah sel lebih sedikit dan berukuran besar.

b) Cairan tubuh berkurang.

2) Sistem Persyarafan
a) Cepat menurun hubungan persyarafan.

b) Lambat dalam berespon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dalam stress.

c) Mengecilnya syaraf panca indera, berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, mengecilnya syaraf

penciuman, dan perasa, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap cuaca yang

dingin.

3) Sistem Gastro Intestinal

a) Kehilangan gigi

b) Penurunan indera pengecap

c) Rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan lambung menurun.

d) Peristaltic lemah, biasanya konstipasi

e) Fungsi absorbsi melemah

4) Sistem Genitourinaria

a) Otot-otot kandung kemih menurun

b) Pembesaran prostat

5) Sistem Endokrin
Produksi dari hampir seluruh hormon menurun

6) Sistem Integumen

a) Kulit mengkerut atau keriput

b) Kulit kepala dan rambut menipis, warna kelabu

c) Berkurangnya elastisitas karena menurunnya cairan dan vaskularisasi

d) Kuku jari keras dan kaku

e) Kelenjar keringat berkurang

7) Sistem Muskuloskeletal

a) Tulang kelihatan densiti dan makin rapuh

b) Kiposis

c) Persendian besar dan kaku

b. Perubahan Mental

1) Perubahan kepribadian yang drastis.

2) Kenangan lama tidak berubah, kenangan jangka panjang di ingat sedangkan kenangan jangka pendek tidak dapat

diingat.
3) IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. Berkurangnya penampilan, persepsi dan

keterampilan psikomotor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:

a) Perubahan fisik

b) Kesehatan umum

c) Tingkat pendidikan

d) Keturunan

e) Lingkungan

c. Perubahan Psikosis

1) Merasakan atau sadar akan kematian

2) Perubahan dalam cara hidup

3) Penyakit kronis dan ketikakmampuan

4) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial

5) Gangguan saraf indera, timbul kebutaan dan ketulian

6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan


7) Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri.

B. Konsep Dasar Medik

1. Hipertensi

a. Pengertian

Hipertensi secara umum adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140

mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg terjadi pada seseorang paling sedikit 3 waktu yang berbeda.

(Brunner and Suddarth’s.Medical Surgical Nursing, 2010).

Hipertensi menurut WHO adalah peningkatan tekanan darah lebih dari atau sama dengan 160/90 mmHg.

(Soeparman, Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2009).

b. Klasifikasi hipertensi

Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC = Joint


National Comitte
Kategori Systole Diastolit
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
High Normal 130-139 85-89
Hipertension
(Hipertension > tinggi dari
normal) 140-159 90-99
Stage 1 160-179 100-109
Stage 2 > 180 > 110
Stage 3

c. Anatomi dan Fisiologi

Sistem kardiovaskuler terdiri dari jantung, arteri, kapiler, vena dan limfatik.

1) Fungsi dari jantung adalah:

a) Memompa oksigen dan makanan dalam darah di dalam sistem arteri yang kemudian dibawa ke sel.

b) Membawa sisa-sisa karbon dioksida (CO2) melalui vena ke paru-paru.

2) Jantung terdiri dari dua atrium dan 2 ventrikel:

a) Atrium kanan menerima CO2 dalam darah dari seluruh tubuh melalui vena cava superior dan inferior.

b) Ventrikel kanan, memompakan darah ke paru-paru melalui arteri pulmonal.


c) Atrium kiri, menerima darah yang dapat mengandung banyak CO2 dari paru-paru melalui 4 venal pulmonal, darah

kemudian dipompa ke ventrikel kiri.

d) Ventrikel kiri merupakan darah ke seluruh tubuh melalui aorta.

3) Jantung mempunyai 2 jenis katup:

a) Katup dari Arteri Ventricular

Yang memisahkan antara atrium dan ventrikel.Katup Trikuspidalis di bagian kanan dan Bicuspid (mitral) di kiri.

b) Katup Semilunar

Yang mencegah darah kembali ke ventrikel selama fase ke relaksasi (diastol).Tidak seperti katup arteri

ventricular.Katup semiluar terbuka selama kontraksi ventrikel.Katup semilunar pulmonal membatasi antara

ventrikel kanan dan katup pulmonal, katup semilunar aorta membatasi antara ventrikel kiri dan aorta.

Cardiac output adalah volume darah yang dikeluarkan oleh setiap ventrikel ke dalam sirkulasi pulmonal

atau sistemik cardiac output (curah jantung) ditentukan oleh isi sekuncup (stroke volume) dan banyaknya

denyutan jantung (heart rate). Heart rate normalnya adalah 60-90 kali permenit. Variasi dalam frekuensi hearth

rate ditentukan atau disebabkan oleh: latihan, ukuran tubuh, umur, jenis kelamin, hormon Tiroksin, temperatur dan
tekanan darah. Tekanan darah dihasilkan dari curah jantung dan tahanan perifer, sehingga semua faktor yang

mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer mempengaruhi tekanan darah.Tekanan darah mencerminkan

hubungan dari berbagai faktor hemodinamik yaitu cardiac output, tahanan pembuluh darah perifer, volume darah,

kekentalan darah, elastisitas pembuluh darah, hormon adrenalin dan enzim serta kemoreseptor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah umur, stimulasi saraf simpatik, jenis kelamin dan

obat-obatan anti defrensent. Ada empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah:

1) Barareseptor arteri terutama terdapat pada sinus karotis, arkus aorta dan dinding ventrikel kiri.

2) Perubahan volume cairan mempengaruhi tekanan arteri sistemik.

3) Sistem Renin dan angiotensin, sama-sama berperan dalam pengaturan tekanan darah.

4) Sistem Autoregulasi vaskuler adalah mekanisme lain yang mungkin pada hipertensi. Terjadi proses yang

memelihara perfusi jaringan tubuh relatif konstan. Autoregulasi merupakan mekanisme penting yang

menyebabkan hipertensi akibat kelebihan air dan garam.

Jantung juga memompakan darah ke otak melalui arteri karotis kanan dan kiri yang bercabang menjadi arteri

karotis internal dan eksternal.Dalam tengkorak arteri karotis bercabang-cabang.Arteri-arteri tersebut mensuplai darah
ke hemisfer adalah belahan otak kiri dan kanan.Setiap hemisfer otak berkaitan dengan sisi tubuh kolateral.Hal tersebut

adalah salah satu ciri khas sehubungan dengan pengaturan sensasi dan motoris.

4) Hemisfer kiri mempunyai spesialisasi untuk:

a) Bahasa

b) Kalkulasi matematik

5) Hemisfer kanan mempunyai spesialisasi untuk:

a) Proses pemahaman sesuatu secara keseluruhan.

b) Menerima gambaran penglihatan abstrak, musik, ke semua ruang, dan

c) Emosional.

d. Etiologi Hipertensi

1) Hipertensi esensial (primer/idiopatik) tidak diketahui penyebabnya secara pasti.

2) Hipertensi sekunder

a) Gangguan kontrasepsi oral

b) Penyakit parenkim dan vaskular renal

c) Gangguan endokrin
d) Neurologik

e) Gangguan psikiatri

f) Peningkatan volume intra vaskuler

g) Luka bakar

3) Faktor lain

a) Kegemukan

b) Pemasukan lemak yang tinggi

c) Pemasukan garam

d) Merokok

e) Stress

f) Riwayat penyakit pada keluarga : DM dan jantung.

e. Patofisiologi

Dari sudut pandang patofisiologi dan penyebabnya ada dua golongan hipertensi adalah suatu gangguan/penyakit

dimana arteriola memberi perlawanan abnormal terhadap aliran darah.


Pada awalnya timbulnya hipertensi esensial, tidak ditemukan secara nyata pada pembuluh darah dan organ.Juga

individu tersebut tidak mengalami tanda dan gejala atau sedikit dengan kenaikan tekanan darah yang labil.Secara

perlahan dengan kenaikan keadaan yang patologik pada pembuluh darah yang besar maupun pembuluh darah kecil dalam

jantung, ginjal dan otak.

Akan terjadi adanya penyempitan pembuluh darah besar dan kecil, di otak, jantung, ginjal dan perifer sehingga

menyebabkan terus menerus berlanjut sehingga pembuluh darah mengalami kemacetan dan perdarahan.

Kerusakan pada pembuluh darah kecil juga berbahaya karena dapat merusak jantung, ginjal dan otak.Bila arteriola

menyempit maka jantung harus lebih kuat berkontraksi untuk mempertahankan cardiac output yang normal, hal ini terus

berlanjut maka jantung mengalami kerja keras sehingga bisa muncul adanya hipertensi jantung khususnya ventrikel

sebelah kiri. Bila tidak bisa mempertahankannya maka akan terjadi gagal jantung.

Mekanisme utama terjadinya hipertensi sekunder adalah :

a. Bertambahnya sekresi catecholamines

b. Bertambahnya renin

c. Peningkatan kadar sodium dan volume darah.


Kelenjar adrenal mengeluarkan aldosteron, kortisol dan catecholamin yang dapat menyebabkan hipertensi

sekunder.Kelebihan aldosteron menyebabkan retensi garam dan air, dapat meningkatkan volume darah dan menaikkan

tekanan darah.

f. Tanda dan Gejala

1. Tekanan darah sistolik > 160 mmHg

2. Tekanan darah diastolik > 90 mmHg

3. Tachycardi

4. Heart rate meningkat

5. Sakit kepala

6. Pusing

7. Wajah tampak tegang dan merah

8. Mata berkunang-kunang

9. Epistaksis

10. Banyak keringat

11. Mual dan muntah


12. Kesemutan

13. Gelisah

14. Tremor

15. Kelemahan

16. Pandangan mata kabur

17. Wajah terasa panas

g. Test Diagnostik

1. ECG

2. Thorax foto dapat ditemukan adanya pembesaran ventrikel kiri

3. IVP (Intra Venus Pyelografi) ditemukan kelainan pada hipertensi venovaskuler

4. Cek HB

5. CT Scan Kepala

6. Serum colesterol dan triglicerida

Menjadi modifikasi predisposisi adanya artheromatous palguring

1. BUN/Creatinin memberi informasi tentang fungsi ginjal


2. Urinalysis: darah, protein, glukosa menjadi petunjuk adanya disfungsi venal dan adanya diabetes

3. Ureum dan creatinin darah meningkat

h. Therapi

1. Tirah baring

2. Diet: rendah kalori, rendah lemak dan rendah garam

3. Program latihan

a) Latihan isotonik secara teratur seperti berjalan, berenang dapat membantu, mengontrol.

b) Latihan isometrik seperti mendorong dapat merangsang pengeluaran kate kolamin

4. Mengurangi stress

5. Hindari merokok dan minuman beralkohol

6. Menurunkan berat badan apabila berat badan lebih dari berat badan normal

7. Therapi obat
Tujuan dari pemberian obat adalah:

1. Mengurangi/mempertahankan tekanan darah diastolik < 90 mmHg

2. Mengurangi gejala seminimal mungkin

3. Mengurangi tahanan perifer

4. Mengurangi volume dan sirkulasi darah

Obat-obatan anti hipertensi adalah:

1. Angiotensin Converting Enzim (ACE) Inhibitor seperti: Captopril

2. Beta adrenegic Bloker antara lain: Acebutolol, Propranolol

3. Calcium Channel Blocker antara lain: Nifedipine, Nicardipine

4. Alfa adrenegic yang bekerja pada sentral seperti: Catapres

5. Diuretik antara lain Furosemida, hydrochlorothiazed

6. Anti Adveenergic yang bekerja pada perifer seperti: Reserpie

i. Komplikasi

1. CAD (Coronary Artery Disease)

2. Angina Pectoris dan Myocardiac Infarction


3. Arithmia dan kematian

4. Stroke/CVD

5. Hipertensi maligna

6. Hipertensi enchephalopaty

7. Gagal ginjal

8. Pembuluh darah perifer dan hemiplegia

j. SOP Senam Hipertensi

1) Pengertian senam hipertensi adalah bagian dari usahan untuk mengurang berat bdan dan mengelola stress (faktor yang

mempertinggi hipertensi)

2) Tujuan

a) Mengurangi berat badan dan mengelola stes

b) Menurunkan tekanan darah

3) Metode

a) Presentasi
b) Demonstrasi senam hipertensi

4) Strategi pelaksanaan

a) Persiapan

1. Persiapan klien

Klien diberi tahu tindakan yang akan dilakukan

Klien dalam posisi berdiri

2. Persiapan lingkungan

Ruangan yang lengkap dan kondusif

Ruanagn yang cukup luas

b) Pelaksanaan , stimulasi senam hipertensi dengan tahapan:

i. Gerakan pemanasan

1. Tekuk kepala ke samping, lalu tahan dengan tangan pada sisi yang sama dengan arah kepala. Tahan

dengan hitungan 8-10, lalu bergantian sisi lainnya.

2. Tautkan jari-jari kedua tangan dan angkat lurus keatas kepala dengan posisi kedua kaki dibuka selebar

bahu. Tahan dengan hitungan 8-1 hitungan. Rasakan tarikan bahu dan punggung.
ii. Gerakan inti

1. Lakukan gerakan seperti jalan ditempat dengan lambaian kedua tangan searah sisi kaki yang diangkat.

Lakukan perlahan dan hindari hentakan

2. Buka kedua tangan dengan jemari mengepal dan kaki dibuka selebar bahu. Kedua kepalan tangan

bertemu dan ulangi gerakan semampunya sambil mengatur nafas.

3. Kedua kaki dibua agak lebar lalu angkat tangan menyerong. Sisi kaki yang searah dengan tangan

sedikit ditekuk. Tangan diletakkan dipinggang dan kepaa searah dengan gerakan tangan. Tahan 8-10

hitungan lalu ganti sisi lainnya.

4. Gerakan hamper sama dengan sebelumnya, tapi jari mengepal dan kedua tangan diangkat keatas.

Lakukan bergantian secara perlahan dan semampunya.

5. Hamper sama dengan gerakan inti 1, tapi kaki dibuang ke samping. Kedua tangan dengan jemari

mengepal kea rah yang berlawana. Ulangi dengan sisi bergantian.

6. Kedua kaki dibuka lebar dari bahu, satu lutut agak ditekuk dan tanganyang searah lutu dipinggang.

Tangan sisi yang lain lurus kearah lutu yang ditekuk. Ulangi gerakan kearah sebaliknya da lakukan

semampunya.
iii. Gerakan pendinginan

1. Kedua kaki dibuka selebar bahu, lingkarka satu tangan ke leher dan tahan dengan tangan lainnya.

Hitungan 8-10 kali dan lakukan pada sisi lainnya.

2. Posisi tetap, tautkan kedua tangan lalu gerakkan kesamping dengan gerakan setengah putaran. Tahan

8-10 hitungan laluarahkan tangan kesisi lainnya dan tahan dengan hitungan yang sama.

c) Terminasi

Evaluasi : menanyakan perasaan klien setelah mengikuti senam hipertensi, member pujian atas keberhasilan

Rencana Tindak Lanjut: menganjurkanklien melaksanakan senam hipertensi minimal seminggu dua kali.

2. Artritis Rematoid

a. Pengertian

Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) secara simetris

mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian

dalam sendi.
Artritis rematoid juga bisa menyebabkan sejumlah gejala di seluruh tubuh.Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari

jumlah penduduk, dan wanita 2-3 kali lebih sering dibandingkan pria. Biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50

tahun, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun. RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum

diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan

peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA

ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih

dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).

b. Etiologi Artitis Reumatoid

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks

antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009).

1) Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi

penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

2) Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang

mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan

stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular
(TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang

berlawanan terhadap perkembanganpenyakit ini (Suarjana, 2009).

3) Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas

atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).

4) Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein ini

mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana

antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan

terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

5) Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

c. Faktor Resiko Artritis Reumatoid

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga

yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi

lebih dari tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas juga merupakan faktor resiko

(Symmons, 2006).
d. Patofisiologi Artritis Reumatoid

RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi.Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial.

Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah

perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi.Pembuluh darah pada sendi yang

terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan

yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan

sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan.

Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).

e. Patofisiologi artritis rheumatoid

Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari sistem immunologi

spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi

spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012). Peran sel T pada RA diawali oleh

interaksi antara reseptor sel T dengan share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan

peptida pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis

RA belum diketahi secara pasti (Suarjana, 2009).


f. Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat

menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat

radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

1) Destruksi sendi akibat pannus

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011):

a) Stadium sinovitis.

Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada membran sinovial yang

membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris.

Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi

(Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal

dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).

b) Stadium destruksi

Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution, 2011).

c) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi yang

terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan manifestasi ekstraartikular

(Suarjana, 2009). Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo

yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda

kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau

selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana,

2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini

mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).

g. Diagnosa Artritis Reumatoid

Untuk menegakkan diagnosa RA ada beberapa kriteria yang digunakan, yaitu kriteria diagnosis RA menurut

American College of Rheumatology (ACR) tahun 1987 dan kriteria American College of

Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) tahun 2010 (Pradana, 2012).

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain, pemeriksaan serum untuk IgA, IgM,

IgG , antibodi anti-CCP dan RF, analisis cairan sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound (Longo, 2012).
h. Terapi Artritis Reumatoid

RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat

disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan

penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi

DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (surjana, 2009). Terapi RA bertujuan untuk :

1) Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien

2) Mempertahakan status fungsionalnya

3) Mengurangi inflamasi

4) Mengendalikan keterlibatan sistemik

5) Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular

6) Mengendalikan progresivitas penyakit

7) Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid

Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer.


1) Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas

dan dingin serta massase untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan penyinaran

menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi

progressive (Afriyanti, 2009).

2) Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan kerusakan sendi yang ekstensif,

keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa

sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti.

3) Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010).

Anda mungkin juga menyukai