Anda di halaman 1dari 7

Puspawati, 2016

STUDI KUALITATIF WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA


TERTENTU UNTUK MELAKUKAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN (PPh)
(Studi Kasus Pada Pelaku Social Commerce)

Dewita Puspawati
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta
dp123@ums.ac.id

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the condition of knowledge of the perpetrators of social
commerce as taxpayers specific employers to pay income tax on their business. The determination of the behavior of
agents of social commerce when faced with the challenges to pay income tax, and how the constraints faced by the
tax officer over tax collection social commerce transactions. This study is a qualitative study conducted by
interviewing the perpetrators of social commerc. Interviews showed that the main factor of social commerce
offender does not pay income tax is the lack of information if they are taxpayers and are required to pay taxes on the
received income. They need have a clear criteria of social commerce taxation, payment term, and the certainty that
they are not harmed. Various constraints faced by the tax office for tax purposes social commerce transactions also
occur, such as the difficulty to track who transactors social commerce, difficulty to determine the tax object (to the
digital format), transactions not only in the customs territory of Indonesia.

Keywords: Social Commerce, PPh, Wajib Pajak, WPOP Pengusaha Tertentu

Pendahuluan Korea Selatan dan Jepang pemanfaatan media


Perkembangan Web 2.0 telah mengubah cara sosialnya rendah, yaitu sebesar 30% - 45%
pengguna dan organisasi saling berinteraksi dan (merdeka.com, 2014).
berkolaborasi. Meningkatnya penggunaan internet dan Menurut Surat Peraturan Direktur Jenderal
media sosial di Indonesia memberikan dampak yang Pajak Nomor Per – 32/ PJ/ 2010, pelaku social
besar bagi dunia bisnis. Meningkatnya popularitas commerce dikenakan pajak penghasilan pasal 25. Oleh
situs jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan karena kebanyakan pelaku social commerce adalah
Instagram telah membuka kesempatan untuk membuka individu, maka dikategorikan sebagai Wajib Pajak
model bisnis baru dalam perdagangan elektronik, yang Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Belum ada
biasa disebut dengan social commerce (Liang dan sosialisasi untuk pelaku social commerce mengenai
Turban, 2011; Hajli, 2013; Jiang, et., al., 2014). pengenaan pajak penghasilan. Berbeda dengan
Adanya social commerce dapat dijadikan transaksi electronic commerce telah diberikan Surat
sasaran untuk mendapatkan wajib pajak potensial demi Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/ PJ/
meningkatkan penerimaan pajak nasional. Tetapi, 2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas
jumlah pelaku social commerce belum dapat Transaksi E-Commerce.
dipastikan. Transaksi social commerce tidak jauh Sejak tahun 1983, perpajakan di Indonesia
berbeda dengan transaksi konvensional, hanya saja menganut Self Assesment System. Penerapan sistem
platform yang digunakan adalah media sosial dengan ini akan efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela
fasilitas internet. Persentase aktivitas jejaring sosial (voluntary complience) pada masyarakat telah
Indonesia mencapai 79,72 persen yang merupakan terbentuk (Mustikasari, 2007). Perubahan sistem
tertinggi di Asia, mengalahkan Filipina (78 persen), pemungutan pajak menjadi Self Assesment System
Malaysia (72 persen), China (67 persen). Bahkan mengakibatkan wajib pajak diberikan kepercayaan
negara Asia dengan teknologi Internet maju, seperti sepenuhnya untuk menghitung, membayar, dan

119
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016
Puspawati, 2016

melaporkan sendiri pajak yang terutang berdasarkan Ajzen, 1975). TRA dijelaskan dengan adanya sikap
ketentuan perundangan perpajakan, sedangkan fiskus dan norma subyektif yang dapat membentuk niat
berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan seseorang. Niat adalah kecenderungan seseorang untuk
pelayanan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. menggunakan sikap secara spesifik. Semakin kuat niat
Kelemahan self assessment system yang memberikan tersebut, maka semakin tinggi kemungkinan untuk
kepercayaan pada wajib pajak untuk menghitung, melakukan suatu perilaku. Niat diyakini sebagai
menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutang, indikator yang baik untuk bertindak, tetapi tidak
dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang langsung mengarahkan pada tindakan nyata (Du,
diharapkan atau bahkan disalahgunakan (Tarjo dan 2011).
Kusumawati, 2006). Hal ini dapat didasari karena Niat untuk berperilaku merupakan dipengaruhi
wajib pajak sengaja tidak patuh, rendahnya kesadaran oleh dua hal, yaitu sikap dan norma subjektif. Menurut
untuk membayar pajak, atau kombinasi dari keduanya. Peslak, et.al. (2010), norma subjektif didefinisikan
Belum diketahui apakah pelaku social sebagai bagaimana sebuah perilaku dilihat dari
commerce telah melakukan pembayaran pajak atas lingkungan sosial seseorang, sehingga dapat
penghasilan yang diterima. mempengaruhi keputusannya. Sedangkan, sikap
Direktorat Jenderal Pajak pun juga belum dapat didefinisikan sebagai bagaimana perasaan seseorang
mengawasi pelaksanaan pembayaran pajak pelaku mengenai perilakunya dan biasanya diukur
social commerce, karena jumlah pelaku yang belum berdasarkan mindset menyenangkan atau tidak
dapat dipastikan. Untuk pelaku social commerce menyenangkan (Peslak, et.al., 2010). Sehingga, niat
kategori remaja, biasanya pengetahuan pajaknya lebih dan norma subjektif akan mempengaruhi niat penjual
rendah, sehingga mereka kurang memperhatikan aspek melalui s-commerce untuk membayar pajak
perpajakan dari transaksi online. Bagi mereka, menjual penghasilan, kemudian ia akan menentukan perilaku
barang melalui social commerce hanya pekerjaan untuk membayar atau tidak membayar pajak
sampingan yang tidak perlu dikenakan pajak. Untuk penghasilan.
pelaku social commerce kategori dewasa seharusnya
memiliki pengetahuan pajak yang lebih memadai,
sehingga diharapakn kesadaran untuk membayar pajak
lebih tinggi.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, maka penelitian ini akan mengangkat
beberapa masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana kondisi pengetahuan pelaku social
commerce (WP OP Pengusaha Tertentu) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
melakukan pembayaran pajak penghasilan atas (WP OP Pengusaha Tertentu)
usahanya? Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Direktur
2) Bagaimana pelaku social commerce (WP OP Jenderal Pajak Nomor Per – 32/ PJ/ 2010 tentang
Pengusaha Tertentu) akan menentukan Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25
perilakunya jika dihadapkan pada kondisi ia harus Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
membayar pajak penghasilan? menjelaskan bahwa:
3) Bagaimana kendala yang dihadapi kantor pajak “Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
atas pemungutan pajak transaksi social Tertentu adalah wajib Pajak orang pribadi
commerce? yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Pedagang Pengecer yang mempunyai 1
(satu) atau lebih tempat usaha.”
Kajian Pustaka
Pedagang pengecer yang dimaksud dijelaskan
Theory of Reasoned Action (TRA)
pada Pasal 2, yaitu orang yang melakukan penjualan
Theory of Reasoned Action (TRA)
barang baik secara grosir/ maupun eceran dan/ atau
menawarkan penjelasan mengenai suatu perilaku atau
penyerahan jasa melalui suatu tempat usaha. Beberapa
tindakan (Ajzen and Fishbein, 1980; Fishbein and
contoh yang termasuk wajib pajak orang pribadi
120
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016
Puspawati, 2016

pengusaha tertentu adalah pemilik salon, warnet, sewa Metode Penelitian


kendaraan, kantor akuntan, praktik dokter, notaris, dan Paper ini menggunakan dua metode
pengusaha online. pengumpulan data, yaitu:
Pajak Penghasilan (PPh 25) Atas WP OP 1) Wawancara
Pengusaha Tertentu Wawancara digunakan sebagai teknik
Pasal 2 ayat 1 Surat Peraturan Direktur pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan
Jenderal Pajak Nomor Per – 32/ PJ/ 2010 tentang studi pendahuluan untuk menemukan masalah yang
Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 harus diteliti dan juga apabila peneliti ingin
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu mengetahui hal-hal dari responden yang lebih
mewajibkan wajib pajak orang pribadi pengusaha mendalam dan jumlah respondennya sedikit/ kecil
tertentu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor (Sugiyono, 2013). Wawancara dilakukan pada
Pokok Wajib Pajak bagi setiap tempat usaha di Kantor beberapa pelaku social commerce untuk mengetahui
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi bagaimana kondisi pengetahuan mereka terhadap
tempat usaha tersebut dan di Kantor Pelayanan Pajak keharusan untuk membayar pajak penghasilan dan
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib pendapat mereka jika harus membayar pajak
Pajak. Sesuai dengan pasal 3 ayat 1 Surat Peraturan penghasilan. Pelaku social commerce yang dimaksud
Direktur Jenderal Pajak Nomor Per – 32/ PJ/ 2010 adalah pemilik dari @rahmihdy, @sweaterrajut_shop,
telah ditentukan besarnya angsuran pajak yang @rosmi.os, @evts_tasikmalaya, dan @tasrajutda-lova.
dikenakan pada wajib pajak orang pribadi pengusaha 2) Teknik Dokumentasi
tertentu adalah 0,75% dari peredaran bruto setiap Menurut Sugiyono (2013), dokumen
bulan dari masing-masing tempat usaha. merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang
Social Commerce berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
Perkembangan situs jejaring sosial telah monumental dari seseorang. Studi dokumen
menciptakan paradigma perdagangan elektronik yang merupakan pelengkap dari penggunaan metode
baru, yaitu social commerce (s-commerce). Marsden wawancara dalam paper ini. Dokumen yang digunakan
(2010) menjelaskan bahwa s-commerce merupakan adalah jurnal ilmiah, tulisan atau opini yang bersumber
kombinasi perdagangan elektronik dengan situs dari www.pajak.go.id, dan berita.
jejaring sosial untuk memfasilitasi pembelian dan
penjualan produk dan jasa dengan menggunakan Hasil dan Pembahasan
teknologi internet. S-commerce mengacu pada
Analisis Deskriptif
pengiriman aktivitas dan transaksi perdagangan
Sistem berbelanja online di Indonesia terbagi
elektronik melalui lingkungan media sosial, terutama
melalui tiga saluran. Pertama, lewat toko online,
dalam jejaring sosial yang menggunakan perangkat
seperti lazada.com dan zalora.co.id. Kedua, melalui
lunak Web 2.0 (Liang dan Turban, 2011). Shen dan
platform yang mempertemukan penjual dengan
Eder (2011) mendefinisikan s-commerce sebagai
pembeli, sekaligus menjadi forum bagi keduanya,
bentuk baru dari perdagangan elektronik dengan
contohnya kaskus.co.id dan tokobagus.com. Ketiga,
menggunakan media sosial, seperti media online yang
melalui jejaring sosial atau social commerce (Arianto,
mendukung interaksi dan kontribusi sosial untuk
2014). Pelaku social commerce merupakan subjek
membantu pembelian dan penjualan produk dan jasa
pajak Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang
secara online.
Pajak Penghasilan. Kewajiban untuk membayarkan
Terdapat dua bentuk utama dari s-commerce.
pajak penghasilan ini timbul sejak saat orang pribadi
Pertama, jejaring sosial dapat menambahkan fitur yang
atau badan tersebut menjalankan usaha atau
memperbolehkan adanya iklan dan transaksi (Liang
melakukan kegiatan sehingga memperoleh penghasilan
dan Turban, 2011). Kedua, perdagangan elektronik
(Gade dan Gade, 1995). Pengenaan pajak jual beli
tradisional dapat menambah kemampuan mereka
untuk toko online pada dasarnya dipersamakan dengan
untuk membuat akun dalam jejaring sosial untuk
toko konvensional sehingga ketentuan pajak yang
mendapatkan keuntungan dari kekuatan media sosial
berlaku bagi usaha online tidak berbeda dengan toko
(Liang dan Turban, 2011).
konvensional pada umumnya. Perbedaan yang

121
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016
Puspawati, 2016

mendasar hanya usaha online dilakukan dengan pengusaha tertentu, khususnya pengguna social
menggunakan fasilitas internet. commerce atau pebisnis online.
Sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Perilaku Pelaku Social Commerce Jika
Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang pelaksanaan Dihadapkan pada Kondisi Harus Membayar Pajak
pengenaan PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak orang Wawancara dilakukan untuk mengetahui
pribadi pengusaha tertentu, pengusaha social bagaimana pelaku social commerce akan menentukan
commerce dikenakan PPh sebesar 0,75% dari omzet perilakunya jika dihadapkan pada kondisi mereka telah
setiap bulannya. Dengan berlakunya PP Nomor 46 mengetahui informasi pengenaan pajak penghasilan
tahun 2013, maka perlakuan pajak pengusaha e- social commerce. Hasil wawancara dari beberapa
commerce (termasuk social commerce) dengan pelaku adalah sebagai berikut:
peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 milliar
dikenakan pajak sama dengan pajak UMKM, yaitu 1% “Lihat kondisi penjual lain dan penghasilan
dari omzet (Arianto, 2014). yang saya dapatkan. Kalo sedikit
[penghasilan] sih, saya lebih tidak peduli.”
Pembahasan Masalah (Narasumber I)
Kondisi Pengetahuan Pelaku Social Commerce “Tidak bayar.” (Narasumber II)
Untuk Membayar Pajak “Ikut aturan yang berlaku aja.” (Narasumber
Peneliti melakukan wawancara dengan 5 orang III)
responden untuk mencari tahu apakah pelaku social “Mengikuti aturan dan membayar pajak.”
commerce mengetahui kondisi bahwa penghasilan (Narasumber IV)
yang mereka dapatkan harus dikenakan pajak. “Kalo misalnya dikenakan pajak boleh-
Beberapa hasil wawancara oleh para pelaku social boleh saja, asal online shop kita diakui
commerce adalah sebagai berikut: sebagai online shop yang trusted dan bukan
“Tidak tahu, karena saya tidak tahu penipuan.” (Narasumber V)
informasi bahwa harus membayar pajak.”
(Narasumber I) Satu dari lima responden lebih memilih tidak
“Tidak, karena menurut saya bisnis bayar karena ia berpendapat bahwa bisnis online tidak
online tidak perlu dikenakan pajak.” perlu dikenakan pajak. Responden yang lain lebih
(Narasumber II) melihat tergantung pada omset yang didapat. Tiga dari
“Belum tahu, karena belum ada lima responden lebih memilih perilaku untuk
informasinya [pembayaran pajak].” membayar pajak dan mengikuti aturan yang telah
(Narasumber IV) ditetapkan, tetapi dengan syarat bahwa kredibilitas
Pelaku social commerce biasanya berumur online shop-nya terjamin. Peningkatan kredibilitas
remaja hingga dewasa. Tempat usaha social commerce online shop dapat meningkatkan penghasilan pelaku
adalah media sosial, bukan seperti toko konvensional, social commerce.
sehingga terdapat anggapan bahwa bisnis online tidak Beberapa responden juga menanggapi bahwa
perlu membayar pajak. Faktor utama pelaku social mereka perlu membayar pajak, yaitu sebagai berikut:
commerce tidak membayar pajak penghasilan adalah “Biaya pengiriman barang dan pulsa sudah
kurangnya informasi jika mereka merupakan wajib menambah beban modal [usaha], sehingga
pajak dan diharuskan membayar pajak atas saya tidak mau membayar pajak lagi.
penghasilan yang diterima. Pengetahuan Wajib Pajak Apalagi biaya pengiriman barang kan sudah
tentang pajak yang baik akan dapat memperkecil dikenakan pajak.” (Narasumber II)
adanya penghindaran pajak (Palil, 2005). Cristensen, “Boleh aja dikenakan pajak, asal pajak itu
et al. (1994) bahwa wajib pajak yang memiliki tidak disalahgunakan dan jelas
pengetahuan yang baik, akan memiliki persepsi penggunaannya.” (Narasumber III)
keadilan yang positif terhadap sistem pajak yang “Gak papa sih bisnis online dikenakan
berakibat tingkat kepatuhan pajak lebih tinggi. pajak, tapi harusnya ada feedback yang kita
Pemerintah perlu mengadakan sosialisasi terhadap dapatkan dari pemerintah atas pembayaran
pemungutan pajak atas wajib pajak orang pribadi pajak itu dan metode, serta tata cara
122
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016
Puspawati, 2016

pembayaran yang jelas, sehingga tidak Sistem reseller berarti penjual membeli barang
merugikan para pelaku social commerce.” dari penjual lain dengan harga yang lebih
(Narasumber IV) murah, kemudian ia menjual kembali barang
Pelaku social commerce perlu kejelasan tersebut baik sevara online ataupun offline.
kriteria pengenaan pajak, tata cara pembayaran, dan Sistem dropship dapat diilustrasikan, penjual I
kepastian agar mereka tidak dirugikan. Salah satu di kota Banding memiliki barang dagangan
responden menunjukkan keraguan penggunaan dana sweater, dan penjual II di kota Yogyakarta ingin
pajak oleh instansi pemerintah, sehingga menjual kembali sweater tersebut dengan
mempengaruhi pola pikir serta perilakunya. Menurut margin yang lebih tinggi, tetapi penjual II tidak
Menurut Franzoni (1999), salah satu faktor yang ingin memiliki persediaan barang sweater
mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak adalah karena jika dikirimkan ke Yogyakarta akan
kecenderungan mereka terhadap institusi publik. dikenakan biaya kirim yang berakibat akan
Pemerintah dan instansi pemungutan pajak harus menaikkan biaya modal penjual II. Penjual II
menunjukkan sikap tidak memberatkan pelaku social dapat menjual barang seolah-olah ia memiliki
commerce, sehingga terjalin kepercayaan antara persediaan barang dagangan. Jika ada pembeli
pelaku dan aparat pajak. yang membeli di penjual II, maka penjual II
akan memberitahukan penjual I, kemudian
Kendala yang Dihadapi Instansi Pajak atas penjual I akan mengirimkan langsung barang
Pemungutan Pajak Transaksi Social Commerce dagangan ke pembeli.
Menurut Arianto (2014) ada banyak kendala 3) Adanya sistem pembayaran cash on delivery
yang dihadapi untuk pengenaan pajak atas transaksi (COD) yang transaksi uangnya susah ditelusuri.
online, yaitu: Untuk pembelian yang terjadi dalam satu kota,
1) Transaksi e-commerce (termasuk social biasanya pembeli menggunakan sistem
commerce) terjadi dalam waktu yang singkat, pembayaran COD dibandingkan transfer ATM
sehingga sangat sulit untuk melacak siapa saja karena ia dapat melihat barang asli yang ia beli,
pelaku transaksinya. kemudian ia akan langsung membayarnya.
2) Jika bentuk barang atau jasa yang Salah satu langkah awal sebagai solusi yang
diperdagangkan berformat digital (nonfisik) dapat dilakukan Direktorat Jenderal Pajak adalah
seperti software, video, musik, e-magazine, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan TI dan
sehingga cukup menyulitkan dalam penentuan perbankan untuk mendeteksi transaksi online yang
obyek pajaknya. selama ini susah dilacak, dan mensosialisasikan pelaku
3) Bukti transaksinya adalah bukti elektronis social commerce bahwa terdapat kewajiban membayar
sehingga membuat transaksi e-commerce pajak. Sarana teknologi informasi seperti software
(termasuk social commerce) semakin susah maupun hardware yang kurang memadai yang dimiliki
untuk dideteksi. pemerintah, menjadi salah satu penghambat
4) Transaksi online tak hanya terjadi di dalam pemungutan pajak transaksi elektronik (Arianto,
wilayah pabean Indonesia saja, namun 2014).
terkadang menembus batas geografis negara
lain. Simpulan
Terdapat beberapa kendala lain untuk pengenaan pajak Belum diketahui apakah pelaku social
transaksi social commerce, yaitu: commerce telah melakukan pembayaran pajak atas
1) Tidak ada jumlah yang pasti pelaku social penghasilan yang diterima. Direktorat Jenderal Pajak
commerce (penjual) pada berbagai macam pun juga belum dapat mengawasi pelaksanaan
media sosial, seperti Instagram, Path, Facebook, pembayaran pajak pelaku social commerce, karena
Twitter, Blackberry Messenger, sehingga Dirjen jumlah pelaku yang belum dapat dipastikan. Hasil
Pajak belum mengetahui jumlah wajib pajak wawancara menunjukkan pengetahuan pelaku social
potensial. commerce terhadap kewajiban membayar pajak masih
2) Adanya sistem reseller dan dropship, sehingga rendah karena kurangnya informasi yang diterima.
transaksi yang terjadi lebih sulit dideteksi.
123
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016
Puspawati, 2016

Wajib Pajak harus diperlakukan sebagai sebagai Management and Compututer Security, Vol. 21,
subyek yang harus dibina agar bersedia, mampu dan No. 3, pp. 144-154.
sadar melaksanakan kewajiban perpajakan (Sofyan, [8] Jiang, G., F. Ma, J. Shang, dan P. Y. K. Chau.
2003). 2014. Evolution of Knowledge Sharing Behavior
Jika pelaku social commerce dikondisikan jika in Social Commerce: An Agent-Based
mereka sudah mengetahui kewajiban pembayaran Computational Approach. Information Science,
pajak, mereka akan mengikuti aturan yang berlaku. Vol. 278, pp. 250-266.
Tetapi, ada pelaku yang beranggapan ia tidak ingin [9] Liang, T. P. dan W. Turban. 2011. Introduction to
bayar dan melihat besarnya omset karena pembayaran the Special Issue Social Commerce: A Research
pajak menjadi hal yang memberatkan usaha mereka. Framework for Social Commerce. International
Pelaku social commerce menginginkan kejelasan Journal of Electronic Commerce, Vol. 16, No. 2,
metode dan tata cara yang jelas jika mereka diharuskan pp. 5–13.
untuk membayar pajak. [10] Marsden, P. 2010. Social Commerce: Monetizing
Berbagai kendala yang dihadapi kantor pajak Social Media. Syzygy Group.
untuk pemungutan pajak transaksi social commerce [11] Merdeka. 2013. Di 5 Media Sosial Ini, Orang
juga terjadi, diantaranya sulitnya melacak siapa saja Indonesia Pengguna Terbesar Sedunia.
pelaku transaksi social commerce, sulit menentukan http://www.merdeka.com/uang/di-5-media-sosial-
obyek pajaknya (untuk yang berformat digital), ini-orang-indonesia-pengguna-terbesar-
transaksinya tidak hanya dalam wilayah pabean dunia.html. Diakses tanggal 8 September 2015.
Indonesia saja. Dalam cakupan yang lebih sempit, [12] Mustikasari, Elia. 2007. Kajian Empiris Tentang
kendala yang dihadapi dalam proses pemungutan pajak Kepatuhan Wajib Pajak Badan Di Perusahaan
transaksi social commerce adalah tidak ada jumlah Industri Pengolahan Di Surabaya. Simposium
yang pasti pelaku social commerce, adanya sistem Nasional Akuntansi X.
reseller dan dropship, dan sistem pembayaran cash on [13] Palil, M Rizal. 2005. Does Tax Knowledge
delivery (COD). Matter in Self Assessment System? Evidence
from Malaysia Tax Administrative. The Journal of
Daftar Pustaka American Academy of Business. Cambrige. No.
[1] Ajzen, I. dan M. Fishbein. 1980. Understanding 2.
Attitudes and Predicting Social Behavior. [14] Peslak, A., W. Cecucci, dan P. Sendall. 2010. An
Englewood Cliffs. NJ: Prentice-Hall. Empirical Study of Instant Messaging (IM)
[2] Arianto, Nur. 2014. Ekstensifikasi Pajak Dari Behavior Using Theory of Reasoned Action.
Transaksi Online. Portal Kemenkeu. Diakses Institute of Behavioral and Applied Management,
tanggal 8 September 2015. pp. 263-278.
[3] Du, Y. 2011. A Measurement Model of Students' [15] Republik Indonesia. 2010. Peraturan Direktorat
Behavioral Intentions to Use Second Life Virtual Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 Tentang
Environments. Journal of Education for Library Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal
and Information Science, Vol. 52, No.1, pp. 41- 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
53. Tertentu. Jakara: Direktorat Jenderal Pajak.
[4] Franzoni, A. Luigi. 1999. Tax Evasion and Tax [16] Republik Indonesia. 2013. Peraturan Pemerintah
Compliance. Italy: University of Bologna. Republik Indonesia Nomor 46 Tentang Pajak
[5] Fishbein, M. dan I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang
Intention, and Behavior: An Introduction to Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Theory and Research. Addison-Wesley, Reading, Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Jakarta:
Mass. Direktorat Jenderal Pajak.
[6] Gade, Muhammad dan Djamaludin Gade. 1995. [17] Shen, J. dan L. Eder. 2011. An Examination of
Hukum Pajak. Jakarta: LPFE-UI. Factors Associated with User Acceptance of
[7] Hajli, M. N. 2013. A Research Framework for Social Shopping Websites. International Journal
Social Commerce Adoption. Information of Technology and Human Interaction, Vol. 7, No.
1, pp. 19–36.
124
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016
Puspawati, 2016

[18] Sofyan, S. 2003. Sistem Penetapan Pajak (Dalam


Kerangka Mencari Sistem Yang Kondusif). Jurnal
Perpajakan Indonesia. Vol 3, hal 28-34.
[19] Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D: Cetakan Ke-19. Bandung:
Alfabeta CV.
[20] Tarjo dan Indra Kusumawati. 2006. Analisis
Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap
Pelaksanaan Self Asessment System: Suatu Studi
di Bangkalan. JAAI, Vol. 10, No. 1, hal. 101-120.

125
Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 1(2), 2016

Anda mungkin juga menyukai