2.1. Telinga
Telinga dibagi menjadi telinga bagian luar, tengah dan dalam. Telinga luar
terdiri dari daun telinga (aurikula) dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga dibentuk dengan
rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar dan tulang pada dua pertiga bagian
dalam. Panjangnya kira-kira 2 ½ - 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga
banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut, sedangkan kelenjar keringat terdapat
pada seluruh kulit liang telinga (Soetirto et al., 2001). Aurikula dipersyarafi oleh
cabang aurikulotemporalis dari saraf mandibularis serta saraf aurikularis mayor dan
oksipitalis minor yang merupakan cabang dari pleksus servikalis (Liston et al., 1997).
1
Gambar 1. Telinga Luar (Aurikula) (Bergman R, 1995)
Telinga tengah terdiri dari membran timpani dibentuk dari dinding lateral
kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini
memiliki panjang vertical rata-rata 9-10 mm dan diameter anteroposterior kira-kira 8-
9 mm dengan ketebalan rata-rata 1 mm. Secara anatomis membran timpani dibagi
dalam 2 bagian, yaitu: pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani
dan pars flaksida, yang terletak di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa
(Dhingra, 2007).
2
Gambar 3. Membran Timpani (Drake et al., 2010)
3
Gambar 4. Osikulus Auditori (Drake et al., 2010)
Bagian telinga dalam terdapat organ pendengaran yang terdiri atas koklea dan
organ keseimbangan (vestibuler) yang terdiri atas kanalis semi sirkularis. Koklea
adalah bagian dari telinga dalam yang berada di depan vestibulum dan terdapat dalam
bagian tulang temporal. Koklea berbentuk seperti rumah siput dan memiliki ukuran
dengan panjang 3,5 cm kurang lebih sebesar kacang polong. Koklea dibagi menjadi
tiga ruangan (skala) yaitu skala vestibular, skala media dan skala timpani yang
terbentuk karena dibatasi oleh membran basilaris (terletak antara skala media dan
skala timpani) dan membran reissner (terletak antara skala vestibule dan skala media).
Skala vestibular dan skala timpani didalamnya terdapat cairan yang bernama
perilimfe yang akan berhubungan pada puncak koklea yang disebut helikotrema
melalui sebuah lubang yang terbuka, sedangkan skala media berisi cairan yang
bernama endollimfe. Pada dasar koklea, skala vestibule berakhir pada jendela oval
yang ditutupi oleh osikulus auditori, yaitu stapes dan skala timpani berakhir pada
jendala bulat (Barret et al., 2010).
4
Gambar 5. Telinga Dalam (Drake et al., 2010)
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-
kira 2,5 – 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Pada dua pertiga bagian dalam sedikit
dijumpai kelenjar serumen. Membran timpani memiliki 2 bagian yaitu bagian atas
disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa (Bashiruddin Jenny
& Soepardi Efiaty et al. 2014)
Pada bagian apeks ke dasar skala media, terdapat organ korti yang berbentuk
spiral dan terletak di atas membran basilaris. Organ korti mengandung sel rambut
yang merupakan reseptor auditori utama. Pada setiap koklea terdapat 16.000 sel
rambut yang tersusun menjadi satu baris sel rambut dan 3 baris sel rambut terluar
merupakan modulator penerimaan akustik, sedangkan sel rambut dalam adalah sel
5
yang merubah gaya mekanis suara (getaran cairan koklea) menjadi impuls listrik
pendengaran (potensial aksi yang mengantarkan sampai ke korteks serebri). Sel
rambut dalam berhubungan melalui suatu sinapsis kimiawi dengan ujung saraf eferen
yang membentuk nervus auditoris (koklearis) (Barret, et al., 2010).
Pada permukaan sel rambut terdapat mikrovilus kaku yang disebut stereosilia.
Selain sel rambut sebagai reseptor suara, organ korti memiliki sel-sel penunjang atau
rods of corti (Deiters, Hansen, caludies) yang berfungsi sebagai pembentuk struktur
organ korti dan penunjang metabolisme organ korti dan pada permukaan organ korti
terdapat membran tektorial (Sherwood L, 2009).
6
Gambar 7. Perdarahan Telinga Dalam (Soo Kim, 2009)
7
bergerak dan akan sampai ke membran reissner yang akan mendorong endolimfe, hal
ini akan menyebabkan pergesekan antara membran basilaris dengan membran
tektoria. Proses ini menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel
dan akan menimbulkan proses depolarisasi sel rambut. Proses ini akan melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius dan dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
broadman 39-40) di lobus temporalis (Soetirto et al., 2001; Sherwood, 2011).
2.3. Tinnitus
2.3.1. Definisi
Tinnitus berasal dari bahasa latin tinnire yang berarti dering atau
membunyikan. Tinnitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa
sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakustik
maupun listrik. Keluhan ini dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, atau
berbagai macam bunyi lainnya. Bunyi yang terdengar begitu nyata dan berasal dari
dalam telinga atau kepala. Tinitus sendiri dapat dirasakan terus menerus ataupun
hilang timbul (Soepardi, et al., 2012).
8
Tinnitus adalah persepsi suara tidak adanya pendengaran rangsangan.
Serangan tinitus dapat bersifat periodik ataupun menetap. Disebut periodik jika
serangan yang datang hilang timbul. Episode periodik lebih berbahaya dan
mengganggu dibandingkan dengan yang berifat menetap. Hal ini disebabkan karena
otak tidak terbiasa atau tidak dapat mensupresi bising ini. Tinitus pada beberapa orang
dapat sangat mengganggu kegiatan sehari-harinya. Terkadang dapat menyebabkan
timbulnya keinginan untuk bunuh diri (Soepardi, et al., 2012).
2.3.2. Klasifikasi
Tinitus terjadi akibat adanya kerusakan ataupun perubahan pada telinga luar,
tengah, telinga dalam ataupun dari luar telinga. Berdasarkan letak dari sumber
masalah, tinitus dapat dibagi menjadi tinitus otik dan tinitus somatik. Jika kelainan
terjadi pada telinga atau saraf auditoris, kita sebut tinitus otik, sedangkan kita sebut
tinitus somatik jika kelainan terjadi di luar telinga dan saraf tetapi masih di dalam
area kepala atau leher (Snow JB, 2004).
a. Tinitus Objektif
Tinitus objektif adalah tinitus yang suaranya juga dapat di dengar oleh
pemeriksa dengan auskultasi di sekitar telinga. Tinitus objektif biasanya
bersifat vibratorik, berasal dari transmisi vibrasi sistem muskuler atau
kardiovaskuler di sekitar telinga.
9
Umumnya tinitus objektif disebabkan karena kelainan vaskular,
sehingga tinitusnya berdenyut mengikuti denyut jantung. Tinitus berdenyut ini
dapat dijumpai pada pasien dengan malformasi arteriovena, tumor glomus
jugular dan aneurisma. Tinitus objektif juga dapat dijumpai sebagai suara klik
yang berhubungan dengan penyakit sendi temporomandibular dan karena
kontraksi spontan dari otot telinga tengah atau mioklonus palatal. Tuba
Eustachius paten juga dapat menyebabkan timbulnya tinitus akibat hantaran
suara dari nasofaring ke rongga tengah (Soepardi, et al., 2012).
b. Tinitus Subjektif
a. Tinitus Pulsatil
10
ini dapat kita ketahui dengan mendengarkannya menggunakan stetoskop
(Pray J, 2005).
b. Tinitus Nonpulsatil
Tinitus jenis ini bersifat menetap dan tidak terputuskan. Suara yang
dapat didengar oleh pasien bervariasi, mulai dari suara yang berdering,
berdenging, berdengung, berdesis, suara jangkrik, dan terkadang pasien
mendengarkan bising bergemuruh di dalam telinganya.
Biasanya tinitus ini lebih didengar pada ruangan yang sunyi dan
biasanya paling menganggu di malam hari sewaktu pasien tidur, selama
siang hari efek penutup kebisingan lingkungan dan aktivitas sehari-hari
dapat menyebabkan pasien tidak menyadari suara tersebut (Pray J, 2005).
Tinitus paling banyak disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga dalam.
Terutama kerusakan dari koklea. Secara garis besar, penyebab tinitus dapat berupa
kelainan yang bersifat somatik, kerusakan N. Vestibulokoklearis, kelainan vascular,
tinitus karena obat-obatan, dan tinitus yang disebabkan oleh hal lainnya (Moller AR,
et al., 2007).
11
pasien artritis TMJ mengakui bunyi yang di dengar adalah bunyi
menciut. Tidak diketahui secara pasti hubungan antara artritis TMJ
dengan terjadinya tinnitus (Levine RA, 2001).
Tinitus juga dapat muncul dari kerusakan yang terjadi di saraf yang
menghubungkan antara telinga dalam dan kortex serebri bagian pusat
pendengaran. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
kerusakan dari n. Vestibulokoklearis, diantaranya infeksi virus pada n.VIII,
tumor yang mengenai n.VIII, dan Microvascular Compression Syndrome
(MCV). MCV dikenal juga dengan vestibular paroxysmal. MCV
menyebabkan kerusakan n.VIII karena adanya kompresi dari pembuluh
darah. Tapi hal ini sangat jarang terjadi (Moller AR, et al., 2007).
a) Atherosklerosis
b) Hipertensi
c) Malformasi kapiler
12
Sebuah kondisi yang disebut AV malformation yang terjadi antara
koneksi arteri dan vena dapat menimbulkan tinitus.
Tumor pembuluh darah yang berada di daerah leher dan kepala juga
dapat menyebabkan tinitus. Misalnya adalah tumor karotis dan tumor
glomus jugulare dengan ciri khasnya yaitu tinitus dengan nada rendah yang
berpulsasi tanpa adanya gangguan pendengaran. Ini merupakan gejala yang
penting pada tumor glomus jugulare (Moller AR, et al., 2007).
13
Keadaan gangguan psikogenik dapat menimbulkan tinitus yang
bersifat sementara. Tinitus akan hilang bila kelainan psikogeniknya hilang.
Depresi, anxietas dan stress adalah keadaan psikogenik yang
memungkinkan tinitus untuk muncul (Richard W, et al., 2004).
14
j. Tinitus akibat sebab lainnya
Disebabkan terpajan oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka
waktu yang cukup lama. Biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan
kerja. Umumnya terjadi pada kedua telinga. Terutama bila intensitas bising
melebihi 85db, dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran
korti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat korti
untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000Hz sampai dengan 6000Hz.
Yang terberat kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi
4000Hz (Sindhusake, et al., 2003).
b. Presbikusis
c. Sindrom Meniere
2.3.4 Patofisiologi
15
kemampuan pengetahuan di bidang THT terutama bidang audiologi, karena
patofisiologinya yang beragam sehingga penanganannya cukup rumit (Soepardi, et
al., 2012).
Gelombang suara yang berasal dari liang telinga diteruskan ke telinga tengah
dan telinga dalam, sel rambut yang merupakan bagian dari koklea akan membantu
mentransfomasikan gelombang suara menjadi signal listrik ke korteks auditori melalui
nervus auditoris. Tetapi apabila sel rambut rusak akibat suara keras, obat ototoksik,
maka sirkuit dari otak tidak menerima signal yang diharapkan sehingga menstimulasi
aktivitas normal dari neuron yang menghasilkan ilusi dari suara atau tinnitus
(Soepardi, et al., 2012).
Pada tinnitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditoris yang menimbulkan
perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal
yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam
tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan
telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah
seperti gemuruh atau nada tinggi seperti berdenging. Tinitus dapat terus menerus atau
hilang timbul (Soepardi, et al., 2012).
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi
karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi,
biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi
dengung ini terasa berdenyut (tinnitus pulsati). Tinnitus dengan nada rendah dan
terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga karena
serumen, tuba kotor, otitis media, tumor, otosklerosis dan lain-lainnya. Tinitus dengan
nada rendah yang berpulsasi tanpa gangguan pendengaran merupakan gejala dini
yang penting pada tumor glomus jugulare. Tinitus objektif sering ditimbulkan oleh
gangguan vaskuler. Bunyinya seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma
dan aterosklerosis (Soepardi, et al., 2012).
Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius, serta otot-
otot palatum dapat menimbulkan tinitus objektif. Bila ada gangguan vaskuler di
telinga tengah, seperti tumor karotis (carotid body tumor), maka suara aliran darah
akan mengakibatkan tinitus juga. Pada intoksikasi obat seperti salisilat, kina,
16
streptomisin, dehidro-streptomisin, garamisin, digitalis, kanamisin, dapat terjadi
tinitus nada tinggi, terus menerus ataupun hilang timbul. Pada hipertensi endolimfatik,
seperti penyakit meniere dapat terjadi tinitus pada nada rendah atau tinggi, sehingga
terdengar bergemuruh atau berdengung. Gangguan ini disertai dengan vertigo dan tuli
sensorineural (Soepardi, et al., 2012).
Gangguan vaskuler koklea terminal yang terjadi pada pasien yang stres akibat
gangguan keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme
atau saat hamil dapat juga timbul tinitus dan gangguan tersebut akan hilang bila
keadaannya sudah normal kembali (Soepardi, et al., 2012).
Tinnitus sering merupakan indikator awal disfungsi atau kerusakan sel rambut
dalam koklea, seperti dalam kasus paparan bising yang berlebihan. Patofisiologi
tinnitus juga diasumsikan terdiri dari trauma mikromekanik dan kerusakan biokimia-
metabolisme pada sel-sel rambut luar (outer hair cell). Studi menunjukkan bagaimana
sel-sel rambut dari telinga bagian dalam bereaksi terhadap kerusakan yang disebabkan
oleh paparan bising. Pada trauma akustik, yang didefinisikan sebagai gangguan akut
pendengaran yang disebabkan oleh suara tajam, seperti suara pistol, tekanan parsial
oksigen berkurang secara signifikan dalam ruang cairan pada telinga bagian dalam.
Hasil morfologi setelah terjadinya trauma memperlihatkan ketidakseimbangan ion
intra dan ekstraseluler dan kerusakan fungsi pendengaran. Pada temuan histologis
didapatkan pembengkakan dan kerusakan struktural dendrit, perubahan mitokondria
dan sel struktur, pemisahan hair cell dari membran tectorial, edema dari endotelium,
dan edema yang menutup end arteries fungsional dan memblokir mikrosirkulasi. Jika
pembengkakan berlanjut untuk waktu yang lama, hair cell akan berdegenerasi dan
akan digantikan oleh sel endotel yang tidak berfungsi. Hasil PET scanning dan MRI
fungsional menunjukkan hilangnya masukan koklea ke neuron di jalur pendengaran
sentral (seperti yang terjadi akibat kerusakan sel rambut koklea akibat trauma bising)
dapat mengakibatkan aktivitas saraf abnormal dalam korteks pendengaran. Hal ini
dikaitkan dengan terjadinya tinnitus (Baldwin TM, 2009).
2.3.5 Diagnosis
17
biasanya sulit diketahui, oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan secara komprehensif
dalam melakukan pemeriksaan terkait tinnitus (Bashiruddin Jenny & Soepardi Efiaty
et al. 2014).
Anamnesis merupakan hal yang utama dan sangat penting dalam penegakkan
diagnosis tinnitus. Perlu ditanyakan kualitas dan kuantitas tinnitus, lokasinya, sifatnya
apakah berdenging, mendesis, menderu, berdetak, gemuruh, atau seperti riak air dan
juga ditanyakan lamanya serangan tinnitus. Ditanyakan apakah tinitusnya
mengganggu atau bertambah berat pada waktu siang atau malam hari, gejala-gejala
lain yang menyertai, misalnya vertigo atau gangguan pendengaran serta gejala
neurologik lain. Riwayat terjadinya tinnitus unilateral atau bilateral, apakah sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari (Soepardi, et al., 2012).
A) Anamnesis
Anamnesis adalah hal yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis
tinnitus. Dalam anamnesis banyak sekali hal yang perlu ditanyakan,
diantaranya:
1. Kualitas dan kuantitas tinnitus
2. Lokasi, apakah terjadi di satu telinga ataupun dikedua telinga
3. Sifat bunyi yang didengar, apakah mendenging, mendengung, menderu,
ataupun mendesis bunyi lainnya.
4. Apakah bunyi yang didengar semakin menggangu disiang ataupun malam
hari
5. Gejala-gejala lain yang menyertai seperti vertigo dan gangguan
pendengaran serta gangguan neurologik lainnya.
6. Lama serangan tinnitus berlangsung.
7. Riwayat medikasi sebelumnnya yang berhubungan dengan obat-obatan
dengan sifat ototoksik
8. Riwayat cidera kepala, pajanan bising, trauma akustik.
9. Riwayat infeksi telinga dan operasi telinga (Bashiruddin Jenny & Soepardi
Efiaty et al. 2014)
18
klik, meletup-letup (popping), suara angina (blowing), berpulsasi (pulsing), intensitas
suara secara subjektif (keras atau lembut), bunyi tinnitus menetap, berkurang atau
bahkan bertambah berat berdasarkan siklus harian atau dihubungkan dengan gejala di
penyakit pada telinga dan sistemik (Soepardi, et al., 2012).
19
Riwayat penyakit dan pemerikasaan fisik merupakan langkah diagnostic
utama dalam mendiagnosis tinnitus. Pada pemeriksaan fisik, factor utama yang harus
diperiksa adalah kepala, leher, telinga, tenggorokan, mata, dan system saraf. Hasil
dari pemeriksaan fisik yang seperti yang ada pada tabel.
Pada tinitus subjektif, yang mana suara tinitus tidak dapat didengar oleh
pemeriksa saat auskultasi, maka pemeriksa harus melakukan pemeriksaan audiometri.
Hasilnya dapat beragam, di antaranya normal jika tinitus bersifat idiopatik atau tidak
diketahui penyebabnya, tuli konduktif jika tinitus disebabkan karena serumen impak,
otosklerosis ataupun otitis kronik dan tuli sensorineural yang harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometri). Hasil tes
BERA, bisa normal ataupun abnormal. Jika normal, maka tinitus mungkin disebabkan
karena terpajan bising, intoksikasi obat ototoksik, labirinitis, meniere, fistula perilimfe
atau presbikusis. Jika hasil tes BERA abnormal, maka tinitus disebabkan karena
neuroma akustik, tumor atau kompresi vaskular (Soepardi, et al., 2012).
Jika tidak ada kesimpulan dari rentetan pemeriksaan fisik dan penunjang di
atas, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa CT scan ataupun MRI.
Dengan pemeriksaan tersebut, pemeriksa dapat menilai ada tidaknya kelainan pada
20
saraf pusat. Kelainannya dapat berupa multipel sklerosis, infark dan tumor (Soepardi,
et al., 2012).
2.3.6. Penatalaksanaan
Pada tinitus yang jelas diketahui penyebabnya baik lokal maupun sistemik,
biasanya tinitus dapat dihilangkan bila penyebabnya dapat diobati. Pasien tinitus
sering sekali tidak diketahui penyebabnya, jika tidak tahu penyebabnya, pemberian
antidepresan dan antiansietas sangat membantu mengurangi tinitus (Dobie RA, 1999).
Obat-obatan yang biasa dipakai diantaranya Lorazepam atau klonazepam yang
dipakai dalam dosis rendah, obat ini merupakan obat golongan benzodiazepine yang
21
biasanya digunakan sebagai pengobatan gangguan kecemasan. Obat lainnya adalah
amitriptyline atau nortriptyline yang digunakan dalam dosis rendah juga, obat ini
adalah golongan antidepresan trisiklik (Levine RA, 2001).
Pasien yang menderita gangguan ini perlu diberikan penjelasan yang baik,
sehingga rasa takut tidak memperberat keluhan tersebut. Obat penenang atau obat
tidur dapat diberikan saat menjelang tidur pada pasien yang tidurnya sangat terganggu
oleh tinitus itu. Kepada pasien harus dijelaskan bahwa gangguan itu sukar diobati dan
dianjurkan agar beradaptasi dengan gangguan tersebut (Soepardi, et al., 2012).
22
mengidentifikasi pikiran otomatis negatif dan kemudian mengevaluasi keabsahannya
dengan pasien. Hal ini juga bertujuan untuk mengubah pemikiran otomatis negatif ke
pikiran yang lebih positif dan realistis. (Jun,et al.2013).
23
Terapi pelatihan ulang tinnitus adalah teknik pembiasaan untuk mengurangi
dampak dari tinnitus pada kehidupan individu. Ini melibatkan memanipulasi sistem
limbik, otonom dan pendengaran sehingga dapat mengurangi respon terhadap
stimulus yang abnormal. Tujuannya adalah untuk mengurangi sations sen- (melalui
sistem pendengaran pusat), emosi (melalui sistem limbik) dan perilaku (melalui
sistem otonom) terkait dengan tinnitus. (Sem JONES et al. 2014).
24
Komponen konseling terapi tinnitus pelatihan ulang sangat direktif dan
terstruktur, dan disertai dengan protokol seperti spesifik menindaklanjuti dan review.6
awal. Hal ini biasanya diberikan 4-6 kali dalam periode 18 bulan. Ini berbeda dari
konseling pendekatan lain. Misalnya, terapi perilaku kognitif (CBT) menggunakan
jangka pendek (8-10 sesi mingguan) pendekatan kolaboratif di mana pasien dan
dokter mengidentifikasi. (Sem JONES et al. 2014)
Model kognitif
25
Kognisi mengacu pada pikiran dan keyakinan seseorang. model kognitif
memberitahu kami bahwa kognisi terdiri pikiran otomatis, pikiran menengah, dan
keyakinan inti. keyakinan inti biasanya berkembang di masa kecil dan lebih
mendasar, mendefinisikan cara orang menafsirkan dunia luar. pikiran menengah mirip
dengan aturan atau asumsi. pikiran-pikiran otomatis muncul secara spontan dalam
menanggapi situasi tertentu. Karena keyakinan inti yang mendasar, mereka juga
mempengaruhi pikiran-pikiran otomatis. (Jun,et al.2013)
Seperti pasien depresi, beberapa pasien tinnitus memiliki pikiran realistis dan
negatif tentang tinnitus. CBT bertujuan untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran
otomatis yang negatif, mengevaluasi validitas mereka, dan menggantinya dengan
pikiran yang lebih realistis dan positif. Prosedur ini disebut restrukturisasi kognitif.
(Jun,et al.2013)
Pikiran otomatis
26
Pasien memiliki kecenderungan untuk melihat pikiran-pikiran otomatis mereka
sebagai kebenaran. Karena pikiran-pikiran otomatis yang, secara harfiah, otomatis,
mereka dianggap "pop up" dalam pikiran seseorang. Dalam CBT, dokter dan pasien
bekerja sama untuk membingkai pikiran negatif otomatis sebagai hipotesis yang
mungkin atau mungkin tidak benar. Dalam proses yang disebut kolaborasi empiris,
dokter dan pasien mengevaluasi pikiran negatif pasien bersama-sama. Mengumpulkan
bukti untuk mendukung serta bukti terhadap pikiran-pikiran otomatis memberikan
kesempatan untuk mengevaluasi validitas mereka. Setelah mengevaluasi pikiran-
pikiran otomatis yang negatif, dokter menawarkan pengalaman yang lebih positif dan
realistis untuk menggantikan mereka. Prosedur ini (mengidentifikasi pikiran-pikiran
otomatis dan mengevaluasi validitas mereka) harus dilakukan tidak hanya selama sesi
konseling, tetapi juga antara sesi. (Jun,et al.2013)
pengobatan rasional
27
dapat menyembuhkan atau menghilangkan tinnitus. Namun, ini adalah salah satu
metode terapi yang paling banyak digunakan untuk tinnitus. (Hallam, et al.13-15)
Aspek kognitif dari tinnitus: (a) defisit kognitif (misalnya, perhatian, memori
kerja), (b) Bias kognitif (misalnya, pengolahan informasi selektif), dan (c) penilaian
sadar tinnitus (misalnya, keyakinan dan sikap mengenai tinnitus). Ketiga aspek
tersebut diasumsikan sudah langkah-langkah penting. Hal ini dapat disimpulkan dari
model menyebutkan bahwa pada pikiran negatif terkait tinnitus harus pendekatan
penting dalam pengobatan tinnitus. Pentingnya kognisi juga tercermin dalam bukti
bahwa kognitif-menjadi- havioral terapi (CBT), yang menargetkan modifikasi kognisi
disfungsional, telah terbukti efektif dalam mengurangi tekanan tinnitus. Sebuah meta-
analisis dari perawatan psikologis tinnitus dikonfirmasikan efektivitas dominan CBT,
dibandingkan dengan metode pengobatan lain seperti relaksasi, hipnosis, biofeedback,
pemecahan masalah, atau sesi pendidikan. (Conrad Isabell, et al.2015)
28
terkait dan penilaian sebagai konstruksi utama. Perubahan signifikan dalam
disfungsional kognisi terkait tinnitus setelah perlakuan dalam dua pengaturan CBT
yang berbeda: (a) dalam terapi kelompok (terapi kelompok kognitif-perilaku, GCBT)
dan (b) dalam dipandu self-help internet disampaikan pengobatan (perilaku-kognitif
terapi berbasis internet, ICBT). Studi sebelumnya telah mendukung kemanjuran
pengobatan berbasis internet untuk tinnitus kronis dan telah menunjukkan ICBT dan
tatap konvensional tatap muka GCBT untuk sama-sama efektif dalam mengurangi
tinnitus distress. Atas dasar temuan ini, diperkirakan bahwa kedua GCBT dan ICBT
secara signifikan akan mengurangi tingkat disfungsional kognisi terkait tinnitus dan
bahwa perbaikan ini akan secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok kontrol
aktif. (Conrad Isabell, et al.2015)
29
sehari-hari mereka, masalah, atau pertanyaan yang terus dibahas antara peserta dan
terapis di setiap sesi. Sebuah gambaran yang lebih rinci dari semua topik dan tujuan
dari kedua pendekatan pengobatan (ICBT dan GCBT). (Conrad Isabell, et al.2015).
Terapi perilaku kognitif merupakan salah satu daerah yang sively diteliti
sebagian exten- dari psychology. Itu original- ly digunakan untuk mengobati depresi;
Namun, sekarang digunakan untuk gangguan lainnya termasuk kecemasan, serangan
panik dan tinnitus. Konsep CBT melibatkan perubahan sikap pasien dengan penyakit
yang mempengaruhi mereka sehingga dapat mengurangi keparahan gejala. Tujuan
mendasar dari CBT adalah untuk mengurangi perilaku yang terkait dengan tinnitus ini
melibatkan terapis mempertimbangkan ketakutan pasien tinnitus sebagai hipotesis
yang perlu diuji. Hal ini dilakukan dengan pemahaman pertama bagaimana
pengalaman terkait dengan tinnitus terkait, dan kemudian memodifikasi pikiran-
pikiran dan behaviours.Teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan ini mencakup
bukti dan menentang keyakinan pasien, manipulasi yang disengaja untuk mengubah
pasien pikiran, dan menyediakan teknik relaksasi untuk digunakan saat tinnitus adalah
yang paling buruk. Dalam konseling sesi, teknik ini digunakan oleh terapis psiko
terlatih atau ilmuwan audiologi klinis. (Sem JONES et al. 2014)
1. Pendidikan Kesehatan: Dalam pencarian Anda untuk memahami kondisi Anda, ada
kemungkinan bahwa Anda telah jatuh korban beberapa dari banyak kesalahpahaman
umum tentang tinnitus. Sayangnya, ini semua terlalu sering disampaikan sensitif,
profesional medis kurang informasi dan pemasar tidak bermoral. Dalam rangka untuk
memperbaiki kesalahpahaman ini dan untuk memberdayakan Anda untuk mengambil
peran aktif dalam perawatan Anda, Cognitive Behavior Therapy dimulai dengan
mendidik Anda tentang tinnitus. Model ilmiah yang berlaku tinnitus dan dampaknya
30
pada kesejahteraan emosional, bersama dengan berbagai pilihan untuk pengelolaan
yang optimal dari tinnitus dibahas.
3. Terapi Kognitif: Terapi kognitif adalah proses "memisahkan fakta dari fiksi"
tentang penyebab, ketekunan, dan konsekuensi jangka panjang dari tinnitus.
Kesalahpahaman tentang tinnitus dapat menyebabkan "catastrophizing", pola kognitif
disfungsional di mana penderitanya terobsesi tentang "skenario terburuk", hampir
seolah-olah telah terjadi. Sebagai bencana dan pola kognitif disfungsional lainnya
mengintensifkan emosi negatif yang terkait dengan tinnitus, lanjut mencegah
penerimaan, mengatasi dan pembiasaan untuk tinnitus suara. Tujuan dari terapi
kognitif adalah untuk mengadopsi sikap yang efektif realistis dalam menghadapi
tinnitus.
31