Cidera Kepala
Cidera Kepala
PENDAHULUAN
2.1 Defenisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang
terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi, 2001).
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh
trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth, 2002 )
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit neurologik, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu menghasilkan perubahan pada phisik,
intelektual, emosional, sosial, dan vocational (Susan Martin, 1999)
Trauma atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan
atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan –
perubahan fungsi otak (black, 2005)
Menurut konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis = head injury =
trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen
2.2 Etiologi
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran
otak atau hernia.
2.3 Klasifikasi
a. Menurut Jenis Cedera
Cedera Kepala terbuka
Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak
Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas
b. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
Cedera kepala sedang
- GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Kejang
Cedera kepala berat
- GCS 3-8 (koma)
- Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
- Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
- Tanda neurologist fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
c. Menurut morfologi
Fraktur tengkorak
- Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup
- Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII
- Fokal: epidural, subdural, intraserebral
- Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
d. Menurut patofisiologi
Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan
pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
- Gegar kepala ringan
- Memar otak
- Laserasi
Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
- Hipotensi sistemik
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Udema otak
- Komplikasi pernapasan
- Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya
bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis
kelainan yang terjadi.
a. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya
menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi
wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas
motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,
tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang
menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati,
ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping
lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat
badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari
daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan
merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan
mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian
tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
a. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak
Fraktur Basiler: Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian Frontal atau temporak
Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS dan dunia luar melalui ruang
subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah atau tengkorak, memungkinkan bakteri
masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan
drahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa
merembes ke hidung atau telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang
tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang
tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya
bergeser.
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan pada jaringan
otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak. Hal ini
menandakan terjadinya perdarahan pada otak yang dapat menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan
dari cedera otak menyebar, disfungsi neurologis bersifat sementara dapat pulih. Disorientasi dan
bingung sesaat dengan gejala sakit kepala, tak mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing,
peka omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi kerusakan lebih
lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
e. Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas lapangan arakhnoid
yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan dan lebih sering pada lansia dan alkoholik
gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan
pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau
beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural pada
bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada ukuran
pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Hematoma subdural
akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Cedera
ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya pasien
dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah meningkat,
frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural. Riwayat klinis khas dari
penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
yang diikuti penurunan kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara bertahap. Namun setelah
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan penurunan status neurologik. Tingkat kesadaran
menurun bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan TIK, lalu terjadi herniasi unkus atau sentral.
Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut dan sub akut, karena sering dihubungkan
dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi otak karena proses
penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser
isi otak secara abnormal dengan sekuela negative. Waktu di antara cedera dan awitan gejala mungkin
lama, sehingga akibat actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera
minor. Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap sebagai stroke.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt dilakukan melalui lubang burr ganda, atau
kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn tidak dapat dilakukan
melalui lubang burr.
a. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak, penyebabnya adalah fraktur
depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba tindakan
bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias juga terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar
(hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma
epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar
perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejal adalam beberapa menit. Perdarahan menahun
(hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta
menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya
menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai
koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung,
atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
b. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera
pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan
fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi
setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang
tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal;
sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa
penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau
perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai
beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa sindroma
ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah
penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa
membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca
konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang
beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah
parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan
pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda memburuknya
fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan
asetaminofen. Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
2.1 Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah
serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui pembuluh darah serebral. Faktor-faktor ini dapat
mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta mengganggu
autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia, pada klien dengan kerusakan autoregulasi.
Aktivitas yang dapat menyebabkan peningkatan aliran darah serebral juga dapat meningkatkan TIK.
Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan oleh kombinas dari 3 komplemen
intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume otak ditambah
volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap komponan karena
gangguan kranial dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan kemungkinan herniasi.
Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua klien dengan lesi intra kranial setelah mengalmi
cedera kepala. Pada semua klien dengan cedera kepala bera, peningkatan TIK yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak yang dapat
menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak, diserbtai vasodilatasi dan
eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan ini
dapat menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan sawar darah otak
lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan edema bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. Jaringan
otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
WOC (Terlampir)
2.4 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal
(proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer Laktat: cairan isotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak
menambah edema serebri.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah: glukosa,
ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar
alcohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT Scan dilakukan,
karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur. Pasien denga cedera kepala ringan,
sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:
Hematoma epidural
Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesenfalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan
berikut ini:
Elevasi kepala 30°
Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
Pasang kateter Foley
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural,
cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1 diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan
pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
Foto servikal jelas normal
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
2. Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat.
Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah,
pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan
cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini apakah terdapat
indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan primer akibat cedera, tetapi
setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau peningkatan
TIK. Kejang umum yang terjadi setelah cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder
karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan dapat dimulai.
Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK
1. Mempertahankan oksigenasi adekuat.
2. Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.
3. Hiperventilasi
4. Penggunaan steroid
5. Meninggikan kepala tempat tidur
6. Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
1. Ventilasi
2. Pencegahan kejang dengan antikonvulson
3. Pemeliharaan cairan dan elektrolit
4. Keseimbangan nutrisi
5. Mempertahankan jalan nafas.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya
berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan
jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan
kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami
gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
2.5 Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak
mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian
setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala
hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus
di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami
cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut
selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada
area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak
yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di
sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala
atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau
serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus
parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah
benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut.
Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda
umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-
benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana
ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah
terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami
perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang
baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya
dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat
sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya
kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai
beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada
cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama
terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap
merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat.
Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita
kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia Korsakoff juga
bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi
hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu
minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan
risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala
tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien.
Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang
meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan
serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam setelah cedera.
Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan
TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak bergeser.
Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat,
terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan
herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral dan menekan di enchephalon dan
batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal,
serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala hebat, Mual /
muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
2.6 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan dinding dada,
penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran
Kualitatif dengan :
- CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap orang tempat
dan waktu.
- Apatis
Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya.
- Confuse
Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
- Samnolen
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur lagi.
- Soporous Coma
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya inkontinensia urine,
belum ada gerakan motorik sempurna.
- Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
Kuantitas dengan GCS
1. Mata (eye)
- Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1
- Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
- Membuka mata dengan perintah 3
- Membuka mata spontan 4
2. Motorik (M)
- Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
- Eksistensi dengan rangsangan nyeri 2
- Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
- Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
- Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
- Bergerak sesuai perintah 6
3. Verbal (V)
- Tidak ada suara 1
- Merintih 2
- Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti 3
- Dapat diajak bicara tapi kacau 4
- Dapat berbicara, orientasi baik 5
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab nyeri/cedera: Peluru
kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ? Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak. Apakah ada
penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/
vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika
pernah kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.
c. Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis seperti DM, hipertensi,
penyakti degeneratif lainnya.
Penurunan kapasitas vital Penarikan dada tidak ada pemberian oksigen untuk
Komunikasi kortikosteroid
Memantau Neurologik
Aktivitas:
Pantau ukuran pupil, ketajaman,
simetri dan reaksifitas
Pantau tingkat kesadaran
Pantau tingkat dari orientasi
Pantau kecenderungan dari
glascoucoma scale
Pantau ingatan yang muncul dari
ingatan masa lampau, perasaan
sakit, dan tingkah laku
Pantau tanda-tanda vital
:temperatur tekanan darah, nadi dan
pernafasan
Pantau status pernafasan tingkat
ABG, osimetri nadi, ukuran,
pola,dasar, dan usaha
Pantau parameter hemodinamik
infasif jika perlu
Pantau ICP dan CPP
Pantau reflek kornea
Pantau aliran udara
Catat keluhan sakit kepala
Pantau karakteristik bicara:fluensi,
kehadiran aphasis atau kesulitan
mengemukakan kata
Pantau respon:verbal, tactili, dan
axious
Meningkatkan pemantauan
frekuensi neurologic
Menghindari aktifitas yang
meningkatkan tekanan intracranial
Paru-paru
Inspeksi : simetris, tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, tidak ada tarikan dinding dada
Palpasi : taktil fremitus simetris
Perkusi : suara paru normal
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpalsi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal yaitu:
Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II LSB, kanan bawah: SIC IV
RSB, kiri bawah: SIC V medial 2 MCS
3. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi, tidak ada asites
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : peristaltic usus (+)
Auskultasi : frekuensi bising usus normal
4. Pemeriksaan ekstremitas
Adanya luka lecet dikedua tangan dan kaki kanan, akral dingin.
Gambar :
WOC kasus
Kecelakaan luka di
ekstremitas
MK: resiko infeksi
Cidera kepala
Ekstra kranial
Iskemia
hipoksia
O2 ke otak
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada teoritis, menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale), klien termasuk dalam
Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah), yaitu:
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
Pada kasus, tanda dan gejala yang ditemukan pada klien yaitu:
- GCS klien 14
- Kehilangan kesadaran saat dibawa ke RS
- Adanya penurunan kesadaran selama <30 menit
- Klien tidak mampu mengingat kejadian kecelakaan
- Tidak ada hematom
- Klien tidak megeluh nyeri kepala dan pusing
- Tidak ada tampak tanda abrasi, laserasi, atau hematoma pada kulit kepala
Kerusakan Pada Bagian Otak
kemungkinan klien menderita kerusakan pada lobus temporalis yaitu lobus yang mengolah
kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Hal ini terlihat dari klien yang tidak mampu mengingat kembali
kejadian kecelakaan.
Selain itu, klien juga mengalami penurunan kesadaran dan mengalami disorientasi saat dibawa
ke RS. Namun tidak ada ditemukan luka, bengkak, maupun tanda-tanda cidera pada kulit kepala klien.
Kemungkinan klien ada memar / laserasi cerebral (komosio) di otaknya. Komosio cerebral setelah
cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya
meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan
otak di lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana
keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini
merupakan memar pada permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang tersebar,
gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah cedera dan menimbulkan disfungsi
luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada scan tomografi terlihat masa dan menimbulkan
perubahan TIK dengan jelas.
Seperti yang kita ketahui, gangguan otak bisa terjadi disertai dengan adanya penurunan
kesadaran, fraktur tengkorak, atau bengkak pada kulit kepala. Akan tetapi, tidak jarang, bisa juga
terjadi tanpa kelainan fisik yang tampak dari luar. Ada tidaknya kelainan otak ini harus dipastikan.
Adapun pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk memeriksa kelainan otak adalah CT
scan. Berbeda dengan foto rontgen biasa, pemeriksaan yang juga menggunakan sinar-X ini bertujuan
melihat bagian otak secara melintang. Dari hasil pemeriksaan CT scan, bisa didapatkan informasi
tentang bagaimana keadaan otak. Hasil fotonya bisa menggambarkan apakah ada hematoma
(perdarahan), udema (bengkak) otak, ataupun kontusio (memar) otak. Khusus untuk hematoma, pada
tingkat tertentu, biasanya akan dilakukan operasi untuk mengeluarkan darah hematom yang tertimbun.
4.2 Perencanaan
Semua perencanaan keperawatan yang dituangkan pada kasus mengacu ke teoritis. Setiap tindakan
yang dilakukan berdasarkan rencana tindakan keperawatan.
Pada teoritis, diagnosa keperawatan yang dapat muncul adalah:
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
3. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
4. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
5. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
6. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
7. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
8. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, mual, muntah.
4.3 Implementasi
Implementasi keperawatan yang dilaksanakan dari tanggal 4 April 2012 sesuai dengan rencana
tindakan keperawatan, yaitu:
Diagnosa primer
Diagnosa Waktu Implementasi
Keperawatan
Perfusi jaringan 19.30 WIB- Memberikan oksigen nasal kanul 3L/menit
serebral tidak - Mengukur tanda-tanda vital (TD, nadi, pernapasan,
efektif b.d 19.55 WIB suhu)
edema serebral - Mengontrol aliran oksigen
20.10 WIB- Memantau tingkat kesadaran
- Memantau tanda-tanda vital
Diagnosa sekunder
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak
yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan mempengaruhi
kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya
bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis
kelainan yang terjadi.
Manifestasi Klinis yang ditemukan adalah gangguan kesadaran, konfusi, perubahan TTV, sakit
kepala, vertigo, kejang, pucat, mual dan muntah, pusing kepala, terdapat hematoma, dan lain-lain.
Berdasarkan kajian teoritis yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat ditegakkan diagnosa
keperawatan pada klien dengan cedera kepala, sebagai berikut:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d edema serebral
2. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat pernapasan di otak).
4. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
Dianosa tersebut tidak selalu semuanya dapat ditegakkan, hal ini sesuai dengan kondisi klien saat itu.
5.2 Saran
Penanganan pada klien dengan cedera kepala sangat ditekankan agar tidak terjadi kerusakan otak
sekunder. Dalam hal ini perawat harus bertindak dengan cepat dan tepat sesuai dengan standar asuhan
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA