Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 2

Kelompok : 2

Silka Reslia R. 1413010004


Akhmad Sobron 1413010013
Bagus susetio 1413010014
Sinta Merlinda 1413010015
Tyas Ratna P. 1413010030
Padang Tri Handoyo 1413010037
Arumita Puspa Hapsari 1413010038
Desi Dwi N 1413010041
Dewandaru I.A.B 1413010044
Nur Rizki Fajrin Khotami 1413010050

Pembimbing : dr. Susiyadi, Sp.An

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017

1
Skenario 1
Perutku Mual
Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke klinik herbal UMP dengan
keluhan perutnya sering mual, kembung, terasa perih dan sesak di ulu hati sejak 2
bulan lalu. Keluhan berkurang bila diisi makanan dan terasa bertambah berat bila
telat makan dan pikirannya tegang. Ia ingin mengobati keluhannya dengan
pengobatan alternative herbal. Pemeriksaan fisik tidak didapat kelaianan.

I. Klarifikasi istilah
1. Audit
Audit medis sebagai upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu
pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan
rekam medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis (Kepmenkes,
2005).

2. Fraud
Fraud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk
mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang
tidak sesuai dengan ketentuan (Sulastomo, 2007).

3. Rawat Inap
Suatu bentuk perawatan dimana pasien dirawat dan tinggal di rumah
sakit untuk jangka waktu tertentu. Selama pasien dirawat, rumah sakit
harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien (Aditama,
2006)

II. IDENTIFIKASI MASALAH


1. Mengapa rumah sakit melaporkan bahwa pasien dirawat selama 15 hari?
2. Bagaimana prosedur audit maternal?
3. Apa saja penyebab terjadinya fraud?
4. Jelaskan jenis-jenis fraud?
5. Bagaimana sanksi untuk rumah sakit jika terbukti melakukan fraud?

2
6. Bagaimana alur pengolahan fraud?

III. ANALISIS MASALAH

1. Mengapa rumah sakit melaporkan bahwa pasien dirawat selama 15


hari?
Hal yang dilakukan rumah sakit pada skenario tidak sesuai dengan
Permenkes RI No. 27 Tahun 2014 tentang “Petunjuk Teknis Sistem
Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs)”. Menurut Miller 2007 dalam
Kulo Deby et al 2014 menyebutkan tujuan pembiayaan kesehatan adalah :
a. Mendorong peningkatan mutu.
b. Mendorong layanan berorientasi pasien.
c. Mendorong efisiensi tidak memberikan reward terhadap provider yang
melakukan over treatment, under treatment maupun melakukan adverse
event.
d. Mendorong pelayanan tim.
Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan diatas bisa
tercapai (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Dengan adanya pembiayaan
kesehatan maka pelayanan kesehatan tetap bermutu sesuai standar dan
membatasi pelayanan kesehatan yang tidak diperlukan berlebihan. Di
Indonesia sudah diberlakukan sistem Casemix. Sistem Casemix merupakan
pengelompokkan diagnosis penyakit yang dikaitkan dengan pembiayaan
perawatan. Sistem casemix merupakan salah satu metode prospektif dan
diterapkan sejak tahun 2008 pada program Jamkesmas. Awal di Indonesia
bernama INA-DRG pada tahun 2006, yang kemudian berubah nama
menjadi INA-CBGs pada tahun 2010 (Permenkes RI, 2014). Dengan adanya
sistem INA-CBGs maka RS perlu mengupayakan beberapa hal :
a. Membangun tim RS
b. Meningkatkan efisiensi
c. Emmperbaiki mutu rekam medik
d. Memperbaiki mutu dan kecepatan klaim
e. Melakukan standarisasi
f. Membentuk tim INA_CBGs RS
g. Memanfaatkan data klaim
h. Pembayaran jasa medis
i. Mengirimkan data koding dan writing

3
Beberapa hal yang tidak sebaiknya dilakukan oleh Rumah Sakit :

a. Merubah atau membongkar software.


b. Menambah diagnosis yang tidak ada pada pasien yang diberikan
pelayanan untuk tujuan meningkatkan tingkat keparahan atau untuk
tujuan mendapatkan grouping pada kelompok tariff yang lebih besar.
c. Menambah prosedur yang tidak dilakukan atau tidak ada bukti
pemeriksaan untuk tujuan mendapatkan grouping pada kelompok tariff
yang lebih besar.
d. Melakukan input diagnosis dan prosedur hingga proses grouping
berkali-kali dengan tujuan mendapatkan kelompok tarif yang lebih
besar.
e. Upcoding yaitu memberikan koding dengan sengaja dengan tujuan
meningkatkan pembayaran ke rumah sakit.
f. Melakukan manipulasi terhadap diagnosis dengan menaikkan
tingkatan jenis tindakan. Misalnya : appendiectomy tanpa komplikasi
ditagihkan sebagai appendiectomy dengan komplikasi, yang
memerlukan operasi besar sehingga menagihkan dengan tarif yang
lebih tinggi.
g. Memberikan pelayanan dengan mutu yang kurang baik. Misalnya:
memperpendek jam pelayanan poliklinik, pelayanan yang bisa
diselesaikan dalam waktu satu hari dilakukan pada hari yang berbeda,
tidak melakukan pemeriksaan penunjang yang seharusnya dilakukan,
tidak memberikan obat yang seharusnya diberikan, serta membatasi
jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit untuk peserta JKN
(Permenkes RI, 2014).

2. Bagaimana prosedur audit maternal?


Menurut Gabby (2015) audit secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Audit laporan keuangan
Dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang
disajikan oleh klien untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran
laporan keuangan tersebut.
b. Audit ketaatan

4
Dilakukan untuk menentukan apakah yang di audit sesuai dengan
kondisi atas peraturan tertentu. Banyak dijumpai dalam pemerintahan.
c. Audit operasional
Merupakan review secara sistematik kegiatan organisasi pada suatu
perusahaan. Langkah-langkah auditor operasional adalah pertama
dilakukan audit pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui latar
belakang objek, penelaah peraturan, ketentuan dan kebijakan,
penemuan objek yang memiliki potensial kelemahan. Kedua dilakukan
pengujian dan review untuk menilai efektivitas pengendalian
manajemen dengan memahami pengendalian yang berlaku, mengetahui
potensi kelemahan aktivitas, mendukung audit sementara dan
menjadikan audit sesungguhnya. Ketiga melakukan audit lanjutan
dengan melakukan pengembangan temuan mengenai keterkaitan
temuan satu dengan lainnya dan mengyajikan dalam kertas kerja audit
(KKA). Keempat pelporan dengan mengkomunikasikan hasil audit
termasuk rekomendasi pada pihak yang berkepentingan dan melaporkan
secara komprehensif.

Standar pelayanan pada rumah sakit terdiri dari standar profesi dan
standar pelayanan medis (Assaf, 2009).
a. Standar profesi adalah standar dari organisasi profesi kedokteran yang
diberlakukan di rumah sakit.
b. Standar pelayanan medis adalah standar lainnya dalam bidang keilmuan
kedokteran baik yang dibuat sendiri maupun yang dibuat pihak lain
diluar rumah sakit dan diberlakukan dirumah sakit. Standar pelayanan
medis antara lain dapat berupa giudlines (pedoman – pedoman), skema–
skema pengambilan keputusan, termasuk prosedur kerja maupun buku–
buku.
Adapun dalam rangka penjaminan mutu pelayanan maka, dilakukan
evaluasi medis. Evaluasi medis merupakan kegiatan yang berupa audit
internal dan atau management review. Kegiatan evaluasi medis terdiri dari:
1) Audit internal (termasuk audit medis) adalah kegiatan untuk menilai
apakah staf medis telah memberikan pelayanan sesuai standar–standar
tersebut yang dibuktikan dengan adanya dokumen – dokumen audit.

5
2) Management review adalah kegiatan manajemen dalam mengevaluasi
hasil temuan audit internal dan mengevaluasi standar – standar yang
berlaku yang dibuktikan dengan adanya risalah rapat.

3. Apa saja penyebab terjadinya fraud?


Sarwo (2015) mengutip laporan dari Department of Justice Health Care
Amerika Serikat tahun 1998, yang menyatakan ada tiga penyebab dasar
timbulnya fraud dalam pelayanan kesehatan, yaitu:
a. Kebutuhan (need)
Fraud bisa timbul karena kondisi pemegang polis dan/atau tertanggung
sedang mengalami kesulitan keuangan saat sebelum terjadinya kerugian.
b. Kesempatan (opportunity)
Fraud juga timbul karena adanya kesempatan yang disebabkan oleh
adanya kerugian perusahaan yang tidak dapat ditelusuri atau disebabkan
adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan pemegang polis dalam
rangka pengajuan klaim fiktif.
c. Keserakahan (greed)
Fraud bisa dilakukan pemegang polis karena karakter seseorang yang
memiliki hasrat dan nafsu serakah. Hal ini tercermin dari sikap irasional
seseorang yang memandang bahwa tindakan fraud sebagai suatu
pembenaran atau justifikasi dan sesuai dengan kode etik.

4. Jelaskan jenis-jenis fraud?


Fraud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan
keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan.
a. Peserta BPJS Kesehatan :
- Menggunakan kartu BPJS Kesehatan orang lain
- Memalsukan kartu BPJS Kesehatan
b. BPJS Kesehatan :
- Tidak membayar besaran nilai kapitasi sebagaimana harusnya
- Terlambat pembayaran kapitasi dan klaim
- Tidak membayar kapitasi dan klaim
- Penunjukkan FKTP yang tidak layak
c. FKTP :
- Memalsukan data fasilitas dan SDM FKTP
- Mengurangi jam kerja
- Meminta iur biaya pasien

6
- Rujukan yang tidak seharusnya
- Pelayanan sub standar
- Memperpanjang hari rawat pada FKTP rawat inap
- Menerima imbalan atas rujukan
d. Dinas Kesehatan :
- Memberikan rekomendasi tidak sesuai dengan kenyataan FKTP
(Permenkes, 2015).

Bentuk lain dari fraud :

a. Upcoding
Memberikan kode diagnosa, kode tindakan ataupun severity level
yang akan menghasilkan pembayaran yang lebih besar.
b. Premature discharge
Memulangkan pasien lebih cepat dari seharusnya (pasien belum
sembuh) untuk mencegah “kerugian” RS.
c. Under treatment
Memberikan pelayanan dibawah dari standar pelayanan kedokteran
(Pedoman Praktik Klinis/Clinical Pathways di RS) untuk mengurangi
biaya (Permenkes, 2015).

Fraud merupakan tindakan kecurangan sehingga menguntungkan diri


sendiri atau merugikan orang lain. Fraud dipengaruhi oleh :
a. Pressure : Dorongan untuk melakukan fraud
b. Opportunity : Peluang yang memungkinkan fraud terjadi
c. Rationalization : Pelaku mencari pembenaran atas tindakannya
Dalam tabel berikut tipe kecurangan menurut Albrecht, W.S (Fraud
Examination) :

7
Gambar 1. Jenis Kecurangan Menurut Albrecht .W.Steve (Fraud
Examination)

5. Bagaimana sanksi untuk rumah sakit jika terbukti melakukan fraud?


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomer 36 Tahun 2015 tentang
pencegahan Kecurangan menyatakan bahwa Menteri, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi
administratif bagi fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan penyedia obat dan
alat kesehatan berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak
yang dirugikan.
Dalam hal tindakan kecurangan JKN dilakukan oleh pemberi pelayanan
atau penyedia obat dan alat kesehatan, sanksi administrasi dapat ditambah

8
dengan denda paling banyak sebesar 50% dari jumlah pengembalian kerugian
akibat tindakan kecurangan JKN. Tindakan kecurangan JKN yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan, sanksi administrasi dapat diikuti dengan pencabutan
surat izin praktik. Sanksi administrasi tidak menghapus sanksi pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Permenkes, 2015).

6. Bagaimana alur pengolahan fraud?


Metode deteksi adanya fraud di rumah sakit :
a. Pemetaan data (data maping) dari data BPJS
Dilakukan dengan membuat rekapitulasi jumlah klaim BPJS berdasarkan
variabel yang terdapat pada data klaim BPJS (mulai dari data pasien
hingga data diagnosis dan tindakan).
b. Diskusi kelompok terarah dengan kelompok dokter spesialis, perawat,
dan menagement mengenai hal terkait dengan pelayanan kesehatan di
rumah sakit mengenai proses pelayanan, besar tarif, proses klaim BPJS.
c. Audit klinis secara periodik
Data diambil dari rekam medis dan data klaim dari 5 jenis penyakit atau
tindakan yang paling banyak dilakukan audit untuk melihat kesesuaian
antara pelayanan klinis yang telah diberlakukan dan tercatat dalam rekam
medis dengan pedoman klinis dan data klaim BPJS.
a. Menggali informasi sebanyak-banyaknya dari keluhan pasien atas layanan
rumah sakit.
b. Menanyakan nama pasien, keluhan, lokasi pelayanan dan isi keluhan
secara spesifik.
c. Melakukan telaah lebih lanjut dari data yang sudah terkumpul.
Data yang terkumpul kemudian diklasifikasi kepada klinis yang berpotensi
melakukan fraud, pastikan juga data-data yang terkumpul telah valid dan
masuk akal.
a. Setelah semua selesai, perlu dibuat laporan (Rahmawati, 2014).

Alur pengendalian fraud di rumah sakit


a. Mengendalikan suasana kerja yang baik di lingkungan kerja, antara lain
dengan menanamkan etika dan peningkatan kesejahteraan pekerja atau
pegawai.
b. Menghilangkan kesempatan untuk melakukan fraud dengan cara sistem
pengawasan internal yang ketat.

9
c. Member informasi mengenai dasar hukum dan sanksi bagi pelaku fraud.

IV. KERANGKA KONSEP

Diagnosis kanker
Wanita 25 tahun
kolon

Macam-macam
Faktor-faktor Dilakukan Rawat
penyimpangan asuransi
penyebab fraud inap 10 hari

Melaporkannya 15
Dilakukan Audit
hari

Alur sistem Audit

Fraud, moral hazard ,


adverse selection

Alur 10
pengelolaan Jenis-jenis
fraud
V. Tujuan Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan pandangan MUI
terhadap asuransi.
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan pandangan bioetik
terhadap asuransi.

VI. BERBAGI INFORMASI


1. Bagimana pandangan MUI terhadap asuransi ?
Afzalur Rahman, asuransi bermula dari manusia yang membutuhkan
perlindungan terhadap kemungkinan resiko yang dihadapi atas dirinya, harta,
maupun kepentingannya. Mushtafâ Ahmad al-Zarqâ’ menyatakan bahwa akad
asuransi itu merupakan suatu sistim tadlâmun dan ta’âwun yang bertujuan
untuk menutupi kerugian yang disebabkan oleh musibah.
Dalam ajaran Islam, asuransi sebenarnya sudah dipraktikkan sejak
zaman Rasulullah saw. Cikal-bakal konsep asuransi syariah menurut sebagian
ulama adalah ad-diyah ala al-aqilah. Al-aqilah adalah kebiasaan suku Arab jauh
sebelum Islam datang. Jika salah seorang anggota suku terbunuh oleh anggota
suku lain, pewaris korban akan dibayar uang darah (al-diyah) sebagai
kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari
pembunuh tersebut dikenal dengan al-aqilah. Ibnu Hajar al- Asqalani dalam
kitabnya Fatḥ al-Bari, sebagaimana dikutip oleh Syakir Sula, mengatakan
bahwa pada perkembangan selanjutnya setelah Islam datang, sistem aqilah
disahkan oleh Rasulullah menjadi bagian dari Hukum Islam.
Asuransi di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, yaitu
dengan dimuatnya asuransi pada pasal 243 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD). Sejak tahun 1992 Dasar hukum asuransi di Indonesia lebih

11
diperkuat lagi dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 2 tahun 1992
tentang usaha perasuransian. Pemerintah sebagai pelaksana undang-undang,
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang merupakan penjabaran dan
penjelasan terhadap Undang-undang nomor 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992 ini telah
dirubah dua kali yaitu pada tahun 1999, dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian dan pada tahun 2008 dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah nomor 39 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian.
Menteri keuangan merupakan menteri yang bertanggung jawab
terhadap usaha perasuransian. Untuk itu, menteri keuangan mengeluarkan
beberapa keputusan yang menunjang pelaksanaan usaha perasuransian antara
lain:
a. Keputusan Menteri Keuangan No 422 Th 2003 Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Auransi dan Reasuransi.
b. Keputusan Menteri Keuangan No.423 Th 2003 Tentang Pemeriksaan
Perusahaan Perasuransian.
c. Keputusan Menteri Keuangan No.424 Th 2003 Tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi.
d. Keputusan Menteri Keuangan No.425 Th 2003 Tentang Perizinan dan
Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi.
e. Keputusan Menteri Keuangan No.426 Th 2003 Tentang Perizinan
Usaha Asuransi.
Dewan Yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Saudi
Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk
asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi
Dewan menyetujui adanya “Asuransi Koperatif”. Syaikh Ahmad Musthafâ al-
Zarqâ’ mengatakan bahwa hukum asuransi adalah boleh (mubâh), karena
hukum asal dari segala sesuatu itu adalah halal/boleh (al-ibâhah), di samping
juga syarak tidak hanya membatasi pada akad klasik yang sudah diketahui saja,

12
dan juga tidak melarang adanya bentuk akad baru yang muncul kemudian
sesuai kebutuhan zaman selama tidak bertentangan dengan aturan akad syariah
dan syaratsyaratnya secara umum (Husni Mubarok, 2016).
Sependapat dengan al-Zarqâ’, ‘Abd al-Wahhâb al-Khallâf mengatakan,
asuransi hukumnya boleh (jâiz), karena termasuk akad mudlârabah. Dan
mudlârabah adalah akad berserikat di dalam keuntungan, dimana satu pihak
bermodalkan harta, dan satu pihak lagi bermodalkan tenaga dan kerja. Yûsûf
al-Qaradlâwi dalam “Al-Halâl wa al-Haram fi al-Islâm” mengatakan bahwa
diharamkannya asuransi konvensional karena (1) semua anggota asuransi tidak
membayar uangnya itu dengan maksud tabarru’, bahkan nilai ini sedikitpun
tidak terlintas, (2) lembaga atau perusahaan asuransi pada umumnya memutar/
menginvestasikan kembali dana-dana tersebut dengan jalan riba.
Muhammad Abu Zahrah membolehkan asuransi yang bersifat sosial
(ta’mîn ta’âwuni), dan mengharamkan yang bersifat komersial. Alasan
membolehkan yang bersifat sosial kurang lebih sama dengan alasan mereka
yang membolehkan asuransi secara umum, demikian juga alasan
mengharamkan asuransi yang bersifat komersial sama dengan alasan mereka
yang mengharamkan asuransi (Husni Mubarak, 2014).
‘Abd al-Rahmân Isâ, Muhammad al-Bâhi, Abd al-Munshif Mahmûd,
Abd al-Wahhâb al-Khallâf, Ali alKhafîf, Taufiq ‘Ali Wahbah, Muhammad
Yûsûf Mûsa, dan lain-lain. Kebolehan asuransi menurut kelompok ini mengacu
pada sejumlah alasan, yakni :
(1) Praktik perusahaan asuransi saat ini tidak lain bertujuan untuk
memberikan khidmah (pelayanan) kepada masyarakat, berupa jaminan
atas adanya resiko dan musibah yang menimpa,
(2) Akad ta’mîn menyerupai akad muwâlah karena pada kedua belah
pihak adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan,
(3) Akad ta’mîn menyerupai nizhâm ‘awâqil dalam Islam,
(4) Akad ta’mîn termasuk akad mudlârabah
(5) Akad ta’mîn bukanlah akad jual-beli, akan tetapi termasuk akad
tadlâmun/takâfuli antara para peserta asuransi dalam menghadapi
musibah dan meringankan dampaknya,
(6) Akad ta’mîn termasuk akad mu’âwadlah (pertukaran).

13
Faktor manfaat juga menjadi alasan bagi mereka membolehkan
asuransi. Di antara manfaat asuransi menurut mereka adalah :
1) sebagai sarana atau langkah kehati-hatian dan tindakan preventif,
2) Adanya rasa ketenangan dan keamanan,
3) Dapat membantu mengurangi beban ketika terjadi musibah, yang
belum tentu sanggup ia tanggung sendiri,
4) Sebagai sarana untuk kemajuan ekonomi dan pembangunan,
5) Termasuk akad mudlârabah, dimana peserta asuran sebagai
penanam modal dan pihak asuransi sebagai pengemban usaha, dan
keuntungan di antara mereka dibagi sesuai akad,
6) Mengandung manfaat dan kepentingan umum (mashlahah ‘âmah),
sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk
proyek-prpyek yang produktif dan untuk pembangunan
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH :
1) Premi
- Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad
tabarru'.
- Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa
dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak
memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
- Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan
dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
- Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 53/Dsn-Mui/Iii/2006 Tentang Akad


Tabarru’ Pada Asuransi Syari’ah
1) Ketentuan Hukum
- Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua
produk asuransi.
- Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang
dilakukan antar peserta pemegang polis.
- Asuransi syariah yang dimaksud pada point 1 adalah asuransi jiwa,
asuransi kerugian dan reasuransi

14
Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
pedoman asuransi syariah. Fatwa tersebut memuat tentang bagaimana asuransi
yang sesuai dengan syariat agama islam.
1) Bentuk perlindungan
2) Unsur tolong menolong
Fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan di dalam asuransi
syariah terdapat unsur tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai syariah.

3) Unsur kebaika
4) Berbagi Risiko dan Keuntungan
Dalam asuransi yang dikelola secara prinsip syariah, risiko dan
keuntungan dibagi rata ke orang-orang yang terlibat dalam investasi. Hal
ini dinilai cukup adil dan sesuai dengan syariat agama karena menurut
MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari
keuntungan komersil.
5) Bagian dari Bermuamalah
Menurut MUI asuransi juga termasuk bagian dari bermuamalah karena
melibatkan manusia dalam hubungan finansial. Segala aturan dan tata
caranya tentu saja harus sesuai dengan syariat islam. Jadi dalam
berpartisipasi dalam bermuamalah, Anda dianggap ikut serta dalam
menjalani perintah agama.
6) Musyawarah Asuransi
7) Akad dalam asuransi syari’ah
Di dalam akad tidak boleh terdapat unsur gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan
maksiat karena tujuan akad adalah saling tolong-menolong dengan
mengharapkan ridha dan pahala dari Allah.

2. Bagaimana pandangan bioetik terhadap asuransi?

15
Ciri-ciri terjadinya fraud
a. Terdapatnya niat dan perencanaan jahat
b. Mendung unsur penipuan
c. Terdapat kekeliruan
d. Berdampak pada tuntutan criminal
e. Dapat dilakukan oleh insurer, insured, dan provider
(Sulastomo. 2007)

16
Jenis-jenis Fraud
Bentuk lain dari fraud adalah
- Upcoding
Memberikan kode diagnose, kode tindakan ataupun severity level yang
akan menghasilkan pembayaran yang lebih besar
- Premature discharge
Memulangkan pasien lebih cepat dari seharusnya (pasien belum sembuh)
untuk mencegah “kerugian” RS
- Under treatment
Memberikan pelayanan dibawah dari standar pelayanan kedokteran
(Pedoman Praktik Klinis/Clinical Pathways di RS) untuk mengurangi
biaya. (Permenkes, 2015)

VII. KESIMPULAN
Fraud merupakan tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh
peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi layanan kesehatan, serta
penyedia obat dan alat kesehatan dengan tujuan mendapat keuntungan
finansial. Bentuk fraud dapat di kelompokan menjadi tindakan pemalsuan,
penggelapan dan kecurangan computer. Skenario kali ini membahas
mengenai seorang perempuan yang menderita kanker kolon dan dirawat
inap selama 10 hari, namun pihak rumah sakit melaporkan pasien dirawat
inap selama 15 hari. Tindakan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit
merupaka salah satu contoh bentuk fraud yang dilakukan oleh petugas
pemberi layanan kesehatan (pihak rumah sakit) dengan tujuan
mendapatkan keuntungan finansial. Namun sebelum menghakimi bahwa
pihak rumah sakit benar melakukan tindakan fraud maka harus dilakukan
audit pasien asuransi terlebih dahulu. Sanksi yang didapatkan oleh pihak
rumah sakit mendapat teguran secara lisan, teguran tertulis dan perintah
mengembalikan kerugian akibat tindakan kecurangan jaminan kesehatan
nasional. Tindakan fraud termasuk tindakan yang tidak baik dan disebut
moral hazard, yaitu persepsi yang buruk terhadap resiko yang memiliki
kecenderungan ugal – ugalan.

VIII. SARAN

17
1. Mahasiswa lebih dalam mempelajari materi yang terkait dengan topik
diskusi sehingga diskusi dapat berlangsung dengan lebih baik.
2. Mahasiswa lebih mempersiapkan hafalan surat yang di targetkan di
setiap pertemuan agar waktu untuk tutorial lebih efektif dan tetap
mencapai target yang di berikan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Yoga, Tjandra. 2006. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi


Kedua. UI-Pres, Jakarta.
Al-Assaf. 2009. Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : EGC.
Albrecht W.Steve and Albrecht Chad O. 2002. Fraud Examination Thomson
South- Western.
Base Groups (INA-CBGs). Jakarta: Depkes RI.
Cockeral, Robert. 2007. Forensic Accounting Fundamentals: Introduction to
Investigation.
Datoe Binangkang Bolaang Mongondow. JIKMU. Vol 4(4).
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang
PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 53/Dsn-Mui/Iii/2006 Tentang Akad Tabarru’
Pada Asuransi Syari’ah
Gabby, M. 2015. Prinsip Evidence Based Policy Making dalam Konteks Audit
Pendahuluan Operasional BPJS Kesehatan. CBAM, Vol 2 : 301-308.
Keputusan Menteri Kesehatan no.496/MENKES/SK/IV/2005 tentang Pedoman
Audit Medis di Rumah Sakit (Telah dicabut dengan adanya Peraturan
Menteri Kesehatan no.755/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit) Press.
Keputusan Menteri Kesehatan no.496/MENKES/SK/IV/2005 tentang Pedoman
Audit Medis di Rumah Sakit (Telah dicabut dengan adanya Peraturan
Menteri Kesehatan no.755/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit) Press.
Kulo, D., Massie, R., G., A dan Kandou, G., D. 2014. Management and Use of
Funds Derived from The National Health Insurance Scheme in hospitals.

18
M. Syakir Sula, 2004. Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional .Jakarta Gema Insani Press, hlm. 31.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman
asuransi syariah
Peraturan Menteri Kesehatan No 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan
(Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem
Jaminan Sosial Nasional.

Peraturan Menteri Kesehatan No 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan


(Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem
Jaminan Sosial Nasional
PERMENKES RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case.
Sulastomo. 1997. Asuransi Kesehatan dan Managed Care, Jakarta: PT. (Persero)
Asuransi Kesehatan Indonesia.

Sulastomo. 2007. Manajemen Kesehatan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Sulastomo. 2007. Manajemen Kesehatan.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama


Sulastomo. 2007. Manajemen Kesehatan.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

19

Anda mungkin juga menyukai