Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah


memberikan karunia-NYA kepada kita semua. Terutama kepada
penulis,karena atas karunia dan kehendak-NYA penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Tujuan penulisan makalah yang berjudul Abstraction and
Generalizationini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya
Dasar sebagai mata kuliah softskill di Universitas Gunadarma.
Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu penulis dalam pembuatan makalah ini,
terutama kepada Ibu Helnawaty sebagai dosen Ilmu Budaya Dasar.
Penulis juga membuat makalah ini dengan harapan bahwa makalah
ini akan bermanfaat bagi yang membacanya. Kritik dan saran penulis
nantikan agar lebih baiknya karya tulis ini.

Depok, 01 Juli 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. 1

DAFTAR ISI ............................................................................................... 2

PENDAHULUAN ........................................................................................ 3

Latar Belakang ....................................................................................... 3

PEMBAHASAN .......................................................................................... 5

PENUTUP ................................................................................................ 22

Kesimpulan ........................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 23

2
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ancaman dari derasnya arus globalisasi terhadap suatu ideologi
suatu bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyaknya informasi
yang dengan mudahnya masuk dan diketahui oleh siapapun di dunia ini
termasuk Indonesia, secara tidak langsung akan merubah pola pikir
masyarakat itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini kami
khawatirkan akan menyebabkan masyarakat Indonesia melupakan ‘
siapa dirinya sesungguhnya ’ , yaitu warga negara Indonesia yang
berdasarkan kepada Pancasila. Bisa dibayangkan apabila kita sebagai
warga negara Indonesia, akan tetapi kita tidak memiliki ciri khusus dan
jati diri sebagai orang Indonesia? Pancasila sebagai dasar negara dan
ciri-ciri negara Indonesia adalah suatu patokan dan acuan bangsa
Indonesia dalam menjalankan seluruh aspek kehidupan
POLEKSOSBUDHANKAM. Seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam
setiap butir poin Pancasila, dari sila pertama sampai sila kelima sejatinya
adalah suatu nilai luhur yang apabila diimplementasikan kedalam
kehidupan POLKESOSBUDHANKAM akan membawa bangsa
Indonesia ini menuju negara yang maju dan sejahtera ( Welfare State ).
Sebagai contoh, apabila sila pertama berhasil diimplemantasikan
sepenuhnya, dapat dipastikan tidak akan ada lagi sentimisme,
diskriminasi, dan pembatasan dalam beragama di Indonesia. Hal ini
sesuai dengan bunyi dari sila pertama tersebut yaitu “ Ketuhanan Yang
Maha Esa “, sila ini berarti bahwa kita sebagai warga negara harus
menghormati setiap agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia ini.
Tidak membedakan setiap warga negara Indonesia sendiri atau warga
negara lain hanya karena berbeda kepercayaan, menghormati agama
apapun untuk menjalankan ibadah, dan yang terpenting adalah tidak
adanya pemaksaan untuk menganut suatu agama tertentu (Pasal 28 I,

3
Pasal 29 Ayat 2). Namun, sudahkah semua poin dari Pancasila berhasil
diimplementasikan kedalam kehidupan POLEKSOSBUDHANKAM ?
atau bahkan nilai-nilai dari Pancasila itu sendiri justru menjadi luntur
karena derasnya arus globalisasi ?

4
PEMBAHASAN

Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting


telah tergeser oleh nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai
dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis
moral yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat,
mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini
merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai
Pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu mengimplementasikan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti
pengeboman, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi,
dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi
karena manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang
berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi
menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat dasar manusia yang
serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu hal
penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya
yaitu menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan
menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari norma
Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini
bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas, ada
peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘ melunturkan
‘ nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam
internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita
adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-
hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk
internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral
karena kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan
jati dirinya sebagai warga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga diri kita dari ancaman

5
lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara
tanpa ciri-ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang warga negara
Indonesia.

Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk


mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan
mewujudkan keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan
amanat bagi bangsa Indonesia dalam membangun perekonomian nasional,
guna memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bangsa Indonesia harus cerdas untuk mengolah sumber daya
nasionalnya serta mengakses semua kemajuan dunia agar mampu
menciptakan kesejahteraan umum yang terus berkembang ke arah
kemajuan. Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah
dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya bangsa Indonesia dari segala
bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi. (2) Secara politik dan
keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus
dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman. (3) Kecerdasan
kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud. (4)
Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban
dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila,
sehingga keadilan sosial dapat terwujud.

1. Hilangnya manusia yang ber-“ Ketuhanan Yang Maha Esa “

Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering


dilihatkan dan dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi
anarkis yang ditujukan kepada suatu kelompok agama tertentu yang
diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini adalah
adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-
nilai sila pertama yang menjunjung kebebasan beragama bagi setiap
warga Indonesia. Tindakan anarkis yang mengatasnamakan suatu
agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan

6
mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini
yang sudah berlabel modern sepertinya tidak lagi memakai cara
pandang dari sisi keagamaan dengan benar. Masyarakat Indonesia
saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi
memandang sila pertama yaitu “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ sebagai
salah satu acuan dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia
melainkan hanya sebuah hafalan saat di SD.

Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya


adalah suatu kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang
beragama dan dijadikan suatu ‘ batas ‘ dan ‘ pengingat ‘ saat melakukan
suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.

Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang


memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini.
Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada
urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN ( Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme ) sepertinya sudah mendarah daging dan
menjadi hal yang lumrah bagi para elite-elite politik, baik ditingkat
terendah seperti desa hingga ke tingkat yang paling tinggi seperti
jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri. Hal ini tentu
saja tidak akan terjadi apabila para pelaku KKN tersebut memiliki
kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai keagamaan
dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai
perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat
itu masyarakat Indonesia bisa dengan tenang beragama selama apa
yang mereka lakukan tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu
saat penentuan Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan
Hari Raya Idul Fitri, tidak banyak perdebatan dan pertentangan antara
kelompok Islam tertentu ( NU, Muhammadiyah dll ), hal ini membuktikan
bahwa hari demi hari sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi
sekarang, nilai-nilai dari Pancasila semakin ditinggalkan.

7
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini
diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi hari semakin
tidak ter-filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin
banyaknya tontonan di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu
sifat Hedonisme yang suka berfoya-foya dan berhura-hura, makin
banyaknya tayangan televisi yang mengumbar bagian tubuh wanita
dengan bebasnya, makin banyaknya acara televisi yang mengajarkan
kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak langsung, efek
buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi pola pikir
masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di televisi
tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya
aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan rentangan
umur 15-23 tahun, meningkatnya pemakai Narkoba di Indonesia yang
didominasi oleh para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas
yang disebabkan pelaku merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di
televisi.

Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan


peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan
teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa
membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada
khususnya lupa akan jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-
nilai sila pertama, yaitu sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa.

2. Langkanya “ Kemanusiaan yang adil dan beradab “

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan


sebagai berikut :
1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia.

8
2) Saling mencintai sesama manusia.
3) Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
5) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
6) Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.

Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan


sepenuhnya didalam kehidupan bermasyarakat kami yakin Indonesia
akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki tingkat kemiskinan rendah,
sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah
bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya
dalam kehidupan masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah
pembaca dengan kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan
ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang
ditemukannya di jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman
di persidangan ? Atau ingatkah pembaca tentang kejadian memalukan
yang diperlihatkan oleh para elite politik yang menamai dirinya sebagai
“ Dewan Perwakilan Rakyat “ saat berlangsungnya Sidang Paripurna
terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan
ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat
acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini
adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.

Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud
apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi
hukum kita dihadapkan kepada ketidak adilan hukum yang berlaku di
Indonesia yang seperti ‘ Pisau ‘ tajam kebawah, akan tetapi tumpul
keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang
merampok milyaran bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum
kurang dari lima tahun penjara. Sebagai contoh adalah Anggodo
Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK
masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini

9
sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang bernama Minah
yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp. 2100
yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu
kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama satu
bulan lima belas hari. Selain itu masih ingatkah pembaca dengan
kejadian memalukan yang terjadi saat sidang Paripurna terkait masalah
Bank Century beberapa anggota dewan yang terhormat terlibat aksi
baku hantam? Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang
terdapat di sila kedua belum sepenuhnya terlaksana.

3. Retaknya “ Persatuan Indonesia “

Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya


yang berjumlah 17.504 pulau pada tahun 2013. Para Founding
Father kita dengan susah payah berusaha untuk mempersatukan
seluruh kepulauan bekas jajahan untuk bersatu menjadi suatu negara
yang disebut Indonesia. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa
menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya dengan sebaik
mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah
untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka
tinggal. Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa
melihat bahwa di Pulau Jawa kemajuan teknologi, transportasi,
telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah sangat maju
dan mudah didapatkan, hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang
terjadi di pulau-pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja
pulau Papua. Papua adalah pulau yang memiliki berbagai kekayaan
alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata
terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua.
Pemerintah justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi
oleh masyarakat Papua untuk menjual berbagai macam aset milik
masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini
bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya “ Persatuan Indonesia

10
“ karena masyarakat lokal merasa di “ anak tirikan “ oleh pemerintah.
Sebagai contoh, di Papua terdapat organisasi separatisme bernama
OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), di Maluku terdapat organisasi
separatisme bernama RMS ( Republik Maluku Serikat ), dan sebagai
pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ), akan tetapi
antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai
berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya
gerakan separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal
ini menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang
merasa “ dilupakan “ oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti
ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai macam sarana
penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini
ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi
separatisme mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin
melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu bukti dari
Retaknya “ Persatuan Indonesia “

Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas
lunturnya nilai-nilai sila ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu
dalam hal olahraga, kita sering mendengar terjadinya kerusuhan antar
suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini
menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai
sesama warga negara Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk
memajukan persepakbolaan di Indonesia. Dalam hal ini kami
mempercayai bahwa ada pengaruh negatif yang secara tidak langsung
diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta
sepak bola tanah air baik secara langsung atau tidak langsung
terpengaruh dari situasi politik yang memanas didalam tubuh PSSI, dan
hal ini berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda
dibawah PSSI yaitu , ISL ( Indonesia Super League ) dengan IPL
( Indonesia Premier League ).

11
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan
adalah, persatuan adalah konsep awal yang dibuat oleh para Founding
Father sebelum Indonesia merdeka, dengan asumsi bahwa semua ras,
agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang terdapat di Indonesia
harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi sebuah kesatuan.
Sedangkan makna dari kesatuan adalah, seluruh perbedaan primordial
yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur menjadi satu jati diri
dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus
menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial
tersebut.

Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya


yang berada di pulau-pulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan
daerah-daerah perbatasan, karena mereka pada dasarnya mengakui
bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban
hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk
mengibarkan bendera merah putih di daerahnya. Apakah pemerintah
masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di daerah perkotaan?
Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan
kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan?
Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia,
rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis
kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara
Indonesia. Apabila pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka
bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun kemudian akan banyak
organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai
daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari
Republik Indonesia.

4. Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan


dalam permusyawaratan dan perwakilan “

12
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana
adalah sosok ideal dari seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin
dengan kriteria semacam ini peluang keberhasilannya dalam
memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih
apabila pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama
daripada kepentingan pribadi. Indonesia yang sejak merdeka pada
tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden sebanyak enam kali
dimana presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi

presiden dalam dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat


Indonesia saat ini benar-benar dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan ? .

Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di


masyarakat, mungkin Indonesia bisa dikatakan masih belum
sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila
keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai
pertemuan para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan
sesuatu hal yang secara konkrit memihak rakyat. Perlu kami tambahkan
bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan
kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat,
dengan asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri
selama menjabat menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak
datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang
menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila. Para
pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan kehendak
daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan demi
kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang
dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan
suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan
dengan Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling
buruk, karena voting tidak mengedepankan pemikiran rasional
melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat

13
bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai
Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia memiliki suatu cara
khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan suatu
permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil musyawarah tidak
akan tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama,
dengan metode ini maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing
anggota yang merasa tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.

Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa


Indonesia, dewasa ini pada zaman reformasi saat ini
pengimplementasian pancasila sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
karena di dalam pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, pada era
globalisasi ini begitu cepat mempengaruhi negara-negara di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi
manusia, neo-

liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah


memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal
demikian bisa melunturkan Pancasila dan dapat menghadirkan sistem
nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian
bangsa.

Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan


sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia,
termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah,
wilayah dan rakyat. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti
menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan
pemerintahan. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum.

Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti


melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-

14
undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua
peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh
suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara
formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang
menguasai dasar negara (Suhadi, 1998).

5. Mimpi Indonesia tentang “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat


Indonesia“

Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa
dilihat dari berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih
banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh Indonesia.
Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang
dikeluarkan pemerintah pada Maret 2013 menunjukkan angka sebesar
28,07 juta orang masih hidup dibawah garis kemiskinan Indonesia.
Selain itu dari bidang kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia
seperti melihat jarak atau gap yang jauh antara mereka dengan
masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan yang seharusnya berhak
dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada kenyataannya tidak berjalan
dengan semestinya. Selain itu dari sisi pendidikan, mayoritas mereka
yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas baik infrastruktur dan
intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu dalam segi
ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di
Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima
yang berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Jika kita
melihat dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan
pada kenyataan atas ketimpangan dalam hal pembangunan yang
terjadi. Daerah kota seperti lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam
hal pembangunan, sedangkan daerah-daerah yang jauh dari
keramaian kota seakan-akan dilupakan dan pemerintah bagai menutup

15
mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah banyak terjadi, hal ini
terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah tersebut.

6. Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila

Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi


tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai
dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai
terdesak, kepercayaan kepada Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-
larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan
longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah
kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-
satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun pada umumnya
pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri
sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang
luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan
mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani
melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu.
Sedangkan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang
melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang
iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya
kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh,
tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang
sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-
hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin
jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral
orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena
semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.

Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh


rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang

16
dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya
atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya
harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan
kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti
mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas
dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa
dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk
manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal
moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan
cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk,
melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajatmangatakan, moral
bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja,
tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh
dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya
rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting
dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar
sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan
mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian
pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata
lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak,
dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek
kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral
yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka
didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan
mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil
peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak
moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga
dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat
itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak.
Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda
sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga,
sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga

17
lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak
seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.

Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya


karena budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini
sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-
anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi
mengantongi obat-obat, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi
seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut
biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun
gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-
mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak
mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa
dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan
sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan,
lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan
sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh
para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan
material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa
memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus
budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar
andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda
umumnya.

Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari


pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan ( power ),
uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya
belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka
pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi
oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar
kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak
mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum
adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan

18
kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu,
dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral
bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa
yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral
mereka sudah kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit
penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan
sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber
daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk
merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara
bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.

Kelima, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah


berubah baik di tingkat domestik,regional maupun global. Situasi dan
lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945-69 tahun yang lalu,
telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan
terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan
yang kita alami antara lain : terjadinya proses globalisasi dalam segala
aspeknya; perkembangan gagasan hak asasi manusia ( HAM ) yang
tidak diimbagi dengan kewajiban asasimanusia ( KAM ); lonjakan
pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi
menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek
kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “ manipulasi ” informasi
dengan segala dampaknya.

Keenam, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari


traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di
masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi
reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai
bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru,
berimplikasi pada munculnya ‘ amnesia nasional ’ tentang pentingnya
kehadiran Pancasila sebagai ground norm ( norma dasar ) yang
mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga
yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan

19
afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar
negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang
penuh problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan
terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi
penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi
dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur
dan massive yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis
untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah
sebagai “ tidak Pancasilais ” atau “anti Pancasila ”. Pancasila
diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan
penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim
di era reformasi, muncul lah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila
yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik
rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap
menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik
sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu,
menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik
sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa
tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang,
golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan
menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama
Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai
perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan
akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasarnegara akan tetap ada
dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan.

Ketujuh, perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran


nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola
hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku

20
kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya
perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar
dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik
persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-
berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut
menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa
Indonesia.

7. Antisipasi

1) Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal


semangat mencintai produk dalam negeri.
2) Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan
sebaik- baiknya.
3) Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-
baiknya.
4) Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan
hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5) Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi,
ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan


mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai
nasionalisme terhadap bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam
sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak akan
kehilangan kepribadian bangsa sebagai Bangsa Indonesia.

21
PENUTUP
Kesimpulan

Pada akhirnya kami dapat menarik satu kesimpulan bahwa, hampir


75% nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sudah luntur atau bahkan
dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor
internal dan eksternal yang telah kami jabarkan di atas. Apabila masyarakat
Indonesia tidak segera berbenah diri dan mulai untuk
mengimplementasikan nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila kedalam
kehidupan pribadi dan bernegara, maka bukan tidak mungkin bangsa kita
akan menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas, baik identitas ideologi
ataupun identitas dari POLEKSOSBUDHANKAM. Jadi, masih bisakah kita
memandang permasalahan lunturnya nilai-nilai Pancasila ini dengan
sebelah mata? Masih bisakah kita untuk tetap melupakan nilai-nilai asli dari
bangsa kita yang susah payah dirumuskan dan dikonsepkan oleh para
Founding Father negara kita ?. Nasib bangsa Indonesia berada di tangan
kita masing-masing.

22
DAFTAR PUSTAKA

https://kholifaharifstyawan.wordpress.com/2014/12/25/makalah-lunturnya-
nilai-nilai-budaya-pancasila/

23

Anda mungkin juga menyukai