Anda di halaman 1dari 7

Upaya-upaya yang dilakukan agar lahan kering dapat berpotensi sebagai

lahan pertanian yang produktif


Penurunan produksi bahan pangan nasional yang dirasa saat ini lebih
disebabkan oleh menurunnya lahan pertanian yang produktif akibat terjadinya alih
fungsi lahan seperti konversi lahan sawah, banyaknya degradasi lahan. Untuk
meningkatkan potensi produksi pangan yang semakin lama semakin meningkat
kebutuhan di masyarakat dengan memanfaatkan lahan kering secara optimal
sehingga memungkinkan terdapat peluang untuk meningkatkan produksi pangan.
Potensi lahan kering dan peluang pengembangnya untuk pertanian tanaman
pangan berdasarkan sifat dari lahan kering dengan peluang pengembangan untuk
pertanian dapat dilakukan mengingat Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148
juta ha (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%), mengingat luasnya yang sangat
besar di bandingkan lahan sawah, meskipun tidak semua lahan kering dapat
digunakan untuk lahan pertanian. Dari luasan lahan kering yang ada beberapa
bagian ada yang sesuai untuk budidaya pertanian yang menghasilkan bahan pangan
seperti padi gogo, jagung, kedelai dan kacang tanah serta tanaman tahunan dan
peternakan.
Didalam pemanfaatan lahan kering untuk tanaman pangan terdapat
permasalahan-permasalahan yang bervariasi pada setiap wilayahnya, baik dari
aspel teknis maupun sosial-ekonomi. Permasalahan tersebut dapat teratasi dengan
strategi dan teknologi yang tepat, berikut berbagai masalah tersebut dapat diatasi.
A. Kesuburan tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan rendah, terutama
pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan
kadar bahan organik rendah. Kondisi diperburuk dengan terbatasnya
penggunaan bahan organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Bahan
Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik,
dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah
relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan
organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo,
Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang
dicirikan Oleh pH rendah < 5,50, kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan
basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan
mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik
(Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering
Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah
masam (Mulyani et al. 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols,
Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan,
dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup
luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia.
Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman
pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum
dangkal.
B. Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (>
30%) dan berbukit (15-30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan
36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam
sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan
semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk
tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman
pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-
bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan
untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005),
terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.
C. Ketersediaan air
Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50.
Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik
secara spasial maupun temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan
dengan wilayah timur, dan secara temporal terdapat perbedaan distribusi
hujan pada musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga
IP dapat ditingkatkan menjadi 2-2,50 (Las et al. 2000; Amien et al.2001).
D. Keterbatasan biofisik lahan, penguasaan lahan petani, dan infrastruktur
ekonomi menyebabkan teknologi usaha tani relatif mahal bagi petani lahan
kering.
E. Kualitas lahan dan penerapan teknologi yang terbatas menyebabkan
variabilitas produksi pertanian lahan kering relatif tinggi.
Dari berbagai permasalahan tentu saja terdapat upaya untuk mengelola lahan
kering, dilihat dari permasalahannya lahan kering di Indonesia tergolong tinggi,
yang harus diatasi untuk meningkatkan produktivitas secara berkelanjutan.
Beberapa upaya tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan
meliputi pengelolaan kesuburan tanah, konservasi dan rehabilitasi tanah.
A. Pengelolaan kesuburan tanah (pemupukan, pengapuran, dan penambahan
bahan organik)
Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan
kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini
berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya
dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan
pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung
berbagai proses penting di dalam tanah. Salah satu teknologi pengelolaan
kesuburan tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu
memantapkan produktivitas tanah. Penerapan teknologi pemupukan organik
juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik
dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber
bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam
pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting
untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu
menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya
baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. Jenis pupuk
lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer)
seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan
pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna. Pupuk hayati selain
mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1)
melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) menstimulasi sistem
perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3)
memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup
bunga, dan stolon, 4) penawar racun beberapa logam berat, 5) metabolit
pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik. Di samping
pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas
tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al).
Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan
menentukan sensitivitas tanaman dan kemudianmengukur kejenuhan Al
dalam tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan
2005).
B. Konservasi tanah dan air.
Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti
teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik
konservasi vegetatif seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah,
teknik konservasi vegetatif memiliki keunggulan lain, yaitu dapat berfungsi
sebagai sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada
jenis tanaman yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik
konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena
efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004)
dan lebih cepat diadopsi petani. Pengaturan pola tanam dengan
mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-
sisa tanaman atau serasah, juga berperan penting dalam konservasi tanah.
Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga
penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi tanaman
tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur
juga berkontribusi dalam mencegah erosi. Pengolahan tanah secara intensif
merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat
merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et al. 1989)
dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al. 2004).
Olah tanah konservasi (OTK) merupakan alternatif penyiapan lahan yang
dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991;
Wagger dan Denton 1991).
OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan
tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya
sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai
penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman
pengganggu lainnya. Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat
mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan menanam legum
penutup tanah atau tanaman penghasil bahan organik lainnya, khususnya
yang bersifat in situ seperti alley cropping dan strip cropping. Penggunaan
bahan pembenah tanah baik organik maupun mineral juga dapat
merehabilitasi lahan terdegradasi.
Pengelolaan air pertanian dapat dilakukan dengan cara menampung
air hujan atau aliran permukaan pada tempat penampungan sementara atau
permanen untuk digunakan mengaliri tanaman (Subagyono et al. 2004). Hal
ini berfungsi menyediakan air irigasi pada musim kemarau, juga dapat
mengurangi resiko banjur pada musim hujan. Teknologi ini bermanfaat
untuk lahan yang tidak memiliki jaringan irigasi atau sumber air bawah
permukaan. Irigasi suplemen merupakan istilah yang digunakan dalam
pemberian dan pendistribusian air pada lahan kering, yang mencakup dua
aspek penting, yaitu besarnya air yang diberikan dan interval pemberiannya
(Agus et al. 2005). Jumlah air yang diberikan ditetapkan berdasarkan
kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi
yang tersedia. Berdasarkan sarana irigasi yang digunakan, sistem irigasi
suplemen terdiri atas: 1) irigasi permukaan, 2) irigasi bawah permukaan, 3)
irigasi sprinkle, 4) irigasitetes, dan 5) kombinasi dari dua atau lebih sistem
(irigasi hybrid). Tersedianya sarana irigasi memungkinkan pemberian air
dapat dilakukan lebih teliti. Untuk irigasi tetes atau sprinkle, pemberian air
dapat dikombinasikan dengan pemupukan.
C. Pemanfaatan teknologi.
Penggunaan teknologi tepat guna pada pengelolaan lahan kering
untuk pertanian tanaman pangan telah tersedia, baik teknologi konservasi
tanah, peningkatan kesuburan tanah, pengelolaan bahan organik tanah dan
pengelolaan air. Teknologi ini digunakan sesuai dengan kondisi lahan dan
petani, karena perlu diketahui terlebih dahulu karakteristik lahan dan
kondisi petani agar teknlogi yang terpilih betul-betul efektif dan dapat
diadopsi oleh petani serta penggunaan bibit unggul yang dapat tumbuh pada
lahan kering dan sesuai dengan kondisi yang terdapat disana. Sehingga
dibutuhkan suatu varietas unggul untuk dapat tumbuh pada lahan kering
dan menghasilkan produktivitas tinggi.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia tahun 2005. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Las, I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani 2000. Proyeksi kebutuhan dan
pasokan pangan tahun 2000-2020. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi mekanik.
hlm.109-132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Santoso, D. dan A. Sofyan. 2005. Pengelolaan hara tanaman pada lahan kering.
hlm. 73100. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian
produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004. Olah tanah konservasi. hlm. 189-
210. Dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan kering Berlereng. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982. Tillage accomplishments and potential. In
Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties and Processes. ASA
Special Publ. No. 44.
Brown, R.E., J.L. Havlin, D.J. Lyons, C.R. Fenster, and G.A. Peterson. 1991.
Long-term tillage and nitrogen effects on wheat production in
a wheat fallow rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA,
and SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991. 326 pp.
Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talao'ohu. 2004. Teknologi konservasi air
pada pertanian lahan kering. hlm. 151-188. Dalam Konservasi Tanah pada
Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi hemat air dan irigasi
suplemen. hlm. 223-245. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering:
Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai