Anda di halaman 1dari 7

Gambaran EKG di IGD didapatkan irama sinus, QRS rate 88x/menit, axis

normal, P wave Normal, PR interval 0,12 detik, QRS durasi 0,08 detik, Q
patologis di V1-V4 , ST elevasi di V1-V5, LVH (-), RVH (-).Gambaran EKG
menunjukkan irama jantung sinus, konduksi masih diawali dengan impuls dari
nodus sinoatrial, dengan frekuensi denyut jantung normal serta tidak terdapat
tanda-tanda pembesaran ventrikel.
Hasil EKG menunjukkan adanya elevasi segmen ST di sadapan V1-V5 dan
Q patologis di V1-V4. Lokasi ini menunjukkan adanya tanda-tanda infark di
bagian anterior.

Tabel 3.1 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG2


Berdasarkan hasil EKG, pasien ini dapat digolongkan ke dalam kelompok
ST elevasi myocardial infarction (STEMI).
Pada pasien STEMI terdapat proses evolusi EKG yang terdiri dari beberapa
fase berikut:

Gambar 3.1 Evolusi ST selama STEMI11


Evolusi EKG pada pasien ini berada pada tahap hitungan jam dengan
ditemukannya ST elevasi, dan gelombang Q.
Gambaran rontgen toraks di IGD didapatkan CTR 52%, segmen aorta
normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung normal, dan apeks tertanam.
Tidak terdapat infiltrat dan kranialisasi dengan kesan kardiomegali.
Hasil pemeriksaan laboratorium saat di IGD didapatkan kadar hemoglobin
15,1 gr/dL, leukosit 15.040/mm3, hematokrit 45%, trombosit 225.000, GDS 139,
Ur/Cr: 21/0,9, Ca/Na/K/Cl: 8,8/133/3,4/103, troponin I 2670, HbSAg non reaktif,
pH 7,45, PCO2 33, PO2 90, HCO3 22,9, sat O2 97%.

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium: leukositosis, hiponattremia,


hipokalemia, troponin I meningkat. Troponin merupakan pilihan biomarker karena
sensitive dan spesifik terhadap kerusakan otot jantung. Kadar troponin meningkat
setelah 3-4 jam terjadinya serangan.

TIMI Score dari pasien ini adalah 4/14:

1. Hipertensi: 1

2. BB kurang dari 67 kg : 1

3. Anterior segmen ST elevasi : 1

4. Time to treat >4 jam : 1

TIMI Score didapatkan 4/14 yaitu hipertensi (1), BB 60 kg (1), anterior


STE (1) dan time to treat >4 jam (1). TIMI score adalah sistem prognostik yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada
pasien STEMI. Pada pasien ini didapatkan skor TIMI pasien sebesar 4/14. Hal ini
menandakan risiko mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 7,3.

Faktor Risiko (Bobot) Skor


Usia 65-74 tahun 2

Usia >75 tahun (3 poin) 3

Diabetes mellitus/hipertensi atau angina 1


Tekanan darah sistolik <100mmHg 3

Frekuensi jantung >100 2

Klasifikasi Killip II-IV 2

Berat < 67 kg 1

Elevasi ST anterior atau LBBB 1

Waktu ke reperfusi >4 jam 1

Skor risiko = total poin 14

Tabel 3.2 TIMI Risk Score untuk STEMI

Prediksi kematian dalam 30 hari berdasar TIMIscore:


0 poin : 0,8%
1 poin : 1,6%
2 poin : 2,2%
3 poin : 4,4%
4 poin : 7,3%
5 poin : 12%
6 poin : 16%
7 poin : 23%
8 poin : 27%
9-14 poin : 36%
Kriteria Killip juga digunakan untuk menentukan besar risiko mortalitas pada pasien setelah 30 hari. Angka mortalitas pasien ini

berdasarkan kriteria Killip adalah sebesar 6% karena tidak ditemukan tanda gagal jantung.

Kelas Killip Temuan Klinis Mortalitas

I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapatronkhi 6%


maupun S3)

II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan 17%

ronkhi basah pada setengah lapangan paru

III Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah 38%


di seluruh lapangan paru

IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan 81%

darah sistolik <90 mmHg dan tanda hipoperfusi

jaringan

Tabel 3.3 Mortalitas 30 hari berdasarkan Kelas Killip

Berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,


pemeriksaan EKG, pemeriksaan rontgen thorax, pasien ini didiagnosis dengan
STEMI anterior KILLIP 1 TIMI 4/14.

Untuk tatalaksana pasien, digunakan algoritma tatalaksana SKA oleh


PERKI 2018:

Gambar 3.2 Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA


Sesuai algoritma,pasien ini definitif SKA dengan elevasie segmen ST dan
diberikan terapi reperfusi. Tindakan pengobatan yang dilakukan pada pasien ini di
IGD adalah aspilet 1 x 80 mg, clopidogrel 1 x 75 mg, simvastatin 1 x 40 mg, drip
NTG start 10 mg/ menit,drip lasix 3 mg/jam, alprazolam 1 x 0,5 mg, ranitidin 2 x
50 g, morphin 2,5 mg iv, terapi O2 2L/menit.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama. Selain itu, pasien dengan nyeri iskemik di dada harus
diberikan nitrogliserin sublingual 0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3
dosis. Setelah melakukan penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan
nitrogliserin intravena. Intravena nitrogliserin diindikasikan untuk bila nyeri
iskemik masih berlangsung, untuk mengontrol hipertensi, dan edema paru.
Nitrogliserin tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90
mmHg, bradikardi, (kurang dari 50 kali per menit), takikardi (lebih dari 100 kali
per menit, atau dicurigai adannya RV infark.. nitrogliserin juga harus dihindari
pada pasien yang mendapat inhibitor fosfodiesterase dalam 24 jam terakhir.
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2
– 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama
untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi
tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark
posterior. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5
mg.
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah
mendapatkan aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg
sampai 325 mg. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Pemberian clopidogrel 600 mg juga dianjurkan sedini mungkin. Kemudian
dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 75 mg per hari.
Penatalaksanaan utama bagi pasien STEMI adalah dengan melakukan PPCI.
Semakin cepat waktu kedatangan pasien ke pelayanan kesehatan dan sedikitnya
delay hingga pasien ditindak merupakan tujuan yang harus dicapai pada
penatalaksanaan pasien. Jika tidak memungkinkan untuk dilakukan PPCI pada
pasien, maka pasien harus dipertimbangkan untuk dirujuk ke fasilitas yang dapat
melakukan PPCI. Algoritma penatalaksanaan pasien dijelaskan dalam Gambar
3.47
Tabel 3.5 Rekomendasi terapi reperfusi7

Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal


yang sangat menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12
jam setelah awitan simptom, maka reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi
bila STEMI sudah melampaui 12 jam dari awitan symptom, tidak ada lagi
jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard telah komplit dan keluhan pasien
hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia
berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru.
Ada dua jenis strategi reperfusi, pertama dengan intervensi koroner perkutan
primer (primary PCI) dan kedua secara medikamentosa dengan obat fibrinolitik.7

Anda mungkin juga menyukai